Anda di halaman 1dari 3

Setidaknya ada lima temuan potensi masalah jika RUU PLP disahkan tanpa perbaikan setelah uji

publik. Pertama, konsideran draf RUU PLP menyebutkan belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai psikolog. Kenyataannya sudah ada peraturan perundangan yang mengatur
psikolog klinis yaitu UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 45 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis.

Dampak peniadaan peraturan sebelumnya akan mengakibatkan adanya tumpang tindih peraturan
dan ketidakselarasan dalam RUU PLP, misalnya tumpang tindih dalam pengaturan pendidikan tenaga
kesehatan di bidang kesehatan, tumpang tindih dalam standar layanan yang harus diikuti oleh
psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan, termasuk juga tumpang tindih pengaturan organisasi
profesinya.

Tumpang tindih ini akan mengakibatkan kebingungan tidak hanya bagi psikolog klinis, namun juga
bagi pengguna layanan psikologi klinis yang selama ini sudah tertata dan mengikuti perundangan
rumpun kesehatan.

Kedua, draf RUU PLP mengunci pendidikan profesi hanya dapat diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi yang bekerja sama dengan induk organisasi profesi himpunan psikologi. Padahal dalam UU
No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan profesi dapat diselenggarakan oleh
perguruan tinggi dengan bekerja sama berbagai pihak antara lain kementerian, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, dan atau organisasi profesi.

Implikasinya perkembangan profesi psikologi dimonopoli oleh induk organisasi profesi himpunan
psikologi, dan menutup kemungkinan kementerian atau lembaga lain terlibat bersama perguruan
tinggi untuk mengembangkan suatu profesi psikologi baru yang mungkin dibutuhkan oleh
masyarakat atau lembaga pemerintah.

Ketiga, Surat Tanda Registrasi (STR) dalam draf RUU PLP merangkap surat izin praktik dan diterbitkan
oleh induk organisasi profesi himpunan psikologi. STR merupakan bukti bahwa seseorang telah
tercatat secara resmi sebagai anggota yang memiliki keahlian profesional tertentu, sementara surat
izin praktik adalah pemberian izin yang selayaknya diberikan oleh pemerintah untuk melindungi
kepentingan publik dari praktik-praktik yang tidak bertanggung jawab.

Saat ini, STR Psikolog Klinis diterbitkan oleh Konsil Tenaga Kesehatan (KTKI), sementara surat izin
praktiknya diterbitkan oleh pemerintah daerah. Pemerintah hadir untuk membina dan mengawasi
secara berjenjang terhadap praktik layanan psikologi klinis. Pembinaan dan pengawasan berjenjang
oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi masyarakat secara maksimal.

Pemberian izin praktik profesi terkait tubuh dan pikiran manusia oleh suatu organisasi di luar
pemerintah merupakan suatu hal di luar kelaziman dan sangat membahayakan bagi masyarakat.
Tidak ada jaminan suatu organisasi tidak menyalahgunakan wewenang tersebut, apalagi jika
dilakukan oleh organisasi yang tertutup dan tidak transparan dalam tata kelolanya.

Keempat, istilah induk organisasi profesi himpunan psikologi merupakan suatu keganjilan istilah dan
menunjukkan adanya kompromi politik. Penjelasan draft RUU PLP pasal 33 menyebutkan bahwa
organisasi tersebut adalah Himpunan Psikologi Indonesia yang disingkat HIMPSI dan merupakan
organisasi pengusul dari RUU ini sejak awal.
HIMPSI yang berbadan hukum pada 2013 merupakan organisasi psikologi yang menampung semua
lulusan pendidikan S1, S2, S3 Psikologi serta psikolog dari berbagai minat keilmuan. Organisasi ini
juga mendirikan lembaga sertifikasi psikologi berbentuk perseroan terbatas (PT) dengan nama LSP
Psikologi Indonesia (disingkat LSP-PSI).

Draf RUU PLP Pasal 9 ayat 1 terkait pendidikan profesi, Pasal 13 ayat 4 terkait uji kompetensi, Pasal
15 ayat 2 terkait penerbitan STR, Pasal 26 ayat 3 tentang standar layanan, dan Pasal 34 ayat 2
tentang pembinaan dan pengawasan jelas menunjukkan bahwa wewenang dan peran induk
organisasi profesi profesi himpunan psikologi sangat besar.

RUU ini tampaknya sedang menciptakan sebuah 'lembaga super' yang mengatur beraneka ragam
profesi psikologi yang tergabung di dalamnya. Selain memiliki potensi monopoli yang besar dalam
pengaturan, organisasi dengan aneka ragam kepentingan profesi psikologi justru berpotensi
terjadinya perpecahan dan konflik sehingga pada akhirnya menghambat perkembangan dari
berbagai profesi psikologi yang sudah ada maupun yang akan datang.

Kelima, draf Pasal 18 RUU PLP hanya mengecualikan pengaturan registrasi dan registrasi ulang bagi
psikolog yang bekerja di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Dampaknya psikolog-psikolog yang
berpraktik psikologi klinis tetapi tidak bekerja di fasyankes akan diatur oleh RUU PLP ini.

Saat ini banyak psikolog klinis berpraktik memberikan layanan psikologi klinis di lembaga
pemerintahan seperti Badan Narkotika Nasional, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Lembaga Permasyarakatan, Lembaga Militer, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga
sosial. Selama ini mereka diatur oleh peraturan perundang-undangan kesehatan dengan legalitas
yang kuat yaitu STR dan surat izin praktik yang diterbitkan oleh pemerintah.

