Anda di halaman 1dari 79

Traktat Trinitas

Alfonsus Very Ara


“Hendaknya Kamu Kaya Dalam Pelayanan Kasih”

(II Kor 8,7)

********************************************

Bab I

Tema dan Orientasi


Teologi Trinitas

1. Pengertian dan Cakupan Teologi Trinitas dalam Dogma Gereja

Tema Teologi Allah Tritunggal berakar pada:

Wahyu Allah dan Pengkomunikasian Misi Keselamatan-Nya

dalam Sejarah Manusia

(Trinitas Economia)

Misi Keselamatan Allah merupakan karya nyata dari Allah Yang Tunggal, yaitu:

Bapa, Putera dan Roh Kudus

(Trinitas Imanen)

*************************
Allah yang Tunggal dan Tritunggal (Trinitas) adalah Inti dan Obyek Iman Kristiani

****************

Secara intrinsik, struktur iman trinitarian yang dirangkum dalam Credo dan
tindakan iman Gereja dirumuskan berdasarkan hakikat Allah Trinitas itu sendiri:

1) Pewahyuan diri Allah


2) Relasi Filial antara Sang Putera, Yesus dari Nazaret dengan Bapa (Rom
8,15.29)
3) Pengutusan daya-rahmat Roh Kudus ke jantung kehidupan umat manusia (Rom
5,5)
4) Struktur ini serentak menjadi dasar keberadaan dan kesatuan kaum Kristiani
dalam Tubuh Gereja, yaitu Gereja yang lahir dari partisipasi dan relasi
timbal-baik antara Bapa, Putera dan Roh Kudus”.

1
1. Secara tematis dan struktural, Teologi Kristiani dinilai kontradiktif (tidak sejalan,
berbeda antara satu dengan yang lainnya) dengan iman kepada Allah Tritunggal.

2. Problem ini menjadi alasan fundamental bagi Gereja untuk menegaskan sentralitas-inti
dari doktrin mengenai Allah Tritunggal dalam struktur Teologi Domatik.

1) Diakui bahwa pengetahuan tentang realitas hidup Allah Tritunggal tidak diperoleh
dan tidak terbentuk dari doktrin spekulatif-filosofis tentang Allah, tetapi lahir dari
pendengaran dan tanggapan manusia beriman atas Wahyu Allah dalam realitas
historis-keselamatan.

2) Dalam inti doktrin tentang Allah Tritunggal disingkapkan pewahyuan diri Allah
sebagai Bapa, pewahyuan Putera dalam Kristologi dan pengutusan Roh Kudus
dalam pneumatologi.

3) Inti iman ini dipegang-teguh sebagai “rangkuman tertinggi dan termulia dari
Wahyu Allah sehingga ditempatkan sebagai “pusat” dan “jantung ajaran dogmatis
Gereja”.

4) Sentralitas iman Gereja terhadap Wahyu Allah membuka peluang bagi kehidupan
individual dan kehidupan komunitarian kaum Kristiani untuk mengarahkan seluruh
diri kepada kepenuhan akhir, yaitu persekutuan mesrah dengan Allah Tritunggal:
Bapa, Putera dan Roh Kudus.

5) Struktur doktrin Allah Tritunggal serentak merangkul disiplin ilmu teologi, seperti
Mariologi, Eskatologi, Eklesiologi, doktrin tentang Sakramen dan doktrin tentang
Rahmat.

3. Aneka Sumber Pembanding

1) Teologi Scolastik dan Neo-Scolastik


a. Oleh karena eksistensi Allah Tritunggal tidak hanya menyentuh dimensi intern
dari iman dan kehidupan iman kaum Kristiani kepada Allah, maka pewahyuan
tentang inti hakikat “Allah yang Tunggal dan Tritunggal” harus dihubungkan
dengan Teologi Skolastik dan neo-Skolastika. Teologi ini berciri sistematik dan
ilmiah: Wahyu Allah tidak hanya diterima dengan iman, tetapi harus diuji
kebenarannya. Pola lama Wahyu-Iman diganti dengan Wahyu-Kebenaran.
b. Tuntutan ini merupakan sebuah keharusan mengingat wawasan fundamental
Teologi Skolastik dan neo-Skolastik diolah dari ketidakpuasan para teolog yang
hidup di Abad Pertengahan atas “pemisahan doktrin umum” dari “doktrin
khusus tentang Allah” sebagaimana ditemukan dalam dogma kaum Evangelis
dan Protestan.

2) Teologi Allah Tritunggal - Paham Deistik, Agama Natural, Yahudi dan Islam
a. Pewahyuan Natural: Deistik, Agama Natural

2
Berpegang pada pemahaman Deistik dan Agama Natural tentang “allah”,
maka sangat diharapkan agar kursus tentang “Ketunggalan Allah Trinitas”
mampu mentransformasikan doktrin filosofis umum tentang Allah.

a) Dalam agama-agama natural, eksistensi umum tentang Allah dan


keabsolutan-Nya (tampaknya) berasal pada struktur umum nalar
manusia.
b) Allah dirumuskan sebagai sebuah “personalitas yang bersubstansi
metafisik, transenden dan berada di luar dunia”.
c) Untuk mengenal dan memahami personalitas Allah tersebut, maka para
penganut agama natural memberikan pelbagai bentuk atribut kepada-Nya
(berbeda antara agama yang satu dengan yang lainnya) sehingga bisa
dibedakan dengan ciptaan.

b. Pewahyuan Supranatural

a) Dalam pewahyuan supranatural, konsep Allah tidak terbentuk oleh


elaborasi nalar manusia, tetapi dari Wahyu Allah sendiri.
b) Allah berinisiatif menyingkapkan misterisitas diri-Nya sebagai Allah
yang Tunggal dan Trinitas.
c) Hakikat Allah Trinitas berakar pada pewahyuan supranatural yang lahir
dari inisiatif dan pergerakkan cinta Allah untuk menyingkapkan diri-Nya
serta misi-Nya demi keselamatan dunia.
d) Hakikat Allah Trinitas sangat bertentangan dengan gagasan Allah yang
lahir dan terbentuk dari hasil elaborasi nalar manusia tentang Allah
sebagaimana nyata dalam agama-agama natural.

c. Sasaran

a) Berangkat dari perbedaan konsep tentang Allah ini, maka Teologi Allah
Tritunggal berusaha menjelaskan dan menerangi semua pemahaman
spekulatif tentang Allah dalam agama-agama natural dengan
Ketunggalan Allah Trinitas dalam Wahyu Kristiani.
b) Tuntutan ini mendesak Gereja untuk senantiasa mengakarkan
permenungan teologisnya pada obyek tunggal, yaitu Allah Tritunggal
yang menyingkapkan diri-Nya dalam realitas historis-keselamatan.
c) Problem teologis akan merajam tubuh Gereja dan inti imannya apabila
Teologi Allah Trinitas kehilangan kontaknya dengan pewahyuan historis
Allah demi keselamatan dunia.

4. Inti Permenungan Teologi Allah Tritunggal

1) Walaupun sumber teologi beraneka-rupa, setiap inti permenungan teologis yang


khas dan adekuat bagi kaum Kristiani harus berakar pada Wahyu Allah Tritunggal
dalam realitas historis-keselamatan:

3
a. “Doktrin Ketunggalan Allah Tritunggal lahir dari realitas Allah yang
mewahyukan diri-Nya sebagai Pencipta, Penebus, Pembaharu dan Pembawa
rekonsisliasi bagi semua manusia.
b. Puncak pewahyuan itu nyata dalam diri Sang Sabda Kekal yang menjadi
Manusia dalam diri Yesus dari Nazaret.

a) Allah yang mewahyukan diri adalah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.
b) Penyataan diri Allah sebagai Bapa, Tuhan kita Yesus Kristus serentak
menyingkapkan kesatuan hakikat dan relasi antara Bapa dan Putera:

o Relasi intim antara Allah Bapa dengan Sang Sabda Kekal dan Roh
Kudus-Nya dinyatakan melalui pewahyuan historis dalam wujud
kemanusiaan Yesus.
o “Sabda Kekal Allah menjadi manusia dalam diri Yesus”.

c) Dalam relasi intim-Nya dengan Yesus Kristus, Allah mewahyukan diri-


Nya sebagai Bapa.

o Penyataan diri Allah ini disingkapkan di awal kehidupan publik


Yesus, yaitu dalam baptisan, transfigurasi di salib dan kebangkitan,
serta peristiwa kenaikkan dan pengutusan Roh Kudus.
o Melalui peristiwa tersebut, Allah mewahyukan hakikat Diri-Nya:
Bapa, Putera dan Roh Kudus, yaitu Allah yang Tunggal, satu dalam
hakikat dan Trinitarian (kesatuan tiga pribadi Ilahi).

2) Kesimpulan

a. Allah yang Tunggal dan Trinitas bukanlah sebuah pemahaman spekulatif,


konseptual dan abstrak.
b. Iman akan Allah yang Tunggal dan Trinitas merupakan buah pengenalan-
refleksif atas pewahyuan historis Allah dalam diri Yesus dari Nazaret, dalam
Sabda dan hakikat-Nya melalui peristiwa inkarnasi dan pengutusan
eskatologis Roh Kudus.

2. Problem Sistematis dalam Teologi Allah Tritunggal

1. Teologi Allah Tritunggal bukanlah sebuah refleksi sederhana tentang identitas Allah
sebagai “Ada yang Absolut” atau sebuah spekulasi abstrak tentang hakikat Allah.
2. Formulasi linguistik yang terumus dalam kesaksian Biblis dan dogma Allah Tritunggal
mengacu pada obyek iman yang otentik, yaitu “pengalaman historis-konkret atas
pewahyuan Allah Tritunggal”.

1) Secara substansial dan temporal, muatan pengalaman historis-konkret ini


mendahului konsep iman.

4
2) Keyakinan ini patut digarisbawahi sebab manusia tidak mampu menyingkapkan
misterisitas Allah dan menuliskan (terlebih dahulu) realitas-Nya, terutama kondisi
obyektif tentang Wahyu Allah dalam realitas historis-keselamatan dengan
mempergunakan konsep dan kategori yang lahir dari potensi nalar manusiawi yang
terbatas.

3. Problem hakiki:

1) Problem hakiki dalam merumuskan doktrin Allah Tritunggal tidaklah berakar pada
usaha manusia Kristiani untuk menemukan “titik keseimbangan teoritis” antara
“konsep filosofis tentang Allah dalam keyakinan monoteisme” dengan
“pengalaman pluralistik tentang Allah dalam agama-agama yang memanifestasikan
dirinya dalam aneka personal <<allah>>.

2) Problem dogmatis perumusan konsep Allah Tritunggal berakar pada keyakinan


iman bahwa:

a. Allah tidak menjumpai manusia karena bermotifkan kausalitas manusia dan


garansi hukum moral.
b. Allah menjumpai manusia karena lahir dari inisiatif bebas dan personal Allah
untuk mengomunikasikan diri-Nya; mewahyukan diri-Nya sebagai Bapa, Putera
dan Roh Kudus serta memanggil semua manusia ciptaan-Nya untuk memasuki
persekutuan dengan-Nya, yaitu persekutuan cinta.

4. Originalitas (keaslian) Doktrin Trinitas Kristiani

1. Iman kepada Allah Tritunggal tidak ditakar berdasarkan derajat dan aksidennya, tetapi
merujuk pada hakikat (esensi, substansi) dan radikalitasnya apabila diteropong dari
mitologi politeistik, spekulasi kosmik, matematik dan filosofi umum tentang Allah
sebagai Hukum Supranatural di dunia.

2. Landasan historis-keselamatan (bukan spekulasi iman) Kristiani tentang Allah Trinitas


menegaskan bahwa:

1) Inti iman akan Allah Trinitas bukanlah penyatuan komposisi eksternal dari
pelbagai elemen yang heterogen, seperti kesatuan, ketunggalan dengan keanekaan
(kesatuan menjadi inti keyakinan monoteisme; keanekaan membentuk keyakinan
politeisme).
2) Iman Kristiani akan Allah Trinitas tidak terpisahkan dari dunia visual yang diimani
sebagai media singkapan real menenai Kesatuan dan Ketunggalan Allah
sebagaimana nyata dalam kesaksian iman Perjanjian Lama (Ul. 6,4).
3) Iman akan Allah Trinitas lahir dari tuntutan radikal Allah sendiri, yaitu Dia yang
mewahyukan diri-Nya dalam realitas tersebut sebagai Bapa, Putera dan Roh
Kudus: “Bapa, Putera dan Roh Kudus bukanlah pribadi-pribadi yang berbeda dan

5
terpisah dari hakikat Ilahi”, melainkan Allah yang Tunggal dan Esa dalam hakikat-
Nya.

3. Dasar yang mempersatukan kaum Yahudi dan Kristiani adalah iman akan kesatuan dan
ketunggalan Jahwe:

1) Bagi kaum Kristiani, Yahwe dikenal sebagai Bapa, salah satu sosok dari pribadi
Ilahi.
2) Perbedaan mendasar antara iman Yahudi dan iman Kristiani ditemukan dalam inti
pengakuan iman Kristiani bahwa puncak pewahyuan hakikat Allah itu terpenuhi
dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus dan dalam kekuatan Roh Kudus.
3) Wujud pewahyuan hakikat Allah ini tidak mengindikasikan banyak Allah,
melainkan menyingkapkan aktualisasi relasional hakikat Allah yang Tunggal, Esa
dan Trinitas.

4. Dalam lingkup historis dan sistematis diakui bahwa:

1) Ada peluang untuk menemukan titik kesamaan antara inti iman Kristiani kepada
Allah Tritunggal dengan paham “allah” dalam agama-agama natural-mistik.
2) Titik kesamaan/paralel itu disimpulkan dari hasil penelitian historis tentang “allah”
dalam agama-agama: Ditegaskan bahwa “paham ‘allah’ dalam agama-agama
natural-mistik merupakan buah permenungan atas wujud persekutuan Allah
Tritunggal dalam dogma Trinitas Kristiani”.
3) Patut diafirmasi bahwa paralelisme komposisi “triadik allah” dalam agama-agama
natural-mistik dengan komposisi “Triadik Allah Trinitas Kristiani” tidak bisa
diterima, sebab komposisi “allah triadik” dalam agama-agama natural-mistik tidak
berbeda dengan bingkai “allah politheistik”.
4) Penolakkan atas paralelisme ini juga didasarkan pada satu keyakinan hakiki
bahwa, “Teologi Kristiani tentang Allah Trinitas tidak bisa disamakan dengan
triadik kosmik, seperti surga, tanah, air, atau matahari, bulan dan bintang atau
dengan triadik (tiga-satu) Hinduisme: Brahma, Wisnu dan Siwa; triadik strata
natural politik: Anum, Re dan Ptah; allah firaum di Mesir; triadik manusia: laki-
laki, perempuan, anak-anak, dll.

5. Perumusan gagasan teologis mengenai Allah Trinitas berinspirasikan pada forma


kosmologi-filosofis Platonisme dan Aristotelisme tatkala berbicara tentang “tiga dasar
yang menjadi hakikat penentu melalui relasi berelasi timbal-balik” (seperti entitas,
esensi dan kekuatan).

1) Gagasan Plato tentang “Satu” (Uno) tidak bisa dijelaskan tanpa adanya “relasi”.
2) Gagasan tersebut hanya bisa dipahami apabila berelasi dan berkontak dengan dunia
melalui penjelasan tentang hypostasis dari <<nous>> dan <<psiche>>.
3) Gagasan ini ditempatkan dan dirumuskan dengan formulasi yang berbeda dalam
Teologi Trinitas.
4) Persoalan yang harus dijelaskan secara rasional adalah:
a. Hubungan antara kesatuan dengan keanekaan.

6
b. Hubungan itu tidak akan terjadi dalam pewahyuan diri Allah melalui realitas
historis-keselamatan dan relasi intim antara Bapa, Putera dan Roh Kudus dalam
ketunggalan dan kesehakikatan kodrat Allah.

6. Karena Bapa, Putera dan Roh Kudus mengindikasikan Kesatuan dalam Ketunggalan
realitas personal Allah, maka:

1) Doktrin Allah Tritunggal tidak menyimbukan diri pada spekulasi seputar


subordinasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus.
2) Perihal subordinasi (tingkatan, penomoran) merupakan dasar untuk menakar,
namun bukan realitas pribadi.
3) Untuk itu, patut ditegaskan bahwa dokrin Trinitas tidak bersinggungan apapun
dengan persoalan matematis dan mentalitas logika-matematik.

5. Trinitas dalam Credo dan Liturgi

1. Simbol Iman-Rumusan Baptisan:

1) Dalam Perjanjian Baru, terutama dalam “Simbol Iman” dan “Rumusan Baptisan”
dibicarakan perihal dasar “Kesatuan dan Ketunggalan Bapa, Putera dan Roh
Kudus”.
2) Simbol Iman dan Rumusan Baptisan ini memicu perdebatan seputar kesatuan
hakikat dan perbedaan ketiga pribadi Ilahi dalam Allah Tritunggal.

2. Credo: Penegasan Dogmatis tentang Teologi Trinitas

1) Iman kepada Allah Trinitas adalah iman kepada sebuah Misteri Absolut tentang
Allah yang mewahyukan diri-Nya dalam realitas historis-keselamatan.

a. Inti iman ini tidak dirumuskan sebelum pewahyuan dan tidak bisa direduksikan
ke dalam level pengenalan natural dengan mengandalkan potensi nalar manusia.
b. Dalam cinta, Allah yang mewahyukan diri-Nya serta menganugerahkan dan
memberdayakan potensi nalar manusia untuk mengenal relasi dan kesatuan
misteri cinta, yaitu Allah sendiri.

2) Gereja percaya kepada Allah yang Tunggal dan Tiga Pribadi (hypostasis,
substansi): Bapa, Putera dan Roh Kudus.

a. Ketiga Pribadi Ilahi ini satu dalam hakekat Ilahi, kekal dan Mahakuasa.
b. Secara real, Bapa, Putera dan Roh Kudus saling berada, saling meresapi, saling
menemukan diri dalam “ada” mereka masing-masing dan tidak terbedakan
antara satu dengan yang lainnya.
c. Di antara ketiga pribadi Ilahi terjalin relasi:

a) Bapa adalah dasar dan asal hakikat (esensi) Ilahi.

7
b) Putera berasal dari hakikat Bapa melalui “kelahiran” (di luar waktu) dan
berada bersama Bapa, Satu/Esa dalam ke-Allah-an-Nya.
c) Roh Kudus tidak diturunkan; Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera.

3) Dalam Kesatuan dan Ketunggalan Allah terjalin relasi yang real di antara ketiga
pribadi Ilahi yang berbeda di antara mereka. Oleh karena relasi timbal-balik di
antara Pribadi-pribadi Ilahi itu terjalin dalam hakikat Allah yang satu dan sama,
maka perbedaan di antara Pribadi-pribadi Ilahi hanya berada dalam tataran virtual.

4) Secara real, Pribadi-pribadi Ilahi tidak terbedakan dalam hakikat-Nya; Pribadi-


pribadi Ilahi membentuk Ketunggalan Allah Trinitas: Di dalam Allah hanya ada
satu hakikat dan ada oposisi dalam relasi.
5) Pribadi-pribadi Ilahi tidak bisa dibagi.

a. Allah Trinitas adalah Allah yang Tunggal dan benar.


b. Masing-masing Pribadi Ilahi saling berada dan menemukan diri, satu di dalam
yang lain.

6) Pribadi-pribadi Ilahi tidak terpisahkan satu dari yang lainnya dalam “Ada” atau
“hakekat” dan “dalam tindakan”, bergerak menuju kekekalan. Dalam ciptaan,
keselamatan dan kepenuhan final merupakan karya Bapa, Putera dan Roh Kudus
sebagai Asal atau Prinsip Tunggal. Namun, itu tidak berarti bahwa dalam kesatuan
karya dan tindakan mereka tidak tersingkap perbedaan fungsi di antara mereka
(dalam pewahyuan historis).

8
Bab II

Aneka Bentuk Kritik


Dan
Penolakan
1. Pengantar

1. Pengenalan/pengetahuan yang otentik tentang hakekat Allah Tritunggal hanya


mungkin melalui peristiwa kehidupan Yesus.

1) Hanya di dalam dan melalui peristiwa kehidupan-Nya (kata, sabda, karya dan
totalitas kehidupan-Nya), keilahian dan kemanusiaan serta kesatuan Allah
Tritunggal diwujudkan secara sempurna.
2) Dia adalah Logos Kekal Allah yang menjelma.
3) Hanya di dalam peristiwa hidup-Nya, terutama melalui peristiwa inkarnasi dan
pengutusan eskatologis Roh Kudus ditemukan landasan iman kepada Allah
Trinitas.
4) Apabila tidak dilandaskan pada realitas historis-keselamatan dalam peristiwa hidup
Yesus, maka Teologi Trinitas hanya bergerak dalam tataran intelektual dan
spekulasi manusia semata akan realitas Absolut.

2. Terhadap sistem spekulatif kaum heretik yang menolak iman kepada Allah Tritunggal
patut ditegaskan bahwa:

1) Mereka mengeliminasikan perbedaan di antara ketiga Pribadi Ilahi.


2) Mereka mereduksikannya ke dalam modalisme.
3) Mereka memberikan solusi yang salah tentang kesatuan hakikat Allah Tritunggal
sehingga inti iman ini terarah pada pengakuan akan adanya “tiga allah”.

2. Aliran-aliran Heretik

2.1. Dualisme dan Platonisme Gnostik

1. Gnostisisme (Yunani, gnosis: pengetahuan) adalah:

9
1) Sebuah sistem (aliran) kepercayaan yang berkeyakinan bahwa keselamatan
tergantung seutuhnya pada pengetahuan khusus (pencerahan batin) tentang Allah.

a. Pengetahuan tersebut akan membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan


kejahatan.
b. “Ketidaktahuan dan kejahatan merupakan ciri hakiki dari tata ciptaan”.

2) Ciri umum sistem gnostisisme adalah:

a. Menggantikan agama kristen dengan kerangkah pemikiran filosofis


b. Konsekuensinya:

a) Terbentuk sebuah “agama filsafat murni”, baik konsep tentang agama


sebagai misteri iman maupun inti iman yang dinyatakan.
b) Misteri iman, isi dan intinya hanya diakui keotentikannya apabila bisa
dijelaskan dan dipertanggungjawabkan dengan akal sehat.

3) Unsur dasariah gnostisisme adalah:

a. Dualisme, yaitu: “Pertentangan antara Kerajaan Terang yang berasal dari Allah
dan kerajaan gelap yang berasal dari materi”.
b. Muatan umum pemikiran gnostik adalah sebagai berikut:

 Dunia fisik dianggap sebagai tempat yang tidak layak bagi manusia.
 Gagasan tentang dosa diadopsi dari pengertian Yahudi Kristen
 Gnosis merupakan satu-satunya jalan keluar dari situasi aktual.
 Moral diganti dengan praktek ritus-magis.

4) Sistem spekulatif kaum gnostik (Basilides, Isidorus, Tolomeus, Erakleone,


Florianus, Bardesane, Armonius, Teodotus, Markus, Karpokrate, Valentinus dan
Marcion) mempresentasikan:

a. Perbedaan pandangan di antara mereka berkenaan dengan dualisme metafisik


antara kebaikan dan kejahatan.
b. Landasan spiritual Yang Mahatinggi tentang kebaikan dipertentangkan dengan
landasan material dari kejahatan.
c. Kaum gnostik menyangkal beberapa inti iman Kristiani, di antaranya:

a) Menyangkal adanya peristiwa inkarnasi sebab bagi mereka materi itu jahat.
b) Menolak kematian Yesus Kristus demi keselamatan manusia sebab
keselamatan diperoleh hanya melalui keutamaan gnosis, bukan melalui
korban Yesus Kristus di bukit Kalvari.

10
c) Menyangkal adanya peristiwa kebangkitan sebab tidak bisa ditolerir dengan
gagasan tentang jiwa yang bertubuh dan tubuh sebagai penjara yang
mengurung dan membawa jiwa ke alam penderitaan.
d) Menyangkal adanya panggilan universal untuk memasuki keselamatan
sebab gnosis hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki pengetahuan
luas dan mendalam.
e) Tidak mengakui etika.

d. Dalam “isme” ini tersingkap gagasan mereka tentang Allah yang jauh dari
materi. Adapun beberapa gagasan hakiki kaum gnostik:

a) Antara Allah dan materi mutlak dibutuhkan pengantara atau aeon.

o Sistem ini bekerja dengan cara emanasi.


o Apabila materi semakin dijauhkan dari prinsip utama, maka materi
semakin jauh dari titik sempurna.

b) Gnostik membedakan secara tajam antara Demiurgue (identik dengan


Yahwe) dengan Allah Pencipta.
c) Di samping pembedaan ini, gnostik juga menegaskan bahwa tidak semua
yang ada di dalam diri manusia itu jahat sebab di dalam diri manusia juga
terdapat pleroma ilahi. Inkarnasi unsur Ilahi ke dalam wujud materi
merupakan dosa asal.
d) Manusia dibedakan atas tiga jenis, yaitu ilicus (fleshly):

o Kufur, orang-orang yang cenderung memiliki materi. Manusia jenis ini


akan dihancurkan bersama materi di akhir dunia;
o Psichus (psysic): golongan menengah; manusia pada umumnya.
Golongan ini terbuka kemungkinan untuk menggapai keselamatan;
o Pneumatikus (spiritual): gnostis, manusia sempurna yang sepenuhnya
terlibat dalam penebusan. Dalam golongan ini, unsur Ilahi sangat
dominan sehingga mereka pasti memperoleh keselamatan.

e) Pembebasan unsur Ilahi dari materi tampak dalam karya, kotbah dan
penjelasan mukjizat sebagaimana dilakukan Yesus kepada murid-murid-
Nya.

f) Siapakah Allah dan Yesus Kristus menurut kaum gnostik?

o Dalam neo-Platonisme Plotinus ditemukan satu perbedaan fundamental


berkenaan dengan hypostasis yang menjadi sumber emanasi dari Yang
Absolut. Mereka menegaskan bahwa:

11
 Kristus bukanlah Sabda yang menjadi daging, melainkan aeon
yang turun dari pleroma Ilahi yang tidak sungguh-sungguh
mengambil rupa insani.
 Pleroma Ilahi disatukan dengan manusia suci, yaitu Yesus.
 Aeon tinggal di dalam Yesus sejak pembaptisan hingga
penderitaan.
 Mereka menolak kemanusiaan Yesus Kristus; tidak mengakui
validitas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta menolak
otoritas Gereja dan tradisinya.

o Doktrin Kristiani menjelaskan bahwa hakikat Allah Trinitas nyata


dalam peristiwa inkarnasi dan karya keselamatan Yesus Kristus:

 Dalam realitas personal-Nya, Allah adalah Pencipta.


