DISUSUN OLEH
Puji syukur ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Atas anugrah beliau, Kami
selaku mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul "Makalah Strategi Membangun
dan Mengembangkan Karakter Anak" dengan tepat waktu. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata kuliah Wawasan Kependidikan. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai sebuah Hakikat
pendidikan, strategi membangun karakter anak dan mengetahui teori-Teori
yang mendukung moral dan keagamaan.
Pada kesempatan ini Kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Dr. Putu Ari Dharmayanti, S.Pd., M.Pd selaku dosen
pengampu dari Mata Kuliah Wawasan Profesional Bimbingan dan Konseling.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah
membantu kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Dengan kesempatan
yang baik ini Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun,
( )
i
DAFTAR ISI
BAB I.................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.4 Manfaat.................................................................................................2
BAB II ................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
PENUTUP .......................................................................................................... 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
1. Apa Strategi membangun dan mengembangkan karakter anak?
2. Apa Hakikat pendidikan Karakter ?
3. Apa Saja Teori-Teori yang mendukung moral dan keagamaan ?
4. Apa Saja strategi pengembangan nilai-nilai karakter anak di bangku SMP dan
SMA?
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk:
1. Diketahuinya st r at egi membangun dan mengembangkan karakter
anak.
2. Mengetahui Teori-Teori yang mendukung moral dan keagamaan.
3. Diketahuinya Bagaimana mengembangkan nilai-nilai karakter anak.
1.4 Manfaat
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Makalah ini dapat diharapkan menjadi salah satu acuan mengenai
Materi tentang Strategi membangun dan mengembangkan karakter
anak.
2. Dengan adanya makalah ini, banyak individu yang dimudahkan dalam
mencari sumber-sumber materi untuk mengisi penelitian-penelitian
yang akan dibuat
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
konkret dan keyakinan literal di masa kanak-kanak ke pemikiran keagamaan
yang lebih abstrak di masa remaja.
Teori-teori perkembangan keagamaan yang dielaborasi oleh Elkind, Fowler,
dan Oser, serta perspektif teoritis keterikatan Kirkpatrick tentang
perkembangan perbedaan individu dalam agama. Berikut akan dijelaskan
beberapa teori tentang mendukungnya agama dan moral yaitu:
1) Studi Elkind tentang Mendukung agama
Pada masa remaja dan dewasa, individu-individu memahami bahwa setiap
agama yang berbeda memiliki keyakinan dasar yang berbeda, termasuk
keyakinan yang berbeda tentang sifat Allah (atau para dewa) dan manusia, dan
hubungan antara keduanya yang diungkapkan melalui ibadah, doa, dan
kegiatan kehidupan sehari-hari. Ketika remaja dan dewasa mereka lebih sadar
dalam beragama dan beribadah, patuh terhadap perintah-perintah di dalam
agama mereka dan menganggap agama penting dalam kehidupan mereka.
Elkind pada tahun (1964; 1970) dalam artikelnya menemukan bahwa
pemahaman seperti itu tentang kepercayaan dan praktik keagamaan tidak hadir
pada anak-anak, tetapi lebih berkembang di masa kanak-kanak. Elkind
menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan agama di masa kanak-kanak
dan remaja yang sejajar dengan tahap pra-operasional, operasional konkret,
dan operasional formal perkembangan kognitif yang dijelaskan oleh Piaget.
2) Teori pengembangan Iman Fowler
Fowler mengembangkan teori pengembangan iman seperti teori Elkind,
mencakup serangkaian tahapan yang sebagian besar mengikuti teori tahap
perkembangan kognitif Piaget. Teori ini juga sangat dipengaruhi oleh teori
psikososial Eric Erikson tentang pengembangan identitas ego. Sebagaimana
didefinisikan oleh Fowler, Iman adalah proses dinamis dari komitmen yang
memusatkan kepercayaan dan kesetiaan kita, ketergantungan dan kepercayaan
diri pada realitas kehidupan. Fowler menyarankan bahwa iman berkembang
dalam konteks hubungan antar pribadi, dan kapasitas dan kebutuhan akan iman
adalah sifat bawaan manusia. Iman mencakup iman religius, tetapi iman juga
dapat mencakup kepercayaan dan kesetiaan pada pusat nilai termasuk
keluarga, negara, dan lainnya.
5
3) Teori Oser
Teori Oser berfokus pada pengembangan penilaian agama. Oser
mendefinisikan penilaian agama sebagai alasan yang menghubungkan realitas
sebagai pengalaman dengan sesuatu di luar realitas yang berfungsi untuk
memberikan makna dan arah tujuan hidup (Bridges & A.Moree, 2002). Oser
sangat tertarik pada perubahan perkembangan dalam penjelasan yang dimiliki
anak-anak dan orang dewasa untuk pengalaman, baik pribadi maupun yang
diamati, yang tampaknya bertentangan dengan kepercayaan agama. Oleh
karena itu penilaian agama melibatkan jawaban yang ditemukan oleh individu
untuk mereka sendiri yang mendamaikan iman agama dan kenyataan yang
tampaknya bertentangan dengan iman itu.
Oser menggambarkan lima tahap dalam pengembangan penilaian agama, tiga
diantaranya merupakan tahap-tahap penalaran yang dicapai pada masa kanak-
kanak dan remaja, dan yang keempat berkembang dalam minoritas individu di
masa remaja. Tahap 1, pandangan anak-anak tentang Tuhan sangat konkret dan
literal. Tuhan dilihat sebagai terlibat langsung dalam peristiwa sehari-hari di
dunia, sebagai penyebab semua peristiwa dan sebagai menciptakan semua hal.
Tuhan harus dipatuhi karena ketidaktaatan membawa hukuman langsung,
seperti kecelakaan atau sakit. Pada saat yang sama, individu dipandang
memiliki pengaruh minimal terhadap Tuhan. Bentuk penilaian religius ini
sejajar dengan tahap paling awal dari penalaran moral pra- konvensional
seperti yang dijelaskan oleh Colby dan Kohlberg (1987), di mana hukum dan
peraturan harus dipatuhi terutama untuk menghindari hukuman.
Pada tahap 2 dan 3, anak-anak dan remaja yang lebih tua memandang Tuhan
dengan cara yang kurang menghukum. Tuhan dapat dipengaruhi oleh perilaku
baik seorang individu, dengan doa, dan kepatuhan pada ritual dan praktik
keagamaan. Terlihat sebagai bukti dalam kehidupan yang sehat dan bahagia,
murka Tuhan atas kegagalannya untuk campur tangan di saat terjadi
perselisihan. Pada saat yang sama, Tuhan juga dipandang lebih kecil
kemungkinannya untuk campur tangan secara konkret dan langsung dalam
urusan manusia.
Pada tahap 4 dan 5, individu yang mempertahankan iman dapat kembali
kepada Tuhan sebagai pencipta akhir yang merupakan sumber kebebasan dan
kehidupan, dan yang keberadaannya membuat hidup bermakna. Teori Oser
6
tidak menyarankan bahwa semua penilaian agama yang diperlihatkan oleh
seorang individu akan selalu berada pada tahap yang sama, atau bahwa semua
individu pada usia yang sama akan menunjukkan tingkat penilaian agama yang
sama.
4) TeoriKirkpatrick
Kirkpatrick mengusulkan bahwa kepercayaan dan praktik keagamaan individu
dipengaruhi oleh orang tua mereka, dan kualitas hubungan ikatan orangtua-
anak. Menurut Kirkpatrick (Bridges & A.Moree, 2002) anak-anak yang
hubungan dengan orang tuanya aman cenderung untuk mengadopsi
kepercayaan agama orang tua mereka. Lebih lanjut, berdasarkan pada teori
kelekatan, Kirkpatrick menyarankan bahwa hubungan individu dengan Tuhan
dapat dianggap sebagai hubungan kelekatan. Seperti halnya hubungan
kelekatan yang dibangun antara pengasuh dengan bayi, diharapkan akan sangat
mempengaruhi karakteristik kualitas hubungan dengan Tuhan.
Hubungan yang baik dengan orang tua yang beragama, dapat ditiru oleh anak
bagaimana orang tua mereka beragama dengan tingkat religiusitas yang tinggi
dan kepercayaan pada Tuhan. Begitu sebaliknya hubungan yang tidak aman
dengan orang tua, akan membuat anak atheis dan meragukan kepercayaan
mereka pada Tuhan. Pada masa remaja atau dewasa, seseorang dapat beralih
ke hubungan pribadi dengan Tuhan dalam upaya untuk mendapatkan
keamanan yang tidak tersedia bagi mereka dari hubungan keterikatan awal
mereka
5) Penilaian moral oleh Piaget
Didalam karya klasik Piaget (Crain, 2014:193), The Moral Judgment of Child
(1932), Piaget memberi perhatian khusus kepada cara anak memahami aturan
permainan marbel. Piaget mengamati bagaimana cara anak-anak memainkan
permainan itu sesungguhnya, dan dia menemukan bahwa antara usia empat
sampai tujuh tahun, anak-anak bermain dengan cara egosentris. Mereka tidak
mengerti menang dan kalah, bahkan mereka akan berkata satu sama lain “aku
menang dan kamu menang juga.” Namun setelah usia tujuh tahun, anak-anak
mulai berusaha mengikuti aturan umum permainan dan berusaha menang
menurut aturan-aturan tersebut.
