Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI

PENYEBAB KORUPSI
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PBAK dengan Dosen Pembimbing
Ibu Hermien Nugraheni, SKM, M. Kes

Di susun oleh :
4A3 RKI
La Navida Mailuna V. (P1337420619001)
Alaa Aini (P1337420619011)
Chindy Eti Tita B. (P1337420619018)
Nurohma Mufliha M. (P1337420619033)
Nurul ‘Alimah (P1337420619058)
Muhammad Fatih Al Ikhsan (P1337420619067)
Denia Herning (P1337420619075)
Nafisah Salsabila (P1337420619076)
Wahyu Jatmiko (P1337420619082)
Alfinia Ifa Zulfana (P1337420619086)
Rizki Noorshie Azmi (P1337420619089)
Anisa Fadilla (P1337420619090)

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya tindak pidana korupsi baik dari segi kualitas maupun
kuantitas yang begitu rapi telah menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia.
Korupsi di Indonesia bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki
kawasan yang sudah dipersepsi publik sebagai sarang korupsi, namun juga
menyusuri lorong-lorong instansi yang tak terbayangkan sebelumnya bahwa ada
tindakan korupsi. Dengan semakin berkembangnya sector ekonomi dan politik serta
semakin majunya sahausaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber
daya alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan
pegawai negeri untuk melakukan praktik korupsi.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tapi juga terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, maka tindak pidana korupsi tidak
lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa tapi telah menjadi kejahatan luar
biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya, tidak lagi bisa dilakukan secara
biasa tapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor penyebab korupsi.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah menanggulangi korupsi.
3. Untuk mengetahui tindakan yang dapat dilakukan untuk membarantas korupsi.

C. Permasalahan
1. Apakah peningkatan gaji atau fasilitas penyelenggara Negara (Pejabat Negara)
dapat mencegahnya berbuat korupsi?
2. Bagaimana mencegah upaya korupsi dari factor internal dan eksternal dalam
kasus di atas?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Salah Satu Faktor Penyebab Korupsi


Salah satu faktor penyebab orang melakukan korupsi adalah faktor ekonomi. Oleh
sebab itu perlu dilakukan penelitian tentang hubungan korupsi dengan kenaikan gaji
terutama bagi pegawai negeri sipil (PNS) Undang-undang Nomor 5 Tahun 201 4
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengamanatkan bahwa pemerintah wajib
membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS.
Komponen gaji yang diterima PNS hanya terdiri dari tiga macam, yaitu gaji,
tunjangan kinerja, dan tunjangan kemahalan. Gaji adalah kompensasi dasar berupa
honorarium sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab jabatan dan risiko pekerjaan
yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Tunjangan kinerja dibayarkan
sesuai pencapaian kinerja. Adapun tunjangan kemahalan dibayarkan sesuai dengan
tingkat kemahalan berdasarkan indeks harga yang berlaku didaerah masing-masing.

B. Langkah-Langkah Menanggulangi Korupsi


Tugas memerangi korupsi bukan hanya ada pada Komisi Pemberantasan Korupsi
atau Badan Inspektorat Negara. Korupsi akan terkikis dari bumi pertiwi ini melalui
semua elemen pemerintahan, dari terendah sampai paling tinggi. Caiden Gerald
(2000) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut:
1) Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
2) Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat.
3) Rotasi penugasan.
4) Mengurangi wewenang yang saling tindih pada organisasi yang sama.
5) Membenahi birokrasi yang saling bersaing.
6) Menunjuk instansi pengawas.
7) Meningkatkan ancaman.
Kartono (1 983) menyarankan penanggulangan korupsi dengan langkah sebagai
berikut:
1) Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial.
2) Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan
kepentingan nasional.
3) Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
4) Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas, dan menghukum
pelaku tindak pidana korupsi.
5) Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan di bawahnya.
6) Adanya system penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan
bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7) Adanya kebutuhan pegawai negeri yang nonpolitik demi kelancaran
administrasi pemerintah.
8) Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
Keberadaan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia mendorong berbagai insiatif-inisiatif di lingkungan pemerintahan pusat
sampai ke daerah. Melalui Inpres ini, Presiden Republik Indonesia mengamanatkan
untuk melakukan langkah-langkah upaya strategis dalam rangka mempercepat
pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menyusun Rencana Aksi Nasional
Pemberantasan
Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Dokumen RANPK 2004-2009 menekankan kepada
upaya pencegahan, penindakan, upaya pencegahan dan penindakan korupsi, serta
pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN PK. Dengan
demikian, RAN-PK diharapkan menjadi acuan dalam upaya pemberantasan korupsi
bagi setiap lini pemerintahan di tingkat pusat dan daerah.
Dari beberapa upaya yang bisa dilakukan seperti yang dijelaskan di atas, ada
beberapa strategi besar (grand strategy) yang perlu dilaksanakan, diantaranya
adalah:
1. Melaksanakan upaya-upaya pencegahan;
2. Melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penindakan;
3. Melaksanakan harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan
di bidang pemberantasan korupsi dan sektor lainnya yang terkait;
4. Melaksanakan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi;
5. Meningkatkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi;
6. Meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan pelaksanaan upaya
pemberantasan korupsi.

C. Tindakan yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Korupsi


Tindakan yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi adalah sebagai berikut:
1. Preventif
a. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai, baik di instansi
pemerintah maupun swasta, tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
b. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta agar pejabat dan
pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak
terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
c. Keteladanan dan perilaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian, dan kebijakan.
d. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
kontrol, koreksi dan peringatan mengingat wewenang dan kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan.
e. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” di kalangan pejabat dan pegawai sehingga mereka merasa
perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
2. Represif
a. Menghukum para koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya.
b. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
c. Heregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

Analisa dan hasil uji pada jurnal yang berjudul “Pengeruh Kenaikan Gaji PNS
terhadap Korupsi yang Ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)” yang
ditulis oleh Abdul Sani tahun 2020 mengungkapkan bahwa:

Berdasarkan tabel dan grafik korupsi di atas, dapat dianalisis bahwa secara umum
terjadi kenaikan dan penurunan tindak pidana korupsi yang tidak merata dari tahun ke
tahun. Kenaikan secara signifikan terjadi pada 2009 dan 2016. Adapun pada tahun
selain itu terjadi penurunan dan kenaikan tapi tidak terlalu signifikan. Penurunan
korupsi terendah terjadi pada 2012. Sementara rata-rata kenaikan tindak pidana korupsi
selama 10 tahun terakhir sebesar 20%.
Berdasarkan tabel dan grafik kenaikan gaji dapat dianalisis bahwa secara umum
terjadi kenaikan gaji hampir terjadi setiap tahun, kecuali pada 2016 dan 2017. Kenaikan
gaji yang tertinggi terjadi pada 2013. Kenaikan gaji terendah terjadi pada 2011 dan 201
2. Pada 201 6 dan 2017 tidak ada kenaikan gaji sama sekali. Rata-rata kenaikan gaji
setiap tahun berada pada angka 0,31%.
Apakah kenaikan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kenaikan gaji? Dari
hasil pengolahan data di atas dapat dijelaskan pada paparan di bawah ini.

