Anda di halaman 1dari 53

1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kematian Maternal


2.1.1 Definisi Kematian Maternal
Kematian maternal adalah kematian ibu hamil sampai 90 hari sesudah
persalinan dan tidak tergantung dari sebab dan taunya kehamilan (Manuaba,
2010).

2.1.2 Faktor Risiko Penyebab Kematian Maternal


Menurut Maine (1992) dalam kerangka teori seperti dikutip dalam Aeni
(2013), mengemukakan determinan kematian dan kesakitan pada ibu sebagai
keadaan atau hal-hal yang melatar belakangi dan menjadi penyebab obstetri
langsung serta tidak langsung dari kematian dan kesakitan ibu bisa diperlihatkan
pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka Teori Mc. Carthy dan Maine (1992)

Determinan penyebab komplikasi obstetri dikelompokkan dalam tiga


kelompok yaitu:

1
2

a. Determinan Dekat
Proses langsung terhadap kematian maternal yang disebabkan oleh
komplikasi obstetri (Maine dalam Aeni, 2013).
1) Komplikasi Kehamilan
95% ibu yang mengalami komplikasi kehamilan beresiko mengalami
kematian maternal daripada ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan.
hipertensi dalam kehamilan adalah penyebab utama kemtian maternal seperti
preeklampsia, apabila tidak didiagnosa secara dini bisa menjadi gawat darurat
yang berakibat ibu kehilangan kesadaran sehingga terjadi kegagalan pada jantung,
gagal ginjal atau perdarahan pada otak yang berakibat pada kematian maternal.
a) Perdarahan Abortus
(1) Definisi Abortus
Abortus adalah terminasi kehamilan secara alami dengan keluarnya
produk konsepsi saat umur kehamilan ≤ 20 minggu atau berat janin ≤ 500 gram
(Anderson, 2009).

(2) Klasifikasi Abortus


Menurut Kusmiran (2011) klasifikasi abortus yakni :
(a) Abortus iminen : Perdarahan per vaginam pada paruh pertama kehamilan,
kehamilannya masih bisa diselamatkan.
Vagina bercak atau perdarahan yang lebih berat umumnya terjadi
selamakehamilan awal dan dapat berlangsung selama beberapa hari atau
minggu serta dapat mempengaruhi satu dari empat atau lima wanita
hamil. Secara keseluruhan, sekitar setengah dari kehamilan ini akan
berakhir dengan abortus (Cunningham et al., 2005). Abortus iminens
didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada 20 minggu
mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut
beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut
bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip serviks,
ulserasi vagina, karsinoma serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan
trofoblast harus dibedakan dari abortus iminens karena dapat memberikan
3

perdarahan pada vagina. Pemeriksaan spekulum dapat membedakan


polip, ulserasi vagina atau karsinoma serviks, sedangkan kelainan lain
membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi (Sastrawinata et al., 2005).
(b) Abortus insipien : Keguguran hampir pasti terjadi dan tidak dapat
dihentikan.
Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan
perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang disertai
nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks
sehingga jari pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-
kadang perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan
yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus
segera dilakukan. Janin biasanya sudah mati dan mempertahankan
kehamilan pada keadaan ini merupakan kontraindikasi (Sastrawinata et
al., 2005).
(c) Abortus inkompletus : Tidak semua produk konsepsi keluar bersama janin
pada saat keguguran.
Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi
telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya
jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan
membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda
di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus alienum).
Oleh karena itu, uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan
mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri, namun tidak
sehebat pada abortus insipiens. Jika hasil konsepsi lahir dengan lengkap,
maka disebut abortus komplet. Pada keadaan ini kuretasi tidak perlu
dilakukan. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah
isi rahim dikeluarkan dan selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan
berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan
epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali.
Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga, abortus
4

inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan


(Sastrawinata et al., 2005).
(d) Missed Abortion : Kehamilan masih bertahan setelah janin meninggal dalam
kandungan. Abortus tertunda adalah keadaan dimana janin sudah mati, tetapi
tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih.
Pada abortus tertunda akan dijimpai amenorea, yaitu perdarahan sedikit-
sedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama observasi fundus
tidak bertambah tinggi, malahan tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam,
serviks tertutup dan ada darah sedikit (Mochtar, 2000).
(e) Abortus habitualis : Keguguran spontan berturut-turut pada kehamilan ketiga
atau lebih. Anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu
hamil, dan kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada
abortus habitualis (Jauniaux et al., 2006). Menurut Mochtar (2000), abortus
habitualis merupakan abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih.
Etiologi abortus ini adalah kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana
sekiranya terjadi pembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi
tiroid, kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak
sanggupnya plasenta menghasilkan progesterone sesudah korpus luteum
atrofis juga merupakan etiologi dari abortus habitualis.
5

(3) Etiologi
Faktor-faktor yang bisa berakibat pada abortus yaitu :
(a) Faktor janin
adanya gangguan pada pertumbuhan plasenta, embrio, janin dan zigot.
(b) Faktor maternal
Infeksi maternal dapat membawa risiko bagi janin yang akan berkembang,
akibat kematian janin tidak bisa diketahui secara pasti.
(c) Faktor eksternal
Penyebab keguguran misalnya radiasi dapat mengakibatkan rusaknya janin
pada kehamilan 9 minggu dan obat dosis yang tinggi.
(4) Patogenesis
Sebagian besar abortus spontan terjadi setelah kematian janin diikuti
perdarahan ke dalam desidua basalis, sesudah itu terjadi infiltrasi sel –sel
peradangan akut perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, dan
perdarahan pervaginam. Abortus mengakibatkan berbagai komplikasi mulai dari
perdarahan, gelembung udara atau cairan, bendungan sistem pembuluh darah
oleh bekuan darah, syok hemoragik , keracunan obat – obat abortif yang
menimbulkan gagal ginjal, perforasi uterus gangguan mekanisme pembekuan
darah yang berat, infeksi, dan syok septik yang berujung kematian maternal.
(5) Diagnosis
Menurut Sastrawinata dan kawan-kawan (2005), diagnosa abortus menurut
gambaran klinis adalah seperti berikut:
1. Abortus Iminens (Threatened abortion)
a. Anamnesis – perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada
atau ringan.
b. Pemeriksaan dalam – fluksus ada (sedikit), ostium uteri tertutup, dan besar
uterus sesuai dengan umur kehamilan.
c. Pemeriksaan penunjang – hasil USG.
2. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)
a. Anamnesis – perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri / kontraksi rahim.
6

b. Pemeriksaan dalam – ostium terbuka, buah kehamilan masih dalam


rahim, dan ketuban utuh (mungkin menonjol).
3. Abortus Inkompletus atau abortus kompletus
a. Anamnesis – perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri /
kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi syok.
b. Pemeriksaan dalam – ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah
kehamilan.
4. Abortus Tertunda (Missed abortion)
a. Anamnesis - perdarahan bisa ada atau tidak.
b. Pemeriksaan obstetri – fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan dan
bunyi jantung janin tidak ada.
c. Pemeriksaan penunjang – USG, laboratorium (Hb, trombosit, fibrinogen,
waktu perdarahan, waktu pembekuan dan waktu protrombin).
Diagnosa abortus habitualis (recurrent abortion) dan abortus septik (septic
abortion) menurut Mochtar (2000) adalah seperti berikut:
1. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)
a. Histerosalfingografi – untuk mengetahui ada tidaknya mioma uterus
submukosa dan anomali kongenital.
b. BMR dan kadar yodium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau
tidak gangguan glandula thyroidea.
2. Abortus Septik (Septic abortion)
a. Adanya abortus : amenore, perdarahan, keluar jaringan yang telah
ditolong di luar rumah sakit.
b. Pemeriksaan : kanalis servikalis terbuka, teraba jaringan, perdarahan
dan sebagainya.
c. Tanda-tanda infeksi alat genital : demam, nadi cepat, perdarahan, nyeri
tekan dan leukositosis.
d. Pada abortus septik : kelihatan sakit berat, panas tinggi, menggigil, nadi
kecil dan cepat, tekanan darah turun sampai syok.
7

(6) Penatalaksanaan
1. Abortus insipiens, inkompletus, kompletus
a. Pasang infus / cairan pengganti
b. Transfuse darah
c. Persiapan kuretase
- Mempercepat pengambilan jaringan-hasil konsepsi
- Mempercepat berhentinya perdarahan
- Mengurangi infeksi
d. Tambahan terapi
- Antibiotika
- Uterotonika
- Terapi suportif
2. Abortus Imminen
a. Bed Rest
b. Tokolitik
c. Plasetogenik hormonal
d. ANC- hamil aterm
3. Abortus tertunda (Missed Abortion)
Terminasi hasil konsepsi karena menjadi benda asing intra uterus . hasil
konsepsi menimbulkan bahaya karena dapat menjadi sumber infeksi dan
perdarahan.
4. Abortus Habitualis
Mengurangi merokok dan minum alcohol dan sebaiknya dihentikan. Pada
serviks inkompeten terapinya adalah operasi dengan cara cervical
cerclage.
5. Abortus Septik
a. Keseimbangan cairan tubuh
b. Pemberian antibiotic yang adekuat sesuai dengan hasil kultur kuman
yang diambil dari darah dan cairan fluksus / flour yang keluar
pervaginam.
8

c. Tahap pertama berikan penisilin 4x 1,2 juta unit atau ampisilin 4x 1


gram , gentamisin 2 x 80 mg dan metronidazole 2 x 1 gram.
d. Selanjutkan antibiotic disesuaikan dengan hasil kultur.
e. Tindakan kuretase dilakukan jika keadaan tubuh membaik minimal 6
jam setelah pemberian antibiotic yang adekuat.

