Anda di halaman 1dari 12

Tugas Penyakit Parasit Pada Hewan Kesayangan

“Cryptosporodiosis pada Anjing dan Kucing”

Nama : Grace Tabitha Tenggi Olihta


NIM : 21/486951/PKH/00780
Dosen Pengampu : Dr. drh. Joko Prastowo, M.Si

1. Etiologi
Cryptosporodiosis disebabkan oleh Genus Cryptosporodium, Famili Cryptosporidiidae,
Subordo Eimeriina, Subclass Coccidia. Cryptosporidium pertama kali ditemukan oleh Tyzzer
dengan spesies C. muris pada tahun 1907 dengan perkembangan endogennya hanya pada
pencernaan hewan pengerat. Lalu pada 1912 ditemukan C. parvum pada hewan mamalia
termasuk manusia (Arrowood, 2002). Ada lebih dari 30 spesies Cryptosporidium, tetapi hanya
beberapa spesies seperti C. hominis, C. parvum, C. meleagridis, C. felis, dan C. canis yang
umumnya ditemukan. Studi molekuler yang pernah diteliti menyatakan hasil bahwa masing-
masing C. canis dan C. felis menunjukkan spesifitas untuk sebagian besar infeksi pada anjing
dan kucing (Yoshiuchi dkk., 2010). Namun C. parvum tidak spesifik menginfeksi inang tertentu
dan dapat berpindah-pindah dari satu induk semang ke yang lainnya, termasuk menginfeksi pada
sapi, manusia bahkan kadang-kadang juga pada anjing dan kucing (Alves dkk., 2018). C. parvum
diklasifikasikan sebagai spesies kedua setelah C. hominis dari genus cryptosporidium yang
paling sering didiagnosis pada manusia (Certad dkk., 2017).
Cryptosporodium untuk waktu yang lama dianggap sebagai non-patogen parasit. Baru
sejak tahun 1976, diakui sebagai oportunistik parasit patogen ketika 2 kasus manusia dilaporkan
diare disebabkan cryptosporidium. Namun cryptosporidium tetap tidak dianggap sebagai patogen
penyakit diare akut pada manusia sampai tahun 1982. Mikroorganisme ini diakui sebagai agen
penyebab diare yang bisa sembuh sendiri untuk populasi umum dan penyakit yang mengancam
jiwa bagi pasien AIDS. Pada manusia dengan penyakit AIDS sering kali dijumpai diare dengan
penyebabnya adalah organisme cryptosporodium. Cryptosporodiosis dapat berakibat fatal pada
pasien dengan gangguan sistem imun dan dapat sangat melemahkan individu yang
imunokompeten (Elisabetta dkk., 2019).
Cryptosporodium menyerang pencernaan dan bersifat akut. Penyakit ini mudah menyebar
di lingkungan karena bentuk infeksinya yang berupa ookista, dengan rute infeksi fekal-oral.
Kontak langsung dapat terjadi dengan manusia yang terinfeksi (penularan per orang ke orang)
atau hewan (penularan zoonosis). Lalu secara tidak langsung dapat melalui konsumsi makanan
yang terkontaminasi (penularan bawaan makanan) dan juga air (penularan melalui air)
(Sotiriadou dkk., 2013; Robertson dkk., 2000). Ookista Cryptosporidium dapat bertahan selama
beberapa bulan di lingkungan perairan dan juga tahan terhadap desinfeksi oleh klorin yang
digunakan dalam pengolahan air konvensional (Muller, 2000).

Transmisi Cryptosporodium (www.wormsandgermsblog.com)


2. Epidemiologi
Jumlah kasus cryptosporodiosis yang dilaporkan di seluruh dunia dalam beberapa tahun
terakhir meningkat dengan jumlah 3 kasus per 100.000 penduduk. Banyak indikator yang
menunjukkan bahwa frekuensi infeksi mungkin terjadi menjadi 100 kali lipat lebih tinggi dari
jumlah kasus yang dilaporkan. Prevalensi infeksi cryptosporidium secara signifikan lebih rendah
di negara industri dibandingkan dengan negara berkembang. Hal ini bisa disebabkan karena
masih banyak orang yang belum memperhatikan kebersihan air minum dan sanitasi lingkungan.
Di dalam negara berkembang, cryptosporodiosis jarang dilaporkan pada manusia
imunokompeten, sedangkan infeksi ini menyebabkan sekitar 10-15% kasus penyakit diare berat
sebagian besar di anak kurang gizi kurang dari lima tahun. Cryptosporidium sp. telah diisolasi di
seluruh dunia dan wabah yang terkait dengan kolam renang atau terkontaminasi air minum telah
dilaporkan di beberapa negara (Elisabetta dkk., 2019).
Survei di beberapa negara yang berbasis feses, PCR, dan serologis menunjukkan bahwa
hingga 38,5% sampel kucing telah terpapar atau mengeluarkan ookista cryptosporidium. Seratus
anak kucing dari Jerman diperiksa untuk infeksi cryptosporidium, ditemukan pada 4,3% dari 70
liter yang dipelihara di luar ruangan dan 3,3% dari 30 liter yang di dalam ruangan. Salah satu
studi serologis juga menunjukkan bahwa 192 (74%) dari 258 kucing yang diuji menghasilkan
positif untuk antibodi IgG melalui IFA meski hasilnya mungkin salah karena fluoresensi apikal
positif dianggap sebagai indikator reaksi positif yang sebenarnya. Fluoresensi apikal umumnya
dianggap tidak spesifik untuk parasit coccidial. Studi prevalensi yang dilakukan hingga saat ini
pada kucing belum menggunakan metode molekuler untuk menentukan spesies cryptosporidium
yang sebenarnya ditemukan pada kucing. Oleh karena itu, prevalensi nyata C. felis versus C.
parvum atau cryptosporidium spp lainnya pada kucing tidak diketahui. Studi di anjing yang
dilakukan pemeriksaan juga ditemukan ada 44,8% ookista cryptosporidium. Satu studi berbasis
PCR dari Jepang menunjukkan bahwa 13 sampel positif dari 140 yang diuji adalah C. canis. Dua
kasus klinis pada anak anjing telah dikaitkan dengan C. canis. Prevalensi C. parvum atau
cryptosporidium spp lainnya pada anjing tidak diketahui (Lindsay dan Zajac, 2004).
3. Siklus Hidup
Cryptosporodium berkembang dengan dua stadium yaitu aseksual dan seksual. Stadium
aseksual berupa multiplikasi segmentasi (schizogony) dan stadium seksual berupa fertilisasi sel
betina (microgametocyte) dan sel jantan (microgametocyte). Siklus hidup dilakukan pada satu
inang yang sama sekaligus. Stadium perkembangan terjadi di epitel intestinal. Infeksi dimulai
dengan tertelannya ookista dari lingkungan, yang masing-masing mengandung 4 sporozoit. Lalu
menetas di usus, melepaskan sporozoit yang akan menyerang epitel dan memulai multiplikasi
intraseluler. Di dalam vakuola parasitofor, parasit mengalami reproduksi aseksual atau
skizogoni, yang mengarah ke produksi 8 merozoit dalam meront tipe I. Merozoit menyebar ke
bagian epitel lainnya. Selama tahap ini, merozoit dapat menjalani 2 replikasi yang berbeda
siklus: tahap aseksual yang ditandai dengan penggandaan merozoit (meront tipe I) dan produksi
berdinding tipis ookista yang menginfeksi inang secara otomatis dan/atau tahap seksual dengan
pembentukan meront tipe II, yang setelah berdiferensiasi dalam mikrogametosit dan
makrogametosit, akan bersatu membentuk zigot. Zigot diploid, melalui proses yang disebut
sporogoni, akan membentuk 4 sporozoit berdinding tebal (Elisabetta dkk., 2019).
Replikasi endogen berakhir dengan produksi tahap seksual yang menyatu untuk
membentuk ookista yang bersporulasi diusus dan diekskresikan dengan feses yang sudah dalam
bentuk infektif. Autoinfeksi dengan ookista yang pecah sebelum ekskresi sering terjadi dan dapat
mengakibatkan pelepasan sejumlah besar parasit dalam waktu singkat. Periode prepaten
bervariasi dari 2-14 hari untuk C. canis dan 3-7 hari untuk C. felis. Ekskresi berlangsung dari
25–80 hari (ESCCAP, 2018).

Siklus Hidup Cryptosporodium (Dubey dkk., 1990)


4. Patogenesa
Pada manusia, parasit cryptosporodium dapat mengubah fungsi sawar usus,
meningkatkan permeabilitas usus, menginduksi diare, malabsorpsi, mengubah sekresi cairan, dan
juga sekresi elektrolit. Tetapi tidak ada kajian terkait apakah efek ini juga terjadi secara spesifik
pada anjing ataupun kucing (Tzipori dan Ward, 2002; Khalil dkk., 2018). Tzipori dan Ward
(2002) dalam studinya menyatakan tingkat keparahan, infeksi, dan hasil dari infeksi tergantung
pada tingkat status immunocompromised tiap individu. Sebuah studi meneliti bahwa
cryptosporidium dapat berkembang di berbagai epitel tubuh dan tidak hanya di enterosit di usus.
Hal ini dapat menyebabkan infeksi pernapasan, mata, pankreas, dan hati pada manusia;
untungnya, lokus ekstraintestinal dari infeksi cryptosporidial ini belum dilaporkan pada anjing
atau kucing. Cryptosporidia berkembang di perbatasan mikrovili dan menggantikan sel, yang
akhirnya menyebabkan hilangnya epitel permukaan yang matang. Hal ini menyebabkan
pemendekan dan fusi vili serta pemanjangan kripta karena percepatan pembelahan sel untuk
mengkompensasi hilangnya sel. Kondisi tersebut dapat menyebabkan berkurangnya penyerapan
cairan, elektrolit, dan nutrisi dari lumen usus. Dosis infektif minimum ookista cryptosporidium
untuk kucing dan anjing tidak diketahui. Studi eksperimental pada manusia dengan
menggunakan ookista C. parvum yang dikumpulkan dari anak sapi menunjukkan bahwa 10 atau
lebih sedikit ookista dapat menyebabkan infeksi (Okhuysen dkk., 1999).
5. Gejala Klinis
a. Kucing
Kebanyakan kucing yang mengeluarkan ookista cryptosporidium tidak menunjukkan
gejala klinis. Hewan muda atau dengan sistem imun yang lemah lebih mungkin terinfeksi. Diare
kronis atau intermiten, sakit area perut, muntah, demam, anoreksia, dan berat badan menurun
adalah tanda klinis umum pada kucing yang bergejala. Kondisi ini bisa berlangsung selama
berhari-hari atau kadang-kadang berminggu-minggu, yang dimulai beberapa hari setelah
timbulnya ekskresi ookista (Arai dkk., 1990; Mtambo dkk., 1991). Koinfeksi dengan giardia spp
atau tritrichomonas dapat memperburuk kondisi kucing. Pemberian prednisolon (10 mg/kg/hari
SC selama 4 hingga 9 hari atau 2,8 hingga 3,8 mg/kg/hari PO selama 26 hari) dapat
menyebabkan ookista muncul kembali di feses kucing (Gookin dkk., 2001).
b. Anjing
Sebagian besar kasus cryptosporodiosis yang dilaporkan pada anjing adalah hewan muda.
Kasus pada anjing dewasa jarang terjadi. Tanda-tanda klinis dapat bervariasi dari tidak ada
sampai diare kronis atau intermiten dan penurunan berat badan. Imunosupresi karena distemper
anjing dapat memperburuk infeksi pada anjing. Infeksi parvovirus anjing bersamaan dan infeksi
Isospora spp usus juga dapat meningkatkan infeksi cryptosporodium pada anjing yang
mengalami imunosupresi (Turnwald dkk., 1988). Anjing yang terinfeksi C. canis gejala klinis
yang timbul adalah sakit perut yang ditandai dengan diare profus dengan bau feses yang tajam,
bercampur dengan darah, lendir dan reruntuhan epitel usus (Fayer dkk., 2000; Fayer dan Xiao,
2007). Penelitian kasus dengan menggunakan metode molekuler dalam kasus fatal yang
melibatkan anjing terrier yorkshire berusia 8 minggu dari Georgia dan kasus nonfatal yang
melibatkan bullmastiff berusia 9 minggu dari Australia melaporkan bahwa ditemukan infeksi
organisme C. canis (Miller dkk., 2003; Denholm dkk., 2001).
6. Diagnosa
Diagnosa pemeriksaan dapat mendeteksi ookista parasit, antigen ookista, atau DNA
ookista dalam sampel feses. Diagnosis dengan mikroskopis dilakukan untuk mengidentifikasi
ada tidaknya keberadaan ookista dari feses yang terinfeksi. Namun karena deteksi ookista
cryptosporidium cukup sulit, maka perlu dilakukan pemeriksaan berulang di hari yang berbeda.
Bentuk ookista sangat kecil juga memerlukan tes lanjutan seperti polymerase chain reaction
(PCR) untuk membedakan tipe molekuler cryptosporodium. Selain itu, untuk mendeteksi ookista
dalam feses, sampel harus dipekatkan menggunakan metode sedimentasi formalin-eter sebelum
pemeriksaan mikroskopis (Nichol dkk., 2003).

Pemeriksaan Laboratorium Cryptosporodium (Elisabetta dkk., 2019)


Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan secara konvensional menggunakan metode
apung dengan perbesaran 1000 kali dan juga identifikasi mikroskopis ookista dalam feses dengan
smear. Metode ini meskipun mudah digunakan dan biaya murah namun memiliki sensitivitas
yang rendah (≤ 30%). Terutama keakuratan diagnosis menggunakan teknik ini adalah juga
tergantung pada pengalaman mikroskopis. Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan uji
tahan asam yang dimodifikasi dengan pewarnaan fenol-auramine (modifikasi metode Ziehl-
Neelsen), pewarnaan umumnya dilakukan jika ada struktur yang mencurigakan untuk
cryptosporidium. Ookista pada penampakannya akan berwarna merah dan kuning cerah. Tetapi
pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti dengan pewarnaan ini karena ookista mungkin juga
muncul sebagai sel "hantu". Selain itu, ookista cryptosporidium yang berbentuk bulat dengan
dengan empat sporoozit di dalamnya ini berukuran sangat kecil (diameter sekitar 4-6
mikrometer), pemeriksaan juga tetap harus dilakukan dengan seksama untuk mengevaluasi
infeksi mikroorganisme yang juga autofluoresen dan tahan asam. Uji ini dilaporkan dengan
tingkat sensitivitas 55%. Metode ini tidak dapat membedakan antara spesies cryptosporidium
(Fayer dan Xiao, 2007; Sinambela, 2008).

2
Gambaran Mikroskopis Ookista Cryptosporidium spp.
Keterangan :
1. Metode apung; pembesaran 1000 kali; ukuran 2-6 μm; tanda panah (Mufa dkk., 2020)
2. A, B, C dengan mikroskop cahaya; D dengan mikroskop kontras (Amanda dkk., 2021)

Ookista Cryptosporidium spp. dengan Modified Ziehl–Neelsen; pembesaran 1000 kali;


ukuran 5-8 µm; C tanda panah (Ukamaka dkk., 2019)
Ellis dan rekannya (2010) melakukan penelitian dengan pemeriksaan dengan
imunohistokimia. Histologi kelenjar lambung ditemukan organisme basofilik bulat berukuran 2
sampai 4 mikrometer (mm). Banyak bakteri berbentuk pembuka botol dengan panjang 4 sampai
10 mm dengan Helicobacter spp. Bakteri juga ditemukan di sepanjang permukaan mukosa, di
dalam kelenjar lambung, namun lebih jarang di dalam sitoplasma sel parietal. Beberapa limfosit,
sel plasma, dan eosinofil yang seharusnya jarang ditemukan telah berada di lamina propria di
antara kelenjar. Imunohistokimia untuk cryptosporidium spp dilakukan deparafinisasi dengan
parafin formalin. Sistem ini menggunakan pelabelan peroksidase dengan diaminobenzidin
sebagai kromagen. Antibodi utama adalah monoklonal tikus anti-cryptosporidium spp dari
VMRD Inc. (Pullman, WA) dan digunakan pada pengenceran 1:100. Imunohistokimia untuk
cryptosporidium spp menunjukkan hasil positif.

Gambar 1. Fotomikrograf kelenjar lambung.