Peneliti menghubungkan antara kenaikan gaji PNS dengan korupsi. Didapatkan


hasil sebagai berikut: R Square: 0.085295 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
kenaikan gaji PNS dengan korupsi. Adapun significance F: 0.44571782, ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kenaikan gaji terhadap korupsi. Hasil
ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan (H1) tidak terbukti.
Menurut Teori Willingness and Opportunity, korupsi terjadi karena adanya
kemauan (willingness) dan kesempatan (opportunity).
 Kemauan
Kemauan merupakan faktor internal yang berupa pendorong seseorang
melakukan korupsi karena kebutuhan atau keserakahan, sedangkan kesempatan
merupakan faktor eksternal yang berupa kelemahan sistem pengendalian internal
atau kurangnya pengawasan. Jika kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan maka
akan menyebabkan tindakan korupsi (Zachrie & Wijayanto, 2009). Dari sisi
internal, manusia sejak lahir telah memiliki sikap untuk mengutamakan diri sendiri
atau selfish. Selfish merupakan awal munculnya sifat greed atau serakah yang
merupakan akar dari mentalitas korup (Suprayitno, 2011). Keinginan untuk korup
merupakan refleksi dari kualitas moral masing-masing individu. Dari sisi
reliabilitas, upaya pemberantasan korupsi yang menitikberatkan pada pembangunan
moral saja sudah tidak reliabel. Selain berfluktuasi, kualitas moral seseorang dapat
berubah secara drastis seiring dengan berjalannya waktu. Dari sisi eksternal,
kesempatan merupakan faktor kedua yang memungkinkan korupsi terjadi.
 Kesempatan
Kesempatan tergantung pada kondisi sistem yang ada. Apabila sistem yang
sudah ada lemah maka akan banyak peluang terjadinya korupsi, sebaliknya jika
sistem yang tertata dengan baik tidak akan terjadi korupsi (Andria et al., 2020).
Upaya menekan kesempatan terjadinya korupsi bisa dilakukan dengan memperbaiki
sistem, misalnya dengan menerapkan sistem yang lebih akuntabel. Walaupun sistem
memegang peran penting terutama karena sifatnya yang lebih reliable, akan tetapi
tanpa dukungan individu yang bermoral tentunya hal ini akan sia-sia (Suprayitno,
2011). Pada penelitian penggunaan teori willingness and opportunity to corrupt
akan berfokus pada faktor opportunity atau kesempatan yang diwujudkan dalam
sistem pengendalian internal dan kapabilitas auditor internal.
Menurut jurnal yang berjudul Mengupas Tuntas Budaya Korupsi yang
Mengakar serta Pembasmian Mafia Koruptor Menuju Indonesia Bersih, yang ditulis
oleh Viola Sinda bahwa terdapat kondisi kondusif bagi munculnya budaya korupsi
yaitu, salah satu yang terkait dengan kondisi-kondisi yang kondusif bagi terjadinya
korupsi yaitu gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. Ketidakpuasan terhadap
kebijakan pemerintah mengenai pengupahan merupakan salah satu bentuk
rasionalisasi untuk membenarkan tindakan korupsi yang dilakukan. Menurut jurnal
yang berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Korupsi pada
Pemerintah Daerah di Jawa Tengah Menggunakan Teori Fraud Triangle oleh Gilang
Satryo Wicaksono yang terbit tahun 2022, bahwa Pegawai pemerintahan yang
bergaji rendah dengan tanggung jawab dan beban kerja yang besar akan menuntut
gaji yang lebih secara informal bahkan dengan tindakan yang ilegal. Pegawai
pemerintahan tidak bisa meminta kenaikan gaji secara terang-terangan karena gaji
pegawai pemerintahan telah diatur dalam undang-undang berdasarkan golongan dan
lama masa kerja. Karena hal tersebut maka pegawai pemerintahan yang tidak puas
dengan gajinya karena merasa beban kerjanya tidak sebanding dengan gajinya bisa
memicu pegawai untuk melakukan tindakan korupsi. Sebaliknya, tingkat gaji yang
lebih tinggi membuat inspirasi untuk tidak melakukan praktik korupsi karena
pegawai merasa puas dengan gaji ya lebih tinggi. Muhtar et al (2018). Namun,
korupsi disebabkan oleh sifat rakus, meski gaji yang diterima besar, pegawai
pemerintahan tetap memiliki motivasi untuk meningkatkan hartanya melalui
perbuatan korupsi. Terbukti beberapa kepala daerah dan anggota dewan legislatif
yang memiliki gaji yang tinggi tetap saja melakukan tindak korupsi di beberapa
daerah. Misalnya pemerintah daerah sedang melakukan program percepatan
sehingga pegawai pemerintahan harus bekerja ekstra melebihi jam kerja dan
deskripsi pekerjaannya namun tidak diberikan insentif atas pekerjaannya. Hal
tersebut bisa memicu untuk merasionalisasikan tindakan untuk melakukan korupsi.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut jurnal yang berjudul “ Korupsi Kolektif
(Korupsi Berjamaah) di Indonesia: Antara Faktor Penyebab dan Penegakan
Hukum” yang terbit tahun 2018 disebutkan bahwa Penyebab Faktor Korupsi di
Indonesia salah satunya yaitu perilaku individu. Jika dilihat dari sudut pandang
pelaku korupsi, karena koruptor melakukan tindakan korupsi dapat berupa dorongan
internal dalam bentuk keinginan atau niat dan melakukannya dengan kesadaran
penuh. Seseorang termotivasi untuk melakukan korupsi, antara lain karena sifat
rakus manusia, gaya hidup konsumtif, kurangnya agama, lemahnya moralitas dalam
menghadapi godaan korupsi, dan kurangnya etika sebagai pejabat. Korupsi
dilakukan karena dipaksakan karena tidak memiliki uang untuk memenuhi
kehidupan sehingga korupsi menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi,
sangat irasional jika pejabat negara tidak memiliki uang karena pada kenyataannya
pejabat pemerintah dibayar oleh negara dengan nilai yang cukup tinggi sekitar
puluhan juta rupiah dan bahkan ratusan juta rupiah setiap bulan. Penyebab
sebenarnya adalah kepuasan dengan gaji, kepuasan gaji didasarkan pada gagasan
bahwa seseorang akan puas dengan gajinya ketika persepsi gaji dan apa yang
mereka anggap tepat.
Menurut jurnal yang berjudul Penerapan Dimensi Akuntabilitas Publik
dalam Pencegahan Korupsi Dana Desa di Kabupaten Pandeglang bahwa dalam
konteks pemerintah daerah melakukan pencegahan korupsi terhadap pengelolaan
dana desa melalui fungsi pembinaan dan pengawasan yang dimilikinya, inovasi
merupakan suatu hal yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas publik
yang meliputi aspek hukum dan kejujuran, manajerial, program, kebijakan, dan
finansial. Inovasi yang dimaksudkan disini adalah dengan kekuasaan yang dimiliki
pemerintah daerah sebagai daerah otonom dan kepala daerah sebagai kepala daerah
otonom harus melakukan terobosan, salah satunya dengan kebijakan yang dapat
difungsikan untuk mengatur dan mengurus seluruh proses pengelolaan dana desa
sesuai dengan amanat dan cita-cita peraturan perundang undangan tentang dana
desa serta tuntutan akan akuntabilitas publik.
Selain menetapkan peraturan turunan, Pemerintah Kabupaten Pandeglang
juga memiliki political will dan kesungguhan dalam melaksanakan peraturan yang
telah ditetapkanya dengan mengawal, membina dan mengawasi pelaksanaan
pengelolaan dana desa agar tidak bertentangan peraturan yang berlaku.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pendapat tentang Apakah peningkatan gaji atau fasilitas penyelenggara