b) Perdarahan Kehamilan Ektopik Terganggu


Kehamilan secara normal akan berada di kavum uteri. Kehamilan ektopik
terjadi di luar rahim, misalny adalam tuba, ovum atau rongga perut
(Wirakusumah, 2004). Kehamilan ektopik dipengaruhi oleh faktor : meningkatnya
prevalensi penyakit tuba karena penyakit menular seksual sehingga terjadi oklusi
parsial, adanya adhesi peritubal yang terjadi setelah infeksi seperti apendistis,
pernah menderita kehamilan ektopik sebelumnya, kegagalan sterilisasi dan
meningkatnya kemungkinan penggunaan kontrasepsi hormonal.
Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam endometrium
kavum uteri (Wiknjosastro, 2007).
Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi, implantasi
terjadi di luar endometrium kavum uteri (Saifuddin, 2008). Kehamilan ektopik
adalah kehamilan yang terjadi di suatu lokasi selain uterus (Dutton dkk, 2010).
Kehamilan ektopik adalah impantasi ovum yang telah dibuahi di luar kavum uteri
(Gondo, Suwardewa, 2012). Jadi Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang
berimplantasi terjadi di luar kavum uteri.
1. Etiologi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi
wanita yang bersangkutan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan
yang gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik
terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat
dihadapi oleh setiap dokter, karena beragamnya gambaran klinik
kehamilan ektopik terganggu itu. Perlu diketahui oleh setiap dokter klinik
kehamilan ektopik terganggu serta diagnosisnya. Hal yang perlu diingat
9

adalah bahwa pada setiap wanita dalam masa gangguan atau keterlambatan
haid yang disertai nyeri perut bagian bawah, perlu difikirkan kehamilan
ektopik terganggu (Saifuddin, 2007).
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian
besar penyebabnya tidak begitu diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan
pembuahan telur dibagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus
telur mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih di tuba.
Menurut Saifuddin tahun 2009 faktor-faktor yang memegang
peranan dalam hal ini ialah sebagai berikut:
a. Faktor Tuba
1) Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen
tuba menyempit atau buntu.
2) Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang yang dapat menyebabkan fungsi silia tuba
tidak berfungsi dengan baik.
3) Keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
4) Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba
atau divertikel saluran tuba yang bersifat congenital.
5) Adanya tumor disekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau
tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk juga dapat
menjadi etiologi kehamilan ektopik terganggu.
b. Factor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar,
maka zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba,
kemudian berhenti dan tumbuh di saluran tuba.
c. Factor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba dapat
membutuhkan konsep khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
10

d. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB, yang hanya mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan
dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
e. Factor lain
Termasuk disini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses
peradangan yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping
dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur
penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering
dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.
2. Tanda dan gejala menurut Wiknjosastro tahun 2007 antara lain :
a. Adanya amenorea sering ditemukan walaupun hanya pendek saja
sebelum diikuti perdarahan.
b. Mual dan muntah
c. Rasa nyeri di bagian kanan atau kiri perut ibu
d. Perut semakin membesar dan keras
e. Suhu badan agak naik
f. Nadi cepat
g. Tekanan darah menurun
3. Beberapa Jenis Kehamilan Ektopik Lainnya (Wiknjosastro, 2007)
a. Kehamilan servikal
Kehamilan ini jarang dijumpai dan biasanya terjadi abortus spontan
dan didahului oleh perdarahan yang makin lama semakin banyak.
Kehamilan ini jarang sekali berlangsung lewat 20 minggu. Perdarahan
yang banyak merupakan indikasi untuk ,mengambil tindakan terdiri
atas kerokan kavum uteri dan kanalis servikalis. Diagnosis biasanya
baru dibuat pada waktu itu. Dengan USG dapat ditegakkan lebih dini.
b. Kehamilan dalam divertikulum uterus
Kehamilan ini jarang sekali terjadi dan sangat sulit sekali untuk
membuat diagnosisnya. USG dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kiranya dapat menegakkan diagnosis. Akibat kehamilan ini rupture ke
11

luar dari uterus atau abortus. Kadang-kadang kehamilan dapat


berlangsung terus dan memerlukan laparatomi untuk melahirkan janin
diikuti oleh histerektomi.
c. Kehamilan ovarial
Kehamilan ini yang jarang terdapat, terjadi apabila spermatozoon
memasuki folikel de Graaf yang baru saja pecah, dan menyatukan diri
dengan ovum yang masih tinggal dengan folikel. Nasib kehamilan ini
adalah ovum yang dibuahi mati, atau terjadi ruptura. Untuk dapat
membuat diagnosa kehamilan ovarial murni harus memenuhi beberapa
syarat antara lain:
1) Tuba pada tempat kehamilan harus normal, bebas dan terpisah
dari ovarium.
2) Kantong janin harus terletak dalam ovarium.
3) Ovarium yang mengandung kantong janin harus berhubungan
dengan uterus lewat ligamentum ovary propium.
4) Harus ditemukan jaringan ovarium dalam dinding kantong janin.
4. Patofisiologi
Sementara tanda-tanda dini kehamilan yang biasa didapati pada
serviks muncul, uterus menjadi sedikit membesar dan agak melunak pada
kehamilan ektopik. Endometrium berisi desidua (tapi tidak ada trofoblas)
dan mempunyai gambaran mikroskopik yang khas.
Pada kehamilan ektopik, korpus luteum kehamilan berfungsi,
amenorea terjadi akibat produksi HCG oleh trofoblas dan sekresi
progesterone oleh korpus luteum. Biasanya terjadi perdarahan
endometrium ringan, dipekirakan karena pola hormonal yang tidak
normal, setelah suatu interval amenore yang bervariasi. Lepasnya
endometrium dan perdarahan terjadi ketika trofoblas berkurang (akibat
rupture). Hanya pada kehamilan interstisial yang tidak lazim, darah dari
tuba mengalir melalui uterus ke vagina.
Nyeri abdomen bagian bawah, pelvis, atau punggung bawah dapat
terjai sekunder akibat distenci atau rupture tuba. Kehamilan ismus
12

biasanya rupture dalam waktu sekitar 6 minggu dan perdarahan akibat


kehamilan ampula terjadi pada 8-12 minggu. Kehamilan kornu paling
sering mencapai trimester kedua sebelum rupture. Kehamilan intra
abdominal dapat berakhir setiap waktu disertai dengan perdarahan. Massa
pelvis disebabkan oleh pembesaran hasil konsepsi, pembentukan
hematoma, distorsi usus akibat adhesi atau infeksi. Jika janin meninggal
tanpa perdarahan hebat, mungkin dapat menjadi terinfeksi, termumifiksasi,
terkalsifikasi (litopedioon) atau menjadi adiposera (penggantian oleh
lemak).
5. Komplikasi
Menurut Syaifuddin (2008) kehamilan ektopik ini akan mengalami
abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi
kapasitas ruang implantasi (misalnya di tuba). Tanpa intervensi bedah,
kehamilan ektopik yang rupture dapat menyebabkan perdarahan yang
mengancam nyawa (≥ 0,1 % mengakibatkan kematian ibu). Infeksi sering
terjadi setelah rupture kehamilan ektopik yang terabaikan (Benson dan
Martin, 2009).
6. Manajemen kehamilan ektopik terganggu
Menurut Saifuddin tahun 2008 antara lain:
a. Setelah diagnosis ditegakkan, segera lakukan persiapan untuk tindakan
operatif gawat darurat
b. Ketersediaan darah pengganti bukan menjadi syarat untuk melakukan
tindakan operatif karena sumber perdarahan harus segera dihentikan
c. Upaya stabilisasi dilakukan dengan segera merestorasi cairan tubuh
dengan larutan kristaloid NS atau RL (500 ml dalam 15 menit
pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama (termasuk dalam tindakan
berlangsung).
d. Bila darah pengganti belum tersedia berikan autotransfusion berikut
ini:
1) Pastikan darah yang dihisap dalam rongga abdomen telah melalui
alat penghisap dan wadah penampung yang steril.
13

2) Saring darah yang tertampung dengan kain steril dan masukan


kedalam kantung darah (blood bag). Apabila kantung darah tidak
tersedia, masukan dalam botol bekas cairan infus (yang baru terpakai
dan bersih) dengan diberikan larutan sodium sitrat 10 ml untuk
setiap 90 ml darah.
3) Transfusikan darah melalui selang transfuse yang mempunyai
saringan pada bagian tabung tetesan.
e. Tindakan pada tuba dapat berupa:
1. Parsial salpingektomi yaitu melakukan eksisi pada bagian tuba
yang mengandung hasil konsepsi.
2. Salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya konservasi dimana
tuba tersebut merupakan salah satu yang masih ada) yaitu
mengeluarkan hasil konsepsi pada satu segmen tuba kemudian
diikuti dengan reparasi bagian tersebut. Resiko tindakan ini adalah
control perdarahan yang kurang sempurna atau rekurensi (hamil
ektopik ulangan).
f. Mengingat kehamilan ektopik berkaitan dengan gangguan fungsi
transportasi tuba yang disebabkan oleh proses infeksi maka sebaiknya
pasien diberi antibiotika kombinasi atau tunggal dengan spectrum yang
luas.
g. Untuk kendali nyeri pasca tindakan dapat diberikan:
1. Ketoprofen 100 mg supositoria
2. Tramadol 200 mg IV
3. Pethidin 50 mg IV
h. Atasi anemia dengan tablet besi (SF) 600 mg per hari
i. Konseling pasca tindakan:
1. Kelanjutan fungsi reproduksi
2. Resiko hamil ektopik berulang
3. Kontrasepsi yang sesuai
4. Asuhan mandiri elama dirumah
5. Jadwal kunjungan ulang
14

c) Perdarahan Mola Hidatidosa


Mola Hidatidosa merupakan kehamilan abnormal secara genetis dengan
anomali perkembangan plasenta. Vili korionik berkembang menjadi massa vesikel
jernih, seperti kista menggantung dalam kelompok menyerupai buah anggur
berpotensi menjadi koriokarsinoma. Penatalaksanaan mola hidatidosa harus
segera dilakukan, setelah diagnosis ditegakkan evakuasi uterus dengan
pembedahan dan tindak lanjut pemeriksaan Hcg selama 6 bulan hingga 1 tahun
untuk memastikan kadarnya kembali normal.

Mola Hidatidosa (MH) secara histologis ditandai oleh kelainan vili


korionik yang terdiri dari proliferasi trofoblas dengan derajat bervariasi dan
edema stroma vilus. MH biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-
kadang MH terletak di tuba fallopi dan bahkan ovarium (Cunningham FG, 2010)

1. Etiologi

Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi


sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Oleh karena
itu, pengetahuan pengetahuan tentang faktor resiko menjadi penting agar
dapat menghindari terjadinya MH, seperti tidak hamil di usia ekstrim dan
memperbaiki gizi (Martaadisoebrata, 2005).

2. Patogenesis

Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari


penyakit trofoblas. Diantaranya Hertig et al, mengatakan bahwa pada MH
terjadi insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke
3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan
mesenhim vili dan terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama makin
besar, sampai pada akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan
proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus
tadi (Martaadisoebrata, 2005).
15

Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya


jaringan trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasi
maupun neoplasi. Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang
abnormal, dimana terjadi absorbsi cairan yang berlebihan ke vili. Keadaan
ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian
embrio (Martaadisoebrata, 2005).

Reynolds mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara


hari ke 13 dan 21, mengalami kekurangan asam folat dan histidine, akan
mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan bagian
penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan menyebabkan
kematian embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan
menimbulkan perubahan hidrofik (Martaadisoebrata, 2005).