 Dia tidak hanya menciptakan dunia, tetapi juga menghendaki
agar dunia menggapai keselamatan.
 Oleh karena itu, Dia memutuskan untuk menjumpai manusia
di dalam peziarahan mereka menuju keselamatan.
2. Modalisme

1. Berkenaan dengan doktrin tentang Allah Trinitas, aliran Sabelianisme menegaskan


bahwa:

1) Bapa, Putera dan Roh Kudus hanya memanisfestasikan Allah yang Unipersonal di
dunia:
a. Dalam penciptaan, Allah memanifestasikan diri-Nya sebagai Bapa;
b. Dalam penebusan, Allah menaifestasikan diri-Nya sebagai Putera;
c. Dalam pengudusan, Allah memanifestasikan diri-Nya sebagai Roh Kudus.

2) Bapa, Putera dan Roh Kudus tidak bersatu dalam realitas internal Allah, melainkan
hanya dalam wujud manifestasi fenomenikal dan energi dari kesatuan hypostasis
menuju kekekalan.

2. Itu berarti, menurut Sabellius:

1) Eksistensi pribadi ilahi itu hanya satu, namun manifestasi-Nya berbeda-beda.


2) Divinitas Ilahi merupakan substansi yang bersifat spiritual, tidak terbagi dan
menyingkapkan diri-Nya dalam tiga aktivitas (proyeksi).

a. Bapa memproyeksikan diri-Nya sebagai Putera.


b. Pada gilirannya, Putera memproyeksikan diri-Nya sebagai Roh Kudus.
c. Ketiga “oknum” ilahi ini mengenakan prosopon (topeng yang dipakai aktor
drama).
d. Konsekuensinya, nama-nama yang dipergunakan hanya berfungsi untuk
mengindikasikan masker Allah (prosopon).

12
3) Dalam konteks ini diperlukan definisi yang jelas konsep Latin mengenai persona
dan konsep Yunani mengenai ousia dan hypostasis untuk menjelaskan substansi
Allah. Dalam perspektif teologis, para Bapa Capadocia akan menjelaskan
perbedaan hakiki antara ousia (esensi) dan hypostasis (pengaktualisasian esensi).

2.2. Triteisme

1. Tidak seorang pun dari teolog Kristiani yang mempertahankan kebenaran dan
keunikan doktrin tiga allah.

2. Doktrin mengenai keberadaan tiga allah untuk melukiskan species-species yang


menyatu dalam hakikat Allah dan konsekuensinya ini dinilai “sangat tidak
menyegarkan telinga dan batin iman kristiani”.

3. Triteisme merumuskan Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagai pribadi yang lain dan
memiliki hakikat masing-masing.

2.3. Pelbagai Kritik terhadap Iman kepada Allah Tritunggal dalam Agama-agama
Monoteistik

2.3.1. Yudaisme

1. Kontroversi tentang kebesaran dan kemuliaan Yesus dalam hubungannya dengan


Allah yang menjadi tanda persekutuan terakhir dengan bangsa Israel membentuk:

1) Yudaisme post-Biblis

e. Mereka menolak kekekalan Logos sebagai Putera Kekal Allah.


f. Mereka menolak konsep tentang inkarnasi dan konsekuensinya.
g. Mereka tidak mengakui bahwa Allah mewahyukan diri-Nya dalam realitas
historis sebagai Allah Tritunggal.
h. Bagi mereka, Yesus adalah “species seorang manusia yang diilahikan.”
i. Dari konsep ini disimpulkan bahwa:

a) Allah Trinitas merupakan sebuah doktrin yang mengakui adanya “tiga


allah”.
b) Isi dan inti iman akan Allah Trinitas jatuh ke dalam paham politeis kaum
kafir.
c) Keilahian Yesus dilihat sebagai pengilahian seorang manusia biasa.
d) Yesus historis sama sekali tidak mengetahui keilahian-Nya sebagai
pribadi kedua Allah Tritunggal.
e) Pada abad IV ditambahkan kepada Allah yang kedua, yaitu Roh Kudus
sebagai Allah ketiga.

13
2) Kelompok Yahudi yang beriman kepada ke-Allah-an Yesus, yaitu persekutuan
kaum kafir yang beriman kepada Yesus Kristus menjadi Kristen dan bersekutu
dengan Gereja. Mereka beriman bahwa:

a. Sebagai seorang Yahudi, Yesus yakin bahwa secara eskatologis Jahwe akan
menwahyukan tindakan penyelamatan-Nya.
b. Isi dan inti iman Kristiani berakar pada keyakinan bahwa Allah mewahyukan
diri-Nya secara defenitif dalam relasi-Nya dengan Yesus dari Nazareth sebagai
Bapa, Putera dan Roh Kudus.
c. Keyakinan Perjanjian Lama akan kesatuan dan ketunggalan Allah secara
permanen menjadi dasar iman Kristiani.
d. Iman Kristiani berbeda dari iman Yudaisme post-Biblis hanya dalam batas
pengenalan akan pewahyuan yang terwujud sempurna dalam peristiwa
inkarnasi Sabda Kekal Allah dalam diri Yesus dari Nazareth dan dalam dalam
pewahyuan tersebut tersingkap nyata relasionalitas Ilahi antara Bapa, Putera
dan Roh Kudus.

2.3.2. Islam

Mohammad mencela kaum Kristiani (padahal dia tidak mengetahui secara pasti
tentang inti ajaran Kristiani) karena menjadikan nabi Isa (Yesus) sebagai Allah yang
kedua. Secara logis, iman Kristiani kepada Allah Tritunggal berbauh politeis sebab
mengakui adanya tiga Allah: “Tiga”... Allah hanya Satu, sangat mulia dan tinggi
memiliki seorang anak!

14
Bab III

Iman Trinitarian
dalam Kesaksian Biblis

I. Terang Biblis

1. Perjanjian Lama:

1) Perjanjian Lama (Yahudi) tidak pernah menampilkan iman yang trinitarian.


2) Isi dan inti iman Yahudi yang tertuang dalam Perjanjian Lama justru menunjukkan
gerak dari monolatria ke monoteisme ketat.
3) Kaum Yahudi mengakui bahwa:

a. Allah leluhurnya adalah Allah yang esa.


b. Mereka percaya dan beribadat hanya kepada Yahweh.
c. Namun Yahweh saat itu bukanlah satu-satunya Allah yang dipercayai, sebab
ada begitu banyak allah yang dihidupi oleh orang Israel sebelum Yahweh
mewahyukan diri-Nya sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub.

4) Jejak Trinitas dalam Perjanjian Lama hanya bisa kita telusuri melalui:

15
a. Teks-teks yang berbicara tentang figur Malaikat Allah, Hikmat Allah, Allah
sebagai Roh (Ruah), dan sebagainya.
b. Banyak gelar yang dipergunakan dalam Perjanjian Lama, seperti Mesias, Putera
Allah, Anak Manusia, dan lain-lain. Gelar-gelar ini diterapkan pada Yesus,
c. Sementara “Roh Allah” dalam Perjanjian Lama adalah Allah sendiri yang
dilukiskan sebagai “Roh yang melayang-layang di permukaan air” dan
mengalahkan chaos serta yang mengisi hati bangsa Israel sehingga menjadi
bangsa yang sungguh baru.
d. Walaupun demikian, tidak bisa disimpulkan bahwa Allah kaum Yahudi (bangsa
Israel) dalam Perjanjian Lama adalah Allah Tritunggal.

5) Apabila diteropong dari terang Perjanjian Lama, terutama sejarah pewahyuan diri
Allah kepada kepada kaum Israel, Umat Pilihan-Nya sebagai “Jahwe”, maka patut
ditegaskan bahwa:

a. Kodrat Jahwe tidak bisa ditafsirkan dan ditempatkan dalam lingkup


pemahaman-keyakinan monoteisme tentang Allah.
b. Yahwe tidak mewahyukan diri-Nya sebagai “Ada Tertinggi” sebagaimana
pemahaman kaum deisme, teisme spekulatif atau agama natural tentang kodrat
Allah.
c. Jahwe mewahyukan diri-Nya sebagai “Ada-untuk”, yaitu “Ada” dalam
hubungan dengan “Umat-Nya” sebagai sebuah ekspresi tentang hakikat-Nya.

2. Dalam terang Perjanjian Baru: Puncak Wahyu

a. Formulasi dogmatis mengenai misteri Allah Tritunggal tidak ditemukan dalam


Kitab Suci Perjanjian Baru:

1) Perjanjian Baru tidak pernah menuliskan bahwa Allah menyingkapkan hakikat-


Nya yang Tunggal dalam jalinan relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus.

2) Kitab Suci (Sabda Allah) hanya memberikan kesaksian tentang kenyataan/fakta


seputar Wahyu Allah: “Allah mewahyukan diri-Nya dengan nama Bapa, Putera
dan Roh Kudus”.

b. Wahyu dalam Perjanjian Baru

1) Pewahyuan hakikat Allah sebagai “Ada-untuk” (melalui media relasional)


berpuncak dalam sejarah kehidupan Yesus Kristus.
2) Allah mewahyukan Yesus sebagai “Putera-Nya” (Rom 8,32).
3) Yesus dari Nazareth adalah Pengantara (Mediatore) Kerajaan Allah.
4) Dalam diri, kehidupan dan karya Yesus yang berpuncak pada salib dan
kebangkitan Yesus tersingkap nyata bahwa:

16
a. Allah Eskatologis sungguh-sungguh mewahyukan diri-Nya dalam sejarah:
dalam figur manusia dan Sabda Ilahi-Nya.
b. Adalah benar bahwa dari kenyataan, kita bisa mengenal perbedaan antara
kemanusiaan dan keilahian Yesus Kristus.
c. Namun, dalam kemanusiaan-Nya tersingkap nyata relasi filial (anak) dan
hubungan intim-Nya dengan Allah, yaitu Bapa Yesus Kristus dengan Sabda
Ilahi-Nya.

5) Karya Yesus Kristus tidak terpisahkan dari perutusan dan pencurahkan eskatologis
Roh Kudus.

a. Kesatuan antara kemanusiaan Yesus dengan Sabda Ilahi Bapa disingkapkan


secara dinamis oleh Roh Kudus dalam sejarah kehidupan Yesus.
b. Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: “Aku
bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu
Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau
nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.
Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorang pun
yang tahu siapakah Anak selain Bapa dan siapa Bapa selain Anak dan orang
yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu (Luk 10,21-
22).

c. Perjanjian Baru menjelaskan relasi timbal-balik antara Bapa, Putera dan Roh
Kudus

a. Dalam Putera dan Roh Kudus dinyatakan kehadiran karya penyelamatan


eskatologis Allah.
b. Putera dan Roh Kudus berasal dari Bapa dan secara sempurna merupakan inti
diri Allah dan bersama Bapa, Putera dan Roh Kudus terbentuk ketunggalan
hakikat Allah sebagai Cinta.
c. Dalam inkarnasi Sabda Kekal Allah serta misi eskatologis dan universal Roh
Kudus disingkapkan karya spesifik Sang Putera dan Roh Kudus.
d. Putera dan Roh Kudus ada bersama Bapa sebagai dasar dan asal Ketunggalan
Allah.

d. Akar, Dasar Wahyu Allah

1) Wahyu mengenai Kesatuan dan Ketunggalan Bapa, Putera dan Roh Kudus berakar
pada peristiwa pewahyuan diri Allah dalam diri Yesus Kristus dan diteguhkan
dalam seluruh jejak peristiwa kehidupan-Nya, terutama:

a. Perkandungan dari kuasa Roh Kudus dan kelahiran-Nya (Luk 1,35) dari rahim
Perawan Maria;

17
b. Baptisan di Sungai Yordan dan penampilan-Nya di hadapan umum untuk
mewartakan dan menegakkan Kehadiran Kerajaan Allah di dalam diri dan
kehidupan-Nya (Mrk 1,9).
c. Kematian-Nya di salib. Melalui kematian-Nya di salib terungkap bahwa:

a. Dia adalah cahaya kemuliaan Allah dan wujud Allah yang sempurna (Ibr
1,2s),
b. Dalam kekuatan Roh, Dia mempersembahkan diri-Nya kepada Allah
sebagai persembahan yang tak bercacat (Ibr 9,14).

2) Pewahyuan diri Allah dalam sejarah keselamatan (Trinitas Ekonomia) berpuncak


pada peristiwa kebangkitan-Nya dari kematian dalam dan berkat kekuatan Roh
Kudus.

a. Dalam dan melalui peristiwa tersebut, Allah mewahyukan diri-Nya sebagai


Bapa, Putera dan Roh Kudus (Rom 1,2s; 8,1).
b. Dari titik ini, kini dan kelak ditegaskan bahwa eksistensi permanen kaum
Kristiani terletak dalam kesatuan dengan “Putera Ilahi”.

a) Hanya dalam persatuan dengan Sang Putera Ilahi dan berkat Roh Kudus
yang dikaruniakan ke dalam hati (Rom. 5,5), kaum Kristiani ambil bagian
dalam esensi dan figur Sang Putera dan “menjadi serupa dengan gambaran
Anak-Nya” (Rom 8,29.
b) Setiap orang yang telah menerima anugerah Roh Kudus menjadi anak Allah
dan berkat kekuatan Roh itu, mereka semua berseru: Ya Abba, ya Bapa!
(Rom 8,15).

3) Yesus Kristus, Sang Putera Allah dan Mediator Kerajaan Allah yang diangkat ke
dalam kemuliaan Bapa (berada di sisi kanan Bapa) akan menganugerahkan ke
dalam Gereja-Nya kekuatan Roh Kudus, yaitu Roh yang berasal dari Bapa dan
dalam kesatuan dengan-Nya, yaitu Sang Putera (Luk 24,49; Kis 2,32.39; 5,32;
7,55; Yoh 20,22).

4) Gereja adalah Gereja Allah Tritunggal (Kis 20,28). Kebangkitan-Nya dari antara
orang mati serta kepenuhan Gereja di dunia dan di zaman Parousia dalam diri-Nya
menyingkapkan karya agung Allah, yaitu Allah yang mewahyukan diri-Nya
sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus (Rom 8,9-11).

5) Hakikat Allah yang Tunggal dan Trinitas berakar dalam forma partisipatif
kehidupan Allah, yaitu Cinta.

a. Allah mewahyukan diri-Nya sebagai Cinta.


b. Karena kekuatan Cinta-Nya, Allah mengutus Putera-Nya yang Tunggal ke
dunia demi keselamatan manusia ( I Yoh 4,13).
c. Allah yang adalah Cinta (dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) tidak
memperkenalkan diri-Nya sebagai “Ada Tertinggi” (berada dalam relasi

18
dengan dirinya sendiri) sebagaimana konsep “allah” dalam teologi natural,
deisme dan wawasan spekulatif tentang Allah.
d. Allah yang adalah Cinta, dengan kebebasan-Nya yang absolut
memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus serta
membangun persekutuan dengan umat-Nya.
e. Dengan cara demikian, misterisitas diri-Nya dikenal dan kedalaman cinta-Nya
yang berdaya pembebasan dialami.
f. Allah yang mewahyukan diri-Nya dan membangun persekutuan dengan
manusia sangat mudah untuk didekati dan dipahami sebab Allah itu nyata
dalam diri Yesus dari Nazaret.
g. Kesatuan dan Ketunggalan hakikat Allah yang mewahyukan diri-Nya sebagai
Bapa, Putera dan Roh Kudus ini dirumuskan dalam aneka formulasi
pemberkatan, liturgi dan doksologi:

a) “Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh
Kudus beserta kita” (II Kor 13,13).
b) “Tetapi demi Kristus, Tuhan kita, dan demi kasih Roh, aku menasihatkan
kamu, saudara-saudara, untuk bergumul bersama-sama dengan aku dalam
doa kepada Allah untuk aku” (Rom 15,30).
c) “Berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu demikian dalam kasih
Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita Yesus Kristus untuk hidup
yang kekal (Yudas 20s).
d) Keselamatan eskatologis dikomunikasikan melalui baptisan dalam <<nama
Bapa, Putera dan Roh Kudus>> (Mat 28,19).
e) Menurut kesaksian Kitab para Rasul, di dalam baptisan <<dalam nama
Yesus>> tersingkap formulasi Trinitas, sebab dalam <<nama Yesus>>
(Kis. 4,12), Allah mewahyukan hakikat dan rencana keselamatan-Nya bagi
manusia. Putera selalu berada dalam relasi-Nya dengan Bapa dan Roh
Kudus.
f) Inilah landasan iman Trinitas yang otentik dalam pengakuan iman Gereja.

h. Formulasi Trinitarian yang termaktub dalam Perjanjian Baru dihubungkan


secara rekat dengan surat Rasul Paulus dan pengarang Perjanjian Baru lainnya.

a) Di dalamnya tidak ditemukan kombinasi kausal tentang Allah yang


selayaknya disapa Bapa.
b) Sesungguhnya, sapaan Allah dipandang tidak pantas apabila dihubungkan
dengan kesahajaan-Nya sebagai Putera Angkat Mesianik dan Kekuatan
Spiritual Apersonal Allah.
c) Formulasi tersebut menyingkapkan Trinitas Ekonomia yang
memanifestasikan dan mengomunikasikan hakikat esensial dari Allah
Trinitas.
d) Pewahyuan tentang hakikat Allah Trinitas terungkap dalam Misteri
Inkarnasi Logos serta pengutusan Putera Tunggal Allah menjadi Daging
dalam kemanusiaan Yesus di Nazaret.

19
e) Dalam kesaksian Perjanjian Baru, Yesus tidak pernah dipertimbangkan
sebagai nabi biasa atau seorang manusia yang dipanggil untuk mengemban
fungsi kenabian atau mesianik; atau sekurang-kurangnya sebagai Sosok
Mistik yang berperan sebagai Pengantara Allah dan manusia; atau
Pembawa kekuatan spiritual-terang dan sosok apersonal Allah yang sangat
mengagumkan.
f) Seluruh peristiwa kehidupan Yesus sejak perkandungan, penampilan-Nya
di hadapan umum untuk mewartakan Kerajaan Allah (Sabda dan karya-
Nya), nubuat-Nya tentang jalan yang harus dilalui-Nya hingga mengalami
derita yang mengerikan di masa Pra-Paskah serta kebangkitan mulia yang
menakjubkan menyingkapkan bahwa Dia sungguh-sungguh Allah.

o Dalam diri dan kehidupan-Nya tersingkap mulia kodrat Ilahi-Nya


sebagai Putera Tunggal Allah yang menjelma demi keselamatan
manusia.
o Dia adalah Mediator Mesianik Keselamatan Allah bagi manusia. Di
dalam Dia, Allah hadir secara nyata dan membangun kediaman-Nya
di antara manusia.
o Dalam seluruh jejak sejarah kehidupan-Nya, Allah mewahyukan Roh
Kudus.
 Roh Kudus adalah Roh Bapa dan Roh Yesus Kristus sebagai
Putera Allah.
 Roh Kudus adalah buah rahmat eskatologis, pemberian diri-
Nya sendiri.
 Roh Kudus, yang menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal
yang tersembunyi di dalam diri Allah (I Kor 2,10), secara
relasional adalah satu dan dalam waktu yang sama berbeda
dari Bapa dan Putera.
b. Pertentangan

1) Patut diakui bahwa pengakuan iman Gereja Perdana bertentangan dengan


kesaksian Kristus, terutama penafsiran atas wujud kesatuan antara Allah dan
kemanusiaan Yesus.
2) Bagi Gereja Perdana, kesatuan itu hanya terwujud dalam tataran moral semata.
3) Dalam perjalanan waktu, penafsiran ini diverifikasi sehingga akhirnya dirumuskan
formulasi iman kepada Allah Tritunggal, walaupun hanya mengulas kesatuan
antara Bapa dan Putera, tanpa menyebutkan secara eksplisit Roh Kudus.
4) Rumusan otentik tentang iman kepada Allah Tritunggal, yaitu Allah yang Tunggal
dan Tiga Pribadi muncul diskusi mengenai “asal” Roh Kudus. Pewahyuan diri
Allah sebagai Bapa dalam Putera dan dalam Roh Kudus menyingkapkan Kesatuan
dan Ketunggalan Allah yang yang tidak diaktualisasikan sebagai kedekatan, tetapi
dalam perbedaan dan persona yang berelasi timbal-balik.

c. Dogma Gereja

20
1) Formulasi Dogmatis tentang misteri Allah Tritunggal hanya meneguhkan isi dan
inti peristiwa pewahyuan diri Allah ini dalam sejarah keselamatan (Trinitas
Economia).
2) Dogma mengungkapkan secara eksplisit perihal kepenuhan kehidupan intra-Ilahi
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagaimana dimanifestasikan-Nya dalam
sejarah keselamatan.

Bab IV
Perspektik Historis-Teologis

21
I. Pengantar

1) Sejak awal perkembangannya, persoalan Teologi Allah Tritunggal hanya berkutat


pada kenyataan yang sama, yaitu kesatuan dan ketunggalan hakikat Allah
sebagaimana dinyatakan dalam kesaksian iman tentang Allah yang mewahyukan
diri-Nya dalam relasi intim antara Bapa, Putera dan Roh Kudus.

2) Muatan, konsep dan pengertian dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Apakah dan bagaimanakah kesatuan/ketunggalan Allah;


b. Apakah dan bagaimanakah perbedaan pengalaman kesatuan/ketunggalan itu
dalam lingkup ciptaan dan permenungannya tentang perbedaan tersebut;
c. Manakah analogi yang tepat untuk membedakan antara kesatuan/ ketunggalan
Allah dengan kesatuan ciptaan dan bagaimanakah relasi yang memperlihatkan
spesifikasi dari ketiga pribadi ilahi (hypostasis, persona)?

2. Usaha-Usaha Awal (Abad II)

2.1. Aliran Subordinatianisme

1) Dalam Kitab Suci tidak ditemukan inti ajaran tentang Allah Tritunggal.

a. Namun, apabila direnungkan secara mendalam aneka ungkapan biblis dan


implikasinya, maka ditemukan di dalamnya ajaran tentang Allah Tritunggal
sebagaimana dimani Gereja.

b. Inti ajaran tentang Allah Tritunggal dinyatakan secara eksplisit dalam rumusan
triadik yang menyebutkan ketiga pribadi Ilahi, seperti:

a) “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh
Kudus menyertai kamu sekalian” (II Kor 13,13).
b) “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa, Putera dan Roh Kudus” (Matius 28,19).

c. Rumusan triadik ini dipergunakan oleh para Bapa Apostolik sesudah zaman
Perjanjian Baru untuk merumuskan inti dan inti iman tentang Allah Trinitas.

2) Sejak abad II muncul pelbagai usaha untuk mendalami dan memikirkan hubungan
antara Putera dan Roh Kudus dengan Allah yang Tunggal.

a. Paham Subordinasianisme
Usaha awal ini diwarnai oleh pemahaman yang bersifat subordinatianisme:

a) Putera dan Roh Kudus bergantung dari Bapa;


b) Putera melaksanakan tugas perutusan yang diberikan Bapa;
c) Roh Kudus menyelesaikan tugas yang diberikan Bapa kepada Putera.

22
b. Yustinus Martir

a) Paham yang bersifat subordinatianisme ini juga ditemukan dalam rumusan Doa
Syukur Agung yang ditulis oleh Yustinus Martir (165):

o “Hormat dan pujian bagi Bapa alam semesta alam melalui nama Putera
dan Roh Kudus”.
o Kata “melalui” menyingkapkan sebuah ide dasar bahwa Putera dan
Roh Kudus merupakan Pengantara yang tergantung sepenuhnya
pada Bapa.

b) Akar Pemahaman Yustinus Martir (subordinatianisme):

o Paham subordinatianisme tentang kesatuan Allah Tritunggal ini berakar


pada pelbagai bentuk pernyataan Perjanjian Baru sendiri. Di dalam
Yohanes 14, 28 ditegaskan: “Bapa lebih besar daripada Aku”.
o Paham subordinatianisme juga berakar pada filsafat helenis.

 Allah dipikirkan sebagai pangkal dunia yang tidak terbatas dan


tidak bergerak.
 Hakikat-Nya merupakan sebuah kepenuhan yang bisa dibagikan-Nya
tanpa kehidupan apa pun dari-Nya.

c) Berakar pada paham subordinatianisme ini, Yustinus Martir menegaskan


keyakinannya bahwa:

o “Hanya Sang Allah, yaitu Bapa, yang diakui sebagai Subyek Ilahi yang
Absolut”.
o Kehadiran Allah Bapak tidak nyata di dunia karena Dia tidak terbatas, tidak
kelihatan dan tidak bernama.
o Logos, Sang Sabda berasal dari (bukan diciptakan oleh) Kehendak Allah
yang Tertinggi.
o Logos hadir dalam wujud yang kasat mata di dunia ini dan memiliki
kualitas setinggi Allah;
o Logos adalah Allah yang lebih rendah.
o Roh Kudus memiliki kesamaan dengan Logos sebab sama-sama berasal dari
Allah Tertinggi.

d) Kendati, pemahaman Yustinus ini sangat dipengaruhi oleh alam


pemikiran Helenis, namun adanya perbedaan mendasar dengan
pemahaman Helenis. Dalam ajarannya, Yustinus menegaskan:

o Allah sangat berminat dan mencintai ciptaan-Nya.

23
o Oleh karena itu, Dia memberikan sesuatu dari hakikat-Nya sendiri kepada
Putera dan Roh Kudus.
o Melalui Putera dan Roh Kudus, Dia bertindak di dalam dunia.

3) Berangkat dari pemahaman awal ini, proses pergumulan untuk merumuskan paham
tentang Allah Tritunggal dimulai, terutama untuk:

1) Menjelaskan perihal hubungan antara Logos dan Roh dengan Allah.


2) Pada awalnya perhatian terpusat pada Logos, sedangkan Roh Kudus hanya
dipikirkan sepintas lalu.

2.2. Aliran Monarkianisme

1. Di awal kekristenan, muncul sebuah aliran yang sangat prihatin dan getol
memperjuangkan inti iman akan keesaan Allah agar tidak disurutkan oleh pengakuan
iman Kristiani akan ke-Allah-an Yesus Kristus.

2. Mereka mencari jalan untuk menjelaskan hubungan khusus antara Yesus dengan Allah
tanpa membahayakan inti iman akan keesaan absolut Allah.

3. Mereka memberikan dua jawaban mendasar untuk menegaskan hakikat Allah sebagai
Penguasa Tunggal. Aliran ini disebut Monarkianisme.

4. Melihat model pendekatan yang dipergunakan, aliran ini terbagi dalam dua kelompok,
yaitu:

2.2.1. Monarkianisme Dinamis

1. Aliran ini berpendapat bahwa:

1) Yesus dari Nazareth hanyalah manusia biasa, namun Allah melengkapi-Nya


dengan kekuatan (dinamis) istimewa tatkala dibaptis di sungai Yordan dan ketika
ditinggikan Allah dalam peristiwa kebangkitan.

2) Tatkala ditinggikan, Yesus diangkat menjadi Putera (adoptianisme) Allah, namun


tidak sungguh-sungguh Allah.

2. Pendukung terkenal aliran ini adalah Paulus dari Samosata. Baginya:

1) Logos, Sabda Ilahi adalah kekuatan Allah sendiri.


2) Kekuatan ini disamakan dengan Kebijaksanaan (sophia) Allah dan Roh (pneuma)
Ilahi.
3) Kekuatan Ilahi Allah ini melengkapi kemanusiaan Yesus.
4) Kekuatan itu tidak berdiri sendiri sebagai Pribadi Ilahi
5) Kekuatan itu hanya sebagai salah satu sifat Ilahi.

24
3. Ajaran ini ditolak oleh Sinode di Anthiokhia pada tahun 269.

2.2.2. Monarkianisme Modalis (Kata Latin Modus berarti Cara)

1. Pada prinsipnya, aliran ini berjuang untuk mempertahankan keesaan absolut Allah.

1) Bagi mereka, inkarnasi hanyalah suatu cara bagi Allah untuk menyatakan diri-Nya.
2) Mereka berkeyakinan: Yesus sungguh-sungguh Allah sebab hanya jika Dia Allah,
maka Dia bisa menyelamatkan dunia.
3) Agar keilahian Yesus tidak membahayakan keesaan absolut Allah, mereka
mengajarkan bahwa:

a. Bapa, Putera dan Roh Kudus hanyalah nama atau cara penampakan (prosopon,
topeng) yang berbeda dari Allah yang sama.
b. Dengan memberikan hukum dalam Perjanjian Lama, Allah menyingkapkan
diri-Nya sebagai Bapa.
c. Dengan menyelamatkan manusia melalui inkarnasi hingga pengangkatan-Nya
ke Surga, Allah yang sama tampak sebagai Putera
d. Dalam menguduskan jiwa-jiwa, Allah tampak sebagai Roh Kudus.

4) Bagi mereka, Bapa, Putera dan Roh Kudus hanyalah sebuah topeng yang
dipergunakan Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada dunia.

5) Walaupun demikian:

a. Ketiga nama itu bukanlah Allah dalam diri-Nya sendiri dan tidak serentak
berada dalam diri Allah.
b. Sejak inkarnasi, Allah bukan lagi Bapa dan setelah pengangkatan ke Surga,
Allah bukan lagi Putera.
c. Ketiga nama yang disingkapkan kepada manusia bukanlah kenyataan dalam diri
Allah yang sesungguhnya.
d. Allah tidak memperkenalkan diri-Nya sebagaimana adanya diri-Nya.
e. Allah justru menyembunyikan diri-Nya di balik aneka topeng.
f. Allah diibaratkan dengan seorang pemain drama yang bersandiwara dengan
manusia

2. Keyakinan ini ditolak oleh Gereja karena:

1) Sangat bertentangan dengan inti iman Kristiani.


2) Kaum Kristiani beriman bahwa Allah sungguh-sungguh menyingkapkan diri-Nya
seturut kenyataan diri-Nya.
3) Allah tidak bermain sandiwara dengan manusia.

2.3. Aliran Doketisme

25
Menurut aliran Doketisme (kata Yunani doketein: rupanya saja, keilhatannya saja):

a. Di bumi fana ini, Yesus, Sang Penebus tidak memiliki tubuh manusiawi yang asli;
b. Tubuh manusiawi Yesus hanya berwujud semu.
c. Tubuh dan darah Yesus tidak dibentuk dari darah dan daging ibu-Nya.
d.Tubuh itu ditinggalkan-Nya sebelum penyaliban.

3. Benih-benih Awal Ajaran Trinitas

3.1. Irenius Lyon


3.1.1. Allah Tritunggal dalam Perspektif Historis Keselamatan

Dalam perspektif historis-keselamatan universal, Irenius melukiskan perihal:

1) Karya keselamatan Allah sejak awal penciptaan hingga kepenuhannya di zaman


eskatologis
2) Allah menyingkapkan kesatuan esensi-Nya sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus
dalam perbedaan di antara mereka.
3) Sebagai ciptaan Allah, manusia diciptakan menurut citra-Nya sendiri dan
diarahkan kepada kepenuhan supranatural.
4) Allah akan mempersatukan semua manusia yang diciptakan dari Logos Kekal-Nya
dengan daya cinta Ilahi-Nya di dalam Kristus, Sang Putera yang menjelma dan
Pemimpin ciptaan baru semua manusia.
5) Dengan daya rahmat Roh Kudus, manusia akan dihantar menuju kepenuhan
keselamatan.

Bagi Irenius, Putera dan Roh Kudus adalah:

1) Putera dan Roh Kudus adalah <<dua tangan Allah>>.


2) Putera dan Roh Kudus sehakekat dengan Allah dan secara absolut berbeda dari
semua ciptaan.
3) Di dalam dan melalui Putera dan Roh Kudus, Bapa dalam transendensi-Nya
mengaktualisasikan imanensi-Nya di dalam dunia, dalam alam ciptaan dan dalam
sejarah keselamatan.

3.1.2. Kesatuan Allah Trinitas

1. Irenius sangat menekankan keesaan Allah sehingga kerap menggunakan ungkapan


yang berbauh modalistik:

1) Putera dan Roh Kudus hanya dilihat sebagai penampakan diri Allah semata.
2) “Menurut ada dan kuasan-Nya, pada hakikatnya, Allah itu Esa, akan tetapi menurut
peristiwa dan pelaksanaan penebusan terdapat Bapa dan Putera”.

2. Dengan pernyataannya ini, Irenius berusaha mencegah pengakuan iman yang berbauh
pluralistik tentang Allah.

26
1) Di satu pihak, dia ingin mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan
Roh Kudus.
2) Di pihak lain, dia mengajarkan bahwa sejak kekal, Allah mempunyai Sabda dan
kebijaksanaan yang ada bersama-sama dengan-Nya.
3) Firman dan kebijaksanaan itu adalah Hypostasis yang lahir daripada-Nya sebelum
dunia diciptakan. Putera lahir dari Bapa sebelum adanya waktu.

3.1.3. Polemik dengan Kaum Gnostik

1. Irenius mempertahankan bahwa Putera dan Roh Kudus berasal dari Bapa.
2. Namun, dia memberikan beberapa penegasakan:

1) Keberadaan Putera dan Roh Kudus tidak bisa dipikirkan dan tidak bisa
diduga/diselidiki dengan daya intelektual manusia.
2) Siapa pun saja berhak/tidak dilarang untuk berbicara tentang asal dan kelahiran
Putera dari Bapa.
3) Syaratnya, harus dibedakan antara Ada yang Kekal dalam diri Putera dari Bapa
dengan asal temporal dari semua ciptaan Allah.

3. Dalam perjalanan sejarah, Trinitas disingkapkan dalam peristiwa inkarnasi Sabda


Kekal Allah.

1) Kristosentrisme dalam sejarah keselamatan dipersiapkan dalam Perjanjian Lama


oleh Roh Kudus dan akan mencapai kepenuhannya dalam iman para Murid kepada
Yesus.
2) Secara eskatologis, kesatuan antara Bapa, Putera dan Roh Kudus tersingkap dalam
wujud ini:
a. Roh Kudus menganimasi Gereja dalam peziarahannya menuju akhir.
b. Pada saatnya, Bapa akan mempersatukan semua bangsa manusia di dalam
Yesus Kristus dan semua manusia secara definitif berada dalam kesatuan
dengan-Nya (bdk. Kis 3,21).

3.2. Tertullianus dan Doktrinnya tentang Trinitas

1. Metafora

Tertullianus melukiskan Allah Tritunggal dalam bentuk metafora:

o Dalam kegelapan, Dia menjadi Terang/Matahari.


o Sinar dan terang membentuk kesatuan dengan matahari dan bukan tiga tembusan
sinar, demikian juga dalam wujud analogis, Putera dan Roh Kudus yang berasal
dari Bapa tidak membiakkan esensi Allah tersendiri secara politheistik.
o Logos, Sabda Kekal Allah sehakekat dengan Bapa (kodrat Ilahi).

27
o Dalam (hanya) penciptaan dunia, Logos menjadi Sabda Kekal dan semua ciptaan
menemukan personalitasnya yang spesifik di dalam Dia.
o Ciptaan adalah pewahyuan pertama kodrat-Nya.

2. Allah Tritunggal: Satu Substansi-Tiga Pribadi

1) Dia adalah teolog pertama yang mempergunakan terminologi Trinitas untuk


menjelaskan kodrat Ketiga Pribadi Ilahi. Kata kunci yang dipergunakannya adalah
Persona.

a. Persona mengindikasikan pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.


b. Dalam kata tersebut terungkap keunikan yang dimiliki oleh masing-masing pribadi
(individu) Ilahi.
c. Kata persona tidak bisa digantikan dengan pengertian/kata Yunani prosopon yang
secara original mengindikasikan maschera (masker, topeng).
d. Kata persona memiliki definisi, muatan dan hanya bisa dimengerti apabila
dihubungkan dengan kata Yunani hypostasis.

2) Catatan:

a. Hanya dari para bapa Capadocia ditemukan perbedaan yang tegas antara ousia dan
hypostasis dan:
b. Hanya dari para bapa neocalcedonia (Yohanes Grammatico, Leonzio Bisanzio,
Leonzio Gerusalemme, Massimo Confessore dan Yohanes Damaskus) yang
membuat pembedaan tegas antara hypostasis dan ousia, antara substansi dan esensi.
c. Di Barat: untuk membedakan konsep hypostasis atau persona, maka dipergunakan
kata substansi.
d. Namun kita tidak mengacu pada sebuah definisi yang netral dari konsep-konsep
sebelumnya.
e. Di bawah profil sejarah dogma diakui bahwa pemahaman tersebut berasal dari
pengertian yang berbeda.

3) Dalam pemahaman Tertullianus, muatan kata hypostasis dan persona dikonsepkan


dalam aneka bentuk pengertian:

a. Hypostasis dan persona secara tegas mengindikasikan kesatuan dan keunikan Bapa,
Putera dan Roh Kudus sebagaimana dikenal dalam iman untuk memperlihatkan sisi
intern dari kesatuan esensi Allah dalan relasi timbal balik di antara mereka.
b. Kata hypostasis memiliki kandungan yang sama dengan kata substansi.
c. Kedua kata ini (substansi dan hypostasis) membentuk konsep relasional.
d. Relasi itu tidak diungkapkan dalam substansi yang aksidentil, melainkan keunikan
pribadi Ilahi yang memiliki memiliki substansi yang satu dan sama.
e. Substansi Ilahi membentuk hubungan-relasi di antara ketiga pribadi Ilahi.

4) Rumusan asli Teologi Allah Tritunggal dalam tradisi Latin, dari dulu hingga saat ini
berasal dari gagasan Tertullianus ini:

28
a. Allah Trinitas itu satu dalam substansi-tiga pribadi (persona).

a) Dalam hakikat Allah yang satu terdapat tiga pribadi.


b) Namun, adanya tiga pribadi itu tidak berarti bahwa terdapat lebih dari satu

b. Perbedaan di antara ketiga pribadi Ilahi dalam Trinitas menurut Tertullianus


hanya dapat dipahami apabila akar kata persona dan substansi ditelusuri dan
dimengerti:

a) Persona, secara sederhana diartikan dengan individu, pribadi; pribadi yang


real, pribadi ‘in se’, pribadi yang hidup dan berelasi dengan yang lain.
b) Kata yang bernilai unik dan istimewa untuk melukiskan kesatuan pribadi Ilahi
dalam Trinitas ini hanya bisa dipahami apabila dipadukan dengan kata
substantia: “Kata persona tidak memiliki makna apapun apabila terpisah dari
kata substantia”.
c) Persona dan substantia serentak menyingkapkan kesatuan dan perbedaan.
d) Secara etimologis, substantia mengindikasikan lapisan bagian bawah yang
bersifat permanen dan berbeda kualitas dengan hal yang sesungguhnya.

c. Mengacu pada makna hakiki dari kata substantia ini, Tertullianus


merumuskan teologis Trinitasnya dengan dengan pernyataan ini:

a) “Allah itu satu dalam substantia dan tiga pribadi”.


b) Pribadi Putera (Portio totius; Minoratus ) berasal dari substantia Bapa (Total
Substantia, Major Persona, maior).
c) Gagasan Tertullianus ini tidak bermuara pada pemahaman yang komplet bahwa
Bapa “ada” dalam Putera dan tidak mampu mengabtraksikan tingkatan “ada”
antara Bapa dan Putera dengan menggunakan kata persona.
d) Hal ini terjadi karena dalam pemahaman Tertullianus, persona hanya
dihubungkan secara adekuat dengan kata ecconomia (rancangan atau rencana
Allah).
e) Putera hanya “pengkotbah Ilahi (il sermo divino); pribadi yang
memanifestasikan Allah Bapa kepada dunia.
f) ‘Pribadi Putera berbeda dari Bapa, namun tergantung seutuhnya dari substantia
Bapa.
g) Pribadi Putera berasal dan menyatu dengan substantia Bapa hanya dalam
perwujudan karya penciptaan dan penyelamatan, bukan dalam struktur internal
Allah.
h) Di dalam realitas sejarah, tersingkap realitas esternal Allah, namun tidak
dimanifestasikan secara langsung dan utuh.

2. Kelemahan Rumusan Trinitas Tertullianus

Apabila ditakar dari perspektif dogmatis, maka harus diakui bahwa rumusan
Trinitas Tertullianus memiliki kelemahan sebab:

1) Dengan tegas Sang Putera disubordinasikan dengan Bapa

29
2) Putera tidak semartabat, tetapi memiliki derajat yang lebih rendah dari Bapa.
3) Dia juga mempergunakan analogi yang salah untuk menjelaskan perbedaan antara
Bapa, Putera dan Roh Kudus (menganalogikan kesamaan hakikat dan perbedaan
pribadi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus dengan akar, cabang dan buah).

3.3. Origenes (+253): Teolog Trinitas Pertama

1. Origenes menjelaskan “iman akan kesatuan Allah dalam tiga Pribadi dalam rumusan
ini: mia ousia – treis hypostasis.

2. Diakui bahwa Origenes adalah teolog pertama yang merumuskan konsep Trinitas
dengan mempergunakan kata hypostasis:

1) Allah itu satu Triade dan tiga hypostasis: Bapa, Putera dan Roh Kudus.
2) Masing-masing hypostasis Ilahi berbeda dalam martabat dan kekuatan.
3) “Sesungguhnya, “ada” (martabat, kuasa) Putera berbeda dari Bapa”.
4) Bapa dan Putera saling respek dalam hypostasis;
5) Bapa dan Putera hanya satu dalam ‘harmoni, kehendak dan identitas’.

a. Dalam lingkup Ilahi, semua “ada”, “kebaikan” dan “keilahian” berasal dari
Allah Bapa dan dari Bapa diturunkan kepada Putera dalam bentuk partisipatif
melalui kekuatan Roh Kudus.
b. Hubungan antara Bapa dan Putera diungkapkan dengan kata “memperanak”
atau “mengasalkan”.
c. Kekekalan hidup Ilahi mengalir dari Bapa kepada Putera
d. Putera berpartisipasi dalam keilahian atau inti diri Allah sendiri.
e. Secara singkat dan padat dapat dirumuskan bahwa menurut Origenes:

o Masing-masing Triade Ilahi adalah satu hypostasis, namun berbeda, bukan


hanya dalam manifestasi, melainkan juga dalam seluruh kekekalannya.
o Itu berarti, Origenes merumuskan doktrin Trinitas dengan rumusan: satu
Triade dari tiga hypostasis, namun dalam bentuk subordinasi.

Bapa adalah Sumber/Asal keilahian Putera/Logos

Putera/Logos berasal/lahir dari Bapa. Logos menerima keilahian-Nya dari Bapa.

1) Logos tidak bersatu dengan Allah, Bapa-Nya dalam waktu, tetapi di luar waktu.
2) Logos tidak keluar dari pancaran natural hakekat Allah, tetapi berasal dari
kehendak esensial Bapa dan sehakekat dengan-Nya.
3) Putera menjadi Mediator.

Roh Kudus: Roh Kudus (dan Putera) berasal dari Bapa

30
1) Bapa, Putera dan Roh Kudus satu dalam Trinitas, kudus, Ilahi dan dalam kesatuan
hakekat Ilahi tersebut, pribadi Putera dan Roh Kudus berbeda dari semua ciptaan.
2) Bapa, Putera dan Roh Kudus dalam kesahakekatan dan keotonomian mereka
menjadi landasan ilahi bagi semua ciptaan.
3) Bapa, Putera dan Roh Kudus menyingkapkan aktivitas spesifik mereka dalam
perjalanan sejarah keselamatan sebagai energi ilahi yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya.

2.3. Aliran Subordinasianisme/Arianisme: Penolakan terhadap Iman kepada Allah


Trinitas

1. Riwayat:

1) Arius lahir di Libya (+250).


2) Dia belajar teologi di sekolah Lucianus Antiokhia dan ditahbiskan menjadi imam di
Aleksandria.

2. Pandangan:

1) Pemahamannya sangat dipengaruhi oleh pandangan Platonisme. Aliran ini


mengajarkan:

a. Allah yang Esa dan Tertinggi itu tinggal jauh di dalam transendensi-Nya yang
tidak terhampiri.
b. Allah tidak bisa berkontak dengan dunia.

2) Tampaknya, Arius sungguh-sungguh menguasai ajaran Platonisme, dialektika dan


eksegese yang mengesankan.

3) Dia menegaskan pendiriannya bahwa:

a. Logos/Sabda/Putera itu tidak kekal, diciptakan dari ketiadaan dan dalam waktu.
b. Logos itu ciptaan murni, bisa berubah sehingga ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesempurnaan-kesempurnaan yang baru.
c. Secara teoritis, Logos tidak membutuhkan bantuan khusus dari Allah dan Logos
bisa jatuh ke dalam dosa.
d. Logos adalah ciptaan pertama.
e. Logos lebih utama dari semua ciptaan.
f. Logos diciptakan secara bebas (tidak dijadikan melalui actus, tindakan, vital
yang perlu) sebagai sarana penciptaan.
g. Ajaran Arius dapat diringkas sebagai berikut:

a) Logos itu tidak kekal.


b) Logos itu ada dalam waktu.
c) Itu berarti, pada suatu ketika, Logos/Sabda itu tidak pernah ada dan
Logos itu berasal dari ketiadaan.

31
d) Dengan demikian disimpulkannya bahwa:

o Logos/Putera bukanlah Allah yang benar dari Allah benar.


o Apabila Logos itu sungguh-sungguh Allah, maka Logos tidak
bisa menjadi manusia.

h. Mengacu pada landasan pemikiran ini, Arius menegaskan beberapa hal


penting:
a) Di satu pihak, Logos, Sabda Allah itu ada dalam diri Bapa. Sabda Allah
adalah sifat Allah.
b) Di pihak lain, Logos itu tidak abadi seperti Allah Bapa sebab:

o Sebelum adanya waktu, Logos memperoleh eksistensi-Nya


langsung dari Allah,
o Namun bukan dari substansi Allah, melainkan dari ketiadaan.

c) Logos merupakan ciptaan pertama dan yang paling utama sebab:

o Logos langsung menerima eksistensi-Nya dari Allah,


o Sedangkan makhluk lain di alam ini diciptakan dengan
pengantaraan-Nya (Logos).

d) Logos tetaplah ciptaan, sebab pada suatu waktu, Logos itu tidak ada.
e) Sebagai ujian, Logos harus menjadi manusia dalam wujud yang radikal.
f) Dalam inkarnasi, Logos menggantikan jiwa manusia dalam kemanusiaan
Yesus.
g) Baginya, Yesus, Sang Logos yang Menjelma:

o Tidak memiliki jiwa manusiawi. Jiwa-Nya langsung digantikan oleh


Logos Ilahi.
o Selama hidup-Nya, Yesus semakin menyempurnakan diri-Nya hingga
akhirnya Dia layak dinamakan Allah.

b) Berbekalkan pengetahuan teologi yang dimilikinya, Arius menggugat ke-


Allah-an Kristus.
c) Berangkat dari pengandaian yang salah tentang Kitab Suci dan teologi
Kristen yang kukuh mempertahankan ke-Allah-an Putera, Arius
menegaskan bahwa:

o Yesus Kristus itu “allah” sejauh “eksistensi” yang ada pada-Nya itu
dianugerahkan dan diciptakan.
o Yesus Kristus tidak mempunyai substansi (hakikat) Bapa.
o Logos adalah sebuah eksistensi yang diciptakan, makhluk tengah yang
berada di antara Allah dan kosmos (ciptaan).

32
o Roh Kudus adalah ciptaan Logos – kualitas ilahi Roh Kudus lebih
rendah daripada Logos yang menjelma menjadi “daging”.

3. Hukuman:

1) Sinode Aleksandria (318) mengecam pandangan Arius dan para pengikutnya.

a. Arius mencari dukungan dari sahabatnya, Eusebius, Uskup Nikomedia.


b. Eusebius mengakomodasikannya dengan penuh empati.

2) Ancaman skisma yang mengguncang Gereja Yunani mendorong Konstantinus


memanggil Konsili di Nicea. Konsili tersebut mengutuk Arius dan inti ajarannya.
Arius diasingkan ke Illiria.

3) Pada tahun 335 para Uskup berkumpul di Sinode Tirus dan Jerusalem.

a. Dalam sinode ini para Uskup memutuskan bahwa Arius diizinkan untuk
mengadminisktrasikan tahbisan imamatnya.
b. Tatkata Arius bersedia untuk direkonsiliasikan dengan Gereja tiba-tiba Arius
wafat pada tahun 336.

3.5. Perkembangan Ajaran Resmi-Gerejani tentang Trinitas hingga Konsili


Konstantinopel

1. Ajaran Arius yang menyangkal keilahian Yesus Kristus menimbulkan pertentangan


hangat dalam Gereja, terutama di bagian Timur Kekaisaran Roma.
2. Tiga Sinode partikular di Afrika berusaha menyelesaikan konflik ini.
3. Dari ketiga Sinode ini, dua di antaranya setuju dengan ajaran Arius, sedangkan satu
Sinode menolak.
4. Karena mencuatnya kekuatiran akan terpecahnya kekaisarannya, maka Kaisar
Konstantinus mengumpulkan semua Uskup dari bagian Timur Kekaisarannya di Nicea
untuk berunding dan menentukan keputusan tegas berkenaan dengan ajaran Arius.
Keinginan Kaisar terwujud pada tahun 325 di Nicea.

1) Sinode Nicea ini dikenal sebagai Konsili Ekumenis Pertama dalam Sejarah Gereja.
2) Dalam Konsili ini, mayoritas peserta Konsili menetapkan dan menerima sebuah
Pengakuan Iman (Syahadat) dari Suriah/Palestina.
3) Dalam rumusan Pengakuan Iman tersebut, rumusan Kristologisnya diperluas untuk
menolak ajaran Arius.
4) Rumusan tersebut dipergunakan dalam liturgi Gereja di hampir semua Gereja
hingga saat ini:

a. ... Putera Allah yang tunggal.


b. Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad.

33
c. Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, Ia dilahirkan,
bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa”.

5) Dalam rumusan tersebut, kata “sehakekat” (homo-ousios) menjadi tanda khas; kata
kunci bagi Nicea dalam merumuskan keilahian dan kemanusiaan Yesus.

a. Para penganut Arianisme menerima rumusan ini, tetapi mereka tetap berjuang
untuk menafsir berdasarkan alam pemikiran mereka.
b. Berhadapan dengan sikap kaum Arianisme ini, Konsili tidak menjelaskan
kehidupan intratrinitaris yang sesungguhnya, sebab Konsili merasa bahwa tugas
utama mereka bukanlah membuat rumusan teologis, melainkan hanya
menentukan batas-batasnya.

a) Untuk melawan godaan triteisme (Trinitas, tiga Allah), Konsili


menegaskan keesaan Absolut Allah.
b) Terhadap aliran Subordinasianisme, Konsili menegaskan keilahian yang
otentik dari Yesus, Putera.
c) Untuk menjelaskan asal Yesus dari Bapa, Konsili mempergunakan kata
“dilahirkan” (lebih tepat “diperanakkan”) serta mempergunakan simbol
cahaya untuk mengungkapkannya.

5. Setelah kaum Arianisme resmi menyerah, Kaisar Konstantinus memberikan peluang


untuk berdiskusi dan memberikan interpretasi lebih lanjut atas pernyataan Konsili
Nicea.
6. Dalam diskusi tersebut, kaum Arianisme dikelompokkan berdasarkan aliran pemikiran
mereka masing-masing.

1) Aliran pertama mengajarkan bahwa Putera tidak mirip (anomo-ousios) dengan


Bapa.
2) Aliran kedua mengajarkan bahwa Putera itu mirip (homo-ousios) dengan Bapa
“menurut Kitab Suci”.
3) Aliran ketiga, yaitu Semiarianisme justru menolak pendapat Arius bahwa Putera
diciptakan dari ketidakadaan pada saat tertentu. Mereka juga menolak homo-
ousios yang dirumuskan oleh Konsili Nicea. Mereka justru mengajarkan bahwa
dalam segala hal, Putera mirip dengan Bapa (homo-ousios).

Catatan: Kaisar justru mendukung pendapat aliran Semiarianisme.

3.6. Konsili Nicea (325)

1. Konsili ekumenis Nicea menegaskan tiga gagasan teologis untuk menangkal krisis
iman Gereja yang diakibatkan oleh ulah Arius.

1) Pengakuan iman Nicea menjadi dasar kekristenan yang ortodoks, baik di Gereja
Barat maupun di Gereja Timur.

34
2) Walaupun fokusnya bersifat kristologis, namun inti pengakuan imannya serentak
berfungsi sebagai aturan iman dalam Gereja.
3) Dalam polemiknya melawan Arius, Konsili merumuskan inti pernyataan iman yang
singkat ini.

a. Rumusan Nicea didasarkan pada syahadat pembaptisan yang dipergunakan di


Jerusalem.
b. Syahadat ini dimaksudkan untuk menegaskan keilahian Kristus terhadap
pemahaman Arius tentang status-Nya sebagai ciptaan.
c. Selain menetapkan inti iman tentang Pribadi Yesus Kristus, Konsili juga
menetapkan ajaran tentang pengampunan dosa dan kehidupan kekal.

4) Dokumentasi tentang seluk-beluk dan proses Konsili ini sudah tidak ada lagi
sehingga satu-satunya sumber yang valid adalah tulisan tangan para sejarawan
Gereja dan penulis seperti Atanasius dan Basilius Caesarea.
5) Dengan ditetapkannya dektrit Konsili Nicea, secara teoritis, kontroversi arianisme
berakhir.

a. Akan tetapi, de fakto kontroversi tersebut berlanjut secara dramatis hingga tahun
381 (Konsili Konstatinopel I).
b. Kontroversi ini tidak hanya disebabkan oleh campur tangan negara, tetapi juga
akibat keanekaan pengertian dan penafsiran tentang istilah tertentu.

a) Untuk beberapa waktu lamanya, kata ousia dipergunakan untuk


menunjukkan esensi atau hakikat, yaitu apa yang menjadi realitas.
b) Di dalam kata ousia terkandung dua kekecualian yang berbeda:

o Di satu pihak, ousia berarti hakikat, kodrat, substansi;


o Di pihak lain, ousia juga berarti pribadi atau hypostasis.
o Kata hypostasis berhubungan dengan kata Latin substansi:
mengindikasikan apa yang berada di bawah, yang mendukung, yang
menjadi asal-usul, kekuatan dan realitas: secara perlahan, substansi
diartikan sebagai pribadi yang bertanggung-jawab, dianggap
sinonim.

c) Dalam rumusan Konsili Nicea, istilah ousia dipergunakan sebagai padanan


kata hypostasis.

o Sementara itu para konsiliaris mengajarkan bahwa Sabda itu kekal


sama seperti Bapa.
o Dia tidak diciptakan: Hypostasis atau ousia Sabda sama dengan
hypostasis atau ousia Bapa.

d) Di Barat, kedua kata ini masih lestari sebagai arti dari substansi dan kodrat.
e) Namun, di Timur, kata-kata ini sungguh-sungguh dibedakan.

35
o Hypostasis mengandung arti pribadi dan ousia lebih dekat dengan arti
substansi atau kodrat.
o Karena ambiguitas makna kata ini, maka ketika orang-orang Timur
berbicara tentang tiga hypostasis¸sesungguhnya yang dimaksudkan
adalah tiga divinitas yang terpisah.
o Namun, ketika orang Barat berbicara tentang substansi, maka orang-
orang Timur mengerti makna kata tersebut sebagai satu-satunya
hakikat dan tidak bersifat pribadi.

c. Sementara itu, formulasi iman terus bertambah.

o Hal ini dapat dimengerti sebab formulasi-formulasi itu dinilai ortodoks.


o Akan tetapi, fakta ini sangat berbahaya sebab rumusan-rumusan itu hanya
bertujuan untuk menghindari penggunaan terminologi homo’ousios yang
tetap tinggal ambigu.
o Pada saat ini, kelompok-kelompok yang setia mempergunakan terminologi
homo’ousios disebut pembela Credo Nicea. Kelompok tersebut menolak
setiap bentuk kompromi. Para pembela Credo Nicea adalah:

3.7. Atanasius Aleksandria (295-373): Doktrin Trinitarian Soteriologis

1. Dalam Konsili Nicea, perjuangan para Bapa Konsili tidak hanya terarah pada usaha
untuk mengembangkan dan meneguhkan Doktrin Kristologi, melainkan juga Doktrin
Trinitas.
2. Dalam membela ajaran Konsili Nicea, Atanasius menekankan kesamaan hakikat antara
Bapa dan Putera.

1) Homo-ousios dari Konsili Nicea justru menjadi inti ajarannya.


2) Walaupun demikian, dia tidak bisa menjelaskan perbedaan antara Bapa dan Putera.
3) Dia tidak mempergunakan kata prosopon karena kata tersebut sudah salah
dipergunakan oleh kaum Modalisme (prosopon: topeng); sedangkan kata ousia dan
hypostasis masih belum terbedakan, tetapi diberikan makna yang sama, yaitu
hakikat.

a) Allah adalah Bapa. Dia adalah Bapa dari Putera.


b) Putera berasal dari Bapa sejak Kekal. Putera tidak berawal.
o Sejak kekal, Bapa itu ber-Putera.
o Putera adalah Putera Kekal Bapa.
o Bapa adalah Bapa Kekal bagi Putera.
o Hanya jika Bapa dan Putera itu Kekal, maka Yesus, Allah yang
menjelma bisa menganugerahkan kehidupan kekal kepada manusia
dan menjadikan manusia menyerupai Allah.
o Melalui Putera yang Kekal, Allah mendekati manusia.

36
c) Roh Kudus:
o Roh Kudus Allah berasal dari hakekat terdalam diri Allah dan
tersembunyi dalam diri-Nya (I Kor 2,10s;
o Roh itu adalah Allah sendiri, namun berbeda dari Bapa dan Putera.
o Hanya dalam Roh Kudus dikomunikasikan Bapa dan Putera.
o Asal Putera dari Bapa harus dibedakan dengan asal Roh Kudus sebab
Putera dan Roh Kudus bukanlah bagian ibarat sepasang saudara yang
paralel.
o Roh Kudus tidak berasal dari Bapa sebagaimana Putera datang dari Bapa.
o Putera dan Roh Kudus datang dari Bapa dengan cara yang spesifik,
namun tidak saling memperanakan dalam arti subordinasi.
o Putera dan Roh Kudus dengan cara yang sama berasal dan satu dengan
dengan esensi Allah.
o Hypostasi Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera

a. Secara singkat, Doktrin Trinitarian Atanasius dirumuskan dengan


pernyataan tersebut: “Satu Allah dalam tiga hypostasis”.

o Hypostasis Putera berbeda dari Hypostasis Bapa sebab Putera


berasal dari Bapa;
o Hypostasis Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dari ousia Bapa dan
Putera.
o Hypostasis Putera berasal dari ousia Bapa, sedangkan hypostasis Roh
Kudus berasal dari Bapa dan Putera.
o Menurut Atanasius, keilahian Roh Kudus analog dengan Putera:

 “Apabila Roh Kudus bukan Allah dan tidak berasal dari


homo’ousios Bapa, itu berarti Roh Kudus tidak Ilahi.
 Namun tidak seorang pun yang meragukan keilahian Roh
Kudus sebab berasal dan sekodrat dengan Allah Bapa dan
Allah Putera.
 Bapa, Putera dan Roh Kudus satu dalam kodrat dan satu
dalam keilahian Trinitas.

3. Konsekuensi dari sebuah kesetiaan:

1) Karena kesetiaaanya terhadap ortodoksi Credo Nicea, maka Atanasius kerap


ditangkap dan diasingkan.
2) Dia bukanlah seorang teolog spekulatif, melainkan hanya seorang imam yang
sangat prihatin dengan adanya ancaman dari kafirisme yang disuburkan oleh
arianisme.
3) Keinginannya adalah:
a. Melindungi kesucian tradisi Gereja

37
b. Melindungi doktrin dan iman Gereja Katolik yang dianugerahkan Tuhan,
dikotbahkan para Rasul dan para Bapak Gereja agar senantiasa dipertahankan
dan dilestarikan.
c. Gigih memperjuangkan esksistensi Trinitas <<dalam kebenaran dan
kenyataan>>.

a) Dia menegaskan bahwa Sabda tidak pernah diciptakan; Sabda berasal dari
dan sehakikat dengan Bapa.
b) Anak memiliki kepenuhan Ilahi, sebuah refleksi atas tesis St. Paulus dalam
Kol 2,9 – dan sungguh-sungguh Allah. Bapa dan Anak memiliki kodrat yang
sama dan kekal sifatnya.
c) Roh Kudus tidak mungkin menjadi ciptaan dan bagian dari Trinitas. Roh
Kudus adalah Allah.

3.8. Hilarius Poitiers (+367)

1. Adapun Doktrin Trinitarian Hilarius:

1) Secara fundamental, Doktrin Trinitas Hilarius sama dengan Doktrin Trinitas


Origenes.
2) Namun, Hilarius menerjemahkan kesatuan itu dengan menggunakan kata
homo’ousios.

a. Allah Trinitas memiliki satu substansi


b. Kesatuan Bapa dan Putera diekspresikan dengan kata hakikat (kodrat), esensi.
a) Bagi Hilarius, kata substansi identik dengan kata ousia.
b) Kata tersebut mengindikasikan kesatuan pribadi-pribadi Trinitas.
c) Sedangkan untuk menjelaskan perbedaan dari masing-masing Pribadi Ilahi
dalam Trinitas, dia menggunakan kata hypostasis.
d) Bagi Hilarius, Allah Trinitas adalah Allah yang terdiri dari satu substansi
atau ousia dan tiga hypostasis.

4. Doktrin Trinitarian para Bapa Capadocia

1. Dalam tulisan para Bapa Capadocia yang bersifat anti-Arianisme tampak beberapa
penegasan penting mengenai Iman Trinitarian:

1) Mempertahankan kesahekatan (consustanziale, homo’ousios) Putera dan keilahiaan


otentik dari Roh Kudus (sungguh-sungguh Ilahi).

2) Menegaskan perbedaan antara pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.

38
3) Sembari bergumul dengan persoalan Trinitas, mereka juga memberikan sumbangan
pemikiran dan permenungan yang tidak ternilai bagi Gereja berkenaan dengan
konsep dan terminologi dari Misteri Trinitas.

a. Untuk menghindari salah pengertian yang berbauh modalistik dari homo’ousios


Putera Allah, mereka menegaskan bahwa:

a) Ousia (Latin substantia, esentia) mengindikasikan “Ada” dan “Kesatuan


Esensi Ilahi,
b) Hypostasis (Latin subsistentia, persona) menyingkapkan otonomi pribadi
Bapa, Putera dan Roh Kudus.

b. Gregorius Nazianze menyebutkan hypostasis dengan prosopon.

Untuk menghindari keterpisahan relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus
seperti yang diajarkan penganut modalisme, maka kata prosopon dipaparkan
originalitas maknanya sebagai <<masker seorang aktor>> sebab perbedaan
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus hanya berada dalam tataran keilahian
yang monopersonal.

c. Menurut para Bapa Capadocia, hakikat Ilahi yang tidak terbatas (secara absolut)
tidak bisa dipahami.

d. Namun, hakikat yang esa ini justru mengembangkan diri ke dalam ketigaan:
Bapa, Putera dan Roh Kudus.

e. Hakikat yang ada dalam ketigaan ini bisa dipahami sebagai berikut:

a) Ketiganya memiliki sifat-sifat hypostasis, yaitu sifat khas masing-masing


pribadi Ilahi yang tidak bisa diberikan oleh satu kepada yang lain. Adapun
sifat-sifat itu:

o Hypostasis (ciri khas/kekhasan) Bapa adalah: Tidak dilahirkan


sebab Dia adalah Sumber tanpa Sumber; Dia adalah Sumber
Terakhir.
o Hypostasis Putera adalah: Dilahirkan
o Hypostasis Roh Kudus adalah: Dihembuskan.

b) Ketiga pribadi Ilahi ini satu dalam hakikat yang terbatas dalam Bapa, yang
dari-Nya asal Putera dan Roh Kudus tanpa meninggalkan-Nya.

c) Hakikat Ilahi yang esa itu hidup dalam tiga hypostasis atau kenyataan.

f. Secara kompleks, para Bapa Capadocia mengangkat pelbagai argumentasi


keselamatan dan soteriologis historis sebagaimana dipaparkan Atanasius.

39
g. Cara ini ditempuh untuk mempertahankan inti ajaran iman (apalogetika) tentang
Trinitas, yaitu:

a) “Kesatuan esensi Ilahi dan tiga hypostasis ilahi, namun tidak saling
bertentangan”.
b) Hypostasis tidak menyingkapkan (di dalam diri Allah) segala sesuatu yang
sungguh-sungguh paralel di antara ketiga pribadi Ilahi: Bapa, Putera dan
Roh Kudus adalah Allah yang Esa dan Tunggal serta membentuk kesatuan
dan ketunggalan Allah.

c) Di dalam doktrin Trinitasnya, Gregorius dari Nazianze menerjemahkan


hubungan antara gagasan hypostasis, gagasan “relasional” dan secara
mendalam mempengaruhi gagasan Agustinus.

 Hypostasis Ilahi berada dalam relasi asali di antara mereka, yaitu


dalam “wujud relasi”.
 Esensi Ilahi secara original berdiam dalam Bapa, yang
diaktualisasikan dalam esensi-Nya sebagai Allah yang dari kekal
mengasalkan Putera dan dengan cara yang sama mengasalkan Roh
Kudus sejak kekal.
 Relasi yang berasal dari Bapa tidak memperlihatkan pergerakan dari
atas ke bawah dan tidak didasarkan pada beberapa gradasi atau nilai
di dalam esensi Allah.
 Setiap pribadi Ilahi memiliki keunikannya sehingga bisa dibedakan
antara satu dengan yang lainnya dalam relasi antara homo’ousios
Putera dan homo’ousios Roh Kudus dengan Bapa.
 Relasi di antara hypostasis Ilahi disatukan dalam Ada, Esensi dan
Kehidupan Allah yang Tunggal dan Esa.
 Hanya dengan cara demikian, kita bisa meyakini bahwa:

 Bapa tidak diasalkan, sebab Dia mengaktualisasikan


hypostasis-Nya dalam Peternitas-Nya;
 Bapa mengasalkan keilahian-Nya kepada Putera, yang
mengaktualisasikan hypostasi-Nya dalam Keputraan-Nya,
berasal dari Bapa sebagai Putera Kekal Bapa;
 Bapa mengasalkan keilahian-Nya kepada Roh Kudus dan
mengaktualisasikan hypostasisnya sebagai Cinta Bapa.

5. Doktrin Trinitarian Agustinus: <<Intellectum Fidei>> Trinitario

a. Hakekat (Esensi) Allah Tritunggal adalah Cinta.


b. Bapa adalah Dasar, Sumber dan Originalitas hakekat Ilahi serta “Asal” bagi Putera
dan Roh Kudus.

40
c. Kehidupan Trinitarian seutuhnya berasal dan bersumber dari Bapa kepada Putera
dan dipersatukan dalam kekuatan Roh Kudus:
o Roh Kudus mempersatukan Bapa dan Putera sebagai Cinta.
o Personalitas Roh Kudus diimani sebagai Cinta timbal-balik antara Bapa dan
Putera.
o Sang Putera yang menjelma melalui peristiwa inkarnasi dan Roh Kudus yang
dicurahkan untuk memperbaharui dan menghantar manusia kepada momen
eskatologis berkarya aktif dalam realitas historis.
o Roh Kudus adalah caritas, donum dan communitas antara Bapa dan Putera serta
sebagai pemberian Allah kepada manusia.

Untuk menjelaskan kesatuan Allah dan perbedaan antara individu dalam


kesatuan Tritunggal, Agustinus mempergunakan kata ousia dan hypostasis.

Dia sangat menekankan kesatuan Allah sehingga dia menolak penjelasan para
Bapa Capadocia mengenai kesatuan hakikat yang dimiliki Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Baginya, para Bapa Capadocia cenderung membandingkan konsep ousia dengan


paham generik manusia; Sedangkan hypostasis (keunikan masing-masing pribadi Ilahi;
individu) dibandingkan dengan manusia-manusia tertentu (seperti Petrus, Yohanes dan
Andreas). Sejauh menyentuh hakikat manusiawi yang dimiliki oleh semua manusia, maka
ketiganya diakui sebagai makhluk manusiawi dan semua manusia itu sehakikat.
Sebaliknya, sejauh realitas manusiawi yang bersifat umum (menyentuh semua manusia)
itu diungkapkan secara definitif dalam eksistensi pribadi yang konkret (melalui Petrus,
Yohanes dan Andreas), maka mereka adalah pribadi.

Menurut Agustinus, perbandingan ini tidak menjelaskan misteri Trinitas secara


tuntas sebab dimensi yang lebih ditonjolkan bukanlah kesatuan, tetapi perbedaan di antara
ketiga Pribadi Ilahi.

Allah itu satu hakikat, tiga diri. Untuk menyingkapkan hakikat Allah yang
Satu, Tiga Diri ini, Agustinus mempergunakan kata substansi sebagaimana
dipergunakan dalam Tradisi sebelumnya.

1) Dia menafsirkan kata substansi sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,


2) Aksidens sebagai sifat yang terdapat dalam sesuatu yang lain.
3) Sifat tersebut ditambahkan pada substansi.

Dalam kerangkah filosofis ini, Agustinus menjelaskan hakikat Allah sebagai berikut:

1) Allah merupakan substansi Ilahi yang esa.


2) Allah tidak memiliki accidentia.
3) Dalam kodrat diri Allah tidak mungkin ada aksidens sebab dalam menentukan
sesuatu, aksidens bisa berubah.
4) Padahal Allah tidak bisa berubah (dalam menentukan sesuatu).
5) Dalam kodrat Allah hanya ada sifat-sifat yang identik dengan hakikat-Nya, seperti
tidak bisa berubah atau sederhana/tidak tergabung.

41
6) Karena itu, ketigaan dalam Diri Allah tidak bisa dimengerti sebagai suatu
aksidens.

7) Ditegaskannya bahwa:

a. Antara hakikat (substansi, esensi) dengan aksidens berada dalam “relasi”,


yaitu relasi Allah Trinitas: Allah adalah Bapa, Allah adalah Putera dan Allah
adalah Roh Kudus.
b. Bapa adalah dasar dan asal Sang Putera;
c. Putera berasal dari Bapa.
d. Roh Kudus adalah rahmat kesatuan Bapa dan Putera.
e. Bapa, Putera dan Roh Kudus dibedakan dalam Deus Trinitas, yaitu dalam
relasi yang real antara “asal, dasar” dengan “yang diasalkan”.
f. Masing-masing pribadi Ilahi berada dalam kesatuan dan keutuhan relasi, satu
hakikat Ilahi.
g. Akan tetapi, relasi itu bukanlah aksidens (sesuatu yang bisa ada, tetapi tidak
seharusnya ada pada sesuatu. Misalnya, kebapaan seorang manusia).
h. Relasi dalam diri Allah bukanlah tambahan pada hakikat-Nya, tidak mengubah
hakikat-Nya, melainkan identik dengan hakikat-Nya sehingga relasi itu kekal,
tanpa awal dan akhir.

8) Dijelaskannya bahwa:

a. Allah Trinitas adalah Allah yang Esa dan Benar.


b. Allah yang diimani dan dipikirkan sebagai Bapa, Putera dan Roh Kudus.
c. Ketiga pribadi Ilahi tersebut satu dalam hakikat (esensi).

a) Bapa adalah yang pertama.


b) Bapa mengasalkan Putera dan Roh Kudus.
c) Keilahian itu bukanlah Bapa, melainkan kesatuan hakikat tiga pribadi Ilahi.
d) Itu berarti Allah Tritunggal adalah Allah yang Esa dan Tunggal.
e) Akar kesatuan Allah in se bukanlah konsekuensi dari kesatuan radikal yang
dikerjakan Allah bagi manusia.
f) Allah Trinitas adalah Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu.

1. Dalam konteks ini, bisa dimengerti mengapa Agustinus tidak suka mempergunakan
kata “diri”, atau “pribadi” (Persona, Prosopon) untuk mengungkapkan kesatuan di
antara pribadi-pribadi Ilahi.

1) Dia lebih suka mempergunakan kata relatio sebab ketigaan itu berada dalam relasi.
2) Penggunaan kata relatio didasarkan pada pertimbangannya bahwa:

a. Ketiga “diri”, “pribadi” Ilahi, dari diri sendirinya tidak berbeda.


b. Ketiga pribadi Ilahi hanya berbeda dalam relasi antara satu dengan yang lain
dan terhadap dunia.

42
c. Baginya, relatio mengacu dan menyentuh kehidupan batin Allah (inter-trinitas,
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus) serta hubungan antara Allah dengan dunia
ciptaan.
d. Secara hakiki, Allah yang esa berelasi dalam diri-Nya.
e. Setiap relasi identik dengan hakikat Ilahi-Nya dan substansi Ilahi itu sendiri
menjadi jaringan relasinya.
f. Dalam lingkup terminologi biblis bisa dirumuskan bahwa hakikat Allah itu
adalah cinta.
g. Sesungguhnya pernyataan surat Yohanes ini menyingkapkan inti iman tentang
Allah sebagai Tritunggal.

3) Berkenaan dengan sifat-sifat Allah Trinitas ini ditegaskannya:

a. Allah itu “Sempurna”, “Baik”, “Mahakuasa”.


b. Sifat-sifat mutlak ini menyingkapkan kesatuan kodrat Allah dan hanya dapat
dikatakan mengenai Trinitas dalam kesatuan-Nya.

4) Akan tetapi, apabila berbicara tentang Bapa, Putera dan Roh Kudus, muatannya
tidaklah demikian:

a. Sebutan Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah sebutan-sebutan yang bersifat
relatif:

a) “Sebab bukan setiap mereka merupakan Bapa, atau Putera terhadap diri-Nya
sendiri, melainkan yang satu terhadap yang lain.
b) Di dalam Allah segala sesuatu adalah satu “kecuali apa yang mengenai
masing-masing Pribadi dikatakan berhubungan dengan Yang Lain”.

b. Untuk memahami keunikan masing-masing Pribadi Ilahi, maka patut ditegaskan


beberapa pernyataan hakiki ini:

a) Pernyaan Primer:

Apabila dikatakan bahwa “Allah adalah Bapa”, maka pernyataan tersebut


hanya merujuk pada Bapa, bukan tentang kesatuan Allah Tritunggal.

b) Pernyataan Sekunder:

Apabila “Allah, Bapa” dihubungkan dengan makhluk ciptaan yang diangkat


menjadi anak-anak-Nya, maka pernyataan ini juga menyingkapkan kesatuan
Allah Tritunggal (pernyataan sekunder).

c) Apabila pernyataan sekunder ini dipahami sebagai kesatuan Allah


Tritunggal, maka di dalam kesatuan itu ditemukan perbedaan di antara ketiga
Pribadi Ilahi dalam Trinitas:

43
o Adalah “mungkin” untuk menyebut ketiga Pribadi Ilahi dalam
Trinitas dengan kata “Bapa”.
o Tetapi, sangat tidak mungkin menyebutkan ketiga Pribadi Ilahi dalam
Trinitas itu dengan kata “Putera”.
o Konsep “Putera”, “Keputeraan” sama sekali tidak bisa dirujukan pada
dua Pribadi Ilahi lain dalam Trinitas.
o Bagaimanakah dengan Roh Kudus? Unsur manakah yang
menyebabkan Roh Kudus memiliki hubungan khusus/istimewa
dengan Bapa dan Putera serta menjadi Pribadi Ilahi seperti Bapa dan
Putera?
o Menurut Agustinus, Roh Kudus memiliki keunikan: Sang Roh
merupakan pemberian timbal-balik antara Bapa dan Putera; ikatan
cinta kasih itu mempersatukan Bapa dan Putera.

 “Roh Kudus adalah persekutuan yang tidak terpisahkan dari


Bapa dan Putera.
 Nama-Nya diperoleh-Nya dari kenyataan bahwa nama itu bisa
juga diterapkan kepada Bapa dan Putera.
 Sebab sebutan yang pada Dia diterapkan dalam arti yang
sebenarnya, berlaku bagi Dua Pribadi Ilahi Yang lain sebagai
sebutan umum.
 Bukanlah Bapa adalah Roh; bukanlah Putera juga Roh?
Demikian Bapa dan Putera itu Kudus.
 Untuk mempergunakan nama yang dimiliki bersama oleh Bapa
dan Putera serta menunjukkan bahwa Roh Kudus merupakan
persekutuan dari Kedua Pribadi Ilahi tersebut, maka wujud
pemberian dari Kedua Pribadi Ilahi tersebut, yaitu Bapa dan
Putera dinamakan Roh Kudus”.

5) Apabila dogma Trinitarian Agustinus tentang “Satu Allah, Tiga Diri” ini ditafsir,
terutama dalam lingkup pemahaman tentang Trinitas Imanen maka dapat ditemukan
alur pemikiran ini:

a. Sebutan Bapa, Putera dan Roh Kudus tidak menyingkapkan perbedaan substantial,
kuantitatif dan kualitatif sebab perbedaan hakikat, jumlah dan mutu tidak
ditemukan dalam Ketiga Diri Ilahi.

b. Yang terungkap dalam pernyataan tersebut adalah relasi kekal/abadi.

a) Bagi Agustinus, relasi tersebut berbeda dengan konsep filosofis Aristoteles


mengenai accidens atau sesuatu yang ditambahkan pada hakikat Ilahi sebab
relasi yang bersifat aksidental bisa berubah, sedangkan relasi di antara Ketiga
Diri Ilahi bersifat Kekal, Tidak Berubah.

b) Dari kekal hingga kekal, Allah bukan hanya Bapa semata, melainkan Allah
Tritunggal yang Maha Esa, Bapa, Putera dan Roh Kudus.

44
c. Karena landasan iman ini, Agustinus mempertahankan kekhasan masing-masing
Pribadi Ilahi, kendati konsep pribadi kerap disalah-mengerti.

a) Agustinus mempergunakan kata pribadi karena tiada kata/bahasa yang tepat


untuk menyingkapkan isi misteri ilahi yang tidak terperikan ini.
b) Oleh karena itu, Agustinus berusaha sedaya mampunya untuk menjelaskan
rumusan Tiga Pribadi.
c) Akan tetapi, rumusan itu tidak mengungkapkan “bagaimana Allah
sesungguhnya”.
d) Agustinus sadar dan beriman bahwa di dalam diri-Nya, Allah itu tidak
terkatakan dengan bahasa manusia.
e) Dia berkeyakinan bahwa manusia wajib berbicara tentang Allah, walaupun
Dia tidak terkatakan.

f) Berkenaan dengan itu dipaparkan empat alasan mendasar:

o Kita harus menghindarkan gambaran dan bayangan yang salah tentang


Allah supaya tidak jatuh ke dalam penyembahan berhala dan mencintai
berhala-berhala.
o Kita mempunyai misi untuk menolong sesama dalam pergumulan mereka
mencari Allah.
o Untuk bisa berbicara dan menikmati kebaikan Allah, kita dituntut untuk
mewartakan keangungan dan kebaikan-Nya yang tidak terperikan itu,
menghormati, memuji dan mengaguminya.
o Semua usaha untuk berpikir dan berbicara tentang Allah dimaksudkan agar
kita membuka diri terhadap misterisitas-Nya yang sama sekali lain dan
transenden.
Kata-kata manusiawi yang dpergunakan bertujuan untuk
mengarahkan pikiran yang tepat dan senantiasa diingatkan bahwa
Allah sendirilah yang menjadi titik terakhir kerinduan manusia.

g) Dalam kotbathnya yang berinspirasikan Injil Yohanes, Agustinus berkata:


“Merindukan, mengejar dan mendambakan Allah itu mungkin bagi kita;
memikirkan atau mengungkapkan-Nya dengan kata-kata yang layak bagi-Nya
itu tidak mungkin”.
h) Untuk mengilustrasikan hidup Trinitas Allah, Agustinus berbalik kepada hidup
manusia sendiri.

o Diakuinya bahwa di dalam diri manusia terkadung daya yang bisa


disejajarkan dengan relasi dalam diri Allah, misalnya roh,
pengertian, cinta; ingatan, akal dan kehendak.
o Usaha ini dinamakan “ajaran psikologis tentang Trinitas”.
o Walaupun demikian, ditegaskannya bahwa daya jiwa manusia ini
hanyalah sebuah ilustrasi untuk melukiskan hidup Allah Tritunggal.

45
o Dari daya-daya tersebut tidak dengan serta-merta disimpulkan
adanya Allah Tritunggal.
o Pengetahuan tentang Allah Tritunggal diterima dari Wahyu Allah
sendiri dalam sifat-Nya yang Tritunggal.
o Ilustrasi mengenai keadaan batin manusia ini hanyalah ilustrasi atau
analogi agar manusia bisa membayangkan, apa artinya Allah dan
kodrat-Nya yang Tritunggal.

i) Ilutrasi yang sama juga ditemukan tatkala Agustinus membandingkan Allah


Trinitas dengan Yang Mencinta, Yang Dicinta dan Cinta itu sendiri.

o Dengan ilustrasi ini, sama sekali tidak dibayangkan mengenai


adanya tiga subyek dalam diri Allah.
o Agustinus tahu bahwa perumpamaan dalam wujud apa pun sama
sekali tidak sesuai dengan kenyataan dalam diri Allah.
o Dengan ilustrasi tersebut, dia hanya menegaskan bahwa pelbagai
daya yang berbeda dalam diri manusia ini merupakan daya dalam
jiwa manusia yang satu dan dalam perbedaan daya yang bersatu itu,
jiwa manusia dilukiskan sebagai gambar Allah Tritunggal sendiri.

5.1. Relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus

1. Relasi sudah ditemukan dalam nama-nama Biblis: Bapa dan Putera.


2. Oleh karena itu tidak perlu berangkat dari sebuah konsep tentang persona yang
dipikirkan sebagai substansi, esensi dan menyempurnakannya dengan kategori
relasional.

1) Relasionalitas sudah ada di dalam personalitas atau pribadi itu sendiri, yaitu dalam
Paternitas, Keputeraan dan dalam Roh Kudus Allah.
2) Oleh karena itu, Allah itu Esa dan setiap pribadi Ilahi secara relasional dibedakan
antara yang satu dari yang lainnya.
3) Perbedaan antara tiga pribadi Ilahi menurut kategori Aristoteles, bukanlah
perbedaan aksidental, melainkan perbedaan relasi, yaitu relasi yang real, yang
membentuk hakikat itu sendiri.
4) Esensi kekal Allah mengandung arti bahwa dari kekal, Dia adalah Bapa dari Putera.
5) Perbedaan Paternitas, aktivitas penciptaan bukanlah bagian dari esensi Allah, sebab
ciptaan itu tidak penting.
6) Yang terpenting adalah diciptakan karena Cinta.

a. Pribadi-pribadi Ilahi bukanlah bagian, fase atau momentum Allah, melainkan


setiap keunikan atau singularitas pribadi in se, dalam relasinya dengan yang
lain, Allah yang Tunggal dan Benar.
b. Oleh karena, sangat penting dikatakan bahwa Allah itu Deus est Trinitas.
c. Perbedaan antara pribadi-pribadi Ilahi berada dalam relasi dan bukan dalam
perbedaan esensi yang real.
46
d. Tindakan esensial Allah menyatu dengan pribadi-pribadi Ilahi yang berbeda
dalam relasi timbal balik di antara mereka.

7) Keunikan Roh Kudus berada dalam kenyataan bahwa:

a. Sejak kekal Roh Kudus merupakan pemberian (Il dono, rahmat) timbal balik
dari Bapa kepada Putera dan di dalamnya Putera memberikannya kembali
dengan cinta yang total kepada Bapa-Nya.
b. Bapa dan Putera berbeda, namun di dalam Roh Kudus Bapa dan Putera
dipersatukan dari kekal sebagai kesatuan Cinta.
c. Roh Kudus adalah Rahmat, Cinta dan Pemersatu.

8) Apabila dipertimbangkan dalam terang kesatuan Trinitas Economia-Penyelamatan,


maka:

a. Roh Kudus merupakan Rahmat keselamatan dan sejarah keselamatan Allah dan
Allah menganugerahkannya.
b. Roh Kudus adalah cinta Allah bagi manusia dan di dalam manusia dan Allah,
dalam pewahyuan diri-Nya memberdayakan manusia dengan daya rahmat Ilahi-
Nya untuk memberikan tanggapan atas panggilan-Nya dalam iman, harapan dan
cinta serta memasukan kita ke dalam persekutuan cinta dengan-Nya.
c. Oleh karena itu, setiap pribadi manusia dan Gereja-Nya menjadi imaginasi,
tanda dan sakramen persekutuan dengan pribadi Ilahi dan dengan persatuan
Bapa, Putera dan Roh Kudus.

9) Bagi Agustinus, relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus tidak bisa direduksikan
ke dalam hakikat esse ed se, tetapi ke dalam esse ed aliud.

a. Bapa tidak bisa dibedakan dari Yang Ilahi, Yang Kudus dan Yang Hidup, tetapi
hanya dari Putera dan dari Roh Kudus.
b. Demikian juga Putera dan Roh Kudus tidak dibedakan dari Yang Ilahi, Yang
Kudus dan Yang Hidup, tetapi hanya dari Bapa.

10)Dengan cara ini, Agustinus mempertahaknkan doktrinnya tentang relasi dan


perbedaan antara tiga kata atau pengertian absolut (Allah, Kekal, Maha Kuasa
mengindikasikan hakikat Ilahi). Semua pengertian relatif:

6. Anselmus dari Centerbury mengembangkan inti ajaran Trinitas Agustinus ini.

1) Menurut Anselmus, sebelum segala zaman, Allah sudah berpikir dan berbicara
dalam diri-Nya sendiri.
2) Berpikir dan berbicara dalam diri Allah tidak berbeda dari hakikat-Nya, melainkan
identik dengan hakikat-Nya.
3) Apabila Allah berbicara, Dia tidak menyampaikan banyak informasi, tetapi hanya
menyampaikan satu Sabda dan melalui Sabda itu, substansi Ilahi-Nya yang paling
tinggi ini mengungkapkan diri-Nya.

47
4) Karena itu, Sabda yang satu itu dipandang sebagai Putera Tunggal dari substansi
tertinggi itu sendiri.

a. Substansi Tertinggi dan Sabda-Nya itu saling mencintai.


b. Cinta itu berasal dari keduanya dan cinta itu tidak lebih kecil dari substansi
tertinggi itu.
c. Karena cinta itu menghubungkan Bapa dan Putera, maka Dia tidak bisa
dipandang dan tidak bisa dipikirkan sebagai “diperanak”, melainkan “berasal”
dari Bapa dan Putera.
d. Seturut hakikat-Nya, Cinta itu sama dengan Bapa dan Putera. Cinta itu sama
dengan Allah, Cinta itu adalah Allah.
e. Dalam Wahyu, Cinta itu dinamakan Roh Kudus.

7. Ajaran Scolastik tentang Allah dan Trinitas

Ketika berbicara tentang Allah Tritunggal, Teologi Scolastik terlebih dahulu


berbicara tentang hakikat Allah (ens a ese): hakikat Allah in se ada dan ditemukan dalam
diri-Nya sendiri. Karena hakekat Allah berada di dalam diri-Nya sendiri, maka hakikat itu
bersifat absolut dan secara fundamental berbeda dari semua adaan di alam ini sebab
semua adaan yang diciptaan dan non-Allah merupakan ens ab alio: adanya bergantung
pada ada yang lain.

8. Doktrin Trinitarian Ricardo di San Vittore

1. Keunikan wawasan Ricardo di San Vittore (+1173) ditemukan dalam konsepnya


tentang Trinitas dan Cinta sebagai Inti Kehidupan Allah (I Yoh 4,8.16).

1) Allah bukanlah Realitas di seberang sana yang mustahil dijangkau oleh nalar
manusia.
2) Allah adalah Kebenaran Tertinggi.

a. Allah melingkupi cinta kita sebagai Kebenaran Tertinggi, dan harus ada di
dalam cinta-Nya sendiri.
b. Cinta hanya bisa dipikirkan dalam wujud dialogis.
c. Sebuah bangunan relasi antara Allah dan manusia dinyatakan tidak sempurna
dan tidak adekuat apabila tidak dilandaskan pada pemberian Cinta.

3) Allah adalah sumber kesatuan tertinggi bagi yang mencintai dan dicintai.

a. Hanya dalam relasi antara Aku dan Engkau, Cinta Ilahi diaktualisasikan secara
dialogis.
b. Cinta akan menggapai kepenuhannya hanya apabila relasi baru antara Aku dan
Engkau membuka relasi yang ketiga untuk memperlihatkan kekuatan cinta di
antara mereka.

48
c. Yang ketiga adalah kondisi yang mempersatukan antara yang mencintai dan
yang dicintai.
a) Dalam bahasa Trinitarian, yang ketiga adalah Roh Kudus.
b) Roh Kudus mempertemukan, mempersatukan dan menyempurnakan cinta
Bapa dan cinta Putera.
c) Roh Kudus berbeda dari Bapa dan Putera, namun sehakekat dengan Allah.

d. Perbedaan tersebut merupakan konsekuensi dari kekhususan hypostasis Ilahi


yang melekat pada diri-Nya.

a) Bapa adalah Cinta yang memberikan diri;


b) Putera adalah Cinta yang menerima dan memberikan diri,
c) Roh Kudus adalah Cinta yang menerima dan mempersatukan cinta Bapa dan
Putera.

e. Relasi asali tersebut memperlihatkan keunikan (kualitas) yang membentuk


pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.

a) Keunikan masing-masing pribadi Ilahi tidak bisa diganti dengan atribusi


yang lebih kausal daripada kualitas Ilahi dari masing-masing pribadi
(misalnya Potensi Ilahi Bapa, Kebijaksanaan Putera dan Kebaikan Roh
Kudus).
b) Atribut-atribut tersebut bukanlah pembentuk kualitas pribadi Ilahi.

9. Doktrin Trinitarian Santo Bonaventura

1. Bonaventura (1217-1274) mengelaborasikan Doktrin Trinitasnya dalam buku


pertamanya yang berjudul Commento alle Sentenze.

2. Konsep Allah Tritunggal:

1) Allah adalah Kebenaran Tertinggi

2) Allah mewujudkan esensi-Nya dengan mengomunikasikan kodrat kekal Ilahi-Nya


di antara pribadi Ilahi.
3) Pewahyuan diri Allah kepada ciptaan memiliki karakter lain dan dibedakan dari
yang pertama.
4) Allah menjadi bagian bagi diri-Nya sendiri dan mewahyukan esensi diri-Nya
sebagai Pewahyu kepada yang diwahyukan.
5) Dalam esensi-Nya yang paling dalam, baik dalam kodrat dan kehendak-Nya, Allah
mewahyukan esensi Ilahi-Nya dalam wujud yang berbeda antara Bapa dan Putera
dan dalam kesatuan di antara mereka dalam Roh Kudus.
6) Pribadi-pribadi Ilahi memperlihatkan diri dalam beberapa cara/“wajah” yang
melampaui definifi metafisik sebagaimana terungkap dalam konsep hypostasis.

49
7) Bapa adalah dasar dan asal yang tidak diasalkan, yaitu cinta, Putera adalah dilectus,
dan Roh Kudus adalah condilectus cinta Bapa dan Putera.

4) Bonaventura mendasarkan kesatuan esensi dan perbedaan di antara pribadi Ilahi


melalui pengkomunikasian hakikat Ilahi:

Penetrasi dan in-eksistensi sempurna yang bersifat timbal balik di antara setiap
pribadi Ilahi antara satu dengan yang lainnya melestarikan kesatuan dan
komunikasih antara pribadi Ilahi dalam esensi dan kehidupan Ilahi.

9.1. Asal Intra-Ilahi

1. Bonaventura mempertahankan bahwa:

1) Landasan yang membentuk masing-masing pribadi Ilahi adalah “asal, berasal dari”,
bukan relasi Intra-Ilahi.
2) “Asal” membentuk keunikan dari masing-masing pribadi Ilahi:
a. Bapa adalah Dia yang menghasilkan, Dia yang menyebabkan;
b. Putera adala Dia yang meneruskan
c. Roh Kudus adalah Allah yang meneruskan cinta Bapa dan Putera.

3) Keunikan:

a. Keunikan Pribadi Bapa adalah tidak dilahirkan.


b. Paternitas-Nya merupakan Sumber Keilahian dan dari-Nya menjadi asal ciptaan
dan proses penjalanan sejarah keselamatan manusia.
c. Putera adalah Sabda Bapa. Putera ambil bagian dari keunikan Bapa
d. Roh Kudus adalah bagian dari rahmat dan pemberian cinta Bapa dan Putera.

9.2. Putera adalah Wujud Inkarnasi Allah sebagai Mediator

o Yesus Kristus, Putera Allah adalah Logos Kekal Allah yang menjelma menjadi
manusia. Dia menjadi mediasi keselamatan Allah bagi manusia.
o Melalui salib dan kebangkitan-Nya, Yesus kesamaan antara Allah dan manusia
secara penuh dan sempurna.
o Melalui salib dan kebangkitan-Nya, Yesus mengampuni dosa kaum pendosa
sehingga mereka bisa berpartisipasi dalam relasi filial dengan Kristus menuju
Bapa dalam Roh Kudus.
o Yesus Kristus merupakan Pusat dan Mediator.

9.3. Roh Kudus


o Roh Kudus adalah relasi cinta antara Bapa dan Putera.
o Roh Kudus menjadi kunci kesatuan antara jiwa yang diselamatkan dengan
Allah Trinitas.

50
o Roh Kudus adalah Pribadi Ilahi dengan rahmat keselamatan yang diciptakan
dari kualitas supranatural tercipta dalam jiwa, dari <<rahmat pengudusan>>.
o Roh Kudus berasal dari Bapa dan masuk ke dalam jiwa kita.
o Roh Kudus mengubah dan menyingkapkan aktivitas jiwa kita dan
memberdayakan kita untuk menjawab panggilan cinta Allah yang bernilai
supranatural/teologal, yaitu iman, harapan dan cinta.

10. Doktrin Trinitarian Thomas Aquino


10.1.1. Thomas Aquino dalam Tradisi Doktrinal Trinitarian Agustinus

1. Kunci untuk memahami Allah dan hakikat-Nya adalah memahami Wahyu Allah itu
sendiri.
2. Dengan mengenal Wahyu Allah, maka:
a. Manusia akan memperoleh pemahaman yang benar tentang ciptaan.
a) Allah menciptakan segala sesuatu melalui Sabda, serta menolak kesalahan orang-
orang yang mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari dan demi
kodrat.
b) Dengan menerima bahwa cinta berasal dari Allah, maka nyata bahwa tidak ada
produksi penciptaan hanya dengan alasan ekstrinsik, melainkan semata-mata
untuk cinta dan kebaikan-Nya.

b. Manusia akan memperoleh gagasan yang benar tentang penebusan manusia yang
terjadi melalui inkarnasi Putera dan pencurahan Roh Kudus.

10.1.2. Putera dan Roh Kudus: Keluar atau Datang dari Allah

1) Tatkala berbicara mengenai “asal” (keluar atau datang dari: Yoh 8,42) Putera dan Roh
Kudus, Thomas membedakan:

1) datang dari Allah ad extra (procesio operantis: sebuah “kemungkinan” yang


bersifat pasif dalam eksistensi aktual)

2) “asal” intra-Ilahi Putera dan Roh Kudus dari Bapa (processio operati).

a. Putera dan Roh Kudus tidak datang dari Bapa dalam rupa yang miskin.
b. Putera dan Roh Kudus berasal dari karya absolut Allah: Allah mewahyukan
Ilahian-Nya dalam diri Putera melalui Roh Kudus.
c. Bapa tidak pernah Ilahi dalam diri-Nya apabila tidak mengaktualisasikan karya
esensial-Nya melalui Putera dan pengutusan Roh Kudus.
d. Dasar pewahyuan hakikat-Nya tidak bisa dibedakan dari Bapa: hanya Bapa
sendiri yang bertindak sebagai Pewahyu. Dia adalah Sumber dan dasar semua
Pribadi Trinitas.
e. Kekhususan asal Putera dilukiskan dalam Yohanes 1,18: “ada bersama Bapa, di
pangkuan Bapa”.

51
f. Secara obyektif, penegasan ini identik dengan pernyataan bahwa Putera berasal
dari dan sehakekat dengan Bapa.

3) Untuk melawan doktrin Arianisme penciptaan Logos, kata “asal”, “keluar”,


“datang” (mengandung arti consustanziele, sehakikat) menegaskan bahwa:

a. Putera berasal dari dan sehakikat dengan Bapa.


b. Putera tidaklah diciptakan atau memiliki substansi yang sama dengan substansi
ciptaan, sebab Putera tidak diciptakan.
c. Putera adalah Sabda Bapa
d. Asal Putera bisa dikatakan processo per modum intellectum (Sabda adalah
Daya Allah, Kata Allah).
e. Bapa dikenal melalui Sabda-Nya dan melalui alam ciptaan.
f. Sabda adalah Dia yang identik dengan substansi Ilahi, namun berbeda dalam
hubungannya antara aktivitas penyataannya dengan muatan pernyataan, relasi
yang menjadi dasar pribadi Ilahi.

4) Berkenaan dengan “asal”, “datang” Roh Kudus dari Allah (dan dari Putera) dalam
wujud “napas”, maka patut dikatakan bahwa:

a. Roh Kudus adalah pribadi Ilahi.


b. Napas tidak eksis dalam tindakan pewahyuan intelektual, tetapi dalam
kehendak.
c. Sebagai pribadi Ilahi, Roh Kudus berasal dari kehendak dan cinta Allah.
a. Menurut Doktrin Timur: Roh Kudus hanya berasal <<dari Bapa melalui
Putera>>;
b. Menurut Doktrin Barat, Roh Kudus berasal <<dari Bapa dan Putera>>.
c. Sinode Toledano III (589) mengadopsi pengertian Putera (Filioque) untuk
menjelaskan konsep Latin bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putera,
bagian dari esensi Ilahi, sedangkan asal Putera adalah dari Bapa.

5) Seperti Agustinus, bagi Thommas:

a. Berangkat dari kesatuan hakikat Allah, maka terungkap kesamaan di antara


pribadi-pribadi Ilahi.
b. Di dalam kesatuan esensi Allah tidak ada relasi yang lain, selain pribadi-pribadi
Ilahi.
c. Penulis Kitab Suci berbicara tentang proses dinamis dan vital tentang asal Allah
dengan mengadopsi nama-nama yang mengindikasikan asal intra-Ilahi (Putera-
Sabda, Roh Kudus-Napas).

6) Menurut Thommas, analogi agustinian mengenai manusia diciptakan menurut citra


Allah merupakan kunci untuk mengenal perbedaan antara Bapa dengan roh
manusiawi:
a. Manusia diciptakan menurut citra Allah.

52
b. Hanya dengan menggunakan analogi ini, maka dengan sendirinya diandaikan
bahwa pengenalan akan Allah Trinitas yang berakar pada peristiwa pewahyuan.
c. Dalam kekuatan roh manusiawi, manusia dihantar untuk mengenal Allah dan
kehendak-Nya
d. Namun, pengenalan itu tidak diperoleh dari hypostasis khusus.
e. Dalam aktualisasi spiritual kita akan menemukan hal pertama tentang ekspresi
dalam sabda batin.

a) Sabda batin merupakan sebuah ekspresi figuratif dari diri saya sendiri.
b) Saya mengambil di dalam diri saya dualitas interior dari ekspresi dan apa
yang diekspresikan.
c) Dalam waktu yang sama saya mengidentifikasikan diri saya dengan sabda
batin saya yang sesungguhnya diri saya sendiri, yaitu penegasan saya dan
penegasan itu merupakan sebuah peristiwa cinta.
d) Tindakan spiritual manusiawi selalu terarah kepada pengenalan dan cinta.
e) Kita bisa menyebutkannya posisi batin dari sabda batin tersebut dengan kata
“asal”, “datang”, “keluar”, yaitu sebuah produksi yang sepadan atau
sehakikat.
f) Di dalam Allah, kita bisa berbicara, selalu dalam bentuk analogi tentang
Sabda dan kekekalan Putera.
g) Asal cinta, kita sebutkan dengan kata napas atau pernapasan.
h) Napas disimbolisasikan dengan sebuah asimialsi batin tentang cinta dengan
yang mencintai dan kehendak untuk mengomunikasikan Sabda yang adalah
diri-Nya sendiri.

7) Pengertian teologis tentang Trinitas ini mengandung arti:

a. Sabda Kekal Allah berasal dari Allah sendiri dan Dia adalah Allah itu sendiri.
b. Sabda Kekal Allah-Putera Allah adalah Citra Allah yang Tersempurna dan
berbeda dari Bapa dan dalam perbedaan itu direalisasikan kepenuhan hakikat
Ilahi-Nya.
c. Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putera atau Roh Kudus berasal dari
hubungan antara Bapa dan Putera.
d. Berdasarkan profil Biblis dijelaskan bahwa Roh Kudus bukanlah nama pribadi.
e. Pengertian Roh mengindikasikan baik hakikat Allah maupun pribadi ketiga
Allah.

10.1.3. Pembentukan Pribadi dan Karya Relasional

1. Dari kodratnya, relasi merupakan hubungan antara satu hal dengan hal yang lainnya.

1) Relasi serentak memperlihatkan hakikat atau subyek (hypostasis) yang menjadi


terminal dan dasar, sumber dan landasan perbedaan relatif antara dua hal yang
berhubungan.
2) Berkenaan dengan relasi, maka patut dibedakan antara relasi konkrit dengan relasi
logis sebagaimana dipikirkan, sebagaimana tampak dalam relasi timbal-balik antara

53
suami-isteri dan relasi unilateral sebagaimana nyata dalam relasi antara ciptaan
dengan Allah.
3) Relasi terakhir ini didasarkan pada pergerakan cinta Allah kepada dunia sebab
dunia bukanlah bagian dari aktualisasi esensial Allah.

2. Kalau diaplikasikan skema ini ke dalam kehidupan intra-Ilahi akan ditemukan empat
relasi:

1) Relasi antara Bapa dan Putera dalam Paternitas (asal yang aktif).
2) Asal Putera dari Bapa dalam Keputeraan (asal yang pasif)
3) Relasi antara Bapa dengan Putera dan Roh Kudus dalam Napas (aktif)
4) Relasi Roh Kudus dengan Bapa dan Putera dalam Napas atau dalam pribadi Roh
Kudus (pasif).

3. Di antara empat bentuk relasi ini hanya tiga wujud relasi yang sungguh-sungguh real
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus serta berbeda dan membentuk sesosok pribadi:

1) Asal (Paternitas),
2) yang diasalkan (Keputraan, Fogliolanza) dan
3) Roh, Napas (Roh),
4) Napas aktif menyatu dengan Paternitas dan Figliolanza dan di antara ketiga pribadi
Ilahi hanya berbeda dalam tataran konseptual, bukan dalam wujud yang real.

4. Antara esensi Ilahi dan relasi yang membentuk pribadi-pribadi Ilahi tidak ditemukan
adanya perbedaan real (melawan ajaran Gilberto Poitiers):

1) Bertautan dengan relasi timbal-balik, hanya satu dasar yang membentuk, pribadi-
pribadi Ilahi tidak berada dalam relasi juga dengan kodrat Ilahi.
2) Pribadi-pribadi Ilahi berasal dari Bapa, yang menjadi dasar, asal kodrat Ilahi dan
Bapa mengomunikasikan dalam model esensi-Nya kepada Putera dan Roh Kudus.
3) Hanya satu kodrat dan individualitas Allah tersingkap dalam relasi asali dan
membentuk pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.
4) Dalam lingkup ciptaan, sebuah substansi menyingkapkan ada bagi dirinya
sendiri...di dalam Allah, subyek aktivitas pewahyuan dan penerima identik dengan
tindakan komunikasi.
5) Di dalam Allah tidak ada relasi aksidental. Pembentukkan pribadi-pribadi Ilahi
identik dalam relasionalitas dengan Bapa yang menjadi dasar, asal bagi semua
pribadi Ilahi.
6) Pribadi-pribadi Ilahi berada dalam relasi yang hidup dan relasi yang hidup itu ada
dalam pribadi-pribadi Ilahi.

a. Untuk mengonotasikan perbedaan di antara pribadi-pribadi Ilahi tidak cukup


apabila dijejaki asal atau datang pribadi-pribadi Ilahi itu.
b. Hanya melalui permenungan yang memungkinkan kita untuk mengenal Trinitas
dan kesatuan hakikat-Nya.

54
c. Dari asal, datang pribadi-pribadi Ilahi ditemukan empat relasi dan tiga di
antaranya merupakan pembentuk pribadi-pribadi Ilahi:

a) Paternitas,
b) Figliolanza,
c) Napas pasif dari Roh;
d) dari relasi Roh Kudus dengan Bapa dan Putera tidak keluar satu pun dari
pribadi Ilahi.

7) Dalam wawasan Doktrinal Thomas Aquino, relasi merupakan konsep kunci dalam
Doktrin Trinitas.

a. Di dalam Allah ada relasi yang hidup.

a) Hanya di dalam Allah, relasi membentuk landasan kesatuan pribadi Ilahi.


b) Oleh karena hanya Bapa, Putera dan Roh Kudus yang berada dalam kesatuan
relasi dengan yang lain dalam kesatuan relaitas personal Allah, maka bisa
dikonsepkan sebagai hypostasis dari pribadi Ilahi yang terpisah di antara
mereka.

b. Di dalam diri manusia, tindakan-tindakan fundamental dan kehendak memiliki


hanya satu relasi aksidental dengan substansi kemanusiaannya.

c. Sebaliknya, di dalam Allah, aktualisasi hakikat kekal-Nya tampak dengan dan


dalam diri Putera-Nya dan relasi tersebut diindikasikan dengan tiga pribadi
Ilahi.

a) Hakikat setiap pribadi Trinitas dikonsepkan sebagai sebuah relasi yang hidup
dan kesatuan hakikat itu ada dalam relasi pribadi di antara pribadi-pribadi
Trinitas.
b) Refleksi yang menakjubkan ditemukan dalam kenyataan bahwa konsep
pribadi (persona) tidak segera dipergunakan dalam wujud yang absolut dan
kemudian dibedakan dengan konsep relasi.
c) Di sini tidak dikatakan tiga pribadi, satu di hadapan yang lain, tetapi
dipikirkan membentuk kesatuan dan setiap pribadi berada dalam relasi yang
hidup.
d) Kehidupan dan relasionalitas merupakan dua momentum yang terjadi timbal-
balik sehingga membentuk hakikat atau esensi pribadi Ilahi.
e) Di antara hakikat Ilahi dan relasi personal yang hidup tidak menyetabilkan
perbedaan esensial di antara pribadi Ilahi.
f) Pribadi-pribadi Ilahi tidak saling bertentangan dalam kesatuan hakikat Ilahi.
g) Oleh karena itu, perbedaan esensi Ilahi dan tiga relasi personal hanyalah
perbedaan konseptual, bukan perbedaan real.
h) Kesatuan hakikat Allah berada dalam pertentangan dengan relasi yang hidup
dan Kitab Suci memebrikan kepada kita pengenalan dan menyembah Bapa,
Putera dan Roh Kudus.

55
11. Tiga Pribadi Ilahi

1. Konsep mengenai kodrat dan hypostasis (persona) merupakan buah permenungan


tentang muatan pewahyuan yang ditanggapi dan diterima dengan sikap iman.

2. Secara khusus, perhatian diarahkan kepada penggunaan analogi dan bukan pada kata
hypostasis, persona dalam dogma Trinitas, Kristologi dan Antropologi-Teologi.

1) Kata “kodrat” mengindikasikan “apa”, yaitu wujud partisipasi dari sebuah “ada”.

a. Dari kosep ini maka diabstraksikan konsep-konsep yang universal (pohon,


manusia, dll).
b. Kehidupan Allah diidentikkan dengan kodrat Ilahi-Nya, maka:

a) Kata “Allah” tidak bisa dikonsepkan secara universal sehingga muatannya


bisa direalisasikan pada hypostasis pribadi Ilahi yang berbeda.
b) “Allah mengindikasikan kesatuan dan tidak bisa dipisahkan dari realitas
potensi yang esensial yang mengarahkan kita kepada pengenalan akan
hakikatnya sebagai awal dan akhir dalam penciptaan dan penebusan”.

2) Persona, pribadi mengindikasikan:

a. Realitas yang tidak bisa direduksilan dan tidak bisa diubah dari kesatuan dan
kesamaan hakikat yang ada dalam setiap hypostasis Ilahi.
b. Konsep persona secara esensial berubah dalam Filsafat Abad Pertengahan. Dari
sini muncul pelbagai pemisahan dan perbedaan dalam ajaran klasik tentang
Trinitas.

a) Antropologi Rene Descartes menjelaskan bahwa manusia terdiri dari


substansi spiritual dan substansi material.
b) Kedua substansi tersebut mereduksikan konsep persona ke dalam kesadaran
bahwa ditemukan sebuah kodrat yang dapat diinderai.
c) Di bawah pengaruh kaum empirisme, pengalaman Aku empiris-psikologis
diidentifikasikan dengan kodrat dan dengan disposisi material yang
tertinggi.

3) Apabila konsep yang sama dikenakan pada kepada Allah, disimpulkan bahwa:

a. Allah memiliki substansi spiritual yang Absolut.


b. Inilah hakikat-Nya dalam tiga titik kesadaran.

12. Keunikan dan Pengertian

56
1. Dari perbedaan relasional antara tiga pribadi Ilahi muncul keunikan masing-masing
pribadi. Di sini juga muncul perbedaannya:

1) Keunikan yang membentuk pribadi-pribadi Ilahi:

a. Paternitas Bapa,
b. Keputeraan (Figliolanza) Sang Putera dan
c. Napas pasif Roh Kudus.

2) Keunikan yang membedakan pribadi-pribadi Ilahi:

a. Bukan terletak pada: asal Bapa, asal Putera serta asal aktif Roh Kudus dari Bapa
dan Putera.
b. Keunikan-keunikan itu merupakan tanda yang berbeda dari pribadi-pribadi Ilahi.
c. Tindakan-tindakan itu aktif di mana pribadi-pribadi itu berbeda antara satu
dengan yang lain.

3) Oleh karena itu, pengenalan akan keunikan pribadi-pribadi itu nyata dalam karakter
masing-masing:

a. Sabda adalah Putera,


b. Cinta adalah Roh Kudus
c. Pengenalan akan cinta membentuk realitas hakiki Allah seperti mereka berasal
dari Bapa (bdk. Yoh 3,16). Allah Bapa sangat mencintai dunia).

2. Semua karya Allah Trinitas yang terarah kepada kekekalan. Karya itu menyingkapkan:

1) Kesatuan hakikat pribadi Ilahi yang berada dalam korelasi pasti di antara keunikan
absolut dan karya Allah dalam ciptaan, penebusan dan pengudusan sebagaimana
nyata dalam nama-nama masing-masing pribadi Ilahi
2) (Allah sebagai Bapa Yesus Kristus, Putera sebagai Penebus dan Penyelamat, Roh
Kudus sebagai Tuhan dan Pembagi Anugera Kehidupan) dan tiga pribadi Ilahi.

13. Pericoresis Trinitas

1. Keberadaan setiap pribadi Ilahi dalam yang lain dan kesatuan yang tidak terpisahkan
dalam kodrat Ilahi dilukiskan oleh Yohanes Damaskus dalam Teologi Timur melalui
gagasan kesalingpenetrasian antara pribadi-pribadi Ilahi.

1) Teologi Trinitas Timur memperlihatkan sebuah elaborasi yang sangat bertentangan


dengan pandangan kaum modalisme.
2) Teologi Trinitas Timur menggariskan perbedaan pribadi Ilahi dan mendasarkan
kesatuan pribadi-pribadi Ilahi dalam pribadi Bapa sebagai “asal, sumber”.
3) Untuk menyingkirkan pemisahan itu, mereka menempatkan pada waktu yang sama
tekanannya pada persekutuan mereka.

57
2. Teologi Barat berangkat dari pandangan Agustinus tentang kesatuan hakikat Ilahi dan
menggariskan kesamaan tiga pribadi Ilahi tatkala berhadapan dengan paham arianisme
dan subordinasionisme.

1) Bagi Teologi Barat bahaya untuk merumuskan Teologi Trinitas terletak pada
pemisahan yang terlalu tajam mengenai hakikat Allah Trininitas yang terdiri dari
tiga pribadi Ilahi.
2) Penerimaan teologi Barat terhadap teologi Yohanes Damaskus terpusat pada
kesatuan pribadi dengan hakikat Ilahi.

3. Satu hal penting yang patut diingat adalah catatan Fulgenzio di Ruspe tentang Bolla
Kesatuan yang dirumuskan dalam Konsili Firenze tahun 1442:

Tiga pribadi Ilahi adalah Allah yang Esa dan Tunggal, bukan tiga Allah
sebab hanya satu hakikat, satu esensi, satu kodrat satu dalam keilahian, satu
kekekalan bagi tiga pribadi tersebut. Untuk semua kesatuan ini, Bapa berada dalam
Putera dan Roh Kudus; Putera berada dalam Bapa dan Ro Kudus; Roh Kudus
berada dalam Bapa dan Putera...

14. Misi Ilahi

1. Konsep misi yang diangkat dari landasan Biblis (Rom 4,4; 5,5; Yoh 20,21) bertautan
erat dengan konsep tentang Trinitas Imanen dan Trinitas Ekonomia.

1) Misi Sang Putera dalam inkarnasi dan misi Roh Kudus dalam pencurahan cinta
Allah bukanlah tindakan Allah yang bersifat aksidental dan berbeda-beda antara
satu dengan yang lainnya, tetapi Allah yang satu dan sama dalam aktivitasnya dan
dalam pewahyuan diri-Nya di dunia.
2) Misi Sang Putera dan misi Roh Kudus merupakan “kelanjutan”, berasal dari misi
intra-Trinitas dalam ciptaan.

2. Siapa yang kukuh dalam iman dan dalam cinta akan Sang Putera Allah yang menjelma
dan membiarkan Roh Kudus berdiam di dalam dirinya dan melalui misi Ilahi, akan
berpatisipasi dalam rahmat dan dalam cinta akan kehidupan Ilahi yang diidentikkan
dengan asal intra-Ilahi dari pribadi-pribadi itu.

15. Problem seputar Filioque

1. Berangkat dari gagasan Patriarkal Fozio Constantinopoli (867) dan dari skisma
definitif antara Gereja Timur dan Gereja Barat yang diverifikasi pada tahun 1054 di
bawah otorits Mikhael Cerulario, konsep Filioque dipertimbangkan sebagai sebuah
alasan/motif dogmatis untuk berpisah, sekurang-kurangnya dari perspektif Gereja
Ortodox-Yunani.

58
1) Dalam Gereja Barat, terutama di Spanyol, penegasan tentang asal Roh Kudus
diaplikasikan kesatuannya dengan kata Filioque.

a. Keyakinan bahwa Roh Kudus secara original berasal dari Bapa dan melalui
Putera seperti berasal dari satu dasar, menunjukkan bahwa Bapa, Putera dan
Roh Kudus berhakekat sama sebagaimana ditegaslan dalam Teologi Trinitas
Barat.
b. Senada dengan itu, Sinode Toledo mengatakan bahwa Roh Kudus berasal dari
Bapa melalui Putera.
c. Pada Abad VII dan VIII kesatuan itu diterjemahkan dalam teks tradisional
mengenai Simbol Nicea-Konstantinopel.
d. Dalam forma baru ini dituliskan Simbol yang dipegang-teguh di Perancis,
Inggris dan beberapa bagian Eropa Barat di bawah penguasaan Carlos Mangnus
dan akhirnya masik ke dalam liturgi Romawi.

2) Konsili Lateran IV (1215) mengakui bahwa:

a. Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera.


b. Semua Bapa Gereja mengenal bahwa di dalam Kitab Suci, Roh Kudus
dikatakan sebagai Roh Bapa dan Putera.
c. Tiada seorang pun dari Bapa Gereja yang memperdalam dan memperdebatkan
lagi asal Roh Kudus.

3) Bagi Gereja Timur dan Gereja Barat:

a. Bapa merupakan Sumber keilahian.


b. Putera berasal dari Bapa dan Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putera.

4) Para Bapa Gereja Timur lebih suka menyebutkan bahwa Roh Kudus berasal dari
Bapa melalui Putera.

a. Namun itu tidak berarti bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan


penafsiran Fozio bahwa Roh Kudus hanya berasal dari Bapa.
b. Rumusan tentang “asal” tidak ditemukan dalam Simbol Iman.
c. Bahkan sejak Gereja Barat dan Timur masih menyatu para Bapa Gereja Timur
sudah mencatat bahwa persoalan seputar “asal” Roh Kudus memiliki perbedaan
antara Tradisi Timur dengan Tradisi Barat.
d. Namun Maksimus Confessore dan Yohanes Damaskus menafsirkan bahwa
“Filioque” lebih diartikan sebagai “Untuk Putera”.

2. Dalam analisis terakhir, perbedaan itu tidak berdasar dan tidak memiliki motivasi
dogmatis, tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa:

1) Teologi Trinitas Timur:

59
a. Teologi Trinitas Timur harus mengambil posisi yang tetap tatkala harus
berhadapan dengan modalisme
b. Di dalam tradisi Timur, diskusi tentang kesatuan “asal” Roh Kudus dari Bapa
dan Putera dilukiskan seperti asal Roh Kudus secara langsung dari hakikat
Bapa.
c. Apabila perbedaan di antara pribadi Ilahi merupakan konsekuensi asal dari
Bapa, maka bagaimanakah kesatuan di antara pribadi Ilahi, kodrat dan tidak
bisa ada sebab “asal” Roh Kudus”.

2) Teologi Trinitas Barat

a. Teologi Barat harus mengambil posisi yang benar tatkala harus berhadapan
dengan arianisme (Sinode Toledo).
d. Dalam Tradisi para Bapa Gereja Barat ditekankan kesamaan di antara pribadi-
pribadi Ilahi,
e. Keunikan dari masing-masing pribadi Ilahi tidak didasarkan pada “asal” intar-
Ilahi, tetapi berkenaan dengan relasi yang hidup di antara pribadi-pribadi Ilahi.
f. Keunikan pribadi Ilahi didefinisikan melalui perbedaan yang dimiliki masing-
masing pribadi Ilahi.

3) Latin

a. Sebalinya dalam lingkup Latin, sudah diformulasikan oleh Ambrosius dan


Agustinus bahwa:

a) Dasar dari perbedaan di antara pribadi-pribadi Ilahi terletak pada relasi


yang bertentangan.
b) Napas tidak membawa serta dalam dirinya beberapa pertentangan relatif
dengan Putera dan Roh Kudus.
c) Bapa, Putera dan Roh Kudus dipersatukan dalam hakikat yang sama.
d) Roh Kudus tidak berasal dari hakikat Ilahi, sebab secara abstrak tidak ada,
tetapi hanya dan selalu dalam hypostasis Ilahi.
e) Oleh karena, Roh Kudus berasal dari Bapa:

o Bapa yang menjadi sumber absolut hakikat Ilahi, asal dan


pertentangan relatif di antara pribadi Ilahi.
o Bapa juga menganugerahkan kepada Putera dan Roh Kudus berasal
dari-Nya sebagai asal dan dasar tunggal.
o Bapa selalu menjadi dasar;
o Putera berasal dari Bapa;
o Roh Kudus tidak berasal dari kodrat Ilahi Sang Putera, tetapi dari
keunikan pribadi yang dianugerahkan kepada Putera.
o Roh Kudus pengikat antara Bapa dan Putera.

60
b. Para Bapa Gereja Latin mengenal bagaimana legitimasi terminologi Yunani
tatkala berbicara tentang penganugerahan Roh Kudus melalui Putera.
o Namun digariskan bahwa Roh Kudus harus berasal dari Putera
sebab tidak ada kemungkinan untuk membedakan relasi antara
Putera, Roh Kudus dan Bapa.
o Karena itu, Putera dianugerahkan untuk datang dan Roh Kudus
untuk napas, yaitu berasal dari cinta Bapa kepada Putera dan dari
cinta Putera kepada Bapa.

Bab V
Doktrin Trinitas
1. Allah Trinitas dalam Magisterium Gereja

1. Pergumulan kritis dalam merumuskan inti ajaran tentang Allah Trinitas hingga
dibakukannya menjadi Doktrin Resmi Gereja membutuhkan waktu lebih kurang 150
tahun.

61
1) Rentang waktu ini dihitung sejak Abad II (sejak Tertullianus) hingga Konsili
Konstantinopel.
2) Namun, momen terpenting dalam merumuskan dan menetapkan Doktrin Gereja
tentang Allah Trinitas termaktub di dalam:

a. Syahadat Nicea (325),


b. Syahadat Nicea-Konstantinopel (381)
c. Syahadat Pseudo-atanasius (quicumque),
d. Syahadat Konsili Toledo dan Firense,
e. Dekrit untuk para Yakobit,
f. Konsili Lateran IV (1215)
g. Dokumen Resmi Gereja yang ditetapkan oleh Kongregasi Ajaran Iman (21
Februari 1972).

2. Penetapan Doktrinal tentang Allah Trinitas dalam Konsili dan Doktrin Resmi Gereja
sebagaimana disebutkan di atas dipadatkan hanya ke dalam “Tujuh Rumusan
Kebenaran Trinitas”. Adapun ketujuh rumusan itu:

1) Pribadi Pertama dalam Trinitas

a. Dia adalah Allah Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, asal mula
tanpa asal mula, sumber dan awal mula dari kehidupan trinitaris.
b. Dia adalah Allah Bapa yang Ber-Sabda-Ber-Firman
c. Sabda-Firman hanya keluar dari-Nya
d. Sabda-Firman yang adalah Sabda Allah Bapa tidak tinggal dalam Sabda-
Firman, tetapi mem-Pribadi (Menjelma menjadi Manusia). Dia adalah Sabda
Allah Bapa, Putera Tunggal-Nya yang menjelma menjadi manusia
(diperanakkan).
e. Dia adalah Penghembus aktif Roh Kudus.

2) Pribadi Kedua dalam Trinitas

a. Dia adalah Putera Tunggal Bapa.


b. Dia adalah Sabda yang berasal dari Bapa
c. Dia diperanakkan dari Bapa sejak kekal.
d. Dia tidak diciptakan seperti makhluk ciptaan lainnya.
e. Dia menerima kodrat Ilahi, hakikat dan substansi dari Bapa melalui pemberian
diri Bapa, bukan karena paksaan atau lahir dari keputusan yang sewenang-
wenang.
f. Dia sehakikat dengan Bapa sebab Dia adalah Firman, Gambaran dan Sakramen
Bapa, baik dalam lingkungan internal Trinitas maupun dalam misi inkarnatoris-
Nya.

3) Pribadi Ketiga dalam Trinitas

a. Dia adalah Roh Kudus.

62
b. Dia berasal dari Bapa dan Putera sebagai satu prinsip asal.
c. Dia sehakikat dengan Bapa dan Putera;
d. Dia disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera.
e. Dia “berasal”, bukan “diperanakkan” dari Bapa dan Putera (atau melalui
Putra).
f. Dia “dihembuskan” dari dari cinta kekal antara Bapa dan Putera.
g. Dia adalah Roh yang menggerakkan Kehendak

4) Kekhasan Pribadi-pribadi Ilahi dan pengutusan

a. Dalam tata imanen, “ke-Bapa-an” tanpa asal adalah milik eksklusif Bapa;
b. “Diper-Anak-kan” adalah milik eksklusif Putera;
c. “Dihembuskan” oleh Bapa dan Putera adalah milik eksklusif Roh Kudus.

5) Perbedaan Pribadi-pribadi Ilahi dalam lingkungan internal Ilahi.

a. Masing-masing Pribadi Ilahi dibedakan berdasarkan relasi antara “pengasalan”


dan “asal”.
b. Pribadi-pribadi itu dibedakan supaya bisa bersatu dan pembedaan didasarkan
pada pertentangan relatif timbal balik di antara Pribadi-pribadi Ilahi itu sendiri:
ke-Bapa-an, ke-Putera-an, hembusan aktif dan pasif.

6) Persekutuan antara Pribadi-pribadi Ilahi.

a. Di dalam kodrat Ilahi trinitaris terdapat “hanya” perbedaan “formal” atau


“virtual”.
b. Apabila tidak ada perbedaan itu, maka kodrat Ilahi trinitaris menjadi “catur ke-
empattunggal-an” (“Tiga Pribadi Ilahi” ditambah “kodrat Ilahi”).
c. Di dalam kesehakekatan kodrat Ilahi, Ketiga Pribadi Ilahi saling meresap satu
di dalam yang lain, satu dari yang lain dan satu untuk yang lain (perikhoresis).
d. Inilah landasan eksistensial, persekutuan kekal dari Pribadi-pribadi Ilahi.

7) Ciri misteri wahyu trinitaris

a. Sebagai kebenaran yang diwahyukan, inti iman akan Allah Trinitas tetap
menjadi sebuah misteri.
b. Akan tetapi, misteri iman ini selalu terbuka bagi manusia untuk merenungkan
dan memahaminya dengan iman dan ratio manusiawinya.
c. Potensi rohani (iman) dan rationalitas manusia diyakini mampu menjelaskan
inti misteri iman ini karena misteri iman ini merupakan sebuah misteri yang
mutlak dan disingkapkan dalam wujud “Pribadi Manusia”:

a) “Hadiah yang diberikan Bapa kepada manusia dalam Roh, kebebasan dan
cinta supaya manusia diilahikan oleh-Nya.
b) Misteri merupakan hakikat asali Trinitas sehingga misteri iman ini tetap
tinggal sebagai misteri hingga kekal bagi manusia.

63
2. Indikasi Persekutuan Allah Trinitas dalam Peristiwa Pewahyuan
1. Dogma tentang Persekutuan Allah Trinitas bukanlah hasil spekulasi filosofis atau
teologis para intelektual Gereja.

1) Persekutuan Allah Trinitas sesungguhnya sudah dinyatakan kepada dunia melalui


peristiwa pewahyuan diri Allah yang berpuncak pada penjelmaan Sang Putera,
Yesus Kristus menjadi manusia.
2) Melalui peristiwa pewahyuan ini, Gereja menemukan jejak-jejak iman akan Allah
Trinitas yang bersekutu dalam cinta.

2.1 Putera dan Roh Kudus

1. Doktrin Allah Trinitas merupakan permenungan sistematis kaum kristiani atas kodrat
Allah yang mewahyukan diri dalam diri Sang Putera Tunggal, Yesus Kristus yang
menjelma menjadi manusia dalam kekuatan Roh Kudus.

1) Dalam melaksanakan misi perutusan Bapa, Yesus Kristus menyingkapkan kodrat


ilahi-Nya sebagai Sabda Kekal yang menjelma, Putra Allah melalui doa, perkataan
dan tindakan-Nya yang berdaya penyelamatan dalam kekuatan Roh.

2) Roh Kudus adalah Roh Bapa dan Putera.


a. Roh Kudus adalah daya vital dalam seluruh pergerakan hidup Yesus: Roh
Kudus hadir dan bertindak dalam diri Maria untuk membentuk kemanusiaan
Yesus Kristus, Sang Putera Tunggal yang Mahakudus;
b. Roh Kudus turun dan menaungi Yesus tatkala dibaptis di sungai Yordan,
mewahyukan Abba-Bapa dan misteri Allah Putra kepada dunia dalam misteri
salib, menyingkapkan realitas Ilahi Yesus melalui kebangkitan serta
mengobarkan semangat para Rasul untuk bersaksi tentang Kristus yang bangkit
sebagai Allah, Penyelamat dunia.

2.2. Yesus Kristus, Putera Allah


2.2.1. Dalam Yesus, Allah Mewahyukan Diri

1. Yesus Kristus adalah Sabda Kekal Allah, Putera Allah yang menjelma
2. Kodrat-Nya sebagai Sabda Allah dinyatakan di dalam “tindakan dan keterlibatan-Nya”
di dalam sejarah dan realitas kehidupan manusia.

2.2.2. Yesus, Putera Allah: Allah dari Kerajaan Allah


Inti pati pewartaan Yesus adalah Kerajaan Allah. Ungkapan Kerajaan Allah yang
muncul sebanyak 122 kali dalam Injil dan 90 kali keluar dari mulut Yesus diartikan
sebagai sebuah revolusi demi tercipatnya perubahan total dalam realitas hidup manusia.
Muara revolusi Kerajaan Allah dalam diri Yesus Kristus adalah membersihkan alam-
kosmos dari semua bentuk kejahatan dan memenuhinya dengan realitas Allah. Utopia

64
mengenai kehidupan yang sempurna terwujud dan terpenuhi dalam diri Yesus. Dia adalah
inti dan isi Kerajaan Allah itu sendiri.
Sebagai inti dan isi Kerajaan Allah, Yesus menunjukkan bagaimana cara Allah
bertindak di dalam diri-Nya untuk membangun dan menegakkan Kerajaan-Nya di dunia
ini. Kerajaan Allah dalam diri-Nya bukanlah “kerajaan” teritorium, melainkan cara Allah
bertindak sebagai Tuhan yang meraja atas semesta alam dan semua ciptaan.
Konsep Kerajaan Allah dalam diri Yesus menyingkapkan kekuasaan atau daya
Ilahi Allah yang membebaskan alam-kosmos dan seisinya (manusia) dari aneka bentuk
kekuatan menyangkal, memberontak dan menolak keberadaan-Nya. Kekuasaan atau daya
Ilahi Allah dinyatakan untuk menegakkan Kerajaan-Nya, yaitu inti hidup dalam
persekutuan cinta yang dilandaskan pada semangat persaudaraan, keadilan dan
kedamaian. Persekutuan cinta Allah ini tidak mengindikasikan adanya penguasa tunggal
dan kesewenangan dalam bertindak sebab inti persekutuan cinta Allah Tritunggal adalah
persekutuan di antara Tiga Pribadi Ilahi dan persekutuan di antara Tiga Pribadi Ilahi
dengan manusia.

2.2.3. Hubungan Putera dengan Bapa


2.2.3.1. Allah adalah Bapa
Yesus memiliki hubungan yang intim dengan Allah, Dia menyapa Allah sebagai
Abba (kata Aram), Bapa. Sebutan ini muncul sebanyak 241 kali dalam seluruh Perjanjian
Baru. Dalam Injil Yohanes, Abba, Bapa tidak mengidikasikan kodrat Allah sebagai
Pencipta, tetapi sebagai Dia yang memperanakkan Putera. Kesatuan sempurna ini nyata
dalam hubungan “saling meresap” antara Bapa dan Putera: “Aku dan Bapa adalah satu”
(Yoh 10:30). Sang Putera menerima dan memiliki semua yang dimiliki Bapa-Nya
sehingga Putera sederajat dengan Bapa-Nya. Kenyataan ini ditegaskan Yesus dalam
Sabda-Nya sendiri: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9).
Karena Bapa dan Putera satu adanya, saling meresapi dan memiliki, maka misi
fundamental yang diemban Sang Putera di dunia adalah mewahyukan dan mewartakan
Abba, sebagai Bapa yang penuh kasih dan kebaikan-Nya tidak berhingga. Allah Bapa
dalam diri Yesus adalah Allah yang berinisiatif mendatangi, mencari dan mendekati
putera-putri-Nya yang tersesat dan menderita karena menjauhkan diri dari rangkulan
kasih-Nya demi keselamatan mereka. Sosok Allah dalam diri Yesus, Sang Putera ini
dinyatakan-Nya sendiri dalam aneka perumpamaan.
Keintiman relasi antara Bapa dan Putera bukanlah buah permenungan dogmatis
Gereja, melainkan realita yang hidup-konkrit dalam persekutuan antara Bapa dan Putera.
Realita ini dinyatakan dalam kehidupan dan karya Yesus, Sang Putera yang menjelma di
tengah dunia:
Pertama, Yesus mendasarkan dan mengarahkan seluruh kehidupan dan karya-Nya
kepada Allah, Bapa-Nya sembari memperlihatkan jarak di antara mereka;
Kedua, Yesus bertindak dalam nama Allah, Bapa-Nya dan menempatkan diri-Nya
sebagai utusan untuk mewujudkan dan menegakkan Kerajaan Allah, Bapa-Nya di dunia;
Ketiga, Yesus serentak menegaskan bahwa Kerajaan Allah, Bapa-Nya nyata dan
terpenuhi di dalam diri-Nya. Dia adalah isi dan inti Kerajaan Allah itu sendiri. Karena itu,
Dia menegaskan keberadaan-Nya sebagai “Putera” sebab seluruh diri, kehidupan dan
karya-Nya meresap dan diresapi, memiliki dan dimiliki oleh Allah, Bapa-Nya. Bapa dan
Putera satu adanya.

65
2.2.3.2. Yesus, Putera Allah dan Pribadi Ilahi dalam Trinitas

“Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku” (Mat 11:27). Mengacu pada
makna hakiki yang terkandung di dalamnya, pernyataan “semua” mengandung arti:
Pertama, Putera menerima misi pengutusan dari Allah, Bapa-Nya menegakkan
Kerajaan-Nya di dunia;
Kedua, Yesus menerima, meresapi dan memiliki seluruh kodrat Allah, Bapa-Nya
sehingga di dalam seluruh kehidupan dan karya-Nya, kodrat Allah, Bapa-Nya yang
tersembunyi dinyatakan dan dimuliakan;
Ketiga, Yesus menunjukkan kepada dunia bahwa keberadaan-Nya sebagai Putera
hanya mungkin karena seluruh diri dan kehidupan-Nya satu adanya dengan Allah, Bapa-
Nya.
Ketiga fakta ini dengan tegas dan gamlang memperlihatkan bahwa Putera
sehakikat dengan Allah, Bapa-Nya dalam keilahian. Inilah bukti nyata dan akurat
mengenai kesatuan-persekutuan antara Bapa dan Putera. Namun, di dalam persektuan itu,
Bapa dan Putera tetap menjadi diri-Nya sendiri, tetapi sebagai Pribadi yang lain. Bapa
adalah Bapa dan Putera adalah Putera karena diresapi oleh seluruh kodrat Bapa-Nya.
Bapa dan Putera terbuka satu terhadap yang lain dalam persekutuan Ilahi.

2.3. Roh Kudus


2.3.1. Roh Kudus Mewahyukan Bapa dan Putera dalam Sejarah
Roh Kudus adalah Roh yang berasal dari Bapa dan Putera. Roh Kudus tinggal di
antara manusia untuk menyingkapkan misteri perikhoresis cinta Trinitas kepada manusia,
menuntun manusia untuk memahami kodrat diri Yesus sebagai Putra Allah dan
memberdayakan manusia untuk menyapa Allah sebagai Abba, Bapa terkasih.
Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri. Isi dan inti iman ini berakar tradisi biblis
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sendiri. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, “Roh
Kudus” adalah nama lain dari “Yahwe”, yaitu Allah yang memimpin, menuntun,
membebaskan Israel dari perbudakan Mesir. Kekuatan Allah nyata dalam Roh-Nya. Roh
Kudus, daya Ilahi Allah juga berperan efektif dalam mewahyukan misterisitas diri Allah
kepada manusia. Kodrat dan efektifitas daya Roh Kudus ini menegaskan bahwa
sesungguhnya Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri: Dengan kekuatan Roh-Nya, Allah
bertindak di dalam sejarah manusia, terutama membuka, menuntun dan memperbaharui
jalan bagi manusia dan seluruh ciptaan menuju persatuan dengan Allah sendiri.
Di dalam Kitab Perjanjian Baru ditegaskan bahwa seluruh derap hidup Yesus,
sejak awal penjelmaan hingga kebangkitan-Nya dari alam maut digerakkan oleh Roh
Kudus. Roh Kudus menjadi Aktor Utama dalam peristiwa perkandungan Yesus di dalam
rahim Maria, Ibu-Nya. Roh Kudus turun ke atas-Nya, menauingi-Nya dalam wujud
burung merpati tatkala dibaptis di sungai Yordan dan memakhlumkan kodrat-Nya sebagai
Putera Terkasih Allah. Dalam kekuatan Roh Kudus, Dia menghadapi dan mengalahkan
semua godaan Iblis; beranjak menuju Galilea (Luk 4:14) untuk mengawali karya-Nya di
hadapan umum; mengusir roh jahat dan menghapus dosa manusia. Dalam kekuatan Roh
Kudus (Kis 2:23), Dia dibangkitkan dari belenggu maut yang mematikan. Akhirnya, Dia
yang Bangkit Jaya dalam Paskah Raya berkat kekuatan Roh Kudus menjadi Sumber dan

66
Pemberi rahmat keselamatan da kehidupan kepada umat-Nya dan menyertai mereka
dengan kekuatan Roh-Nya itu hingga akhir zaman.
Roh Kudus mendasari semua pergerakan Yesus dalam mewahyukan Allah, Bapa
kepada manusia serta merealisasikan karya keselamatan Allah dalam diri-Nya bagi semua
bangsa manusia. Roh Kudus adalah daya Ilahi Allah yang menggerakan dan menuntun
manusia yang dibaptis kepada Allah dalam diri-Nya serta memberdayakan mereka untuk
membentuk dan hidup dalam persekutuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yaitu Gereja (1Kor
12:13). Di dalam dan berkat kekuatan Roh Kudus, misterisitas kodrat diri Yesus sebagai
Putera Allah, Sang Penyelamat Tunggal dan Universal manusia tidak hanya menjadi
kenyataan klasik semata (peristiwa yang terjadi di masa lampau), tetapi justru menjadi
pengalaman keselamatan yang efektif dan aktual di sepanjang zaman.
Roh Kudus yang mendasari semua pergerakan hidup Yesus adalah Roh yang
berasal dari Bapa (Yoh 15:26). Roh Kudus dianugerahkan Bapa kepada-Nya atas
permintaan-Nya sendiri (Yoh 14; dan dalam kepenuhan dan kekuatan Roh Kudus Allah
sendiri, Dia menganugerahkan serta memberdayakan semua manusia untuk bersekutu
dalam kekuatan cinta Allah dan bergerak menuju Allah di dalam dan melalui diri-Nya
(Yoh 15:26; 16:7).

2.3.2. Roh Kudus dalam Hidup dan Karya Yesus


Keberadaan Roh Kudus dan perannya sungguh-sungguh nyata dalam seluruh
peristiwa hidup Yesus, sejak peristiwa inkarnasi (dikandung dan dilahirkan),
pembaptisan, percobaan di padang gurun, pengadaan mukjizat, kuasa mengajar hingga
peristiwa kebangkitan-Nya dari alam maut. Lukas menunjukkan bahwa sejak awal, Yesus
dipenuhi dengan Roh Kudus (Luk 1:35). Setelah dimuliakan oleh Bapa-Nya dalam
peristiwa kebangkitan, Yesus menjadi Pemberi Roh kepada jemaat-Nya (Kis 2:33). Dia
melebihi seorang “pneumatik” atau “kharismatik” sebab totalitas diri dan kehidupan-Nya
berada dalam tuntunan Roh Kudus. Dia tidak berada di titik subordinatif dari Roh Kudus
sebab keberadaan Roh Kudus tidak terpisahkan dari peristiwa Yesus Kristus (Kis 1:8).
Walaupun demikian, Dia yang Bangkit mulia tidak bisa disamakan dengan Roh Kudus
sebab Dia adalah Pencurah Roh Kudus yang diterima-Nya dari Bapa (Kis 2:33).
Walaupun Roh Kudus sungguh-sungguh memenuhi kehidupan Yesus sejak
peristiwa inkarnasi hingga seluruh detak hidup dan karya-Nya di dunia ini, namun
baginya kehadiran dan peranan Roh Kudus justru lebih menyata dalam peristiwa
kebangkitan-Nya dari alam maut. Di dalam peristiwa kebangkitan ini, Yesus jasmani-
manusiawi ditransfigurasikan secara total oleh kekuatan Roh Kudus. Berkat kekuatan Roh
Kudus, tubuh jasmani-manusiawi-Nya diubah menjadi Tubuh Roh, yaitu Tubuh Baru
yang dimuliakan berkat daya Hidup Ilahi (1Kor 15:45).

2.4. Persekutuan Allah sejak Awal Mula


Allah yang diimani kaum Kristiani bukanlah hasil pencarian dan buah nalar
manusia. Allah Kristiani dikenal identitas dan kodrat-Nya karena Dia sendirilah yang
berinisiatif mewahyukan diri-Nya sehingga misterisitas-Nya dikenal, didekati dan diimani
oleh manusia. Puncak pewahyuan diri Allah terpenuhi dalam diri Yesus dari Nazaret. Dia
adalah Logos Kekal Allah yang menjelma menjadi dan tinggal di antara manusia dalam
kekuatan Roh Kudus. Dari wujud pewahyuan ini tampak bahwa Allah Kristiani adalah
Allah yang trinitarian: Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

67
Kodrat Allah yang trinitarian dalam Perjanjian Baru ini sesungguhnya berakar
dalam Perjanjian Lama, kendati umat Perjanjian Lama belum sepenuhnya memahami
dimensi trinitarian sebagaimana dipahami dalam Perjanjian Baru. Persoalannya, di dalam
konsep Perjanjian Lama, Putera dan Roh Kudus belum diwahyukan secara definitif dalam
wujud Pribadi Manusia. Walaupun demikianm, konsep Allah dalam Perjanjian Lama
tetap menjadi landasan untuk memahami kodrat Allah Trinitas dalam Perjanjian Baru.
Keyakinan ini sejalan dengan pandangan teologis Epiphanius yang menggariskan bahwa
kesatuan itu diajarkan oleh Musa, dualitas diwartakan oleh para nabi dan Trinitas
dinyatakan dalam Warta Injil Perjanjian Baru. Keyakinan teologis Boff ini menunjukkan
bahwa sesungguhnya persekutuan Allah Trinitas sudah ada sejak awal mula.

2.4.1. Allah Trinitas sebagai Perikhoresis


Perikhoresis serentak menjadi inti dari seluruh uraian teologis trinitarian serta
prinsip fundamental untuk menguraikan isi dan inti iman kepada Allah Trinitas: Bapa,
Putra, dan Roh Kudus. Baginya, isi dan inti iman akan Allah Trinitas hanya bisa dipahami
apabila dijelaskan dengan menggunakan rumusan Yunani perikhoresis untuk
menyingkapkan inti kesatuan, cinta dan relasi hipostatis antara Allah Bapa, Putera dan
Roh Kudus.

2.4.1.1. Arti Perikhoresis


Perikhoresis diturunkan dari akar kata Yunani. Dalam lingkup Yunani sendiri, kata
ini memiliki dua kandungan makna yang berbeda: pertama, kata benda perichoreuo. Kata
ini diturunkan dari akar kata peri (melingkar atau mengelilingi) dan choreia (tarian).
Kedua akar kata ini membentuk kata perichoreuo yang berarti “tarian melingkar atau
menari berkeliling” (dance around); kedua, kata kerja perichoreo: mengelilingi,
melingkari, melingkungi (encircle) atau meliputi, mencakup (encompass).
Dalam lingkup teologis, kata perikhoresis untuk pertama kalinya dipergunakan
pada abad IV oleh Gregorius dari Nyssa. Bagi Gregorius dari Nyssa, kata ini sangat tepat
untuk menjelaskan relasi persekutuan (kesatuan) di antara Tiga Pribadi Ilahi yang
dinyatakan dalam peristiwa penjelmaan Allah Putera menjadi manusia. Baginya,
perikhoresis cinta trinitarian menegaskan kodrat diri Yesus Kristus sebagai Allah dan
manusia. Kodrat diri Yesus ini menunjukkan bahwa Yesus satu adanya dengan Allah,
Bapa-Nya: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30), “Bapa di dalam Aku dan Aku di
dalam Bapa” (Yoh 10:38; 14:11), dan “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti
Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yoh 17:21).
Dalam perkembangannya, tepatnya pada abad VI, Pseudo-Cyril menghubungkan
konsep perikhoresis dengan isi dan dan inti iman tentang Allah Trinitas. Pada
pertengahan abad VII, Yohanes dari Damaskus menjadikan perikhoresis sebagai term
teknis untuk menjelaskan doktrin mengenai Trinitas. Untuk itu, konsep perikhoresis
diterjemahkan ke dalam dua term Latin, yaitu:
Pertama, circuminsessio (circum-in-sedere): “duduk mengelilingi”. Kata ini
merupakan sebuah bentuk penafsiran pasif terhadap relasi Trinitarian: Misteri Trinitas
dipahami sebagai satu Pribadi berada dalam diri yang lain dan dikelilingi dari segala sisi
(circum) oleh yang lain. Setiap Pribadi menempati ruang yang sama dan saling mengisi
dengan kehadiran-Nya.

68
Kedua, circumincessio (circum-incedere): “menembus ke dalam atau menerobos”.
Makna hakiki yang terkandung dalam kata ini menyingkapkan relasi aktif, saling
meresapi dan saling menganyam antara Pribadi yang satu dengan Pribadi yang lain atau
dalam Pribadi yang lain.
Di dalam Konsili Florence, (1438-1445) konsep tentang perikhoresis atau
circumincessio ditegaskan kembali untuk menjelaskan kesatuan kodrat, substansi atau
hakikat dari yang sama pada setiap Pribadi dari Allah Trinitas. Setiap Pribadi Ilahi
memiliki kodrat yang sama, saling berada dan menemukan diri, saling meresapi dan
diresapi oleh Pribadi yang lain. Persekutuan di antara Pribadi-pribadi Ilahi ini disebut
perikhoresis.
Sesungguhnya, makna hakiki yang terkandung dalam kata perikhoresis (Yunani)
serentak mengungkapkan dan meneguhkan arti dari sebuah “persekutuan” dan
“koinonia”. Di dalam persekutuan dan koinonia terkandung relasi timbal-balik di antara
Pribadi-pribadi Ilahi; masing-masing Pribadi Ilahi saling berada, saling menemukan diri
dan saling meresapi.
Dalam lingkup teologis, konsep perikhoresis memiliki dua kandungan makna
hakiki:
Pertama, melukiskan “relasi antara Allah dengan materi”. Allah hadir dalam
keseluruhan materi ciptaan. Allah berada dalam dunia dan meresapi dunia dengan
kehadiran, tindakan dan penyelenggaraan Ilahi-Nya. Walaupun demikian, antara Allah
dan materi tidak terjalin relasi timbal-balik sebab materi tidak memiliki potensi untuk
menanggapi Allah dan berada di dalam Allah. Perikhoresis ini dalam tataran ini dinilai
tidak sempurna.
Kedua, melukiskan relasi di antara dua kodrat dalam diri Yesus Kristus.
Perikhoresis ini dinilai sempurna untuk menyingkapkan kodrat diri Yesus Kristus yang
serentak Ilahi dan manusiawi. Kesatuan kodrat Ilahi dan manusiawi dalam diri Yesus ini
sedemikian unik dan mendalam, saling meresapi, tanpa peleburan dan percampuran sebab
kedua kodrat dalam diri Yesus saling menerima: kodrat Ilahi menerima kodrat manusiawi.
Baik kodrat Ilahi maupun kodrat manusiawi berada dalam hipostasis Ilahi sehingga
membentuk perikhoresis yang sejati (communicatio idiomatum).

2.4.1.2. Prinsip Penyatuan dalam Trinitas


Perikhoresis cinta Allah Trinitas sesungguhnya berakar pada Warta Injil sendiri.
Di dalam perikhoresis cinta Allah Trinitas ini, “Tiga Subyek Ilahi” saling berkomunikasi,
saling mencintai dan saling mengandalkan karena adanya sikap saling percaya. Masing-
masing Pribadi Ilahi berada bersama, di dalam dan untuk Pribadi yang lain serta saling
menemukan diri. Masing-masing Pribadi Ilahi bukanlah “pengejawantahan dari Yang
satu” (kodrat atau substansi atau roh atau subyek absolut), melainkan “Tiga Subyek” yang
berada dalam persekutuan abadi (dan karena itu bersifat hakiki), saling meresapi dan
saling menyatukan.
Konsep apa pun tentang perikhoresis cinta Allah Trinitas dalam Perjanjian Baru
secara asali mengungkapkan bahwa “Allah adalah cinta” (1 Yoh 4: 8-16). Apabila Tradisi
Gereja memahami “hakikat Allah” (kodrat dan substansi) sebagai “apa yang membentuk-
Nya”, maka muatan fundamental dari perikhoresis cinta Allah Trinitas dalam Perjanjian
Baru merujuk pada perikhoresis cinta dari Tiga Pribadi Ilahi. “Allah itu Tiga Yang Esa

69
dalam Persekutuan Cinta”. Masing-masing Pribadi Ilahi tidak memiliki kekuasaan
tunggal, sebab berada dalam persekutuan kekal: yang satu serentak berada dalam yang
lain, satu dari yang lain, satu sama lain, melalui dan untuk yang lain, saling meresapi satu
sama lain dalam cinta dan satu terkandung di dalam yang lain. Serentak menegaskan
kembali gagasan Yohanes dari Damaskus, disimpulkannya bahwa perikhoresis cinta
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus itu tidak terbagi dalam keterbagian, seperti tiga
matahari yang berpadu dan saling mengikat sehingga Ketiga Pribadi Ilahi itu hanya
membentuk sebuah pancaran cahaya tunggal.

2.4.3.1. Hubungan yang Senantiasa Triadis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus
Sesungguhnya muatan hakiki yang terkandung dalam kata perikhoresis juga
menegaskan bahwa setiap Pribadi Ilahi “tidak berawal (“tanpa permulaan”). Ketiga
Pribadi Ilahi menyatakan diri secara serentak serta menjadi “Sumber” atau “Asal” bagi
Pribadi yang lain. Kandungan makna kata perikhoresis ini justru menghindari bahaya
untuk merumuskan dan memahami Allah Trinitaris dalam wujud hierarki,
subordinasianis, teogonisme dan modalisme.
Perikhoresis cinta Allah Trinitas ini bersifat abadi. Ketiga Pribadi Ilahi berada
sebelum segala abad. “Adanya” Pribadi yang satu tidak mendahului Pribadi yang lain.
Pribadi yang satu menjadi syarat bagi pewahyuan Pribadi yang lain dalam sebuah
dinamika yang tidak berakhir ibarat cermin memantulkan tanpa akhir tatkala
memancarkan gambaran Ketiga Pribadi Ilahi tersebut. Konsep ini justru memiliki daya
untuk menangkal bahaya triteisme.
Di dalam perikhoresis cinta Allah Trinitas, Ketiga Pribadi Ilahi berada secara
serentak dan kekal. Bapa, Putera dan Roh Kudus serentak berada bersama dan asali.
Keyakinan iman akan kodrat perikhoresis cinta Allah Trinitas ini ditegaskan dalam
Konsili Toledo XI (675): “Kami percaya kepada Putera, yang dilahirkan sejak keabadian
tanpa asal mula dari hakikat Bapa…”. Keyakinan iman ini juga diperuntukkan bagi Roh
Kudus. Dalam rumusan yang khas dan tegas, Konsili Lateran IV (1215) mengungkapkan
bahwa Allah Trinitas itu “tanpa awal, selalu dan tanpa akhir, sehakikat, sama sempurna,
sama mahakuasa, sama kekal”. Mengacu pada penegasan kedua konsili ini, maka
disimpulkan bahwa “segala sesuatu yang berada di dalam Allah selalu dan selamanya
bersifat triadis, segala sesuatu adalah Bapa (Patreque), Putera (Filioque), Roh Kudus
(Spirituque)”.
Dalam Perikhoresis cinta Allah Trinitas, setiap Pribadi Ilahi menerima segala
sesuatu dari yang lain dan saling memberi satu kepada yang lain. Oleh karena Ketiga
Pribadi Ilahi adalah Tiga tetapi Satu, maka tiada relasi yang berkutub ganda dan saling
berlawanan. Relasi yang terjalin di antara Ketiga Pribadi Ilahi adalah relasi triadis dalam
persekutuan dan komunikasi. Karena Ketiga Pribadi Ilahi itu bereksistensi dalam
Ketigaan hingga kekal, maka Ketiganya saling mengikat dan menyatu dalam persekutuan
tertinggi hingga keabadaian, yaitu selalu berada dalam kesatuan Allah yang satu dan
sama. Di dalam dinamika di antara Ketiga Pribadi Ilahi terciptalah (tertuang keluar dari
Ketiga Pribadi) benda dan makhluk duniawi (kosmos dan manusia). Makhluk-makhluk
inilah yang menjadi wadah-lautan komunikatif dari cinta dan kehidupan trinitaris yang
tidak bertepi.

70
2.4.1.3. Pengintegrasian Trinitaris: Semua dalam Semua
Di dalam doa imami-Nya, Yesus mengungkapkan dambaan batin-Nya: “Semoga
mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan aku di
dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah
yang telah mengutus Aku” (Yoh 17:21). Berinspirasikan pada isi doa ini, Yohanes
mengaskan bahwa perikhoresis Trinitaris itu bersifat integratif dan inklusif. Artinya,
perikhoresis Trinitaris itu diperuntukkan bagi kemuliaan segenap ciptaan dalam
perikhoresis cinta dengan Allah Trinitas sendiri sebagaimana nyata dalam penyembuhan
yang sakit, pembebasan yang tertawan dan pengampunan yang dari segala sesuatu yang
menyebabkan perikhoresis Ilahi itu sakit.
Dengan bahasa yang khas, Paulus menegaskan keyakinan imannya bahwa
integritas Trinitas akan terwujud dalam sejarah tatkala keretakan dalam perikhoresis Ilahi
itu diatasi (Gal 3:28; Rm 10:12) dan ekonomi yang dijiwai semangat memberi dan
membagi ditumbuhkembangkan dengan cara memberikan perhatian kepada orang-orang
yang tertimpa kemalangan (Kis 4:31-35) dan ketika terbentuk persekutuan jemaat yang
“sehati dan sejiwa” (Kis 4:32). Integritas Trinitas akhirnya terwujud secara definitif-
otentik dalam kuasa Yesus yang bangkit hingga “Allah menjadi semua dalam semua”
(1Kor 15:28) di dalam diri dan kehidupan-Nya. Boff menilai bahwa pernyataan Paulus ini
mengindikasikan masa depan dari perikhoresis cinta Allah Trinitas. Ketiga Pribadi Ilahi
dalam Trinitas hanya bisa membentuk perikhoresis yang total, unik dan esa bisa apabila
seluruh ciptaan-Nya diangkat dan diintegrasikan ke dalam persekutuan dengan Tiga
Pribadi Ilahi itu sendiri.

2.5. Allah Persekutuan dalam Doksologi.


2.5.1. Arti Doksologi
Kata doksologi diturunkan dari akar kata Yunani, doxa yang berarti “kemuliaan”
atau “kemasyuran”. Kata ini dipergunakan untuk mengungkapkan pengalaman akan Yang
Ilahi dalam wujud pujian, syukur, ketakutan suci dan penerimaan penuh kegembiraan atas
karya keselamatan Allah bagi manusia. Menurut Boff, setiap permenungan teologis hanya
bisa dinyatakan valid apabila dilandaskan pada doksologi tentang pewahyuan diri Allah
sendiri.
Baginya, doksologi merupakan kunci untuk mengerti inti ajaran mengenai
kebenaran iman trinitaris. Dibuktikannya bahwa sebelum disistematisasikan secara ilmiah
oleh para teolog dan diteguhkan dalam Magisterium Gereja dalam detak perjalanan
sejarah, sesungguhnya inti iman akan Allah Trinitas sudah dirayakan oleh Jemaat Gereja
Perdana dalam doa dan liturgi harian untuk memuji dan memuliakan kehadiran Allah
dalam diri Putera-Nya berkat kekuatan Roh Kudus. Bentuk doksologi asali yang
dirayakan ini berakar dari tulisan Perjanjian Baru sendiri.
Gereja yakin bahwa melalui doksologi, segala hormat dan kemuliaan kepada Bapa
bisa dimadahkan karena Kristus, Sang Kepala dan Mempelai-Nya dalam kekuatan Roh
Kudus. Rumusan doksologi ini ditemukan dalam Kanon Romawi. Diakui bahwa kanon ini
memiliki kesamaan dengan Kanon Hippolytus. Di dalam cuplikan doa Der-Balyzeh
terkesan bahwa doksologi yang termuat di dalam kedua kanon ini lebih menekankan
dimensi persekutuan di antara Allah Trinitas dan keterlibatan manusia dalam persekutuan
Trinitaris itu sendiri. Sesungguhnya doksologi merangkum seluruh inti kurban syukur dan

71
pujian umat beriman kepada Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam persatuan
Roh Kudus atas segala anugerah dan rahmat-Nya berlimpah kepada mereka.

2.5.2. Tritunggal Mahakudus: Kabar Gembira kepada Manusia


Inti iman kepada Allah Trinitas akan semakin diperdalam, mudah dimengerti dan
dihayati apabila pemahaman Gereja melampui konsep Trinitas dalam tataran misteri-
logis-matematis. Oleh karena itu, satu-satunya jalan masuk bagi Gereja adalah
meneropong dan mencerna misteri Trinitas berdasarkan misteri keselamatan yang
teraktualisasi dalam sejarah kehidupan manusia. Tuntutan ini dinilai sangat logis
mengingat persoalan Trinitas tidak terlepas dari pergumulan hidup harian umat manusia
dalam seluruh dimensi kehidupan yang dijalani dengan penuh kesadaran, cinta dan
kegembiraannya serta kerelaan untuk menanggung penderitaan karena aneka tragedi
duniawi yang mengancam eksistensi manusiawinya. Dengan demikian tampak bahwa
misteri iman akan Allah Trinitas juga bersentuhan dengan perjuangan manusia beriman
untuk menentang ketidakadilan demi membangun kehidupan bersama yang dilandaskan
pada semangat persaudaraan hingga menuntut korban (martir). Apabila Gereja tidak
mampu melihat dan mengaplikasikan misteri iman akan Allah Trinitas ke dalam derap
perjalanan personal dan sosial umat manusia, maka Gereja dinyatakan gagal untuk
membuktikan daya penebusan dan penyelamatan dari misteri iman ini sebagaimana
diwartakan oleh Injil sendiri.
Dalam lingkup pergerakan Teologi Pembebasan ditegaskannya bahwa perjuangan
umat beriman untuk mendapatkan hak atas kehidupan dan kebebasan manusiawi mereka
akibat struktur yang tidak adil dan menindas akan bermakna, bernyawa dan penuh daya
apabila perjuangan itu dialami sebagai wujud nyata dari perjuangan Bapa, Putera dan Roh
Kudus demi kebahagiaan, keselamatan, kemuliaan dan kehidupan kekal manusia ciptaan-
Nya. Kesadaran ini dilandaskan pada keyakinan iman bahwa manusia selalu hidup dalam
kebersamaan serta ambil bagian, baik dalam persekutuan dengan sesama maupun dalam
perikhoresis trinitaris.
Iman akan perikhoresis cinta Allah Trinitas sama sekali tidak menginginkan
manusia ditindas oleh ketidakadilan, tetapi justru memotivasi setiap pribadi untuk
memperjuangkan kesederajadan dan kesemartabatan mereka serta ditantang untuk
mengubah diri demi membangun sebuah kehidupan yang lebih berciri trinitaris. Iman
akan Allah Trinitas sungguh-sungguh menjadi Kabar Gembira bagi kaum beriman apabila
memperlihatkan keterlibatan Bapa dalam diri Putera dan Roh Kudus dalam kehidupan
dan perjungan kaum tertindas dan siapa pun saja berada di pinggiran untuk mendapatkan
hak dan kehidupan yang layak.

2.5.3. Pengalaman Kemuliaan Allah Tritunggal


Patut diakui bahwa tidak ada ilustrasi yang lebih logis untuk menyingkapkan
realitas agung dan konkrit dari kehadiran Allah Trinitas dalam kehidupan manusia, selain
penegasan iman Paulus kepada Titus (Tit 3:4-6): Misteri Allah Trinitas dinyatakan tatkala
Allah Bapa menunjukkan kemurahan dan kebesaran kasih-Nya kepada manusia dalam
diri Putera-Nya, Yesus Kristus. Dia adalah Sang Putera Kekal yang menjelma untuk
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa dan memperbaharuinya dengan daya Roh
Kudus. Misteri Allah Trinitas yang dinyatakan kepada manusia dalam diri Yesus Kristus
dan kekuatan Roh Kudus ini tidak membuat kaum kristiani terpaku, diam-membisu, tetapi

72
misteri sakramental yang memotivasi mereka untuk semakin beriman serta memuji
keagungan dan kemuliaan-Nya.
Pengalaman iman akan misteri Allah Trinitas ini akhirnya dirangkum dan
dinyatakan dalam doa “kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus”. Di dalam dan
melalui doa ini tersingkap inti iman kristiani akan kehadiran nyata Allah Tritunggal:
Pertama, melalui doa ini, kaum kristiani memberikan tanggapan iman atas cinta
Allah yang dinyatakan dalam diri Putera-Nya berkat dan dalam kekuatan Roh Kudus.
Kedua, melalui doa ini juga, kaum kristiani memanjatkan syukur atas inisiatif dan
pergerakan cinta Allah Tritunggal Mahakudus yang mewahyukan dan mengomunikasikan
diri dan cinta-Nya kepada manusia: Allah mengomunikasikan cinta dan kerahiman-Nya
dengan mengutus Putera-Nya untuk membebaskan dan menyelamatkan manusia manusia
dan mencurahkan Roh cinta-Nya ke dalam hati manusia (Rm 5).
Ketiga, melalui doa ini, kaum kristiani juga bersyukur kepada Putera Tunggal Bapa
yang menyingkapkan wajah Allah yang penuh cinta dan belas kasih serta bersyukur
kepada Roh Kudus yang mendorong mereka dan semua manusia untuk mengakui Putera
dan memungkinkan mereka menyapa Allah sebagai Abba, Bapa tercinta (Rm 8:15; Gal
4:6).

2.5.4. Dasar untuk Mengumandangkan Kemuliaan


Dasar iman kristiani untuk mengumandangkan doa pujian-kemuliaan kepada Allah
lahir dari inti permenungan tentang misteri Trinitas, baik Trinitas ekonomia maupun
Trinitas imanensa serta daya penebusan dan penyelamatan Allah dalam sejarah
keselamatan manusia. Landasan iman akan Allah Trinitas ini berakar dalam Kitab
Perjanjian Baru sendiri. Di dalamnya dinyatakan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya
kepada manusia dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus dalam dan berkat kekuatan Roh
Kudus. Puncak persekutuan Bapa, Putera dan Roh Kudus terwujud secara definitif dan
otentik dalam diri Yesus Kristus, Sang Putera yang menjelma menjadi manusia.
Perjanjian Baru juga memperlihatkan dan membuktikan bahwa sebagai puncak
pewahyuan diri Allah, Yesus Kristus bukanlah Pribadi Ilahi yang otonom-berdiri sendiri,
melainkan selalu berada dalam relasi dengan Bapa dan Roh Kudus. Dalam relasi
persekutuan inilah karya keselamatan Allah terwujud dalam sejarah kehidupan manusia.
Kesaksian Perjanjian Baru ini membuktikan bahwa sedari awal, kodrat Allah in se adalah
Bapa, Putera dan Roh Kudus. Namun, keberadaan Putera dan Roh Kudus baru dinyatakan
secara definitif melalui penjelmaan Putera Kekal Allah menjadi manusia dalam diri Yesus
Kristus. Ketiga Pribadi Ilahi, Bapa, Putera dan Roh Kudus membentuk persekutuan yang
unik, yaitu Allah Tritunggal yang Esa, yang ada sejak kekal dan berinisiatif memasuki
sejarah manusia untuk membebaskan dan menarik manusia untuk masuk ke dalam
persekutuan kekal bersama Allah Trinitas sendiri.
Keagungan relasi persekutuan antara Bapa, Putera dan Roh Kudus menjadi alasan
fundamental bagi kaum kristiani untuk bergembira dan berekstase tentang-Nya dalam
Roh. Allah pantas dimuliakan, sebab keagungan dan kemuliaan masing-masing Pribadi
Ilahi dan relasi persekutuan di antara ke-Tiga-nya itu sungguh mengagumkan sehingga
kaum kristiani hanya bisa berseru dan bernyanyi untuk memuji, menyembah dan
bersyukur kepada-Nya. Keagungan dan kemuliaan Allah Trinitas akan senantiasa
dimadahkan karena kaum kristiani berkeyakinan bahwa ke-Tiga Pribadi Ilahi berjuang
untuk membebaskan dan memasukan mereka ke dalam persekutuan trinitaris itu serta

73
ambil bagian atau terlibat di dalamnya. Pelibatan kaum kristiani dan siapa pun yang
beriman kepada Allah Trinitas bukanlah janji hampa untuk masa depan, sebab wujud
kwtweliatan itu sudah terealisasir dalam kehidupan saat ini dan kini, terutama tatkala
pribadi-pribadi bersekutu dalam kekuatan iman dan cinta kepada-Nya. Kehadiran Allah
Trinitas akan senantiasa dinyatakan apabila relasi persekutuan di antara Allah dengan
manusia dan manusia dengan manusia dibangun di bumi fana ini dalam kekuatan cinta-
Nya.

2.6. Iman akan Allah Trinitas dan Dampak Sosio-Politik-Religius


Iman akan perikhoresis cinta Bapa, Putera dan Roh Kudus memiliki konsekuensi
langsung dan aktual bagi praksis kehidupan manusia. Inti iman ini merupakan kunci
untuk membendung paham monoteisme non-trinitaris yang cenderung membenarkan
totalitarisme. Ditegaskannya bahwa teologi tentang Allah yang Tunggal, bukan
Tritunggal kerap dijadikan tameng untuk membenarkan dan melanggengkan kekuasaan
atau ideologi yang berpusat pada satu pribadi manusia, baik penguasa politik maupun
penguasa religius.
Sejarah membuktikan bahwa di dalam kehidupan politik, kuasa absolut yang
dimiliki oleh Kaisar Kristiani di zaman Romawi dan absolutisme kekuasaan para Raja
Eropa di zaman modern justru dibenarkan dengan berkembangnya penalaran tentang satu
Tuhan Yang Esa di Surga: “Karena hanya ada satu Tuhan di Surga, demikian juga harus
dan hanya ada satu tuan di bumi, yakni Sri Kaisar atau Sang Raja”. Kemutlakan
kekuasaan seorang Raja dunaiwi merupakan cerminan dari kemutlakan kekuasaan Allah
sendiri. Konsekuensi terburuk dari monotheisme yang kaku ini adalah: Penguasa akan
memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas dan memperbudak; undang-undang
diciptakan hanya berdasarkan pada kehendak dan keinginan sang penguasa, bukan
didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Ideologi yang sudah merasuk dan meracuni
benak leluhur dan penerusnya ini justru menimbulkan kesulitan yang tidak tertandingi,
bahkan mematikan bagi manusia yang miskin, lemah dan tidak berdaya.
Demokrasi yang digagaskan Plato, Aristoteles dan pemikir lainnya tidak bisa
dijadikan struktur sosial yang definitif, tetapi sebagai prinsip inspiratif untuk
mengembangkan model kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Demokrasi yang
sungguh-sungguh memperjuangkan dan mengutamakan persamaan, partisipasi dan
keakraban yang berlandaskan pada nilai-nilai transendental hanya mungkin tercipta
apabila kaum kristiani sungguh-sungguh memahami dan menghayati inti iman mereka
akan Allah Trinitas sebab di dalam perikhoresis cinta Allah Trinitas, masing-masing
Pribadi Ilahi, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus saling meresap dan terbuka, saling
melengkapi dan saling mengisi.
Paham monoteisme non-trinitaris juga diperjuangkan dan dipertahankan oleh
masyarakat yang patriarkat dan paternalisme. Bagi mereka, Allah Yang Esa adalah
Patriarkat Besar, Bapa Tertinggi dan Penguasa yang Mutlak. Mereka mengenakan kepada
Allah sifat-sifat yang dimiliki oleh para penguasa absolut budaya duniawi-manusiawi,
baik dalam lingkup keluarga (kuasa sang ayah) maupun dalam lingkup masyarakat (kuasa
sri kaisar atau sang pangeran). Secara ideologis-teologis, kekuatan dan kekuasan sosio-
historis yang dimiliki oleh para bapak atau macho atau maskulin dibenarkan berkat
keyakinan akan Allah yang Tunggal. Allah hanya dilihat sebagai Bapak sehingga cinta

74
dan kelembutan-Nya tidak dinyatakan. Keyakinan ini justru menjadi persoalan
fundamental bagi feminisme.
Dalam lingkup gerejawi, keyakinan iman akan Allah yang Tunggal dan Esa, tetapi
mengabaikan ke-Tritunggal-an-Nya menyebabkan kesatuan dan keutuhan Gereja tidak
fleksibel: “Sebagaimana hanya ada satu Kepala yang Tunggal di Surga, yaitu Tuhan
Allah, demikian juga di bumi hanya dan harus ada satu kepala tunggal”. Paham ini
dicetuskan oleh Ignasius dari Antiokhia: “Jika hanya satu Allah yang Tunggal, demikian
juga hanya ada satu uskup yang tunggal dan satu jemaat lokal yang tunggal”. Paham ini
berdampak buruk bagi kaum religius karena kesatuan yang ditegaskan dalam paham ini
justru ditempatkan dalam kerangka monarkis-monoteistis.
Pemahaman tentang kesatuan Allah yang berbauh monarkis-monoteistis ini sama
sekali tidak membangun persekutuan jemaat beriman sebagai saudara-saudari yang hidup
bersama, saling berbagi dan memberikan diri dalam kelembutan kasih dan juga tidak
menghidupi hakekat Gereja yang satu dan melayani. Distorsi sosial-politik dan
keagamaan akibat paham ini hanya bisa dikoreksi dan diluruskan secara radikal apabila
manusia berpaling kepada Allah kristiani yang diimani sebagai Allah Tritunggal Kudus.

Bab V
Trinitas
dalam
Perspektif Teologi Masa Kini

1. Trinitarianisme Monopersona

Gagasan mengenai Trinitarianisme Monopersonal dirumuskan pada abad XX oleh


kedua “Karl Besar”, yaitu Karl Barth dan Karl Rahner. Keduanya menegaskan bahwa
Tiga Personae yang diajarkan Tradisi Gereja tidak sama dengan Tiga Pribadi atau Tiga
Diri dalam pemahaman modern. Apabila Tiga Personae (istilah Latin persona) dalam
ajaran Tradisi Gereja disamakan dengan istilah modern person, maka pemahaman iman
tentang Allah Trinitas akan jatuh ke dalam paham triteisme.

1.1. Karl Barth

Menurut Karl Bart, Allah Tritunggal bukanlah Allah yang terdiri dari Tiga Pribadi
(Tiga Kepribadian, Tiga Subyek). Allah Tritunggal itu “hanya terdiri dari Satu Aku,

75
Satu Sabda, Satu Kehendak, Satu Wajah dan Satu Karya. Allah Tritunggal adalah
Satu Tuhan.

Bart berkeyakinan bahwa tatkala Tradisi Gereja mempergunakan kata persona,


sesungguhnya maksud yang terkandung di dalamnya sangat berbeda dengan muatan kata
pribadi dalam pemahaman modern. Bagi Bart, kata pribadi dipergunakan untuk
mengungkapkan kodrat Allah yang Esa: Allah adalah Zat Berpikir, Berkehendak,
Bertindak dan Kebebasan-Nya tiada taranya. Allah itu Satu Pribadi dalam Tiga
Cara Berada”.

Cara berada Allah yang berangkap tiga bertautan erat dengan pewahyuan diri-Nya
yang Trinitaris:

 Allah sendiri adalah Pewahyu, Diwahyukan dan Keterwahyuan (Allah Bapa adalah
Sumber Pewahyuan-Nya yang Personal; hasil subyektif dan obyektif dari
pewahyuan;
 Allah menghadirkan diri-Nya kepada makhluk insani sebagai Yesus Kristus;
 Allah memberdayakan kaum beriman untuk menerima kehadiran-Nya dalam hati
mereka sebagai Roh Kudus.

Ketiga cara Allah mewahyukan diri-Nya ini dilatarbelakangi oleh keberadaan-Nya


yang bersifat bathiniah. Tatkala mewahyukan diri-Nya, Allah mewahyukan hakikat-Nya
yang kekal: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan demikian, Bart serentak
memperlihatkan pandangan Trinitasnya dalam konteks “ekonomia” dan “imanen”.

1.2. Karl Rahner: Kesatuan antara Trinitas Ekonomia dan Trinitas Immanenza

Bagi Karl Rahner, Trinitas Ekonomia (Allah Tritunggal dalam tindakan-Nya


keluar) serentak merupakan Trinitas Imanenza (Allah Tritunggal dalam diri-Nya sendiri,
in se) dan sebaliknya: Allah sungguh-sungguh memberikan diri-Nya dalam penciptaan,
rahmat dan penyempurnaan eskatologis.

Pemberian diri Allah terungkap dalam dua cara dasariah berdasarkan eksistensi
personal rohani, yaitu Cinta dan Kebenaran. Dua cara hakiki pemberian diri ini terjadi
dalam diri Allah sendiri dan keluar dari diri-Nya dalam karya pengutusan.

Dalam pengutusan Logos-Putera, Allah memberikan diri-Nya dalam wujud


Kebenaran. Dalam pengutusan Roh Kudus, Allah memberikan diri-Nya dalam wujud
Cinta yang terarah dan membuka masa depan secara definitif dan sempurna.

Allah serentak Satu dan Sama: Bapa adalah Allah tanpa asal dalam diri-Nya; Allah
menyingkapkan diri-Nya sendiri dalam wujud Sabda dan diterima dalam diri-Nya sendiri
dalam wujud Roh. Allah yang Satu dan Sama memberikan diri-Nya keluar secara bebas,
dalam penciptaan, rahmat dan penyempurnaan.

Rahner membebaskan ajaran Trinitas dari isolasinya dan menyatukan misteri


Trinitas dengan misteri rahmat. Inti misteri tersebut adalah: Allah yang satu, bebas dan

76
hidup dalam hubungan internal; memberikan diri-Nya sendiri kepada ciptaan-Nya tanpa
terlebur dalam ciptaan-Nya dan tanpa meniadakan keberdikarian ciptaan-Nya. Inti misteri
tersebut adalah Misteri Cinta.

2. Jalan Tengah

Menanggapi gagasan Trinitarianisme monopersonal Barth dan Rahner, Piet


Schoonenberg dan Hans Urh von Balthasar menawarkan “jalan tengah”.

2.1. Piet Schoonenberg

Dengan mempergunakan kata pribadi (paham modern: subyek yang mampu


mengambil keputusan, bertindak serta menyadari diri tidak tergantikan), Schoonenberg
menegaskan bahwa:

o Pribadi Ilahi menjadi antarpribadi dengan bergerak menuju makhluk insani.


o Apabila pribadi dikenakan pada Allah, maka kata tersebut hanya diperuntukkan bagi
Sang Bapa;
o Sang Putera dan Roh Kudus hanya menjadi pribadi secara ekonomis: berkat
pergerakan Allah yang mendatangi manusia, Putera dan Roh Kudus memprofilasikan
diri Allah Bapa sendiri dan menjadikan manusia sebagai pribadi.
o Dinamika ini disebut personalisasi atau hypostasis.
o Konsekuensi logis dari dinamika ini adalah sebagai berikut: secara imanen
terdapat Satu Pribadi dengan Dua pancaran, yaitu Sabda dan Roh.
o Namun, secara ekonomis, terutama sejak peristiwa inkarnasi terdapat
interpersonalitas yang otentik.
o Putera dan Roh Kudus mempribadikan diri sendiri:
 Pribadi Bapa mempribadikan Sabda-Nya menjadi Putera dalam diri Yesus dan
Roh-Nya menjadi Roh Putera-Nya.
o Proses pergerakan diri Allah menuju manusia bersifat kekal dan dikehendaki-Nya
dengan bebas.
o Proses ini terjadi di dalam hakikat Allah, karena diri Allah sendirilah yang dipribadikan
dalam kontaknya dengan makhluk ciptaan-Nya.

2.2. Hans Urs von Balthasar

Menanggapi ajaran Trinitarianisme Monopersonal Barth dan Rahner, Hans Uhr


von Balthasar menegaskan bahwa Trinitas Immanenza hanya dimengerti dalam dan
melalui Trinitas Ekonomia. Walaupun demikian, keduanya tidak boleh diidentikkan.
Apabila diidentikkan, maka Trinitas Immanenza akan ditelan oleh proses perkembangan
dunia dan Allah seolah-olah menjadi diri atau pribadi dalam proses perkembangan dunia.
Bagi Balthasar, dalam diri-Nya sendiri, Allah adalah Cinta dan Tritunggal dan tidak

77
pernah menjadi Cinta dengan adanya dan dalam proses perkembangan dunia sebagai
“engkau” dan “partner”.

Dengan konsep ini, tampak bahwa Hans Uhr von Balthasar melukiskan Ketiga
Pribadi Ilahi sebagai Subyek yang Berdikari. Agar pendiriannya tidak kontradiktif, maka
kata pribadi dipergunakan untuk menegaskan bahwa Allah itu hanya Satu Pribadi dan
harus dibedakan secara tegas dengan kata pribadi dalam Tiga Pribadi.

Menurut Barth, setiap makhluk insani serentak individu dan kolektif, subyek
mental dan benda mati; makhluk hidup nabati dan hewani. Akan tetapi, seorang makhluk
insani bisa menjadi seorang pribadi (person) sehingga martabatnya melebihi
individualitas dan subyektivitas mental serta tidak jatuh, baik ke dalam individualisme
atau kolektIvisme maupun ke dalam animalisme, voluntarisme dan rasionalisme. Martabat
ini dijelaskannya dengan dua cara:

Pertama, secara kristologis dan antropologis, orang menjadi pribadi berkat


perutusannya. Kristus itu pribadi karena diutus seluruhnya oleh Bapa; manusia akan
menjadi pribadi sejauh membiarkan dirinya diutus.

Kedua, dalam teologi Trinitas, pribadi didefenisikan sebagai diri yang secara
sempurna menyangkal dirinya, memiliki kasih yang murni dan memberikan dirinya
kepada yang lain.

3. Trinitas Sosial

Refleksi iman mengenai Trinitas Sosial menegaskan bahwa: pertama, Bapa, Putra
dan Roh Kudus merupakan persekutuan tiga Pribadi, tiga Subyek dalam arti penuh, yaitu
tiga Pusat Cinta Kasih, Kehendak, Pengetahuan dan Tindakan Berencana. Kedua, masing-
masing pribadi Ilahi berhubungan satu dengan yang lain, walaupun hubungan itu melebihi
hubungan antara anggota suatu badan sosial yang terdiri dari tiga makhluk insani.

Para penganut Trinitas Sosial menekankan bahwa “person” hanya menjadi


“person” hanya berkat adanya relasi dengan pribadi yang lain. Setiap pribadi insani
dibentuk menurut persekutuan Pribadi Allah Tritunggal sebab Allah Tritunggal
merupakan perwujudan tersempurna dari prinsip “aku hanya menjadi aku berkat engkau”
(Martin Buber: Ich Werde am Du).

Para teolog zaman ini lebih cenderung merenungkan kodrat Allah Tritunggal
dalam model sosial ini. Jurgen Moltmann menyatakan bahwa Allah Tritunggal
merupakan Allah yang terdiri dari Tiga Subyek dalam relasi persekutuan antara satu
dengan yang lain. Moltmann menggunakan kata Subyek untuk menggantikan kata person.

Baginya, keesaan Allah bukanlah terletak pada identitas Subyek yang Tunggal,
melainkan sebagai Persekutuan Tiga Pribadi, suatu komunitas yang penuh. Untuk Trinitas
yang bertindak dalam sejarah keselamatan, dia berbicara mengenai Tiga Subyek yang
secara intim dan intensif bersekuru dan berhubungan. Akan tetapi, kesatuan Trinitas
Imanen ini lebih erat.

78
Moltmann menggariskan bahwa antara Pribadi Ekonomis dan Pribadi Imanen ada
ketegangan. Proses imanen dalam Trinitas bersifat adikodrati, kekal dan niscaya,
sedangkan perutusan ekonomis bersifat sukarela, temporal dan bebas. Namun, karena bagi
Allah antara keniscayaan dan kebebasan bertindih tepat, maka antara imanen dan
ekonomia menjadi spontanitas, terutama spontanitas cinta kasih. Allah mengasihi “dengan
sendirinya”.

Relasi timbal balik antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, bukanlah cara berada yang
berlainan dari Satu Subyek Ilahi yang Tunggal semata, melainkan juga dimengerti sebagai
proses kehidupan dari tiga pusat kegiatan yang independen. Bapa, Putra dan Roh Kudus
adalah tiga penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta
kasih. Daya cintalah yang mendorong pribadi-pribadi ilahi untuk keluar dari diri sendiri
sehingga pribadi-pribadi ilahi menghayati hidupnya bukan dari diri mereka sendiri
menuju yang lain, melainkan dari diri yang menuju diri mereka sendiri. Tiap Pribadi
menerima diri-Nya sendiri dari yang lain.

Seperti pribadi insani, Pribadi Ilahi pun mempunyai diri-Nya dalam Pribadi yang
lain. Ini berarti bahwa dalam memperoleh diri itu, kodratnya yang temporal dan
fragmentaris dapat dilampaui. Namun apabila konsep diri dialihkan dari taraf insani ke
taraf ilahi harus ada perbedaan antara Aku dengan diri dalam Allah atau antara subyek
dengan hakikat. Setiap Pribadi , sebagai Aku, menerima diri-Nya berkat yang lain. Proses
memberi dan menerima ini terjadi dalam hakikat Allah yang kekal, namun diteruskan
dalam waktu, yaitu dalam sejarah Allah dan manusia. Setiap Pribadi mempertaruhkan diri
sampai pada eskaton.. Allah memperoleh sifat-sifat-Nya melalui tindakan-tindakan yang
dipilih-Nya untuk dilakukan; hakekat-Nya diperoleh secara historis. Trinitas yang terlibat
dalam proses ini akan diselesaikan secara eskatologis.

79

Anda mungkin juga menyukai