Anda di halaman 1dari 8

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

(UNINDRA)
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) GENAP
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

Program Studi : Pendidikan Sejarah


Mata Kuliah : Sosiologi Pembangunan
Hari/Tanggal : Rabu, 13 Juli 2022
Waktu : 1 X 24 Jam PAGI
Sifat Ujian : Take Home
Petunjuk :

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan baik dan benar.


Tidak diperkenankan untuk copypaste jawaban temannya.
Perhatikan batas waktu pengumpulan lembar jawaban ujian. SOAL

1. Jelaskan Pemikiran-Pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya teori modernisasi!


2. Alex Inkeles dan David Smith bicara tentang posisi penting manusia dalam
Pembangunan, bahwa Pembangunan tidak selalu bicara tentang modal dan teknologi.
Jelaskan karakteristik manusia modern menurut Inkeles!
3. Pendidikan menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial.
Berikan analisis kritis saudara mengenai perkembangan Pendidikan di Indonesia!
4. Indonesia masuk ke dalam kategori negara berkembang saat ini. Untuk mendorong
pembangunan yang dilakukan mengedapankan aspek pendekatan SDGs (Sustainable
Development Goals), menurut anda dari 17 poin yang ada tentukan 3 yang menjadi
aspek utama dalam proses pembangunan di Indonesia guna tercapainya kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan amanat Konstitusi!
5. Bagaimana peran Negara dan Masyarakat untuk mewujudkan pembangunan Desa?

Selamat Mengerjakan
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
Jl. Nangka No. 58 C, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Telp. 021-7818718
Jln. Raya Tengah, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Telp. 021-87797409
Webiste: http///www.unindra.ac.id

Petunjuk:
1. Peserta Ujian mengerjakan pada template lembar jawaban yang sudah disediakan. Tidak
diperkenankan mengubah template yang sudah ada!
2. Nama file dibuat dengan format: NPM_Nama_MataKuliah_Kelas. Contoh:
20201551234_Johan Juliansyah_Perkembangan Peserta Didik_R4A
3. Kirimkan file jawaban dalam bentuk pdf tersebut ke: email dosen atau media lain yg disepakati
dosen dengan mahasiswa ybs.

LEMBAR JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA : Anthony Marsen Yogi Malau MATA KULIAH : Sosiologi Pembangunan

NPM : 201815500088 DOSEN PENGUJI : Rahayu Hardita Dwi Widyanti S. Pd., M.


Hum
KELAS : R8C TANGGAL UJIAN : 13 Juli 2022

SEMESTER : 8 WAKTU UJIAN : 1 X 24 Jam

NO.HP/WA : 081283362858

1. Sejarah banyak memberikan kita pengetahuan serta pengalaman. Salah satunya adalah sejarah
bagaimana perkembangan teori modernisasi. Teori modernisasi berkembang dalam tiga fase, yaitu;

 Fase pertama (1950-1960)


 Fase kedua (1970-1980)
 Fase ketiga (1990-an)
Dari ketiga fase inilah teori modernisasi bermunculan seiring perubahan kondisi tersebut setelah
Perang Duna II.Dimana waktu itu Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan dominan yang menguasai
seluruh wilayah, kemudian Uni Soviet melakukan perluasan terhadap ajaran komunis diberbagai wilayah
Eropa Timur dan Asia, sekaligus lahirnya negara-negara baru yang merdeka berdaulat di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin. Oleh sebab itu, teori modernisasi tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran klasik berdasarkan
teori evolusi dan teori fungsionalisasinya yang seperti kita ketahui.
Lahirnya teori modernisasi sangat berkaitan erat dengan dua asumsi. Pastinya tahu banyak pemikir-
pemikir berat mengawali Langkah pencetusan teori saat melihat pandangan yang dipercayai sebelumnya
pertama, teori modernisasi berasal dari asumsi metafora yang lahir dari teori Evolusi.
Berdasarkan asumsi evolusi,teori modernisasi dikatakan sebagai babak kehidupan yang bersifat
homogen, dimana terjadi proses kehidupan bertahap tanpa ada usaha mundur, dengan kata lain
modernisasi membawa perubahan yang progresif dan memerlukan waktu Panjang. Kedua, menurut asumsi
fungsionalisme yang melahirkan teori modernisasi sebagi pola pikir yang lebih sistematik.
Teori Fungsionalisme dalam mengatakan bahwa modernisasi sebagai penjelasan tentang babak
kehidupan atau transformasi yang urut sekaligus bertahap. Asumsi ini meyakini adanya pengaruh pada
kejadian sebelumnya serta menjadikan hal tersebut sebagai satu bagian proses yang berkesinambungan.

2. Menurut Alex Inkeles, terdapat 9 ciri atau karakter manusia Modern sebagai berikut;
 Memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan
 Memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat atau opinimengenai lingkungannya sendiri atau
kejadian yang terjadi jauh diluar lingkungannya, serta dapat bersikap demokratis
 Menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lalu
 Memiliki perencanaan dan pengorganisasian
 Percaya diri
 Perhitungan
 Menghargai harkat hidup manusia lain
 Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi
 Menjunjung tinggi sikap dimana imbalan yang diterima seseorang harus sesuai dengan prestasinya
dalam masyarakat

3. Perkembangan Pendidikan Indonesia dapat dilihat baik dalam permasalahan Pendidikan di Indonesia,
sebagai berikut;
 Keterbatasan Jumlah Guru Terampil
Entah disadari atau tidak, masalah pendidikan di Indonesia adanya keterbatasan jumlah guru yang
terampil. Umumnya, guru-guru terampil dan berkualitas tersebar di kawasan kota atau daerah yang
notabenenya mudah di akses. Sedangkan daerah-daerah terpinggir dan terpencil, sulit sekali mendapatkan
guru. 
Memang ada banyak faktor hal ini terjadi. Dari banyak alasan, salah satunya masalah minat dari guru itu
sendiri. lebih banyak guru yang memilih lokasi yang mudah diakses dari segi transformasi dan akses untuk
mendapatkan kebutuhan pokok mudah didapatkan.

Sedangkan daerah terpencil, lagi-lagi tidak dilirik sama sekali. Mungkin ada saja guru yang terpanggil hati
untuk bertugas di daerah pelosok yang minim akses, sayangnya hanya 1:10 saja. Jumlahnya pun sangat kecil
sekali. Sehingga wajar saja jika terjadi kesenjagan tenaga guru terampil di pelosok dan di kota. 

Sehingga terdapat pula kesenjangan kualitas lulusan peserta didik. Tidak heran jika regenerasi yang
tinggal di pelosok, nyari tidak terekspose atau muncul ke permukaan. Itu sebabnya, ini menjadi PR bagi
pemerintah dalam upaya pemerataan tenaga pendidik terampil di pelosok, agar terjadi pemerataan.

 Sarana dan prasarana tidak memadai


Masalah pendidikan di Indonesia saya yakin sering dikeluhkan. Baik dikeluhkan oleh wali murit, guru dan
muridnya itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri dadri segi sarana dan prasarana memang kurang memadai.
Terutama sekolah-sekolah yang ada di pedesaan, pinggiran dan sekolah yang ada di pelosok. Ini masalah yang
klasik dan sudah tidak asing lagi memang. 

Namun, seburuk-buruknya sarana dan prasaran yang ada di pinggiran kota dan desa, masih ada masalah
pendidikan di Indonesia yang lebih parah. Kita tahu bahwa Indonesia Negara kepaulauan yang memiliki banyak
sekali pulau. Banyak daerah bagian yang tidak terakses seperti halnya di tempat kita tinggal saat ini. 

Banyak generasi penerus yang tinggal di kepualauan, mereka tidak hanya terbatas pada sarana dan
prasarana saja, tetapi terbatas dari banyak hal. Misalnya, harus melintasi pulau seberang setiap hari agar bisa
masuk sekolah.

Hidup dengan keterbatasan koleksi buku karena tidak terakses  dan tidak terjamah. Belum lagi masalah
tidak ada jaringan listrik. Sehingga mereka harus menggunakan penerang tradisional. Padahal, sekarang sudah
era globalisasi, bahkan dunia teknologi yang serba terhubung dengan dunia luar, tetapi masih ada daerah yang
belum terjamah di tanah Air kita. 

Sebenarnya dari masalah sarana dan prasarana tidak memadai ini saya ceritakan sebagai pembanding
bagi pembaca. Sejelek-jeleknya prasarana yang sebagian putra-putri rasakan, selama masih ada akses listrik dan
melek bahkan bisa mengangses internet dengan bebas, itu sudah lebih baik.
Memang ada kekurangan dari pihak pemerintah dalam melaksanakan peran pendidikan, tetapi apakah
kita selamannya akan menyalahkan dan menuding? Alangkah baiknya tetap berjalan dan belajar dengan giat
meski mengalami keterbatasan. Karena keterbatasan sebenarnya bukan sebagai alasan. 