Studi yang dilakukan pada mencit memperlihatkan bahwa gen


yang berasal dari paternal mempunyai peranan dalam perkembangan
plasenta dan gen yang berasal dari maternal berperan dalam perkembangan
fetus. Sehingga perkembangan materi genetik paternal dapat menyebakan
proliferasi trofoblas yang berlebihan. Pada MHK hanya punya DNA
paternal sehingga terjadi proliferasi trofoblas yang banyak bila
dibandingkan MHP (Lumongga, 2009).

Identifikasi kromosom paternal mempunyai peranan penting dalam


diagnosis MH, maka banyak dikembangkan teknik pemeriksaan yang
berasal dari paternal kromosom. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah :
Polymerase Chain Reaction (PCR). DNA fingerprinting, restriction
fragmen lenght polymorphism (RFLP) assesment, short tandem repeat –
derived DNA polymorphism, flowcytometri dan analisis DNA dengan
menggunakan images analysis (Lumongga, 2009).
16

3. Factor Resiko

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya MH adalah :

a. Usia Ibu

Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia


reproduksi yang ekstrim (terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary,
2006). Menurut Kruger TF, hal ini berhubungan dengan keadaan
patologis ovum premature dan postmature (Kruger TF, 2007).
Ovum patologis terjadi karena gangguan pada proses meiosis,
sehingga ovum tidak memiliki inti sel (Martaadisoebrata, 2005).
Jika ovum patologis tersebut dibuahi oleh satu sel sperma maka
karyotipe yang dihasilkan adalah 46,XX homozigot dan ini adalah
karyotipe tersering yang ditemukan pada MHK (90%) (Berek,
2007).

Menurut Berek, ovum dari wanita yang lebih tua lebih


rentan terhadap pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah
penelitian, resiko untuk MHK meningkat 2,0 kali lipat untuk
wanita yang lebih tua dari 35 tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita
yang lebih tua dari 40 tahun (Berek, 2007).

b. Status Gizi

Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi


meningkat. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan janin, dengan keadaan sosial
ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang
diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan janinnya (Saleh, 2005).

Studi kasus kontrol dari Italia dan Amerika Serikat telah


menunjukkan bahwa asupan makanan rendah karoten dapat
17

dikaitkan dengan peningkatan resiko kehamilan MHK. Daerah


dengan tingginya insiden kehamilan mola juga memiliki frekuensi
tinggi kekurangan vitamin A. Faktor diet, karena itu, sebagian
dapat menjelaskan variasi regional dalam insiden MHK (Berek,
2007).

Berkowitz et al menyatakan bahwa kekurangan prekusor


vitamin A, karoten, atau lemak hewan sebagai faktor penyerapan
vitamin A, yang mungkin menjadi faktor penyebab MH.
Kekurangan vitamin A menyebabkan penyusutan janin dan
kegagalan pembangunan epitel pada hewan betina dan degenerasi
epitel semineferous dengan penurunan perkembangan gamet yang
pada hewan jantan (Berek, 2009).

4. Diagnosis

Diagnosis diagnosis MH berdasarkan :

a. Gejala hamil muda yang sangat menonjol

1) Emesis gravidarum – hiperemesis gravidarum

2) Terdapat komplikasi

- Tirotoksikosis (2-5%)

- Hipertensi – preeklamsia (10-15%)

- Anemia akibat perdarahan

- Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan


fungsi jantung dan gangguan fungsi paru akibat edema atau
emboli paru
18

b. Pemeriksaan palpasi

1) Uterus

- Lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)

- Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%)

- Lebih kecil dari usia kehamilan (5-10%)

2) Palpasi lunak seluruhnya

- Tidak teraba bagisan janin

- Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat-


mola destruen.

c. Pemeriksaan USG serial tunggal

- Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak

- Tidak terdapat janin

- Tidak terdapat janin

d. Pemeriksaan laboratorium

- β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml

- β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).

5. Penatalaksanaan

MH harus dievakuasi sesegera mungkin setelah diagnosis


ditegakkan. Bila perlu lakukan stabilisasi dahulu dengan melakukan
perbaikan keadaan umum penderita dengan mengobati beberapa kelainan
yang menyertai seperti tirotoksikosis.
19

Terapi Mola Hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu :

a. Memperbaiki keadaan umum

1) Koreksi dehidrasi

2) Transfusi darah bila anemia berat

3) Bila ada gejala preeklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati


sesuai dengan protokol.

4) Penatalaksanaan hipertiroidisme.

Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan


antitiroid, ß-bloker, dan perawatan suportif (pemberian cairan,
perawatan respirasi) penting untuk menghindari presipitasi krisis tiroid
selama evaluasi (Martadisoebrata, 2005).

Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang


terusmenerus dan menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok
aksi perifer hormon tiroid dan untuk mengobati faktor-faktor
presipitasi. Agenagen antitiroid dapat menurunkan level T3 dan T4
serum dengan cepat seperti sodium ipodoat (orografin, suatu kontras
yang mengandung iodine) yang merupakan terapi pilihan dalam
mencegah krisis tiroid setelah hipertiroidisme yang diinduksi
kehamilan mola karena Ca mengurangi konsentrasi T3 dan T4 dengan
cepat. Apabila sodium ipodoat tidak tersedia, PTU harus digunakan
dan dikombinasikan dengan iodida. PTU berbeda dengan metimazol,
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dan karenanya lebih
disukai daripada metimazol. Loading dose 300-600 mg PTU diikuti
oleh 150-300 mg setiap 6 jam (perrektal atau melalui NGT). Kalium
iodida oral (3-5 tetes, 3x sehari, 35 mg iodida/tetes) atau iodine lugol
(30-60 tetes/hari dibagi dala 4 dosis, 8 mg iodida/tetes) atau natrium
20

iodida intravena (0,25-0,5 g tiap 8-12 jam) menginduksi penurunan


level T3 dan T4 yang cepat (Martadisoebrata, 2005).

ß-bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain


yang diaktivasi saraf simpatis. Propanolol dimulai pada dosis 1-2 mg
tiap 5 menit secara intravena (dosis maksimum 6 mg) diikuti dengan
propanolol oral pada dosis 20-40 mg tiap 4-6 jam (Martadisoebrata,
2005).

b. Pengeluaran jaringan mola

Bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk


memastikan kavum uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi
dengan kuret hisap. Bila serviks masih tertutup dapat didilatasi dengan
dilator nomor 9 atau 10. Setelah seluruh jaringan dievakuasi dengan
kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan hati-hati untuk memastikan
kavum uteri kosong. Penggunaan uterotonika tidak dianjurkan selama
proses evakuasi dengan kuret hisap atau kuret tajam. Untuk
menghentikan perdarahan, uterotonika diberikan setelah evakuasi.
Induksi dengan medikamentosa seperti prostaglandin dan oksitosin
tidak dianjurkan karena meningkatkan emboli trofoblas
(Martadisoebrata, 2005).

Teknik evakuasi MH ada 2 cara yaitu :

1. Kuretase

a) Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah


pemeriksaan-persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar
βhCG serta foto thoraks), kecuali bila jaringan mola sudah
keluar spontan.

b) Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan


pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
21

c) Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan


pasang infus dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc
Dextrose 5%.

d) Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1


minggu

e) Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium Patologi


Anatomi.

2. Histerektomi

Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :

- Usia > 35 tahun

- Anak hidup > 3 orang

(Martadisoebrata, 2005).

c. Terapi profilaksis dengan sitostatika

Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi


keganasan misalnya pada usia tua dan paritas tinggi yang menolak
untuk dilakukan histerektomi atau kasus mola dengan hasil
histopatologi yang mencurigakan. Caranya :

1) Methotrexate (MTX) 20 mg/hari i.m, asam folat 10 mg 3dd1 dan


Cursil 35 mg 2dd1, selama 5 hari berturut-turut. Profilaksis dengan
tablet MTX, dianggap tidak bermanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, Cursil berfungsi sebagai hepatoprotektor.

2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak


perlu antidote maupun hepatoprotektor.
22

Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca MH adalah


sebagai berikut :

a. Kadar hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum >20.000


IU/liter, urine >30.000 IU/24 jam).

b. Kadar hCG yang meningkat progresif pasca evakuasi

c. Kadar hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pasca


evakuasi.

d. Kadar hCG berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis


otak, renal, hepar, traktus gastrointestinal, atau paru-paru. (Saleh,
2005).

Ada pendapat yang mengatakan, bahwa bila setelah diberikan


profilaksis sitostatika terjadi juga keganasan, pengobatannya lebih
sukar. Oleh karena itu, banyak pakar yang tidak setuju dengan
pemberian profilaksis ini. Disamping alasan di atas, merekan
mengatakan juga bahwa sitostatika itu sering memberikan efek
samping yang membahayakan. Dengan follow up yang baik, kita dapat
membuat diagnosis keganasan secara dini sehingga kemoterapi yang
diberikan secara kuratif, akan dapat mengobatinya secara efektif
(Martaadisoebrata, 2005).

d. Penatalaksanaan pasca evakuasi

Tujuan follow up ada dua :

1. Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal, baik


anatomis, laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus,
turunnya kadar Β-hCG dan kembalinya fungsi haid.

2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada


tingkat yang sangat dini.
23

Pada umumnya para pakar sepakat bahwa lama follw up


berlangsung selama satu tahun, tetapi ada juga yang sampai dua tahun.
Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi, penderita diminta datang
untuk kontrol setiap dua minggu. Kemudian, tiga bulan berikutnya,
setiap satu bulan. Selanjutnya dalam enam bulan trakhir, tiap dua
bulan. Selama follow up, hal-hal yang perlu dicatat adalah :

a) Keluhan, terutama perdarahan, batuk atau sesak nafas

b) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda sub-


involusi

c) Kadar Β-hCG , terutama bila ditemukan ada tanda-tandadistorsi


dari kurva regresi yang normal.

Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan salah


satu dari tanda-tanda di atas, penderita harus dirawat kembali, untuk
pemeriksaan yang lebih intensif, seperti USG, foto toraks dan lain-lain.

Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun wanita sudah hamil


normal lagi, atau bila setelah setahun, tidak ada keluhan, uterus dan
kadar Β-hCG dalam batas normal, serta fungsi haid sudah normal
kembali. Selama follow up, kepada wanita dianjurkan untuk tidak
hamil dahulu, karena dapat menimbulkan salah interpretasi. Salah satu
ciri adanya keganasan adalah meningginya kembali kadar Β-hCG ,
sedangkan pada kehamilan, Β-hCG yang tadinya normal, akan
meninggi lagi. Dalam keadaan seperti ini, kadang-kadang kita ragu
apakah kenaikan kadar ΒhCG ini disebabkan oleh kehamilan baru atau
oleh proses keganasan (Martadisoebrata, 2005).

Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau kalau


ΒhCG sudah normal, atau haid sudah normal kembali, dapat
menggunakan pil kombinasi. Bila pil antihamil diberikan sebelum Β-
24

hCG normal, kemungkinan terjadinya keganasan lebih besar. Jangan


menggunakan IUD atau preparat progesteron jangka panjang, seperti
DepoProvera atau Norplant, karena kedua-duanya dapat menyebabkan
gangguan perdarahan, yang bisa menyerupai salah satu tanda adanya
transformasi keganasan (Martaadisoebrata, 2005).

d) Perdarahan Anterpartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi
pada usia kehamilan antara 28 minggu sampai sebelum bayi lahir. Perdarahan
antepartum menyumbang 5- 10% komplikasi kehamilan, dalam waktu singkat jika
tidak segera ditangani keadaan gawat darurat ini dapat menyebabkna kematian
maternal. Umumnya penyebab perdarahan antepartum bersumber pada kelainan
plasenta dan kelainan pada serviks uteri dan vagina.
Ketersediaan darah sebagai upaya untuk mengatasi kondisi ibu akibat
perdarahan namun kurangnya ketersediaan stok darah dan kesadaran masyarakat
kurang akan hal ini sehingga upaya ini menjadi keterlambatan pertolongan gawat
darurat yang jelas dapat menyebabkan kematian maternal.

Perdarahan antepartum dapat berasal dari:

a. Plasenta

Meliputi plasenta previa, solusio plasenta dan ruptura sinus marginal.

b. Local pada saluran genetalia

1) Show

2) Serviks : servisitis, polip, erosi serviks dan keganasan

3) Trauma : trauma saat hubungan seksual

4) Vulvovaginal varicosities

5) Tumor saluran genital


25

6) Infeksi saluran genital

7) Hematuria

c. Insersi tali pusat

Meliputi vasa previa

Plasenta previa merupakan penyebab utama perdarahan


antepartum. Perdarahan akibat plasenta previa terjadi secara progresif
dan berulang karena proses pembentukan segmen bawah rahim. Sampai
saat ini belum terdapat definisi yang tetap mengenai keparahan derajat
perdarahan antepartum. Seringkali jumlah darah yang keluar dari jalan
lahir tidak sebanding dengan jumlah perdarahan sebenarnya sehingga
sangat penting untuk membandingkan jumlah perdarahan dengan
keadaan klinis pasien. Terdapat beberapa definisi yang dapat digunakan
untuk menggambarkan perdarahan antepartum :

1. Spotting – terdapat bercak darah pada pakaian dalam

2. Perdarahan minor – kehilangan darah < 50 mL

3. Perdarahan mayor – kehilangan darah 50–1000 mL tanpa tanda klinis


syok

4. Perdarahan mayor – kehilangan darah 50–1000 mL tanpa tanda klinis


syok

3. Preeklampsia atau Eklampsia


Preeklampsia atau Eklamsia di Kabupaten Jember penyebab kematian
maternal terbesar. Kondiis ini terjadi masa kehamilan yang ditandai akibat
kenaikan tekanan darah lebih dari 140 / 90 mmHg atau kenaikan tekanan darah
sistolik lebih dari 30 mmHg dan atau diastolik lebih dari 15 mmHg. Preeklampsia
berat dan eklamsia adalah keadaan gawat karena dapat mengakibatkan kematian
ibu dan janin.
26

Eklampsia didefinisikan sebagai peristiwa terjadinya kejang pada


kehamilan ≥ 20 minggu disertai atau tanpa penurunan tingkat kesadaran bukan
karena epilepsi maupun gangguan neurologi lainnya. Kejang eklampsia hampir
selalu didahuluioleh preeklampsia. Eklampsia paling sering terjadi pada trimester
ketiga dan menjadi sering saat kehamilan mendekati aterm Eklampsia dapat
terjadi pada antepartum, intrapartum, dan postpartum. Eklampsia postpartum
umumnya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
Pada penderita preeklampsia dapat memberikan gejala atau tanda khas
sebelum terjadinya kejang disebut tanda prodromal. Preeklampsia yang disertai
tanda prodoma ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia.
a. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan dengan kriteria minimum :
1) Hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan dengan tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg.
2) Proteinuria dengan jumlah protein urin ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+
dengan menggunakan carik celup
3) Edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.
Adapun diagnosis dari preeklampsia berat adalah preeklampsia yang disertai
satu atau lebih dari gejala berikut :
1) Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHgpada dua keadaan dengan jangka waktu paling sedikit 6 jam dengan
patian dalam posisi bedrest.
2) Proteinuria lebih dari 5 gr/dl pada sampel urin tampung 24 jam atau ≥ 3+
dengan carik celup pada dua sampel urin acak yang diambil dengan jarak
waktu 4 jam atau lebih.
3) Oliguria, produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam
4) Gangguan visus dan serebral berupa penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, pandangan kabur
5) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen akibat
regangan pada kapsula Glisson
6) Edema paru atau sianosis
27

7) Hemolisis mikroangiopatik
8) Gangguan fungsi hepar ditandai adanya peningkatan serum transaminase
9) Kenaikan kadar kreatinin plasma
10) Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan
cepat)
11) Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
12) Adanya sindroma HELLP (Hemolysis; Elevated liver enzymes; Low
platelet)
Eklampsia dapat didiagnosis dengan adanya kejang dan/atau koma pada ibu
hamil ≥ 20 minggu yang disebabkan selain karena gangguan neurologik
b. Factor Predisposisi
Faktor predisposisi yang berhubungan dengan peningkatan angka kejadian
preeklampsia eklampsia:
a) Faktor pasangan
- Nuliparitas/ primiparitas/ kehamilan usia muda
- Lama paparan sperma, inseminasi dari donor, donor oosit
- Seks oral (menurunkan risiko)
- Laki-laki yang pasangan sebelumnya mengalami preeklampsia
b) Faktor bukan pasangan
- Riwayat preeklampsia sebelumnya
- Usia, jarak antar kehamilan
- Riwayat keluarga
- Ras kulit hitam
c) Adanya kelainan dasar khusus
- Hipertensi kronik
- Obesitas, resistensi insulin, berat lahir rendah
- Diabetes gestasional dan diabetes tipe I
- Aktivasi inhibitor protein kinase C
- Defisiensi protein S
- Antibodi antifosfolipid
- Hiperhimosisteinemia
28

- Penyakit sel sabit


d) Faktor eksogen
- Merokok (menurunkan risiko)
- Stress, tekanan psikososial terkait pekerjaan
- Paparan dietilstilbesrol
c. Etiologi dan patologi preeklampsia dan eclampsia
Penelitian tentang preeklampsia telah dilakukan sejak dulu,tetapi penyebab
preklampsia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Berbagai
mekanisme untuk menjelaskan penyebabnya telah banyak diajukan,tetapi
belum memuaskan, oleh karena banyaknya teori yang ada mengenai etiologi
dan patofisiologi maka preeklampsia disebut “the disease of theories”.
Diduga sebelumnya preeklampsia merupakan “satu penyakit”, melainkan
merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi faktor ibu, janin, dan
plasenta. Faktor-faktor yang dianggap penting, diantaranya yaitu :
1. Implantasi plasenta dengan invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh
darah uterus.
2. Toleransi imunologi yang maladaptif diantara jaringan maternal, paternal
(plasental), dan fetal.
3. Maladaptif maternal terhadap perubhan kardiovaskular atau inflamasi
pada kehamilan normal.
4. Faktor genetik, termasuk gen predisposisi warisan serta pengaruh
epigenetik.
Etiologinya :
a. Invasi Trofoblastik yang Abnormal
b. Factor Imunologi
c. Aktivasi Sel Endotel
d. Faktor Nutrisi
e. Faktor Genetik
d. Penatalaksaan Preeklampsia Eklampsia
Penatalaksanaan preeklampsia ringan :
1) Tirah baring
29

2) Monitoring tekanan darah


3) Pemberian obat antihipertensi
4) Memeriksa kadar proteinuria rutin setiap hari dengan tes carik celup
5) Dua kali seminggu dilakukan pengukuran denyut jantung janin antepartum
dan pengukuran kadar protein urin dalam 24 jam
6) Pasien diperingatkan untuk mengenali tanda bahaya, seperti nyeri kepala,
nyeri epigastrium, atau gangguan visual
7) Apabila terjadi peningkatan tekanan darah atau proteinuria periksa ke
dokter dan pertimbangangkan rawat inap
Adapun tatalaksanapada preeklampsia berat mencakup pengelolaan medika
mentosa dan pengelolaan persalinan. 16,21Pengelolaan medikametosa terdiri
atas :
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring
3) Infus larutan Ringer Laktat 60-125 cc/jam
4) Pemberian obat anti kejang: MgSO4
- Dosis awal: 4 g MgSO4dilarutkan dalam cairan saline intravena
selama 10-15 menit.
- Dosis perawatan: 1-2 g/ jam iv, evaluasi tiap 4-6 jam
Syarat pemberian MgSO4:
- Reflek patela positif
- Tidak ada depresi pernafasan (frekuensi pernafasan > 16 kali/ menit)
- Produksi urin . 100 ml/ 4 jam
- Tersedia kalsium glukonas
5) Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada ;
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
6) Antihipertensi diberikan bila :
Tekanan sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg
30

7) Kardiotonika
Indikasi pemberian kardiotonika ialah bila ada tanda-tanda gagaj jantung
dan dilakukan perawatan bersama bagian penyakit jantung
8) Diet
Nutrisi yang disarankan antara lain cupkup protein, rendah karbohidrat,
dan rendah garam
Pengelolaan persalinan ditinjau dari umur kehamilan dibagi menjadi dua,
yaitu perawatan aktif dan konservatif. Perawatan aktif dilakukan pada umur
kehamilan ≥ 37 minggu dengan tujuan mengakhiri kehamilan atas indikasi medis
yang terdiri atas insikasi ibu, janin, dan laboratorium. Indikasi ibu mencakup
adanya tanda dan gejala impending preeklampsia, gangguan fungsi hepar dengan
hemolisis, diduga solusio plasenta, timbul onset persalinan, ketuban pecah dini,
dan perdarahan. Indikasi janin meliputi pertumbuhan janin terhambat, adanya
gawat janin, dan oligohidrmanion. Indikasi laboratotium adalah adanya
trombositopenia dan tanda sindoma HELLP yang lain.
Perawatan konservatif dilakukan dengan indikasi umur kehamilan kurang
dari 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia dengan
keadaan janin baik. Selama rawat inap di rumah sakit dilakukan pemeriksaan
berat badan, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan USG untuk menilai pertumbuhan dan profil biofisik janin. Penting
dilakukan observasi mengenai adanya tanda dan gejala impending eklampsia
untuk segera mengakhiri kehamilan, dan apabila dalam waktu 24 jam tidak ada
perbaikan dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus
kehamilan diakhiri.
e. Komplikasi
1) Komplikasi pada ibu
- Solutio plasenta
- Koagulopati
- Ablatio retina
- Gagal ginjal akut
- Edema paru
31

- Perdarahan postpartum dengan transfusi


- Kerusakan hati
- Hematoma
- Penyakit kardiovaskuler
- Defek neurologi
2) Komplikasi pada janin
- Kelahiran premature
- Berat lahir rendah
- Diabetes melitus
- Penyakit kardiovaskuler
- Hipertensi
- Kegagalan respirasi
- Respiratory distress syndrome (RDS)
- Transient tachypnea of the newborn (TTN)
- Persistent pulmonary hypertension (PPHN)
4. Infeksi pada Kehamilan
Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir pada masa kehamilan
yang terjadi saat usia kehamilan ≤ 20 – 22 minggu. Penyebabnya bisa secara
langsung yang berkaitan dengan kehamilan atau akibat infeksi lain di sekitar jalan
lahir.. Penyebab yang paling sering terjadi adalah abortus yang terinfeksi. Infeksi
jalan lahir juga dapat terjadi saat trimester ketiga disebabkan ketuban pecah
sebelum waktunya, infeksi saluran kencing, misalnya sistitis, nefritis atau
akibat penyakit sistemik, seperti malaria, demam tifoid, hepatitis, dan lain – lain.
Secara umum infeksi dalam kehamilan berdasarkan penyebabnya dikelompokan
menjadi tiga penyebab, yaitu :
a. Infeksi virus, meliputi varisella zooster, influenza, parotitis, rubeola,
viruspernafasan, enterovirus, parfovirus, rubella, sitomegalovirus.
b. Infeksi bakteri, meliputi Streptokokus grup A, Streptokokus grup B,
Listeriosis,Salmonella, Shigella, Mourbus Hansen.Infeksi protozoa;
meliputiToksoplasmosis, Amubiasis, amubiasis.
32

c. Infeksi jamur, meliputi Varicella; Walaupun masih diperdebatkan, terdapat


bukti bahwainfeksi vaeisella bertambah parah selama kehamilan. Paryani dan
Arvin (1986)melaporkan bahwa 4 dari 43 wanita hamil yang terinfeksi atau
sekitar 10%,mengalami pneumonitis. Dua dari wanita ini memerlukan
ventilator dan satumeninggal. Infeksi herpes zooster pada ibu hamil
lebih sering terjadi pada pasienyang lebih tua atau mengalami gangguan
kekebalan (immunocompromised).
Infeksi saat hamil dapat mengakibatkan cacat pada janin. Pemeriksaan
rutindiharapkan dapat mengurangi risiko. Kehamilan merupakan peristiwa
yangmenakjubkan. Menyambut masa istimewa dalam kehidupan wanita,
diperlukanpersiapan sebaik mungkin. Salah satunya, bagaimana menghindar dari
risiko infeksiselama kehamilan.
Infeksi selama kehamilan pantas mendapat perhatian mengingat efeknya
yangberbahaya bagi janin. Namun, kebanyakan kasus infeksi sulit dideteksi
karena tidak memperlihatkan gejala seperti demam. Kondisi tersebut sangat
menyulitkan untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi atau tidak. Akibatnya,
sebagian besar ibuhamil tidak menyadari bahwa kehamilannya berisiko. Bayi
yang dilahirkan punberisiko mengalami cacat bawaan, kelainan mata, dan
hidrosefalus.Selain bayi lahir cacat, risiko infeksi kehamilan juga menyebabkan
berat badanrendah dan mudah terserang penyakit karena sistem imunitas belum
terbentuk sempurna. Bahkan, risiko kematian turut mengintai lantaran bayi belum
siap hidup di luar Rahim dengan fungsi organ vital belum matang. Hal ini juga
diperkuat dengan system imunitasnya yang belum terbentuk sempurna.
Torch merupakan kepanjangan dari Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus(CMV), dan Herpes Simplex Virus. Sebagai contoh, infeksi
toxoplasma yangdisebabkan oleh toxoplasmosis. Biang keladinya adalah parasit
golongan protozoa. Binatang yang dituding sebagai penyebab adalah kucing,
anjing, burung, dan tikus. Pada umumnya,wanita hamil yang terserang
toxoplasma tidak merasakan suatugejala. Andaikata mengalami gejala berupa
demam, flu, dan pembengkakan kelenjargetah bening. Penularan melalui binatang
terjadi tidak secara langsung. Misalnya darikucing yang mengidap toxo dan
33

mengeluarkan kotoran. Selanjutnya, kotoran didalam tanah menjadi santapan


tikus. Secara otomatis, parasit juga akan tumbuh didalam tubuh tikus. Kemudian,
tikus atau kotoran tikus termakan sapi dan kambing. Akibatnya, parasit akan
berpindah ke dalam tubuh binatang tersebut. Daging sapiatau daging kambing
menjadi lauk santapan manusia. Di sinilah terjadinya infeksiparasit toxoplasmosis.
Apabila wanita hamil mengonsumsi daging yang tidak secara matang dimasak,
maka akan terinfeksi, Di samping lewat makanan yang tidak dimasak secara
matang, cuci tangan yang kurang bersih akan menyebabkan tersalurnya infeksi ke
dalam tubuh. Bagi ibu yang telah terinfeksi akan menyalurkan parasit melalui
plasenta. Adapun plasenta ini dapat menyebarkan penyakit ke janin melalui aliran
darah.
Namun, risiko janin terinfeksi tergantung dari usia kehamilan saat ibu
terinfeksi.Semakin muda usia kehamilan, semakin besar risiko bayi cacat.
Sebaliknya, semakintua usia kehamilan, maka semakin kecil risiko bayi cacat.
“Kurang dari 16 minggu organ-organ janin baru terbentuk. Bisa jadi, selama
dalam proses tersebut ada gangguan,” tutur pria kelahiran 13 Desember 1946 ini.
Wanita hamil disarankan untuk menghindari sumber-sumber penularan.Antara
lain tidak mengonsumsi daging mentah, mencuci sayur mentah terlebih dahulu,
danmenggunakan sarung tangan jika hendak berkebun.
 Etiologi
Penyebab dan gejala infeksi jamur pada ibu hamil sering kita abaikan
walaupungejalanya sebenarnya sudah terasa. Penyeba infeksi jamur terjadi
pada masakehamilan adalah masa kehidupan seorang wanita ketika hormon
dan fungsi tubuhtidak selalu bekerja sempurna bersama-sama. Ada banyak
alasan dan pengobatanuntuk infeksi ragi, tetapi mengobati infeksi jamur
selama kehamilan bisa menjadisedikit tantangan.
Biasanya hanya satu atau beberapa kejadian infeksi ragi selama
kehamilan tidak selalu meningkatkan alarm. Namun, jika infeksi
membersihkan dan yang laindimulai agak cepat, mungkin sudah saatnya
untuk melakukan urin dan / atau tesdarah untuk memeriksa bukti gula darah
abnormal tinggi.
34

Karena daerah vagina yang hangat dan lembab, bakteri ragi tetap di
daerah tersebut.Ada bakteri normal yang berada dalam fungsi tubuh dan
adalah untuk menangkalinfeksi. Namun, jika Anda telah mengambil
antibiotik resep (seperti penisilin) untuk alasan lain (seperti infeksi saluran
kemih), bakteri sehat dapat dibunuh. Iniadalah salah satu alasan mengapa
infeksi jamur biasanya Infeksi kandung kemih,bukan virus yang sama, tetapi
penggunaan obat yang menyebabkan terjadinya alam kedua kondisi.
Selain infeksi jamur juga sering terjadi infeksi bakteri. Infeksi bakteri
pada vagina juga disebut vaginosis bakteri, adalah penyakit umum yang
dihadapi oleh sebagian besar wanita terutama selama kehamilan. Kondisi ini
disertai oleh nyeri di daerahperut bagian bawah dan dapat mengakibatkan
komplikasi serius selama melahirkan. Sering terjadi, vaginosis bakteri dapat
menyebabkan infeksi cairan janin, plasentadan amnion selama persalinan,
selain persalinan prematur dan infeksi kandung kemih ibu. Studi telah
menemukan bahwa sekitar 15 sampai 20% wanita hamil menderita infeksi
bakteri selama kehamilan, jadi jika Anda menemukan salah satugejala yang
disebutkan di bawah ini, segeralah mencari bantuan dari seorang yang
professional dalam bidang medis . Infeksi kandung kemih selama kehamilan,
jikatidak dirawat dengan tepat maka dapat menyebabkan komplikasi serius
pada wanita hamil.

 Patogisiologi
Seseorang yang sedang hamil umumnya mengalami peningkatan
keluarnya cairan (keputihan) dari vagina karena perubahan hormon
kehamilan. Jika hal ini terjadi, jangan buru-buru mengaitkan hal ini dengan
infeksi jamur (yeast).
Peningkatan pengeluaran dan jenis cairan vagina selama kehamilan
terjadi karenaperubahan hormon dan perubahan pada serviks itu sendiri. Jika
cairan vaginaberwarna bening, putih, dan encer serta tidak atau sedikit
berbau, ini masih dianggapwajar. Namun memang pengeluaran cairan selama
kehamilan kerap dikaitkandengan adanya infeksi jamur. Infeksi jamur
35

memang umum terjadi saat kehamilan,” kata Cynthia Krause, MD, asisten
profesor klinis kebidanan dan kandungan di Mount Sinai School of Medicine,
New York. Selama kehamilan, sebaiknya diskusikan gejala-gejala keputihan
dengan dokter jika:
a. Cairan vagina berwarna kuning atau hijau, putih, tebal, berbentuk seperti
susu basi.
b. Bibir vagina terasa panas dan terbakar.
Perubahan semacam itu bisa sebagai pertanda adanya vaginitis atau infeksi
jamur. Umumnya, infeksi yang disebabkan jamur Candida menghasilkan
cairan berwarna putih. Namun jika cairan beraroma seperti ikan, bisa jadi ini
sebuah kondisi yang disebut bacterial vaginosis.
Penyebab infeksi jamur pada vagina biasanya disebabkan oleh jamur
Candida albicans. Selama kehamilan, lingkungan mikro berubah karena
perubahan kadar estrogen,” kata Gregory R. Moore, MD, MPH, ahli
kebidanan dan kandungan serta direktur University Health Service di
University of Kentucky, Lexington.

 Tanda-tanda dan gejala


Tanda dan gejalanya tergantung dari penyebabnya , klasifikasinya yaitu:
a. Penyebab infeksi : Toksoplasma, Ada anggapan selama ini bahwa ibu
hamil tak boleh memelihara binatang seperti kucing, anjing, dan lainnya
karena bisa menyebabkan tokso plasmosis. Sebetulnya yang jadi
penyebab infeksi tokso plasma adalah cysts atau oocysts yang hidup
setelah melalui suatu siklus pada binatang kemudian baru berpindah pada
manusia. Contoh, kotoran kucing yang kering dan mengandung oocysts
bercampur debu tertiup angin dan jatuh di rerumputan, kemudian rumput
tersebut dimakan oleh kambing. Daging kambing tersebut jika tidak
dimasak matang masih mengandung cyst hidup. Ibu hamil yang
mengonsumsi daging tak matang itu berisiko mengidap tokso. Maka itu,
ibu hamil harus mengonsumsi daging yang dimasak matang karena cysts-
nya akan mati. Selain itu, oocyst ini juga bisa terbang bersama debu
36

tertiup angin dan hinggap pada makanan kita atau makanan yang ada di
pinggir jalan, misalnya. Jadi, ibu hamil jangan makan di sembarang
tempat yang kemungkinan besar terkontaminasi oocysts. Pada dasarnya,
cysts hidup dalam siklus hewan yang ada di darat, bukan hewan yang
hidup dalam air. Jadi, untuk daging ikan mentah belum terbukti apakah
berisiko menimbulkan toksoplasma. Risiko terinfeksitoksoplasma juga
terdapat pada transfusi darah, kesalahan laboratorium dan transplantasi
organ gejalanya klinis : Sebagian besar tidak tampak secara kasat mata,
namun demikian juga ditemukan seperti gejala flu biasa tergantung strain
virusnya, usia, dan derajat imunitas tubuh/daya tahan tubuh.
b. Rubela (Campak Jerman) : Penyebab: Virus yang ditularkan melalui
kontak udara maupun kontak badan. Virus ini bisa menyerang usia anak
dan dewasa muda. Pada ibu hamil bisa mengakibatkan bayi lahir tuli. *
Gejala Klinis: Suhu tubuh panas dan bercak merah di kulit serta terasa
gatal. Bila keganasan virusnya rendah, ada kalanya tidak tampak gejala
klinis.
c. Sitomegalovirus : Penyebab virus ini dapat berasal dari tenggorokan,
ludah lendir mulut rahim, sperma, atau transfusi darah. Akibat dari infeksi
ini bisa menyebabkan keguguran spontan, infeksi pada janin sehingga
menimbulkan kelainan bawaan. Penularannya lewat kontak dengan
penderita. Gejala klinis : Hampir sama dengan terkena serangan flu biasa.
d. Herpes Simpleks : Penyebab : virus yang ditularkan lewat kontak badan
dan seksual. Infeksi bisa tertular pada bayi di saat proses persalinan,
karena ada gesekan dengan alat kelamin ibu. Gejala klinis : Suhu tubuh
panas dan timbul gelembung / bintil-bintil kecil berisi cairan kemerahan
dan sakit pada kelamin. Karena kondisi tubuh sedang lemah, kuman lain
dapat numpang sehingga dapat menyebabkan infeksi sekunder pada paru-
paru, dermatitis dan lainnya.
e. Clamadia : Penyebab virus. Wanita hamil bisa terinfeksi melalui
hubungan seksual atau dari lingkungan yang kurang bersih. Pemeriksaaan
dengan memeriksa antibodinya. Gejala Klinis : Biasanya tanpa gejala
37

klinis. Hanya saja hamilnya susah, karena adanya perlengketan pada


organ – organ wanita, semisal perlengketan alat saluran telur dengan
organi sekitarnya, atau perlengketan saluran telur pada rahim dan lainnya.

 Komplikasi
Infeksi saluran kemih pada kehamilan sering menimbulkan komplikasi:
seperti bakteriuria asimtomatik, sistitis, dan pielonefritis. Perubahan fisologis
pada kehamilan memudahkan berkembang biaknya bakteri pada saluran
kemih.
Bakteriuria dapat menyebabkan risiko pada kehamilan, seperti abortus,
bayi lahir berat badan rendah, dan prematuritas. Bakteriuria dapat berlanjut
menyebabkan sistitis dan pielonefritis yang dapat menyebabkan risiko
kesakitan, kematian ibu dan janin. Untuk mencegah dan mendeteksi
bakteriuria pada kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan urine rutin dan
pemeriksaan bakteriologik sederhana. Pemeriksaan urine dengan pewarnaan
Gram sangat menunjang untuk mendeteksi kuman Gram negatif pada
bakteriuria, namun memerlukan keahlian khusus, sedangkan pemeriksaan
urine untuk menghitung jumlah lekosit dapat menunjang deteksi adanya
bakteriuria yang infektif. Mendeteksi bakteriuria pada pemeriksaan
kehamilan berkala adalah cara yang paling baik untuk mencegah komplikasi
bakteriuria pada kehamilan.

 Penatalaksanaan
Indikasi infeksi pada janin bisa diketahui dari pemeriksaan USG, yaitu
terdapatcairan berlebihan pada perut (asites), perkapuran pada otak
atau pelebaran saluran cairan otak (ventrikel). Sebaliknya bisa saja sampai
lahir tidak menampakkan gejala apapun, namun kemudian terjadi
retinitis (radang retina mata), penambahan cairan otak (hidrosefalus), atau
perkapuran pada otak dan hati.
Pemeriksaan awal bisa dilakukan dengan pengambilan jaringan
(biopsi) dan pemeriksaan serum (serologis). Umumnya cara kedua yang
38

sering dilakukan. Pada pemeriksaan serologi akan dilakukan pemeriksaan


untuk mengetahui adanya reaksiimun dalam darah, dengan cara mendeteksi
adanya IgG (imunoglobulin G), IgM,IgA, IgE. Pemeriksaan IgM untuk
ini mengetahui infeksi baru. Setelah IgMmeningkat, maka seseorang akan
memberikan reaksi imun berupa peningkatan IgG yang kemudian menetap.
IgA merupakan reaksi yang lebih spesifik untuk mengetahui adanya serangan
infeksi baru, terlebih setelah kini diketahui lgM dapat menetap bertahun-
tahun, meskipun hanya sebagian kecil kasus.
Sebenarnya sebagian besar orang telah terinfeksi parasit toksoplasma ini.
Namun sebagian besar diantaranya telah membentuk kekebalan tubuh
sehingga tidak berkembang, dan parasit terbungkus dalam kista yang
terbentuk dari kerak perkapuran (kalsifikasi). Sehingga wanita hamil yang
telah memiliki lgM negatif dan lgG positif berarti telah memiliki kekebalan
dan tidak perlu khawatir terinfeksi.Sebaliknya yang memiliki lgM dan lgG
negatif harus melakukan pemeriksaan secara kontinyu setiap 3 bulan untuk
mengetahui secara dini bila terjadi infeksi.
Bila indikasi infeksi sudah pasti, yaitu lgM dan lgA positif, harus segera
dilakukan penanganan sedini mungkin. Pengobatan bisa dilakukan dengan
pemberian sulfa dan Pirimethamin atau spiramycin dan clindamycin. Sulfa
dan Pirimethamin dapat menembus plasenta dengan baik sehingga dianjurkan
untuk pengobatan pertama.Terapi harus dilakukan terus sampai persalinan.
Bahkan setelah persalinan akan dilakukan pemeriksaan pada bayi.
Bila didapat lgM positif maka bisa dipakstikan bayi telah terinfeksi. Meski
hasilnya negatif sekalipun, tetap harus dilakukan pemeriksaan
berkala sesudahnya. Dengan pemeriksaan dan pengobatan secara dini
penularan pada bayi akan bisa ditekan seminimal mungkin. Selain itu
pengobatan dini yang tepat saat awal kehamilan akan menurunkan secara
signifikan kemungkinan janin terinfeksi.
39

5. Hipertensi dalam kehamilan


Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat
kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau lebih
setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensif,
tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan tekanan sistolik
30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal (Junaidi,
2010).
6. Mual dan muntah dalam kehamilan
Emesis gravidarum (morning sickness) adalah gejala yang wajar atau
sering terdapat pada kehamilan trimester pertama. Mual biasanya terjadi pada
pagi hari, tetapi ada yang timbul setiap saat dan malam hari. Gejala-gejala ini
biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir dan berlangsung
kurang lebih 10 minggu.
Sedangkan Hiperemesis gravidarum adalah berlanjutnya emesis hingga
mengakibatkan terganggunya aktifitas ibu dan terjadi pada minggu ke 6-12
masa kehamilan dan berlanjut hingga minggu ke 16-20 masa kehamilan.
7. Diabetes Millitus (Gestasional Diabetes)
Diabetes mellitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai derajat
apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pengakuan pertama selama
kehamilan. (WHO-World Health Organisation 2011). Hal ni berlaku baik
insulin atau modifikasi diet hanya digunakan untuk pengobatan dan apakah
atau tidak kondisi tersebut terus berlangsung setelah kehamilan. Ini tidak
mengesampingkan kemungkinan bahwa intoleransi glukosa yang belum
diakui mungkin telah dimulai bersamaan dengan kehamilan.
8. Polihidramnion dan Oligohidramnion
Pada insufisiensi plasenta oleh sebab apapun akan menyebabkan
hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronik akan memicu
mekanisme redistribusi darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin berkurang dan terjadi
oligohidramnion (Prawirohardjo, 2010:269).
40