Masyarakat pengguna layanan psikologi klinis mendapatkan perlindungan hukum selayaknya


pengguna layanan bidang kesehatan. Pengecualian bagi psikolog klinis hanya bagi yang bekerja di
fasyankes cenderung membatasi bahwa layanan psikologi klinis hanya dapat dilakukan oleh mereka
yang bekerja di fasyankes. Padahal seseorang yang berpraktik di bidang kesehatan di mana pun
tempat praktiknya seharusnya merupakan tenaga kesehatan yang mengikuti peraturan perundangan
bidang kesehatan.

Masalah besar lainnya, psikolog klinis yang bekerja di fasyankes pun akan merasakan tumpang tindih
peraturan jika hanya registrasinya saja yang mengikuti ketentuan peraturan perundangan
kesehatan. Peraturan lainnya terkait psikologi klinis sebagai tenaga kesehatan sudah diatur pula
mulai dari pendidikan, standar-standar profesi dan layanannya, jabatan fungsional, sampai pada
pembinaan dan pengawasannya.

Tak kalah penting, wewenang Konsil Tenaga Psikologi Klinis yang telah diatur dalam peraturan
perundangan kesehatan sudah pasti akan berbenturan dengan wewenang dari induk organisasi
profesi himpunan psikologi yang diciptakan oleh RUU ini.

RUU PLP tidak terlepas dari adanya muatan politik. Sayangnya sinyal-sinyal dominasi kepentingan
suatu kelompok tertentu tampak terlihat jelas dalam perjalanan RUU PLP sehingga politisasi
kebijakan dalam RUU PLP menjadi tidak wajar dan menimbulkan distorsi terhadap kebijakan yang
dihasilkan.
Pemaksaan adanya sebuah lembaga super yang disebutkan nama organisasinya dalam penjelasan
RUU dengan istilah di luar kelaziman dan 'ketidakmauan' untuk mengecualikan pengaturan psikolog
klinis dari RUU ini merupakan beberapa indikator adanya ketidakwajaran yang hanya dapat dijawab
secara politis.

Distorsi kebijakan dalam rupa temuan masalah dalam RUU PLP ini bisa jadi merupakan akibat adanya
kompromi politik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa keganjilan dalam proses pembahasan RUU PLP
seperti yang pernah saya tuliskan dalam tulisan sebelumnya yang berjudul RUU Praktik Psikologi dan
Keresahan Psikologi Klinis (detikcom, 12/4).

Aspirasi psikolog klinis untuk dikecualikan dari RUU PLP ini justru dinarasikan oleh pihak-pihak
tertentu sebagai pembangkangan dan upaya memisahkan psikologi klinis dari rumpun keilmuan
psikologi. Narasi itu cenderung bersifat politis dan mengaburkan substansi RUU PLP itu sendiri.

Psikologi klinis tidak mungkin terpisah dari rumpun keilmuan psikologi, namun jika bicara terkait
pengaturan tentunya ada banyak hal yang harus dipisahkan, sama halnya seperti kurikulum di
Magister Profesi Psikologi saat ini yang memisahkan mata kuliah dan tempat kerja praktik peminatan
Psikologi Industri Organisasi, Psikologi Pendidikan, dan Psikologi Klinis.

Saran

Politisasi kebijakan yang hanya bertujuan untuk melegitimasi sebuah organisasi tertentu akan
menciptakan distorsi kebijakan yang berakhir pada pembatalan undang-undang oleh Mahkamah
Konstitusi. Saya percaya masih ada wakil-wakil rakyat terhormat di dewan legislatif yang mau
memperjuangkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan sekelompok individu.

Distorsi kebijakan dalam RUU PLP masih dapat diperbaiki dengan cara membuka diri terhadap saran
dari pemerintah, pemangku kepentingan, dan ahli-ahli yang netral. Lalu, diharapkan Tim Panja RUU
PLP tidak terpancing dengan desakan untuk mengesahkan RUU PLP sesegera mungkin, namun justru
menjadikan desakan tersebut sebagai peringatan untuk berhati-hati dan kembali meninjau
kepentingan-kepentingan yang diupayakan dalam RUU PLP tersebut. Seharusnya pengecualian
psikolog klinis dari pengaturan RUU PLP tidak hanya registrasinya saja, tetapi utuh dan menyeluruh
sesuai ketentuan yang sudah diatur oleh peraturan perundangan lainnya yang telah mengikat
psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan. Sebaiknya pengecualian tersebut tertulis jelas dalam RUU
PLP untuk menghindari kerancuan hukum dan juga sebagai tanda kehadiran negara dalam
melindungi kesehatan masyarakat Indonesia.

Sebaiknya hal tersebut diperbaiki dengan cara membuka diri terhadap saran dari pemerintah,
pemangku kepentingan, dan ahli-ahli yang netral. Lalu, diharapkanTim Panja RUU PLP tidak
terpancing desakan untuk mengesahkan RUU PLP, tetapi menjadikan desakan sebagai peringatan
berhati-hati dan meninjau kepentingan dalam RUU PLP. Seharusnya pengecualian psikolog klinis dari
pengaturan RUU PLP tidak hanya registrasinya saja, tetapi utuh dan menyeluruh sesuai ketentuan
yang sudah diatur oleh peraturan perundangan lainnya yang telah mengikat psikolog klinis sebagai
tenaga kesehatan. Sebaiknya pengecualian tersebut tertulis jelas dalam RUU PLP untuk menghindari
kerancuan hukum dan sebagai tanda kehadiran negara melindungi kesehatan masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai