Keberlanjutan atau sustainability perusahaan tidak akan dapat terjaga apabila tidak
mempertimbangkan kepentingan pemangku kepentingan apabila tidak dipertimbangkan
dalam pengambilan keputusan perusahaan. Dalam menjalankan kegiatan operasional
sehari-hari, perusahaan akan berhubungan dengan banyak pihak, mulai dari karyawan,
pemasok, pembuat regulasi, konsumen, dan sebagainya. Seluruh pihak tersebut, baik yang
memiliki hubungan langsung maupun tidak, merupakan pemangku kepentingan perusahaan
yang harus diperhatikan kesejahteraannya.
Pembahasan
1. Hak stakeholders yang dibentuk oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama
yang dihormati setiap pihak.
2. Dimana kepentingan stakeholders yang dilindungi oleh hukum, stakeholders
sebaiknya memiliki kesempatan untuk memperoleh kepastian hukum atas
pelanggaran haknya.
3. Mekanisme untuk partisipasi pekerja sebagai stakeholders harus ditingkatkan
4. Dimana para stakeholder berpartisipasi dalam proses CG maka mereka harus
mendapat akses atas informasi yang relevan, cukup, dan dapat diandalkan secara
periodik dan regular.
5. Stakeholders (termasuk di dalamnya pekerja individu, organisasi yang
merepresentasikan pekerja tersebut) harus daoat mengkomunikasikan concern atas
hal illegal dan praktik tidak etis kepada direksi dan kepada otoritas publik yang
kompeten. Hak mereka melakukan ini tidak boleh dikesampingkan.
6. Kerangka corporate governance harus diiringi dengan kerangka kebangkrutan yang
efektif dan efisien atas hak kreditor.
II. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang Terkait dengan
Perlindungan Pemangku Kepentingan
1. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990)
2. Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)
3. Perlindungan Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003)
4. Perlindungan kepada Penanam Modal (Investor)
5. Perlindungan terhadap Kompetitor
6. Perlindungan terhadap Kreditur (UU No. 42 Tahun 1999)
7. Perlindungan terhadap Whistleblowers
Perlindungan Konsumen
Setiap konsumen sebagai orang yang mengonsumsi barang dan jasa yang diproduksi
oleh pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pengetahuan tentang hak dan
kewajiban konsumen sangat penting agar dapat bertindak sebagai konsumen yang cerdas
dan paham akan pemenuhan hak dan kewahibannya. Tujuannya adalah jika terjadi tindakan
yang tidak adil terhadap dirinya, konsumen dapat bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak dan kewajibannya tersebut.
Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 pun telah menjabarkan hak-hak konsumen yang di antaranya
terdiri dari: (1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa; (2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa; (4) Hak untuk didengar pendapat
keluhannya atas barang/jasa yang digunakan; (5) Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; (6)
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; (7) Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif; (8) Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan (9) Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999, kewajiban Konsumen menurut terdiri dari :
Perlindungan Ketenagakerjaan
Pengertian tenaga kerja berdasarkan pasal 1 ayat 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Sedangkan pengertian pekerja atau buruh terdapat
di pasal 1 ayat 3 UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa
pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.
Dalam UU No.13 Tahun 20013, secara lebih jelas mengatur tentang perlindungan
pekerja/buruh yang termasuk di dalamnya tentang perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan
penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial
tenaga kerja. Secara prinsip, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Perlindungan Sosial
Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan kerja bertujuan
untuk melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan hubungan
kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh
melakukan pekerjaannya. Peraturan tersebut tercantum dalam Bab X UU No 13
Tahun 2003.
2. Perlindungan Teknis
Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
Keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja, tetapi
kepada pengusaha dan pemerintah. Hingga saat ini, peraturan perundang- undangan
tentang keselamatan kerja diatur dalam UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan
kerja.
Bagi pekerja, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan
menimbulkan suasana kerja yang aman, sehingga pekerja dapat memusatkan
perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir bila suatu saat
mengalami kecelakaan kerja. Salah satu contohnya adalah prosedur pakaian dan
kewajiban menggunakan helm di dalam pabrik manufaktur Toyota.
Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya
akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan
pengusaha harus memberikan jaminan sosial. Salah satu contohnya adalah
prosedur menyebrang jalan di kawasan PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia yang dipublikasikan melalui standing banner yang dipasang di setiap
lantai kantor.
Bagi pemerintah dan masyarakat, dengan ditaatinya peraturan keselamatan
kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi barang
dan jasa pelaku usaha.
3. Perlindungan Ekonomis
Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila
tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. Penyelenggara program
jaminan sosial, seperti BPJS yang ada saat ini, merupakan salah satu tangung jawab
negara untuk memberikan perlindungan sosial-ekonomi kepada masyarakat. Sesuai
dengan Undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, No, 3 Tahun 1992 Pasal 10,
jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang
atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami
oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan
meninggal dunia.
Undang- undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanam Modal, setiap penanam
modal memiliki hak untuk mendapat : (1) Kepastian hak, hukum, dan perlindungan; (2)
Informasi terbuka mengenai usaha yang dijalankan; (3) Hak pelayanan; dan (4) Berbagai
bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Salah satu masalah yang terjadi pada investor adalah ketika investor tidak bisa
mendapatkan deposito ketika jatuh tempo. Dalam hal ini, Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) yang akan membayar tabungan investor tersebut. Atas penjaminan ini, bank-bank
diwajibkan membayar premi yang ditentukan LPS. Demikian juga seseorang yang telah
menjual saham di bursa sudah mempunyai kepastian untuk mendapatkan dana pada periode
T+3 yang dibayarkan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI). LPS dan KPEI
memiliki aturan yang dibuat berdasarkan undang-undang.
Sering juga dijumpai konsumen mendapatkan barang yang dibeli tidak sesuai
dengan aslinya. Oleh karena itu, investor yang bertransaksi di pasar modal juga perlu
dilindungi dari kepalsuan produk keuangan yang ditransaksikan. Regulasi yang dibuat
adalah membuat produk yang ditransaksikan tersebut tidak beredar seperti barang
konsumsi, tetapi tercatat dalam sebuah kustodian, dalam hal ini PT Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI). KSEI juga menjamin barang yang dijual secara pasti ada dan secara pasti
tersimpan sebagai milik pembeli setelah transaksi berlangsung.
Salah satu cara untuk melindungi kepentingan kreditor (sebagai penerima fidusia, di mana
fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda) adalah dengan memberikan ketentuan yang pasti akan Kreditur.
Diaturnya data yang lengkap yang harus termuat dalam jaminan Fidusia (Pasal 6 UUJF),
secara tidak langsung memberikan pegangan yang kuat bagi kreditur sebagai penerima
fidusia, khususnya tagihan mana yang dijamin dan besamya nilai jaminan, yang
menentukan seberapa besar tagihan kreditur preferen.
Maksud atau tujuan dari perjanjian jaminan fidusia dari segi perlindungan hukum bagi
kreditur adalah memberikan hak istimewa atau hak didahulukan baginya guna pelunasan
hutang-hutang. Lebih jauh perlindungan hukum terhadap hak atas piutang yang
didahulukan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 27 UUJF : (1) Penerima fidusia memiliki
hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya; (2) Hak didahulukan sebagaimana,
dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia; dan (3) Hak yang
didahulukan dan penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi
pemberi fidusia.
Perlindungan yang sama juga dapat dilihat dalam Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi : Pemberi
fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda
yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dan penerima fidusia.
Sanksi terhadap ketentuan di atas adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
UUJF, yang berbunyi : Setiap orang dengan sengaja memalsukan, mengubah,
menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan,
yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan
fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000.- (seputuhjuta rupiah) dan paling
banyak Rp. 100.000.000.- (seratus juta rupiah)
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung no. 4 Tahun 2011, Mahkamah Agung
menerjemahkan istilah whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan
melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang
dilakukannya, atau bisa disebut sebagai seorang saksi. Perlindungan terhadap whistleblower
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena biasanya seorang whistleblower
menanggung risiko yang cukup besar atas perbuatannya mengungkap sebuah praktik
kecurangan dalam sebuah instansi. Perlindungan maksimal bagi whistleblower oleh seluruh
pihak yang terkait, baik pemerintah sebagai regulator maupun perusahaan atau organisasi
sebagai instansi merupakan salah satu indikator penerapan prinsip tatakelola yang baik
karena hal tersebut semakin meningkatkan transparansi dalam organisasi atau instansi
tersebut.
Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Namun beberapa ketentuan mengenai
perlindungan saksi, termasuk didalamnya whistleblower, diatur dalam UU no. 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diikuti dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung no. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana
(whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).
Selain itu pada UU no. 13 tahun 2006, diatur pula pembentukan sebuah lembaga
bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban. Lembaga ini
diharapkan dapat menjadi wadah dan tonggak perlindungan saksi dan korban dari berbagai
ancaman yang mereka terima akibat perbuatan mereka. Dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung no. 4 Tahun 2011, MA menghimbau kepada para hakim untuk memberikan
perlindungan hukum bagi para pelapor tindak pidana (whistleblower) sehingga mereka
tidak dapat dituntut baik dalam pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang
sedang, akan, atau telah diberikannya. Bagi pelapor tindak pidana yang juga berstatus
sebagai tersangka, MA menghimbau para hakim untuk mempertimbangkan adanya
pemberian keringanan pidana terhadap pihak tersebut, walaupun tidak dapat dibebaskan
sepenuhnya dari tuntutan pidana yang diberikan. Apabila pelapor tindak pidana
(whistleblower) dilaporkan juga oleh pihak terlapor, maka penanganan perkara atas laporan
yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibandingkan laporan yang
disampaikan pihak terlapor. Selain dituangkan dalam UU no. 13 tahun 2006 dan SEMA no.
4 tahun 2011, beberapa institusi pemerintahan seperti Kementerian Hukum dan HAM RI,
Jaksa Agung, Polri, KPK RI, Kejaksaan RI, dan LPSK mengeluarkan peraturan bersama
yang mengatur Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama untuk setiap kasus whistleblower yang terjadi atau ditangani oleh instansi-
instansi tersebut.
Saat ini memang belum ada peraturan yang khusus mengatur mengenai
whistleblower di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan
Republik Indonesia hanya mengatur perlindungan terhadap saksi secara umum dan
memasukkan whistleblower sebagai salah satu bagian dari saksi, sementara peraturan lain
yang membahas whistleblower secara lebih eksplisit belum memiliki kekuatan hukum yang
baik, karena peraturan-peraturan tersebut umumnya masih berupa Surat Edaran atau
peraturan bersama yang dikeluarkan beberapa instansi pemerintahan.
III. The principle of the role of stakeholders and the concept of corporate responsibility
Seperti yang kita ketahui bahwa stakeholders itu adalah sekumpulan group atau
individu yang mampu memberikan dampak terhadap perusahaan untuk mencapai tujuan
perusahaan yang baik. Dan tanggung jawab corporate dalam sosial sangat lah bergantung
pada kemajuan perusahaan tersebut. Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan
demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat
sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit
centre).
Program CSR merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Disisi lain masyarakat
mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi pada usaha memaksimalisasi
keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk mendistribusi
keuntungan-keuntungannya membangun masyarakat lokal, karena seiring waktu
masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang
diperlukan, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab sosial.
Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata
kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan tata kelola
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku pelaku bisnis
mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan
pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah
kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahan-
kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran
strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam
membentuk katup pengaman sosial (social security). Selain itu melalui CSR perusahaan
juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun
pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan
Dalam journalnya N. Li, A. Toppien yang berjudul Corporate responsibility and
sustainable competitive advantage in forest-basedindustry: Complementary or conflicting
goals?,. Bahwa ada hubungan timbal balik dalam Corporate Resposiblity (CR) dengan
peran stakholders. Jika perusahaan yang berbasis pada sistem industri hutan atau kita bisa
sebut perusahaan yang berfokus produksi pada kayu maka corporate resposibilty yang
diberlakukan tidak lah sama dengan CR pada perusahaan pada umumnnya, karena
perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan hendak dinyatakan sebagai perusahaan yang
bertanggung jawab sosial, maka prasyarat terpentingnya adalah ia tak boleh merusak hutan
sama sekali. Perusahaan itu harus mengelola sumberdaya hutannya secara berkelanjutan
(sustainable forest management), karena hanya dengan demikian saja maka dampak
keputusan dan operasinya bisa sesuai dengan definisi dan prinsip-prinsip CSR
Mereka yang berbasis kehutanan perlu terus meningkatkan inovasi-inovasi mereka
untuk berjangka panjang, CR tidak hanya untuk keuntungan semata dan untuk menuju
kesuskesan sosial tapi diberlakukaknnya strategi-strategi yang mengacu bagainaman
perusahaan yang berbasis hutan ini mampu mengelola kembali hutan-hutan yang sudah
mereka tebang, dilakukan tanam ulang. Jadi perubahan nilai-nilai fundamental dalam
perusahaan yang berbasis hutan ini perlu di terapkan.
IV. Penelitian Spitzeck, Heiko, dan Erik G. Hansen (2010) mengenai Stakeholder
Governance: bagaimana para stakeholders mempengaruhi pengambilan
keputusan perusahaan
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana stakeholder dengan suka rela
memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan di perusahaan. Berdasarkan data dari
Lehman Brothers, pada abad ke 18 terjadi 11 krisis perbankan, pada abada 19 18 krisis
perbankan, dan pada abad 20 terjadi 33 kali krisis keuangan. Berdasarkan krisis pada tahun
2008 diperkirakan pad abaad ke 21 akan terjadi 60 krisis yang terjadi. Melihat fenomena
tersebut, Peter Senge (2008) mengemukakan sebuah frasa bernama financial bubble di
mana bubble tersebut ditimbulkan karena adanya ekspansi keuangan yang berlebihan.
Dalam fenomena ini terdapat dua relitas yakni, inside bubble yang mengindikasikan orang-
orang yang terpengaruh ketika bubble terjadi, dan orang-orang yang sudut pandangnya
tidak terpengaruh atau outside bubble. Kemudian Senge melakukan penelitian lagi yang
kemudian menemukan permasalahan tata kelola dalam perusahaan. Dalam penelitian yang
dilakukan kali ini, sebuah poin penting yang ingin dipecahkan adalah bagaimana
menyelaraskan sudut pandang dari kedua sisi inside dan outside buble. Kemudian sebuah
solusi yang disebut sebagai Public Interest Directors (PID).
Penelitian ini didukung oleh dua teori, yakni teori Corporate Governance dan teori
stakeholder. PID erat kaitannya dengan teori stakeholder (costumer dan employee) yang
dianggap memiliki peran dalam keberlanjutan suatu perusahaan. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa perusahaan perlu memperhatian stakeholder-stakeholder yang dapat mempengaruhi
nilai perusahaan melalui hak suara dalam dialog strategis perusahaan. Teori stakeholder
diidentfikasikan dalam dua perspektif, yakni deskriptif dan normatif. Perbedaanya terletak
pada pandangan terkait nilai yang dibawa oleh stakeholder. Pandangan normatif
memperhatikan hak suara stakeholder yang mengandung nilai intrinsic dan hak moral yang
diyakini stakeholder dalam mempengaruhi keputusannya. Sedangkan pandangan secara
deskriptif meengidetifikasi dan mengklasifikasikan kekuasaan dalam suatu organisasi tanpa
memperhatikan value statements dari kekuasannya.
Metodologi Penelitian
Model penelitian yang digunakan terdiri dari 2 dimensi yaitu power (kekuatan) dan
scope (ruang lingkup). Dimensi Power merujuk kepada kekuatan yang dimiliki oleh
stakeholder dalam mempengaruhi keputusan perusahaan. Sedangkan scope merujuk kepada
ruang lingkup pengaruh yang diberikan stakeholder terhadap perusahaan. Dalam penelitian
kali ini, hanya mendapatkan 3 tingkatan scope yaitu: operasional, manajerial, dan stratejik.
Penelitian dilakukan pada 46 perusahaan dengan total 76 mekanisme stakeholder
engagement dalam mewujudkan stakeholder governance.
Hasil Penelitian
Hasil analisa penelitian ini disajikan dalam dua bentuk, yang pertama adalah dari segi
perbedaan level dari power dan scope, dan yang kedua disajikan dalam bentuk kluster dari
stakeholder governance mechanisms.
A. Perbedaan level dari power dan scope
Dialogue and issues advisory, menunjukkan adanya diversitas yang tinggi dalam
stakeholder. Dibutuhkan 2 tipe dialog strategis yaitu dialog secara luas dengan
mengikutsertakan seluruh stakeholder dan SAP (stakeholder advisory panels)
secara rutin.
Strategic advisory dan innovation, dengan scope yang tinggi tetapi power yang
rendah, maka lebih fokus pada SAP untuk merumuskan persoalan spesifik terkait
peluang bisnis yang dihadapi.
Issues collaboration, adalah kluster dengan scope yang terbatas namun memiliki
power yang tinggi. Hanya membutuhkan panel diskusi kecil dan spesifik namun
memiliki dampak yang besar bagi kebijakan perusahaan.
Strategic collaboration, perusahaan menganggap stakeholder sebagai partner dalam
berkolaborasi menentukan kebijakan strategis perusahaan. Fokus stakeholder yang
dimaksud dalam kluster ini adalah costumer. Poin penting lain yang ditemukan
penulis adalah semakin tinggi power maupun scope stakeholder, maka akan
semakin rendah diversitasnya.
C. Kesimpulan
Penelitian ini mengevaluasi bagaimana stakeholders dengan suka rela mempengaruhi
pengambilan keputusan di perusahaan yang mana menunjukan bahwa di samping
pendekatan integrasi secara tradisional, ada juga pendekatan inovatif lainnya untuk mem-
provide keberagaman power dan scope dari stakeholder untuk mempengaruhi keputusan
bisnis.
Kasus Asia Pulp and Paper Indonesia, merupakan sebuah kasus yang memberikan
gambaran kita secara besar mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap tidak hanya
pada pemilik saham (shareholder) tetapi juga kepada pemangku kepentingan (stakeholder).
Stakeholder terdiri dari individu ataupun lini bisnis yang terpengaruh dengan kebijakan
perusahaan, di dalam hal Asia Pulp and Paper Indonesia, stakeholder yang paling
terpengaruh dengan keputuan pailit atau gagal bayar terhadap utang sebesar $ 1,4 milyar
(1,4 Milyar US Dollar) adalah investor-investor yang membeli bonds atau surat utang
tersebut juga para bank-bank yang meminjamkan uang mereka (financing). Padahal
perusahaan APP mencatat keuntungan terus menerus dari tahun 1990 hingga masuk tahun
2000-an namun, pada tahun 2001 perusahaan APP menyatakan gagal bayar atas utang-
utang tersebut.
Ketika kita melihat struktur kepemilikan APP atau dalam hal ini keluarga Widjaja,
saham-saham perusahaan tersebut memang beredar secara bebas atau dalam Bahasa
bisnisnya bersifat terbuka, tetapi ini hanya dalam bentuk secara legalitas, karena pada
dasarnya saham itu tetap dimiliki oleh keluarga Widjaja tersebut. Sebagai contoh Lontar
Papyrus yang dimiliki sebesar kurang lebih 20% oleh Satria Perkasa Agung dan 80%
tersebut dimiliki oleh Pindo Deli, dimana baik Pindo Deli dan Satria Perkasa Agung
dimiliki oleh Purinusa Ekaspersada. Memang, pada dasarnya sturktur kepemilikan ini tidak
bermasalah dan bahkan tidak jarang sebuah perusahaan multi lini bisnis memiliki lini bisnis
yang kompleks. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah, dalam laporan keuangan atau
laporan yang diberikan kepada publik, banyak indikasi bahwa di laporan keuangan tersebut
terindikasi ada transfer pricing kebijakan financing atau pembiayayaan yang tidak sesuai
dengan nilai pasar atau kebijakan umum atau logika sehat. Sebagai contoh di dalam bisnis
yang mengurusi bubur kayu diharuskan membiayai perusahaan yang memotong atau
mengolah pohon di sektor hulu nya. Memang, secara materialitas hal ini bernilai kecil
dibandingkan pembiayaan yang diberikan oleh bank tetapi hal ini seharusnya sudah
menunjukkan sebuah tanda bahaya atau red flag.
Ketika kita melihat ini dari masalah luar, kita tidak bisa menyalahkan kesalahan ini
sepenuhnya dengan keluarga Widjaja karena pada dasarnya investor dapat melihat tanda
bahaya bahwa perusahaan APP ini terlilit dalam utang, tetapi tetap percaya karena
berlandaskan rasa percaya pada keluarga Widjaja, di sini juga stakeholder seharusnya
berpikir secara rasional dan tidak begitu saja memberikan pinjaman.
Bisnis Asia Pulp dan Paper merupakan lini bisnis yang dianggap salah satu paling
sehat dan diuntungkan, menurut investor-investor asing, dengan kejadian krisis 1998, hal
ini karena perusahaan APP membiayai barang-barang bahan mentah dan pekerja dengan
rupiah sementara perusahaan APP menjualnya dengan kurs dollar. Hal ini diperkuat laporan
keuangan yang memberikan kesan bahwa margin pendapatan mereka yang tinggi karena
mereka berhasil menekan biaya hingga ke titik tertentu. Seharusnya hal ini memberikan
keuntungan tersendiri bagi APP apalagi dengan krisis yang terjadi dalam negeri, namun
yang menjadi kenyataannya adalah APP menyatakan gagal bayar, seperti yang telah
disebutkan di atas, hal ini tidak lain karena biaya yang selama ini dianggap berhasil ditekan,
merupakan permainan akuntansi.
Apa yang dapat diambil dari kasus ini adalah pertama sebagai salah satu stakeholder
apalagi dalam kasus ini adalah peminjam duit, harus diperhatikan kembali skeptesism
profesional bahkan dari pihak perbankan, kita meskipun juga memiliki asas kepecaryaan
bahwa nilai dari perusahaan harus dievaluasi secara berkala dan evaluasi tersebut
menjadikan pertimbangan kita dalam memberikan pinjaman atau menilai nilai dari sebuah
perusahaan. Kita mengetahui bahwa keluarga Widjaja merupakan salah satu konglomerat
terbesar pada saat itu di Indonesia, dan pada dasarnya mereka dipercaya oleh berbagai
publik. Tetapi rasa kepercayaan saja tidak boleh dijadikan sebagai penilaian untuk
perusahaan tersebut.
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
OECD dan Central Bank Governors. Ensuring the Basis for an Effective Corporate
Governance Framework. G20/OECD Corporate Governance (2015): 37-39.
Spitzeck, Heiko and Erik G. Hansen. Stakeholder governance: how stakeholders influence
corporate decision making. Corporate Governance: The international journal of
business in society 10:4 (2010) : 378-391.