Polihidramnion adalah penumpukan air ketuban yang berlebihan


selama masa kehamilan. Meski kondisi tersebut umumnya tidak serius, tapi
membutuhkan pemantauan secara rutin dari dokter agar terhindar dari
kemungkinan komplikasi.
Tanda dan gejala hidramnion: ibu hamil bisanya mengeluh sesak nafas
dan ketidaknyamanan pada daerah perut. Apabila hidramnion terjadi secara
akut, maka ibu akan mengalami nyeri abdomen yang berat. Kondisi ini dapat
memperburuk berbagai gejala yang berhubungan dengan kehamilan, seperti
indigesti, nyeri ulu hati, dan konstipasi. Edema dan varices vulva serta
ekstrimitas bawah juga dapat terjadi. Pada saat pemeriksaan inspeksi
abdomen: uterus berukuran lebih besar dari usia gestasi yang seharusnya, dan
berbentuk globular. Kulit abdomen tampak tegang dan mengkilat dengan
striae gravidarum dan pembuluh darah supervisial yang terlihat jelas. Pada
pemeriksaan palpasi: uterus terasa keras dan sulit untuk meraba bagian janin,
tetapi kemungkinan janin dapat diraba di antara kedua tangan. Getaran cairan
dapat dirasakan dengan meletakkan satu tangan pada satu sisi lainnya dengan
jari. Gelombang cairan akan bergerak dari sisi yang diketuk dan dirasakan
pada tangan lainnya. Pemeriksaan auskultasi denyut jantung janin mungkin
akan sulit dilakukan jika jumlah cairan yang ada menyebabkan janin
berpindah menjauh dari letak stetokop/Doppler.
Derajat hidramnion dan prognosisnya berkaitan dengan
penyebabnya. Penyebab hidramnion meliputi: atresia esophagus, defek tuba
neuralis terbuka, kehamilan kembar terutama pada kasus kembar monozigot,
diabetes mellitus maternal, pada kasus yang jarang berhubungan dengan
isoimunisasi Rhesus, korioangioma (tumor yang jarang ditemukan pada
placenta), dan pada banyak kasus penyebabnya tidak diketahui.
Polihidramnion kronis terjadi secara bertahap, biasanya dimulai pada
usia kehamilan kira-kira 30 minggu. Tipe ini yang paling sering terjadi.
Sedangkan polihidramnion akut jarang terjadi. Tipe ini terjadi pada 20
minggu kehamilan dan muncul dengan sangat tiba-tiba. Uterus mencapai
41

sifisternum dalam 3-4 hari. Tipe ini berhubungan dengan kembar


monozigotik atau abnormalitas janin yang parah.
Hidramnion dapat menyebabkan komplikasi maternal-perinatal:
obstruksi uterik maternal, peningkatan mobilitas janin yang mengakibatkan
letak janin tidak stabil dan malpresentasi, presentasi dan prolapse tali pusat,
ketuban pecah dini, solusio placenta saat ketuban pecah, kelahiran premature,
meningkatkan insiden section sesarea, perdarahan pascapartum, dan
peningkatan angka kematian perinatal.
Jika memungkinkan, penyebab hidramnion pada ibu hamil harus
ditentukan. Ibu hamil yang mengalami hidramnion dapat dirujuk ke unit
konsultan kebidanan. Asuhan selanjutnya akan bergantung pada kondisi ibu
dan janin, penyebab, derajat hidramnion, serta tahapan kehamilan (umur
kehamilan). Hidrmnion ringan yang asimtomatik tidak langsung ditangani.
Ibu yang mengalami hidramnion ringan biasanya tidak rirawat di rumah sakit,
namun harus segera ke rumah sakit apabila mengalami pecah ketuban. Ibu
harus dianjurkan istirahat yang cukup, dan hindari stress psikologis. Ibu
membutuhkan penjelasan lengkap tentang kondisinya dan dukungan
psikologis dari tenaga kesehatan yang merawatnya. Pada ibu hamil yang
mengalami hidramnion asimtomatik, posisi tegak akan membantu
mengurangi sesak nafas dan dapat diberikan antacid untuk mengurangi nyeri
ulu hati dan mual. Jika gejala memburuk, kehamilan dapat diakhiri dengan
memberikan induksi persalinan.
Oligohidramnion adalah suatu kelainan cairan ketuban dimana jumlah
cairan ketuban/amnion yang terlalu sedikit. Jumlah cairan amnion pada
kehamilan cukup bulan sekitar 300-500 mL. Saat didiagnosis pada
pertengahan kehamilan, kelainan ini sering berkaitan dengan agenesis renal
(tidak adanya ginjal) atau sindrom Potter, yaitu bayi yang menderita
hypoplasia pulmoner. Jika terdiagnosis sebelum kehamilan 37 minggu, hal ini
kemungkinan berkaitan dengan abnormalitas janin atau ketuban pecah dini
yang menyebabkan cairan amnion gagal berakumulasi kembali.
42

Jumlah cairan aminon yang terlalu sedikit dapat berakibat pada


kurangnya ruang intauterin, dan jika terjadi pada waktu yang lama akan
menyebabkan deformitas kompresi. Wajah bayi akan tampak seperti terjepit,
hidung rata, mikrognatia (deformitas rahang), dan kulit bayi akan terlihat
kering dan kasar. Kejadian oligohidramnion kadang dijumpai pada kehamilan
lebih bulan, dan diyakini berkaitan dengan insufisiensi placenta. Jika fungsi
placenta berkurang, perfusi ke sistem organ janin juga akan berkurang,
termasuk ke ginjal. Penurunan pembentukan urin janin menyebabkan
oligohidramnion karena komponen utama cairan amnion adalah urin janin.
Keadaan lain yang berkaitan dengan oligohidramnion; a) pada
janin: kelainan kromosom, hambatan pertumbuhan, kematian, kehamilan
posterm; b) pada placenta: solusio placenta, transfuse antar-kembar; c) pada
ibu: hipertensi, preeklamsi, diabetes dalam kehamilan; d) pengaruh obat:
inhibitor prostaglandin sintase, inhibitor enzim pengubah angiotensin.
Tanda dan gejala oligohidramnion adalah, pada saat inspeksi uterus
terlihat lebih kecil dan tidak sesuai dengan usia kehamilan yang seharusnya.
Ibu yang sebelumnya pernah hamil dan normal, akan mengeluhkan adanya
penurunan gerakan janin. Saat dilakukan palpasi abdomen, uterus akan teraba
lebih kecil dari ukuran normal dan bagian-bagian janin mudah diraba.
Presentasi bokong dapat terjadi. Pemeriksaan auskultasi normal.
Wanita hamil yang dicurigai mengalami oligohidramnion, dilakukan
pemeriksaan USG untuk memperkirakan jumlah cairan amnion, dan
memastikan diagnosis oligohidramnion. Jika anomaly janin tidak dianggap
mematikan atau penyebab oligohidramnion tidak diketahui, amnio-infusi
profilaktik dengan salin normal, Ringer laktat, atau glukosa 5% dapat
dilakukan untuk mencegah deformitas kompresi dan penyakit paru
hipoplastik, dan juga untuk memperpanjang usia kehamilan.
43

2) Komplikasi Persalinan
Komplikasi persalinan yaitu penyulit dan keadaan gawat darurat yang
terjadi selama berlangsungnya persalinan yang dapat mengancam kondisi ibu dan
janin (Mariza, 2016).
Keterlambatan deteksi dini risiko yang berakibat terlambat dalam
penanganan dianggap salah satu penyebab terjadinya kematian ibu bersalin.
Faktor status kesehatan ibu yang buruk, status kesehatan reproduksinya, tidak
terjangkaunya akses ke pelayanan kesehatan, serta perilaku kesehatan yang
kurang baik dari ibu itu sendiri ikut menyumbang terjadinya komplikasi
persalinan.
a) Perdarahan Post Partum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi setelah anak
lahir. Perdarahan bisa terjadi sebelum, saat atau setelah plasenta keluar.
penyebab perdarahan postpartum antara lain terlepas sebagian plasenta dari
uterus, perlukaan jalan lahir, atonia uteri.

Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu:

1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi


dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir
dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi


setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder disebabkan
oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari
volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada
kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam
yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut
menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah,
44

denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro,
2005).

b) Partus Lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam
sejak in partu yang bisa berakibat jiwa ibu dan janin. Partus lama ataupun
partus macet mengakibatkan 8% kematian maternal.

Partus lama adalah persalinan dengan tidak ada penurunan kepala > 1 jam
untuk nulipara dan multipara. (Sarwono, 2008). Sebagian besar partus lama
menunjukan pemanjangan kala I. Adapun yang menjadi penyebabnya yaitu,
serviks gagal membuka penuh dalam jangaka waktu yang layak. (Harry, 2010).

Sebab-sebab terjadinya partus lama adalah multikomplek dan tentu saja


bergantung pada pengawasan selagi hamil, pertolongan persalinan yang baik dan
penatalaksanaannya. Faktor-faktor penyebab antara lain :

1. Kelainan letak
2. Letak sungsang
3. Letak lintang
4. Kelainan panggul
Dapat disebabkan oleh : gangguan pertumbuhan, penyakit tulang
dan sendi, penyakit kolumna vertebralis, kelainan ektremitas inferior.
Kelainan panggul dapat menyebabkan kesempitan panggul.
5. Kelainan his
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
kerintangan pada jalan lahir yang lazin terdapat pada setiap persalinan,
tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau
kemacetan.
6. Pimpinan partus yang salah
7. Janin besar atau ada kelainan kongenital
8. Gemeli
9. Primitua
45

10. Grande multi


11. Ketuban pecah dini

Gejala klinis pada partus lama yakni:

a. Pada ibu

Gelisah, letih, suhu badan meningkat, berkeringat, nadi cepat,


pernafasan cepat, dan meteorismus. Di daerah lokal sering dijumpai
lingkaran Bandle tinggi, edema vulva ,edema serviks, cairan ketuban
berbau, terdapat mekonium.

b. Pada bayi

Denyut jantung janin cepat/hebat/tidak teratur, bahkan negatif, air ketuban


terdapat mekonium, kental kehijauan, berbau, caput sucsadaneum yang
besar. moulage kepala yang hebat serta kematian Janin Dalam Kandungan
(KJDK).

c) Persalinan Premature
Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu (Alston, 2012). Organisasi Kesehatan Dunia yaitu
WHO (2013) membagi persalinan prematur menjadi tiga kategori
berdasarkan umur kehamilan, yaitu:
d. extremely preterm bila kurang dari 28 minggu
e. Very preterm bila kurang dari 32 minggu
f. Moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu

d) Kelainan His
His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
kerintangan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan, tidak
dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.
46

1. Inersia Uteri Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus
berkontraksi lebih kuat dan lebih dahulu pada bagian lainnya. Selama
ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya bagi ibu maupun janin
kecuali jika persalinan berlangsung terlalu lama.
2. Incoordinate Uterine Action Disini sifat his berubah, tonus otot uterus
meningkat, juga di luar his dan kontraksinya berlansung seperti biasa
karena tidak ada sinkronisasi antara kontraksi. Tidak adanya koordinasi
antara bagian atas, tengah dan bagian bawah menyebabkan his tidak
efisien dalam mengadakan pembukaan. Tonus otot yang menaik
menyebabkan nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu dan dapat pula
menyebabkan hipoksia janin. (Prawirohardjo, 2010). Kelainan his adalah
his yang tidak normal, baik kekuatan maupun sifatnya, sehingga
menghambat kelancaran persalinan. (Nugraheny, 2009).