Negara (Pejabat Negara) dapat mencegahnya berbuat korupsi.
Peningkatan gaji atau fasilitas seseorang penyelenggara negara untuk
mencegahnya melakukan perbuatan korupsi tidak berdampak besar untuk mencegah
suatu oknum melakukan perbuatan korupsi bahkan nyaris tidak ada pengaruhnya
sama sekali. Hal ini disebabkan karena meningkatkan gaji atau memberi fasilitas
kepada penyelenggara negara hanya akan mencegah perilaku korupsi kepada oknum
yang secara spesifik kebutuhan hidupnya mendesak dan penghasilan yang kurang
mencukupi. Pada kasus setya novanto dengan jabatan Ketua DPR RI periode 2014
—2019 yang jelas memiliki gaji besar. Tetapi masih saja melakukan Tindakan
korupsi. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa gaji tinggi tidak menjamin seseorang
untuk tidak melakukan korupsi.
Peningkatan gaji dan remunerasi penyelenggara negara juga tidak efektif
mencegah perilaku korup. Sepertinya para koruptor melakukan cost-benefit
analysis. Kemasifan dan keberjemaahan korupsi serta ketidaksungguhan penegakan
hukum seakan mengurangi risiko tertangkap dan hukuman, dan menjadikan perilaku
korup semakin mengiurkan.