Piaget meneliti pemikiran anak-anak tentang aturan. Dititik ini Piaget
menemukan bahwa anak-anak selama beberapa tahun sampai usia 10 tahun
7
percaya bahwa aturan sudah baku dan tidak bisa diubah. Jika aturan diubah
maka permainannya harus berubah juga. Setelah usia 10 tahun lebih, anak-anak
jadi lebih relatif terhadap aturan. Aturan dilihat sebagai cara-cara yang sama
disetujui untuk memainkan permainan. Mereka tidak lagi melihat aturan
sebagai hal yang baku, dan mereka menyatakan bahwa aturan bisa dirubah
selama setiap orang di dalam permainan setuju.
Konsepsi yang berbeda-beda tentang aturan ini mengisyaratkan dua sikap
moral mendasar yaitu heteronomi moral dan otonomi moral (Crain, 2014:194).
Heteronomi moral adalah sebuah kepatuhan yang kaku terhadap aturan-aturan
yang dipaksakan orang dewasa, anak berasumsi bahwa terdapat sebuah
hukuman yang mesti mereka ikuti. Moralitas kedua, yaitu berasal dari anak
yang lebih tua usianya yang disebut otonomi moral. Moralitas ini menganggap
aturan-aturan yang dibuat untuk kesetaraan demi kerja sama yang baik yang
memungkinkan individu bersikap dan berprilaku sesuai control dirinya. Piaget
percaya kalau heteronomi moral terikat pada egosentrisme, anak-anak
memandang aturan dari perspektif tunggal, yaitu perspektif orang dewasa yang
berkuasa atas dirinya. Sebagai suatu bentuk egosentrisme, heteronomi moral
baru bisa ditaklukkan sekitar usia 10 tahun atau lebih. Piaget mengingatkan
bahwa heteronomi adalah suatu bentuk pikiran egosentris dari anak. Anak-
anak perlu terlibat di dalam hubungan yang baik dengan bermain bersama
teman-teman sebayanya.
2.4 Strategi pengembangan nilai karakter anak di bangku SMP dan SMA
8
Jadi untuk mengembangkan nilai-nilai karakter anak di bangku sekolah
SMP dan SMA harus pempunyai Strategi atau pola pembentukan karakter di
lingkungan sekolah yang harus benar-benar maksimal dan berjalan sesuai
dengan harapan Teori teori moral dan keagamaan yaitu mencerdaskan
kehidupan individu dan mengembangkan manusia yang moral dan mempunyai
keagamaan seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tentunya
ini bukan pekerjaan yang mudah, oleh karena itu kita sebagai pendidik harus
memiliki strategi yaitu: (1) Pengajar harus bisa menjadi cobtoh peserta dengan
dasar pembentukan karakter peserta didik sebelum terjun di masyarakat. (2)
Pendidik juga harus ikut dapat menerapkan tata tertib, aturan dan disiplin
sebagaiman mestinya agar bisa menjadi contoh untuk peserta didik. (3)
pengajar harus dapat menjadi tempat berlindung dari gangguan-gangguan yang
dapat mengancam anak, baik ancaman dari sesama teman maupun ancaman
dari luar sekolah. (4) pengajar harus dapat memberikan bekal ketrampilan dan
keahlian sesuai dengan bakat minat siswa. (5) pengajar harus dapat
memberikan empati dan kasih sayang terhadap sesama. (6) Pengajar harus bisa
dapat mewariskan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Apabila itu dilakukan
dengan baik maka anak didik ketika lulus dari bangku sekolah SMP maupun
SMA akan menjadi manusia yang baik, memiliki ketrampilan, toleransi, dan
dapat mengembangkan bakat yang dimiliki sesuai dengan kemampuannya.
Jadi Peran guru dan warga sekolah dalam pembentukan karakter siswa
sangat penting untuk membangun karakter Siswa tersebut. Guru adalah orang
tua kedua setelah di rumah. Sebagaimana layaknya orang tua, guru harus
mempunyai strategi untuk menunbuhkan atau mebangun karakter anak dengan
cara memperlakukan peserta didik sebagaimana anaknya sendiri. Tidak boleh
ada diskriminasi, perlakuan kasar, maupun kata-kata yang dapat menyakitkan
hati anak. Seorang pengajar harus menjadi contoh dan tauladan bagi peserta
didik. Sepatutnya guru harus menghindarkan hal-hal sebagai berikut: guru
mengajarkan rajin atau disiplin tapi gurunya sendiri sering terlambat, guru
mengajarkan toleransi terhadap sesama tapi gurunya tidak punya kepedulian
terhadap anak didik, guru mengajarkan hidup sederhana tapi gurunya sendiri
9
hidup mewah, guru mengajarkan kelembutan dan kasih sayang tapi gurunya
sendiri kasar terhadap anak didik, guru mengajarkan kebersihan tapi guru tidak
pernah mengingatkan ketika ada sampah di kelas. Itulah beberapa hal yang
mungkin masih kita temukan di beberapa sekolah.
Figur sebagai seorang pendidik tidaklah mudah, karena guru memiliki
peran ganda dalam mendidik anak. Di satu sisi guru dituntut mendidik
keluarganya sendiri dengan segala persoalannya tetapi di sisi lain guru juga
harus berperan sebagai pendidik di sekolah. Dua peran ganda ini tidak boleh
saling tumpang tindih (Overlaping), apabila guru sedang menghadapi
persoalan keluarga di rumah jangan sampai dibawa ke sekolah, begitu juga
ketika guru memiliki persoalan di sekolah jangan sampai di bawa ke rumah
karena apabila hal itu tidak bisa dihindarkan maka yang terjadi adalah
pelampiasan emosi karena penempatan persoalan yang tidak pada ruangnya.
Guru tidak hanya sekedar mengajar saja tapi bagaimana seorang guru bisa
membuat strategi untuk pembangunan nilai-nilai karakter dan memberikan apa
yang terbaik bagi anak didiknya. Dan strategi yang baik untuk
mengembangakan karakter anak yanitu dengan Seni di dalam mengelola
permasalahan sangat diperlukan oleh guru karena bukan tidak mungkin guru
setiap waktu pasti dihadapkan dengan berbagai persoalan dari peserta didik.
Mulai dari persoalan di dalam kelas pada saat proses pembelajaran maupun
persoalan di luar kelas.
Membangun karakter peserta didik di lingkungan sekolah tidaklah mudah,
perlu dukungan semua pihak dari seluruh warga sekolah baik guru, tata usaha,
kepala sekolah, maupun dari pihak lain sebagainya. Tenanga pengajar harus
berupaya membuat strategi menciptakan budaya karakter yang diinginkan.
Proses penanaman nilai-nilai budaya dalam rangka pembentukan karakter
peserta didik tidak bisa berjalan secara instan. Perlu dibiasakan, perlu
kesabaran, dan yang lebih penting adalah komitmen bersama untuk
membangun budaya karakter yang baik pada peserta didik.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan karakter merupakan salah satu opsi yang harus dioptimalkan
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini yang menjadi dasar adalah
bahwa makna pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Artinya
manusia sebagai mahluk tuhan harus mempelajari atau di bekali tentang
moral dan keagamaan, Pendidikan karakter disamakan definisinya dengan
pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan religius, atau pendidikan
budi pekerti. Istilah ini makin mengemuka ketika berbagai permasalahan
muncul sebagai akibat dari kegagalan dari pendidikan di Indonesia.
Jadi dengan demikian Untuk menuhi hakikat pendidikan berkarakter
dan mendukung teori-teori moral dan keagamaan sebagai seorang pendidik
harus mempnyai strategi untuk membangun dan mengembangkan karakter
anak. Jadi guru harus benar-benar Mempunyai strategi yang matang untuk
pembentukan atau pembangaun karakter anak dengan menerapkan prinsip
“Tutwuri Handayani” maka pembentukan karakter di sekolah anak SMP
dan SMA Astungkara akan terwujud, sehingga tidak lagi kita jumpai
pelajar-pelajar yang bringas, arogan, anarkis, dan terlibat krimanal. Tentu
ini adalah harapan Pembuatan Makalah ini dari Kami bagaimana
menciptakan generasi-generasi emas di masa yang akan datang sehingga
dapat membawa bangsa ini ke arah kemajauan sejajar dengan negara-
negara maju lainnya di dunia.
3.2 Saran
Tentunya kami sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak terdapat kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Nantinya,
Kami mengharapkan panduan dari berbagai sumber dan kritik yang
membangun dari pembaca untuk segera memperbaiki struktur makalah yang
telah saya susun ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
12