Anda di halaman 1dari 30

PAPER

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KEJAHATAN OLEH KORPORASI


TERHADAP BURUH KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA
KETENAGAKERJAAN

Oleh :

1. KRISDYA OCTA BELLA (010119189)


2. RAHMA ARYANTI (010119197)
3. SITI ANISA FITRI (010119184)
4. DIAZ MARIZKA YUSUF (010119121)
5. ANDREA PUSPA (010119108)
6. TRI MONICA (010119154)

Dosen Mata Kuliah :


IMANUELITA H.J.WAROUW, S.H.,M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2022
ABSTRAK

Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi selalu berorientasi

pada keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial.

Keadaan tersebut membuat korporasi dengan mudah melakukan tidak taat terhadap

peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini mengingat masih banyaknya

pelanggaran hukum pidana ketengakerjaan yang tidak diproses hukum. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh korporasi terhadap

buruh kaitannya dengan tindak pidana ketenagakerjaan. Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif. Tehnik analisis yang

digunakan adalah analisis kualitatif dengan dukungan data sekunder berupa dokumen

undang-undang. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa oleh karena

korporasi memerlukan suatu konsep pertanggungjawaban yang berbeda dengan

manusia maka pertanggungjawaban pidana korporasi tidak memerlukan adanya

kesalahan sebagaimana dijelaskan dalam teori strict liability; pertanggungjawaban

pidana korporasi dapat didasarkan pada adanya hubungan majikan-bawahan

sebagaimana dijelaskan dalam teori vicarious responsibility ; pertanggungjawaban

pidana korporasi yang didasarkan pada mensrea korporasi, yakni bahwa atasan

korporasi sebagai otak dari suatu tindakan yang menjadi dasar adanya mensrea

sebagaimana dijelaskan dalam teori Identifikasi.

Kata Kunci : Kejahatan Korporasi, Teori Pertanggungjawaban, Ketenagakerjaan


ABSTRACT

A corporation is an organized collection of people and/or wealth, whether it

is a legal entity or a non-legal entity. Corporations are always profit-oriented

without regard to social aspects. This situation makes it easy for corporations to

disobey applicable laws and regulations. This is because there are still many

violations of the criminal law of employment that are not processed by the law. This

study aims to determine the criminal liability by corporations towards workers in

relation to labor crimes. The research method used in this study is normative

research. The analysis technique used is qualitative analysis with the support of

secondary data in the form of statutory documents. Based on the results of the study,

it was concluded that because corporations require a different concept of liability

from humans, corporate criminal liability does not require errors as explained in the

theory of strict liability; the criminal liability of the corporation can be based on the

presence of an employer-subordinate relationship as described in the theory of

vicarious responsibility ; corporate criminal liability based on corporate mensrea,

namely that the supervisor of the corporation as the brain of an action on which the

existence of mensrea is based as explained in the theory of Identification.

Keywords : Corporate Crime, Theory of Liability, Employment


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa reformasi saat ini telah banyak perubahan yang terjadi pada

negara ini. Perubahan tersebut banyak terjadi dari berbagai aspek kehidupan

dan kenegaraan. Hal tersebut memiliki berbagai penafsiran yakni pada

perubahan kearah yang lebih baik atau kepada suatu penurunan dari kualitas

hidup dan bernegara. Masalah-masalah yang dewasa ini makin banyak di

alami negara kita merupakan salah-satu contoh yang dapat menafsirkan

adanya perubahan kearah yang lebih baik atau sebaliknya.

Hampir disemua negara saat ini, masalah ketenagakerjaan atau

perburuhan selalu tumbuh dan berkembang, baik di negara maju maupun

berkembang, baik yang menerapkan ideologi kapitalisme maupun sosialisme.

Hal itu terlihat dari selalu adanya departemen yang mengurusi

ketenagakerjaan pada setiap kabinet yang dibentuk. Hanya saja realitas tiap

negara memberikan beragam problem riil sehingga terkadang memunculkan

berbagai alternatif solusi. Umumnya, negara maju berkutat pada problem

ketenagakerjaan yang berkait dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga kerja,

bertambahnya pengangguran karena mekanisasi (robotisasi), tenaga kerja

ilegal, serta tuntutan penyempurnaan status ekonomi, sosial bahkan politis.


Sementara di negara berkembang umumnya problem ketenagakerjaan berkait

dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka penganguran, rendahnya

kemampuan sumber daya manusia tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah,

jaminan sosial nyaris tidak ada. Belum lagi perlakuan penguasa yang

merugikan pekerja (buruh), seperti perlakuan buruk, tindak asusila,

penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab dan beribadah dll.

Mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diterapkan

selama ini juga banyak mengalami kegagalan. HIP yang menekankan

hubungan kemitraan berasaskan kekeluargaan, cenderung untuk mengikat

kesetiaan buruh dengan dalih kesetiaan pada ideologi. Pada pelaksanaannya

HIP justru telah mengebiri berbagai hak kaum buruh, lebih memenangkan

kepentingan pengusaha.

Hal tersebut diatas dapat digambarkan bahwa banyak permasalahan di

negara ini khususnya mengenai ketenagakerjaan. Di sini penulis beranggapan

bahwa masalah yang timbul mengenai ketenagakerjaan sangat berhubungan

sekali dengan perusahaan yang memperkerjakan para kaum buruh. Hasil

didapatkan adanya sangkaan perbuatan hukum yang dilakukan pada kaum

buruh adalah berasal dari suatu korporasi sebagai perusahaan yang

memperkerjakan. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi lebih khusus

mengenai kejahatan korporasi yang di lakukan oleh korporasi terhadap kaum

buruh tersebut.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana alasan dan motif kejahatan korporasi yang di lakukan terhadap

kaum buruh?

2. Bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidana kejahatan oleh

korporasi terhadap kaum buruh?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Alasan dan Motif Kejahatan Korporasi yang Dilakukan Terhadap Kaum

Buruh

Guiding Principle of Crime Prevention and Criminal Justice in the

Context of Development and a New International Economic Order yang

dihasilkan kongres PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Ketujuh pada tahun

1985 di Milan Italia, mengingatkan perlunya perlindungan khusus terhadap

bentuk-bentuk kelalaian (yang dapat terjadi dalam aktivitas korporasi) yang

bersifat kriminal dalam bidang kesehatan masyarakat (public health), kondisi

atau pesyaratan keamanan tenaga kerja (labour conditions), eksploitasi

sumber-sumber alam dan lingkungan (exploitation of natural resources and

environment), serta persyaratan pengadaan barang dan pelayanan konsumen

(the provision goods and services of consumers). Peninjauan kembali atas

perbuatan yang dinyatakan dilarang dan merupakan tindak pidana korporasi

merupakan hal yang perlu karena perubahan nilai-nilai menyebabkan

sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang tidak dicela

dan tidak dituntut pidana berubah menjadi perbuatan yang harus dicela dan

dipidana.
Kejahatan korporasi terhadap buruh atau tenaga kerja adalah yang

berupa perbuatan-perbuatan yang mengabaikan keamanan dan keselamatan

kerja buruh, karena itu berarti mengabaikan apa yang menjadi kepentingan

dari para buruh yang bersangkutan. Buruh yang setiap hari bekerja dalam

lingkungan kerja tertentu, dengan debu yang berterbangan, asap pengecoran

dalam produksi yang selalu dihirup, suara gemuruh dari mesin-mesin

penggilingan dan sebagainya, dalam waktu tertentu akan menimbulkan

penurunan kualitas kesehatan buruh.

Perhatian mengenai lingkungan kerja atau ruang kerja dalam

hubungannya dengan kesehatan dan keselamatan buruh dalam menjalankan

kegiatan produksi suatu perusahaan, bukanlah hal yang dicari-cari. Sebab,

dalam kegiatan produksi, gangguan kesehatan dan atau kecelakaan setiap saat

dapat terjadi, yang dalam hal ini disebabkan oleh bahan-bahan bakar yang

digunakan, mesin-mesin yang digunakan dan proses pengolahan serta faktor-

faktor penyebab lainnya. Hal ini sengaja dikemukakan atas dasar

pertimbangan sebagai berikut : (a) setiap tenaga kerja (buruh) berhak

mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan

untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas

nasional, (b) setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin

keselamatannya dan (c) setiap sumber (bahan) produksi perlu dipakai dan

dipergunakan secara aman dan efisien.


Dari segi peraturan perundang-undangan, sebenarnya sudah cukup

banyak aturan-aturan yang memberikan perlindungan kepada buruh. Namun

masih banyak perusahaan-perusahaan (korporasi) yang tidak menghiraukan

akan keamanan dan keselamatan kerja buruhnya. Hal ini bisa merupakan

kesengajaan atupun kealpaan korporasi. Apabila hal ini merupakan

kesengajaan, tentunya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang

sebesar-besarnya.

Berdasarkan penjelasan materi di atas peluang kejahatan yang di

lakukan oleh pihak korporasi adalah bersifat ke alpaan dan efek dari pekerjaan

buruh tersebut. Lebih dalam penulis membahas tentang kejahatan yang

mungkin bisa secara langsung mengakibatkan kerugian pada kaum buruh.

Menurut penulis di sini justru lebih pada identifikasi dari pihak korporasi

yang bersifat sebagai tindak pidana yang di lakukan oleh pihak yang memiliki

jabatan di atas kaum buruh atau bisa sebagai pemilik perusahaan. Sebelum

mengarah pada hal tersebut penulis ingin menerangkan tentang pengertian

serta faktor-faktor yang ada pada kejahatan oleh pihak-pihak tersebut. Seperti

halnya sebagai berikut :

Ciri-ciri White Collar Crime (WCC):

1. Dampak kejahatan yang luas

2. Dilakukan oleh oknum-oknum pejabat/orang terpandang


3. Implementasi kejahatan dengan mnggunakan jabatannya

Faktor-faktor:

1. Sikap untuk pejabat atau orang terpandang yang lemah

2. Kurangnya sarana kontrol atau pengawasan dari pemerintah

3. Diabaikannya profesionalitas serta etos kerja

4. Rumitnya sistem birokrasi

5. Penegakan hukum yang sempoyongan

6. Carut-marutnya hukum serta intervensi politik dan kepentingan

Adanya WCC pada kejahatan korporasi terhadap buruh yang dampaknya

secara langsung dapat di lihat pada UU No. 3 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan dalam pasal 53 yang menyatakan bahwa, “Segala hal

dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja

dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha”. Jika di

hubungkan dengan pasal 55 yang menyatakan, “Perjanjian kerja tidak dapat

ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak”.

Menurut hemat penulis kedua pasal tersebut justru memberikan peluang

kepada pihak pengusaha untuk melakukan kejahatan terhadap buruh dengan

motif campur-aduk hukum serta intervensi politik dan kepentingan. Dilihat

dari adanya peluang yang disebabkan akbat pemberian tanggung jawab penuh
atas segala hal dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian hubungan kerja pada

pihak pengusaha sehingga dapat menyebabkan penyelewengan.

B. Pertanggungjawaban Pidana Kejahatan oleh Korporasi terhadap Buruh

Zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat sudah

sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu

kejahatanpun juga harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana mungkin konsep dengan kaca mata

klasik digunakan untuk memotret terhadap gejala-gejala yang timbul dan

terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang sudah semakin canggih dan

modern ini. Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang sekarang

berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti

bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping

dilakukan oleh subjek hukum manusia, namun juga dapat dilakukan oleh

pelaku yang disamakan dengan manusia yaitu korporasi. Dengan demikian

tentu saja kaca mata lama sudah tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap

bersikukuh untuk digunakan pada masa sekarang. Maka mau tidak mau fokus

kajian kriminologi harus mengembangkan diri yaitu lewat telaah kritis

terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan masyarakat yang serba

modern.

KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam arti belum mengenal korporasi


sebagai subjek tindak pidana. KUHP yang digunakan sampai saat ini masih

menganut paham bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia

(naturalijk person). Pasal 59 KUHP,“ adalah Dalam hal-hal dimana

pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan

pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus

atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak

pidana”. Makna tersebut adalah bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan

oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. KUHP hanya mengatur

perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang

pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu. Pembatasan

pengertian inilah yang kemudian telah menutupi atau melindungi badan

hukum dari segala tindak kejahatan yang telah dilakukan. Dengan

mengatasnamakan badan hukum (korporasi) para pelaku menjadi aman dan

terlindungi dari jerat hukum dan dapat bebas bertindak. Tidak ada sanksi

hukum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut karena

pada saat itu tidak ada pengaturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban

pidana bagi badan hukum. Tuntutan-tuntutan yang dapat dimintakan hanya

berkaitan dalam lingkup keperdataan saja misalnya dengan meminta

pembayaran ganti kerugian karena tindakan badan hukum keperdataan yang

telah merugikan subjek hukum lain. Adanya tindak pidana yang tidak diatur

didalam KUHP agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvaccum) maka

untuk menghindarinya diberlakukan Hukum Pidana Khusus. Hukum Pidana


Khusus merupakan Undang-Undang pidana yang memiliki penyimpangan

dari, baik dari segi Hukum Pidana Formil maupun dari segi Hukum Pidana

Materiilnya. Hal tersebut diperlukan atas dasar kepentingan hukum. “Seperti

Undang-Undang Darurat No. 7 Drt 1955 tentang tindak Pidana Ekonomi,

UndangUndang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Undang-

Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UndangUndang No. 22

Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang

lingkungan hidup, UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

korupsi”.

Perluasan subjek hukum di dalam Undang-Undang ini menjadi salah

satu kekhususan tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana lain, yaitu

dapat dipidananya korporasi (badan hukum) yang tidak terdapat dalam

KUHP. Penetapan korporasi sebagai pelaku dan juga sebagai yang

bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan

korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu

ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak

cukup. Di dalam delik korupsi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai

hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah

diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan pidana itu, adalah lebih

besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Tujuan dari

pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu memberikan suatu dampak

penting bagi direktur untuk mengatur manajemen yang efektif agar


korporasinya berjalan sesuai dengan kewajiban korporasi tersebut.

Pemidanaan terhadap korporasi, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama

dengan hukum pidana pada umumnya, yaitu :

1. Untuk menghentikan dan mencegah kejahatan di masa yang akan datang.

2. Mengandung unsur penghukuman yang mencerminkan kewajiban

masyarakat untuk menghukum siapapun yang membawa kerugian.

3. Untuk merehabilitasi para penjahat korporasi.

4. Pemidanaan korporasi harus mewujudkan sifat kejelasan, dapat diperdiksi

dan konsitensi dalam prinsip hukum pidana secara umum

5. Untuk efisiensi, dan

6. Untuk keadilan.

Pertanggungjawaban pidana korporasi penting untuk dimintakan

karena sangat tidak adil apabila perusahaan-perusahaaan yang mengabaikan

regulasi yang ditetapkan lepas dari jeratan hukum padahal perbuatan

perusahaan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Kedudukan

korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban

pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi antara lain :

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung

jawab

Model pertanggungjawaban pidana korporasi dimana pengurus

korporasi sebagai pembuat dan sekaligus sebagai yang bertanggungjawab,

pada hakikatnya dijiwai oleh asas “societas / universitas delinquere non


potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Sistem

pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak

pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Mengenai

pengurus korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab, maka

terhadap pengurus diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya

adalah kewajiban korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu

diancam dengan pidana. Sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan

pidana. Dasar pemikirannya adalah korporasi tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap sutau pelanggaran, melainkan selalu

penguruslah yang melakukan delik itu. Menentukan Pertanggungjawaban

pidana korporasi dengan menggunakan sistem ini dapat ditentukan

beberapa illustrasi :

a) Berkaitan dengan fungsi, yakni: perbuatan yang dilakukan atas

diperintahkan oleh pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatan

tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan pengurus,

maka tidak berwenang mengambil keputusan yang mengikat untuk

korporasi dalam melakukan tindak pidana.

b) Pengurus atau pegawai korporasi yang tidak ada kaitannya dengan

tugas dan pekerjaan pengurus tidak memiliki kewenangan untuk

mengambil keputusan yang mengikat korporasi dalam melakukan atau

tidak melakukan perbuatan itu agar dilakukan oleh orang lain,

merupakan yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud korporasi


sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasarnya maka

korporasi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab.

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan pengakuan yang

timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat

dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi

tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan usaha

(korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana tersebut

beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau

dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara

sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi dapat

menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang bertanggungjawab

adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam

peraturan itu. Sistem pertanggungjawaban yang kedua ini sejalan dengan

sistem pertanggungjawaban yang pertama namun perbedaannya disini

adalah, bahwa hal korporasi sebagai badan usaha yang dapat dijadikan

pelaku kejahatan telah dapat diterima, namun dalam hal korporasi

melakukan kejahatan, tidak mungkin tanpa kehendak dari pengurusnya.

Disini ditegaskan bahwa korporasi sebagai pembuat, sedangkan pengurus

ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab. Hal ini berkenaan dengan

pandangan bahwa apa yang dilakukan oleh korporasi merupakan apa yang

dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang


berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan korporasi

merupakan tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus

dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak

pidana itu yaitu onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi

bertanggung jawab secara pidana, terlepas dari apakah dia mengetahui

atau tidak mengenai dilakukannya perbuatan itu. Pandangan ini juga

sejalan dengan pandangan Roeslan Saleh yang setuju bahwa prinsip ini

hanya berlaku untuk pelanggaran saja.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

Yang menjadi motivasi dari model pertanggungjawaban ini yaitu

dengan memerhatikan perkembangan korporsi itu sendiri. Ternyata untuk

beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat

dipidana ternyata tidak cukup. Dalam delik ekonomi bukan mustahil

denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus, jika

dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korproasi

dengan melakukan perbuatan itu, atau kerugian yang ditimbulkan dalam

masyarakat, atau yang diderita saingannya, keuntungan dan/atau kerugian

itu lebih besar jumlahnya daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana.

Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa

korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh

undang-undang itu. Karenanya, diperlukan pula untuk memidana

korporasi dan pengurus atau pengurusnya saja.


4. Pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula

yang bertanggung jawab

Alasan – alasan pembebanan pertanggungjawaban pidana

korporasi khususnya menyangkut terhadap pengurus dan korporasi

sebagai pelaku tindak pidana dan pula yang bertanggung jawab, dapat

diberlakukan terhadap keduanya. Pertama, apabila hanya pengurus yang

dibebani pertanggungjawaban pidana, maka tidak adil bagi masyarakat

yang telah menderita kerugian akibat perbuatan pengurus yang bertindak

atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan

bagi korporasi. Kedua, apabila hanya korporasi yang dibebani

pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurus tidak memikul tanggung

jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap

lempar batu sembunyi tangan. Korporasi sebagai suatu subyek hukum,

pertanggungjawabannya dapat berasal dari perundang-undangan atau

ketentuan umum lainnya, dari tindakan atau kelalaian para direktur,

pekerja atau agennya. Meski demikian, tidak dapat dikatakan bahwa

pertanggungjawaban seorang direktur atau agen itu sepenuhnya

dilimpahkan pada korporasinya, karena secara umum harus ditemukan

terlebih dahulu pelanggaran dari peraturan tertentu oleh korporasi barulah

dipertanyakan siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut

untuk dimintakan pertanggungjawaban.


Masalah ketenagakerjaan adalah salah satu masalah pokok yang harus

dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia . Tidak

hanya masalah hubungan industrial antara pekerja/ buruh dengan pengusaha

saja, melainkan terdapat masalah hukum dalam ranah pidana yang sering kali

sulit dalam penegakannya. Hukum ketenagakerjaan tidak hanya mengatur

ranah hukum privat, yaitu hubungan antara pekerja/ buruh dengan pengusaha

saja, melainkan adakalanya hukum ketenagakerjaan bersentuhan dengan ranah

hukum pidana, ranah pidana yang terdapat dalam hukum ketenagakerjaan

terdapat dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan ataupun dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2000

Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Tindak pidana di bidang

ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana kejahatan

dan tindak pidana pelangggaran. Tindak pidana kejahatan, yaitu antara lain

sebagaimana diatur dalam :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

ketenagakerjaan, yaitu :

a. Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima ) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


b. Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda

paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

c. Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2),

Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4)

dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang

Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu :

a. Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa

pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan

sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5

(lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).
3. Sedangkan tindak pidana pelanggaran, yaitu antara lain sebagaimana

diatur dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :

a. Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137

dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling

sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).

b. Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal

67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat

(1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144, dikenakan sanksi

pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua

belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta

rupiah).

c. Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal

78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal

148., dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00


(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus

ratus juta rupiah).

Maka setiap orang baik itu perseorangan maupun badan hukum/

korporasi wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila melakukan

tindak pidana baik pelanggaran maupun kejahatan sesuai yang tercantum

dalam rumusan delik ketenagakerjaan diatas

Penegakan hukum pidana ketenagakerjaan bisa menggunakan

beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:

1. Teori Strict Liability

Pada negara-negara common law teori strict liability atau liability

without fault ini terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-

undang (statutory offences atau regulatory offences), yang pada umumnya

merupakan delikdelik terhadap kesejahteraan umum. Sedangkan di

Belanda, sejak adanya Water en Melk arrest tahun 1916, ajaran ini tidak

dibenarkan untuk dianut lagi. Sejak pertengahan abad ke-19, asas

tanggung jawab mutlak (strict liability) telah diperkenalkan, sekurang-

kurangnya untuk beberapa kasus, yang sebagian besar adalah berkaitan

dengan risiko lingkungan dan keamanan/kesehatan makanan, termasuk

consumer protection, di rsamping ketertiban umum, fitnah atau

pencemaran nama baik, dan contempt of court, serta pelanggaran lalu

lintas. Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi

tindak pidana kesejahteraan masyarakat (public welfare offences) yang


bersifat tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana denda. Strict

liability atau absolute liability atau liability without fault atau tanggung

jawab mutlak ini dimaknai oleh Black ‘s Law Dictionary sebagai:

“Liability that does not depend on actual negligence or intent to harm, but

that is based on the breach of an absolute duty to make something safe.

Strict liability most often applies either to ultra hazardous activities or in

pmducts liability case.” Konsep strict liability di negara-negara common

law diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan

ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak,

yakni tidak adanya persyaratan tentang kesalahan; dalam artian tidak

dibutuhkan adanya proof of fault, dan cukup dibuktikan bahwa pelaku

telah melakukan actus reus, yaitu perbuatan yang dilarang oleh ketentuan

hukum pidana. Dengan kata lain, seorang bertanggung jawab untuk setiap

kemungkinan kerugian bagi orang lain sebagai akibat perbuatannya.

Meski begitu, jika perseroan dapat membuktikan kesungguhannya untuk

tidak terjadinya hal yang dilarang atau kekurangsungguhan itu ada pada

orang yang bukan bagian dari penjelmaan company, itu adalah escape

liability bagi company dimaksud. Maka dalam hal ini ketika pengusaha

yang merupakan korporasi yang telah benar-benar melakukan tindak

pidana ketenagakerjaan yang sesuai dengan rumusan delik dan sebagai

akibat perbuatannya telah merugikan pekerja/ buruh maka pengusaha


tersebut dapat dipidana tanpa harus membuktikan unsur kesalahan/

mensrea.

2. Teori Vicarious Liability

Teori ini pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan,

apakah terhadap seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan. Secara

pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pertanyaan ini

muncul karena pada dasarnya pertanggungjawaban pidana itu merupakan

hal pribadi. Vicarious liability diartikan sebagai: “liability that a

supervisory party (such as an employer) bears for the action- able

conduct of a subordinate or associate (such as an employee) based on the

relationship between the two parties.” Secara umum tidak dimungkinkan

adanya permintaan pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang

atas tindak pidana yang dilakukan orang lain karena pertanggungjawaban

pidana itu sifatnya personal dan seseorang itu dipidana akibat dari

kesalahannya sendiri dan bukan akibat kesalahan orang lain.

Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada

diri pembuatnya ada unsur kesalahan, dengan vicarious liability diberikan

pengecualian, di mana seorang lain bertanggung jawab atas perbuatan

yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya, seorang majikan dinyatakan

bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan

pegawainya meskipun pengusaha itu tidak mengetahui, atau tidak

memberikan kewenangan, atau tidak berpartisipasi dalam tindak pidana


yang dilakukan bawahannya atau yang timbul karena hubungan delegasi

antara seorang pemegang izin usaha dan orang yang menyelenggarakan

usahanya. Majikan dimaksud bisa orang alamiah, bisa pula dalam bentuk

korporasi. Jadi, penanggungjawaban dalam vicarious liability bukan

ditujukan atas kesalahan orang lain, melainkan terhadap “hubungannya”

dengan orang itu. Doktrin vicarious liability ini, yang disebut juga

respondent superior, sebenarnya merupakan hasil dari pengadopsian dari

prinsip yang ada pada hukum perdata, yaitu pada perbuatan melawan

hukum, di mana dikenal suatu prinsip bahwa majikan akan bertanggung

jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh karyawannya,

sepanjang karyawan itu bertindak dalam lingkup pekerjaannya. Doktrin ini

berkembang didasari pertimbangan bahwa karena majikan yang mendapat

keuntungan dari pekerjaan bawahannya, majikan pula yang seharusnya

bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Dalam lapangan hukum

pidana, teori ini secara serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea

karena teori ini berpendirian bahwa kesalahan seseorang secara otomatis

dapat diatribusikan kepada pihak lain yang tidak mempunyai kesalahan

apa pun meskipun dalam hukum pidana unsur kesalahan adalah suatu

unsur yang mutlak keberadaannya bagi pertanggungjawaban. Salah satu

alasan bahwa teori perbuatan melawan hukum di lapangan hukum perdata

diimpor ke dalam hukum pidana adalah karena pengadilan tidak bisa

mengembangkan teori yang menjawab mengapa perkembangan dalam


hukum perdata tidak bisa diimplementasikan pula dalam lapangan hukum

pidana. Sehingga apabila salah seorang bawahan yang melakukan tindak

pidana dan perbuatan tersebut dilakukan masih dalam ruang lingkup

pekerjaan yang diberikan oleh atasannya, maka atasan tersebut dapat

dipidana berdasarkan konsep vicarious liability ini.

3. Teori Identifikasi

Terhadap doktrin bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum

yang mandiri, akan menimbulkan permasalahan hukum apabila bertemu

dengan bagian dari hukum yang berlaku terhadap orang alamiah, yang

membutuhkan penilaian terhadap keadaan mental seseorang, dalam

kaitannya dengan pengenaan pertanggungjawaban. Dalam hal demikian,

pengadilan telah mengambil jalan menerapkan teori organ, yang

menyamakan badan hukum itu selayaknya manusia dengan

organorgannya, yang salah satu organnya adalah pusat pikiran atau otak.

Dengan mempergunakan teori organ, pengadilan bisa secara bijaksana

menetapkan dan memperlakukan “the state of mind of the senior officers

of the company as being the state of mind of the company. Thus, the

directing mind theory seems to represent a middleground between strict

liability and no liability”. Penerapan teori organ pada korporasi dalam

kaitannya dengan hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang riil, yang

mampu melakukan perbuatan yang merugikan pihak lain dalam pengertian

pidana. Teori ini dinamakan teori identifikasi, di mana menurut teori ini
korporasi bisa melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang-

orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang

sebagai korporasi itu sendiri, sepanjang tindakan yang dilakukan itu

terkait dengan korporasi, dilakukan oleh orang yang berkapasitas atau

berwenang untuk itu, dan dilakukannya secara intra vires. Teori

identifikasi ini atau yang disebut juga alter ego theory, berkembang dalam

rangka untuk membuktikan bahwa suatu korporasi bisa langsung

bertanggung jawab secara pidana karena pada dirinya terdapat mens rea.

Teori ini juga dianggap sebagai penyeimbang antara penerapan doktrin

vicarious liability yang bisa terjadi secara ekstrem, dengan tidak ada

tanggung jawab korporasi sepanjang pengurusnya yang ada menurut

anggaran dasarnya tidak melakukan tindak pidana. Teori identifikasi ini

sangat erat dengan apa yang dinamakan directing mind and will dari suatu

company, yang mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, harus dapat

diidentifikasikan oleh penuntut umum bahwa tindak pidana itu dilakukan

oleh mereka yang merupakan “directing mind” dari korporasi. Doktrin

identifikasi mengartikan bahwa company dianggap mempunyai mens rea.

Hukum bertugas untuk mencari dan mengidentifikasikan siapa yang

menjadi “otak” dan pikiran dari company, yang perbuatannya dapat dan

harus diatribusikan atau dihubungkan dengan company. Penghubungan itu

bukan karena orang tersebut adalah “pelayan” dari company, melainkan


karena oleh hukum mereka dianggap dan diidentifikasikan sebagai

company itu sendiri. Sehingga apabila suatu perusahaan/ korporasi yang

melakukan tindak pidana ketenagakerjaan menurut teori identifikasi ini

bisa dipidana, karena perushaaan/ korporasi dianggap sebagai organ yang

memiliki atasan yang dianggap sebagai otak korporasi yang membuktikan

adanya mesrea dan memiliki bawahan yang dianggap sebagai tangan atau

kaki korporasi yang membuktikan adanya actus reus dari korporasi

tersebut.
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Setiyono.2005. Kejahatan Korporasi. Malang, Bayu Media

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai