Anda di halaman 1dari 7

ANNISA RACHMASARI

125020300111050

ERIKA MARTHA WINDESI

125020307111003

ERNITA APRELIA GULTOM

125020307111031

FISKA ROSTRIA WIDENDA

125020307111076

Isu Perkembangan Etika Profesi Akuntansi


1.

BENTURAN KEPENTINGAN
Benturan kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan

kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama perusahaan.
Perusahaan menerapkan kebijakan bahwa personilnya harus menghindari investasi, asosiasi atau
hubungan lain yang akan mengganggu, atau terlihat dapat mengganggu, dengan penilaian baik
mereka berkenaan dengan kepentingan terbaik perusahaan. Sebuah situasi konflik dapat timbul
manakala personil mengambil tindakan atau memiliki kepentingan yang dapat menimbulkan
kesulitan bagi mereka untuk melaksanakan pekerjaannya secara obyektif dan efektif.
Benturan kepentingan juga muncul manakala seorang karyawan, petugas atau direktur,
atau seorang anggota dari keluarganya, menerima tunjangan pribadi yang tidak layak sebagai
akibat dari kedudukannya dalam perusahaan. Apabila situasi semacam itu muncul, atau apabila
individu tidak yakin apakah suatu situasi merupakan benturan kepentingan, ia harus segera
melaporkan hal-hal yang terkait dengan situasi tersebut kepada petugas kepatuhan perusahaan.
Apabila manajemen senior perusahaan menetapkan bahwa situasi tersebut menimbulkan
benturan kepentingan, mereka harus segera melaporkan benturan kepentingan tersebut kepada
komite pemeriksa.
Berikut ini merupakan berberapa contoh upaya perusahaan / organisasi dalam
menghindari benturan kepentingan :
1.

Menghindarkan diri dari tindakan dan situasi yang dapat menimbulkan benturan

kepentingan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.


2.

Mengusahakan lahan pribadi untuk digunakan sebagai kebun perusahaan yang dapat

menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan pemupukan.


3.

Menyewakan properti pribadi kepada perusahaan yang dapat menimbulkan potensi

4.

penyimpangan kegiatan pemeliharaan.

Mengungkapkan dan melaporkan setiap kepentingan dan atau kegiatan-kegiatan di luar


pekerjaan dari perusahaan, yaitu:

Kepada atasan langsung bagi karyawan,

Kepada Pemegang Saham bagi Komisaris, dan

Kepada Komisaris dan Pemegang Saham bagi Direksi.

5.

Memiliki bisnis pribadi yang sama dengan perusahaan.

6.

Menghormati hak setiap insan perusahaan untuk memiliki kegiatan di luar jam kerja, yang sah,
di luar pekerjaan dari perusahaan, dan yang bebas dari benturan dengan kepentingan.

7.

Tidak akan memegang jabatan pada lembaga-lembaga atau institusi lain di luar perusahaan
dalam bentuk apapun, kecuali telah mendapat persetujuan tertulis dari yang berwenang.

8.

Menghindarkan diri dari memiliki suatu kepentingan baik keuangan maupun non-keuangan
pada organisasi / perusahaan yang merupakan pesaing, antara lain :

Menghindari situasi atau perilaku yang dapat menimbulkan kesan atau spekulasi atau
kecurigaan akan adanya benturan kepentingan.

Mengungkapkan atau melaporkan setiap kemungkinan (potensi) benturan kepentingan pada


suatu kontrak atau sebelum kontrak tersebut disetujui.

Tidak akan melakukan investasi atau ikatan bisnis pada individu dan pihak lain yang
mempunyai keterkaitan bisnis dengan baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.ETIKA DALAM TEMPAT KERJA
Dalam pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah
untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin
mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan-tujuan
tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam cara-cara yang jika melanggar hukum
dapat

dinyatakan

sebagai

salah

satu

bentuk

kejahatan

kerah

putih.

Adapun beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan
berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya:
1.

Etika Terhadap Saingan


Kadang-kadang ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan dengan menyebarkan
rumor, bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusak dan
dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra negatif dari pihak konsumen.

2.

Etika Hubungan dengan Karyawan


Di dalam perusahaan ada aturan-aturan dan batas-batas etika yang mengatur hubungan
atasan dan bawahan, Atasan harus ramah dan menghormati hak-hak bawahan, Karyawan diberi
kesempatan naik pangkat, dan memperoleh penghargaan.

3.

Etika dalam hubungan dengan public


Hubungan dengan publik harus dujaga sebaik mungkin, agar selalu terpelihara hubungan
harmonis. Hubungan dengan public ini menyangkut pemeliharaan ekologi, lingkungan hidup.
Hal ini meliputi konservasi alam, daur ulang dan polusi. Menjaga kelestarian alam, recycling
(daur ulang) produk adalah uasha-usaha yang dapat dilakukan perusahaan dalam rangka
mencegah polusi, dan menghemat sumber daya alam.
3.AKTIVITAS BISNIS DAN BUDAYA
Seorang pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya perusahaan. Hal
itu bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah gambaran jelas dan konkrit. Jadi,
budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara individu bertingkah laku dalam mereka melakukan
sesuatu.
Tidaklah mengherankan, bila sama-sama kita telaah kebanyakan perusahaan sekarang ini.
Para pemimpin yang bergelimang dengan fasilitas dan berbagai kondisi kemudahan. Giliran
situasinya dibalik dengan perjuangan dan persaingan, mereka mengeluh dan malah sering
mengumpat bahwa itu semua karena SDM kita yang tidak kompeten dan tidak mampu. Mereka
sendirilah yang membentuk budaya itu (masalah budaya). Semua karena percontohan, penularan
dan panutan dari masing-masing pemimpin. Maka timbul paradigma, mengubah budaya
perusahaan itu sendiri.
Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku
etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing
tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku. Dan sebaliknya dapat pula
mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.
4.AKUNTABILITAS SOSIAL
Akuntabilitas sosial sering kali diartikan menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan
kontrak sosial sebagai sebuah instrumen dasar dalam mengembangkan prinsip akuntabilitas dari
praktek pemerintahan. Pada titik ini, partisipasi setiap warga negara dan segenap elemen civil
society sangatlah signifikan. Sebab, inti dari kontrak sosial adalah adanya partisipasi warga

negara dan elemen civil society untuk memastikan implementasi prinsip akuntabilitas dalam
setiap kebijakan publik.
Berkaitan dengan kontrak sosial, sebuah proses akuntabilitas sosial idealnya bisa memberi
ruang bagi masyarakat untuk: pertama, bersuara. Artinya, masyarakat mempunyai kesempatan
untuk mengeluarkan pendapat sebagai perwujudan dari hak sipil dan politik yang dimilikinya.
Melalui

kesempatan

bersuara,

masyarakat

diharapkan

bisa

berpartisipasi

aktif

dan

menghilangkan berbagai sumbatan dalam proses komunikasi politik di setiap proses kebijakan
publik. Kedua, memilih. Artinya, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih saluran
kepentingan yang sesuai dengan preferensinya masing-masing. Pada titik ini, masyarakat
didorong untuk dapat memaksimalkan kepentingannya melalui saluran yang mereka pilih dalam
setiap proses kebijakan publik. Ketiga, menentukan jalan ke luar. Artinya, masyarakat memilki
cukup ruang untuk menentukan jalan ke luar bagi setiap persoalan yang muncul dalam proses
kebijakan publik.
Guna mewujudkan maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial, secara umum, terdapat
sejumlah faktor yang sering dijadikan sebagai prasyarat pokok bagi pelaksanaan akuntabilitas
sosial.
Faktor-faktor tersebut, antara lain:
1.

Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara Negara dan Masyarakat


Usaha untuk mewujudkan sebuah akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan,
banyak bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan
antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab, pertukaran
informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen baik dari negara maupun
dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut. Keberadaan mekanisme yang
menjembatani hubungan negara dan masyarakat, di tingkatan operasional, dapat dijadikan
sebagai instrumen untuk memperkenalkan cara-cara baru, kesempatan-kesempatan baru serta
program-program baru bagi interaksi negara dan masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain
itu, keberadaan mekanisme ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki, memperbarui serta
mereformasi berbagai mekanisme, sistem dan aktor yang telah ada dan dianggap usang. Contoh
kongkret dari mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat adalah
keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi dari setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dinas

ini dibentuk tidak untuk pengendalian informasi, namun sebaliknya, justru untuk meniadakan
informasi yang asimetris antara negara dan masyarakat.
2.

Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan Aktor-aktor Civil Society yang Kuat untuk
Secara Aktif Terlibat dalam Proses Akuntabilitas Pemerintah
Adanya keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor-aktor Civil
Society untuk terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah merupakan prasyarat penting bagi
terwujudnya akuntabilitas sosial. Dalam aras praksis, faktor ini acap kali berbenturan dengan
sejumlah persoalan seperti: fakta lemahnya elemen Civil Society dan adanya pemikiran bahwa
warga negara kurang berdaya.

3.

Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat untuk Mempertimbangkan Masyarakat
Keberadaan faktor ini menjadi demikian penting, sebab, hambatan terbesar bagi
perwujudan akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan birokrat
untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat masyarakat. Banyak
pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan birokrat terhadap aspirasi
masyarakat dapat merubah pola interaksi antara negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola
interaksi kedua elemen tersebut dapat semakin disinergikan, sehingga terbentuk sebuah pola
interaksi yang bersifat timbal balik antara aktor-aktor baik yang berasal dari negara maupun
masyarakat.

4.

Lingkungan yang Memungkinkan


Maksudnya adalah proses perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya
lingkungan politik, ekonomi dan budaya yang memadai. Pada ranah politik, sebuah proses
akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil, manakala tidak didukung oleh keberadaan rejim
yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan legal-formal dari hak-hak sipil dan
politik dari warga negara. Demikian juga di ranah ekonomi dan budaya, sebuah upaya
perwujudan akuntabilitas sosial akan menjadi sia-sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak
menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di
kedua ranah tersebut.
5.MANAJEMEN KRISIS
Krisis merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki potensi untuk
berdampak negatif maupun positif. Kejadian ini bisa saja menghancurkan organisasi dan
karyawan, produk, jasa, kondisi keuangan dan reputasi . Krisis merupakan keadaan yang tidak

stabil dimana perubahan yang cukup menentukan mengancam, baik perubahan yang tidak
diharapkan ataupun perubahan yang diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik .
Organisasi yang memikirkan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari suatu krisis akan
berusaha untuk mempersiapkan diri sebelum krisis tersebut terjadi. Bahkan ada peluang dimana
organisasi dapat mengubah krisis menjadi suatu kesempatan untuk memperoleh dukungan
publik
Sebab Krisis Krisis terjadi apabila ada benturan kepentingan antara organisasi dengan
publiknya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa penyebab krisis adalah : Sebab umum :
gangguan kesejahtraan dan rasa aman tanggung jawab sosial diabaikan Sebab khusus :
kesalahan pengelola yang mengganggu lapisan bawah penurunan profit yang tajam
penyelewengan perubahan permintaan pasar kegagalan/penarikan produk regulasi dan
deregulasi kecelakaan atau bencana alam

PERKEMBANGAN TERAKHIR DALAM ETIKA BISNIS & PROFESI

Perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000): 1. Situasi Dahulu Pada awal sejarah
filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya
mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan
ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur. 2. Masa Peralihan: tahun 1960-an ditandai
pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di
ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian
pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru
dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah
corporate social responsibility. 3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an sejumlah filsuf mulai
terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS. 4. Etika
Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai
berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari
universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN). 5.
Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika
bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business,
Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo. karena kelompok profesional

merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses
pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua
keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh
rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat built-in
mechanism

berupa

kode

etik

profesi

dalam

hal

ini

jelas

akan

diperlukan

untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari
segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian

Anda mungkin juga menyukai