B. Bagaimana Mencegah Upaya Korupsi dari Faktor Internal dan Eksternal


dalam Kasus di Atas?
a. Faktor internal
Upaya pencegahan korupsi dari faktor internal atau dari faktor dalam diri
seseorang itu sendiri berasal dari aspek perilaku individu dan aspek sosial.
Untuk pencegahan dari aspek perilaku individu yang dapat mengubahnya
adalah individu itu sendiri yaitu dengan cara tidak bersifat tamak atau rakus,
sikap atau moral yang kuat yang biasanya di bangun dalam keluarga sejak
masih anak-anak, penghasilan yang mencukupi agar kesejahteraan ekonomi
dapat tercukupi sehingga tidak adanya kebutuhan hidup yang mendesak,
gaya hidup yang tidak konsumtif atau menanamkan sikap yang sederhana,
tidak bersikap malas dan tidak mau bekerja dan yang terpenting adalah
penanaman ajaran agama pada setiap individu karena semua agama
melarang untuk berbuat perbuatan tidak baik dan tercela. Kemudian faktor
internal dari aspek sosial, perilaku korup dapat terjadi karena dorongan
keluarga oleh karena itu, pendidikan, sikap, moral dan karakter dari keluarga
itu sendiri seharusnya mendidik dan mencerminkan keluarga yang baik
senantiasa bersikap jujur. Faktor internal lainnya terdiri dari aspek moral,
misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau
perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga
yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
b. Faktor eksternal
Upaya pencegahan korupsi dari faktor ekternal atau faktor dari luar yang
berasal dari situasi dari lingkungan yang mendukung seseorang untuk
melakukan korupsi. Faktor eksternal ini dapat dicegah dari beberapa aspek;
1. Aspek organisasi dapat dicegah dengan cara, manajemen yang baik
sehingga tidak memberika peluang untuk melakukan korupsi, kultur
organisasi yang baik, kuatnya controlling pengawasan ,peningkatan
transportasi pengelolaan keuangan sehingga setiap anggota organisasi
sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing dapat ikut bertanggung
jawab dalam penggunaan anggaran sesuai perencanaan yang telah
disusun.
2. Aspek ekonomi menghindari gaya hidup yang konsumtif adalah sikap
merusak yang dapat mendorong seseorang menilai segala sesuatu dengan
uang.
3. Aspek politik atau tekanan kelompok, biasanya korupsi juga bisa terjadi
karena tekanan pimpinan atau rekan kerja yang juga terlibat, keadaan ini
dapat di cegah dengan cara memilih ketua atau pimpinan yang tepat di
kancah politik, pilihlah pemimpin yang jujur dan adil, pemimpin yang
jujur dan adil dipilih dari rakyatnya dengan jujur dan adil pula.
4. Aspek hukum korupsi dapat di cegah dengan membuat aturan hukum
yang tidak diskriminatif, sepihak, dan tak adil, hukum harus jelas dan
transparan mengungkapkan bukti-bukti yang benar dan yang salah bukan
karena tuntutan apapun.
Faktor eksternal lainnya bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya
pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya
instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan
kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan
transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-
undangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu
lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah tersebut dapat disimpulkan yaitu korupsi
adalah penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang
disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum,
perusahaan, atau pribadi lainnya.
B. Saran
Sebagai mahasiswa dan calon pendidik, kita hendaknya lebih memahami tentang
pendidikan anti korupsi. Tentu saja dimulai dari hal-hal kecil, seperti selalu
menanamkan sikap kejujuran kepada peserta didik. Tidak hanya memerintah tetapi
dengan mencontohkan perilaku kita kepada peserta didik. Pemerintah sebaiknya
lebih serius dalam menangani korupsi yang terjadi di Indonesia ini. Karena tanpa
kita sadari, korupsi akan menghancurkan Negara kita secara perlahan. Dan Negara
kita akan di anggap rendah oleh Negara lain.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin R, Syarief O, Prastiyo D. Korupsi Kolektif ( Korupsi Berjamaah ) di Indonesia :


Antara Faktor Penyebab dan Penegakan Hukum. 2018;18(1):1-13.

Dosen Fakultas Hukum, UI. 2014. https://law.ui.ac.id/v3/berantas-korupsi-dengan-


berolahraga/ diakses pada tanggal 13 Agustus 2022

Habibi F & Arif Nugroho. (2018). Penerapan Dimensi Akuntabilitas Publik dalam
Pencegahan Korupsi Dana Desa di Kabupaten Pandeglang. Jurnal Ilmu
Administrasi Vol. XV No.2

Pustha, F.W>T> & Alfiansyah Fauzan. (2021). Faktor yang Mempengaruhi Pencegahan
dan Upaya Pemberantasan Korupsi. Jurnal Manajemen Pendidikan dan Ilmu Sosial.
2(2)

Sani A. Pengaruh kenaikan Gaji PNS terhadap Korupsi yang Ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). J Stud Adm. 2020;1(1):16-23.
doi:10.47995/jian.vlil.11

Suryani, I. (2013). Penanaman Nilai Anti Korupsi di Perguruan Tinggi sebagai Upaya
Preventif Pencegahan Korupsi. Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, 308.

Wicaksono GS, Jatmiko T, Prabowo W. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Korupsi pada Pemerintah Daerah di Jawa Tengah Menggunakan Teori Fraud
Triangle. 2022;6:1016-1028.

https://id.scribd.com/document/487668368/MATERI-PBAK

Anda mungkin juga menyukai