e) Malposisi dan Malpresentasi


Malpresentasi adalah bagian terendah janin bukan verteks, contohnya
presentasi dahi, wajah, bahu, dan bokong. Sedangkan, malposisi merupakan
presentasi verteks dengan posisi anterior yang tidak mengalami fleksi secara
sempurna, contohnya defleksi kepala, posisi oksipitolateral dan
oksipitoposterior dengan oksiput sebagai penentu posisi (Liu, 2008). Janin
dalam keadaan malpresentasi dan malposisi sering menyebabkan partus lama
dan partus macet (Mochtar, 2013). Secara epidemiologis pada kehamilan
tunggal didapatkan presentasi kepala sebesar 96,8%, bokong 2,7%, letak
lintang 0,3%, majemuk 0,1%, muka 0,05%, dan dahi 0,01% (Saifuddin,
2011). Presentasi bokong terjadi kira-kira 3-4% pada kehamilan cukup bulan.
Pada trimester pertengahan frekuensinya jauh lebih besar karena proporsi
cairan yang lebih besar memfasilitasi gerakan janin (Fraser, 2009).
47

3) Komplikasi Nifas
Saat masa nifas kebanyakan baik ibu nifas dan tenaga kesehatan manjadi
lengah karena beranggapan bayi sudah lahir dengan selamat, hal inilah yang
menyebabkan proses pemulihan yang seharusnya fisiologis menjadi patologis.
Syarifudin (2009) mengatakan pendampingan saat proses masa nifas sangatlah
penting, ibu butuh dukungan baik dari keluarga dan tenaga kesehatan untuk
memberikan asuhan kebidanan, jika ini dilakukan kemungkinan kondisi patologis
tidak terjadi.
Infeksi nifas adalah kondisi peradangan yang diakibatkan kuman -
kuman masuk ke dalam alat genital pada waktu persalinan dan nifas. Gejala
umum infeksi dapat dilihat dari malaise, takikardia, pembengkakan, dan suhu.
(Bahiyatun, 2009). Kasus komplikasi dalam masa nifas antara lain :
a. Perdarahan Pervaginam
Perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml setelah bersalin
didefenisikan sebagai perdarahan pasca persalinan. Terdapat beberapa
masalah mengenai defenisi ini :
1) Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang
sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari biasanya. Darah
tersebut bercampur dengan cairan amnion atau dengan urine, darah
juga tersebar pada spon, handuk dan kain di dalam ember dan di
lantai.
2) Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan
kadar haemoglobin ibu. Seorang ibu dengan kadar Hb normal akan
dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan
berakibat fatal pada anemia. Seorang ibu yang sehat dan tidak
anemia pun dapat mengalami akibat fatal dari kehilangan darah.
3) Perdarahan dapat terjadi dengan lambat untuk jangka waktu
beberapa jam dan kondisi ini dapat tidak dikenali sampai terjadi
syok.
Penilaian resiko pada saat antenatal tidak dapat memperkirakan
akan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
48

Penanganan aktif kala III sebaiknya dilakukan pada semua wanita


yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden perdarahan
pasca persalinan akibat atonia uteri. Semua ibu pasca bersalin
harus dipantau dengan ketat untuk mendiagnosis perdarahan
fase persalinan.
b. Infeksi Masa Nifas
Beberapa bakteri dapat menyebabkan infeksi setelah persalinan,
Infeksi masanifas masih merupakanpenyebab tertinggi AKI. Infeksi alat
genital merupakan komplikasi masa nifas. Infeksi yang meluas kesaluran
urinary, payudara, dan pasca pembedahan merupakan salah satu penyebab
terjadinya AKI tinggi. Gejala umum infeksi berupa suhu badan panas,
malaise, denyut nadi cepat. Gejala lokal dapat berupa Uterus lembek,
kemerahan dan rasa nyeri pada payudara atau adanya disuria.
Ibu beresiko terjadi infeksi post partum karena adanya luka pada
bekas pelepasan plasenta, laserasi pada saluran genital termasuk
episiotomi pada perineum, dinding vagina dan serviks, infeksi post SC
yang mungkin terjadi.
Penyebab infeksi :bakteri endogen dan bakteri eksogen
Faktor predisposisi :nutrisi yang buruk, defisiensi zat
besi, persalinan lama, ruptur membran, episiotomi, SC
Gejala klinis :endometritis tampak pada hari ke 3 post partum disertai
dengan suhu yang mencapai 39 derajat celcius dan takikardi, sakit kepala,
kadang juga terdapat uterus yang lembek.
Manajemen :ibu harus diisolasi

c. Sakit Kepala, Nyeri Epigastrik, Penglihatan Kabur


Wanita yang baru melahirkan sering mengeluh sakit kepala hebat
atau penglihatan kabur. Gejala-gejala ini merupakan tanda-tanda
terjadinya Eklampsia post partum, bila disertai dengan tekanan darah yang
tinggi.
49

Penanganan :
1.  Jika ibu sadar periksa nadi, tekanan darah, pernafasan
2. Jika ibu tidak bernafas periksa lakukan ventilasi dengan masker dan balon.
Lakukan intubasi jika perlu dan jika pernafasan dangkal periksa dan
bebaskan jalan nafas dan beri oksigen 4-6 liter per menit.
3.  Jika pasien tidak sadar/ koma bebaskan jalan nafas, baringkan pada sisi
kiri, ukur suhu, periksa apakah ada kaku tengkuk.

d. Pembengkakan di Wajah atau Ekstremitas.


e. Demam, Muntah, Rasa Sakit Waktu Berkemih.
Organisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari
flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti bahwa beberapa galur E.
Coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya (Svanborg-eden,
1982).
Pada masa nifas dini, sensitivitas kandung kemih terhadap
tegangan air kemih di dalam vesika sering menurun akibat
trauma persalinan serta analgesia epidural atau spinal. Sensasi peregangan
kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang
ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra atau hematoma
dinding vagina. Setelah melahirkan terutama saat infuse oksitosin
dihentikan terjadi diuresis yang disertai peningkatan produksi urine dan
distensi kandung kemih. Overdistensi yang disertai kateterisasi untuk
mengeluarkan air yang sering menyebabkan infeksi saluran kemih. 

f. Payudara yang Berubah Menjadi Merah, Panas, dan Terasa Sakit.


Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat dapat
menyebabkan payudara menjadi merah, panas, terasa sakit, akhirnya
terjadi mastitis. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan
terjadinya payudara bengkak. B.H yang terlalu ketat, mengakibatkan
segmental engorgement. Kalau tidak disusu dengan adekuat, bisa terjadi
mastitis.
50

Ibu yang diit jelek, kurang istirahat, anemia akan mudah terkena
infeksi.
Gejala :
a. Bengkak, nyeri seluruh payudara/ nyeri lokal.
b. Kemerahan pada seluruh payudara atau hanya lokal
c. Payudara keras dan berbenjol-benjol (merongkol)
d. Panas badan dan rasa sakit umum.
Penatalaksanaan :
1. Menyusui diteruskan. Pertama bayi disusukan pada payudara yang terkena
edema dan sesering mungkin, agar payudara kosong kemudian pada
payudara yang normal.
2. Berilah kompres panas, bisa menggunakan shower hangat atau lap basah
panas pada payudara yang terkena.
3. Ubahlah posisi menyusui dari waktu ke waktu, yaitu dengan posisi tiduran,
duduk atau posisi memegang bola (football position)
4. Pakailah baju B. H yang longgar
5. Istirahat yang cukup , makanan yang bergizi
6. Banyak minum sekitar 2 liter per hari
7. Dengan cara-cara seperti tersebut di atas biasanya peradangan akan
menghilang setelah 48 jam, jarang sekali yang menjadi abses. Tetapi
apabila dengan cara-cara seperti tersebut di atas tidaka da perbaikan
setelah 12 jam, maka diberikan antibiotik selama 5-10 hari dan analgesia.

g. Kehilangan Nafsu Makan Dalam Waktu Yang Lama


Kelelahan yang amat berat setelah persalinan dapat mengganggu
nafsu makan,sehingga ibu tidak ingin makan sampai kelelahan itu hilang.
Hendaknya setelah bersalin berikan ibu minuman hangat,susu,kopi atau
teh yang bergula untuk mengembalikan tenaga yang hilang. Berikanlah
makanan yang sifatnya ringan,karena alat pencernaan perlu istirahat guna
memulihkan keadaanya kembali.
51

h. Rasa sakit, merah, lunak dan pembengkakan di kaki


Selama masa nifas dapat terbentuk thrombus sementara pada vena-vena
manapun di pelvis yang mengalami dilatasi.
i. Merasa sedih atau tidak mampu mengasuh sendiri bayinya dan dirinya
sendiri.
Penyebabnya adalah kekecewaan emosional bercampur rasa takut
yang dialami kebanyakan wanita hamil dan melahirkan, rasa nyeri pada
awal masanifas,kelelahan akibat kurang tidur selama persalinan dan
setelah melahirkan, kecemasan akan kemampuannya untuk merawat
bayinya setelah meninggalkan rumah sakit, ketakutan akan menjadi tidak
menarik lagi.
52

DAFTAR PUSTAKA

Aeni, N.2013. Faktor Resiko Kematian Ibu. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol.
7. No. 10. Mei 2013.453-459

Anderson, L. W. & Krathwohl, D.R. (2009). Pembelajaran, Pengajaran dan


Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Kusmiran, E. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba


Medika

Junaidi, Iskandar. 2010. Hipertensi Pengenalan, Pencegahan dan Pengobatan.


Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer

http://nurfahmi.wordpress.com/2008/01/24/risiko-infeksi-pada-ibu-hamil/

http://www.infocantik.info/tag/infeksi-jamur-pada-ibu-hamil

Bobak, Lowdermilk, Jensen (Alih bahasa: Wijayarini, Anugerah). 2005. Buku


Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4. EGC, Jakarta.

Cunningham, et.al. 2006. Obstetric Williams, edisi 21, volume 2. EGC, Jakarta.

Cunningham, et.al. 2010. E-book Williams Obstetrics, edisi 23. The Mc Graw-


Hill Companies, USA.

Fraser, Cooper (Alih bahasa: Rahayu, et.al.). 2009. Myles, Buku Ajar Bidan, edisi
14. EGC, Jakarta.

Mochtar. 2002. Synopsis Obstetri, edisi 2. EGC, Jakarta.

Varney, Kriebs, Gegor. 2002. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4, Volume 1.


EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai