Anda di halaman 1dari 5

Ultraviolet dan Aku

Aku sangat menyukai hujan beserta gemuruh yang menyertainya. Aku suka bau tanah
basah dan udara sejuk yang hadir di setiap hujan. Biasanya, aku akan keluar untuk mandi hujan
di outdoor lantai 3 asrama bersama teman-temanku. Namun, kali ini aku benar-benar tidak
punya keinginan membuka pintu kamar. Kakiku terasa berat melangkah seolah menginjak
tumpahan gel yang sangat banyak. Aku hanya ingin mengurung diri dan menghindari semua
orang. Kutatap kembali cermin di dinding. Sekali lagi aku menepuk wajahku, berharap ini hanya
mimpi. Sayangnya, ini nyata. Pantulan wajah di cermin itu nyata. Aku masih menyangkal bahwa
wajah wanita berusia 40 tahun di cermin itu adalah wajahku. Tidak, itu bukan aku. Aku masih
berusia 20 tahun. Wanita di cermin itu jauh lebih tua dariku. Kucubit pipiku. Terasa sakit.
Artinya, ini nyata sehingga aku harus menerima bahwa kini aku telah menua 20 tahun.

Aku adalah gadis yang dikenal memiliki wajah mungil dan baby face. Wajahku tidak seperti
teman-teman sebayaku. Meskipun aku sudah kuliah semester 4, banyak yang mengira aku
masih SMP karena wajahku yang kekanak-kanakkan. Wajahku bulat dengan pipi tembam yang
selalu membuat gemas orang yang melihatnya. Aku juga memiliki kulit putih mulus alami yang
membuatku semakin nampak seperti bayi. Namun kini semua itu sirna. Aku bukan lagi Angel
yang imut dan menggemaskan. Kini aku nampak seperti wanita tua dengan kulit pipi yang
mengendur. Semua ini berawal dari dua hari yang lalu. Aku menerima ajakan Adit, sahabatku
untuk pergi ke mall di pusat Kota Bogor. Celakanya, aku mengabaikan cuaca terik dan kondisi
tubuhku yang sedang dehidrasi tanpa kusadari. Kupikir, naik motor dari Dramaga ke
Baranangsiang tidak terlalu buruk. Siapa sangka, sinar UV terlalu kejam padaku hingga
mengubah wajahku dalam waktu 1x 24 jam.

Beruntus merah dan gatal mulai muncul di wajahku setibanya di asrama. Aku berpikir itu
hanyalah reaksi kulit akibat panas yang biasa disebut biang keringat. "Nanti juga hilang sendiri",
pikirku. Celakanya, aku tidak menyadari bahwa itu adalah tanda awal photoaging. Ketika bangun
di pagi hari, aku tercengang menyaksikan pantulan wajahku sendiri. Kulit pipiku mengendur,
guratan garis-garis kasar tampak nyata di sekitar mata. Kutarik kulit yang mengendur ke atas,
memastikan bahwa memang mengendur. Kulit itu itu kembali turun disertai guratan-guratan
bekas tarikan seperti kertas kusut yang baru saja diremas. Menatap wajahku sendiri di cermin,
ada keputusasaan besar yang tidak dapat kuungkapkan. Semua orang memang akan menua,
namun tidak dalam waktu satu malam. Terlebih lagi, usiaku masih sangat belia.

Sesuai dugaanku, orang-orang kaget melihat wajahku yang menua. Bahkan tidak sedikit
yang tidak mengenaliku. Tentu saja mereka tidak percaya melihat perubahan wajahku yang
drastis. Aku lelah menjawab pertanyaan mereka mengapa wajahku bisa seperti ini. Hingga
akhirnya di sinilah aku, mengurung diri, membolos kuliah, bahkan tidak keluar kamar untuk
makan sekalipun demi menghindari tatapan teman-teman satu asramaku. Seandainya bisa, aku
ingin pergi jauh ke tempat di mana tidak ada orang yang mengenalku dan berganti identitas
sesuai tampilan wajahku.

Air mata tak dapat kubendung lagi. Rasa sesak menyeruak dari dalam dada, menyesali
kebodohanku karena mengabaikan kondisi tubuh dan kulitku. Bagaimana aku menjalani hidup
dengan wajah seperti ini? Suara dering ponsel menghentikan lamunanku sesaat. Ah, video call
dari Rezza, pacarku. Kami memang belum bertemu lagi dua hari terakhir ini. Artinya, ia belum
tahu kondisi wajahku sekarang. Entah bagaimana reaksinya setelah kami bertemu nanti. Aku
begitu takut kehilangannya. Rezza adalah pemuja kecantikan. Ia dikenal memiliki beberapa
mantan pacar yang sangat cantik. Apakah ia akan menerima kondisiku yang menyeramkan
seperti ini? Kutolak panggilan videonya karena aku tidak siap menunjukkan wajahku saat ini.

Kurebahkan kembali tubuhku. Suasana asrama terasa sunyi karena sebagian besar
penghuninya pergi kuliah. Kupejamkan mata sejenak. Kilasan masa lalu tampil di kepala seperti
kaleidoskop kehidupan yang singkat. Aku melihat diriku di masa lalu begitu semangat, dikelilingi
teman-teman pria begitu baik. Beberapa dari mereka kuketahui menyimpan rasa padaku. Aku
tahu bahwa aku sangat disukai di beberapa angkatan. Bahkan, para junior memanggilku "kakak
imut". Begitu bangganya aku pada kecantikanku. Aku tertawa lepas, melambaikan tangan pada
siapa saja yang menyapaku.

"Tok..tok..tok.."
Pintu kamarku diketuk seseorang yang ternyata adalah Mbak Mita, seniorku yang tinggal di
lantai dua. Penghuni asrama yang paling perhatian padaku. Mbak Mita bertubuh tinggi besar,
cenderung obesitas. Wajahnya manis khas gadis Jawa dengan senyum teduh yang selalu
mengembang. Aku bahkan tidak bisa membedakan ketika Mbak Mita marah, sedih atau
bahagia karena selalu tersenyum.

"Ngel, kata Rezza kamu udah dua hari nggak kuliah ya? Kamu sakit?" Tanya Mbak Mita
dengan nada cemas. "Nggg... i-iyaa mbak. Aku agak flu", jawabku berbohong sambil
menyembunyikan wajah di balik selimut. Hidungku menangkap aroma ayam goreng krispi
favoritku, membuat perut laparku semakin bergemuruh. "Nih, makan dulu. Mbak bawain ayam
krispi kesukaanmu", kata Mbak Mita sambil menyodorkan bungkusan.c Sial, aku terlalu antusias
menerima bungkusan itu sehingga aku lupa bahwa aku sedang menyembunyikan wajahku. Raut
wajah Mbak Mita langsung berubah melihatku, seolah tak percaya bahwa aku adalah Angel.

"Ngel, kamu kok.......",ucap Mbak Mita terbata seolah tak tega melanjutkan ucapannya.
Tangisku meledak. "Mbak........ tolong aku mbak.....aku harus gimana.......", ratapku dengan air
mata yang tak bisa kubendung. Aku terus terisak di pelukan Mbak Mita. Ia membelai rambutku
dengan lembut, menenangkanku. Sedikit rasa lega mulai terasa. Setidaknya, ada orang lain yang
mengetahui apa yang aku alami. Mbak Mita berjanji akan mengantarku ke dermatolog untuk
berkonsultasi mengenai perubahan kulit wajahku. Aku tahu biaya dermatolog tidak murah
namun paling tidak aku mendapatkan secercah harapan bahwa hidupku belum berakhir. Selain
itu, ada Mbak Mita yang tak berhenti menenangkan dan menyemangatiku.

********

Kenyataan pahit harus kuhadapi. Kulitku tidak bisa ditangani dengan treatment biasa. Aku
harus menjalani serangkaian treatment khusus yang menggunakan berbagai alat yang tidak
kupahami. Meso...ah, apalah namanya. Aku lupa. Biaya yang sangat tidak terjangkau
membuatku urung untuk melanjutkan kunjungan ke dermatolog. Aku pasrah. Aku memutuskan
untuk tidak lagi bersembunyi. Kubiarkan semua orang tahu apa yang menimpaku. Ya, aku
mengalami photoaging atau penuaan dini dalam waktu yang sangat cepat akibat radiasi sinar
matahari. Beberapa orang mengejekku. "Kamu bukan kakak imut lagi, melainkan kakak amit",
kata mereka. Namun, jauh lebih banyak yang berempati kepadaku. Kata mereka yang
berempati, aku memang kehilangan sinar wajahku namun aku tidak kehilangan sinar di hatiku.

Rezza akhirnya memutuskan hubungan kami karena ia tidak bisa menerima perubahan
wajahku. Anehnya, aku sama sekali tidak bersedih. Aku justru merasa lega karena tidak harus
berusaha menyenangkan orang yang tidak tulus yang hanya tunduk pada kecantikan fisik. Aku
lega karena akhirnya menyadari bahwa selama ini aku terlalu sombong atas kelebihan yang
kumiliki.

Apapun pandangan orang lain terhadapku, aku berjanji akan selalu tersenyum. Aku ingat
nasihat Mbak Mita bahwa aku patut bersyukur karena masih memiliki tubuh yang sehat dan
lincah. Penuaan dini bukanlah akhir dari segalanya. Mungkin ini adalah salah satu jalan dari
Tuhan untuk menjauhkan orang yang hanya memandang kecantikan fisik, bukan ketulusan dan
kesetiaan.

Asrama terasa sunyi seperti biasa. Bahkan aku hanya bisa mendengar suara nafasku.
Samar-samar aku mendengar suara dua orang yang mengobrol di ruang TV lantai 2. Semakin
langkahku mendekat, semakin jelas ucapan mereka dan semakin kukenali suara mereka. "Rasain
si Angel sekarang mukanya tua, udah jelek dia. Liat aja, cowok-cowok udah pada ngejauhin dia
kan", ucap orang pertama. "Iya, rasain. Sok cantik banget sih jadi anak. Biar sadar deh selama ini
orang-orang bukan sayang sama dia, tapi cuma suka sama mukanya yang imut. Sekarang udah
nggak ada lagi yang disukai. Hahahaha", ucap orang kedua sambil tergelak. Kutahan gemuruh di
dadaku. Kubiarkan mereka membicarakan dan menjelekkanku meskipun sesak terasa di hati.
Namun, air mata tak bisa kubendung karena mengetahui dua orang itu adalah Mbak Mita dan
Fenny, dua orang sahabat asrama yang paling kusayangi.

END

Semarang, 20 September 2022


Biodata Penulis

Nama : Fairuza

Alamat : Perumahan Taman Bukit Asri Blok BC 120 A, Mangunharjo,

Tembalang, Kota Semarang.

Wassap : 08978649201

Instagram : @faiqafairuza

Email. : 08978649201

Anda mungkin juga menyukai