Gambar 2 Fotomikrograf kelenjar lambung yang ditemukan sedikit limfosit dan sel
plasma di lamina propria serta ada hiperplasia epitel (hilangnya polaritas inti dengan
derajat ringan, multifokal, anisokaryosis, dan mitosis).
Gambar 3. Imunohistokimia Anti-Cryptosporidium (pewarnaan positif dari protozoa
dalam kelenjar lambung).
(Ellis dkk., 2010)
Selain metode mikroskopis, cryptosporodium dapat diperiksa dengan diagnosis
laboratorium. Menggunakan teknik seperti enzim linked immunosorbent assay (ELISA) dan
immunochromatographic tes dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mendeteksi
antigen cryptosporidium. Meskipun kit komersial memiliki berbagai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi daripada metode mikroskopis (berkisar dari 58 hingga 95%), penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa metode deteksi berbasis antigen/antibody ini juga tidak
efektif jika beban parasit ini pada pasien di bawah ambang minimum. Metode lain yang dengan
biaya lebih mahal adalah polymerase chain reaction (PCR), yang sekarang diterima di sebagian
besar laboratorium sebagai standar emas untuk deteksi parasit ini dalam feses (Elisabetta dkk.,
2019).
Polymerase chain reaction dapat mengidentifikasi mikroorganisme secara detail hingga
tingkat spesies bahkan strain yang tidak dapat dilakukan menggunakan sistem konvensional
dengan pemeriksaan mikroskopis (Yusuf, 2010). Penggunaan PCR untuk mendeteksi spesies
harus memperhatikan beberapa hal, terutama primer yang digunakan (Loeffelholz dan Deng,
2006). Salah satu gen target yang dapat digunakan untuk mendeteksi cryptosporidium spp.
adalah gen 18S SSU rRNA. Gen tersebut memiliki laju evolusi yang lambat sehingga tepat
digunakan untuk menganalisis divergensi. Gen 18S SSU rRNA sering digunakan dalam studi
filogenetik dan menjadi penanda penting dalam penentuan spesies (Meyer dkk., 2010).

Visualisasi Polymerase Chain Reaction dengan elektroforesis; A) M: Marker DNA; 1-7:


Sampel, B) M: Marker DNA; 8-10: Sampel; N: Kontrol Negatif (Mufa dkk., 2020)
7. Pengobatan
Cryptosporidiosis pada manusia bersifat selflimited pada penderita imunokompeten
sehingga dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan (Juranek, 2006; Bouzid dkk., 2013).
Pengobatan suportif seperti penggantian cairan dan obat spasmolitik) dapat dilakukan.
Paromomycin dan nitazoxanide (NTZ) adalah senyawa yang telah menunjukkan beberapa
kemanjuran pengobatan pada hewan dan juga telah digunakan untuk mengobati cryptosporidiosis
pada kucing. Pengobatan dengan paromomycin (165 mg/kg PO bid selama 5 hari) menghasilkan
resolusi diare dan hilangnya ookista dari feses kucing berusia 6 bulan dengan diare persisten.
Paromomycin berpotensi nefrotoksik dan gagal ginjal akut dilaporkan pada empat kucing yang
menerima paromomycin untuk cryptosporidiosis atau trichomoniasis. Pengobatan menggunakan
NTZ (25 mg/kg PO bid selama 28 hari) menghilangkan ookista cryptosporidium dari kotoran
kucing laboratorium yang terinfeksi secara alami. Penggunaan NTZ dikaitkan dengan muntah
dan adanya diare berwarna coklat-hitam serta berbau busuk saat merawat kucing-kucing ini.
Klorpromazin (0,5 hingga 1,5 mg SC sekali sehari) diberikan untuk mengurangi muntah pada
kucing yang diobati dengan NTZ (Barr dkk., 1994; Gookin dkk., 1999; Gookin dkk., 2001).
Pengobatan kucing berusia 18 bulan dengan penyakit radang usus dan infeksi cryptosporidium
juga berhasil menggunakan rangkaian klindamisin (25 mg/kg/hari [tiga -perempat dari total dosis
diberikan pada pagi hari dan seperempat dari total dosis pada malam hari] PO selama 60 hari)
dan kemudian tylosin (11 mg/kg PO bid dengan makanan selama 28 hari) (Tzipori dan Ward,
2002). Interpretasi dari hasil ini adalah terhalang karena adanya Clostridium perfringens di
saluran usus kucing. Klindamisin yang diberikan pada 15 mg/kg PO q8h selama 6 hari tidak
menghilangkan ookista cryptosporidium dari pasien berusia 5 tahun (Greene dan Jacobs, 1990).
8. Pencegahan
Ookista cryptosporidium sangat persisten di lingkungan dan langsung menular sehingga
tindakan kebersihan yang ketat harus dilakukan untuk menghindari penyebaran infeksi. Risiko
tertular infeksi dapat dikurangi dengan langkah-langkah kebersihan termasuk pembuangan
kotoran setiap hari dari kandang dan pembersihan menyeluruh dan disinfeksi area serasah di unit
penangkaran. Panas (pembersihan uap) dan desinfeksi kimia menggunakan kresol diperlukan
untuk menonaktifkan ookista. Lantai dan dinding kandang asrama, tempat perlindungan hewan,
unit pembiakan yang lebih besar, dan lain sebagainya harus diperhatikan lebih lanjut. Permukaan
harus dibiarkan kering sepenuhnya karena ini juga mengurangi kelangsungan hidup ookista di
lingkungan. Personal hygiene dari animal handler sangat penting untuk menghindari penyebaran
ookista melalui bahan feses.
Daftar Pustaka
Alves M E M, Martins FDC, Bra¨unig P, Pivoto FL, Sangioni LA, Vogel FSF. 2018. Molecular
detection of Cryptosporidium spp. and the occurrence of intestinal parasites in fecal
samples of naturally infected dogs and cats. Parasitol. Res; 117:3033–3038.
https://doi.org/10.1007/s00436-018-5986-4 PMID: 29959518
Amanda GLO, Adriana PS, Teresa CBB, Helena LCS. 2021. Molecular characterization of
Cryptosporidium spp. in dogs and cats in the city of Rio de Janeiro, Brazil, reveals
potentially zoonotic species and genotype. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0255087
Arai H, Fukuda Y, Hara T, et al. 1990. Prevalence of Cryptosporidium infection among domestic
cats in the Tokyo Metropolitan District, Japan. Jpn J Med Sci Biol 43:7–14
Arrowood, MJ. 2002. In vitro cultivation of Cryptosporidium species. Clin Microbiol Rev;
15(3):390–400
Barr SC, Jamrosz GF, Hornbuckle WE, dkk. 1994. Use of paromomycin for treatment of
cryptosporidiosis in a cat. Am Vet Med Assoc 205:1742–1743
Bouzid M, Hunter PR, Chalmers RM, Tyler KM. 2013. Cryptosporidium pathogenicity and
virulence. Clin Microbiol Rev;26(1):115–34
Certad G, Viscogliosi E, Chabe´ M, Cacciò SM. 2017. Pathogenic mechanisms of
Cryptosporidium and Giardia. Trends Parasitol; 33:561–576
https://doi.org/10.1016/j.pt.2017.02.006 PMID: 28336217
Denholm KM, Haitjema H, Gwynne BJ, et al. 2001. Concurrent Cryptosporidium and parvovirus
infections in a puppy. Aust Vet J 79:98–101
Dubey JP, Speer CA, Fayer R. 1990. Cryptosporidiosis of Man and Animals. Boca Raton, FL,
CRC Press
Elisabetta G, Vincenzo DMLP, Carmelo B. 2019. Cryptosporidium Infection: Epidemiology,
Pathogenesis, and Differential Diagnosis. European Journal of Microbiology and
Immunology. DOI: 10.1556/1886.2019.00019
Ellis AE, Brown CA, Miller DL. 2010. DIAGNOSTIC EXERCISE: Chronic Vomiting in a Dog.
Veterinary Pathology 47(5) 991-993
ESCCAP . 2018. Control of Intestinal Protozoa in Dogs and Cat. ESCCAP Guideline 06 Second
Edition–February. ISBN: 978-1-907259-53-1
Fayer R, Morgan U, Upton SJ. 2000. Epidemiology of Cryptosporidium: transmission, detection
and identification. Int J Parasitol;30(12– 13):1305–22
Fayer R, Xiao L. 2007. Cryptosporidium and Cryptosporidiosis. 2nd ed. France. CRC Press.
Hlm. 1-42.
Gookin JL, Levy MG, Law JM, et al. 2001. Experimental infection of cats with Tritrichomonas
foetus. Am J Vet Res 62:1690–1697
Greene CE, Jacobs GJ. 1990. Prickett D: Intestinal malabsorption and cryptosporidiosis in an
adult dog. JAVMA 197:365–367
Juranek DD. 2006. Cryptosporidiosis. In Strickland GT: Hunter’s Tropical Medicine and
Emerging Infectious Disease. 8th ed. Philadelphia. WB Saunders Company. Hlm. 595-600.
Khalil IA, Troeger C, Rao PC, Blacker BF, Brown A, Brewer TG, et al. 2018. Morbidity,
mortality, and long-term consequences associated with diarrhoea from Cryptosporidium
infection in children younger than 5 years: a metaanalyses study. Lancet Glob
Health;6(7):e758-68
Lindsay DS, Zajac AM. 2004. Cryptosporidium Infections in Cats and Dogs. Virginia-Maryland
Regional College of Veterinary Medicine Article 3
Meyer A, Todt C, Mikkelsen NT, Lieb B. 2010. Fast Evolving 18S rRNA Sequences from
Solenogastres (Mollusca) Resist Standard PCR Amplification and Give New Insights into
Mollusk Substitution Rate Heterogeneity. BMC Evol Biol 10: 70-75.
Muller, APB. 2000. Detecção de oocistos de Cryptosporidium spp em águas de abastecimento
superficiais e tratadas da região metropolitana do estado de São Paulo. São Paulo:
Universidade de São Paulo
Miller DL, Liggett A, Radi ZA, Branch LO. 2003. Gastrointestinal cryptosporidiosis in a puppy.
Vet Parasitol 115:199–204
Mtambo MM, Nash AS, Blewett DA, et al. 1991. Cryptosporidium infection in cats: Prevalence
of infection in domestic and feral cats in the Glasgow area. Vet Rec 129:502–504
Mufa RMD, Nunuk DRL, Fedik AR, Lucia TS, Endang S, Didik H, Mufasirin. 2020. Deteksi
Cryptosporidium canis pada Anjing di Kota Surabaya. Jurnal Veteriner Juni 21 (2) : 176-
182 pISSN: 1411-8327; eISSN: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2020.21.2.17
Nichol RAB, Campbell BM, Smith HV. 2003. Identification of Cryptosporidium spp. Oocyts in
United Kingdom Noncarbonated Natural Mineral Waters and Drinking Waters by Using a
Modified Nested PCRRestriction Fragment Length Polymorphism Assay. Appl Environ
Microbiol 69(7): 4183-418
Okhuysen PC, Chappell CL, Crabb JH, et al. 1999. Virulence of three distinct Cryptosporidium
parvum isolates for healthy adults. J Infect Dis 180:1275–1281
Robertson ID, Irwin PJ, Lymbery AJ, Thompson RCA. 2000. The role of companion animals in
the emergence of parasitic zoonoses. Int. J Parasitol ; 30:1369–1377
https://doi.org/10.1016/s0020-7519(00) 00134-x PMID: 11113262
Sinambela AH. 2008. Cryptosporidiosis. USU e-Repository 1-18. http://repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/3470/1/ Adelina1.pdf
Sotiriadou I, Pantchev N, Gassmann D, Karanis P. 2013. Molecular identification of Giardia and
Cryptosporidium from dogs and cats. Parasite; 20:1–7
https://doi.org/10.1051/parasite/2012001 PMID: 23340227
Turnwald GH, Barta O, Taylor HW, et al. 1988. Cryptosporidiosis associated with
immunosuppression attributable to distemper in a pup. JAVMA 192:79–81
Tzipori S, Ward H. 2002. Cryptosporidiosis: Biology, pathogenesis and disease. Microbes Infect
4:1047–1058
Ukamaka UE, Ikenna OE, Terry AN, Samuel CA, Ekene VE, Denchris NO. 2019. Prevalence
and risk factors associated with Cryptosporidium spp. infection in local breed of dogs in
Enugu State, Nigeria. Veterinary World, EISSN: 2231-0916
Yoshiuchi R, Matsubayashi M, Kimata I, Furuy M, Tani H, Sasai K. 2010. Survey and molecular
characterization of Cryptosporidium and Giardia spp. in owned companion animal, dogs
and cats, in Japan. Vet. Parasitol; 174:313–316
https://doi.org/10.1016/j.vetpar.2010.09.004 PMID: 20934255
Yusuf ZK. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Saintek 5(6): 1-6
www.wormsandgermsblog.com. September 4, 2008. Diakses 06 April 2022.

Anda mungkin juga menyukai