Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus kegagalan dalam pernafasan merupakan salah satu indikasi pasien dirawat di
ruangan Intensive Care Unit (ICU). Gagal napas masih merupakan penyebab angka
kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif. Setiap tahun
diperkirakan hampir 1 juta orang dirawat di ruang ICU karena kegagalan pada saluran
nafas. Gagal napas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbon dioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen (O2) dan
pembentukan karbon dioksida (CO2) dalam sel-sel tubuh. Hal ini mengakibatkan
tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan
tekanan karbon dioksida lebih besar dari 45 mmHg (Hiperkapnia).
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas menjadi masalah utama, karena dampak dari
pengeluaran dahak yang tidak lancar dapat menyebabkan penderita mengalami
kesulitan bernafas dan gangguan pertukaran gas didalam paru-paru. Hal tersebut
dapat mengakibatkan timbulnya sianosis, kelelahan, apatis, merasa lemah, dan dalam
tahap selanjutnya, pasien dapat mengalami penyempitan jalan nafas sehingga
menimbulkan obstruksi jalan nafas.

Kejadian kegagalan pernafasan akut masih merupakan 1 dari 20 penyakit utama


penyebab kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif secara global, dengan
angka mortalitas sebesar 35%-46% tergantung derajat keparahan gejala ARDS
(Acute Respiratory Distress Syndrome). Mortalitas akibat ARDS semakin meningkat
seiring usia, dengan angka mortalitas 24% pada usia 15-19 tahun dan 60% pada usia
di atas 80 tahun (Bellani et al. 2016). Hampir 80% pasien yang berada di ICU
diintubasi dan dimonitor melalui ventilator mekanik, hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya penumpukan sekret yang berlebih. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik
antara lain keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui nasal kanul atau masker, keadaan ventilasi yang tidak adekuat
karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri. Selain itu dikarenakan
kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet serta untuk menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan
keadaan yang gawat atau pasien dengan respon yang kurang baik akibat sumbatan
yang terjadi.

Penanganan untuk obstruksi jalan napas akibat akumulasi sekresi pada endotrakeal
tube adalah dengan melakukan tindakan penghisapan lendir (suction) dengan
memasukkan selang kateter suction melalui hidung / mulut/ endotrakeal tube (ETT)
yang bertujuan untuk membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum dan
mencegah infeksi paru. Secara umum pasien yang terpasang ETT memiliki respon
tubuh yang kurang baik untuk mengeluarkan benda asing, sehingga sangat diperlukan
tindakan penghisapan lendir untuk membantu mengeluarkan sekret di jalan nafasnya
(Vaulina et al. 2019).
Endotracheal Suction (ETS) merupakan suatu prosedur tindakan yang bertujuan untuk
menjaga jalan napas pasien tetap bersih yaitu dengan memasukkan kateter suction ke
pipa endotrakeal pasien kemudian sekret paru pasien dibuang dengan menggunakan
tekanan negatif (Restrepo et al., 2010). Sebagai salah satu tindakan invasif yang
sering dilakukan pada pasien dengan ETT untuk mempertahankan kebersihan jalan
napas adalah tindakan dari retensi secret, tindakan suction perlu mendapatkan
perhatian sehingga prosedur dapat diberikan dengan meminimalkan efek samping
salah satunya dengan mengontrol kedalaman kateter suction saat melakukan
penghisapan sekret. Menurut Brunner & Suddart (2016) posisi semi fowler dapat
meningkatkan kestabilan frekuensi pernafasan pada pasien. Kondisi ini dapat
meningkatkan saturasi oksigen pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai