Anda di halaman 1dari 4

Kebebasan berekspresi di bidang akademik .

Nama : Isma sari


Kelompok : 14 (Elephas maximus)
Program studi : Ekonomi pembangunan
Kebebasan berekspresi di bidang akademik .

Represi kebebasan berekspresi sayangnya masih jamak di Indonesia. Bahkan, praktik tersebut
juga terjadi di lingkungan kampus. Bentuk represinya beragam mulai dari pelarangan,
intimidasi, pembubaran diskusi dan tuduhan makar. Pada kasus terakhir, Saiful Mahdi,
seorang dosen justru divonis bersalah oleh Pengadilan Banda Aceh atas pencemaran nama
baik. Padahal, yang dilakukan Saiful adalah kritik terhadap kinerja pimpinan di Universitas
Syiah Kuala tempatnya bekerja, kritiknya pun merupakan bagian dari kebebasan akademik

Di saat kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik dikekang, masyarakat akan


kehilangan hak-haknya untuk berdiskusi dan bertukar pikiran secara kritis untuk mencari
kebenaran. Padahal demokrasi yang esensial adalah demokrasi yang memberikan kesempatan
yang sama bagi warganya untuk bersuara. Kepercayaan masyarakat bisa runtuh apabila
kebenaran diproduksi atas intervensi politik, bukan atas basis ilmiah.

Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perlindungan kebebasan
akademik. Peraturan senat kampus tentang kebebasan akademik perlu mengadopsi prinsip
kebebasan akademik berdasarkan norma hukum internasional. Salah satu norma tersebut
adalah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah
diratifikasi Indonesia pada tahun 2005. Berdasarkan kovenan tersebut, kampus dapat secara
kolektif menyusun pedoman yang menjamin otonomi kampus. Nantinya, pedoman ini perlu
mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas sumber dan pengelolaan pendanaan pada
kampus, sehingga menjamin independensi.

Namun, langkah terpenting adalah mendorong pemerintah untuk mengintervensi represi


kebebasan akademik. Intervensi yang dilakukan bukan mematikan, tetapi memastikan
ekspresi dilindungi. Pembubaran, pelarangan dan intimidasi atas kegiatan sivitas akademika
harus diproses secara tegas. Intervensi yang tepat akan menjaga kampus untuk melindungi
sivitas akademikanya berpikir kritis.

Demokrasi di satu sisi memang memungkinkan semua orang bebas berekspresi, tapi tanpa
moderasi, kita akan melihat bagaimana masyarakat lebih banyak mempercayai hoaks dan
misinformasi, yang justru lahir dari kelompok orang yang tidak memiliki kompetensi dan
kualifikasi yang layak untuk memproduksi ilmu pengetahuan.
Pemikiran kritis dibutuhkan dalam demokrasi yang ideal, dan tempat yang tepat untuk
menggodoknya adalah di kampus. Pemikiran kritis tentu akan lahir dari individu yang
terdidik dengan baik dari institusi yang percaya bahwa kebenaran ilmiah itu layak dan patut
diperjuangkan. Kampus seharusnya menjadi arbiter kebenaran, bukan berkontribusi pada
lumpuhnya demokrasi.

Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini mencakup
kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan
untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa
saja tanpa ada batasan.”
Realita yang terjadi saat ini justru berbentuk antitesis dari konsep kebebasan akademik. Di
mana, sering terjadi upaya tendensi dari pihak luar akademi perguruan tinggi jika pengkajian
atau hasil dari rumusan ilmiah bertentangan dengan kehendak kaum tertentu.
Kebebasan berbicara dan berekspresi seakan selalu diinterupsi oleh entitas yang memiliki
julukan senior. Tak jarang juga kebenaran yang terproduksi dari ruang diskusi, dan mufakat
dari perselisihan forum hanya sah apabila ada verifikasi atau bersumber dari senior

Anggapan akan stabilitas kondisi sosial di kalangannya, terjaminnya transfer pengetahuan


dan ideologi, serta kebutuhan akan eksistensi membuat nilai senioritas tetap laris di
lingkungan intelektual. Adapun yang berdiri dengan argumentasi kebudayaan masyarakat
setempat yang harus dipahami dan aktualisasikan di kampus. 

Bukannya bertahan pada nilai-nilai intelektual, malah teguh berpegang pada sikap primordial.
Mereka tidak memahami dan abai dengan sikap ilmiah yang sekular, netral, dan kosong dari
semua nilai-nilai tertentu.

Hegel sendiri menganggap bahwa, kondisi masyarakat yang rasional akan semakin
menyadari kebebasannya dan mengorganisasikan diri dengan menjunjung tinggi
kebebasannya. Manusia yang rasional akan menolak segala kesewenangan dan mengakui
hak-hak asasi manusia yaitu kebebasan. Sehingga, sikap feodal seperti senioritas, tidak
kompatibel lagi dengan kondisi masyarakat demokratis yang ilmiah. Mereka yang tidak
dewasa dalam menanggapi kebebasan adalah para partisipan agenda pembodohan dan akan
menjadi agen perusak demokrasi.

Kebebasan Akademik memang telah memiliki payung hukum untuk menjamin eksistensinya,
akan tetapi tindakan represif masih terus berulang. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki
otonomi penuh dalam menjamin terselenggaranya kebebasan akademik justru tidak jarang
menjadi pihak yang mengancam hak seorang akademisi tersebut. Perguruan Tinggi yang
menjadi tempat teraman bagi terselenggaranya ruang berpendapat, juga tidak jarang menjadi
pihak pertama yang memblokir terselenggaranya kebebasan akademik itu sendiri. Hal ini
dikarenakan masih kentaranya feodalisme kampus dan kentalnya politisasi kebijakan kampus
dalam membangun sistem yang ada, sebagaimana pernah dikatakan KKAI dalam catatan
yang mereka torehkan di akhir 2019. 

Kampus harus membuka diri untuk memperdebatkan apa saja yang dianggap tabu oleh
masyarakat, setidaknya Mahasiswa dapat mendiskusikan dan mencari kebenaran pada sebuah
persoalan. Kampus merupakan tempat menikmati semua kemungkinan, harapan dan
tantangan, harus diperlihatkan sebagai milik dan tanggung jawab bersama. Masyarakat
kampus harus mampu mengelola informasi dan ide dengan memakai Displin Ilmu yang
dimilikinya. Karena kesempatan itu ialah merupakan bagian dari upaya Mahasiswa untuk
berinvestasi dalam menemukan infrastruktur politik akal sehatnya.

Namun pada kenyataannya Ruang kebebasan Mahasiswa masih sering di Intervensi oleh
Birokrat kampus, tindakan birokrat Kampus kadang terkesan memberangus pola pikir kritis
Mahasiswa. Birokrat Kampus sering sekali terlibat dalam Tatanan Organisasi Mahasiswa,
Kegiatan Mahasiswa, memberlakukan jam malam, bahkan mau menggunakan cara-cara
kekerasan hingga kriminalisasi kepada Mahasiswanya untuk memenuhi keinginannya.

Timbul pertanyaan bagaimana dengan mahasiswa? Apakah mahasiswa mempunyai


kebebasan akademik? Ketika seseorang menamakan diri sebagai mahasiswa, tentu berlaku
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (“UU DIKTI”) dan kebebasan akademik juga berlaku untuk mahasiswa.
Mahasiswa, bersama dengan dosen dan tenaga kependidikan, adalah bagian dari sivitas
akademika atau warga akademik pendidikan tinggi.

Lebih lanjut pasal 13 UU Dikti menjelaskan bahwa Mahasiswa sebagai anggota Sivitas
Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam
mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan,
praktisi, dan/atau profesional. Mahasiswa secara aktif mengembangkan potensinya dengan
melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan,
dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan,
intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.Mahasiswa memiliki kebebasan
akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai
dengan budaya akademik.

Sudah selayaknya seluruh mahasiswa memiliki jiwa social yang tinggi dan mampu untuk
menyampaikan seluruh aspirasi yang dianggap nya tepat, dengan mempertimbangkan
beberapa aspek yang dianggap nya perlu untuk disampaikan, hendaklah disampaikan tanpa
harus memikirkan beberapa resiko kedepan nya untuk melatih keberanian dan mendewasakan
diri ketika seberjalan nya kuliah.

Anda mungkin juga menyukai