 Minim Bahan Pembelajaran


Tidak dapat dipungkiri masalah pendidikan di Indonesia juga terbentur pada keterbatasan bahan ajar.
Kurangnya keterbatasan bahan wajar menurut saya hal yang wajar, karena memang dari kesadaran akan literasi
di Indonesia termasuk di urutan akhir.
Dari sudut perspektif lain, menurut saya bisa jadi bukan karena masalah minimnya bahan pembelajaran,
tetapi masalah kurangnya kesadaran untuk membuat inisiatif mencari modul pembelajaran. 
Lagi-lagi saya kurang setuju dengan masalah keterbatasan menjadi alasan. Mungkin banyak yang
menyebutkan bahwa keterbatasan bahan pembelajaran tidak memadai. Padahal, sebenarnya kita bisa mencari
sendiri. Tidak harus mengandalkan huluran bahan aja dari pemerintah, tetapi inisiatif untuk mencari. 
Jika memang tidak ada bahan pembelajaran tidak tersedia, bagi seorang pendidik bisa saja belajar dari
buku luar. Kemudian dari pesan buku tersebut di transformasikan ke peserta didik. Atau bisa membuat atau
menciptakan bahan pembelajaran jika memang tidak ada.
Dengan cara-cara seperti ini lebih solutif daripada menyalahkan ataupun menuding. Setidaknya dengan
cara ini menjadi upaya memberikan jalan keluar untuk kebutuhan diri sendiri dan memberikan ruang jalan bagi
orang lain. 
Bukan berarti saya pro dengan pemerintah. Hanya saja, sampai kapan kita menunggu pemerintah
pendidikan. Menunggu belum tentu bertemu, tetapi dengan kita bergerak, meskipun hasilnya bukan gerakan
besar, minimal memberi sedikit perubahan. 

 Mahalnya dana Pendidikan


Tidak dapat dipungkiri, masalah pendidikan di Indonesia yang paling mendasar terletak pada masalah
biaya pendidikan. Meskipun sudah digadang-gadang gratis, tetap saja ada bagian yang membayar. Ironisnya,
banyak masyarakat miskin yang hanya membayar tidak seberapa bagi orang borju tetap menyulitkan. 
Lagi-lagi di sini saya memiliki perspektif lain tentang masalah dana pendidikan. Masyarakat umum di
tempat kita sudah terstereotipkan dan terdewakan dengan kata ‘lulusan dari mana?’ ‘lulus peringkat berapa?’
dan apapun itu yang menjadikan pendidikan itu adalah raja. 
Tidak dapat dipungkiri, memang lewat pintu pendidikan mampu mengantarkan seseorang ke masa
depan yang lebih baik. Bahkan cukup bermodal peringkat terbaik dan dari sekolah terbaik bisa menentukan
nasib seseorang. Secara lahir memang pendidikan adalah modal dasar dan segala. Tetapi di liihat dari ilmu
hakikat atau urgensi atau sejatinya keberhasilan seseorang TIDAK SELALU di tentukan dari tingkat pendidikan. 
Stereotip masyarakat yang terlanjur beredar dan terlanjur terpatri memang sulit diubah. Nyatannya,
banyak orang-orang hebat yang justru putus sekolah. Orang-orang yang awalnya dianggap bodoh dan nyleneh
tidak berkesempatan kekolah, nyatanya memiliki garis hidup yang berbeda. secara hakikat pula, nilai, lulusan
terbaik juga tidak akan menjadi jaminan bisa masuk. Malaikat pun tidak akan menanyakan “berapa
peringkatmu?” malaikat juga tidak akan menanyakan “lulus di sekolah bergengsi atau tidak?”

 Mutu Pendidikan Rendah


Dari ulasan di atas seolah lembaga pendidikan menjadi tidak penting, hanya karena label dan stigma
masyarakat. Padahal menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seluruh umat manusia. Masalahnya lagi, banyak
orang yang mengartikan menuntut ilmu selalu dalam bentuk pendidikan, padahal ada jalur non pendidikan. 
Kembali lagi fokus ke masalah pendidikan di Indonesia terkait mahalnya dana pendidikan inilah yang
menambah angka putus sekolah. Pertanyaannya adalah, akankah kita akan selalu menyalahkan dan menuntut
pemerintah untuk menjamin masa depan generasi putus sekolah? Padahal ada banyak sekali jumlah. 
Di sini, saya justru bukan menyorot dari kewajiban pemerintah, tetapi sikap masyarakat yang berlebihan
melabeli mereka yang putus sekolah. Bisa saja, berkat putus sekolah, mereka tetap memiliki motivasi belajar.
Seperti yang saya tekankan sebelumnya, belajar bisa dilakukan secara non pendidikan. Bisa belajr dengan alam,
belajar dengan lingkungan sosial dan belajar dengan pengalaman yang justru memiliki kualitas pendewasaan
dan kemandirian lebih baik. 

 Minoritas bagi kelompok Difabel


Masalah pendidikan di Indonesia tidak banyak dijadikan sorotan adalah masalah pendidikan bagi
kelompok difabel. Ternyata masih banyak kelompok difabel yang kesulitan dalam mencari sekolah inklusi. Itu
berarti masih sedikit sekolah-sekolah inklusi bagi mereka. Satu sisi, sekolah inklusi secara tidak langsung juga
mengkotak-kotakan dan semakin tereksklusi dari realitas sosial. 
Kendala yang sering dihadapi bagi difabel ketika memutuskan sekolah umum, mereka terkendala dari
pembangunan sekolah yang tidak ramah untuk di fable. Misalnya tidak ada jalan khusus difabel yang
menggunakan sepatu roda atau pintu kurang representative bagi difabel. Belum lagi masalah buku-buku pelajaran
yang dikemas dalam huruf braille. 
Ada satu pengalaman menarik bagi saya, suatu ketika pernah mengajar di salah satu kelompok difabel
yang memilih sekolah ditempat umum. Ternyata mereka harus belajar lebih keras daripada orang pada umumnya.
Sepulang sekolah, anak-anak lain bisa saja hanya bermain dan bersenang-senang, tetapi mereka tidak ada
waktu bermain, karena mereka mengejar ketertinggalan. Karena keterbatasan mereka, mengharuskan mereka
belajar lebih giat.  Dari sini, sebenarnya dibutuhkan keseimbangan dalam proses belajar bagi kelompok difabel. 
Belum lagi masalah tentang akses jalan, sarana kamar mandi di sekolah yang juga belum ramah dengan
difabel. Padahal, segala sesuatunya harus dibangun sesuai standar difabel. Bukan karena mereka minoritas, bukan
berarti mengambil hak mereka menikmati fasilitas umum. Setidaknya jika pembangunan dilakukan ramah difabel,
orang umum pun bisa juga mengaksesnya. 
Jika standar pembangunan di standarkan orang pada umumnya, maka difabel akan kesulitan mengakses.
Sehingga mereka terkesan dikesampingkan. Padahal mereka sama-sama generasi penerus yang memiliki hak yang
sama, memiliki peluang sukses yang sama dan memiliki hak bahagia.
Bukan karena minoritas, lantas semakin dipandang berbeda. Sebenarnya mereka kuat bahkan bisa saya
sebut mereka lebih kuat. Mereka memang special, bukan special dalam konotasi negative, tetapi benar-benar
special dalam arti sebenarnya, karena sebenarnya memiliki kegigihan lebih besar.

4. Target dan tujuan SDGs secara eksplisit dimaksudkan untuk mencapai hasil-hasil pembangunan yang
menggambarkan adanya kemajuan dalam hal pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, mengurangi
ketimpangan dalam dan antar negara, memperbaiki manajemen air dan energy, dan mengambil langkah urgen
untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini tergambar dalam 4 (empat) pilar SDGs yaitu pilar ekonomi, pilar sosial,
pilar hukum, pilar lingkungan. Secara umum, pilar, target dan tujuan SDGs juga relevan dengan tujuan
pembangunan nasional dan juga tujuan pembangunan di daerah.

Agenda Pembangunan Nasional yang dikenal dengan Nawa Cita atau 9 (sembilan) agenda prioritas
nasional memiliki kesamaan prioritas dan target pembangunan, yaitu kelompok beresiko dan menghadirkan
pambangunan bagi semua  (pembangunan yang inklusif).

5. Levinson dalam Syani (1994: 54) menguraikan peran ke dalam tiga cakupan. Salah satunya dengan
mengklasifikasikan peran sebagai suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi. Dalam persfektif ini, desa dapat dilihat sebagai organisasi dimana semua elemen
memiliki peran sesuai porsi masing-masing. Artinya, dari elemen terkecil desa yakni masyarakat hingga elemen
struktural yakni pemerintah desa memiliki perannya masing-masing dalam membangun desa sebagai organisasi.
Seperti halnya tahapan yang ada dalam kebijakan publik, dalam pembangunan sendiri juga terdapat 3 (tiga)
tahapan utama yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Maka dalam penganalisisan data ini, peran
pemerintah-masyarakat akan dijelasklan ke dalam tiga bagian mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai