II
Tahun II
2012
DAFTAR ISI
Birokrasi Bersih, Kompeten, dan Melayani 1
Politik Reformasi Birokrasi 4
Anton Minardi
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI: 10
Kementerian Dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Komarudin
S
etelah grand design reformasi birokrasi 2010 – 2025 ditetapkan dengan Perpres No.
81 Tahun 2010, langkah yang ditempuh adalah percepatan pelaksanaan reformasi
birokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, Kementerian PAN dan RB menetapkan Sembi-
lan program (langkah) percepatan reformasi birokrasi. Program dimaksud meliputi (1)
Penataan Struktur Birokrasi; (2) Penataan Jumlah dan Distribusi PNS; (3) Sistem Seleksi
CPNS dan Promosi PNS secara terbuka; (4) Profesionalisasi PNS; (5) Pengembangan
Sistem Elektronik Pemerintah (E-Government); (6) Penyederhanaan Perijinan Usaha; (7)
Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Aparatur; (8) Peningkatan Kesejahteraan
Pegawai Negeri; (9) Efisiensi Penggunaan Fasilitas, Sarana dan Prasarana Kerja PNS.
Dalam paruh waktu pertama tahun 2012 ini, Kementerian PAN dan RB telah
melakukan sejumlah langkah yang cukup signifikan, terkait dengan percepatan re-
formasi birokrasi.
Sebagai upaya untuk mewujudkan birokrasi bersih, pada bulan April 2012 dilaku-
kan pencanangan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi.
Langkah itu diikuti oleh sejumlah kementerian/lembaga, serta pemerintah daerah.
Tidak hanya Kementerian PAN dan RB yang berperan di sana, tetapi keijakan itu juga
dikawal oleh KPK, Ombudsman RI serta BPKP.
Edisi 2, Tahun II | 1
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Diklat analisa jabatan untuk mencetak 4.125 analis jabatan bahkan dilaksanakan
sejak ahir 2011. Hal itu sebagai jawaban atas kebijakan moratorium penerimaan CPNS,
yang mewajibkan setiap instani pemerintah melakukan penghitungan jumlah dan
kebutuhan pegawai berdasarkan analisis jabatan, analisis beban kerja, serta memiliki
peta jabatan. Hal itu harus dilampirkan ketika suatu instansi mengajukan permintaan
tambahan formasi CPNS ke Kementerian PAN dan RB.
Dampak dari kebijakan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri PAN dan
RB, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri itu, pada tahun 2011 tidak terjadi
rekruitmen CPNS, meskipun moratorium itu sebenarnya dilakukan secara selektif.
Kelompok yang dikecualikan itu antara lain tenaga honorer kategori 1, tenaga medis,
guru, tenaga dari sekolah kedinasan, serta jabatan tertentu yang mendesak. Namun,
karena banyak instansi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka tidak banyak
instansi yang mendapatkan formasi pada tahun 2012. Untuk instansi pusat hanya ada
23 instansi, sementara pemda hanya 25. Dari target yang dialkoasikan dalam APBN
2012 sebanyak 61.560 CPNS, ternyata hanya terserap 14.560 orang.
Namun terkait dengan penataan manajemen SDM itu, tahun 2012 ini juga men-
jadi tonggak sejarah dalam mewujudkan rekruitmen CPNS yang bersih, transparan,
akuntabel, dan berbasis kompetensi. Pelaksanaan test kemampuan dasar (TKD), juga
dilaksanakan serentak, yakni tanggal 8 September 2012. Pembuatan soal dilakukan oleh
konsorsium 10 perguruan tinggi negeri (PTN) yang direkomendasikan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, Ombudsman RI, ICW serta LSM lain dilibatkan
dalam mengawasi proses pelaksanaan rekruitmen ini.
Pada bulan Juni 2012, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
No. 56/2012 tentang pengangkatan tenaga honorer sebagai CPNS, yang merupakan
perubahan kedua atas PP No. 48/2005. PP yang ditunggu-tunggu oleh tenaga honorer
ini menjadi payung hukum dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.
Kebijakan lain yang gaungnya cukup kencang belakangan ini adalah penetapan
pilot project reformasi birokrasi pemerintah daerah, yang meliputi 33 pemerintah
provinsi, 33 kota (Ibukota Provinsi), dan 33 kabupaten. Selain itu sekitar 40 kementerian/
lembaga yang belum melaksanakan reformasi birokrasi, didorong untuk merealisasi-
kannya tahun 2012 ini.
2 | Edisi 2, Tahun II
Pengantar
Tentu saja, semua langkah-langkah yang sudah dilakukan itu belum cukup, dan
masih banyak kebijakan lain yang harus secepatnya direalisasikan. Selain itu, diperlukan
berbagai masukan pemikiran dari berbagai elemen bangsa, termasuk dari akademisi,
praktisi, pemerhati, pakar untuk menuangkan tulisannya dalam Jurnal Pendayagunaan
Aparatur Negara edisi kedua ini.
Informasi yang ingin didapat berisi kerangka pemikiran solutif dari analisis, kajian,
pengamatan, studi kasus, untuk terkait dengan tema utama “Menciptakan Birokrasi
bersih, Kompeten dan Melayani”.
Meski belum sesuai harapan, namun jurnal edisi kedua ini diharapkan dapat lebih
memberi manfaat, dan membuka cakrawala baru dalam mewujudkan birokrasi yang
bersih, kompeten dan melayani. Semoga !!
Dari Redaksi.
Edisi 2, Tahun II | 3
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
D
ikatakan prosedur karena birokrasi adalah suatu sistem pengadministras-
ian dalam melahirkan dan melaksanakan suatu kebijakan. Service karena
birokrasi pada intinya adalah pelayanan terhadap seluruh kepentingan.
Penekanan pada aspek administrasi melahirkan suatu jalur atau lingkaran birokrasi
permanen yang mengikat. Sementara penekanan pada aspek pelayanan menghasilkan
arah birokrasi sesuai dengan kebutuhan yang dilayani, walaupun tidak menutup
kemungkinan administratif akan ada yang terabaikan. Penekanan pada satu aspek
di atas menyebabkan birokrasi hari ini berjalan kurang terarah. Sejumlah pertanyaan
muncul antara lain adalah prosedur seperti apa? dan service bagi siapa?
Pertanyaan itu muncul pada setiap sistem pemerintahan apa pun. Betapa tidak
pemerintah yang memegang kendali sangat menentukan arah dan model birokrasi.
Apalagi bagi birokrasi yang tidak punya “ideologi”. Model birokrasi tanpa Ideologi
itu artinya birokrasi yang diisi dan dijalankan sesuai dengan ideologi penguasa. Di
hampir setiap negara birokrasi diarahkan sesuai dengan orientasi pemerintahannya.
Misalnya, di negara-negara liberal birokrasi sangat berorientasi pada “market”, di
negara komunis birokrasi sangat kental dengan orientasi “negara” dalam pengertian
penguasa. Begitu juga di negara kita Indonesia yang berlandaskan Pancasila, di
mana praktek birokrasi merupakan perpaduan antara kepentingan masyarakat dan
pemerintah (penguasa) sering diwarnai oleh pihak yang dominan. Hal demikian
seringkali terjadi karena dikotomi posisi antara pemerintah sebagai penguasa dengan
rakyat yang dianggap sebagai yang dikuasai.
4 | Edisi 2, Tahun II
Politik Reformasi Birokrasi
Politisasi Birokrasi
Kondisi birokrasi yang diisi oleh ideologi penguasa yang telah menyebab-
kan kultur birokrasi yang kental dengan kepentingan include di dalamnya politik
dan bisnis, selanjutnya tidak mengherankan menimbulkan berbagai “multiplier
effect”. Birokrasi dibuat untuk menunjang kelanggengan kekuasaan, itu artinya
bahwa berbagai aturan dan prosedur bisa dibuat untuk memaintenance sumber
pendanaan politik. Akhirnya lahirlah “politik birokrasi”, yang tersistematisasi oleh
“bisnis birokrasi”. Politik birokrasi tersebut selain untuk kepentingan penguasa
pusat maupun daerah, tetapi juga akhirnya menjadi etos individu para birokrat.
Tidak mengherankan jika di negeri ini birokrasi memiliki ciri-ciri negatif yaitu me-
lekat predikat birokrasi yang lama, berbelit, dan mahal. Sudah dapat dipastikan di
dalamnya terjadi berbagai macam “abuse” dan manipulasi.
Semestinya birokrasi itu menjadi pelaksana dari tujuan mulia rakyat yang
dijabarkan ke dalam tujuan negara. Tujuan negara itulah yang seharusnya menjadi
ideologi bagi birokrasi yang dijalankan. Di antara sejumlah ahli tata negara sebut
saja Al Farabi (8M) menyebut bahwa tujuan negara itu adalah “complete happiness”
atau “as-salamah al-kamilah” yaitu kesejahteraan yang komplete (jasmani dan ruhani).
Kemudian Charles E. Merriam dalam buku Zainal Abidin Ahmad berjudul “Negara
Utama” menyebutkan tujuan negara itu adalah: 1. External security. 2. Internal order.
3. Justice. 4. General welfare. 5. Freedom (hal.41).
Edisi 2, Tahun II | 5
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Akar Masalah
Persoalan mendasar yang diidap oleh birokrasi di negeri kita ini adalah
pertama, mental aparatur yang telah terdidik oleh kultur politisasi birokrasi selama
puluhan tahun. Aparat masih banyak yang bersikap politis dan bisnis dibanding-
kan sebagai negarawan. Kedua, posisioning antara pemerintah dengan rakyat yang
masih bersifat kolonial. A. Pemerintah menempatkan diri sebagai produsen, sedan-
gkan rakyat sebagai konsumen. Sebagai produsen yang menguasai suatu produk,
dengan seenaknya mengendalikan harga dan distribusi produk tersebut kepada
konsumen. Sementara rakyat yang sebagai konsumen diposiskan merasa butuh
akan produk tersebut dapat didikte oleh si produsen tadi. B. Pemerintah sebagai
penguasa dan rakyat sebagai yang dikuasai. Sebagai pihak yang berkuasa tentu
leluasa untuk menentukan tindakan apakah yang akan dilakukannya terhadap
pihak yang dikuasainya. Sementara pihak yang dikuasai akan lebih cenderung ikut
6 | Edisi 2, Tahun II
Politik Reformasi Birokrasi
kepada pilihan yang ditawarkan dan apa yang diperbuat oleh pihak yang berkuasa.
Ketiga, aparatur birokrasi lebih cenderung hanya sekedar menjalankan tugasnya
sebagai pegawai negeri sipil. Sikap tersebut melahirkan kinerja yang lambat, sulit
dan tidak profesional. Hanya akan cepat, mudah, dan profesional apabila diberi-
kan “insentif khusus” dari pihak yang berkepentingan. Keempat, orientasi kepada
materi. Sikap tersebut menyebabkan birokrasi menjadi sangat mahal. Hal tersebut
juga dapat disebabkan oleh karena sistem kepegawaian dan kepangkatan yang
butuh “insentif” tidak hanya prestatif. Atau mungkin juga karena penggajian dan
tunjangan yang tidak memadai. Kelima, “vested interest”. Hal tersebut dikarenakan
sistem rekruitmen yang berdasarkan kepentingan atau like and dis like, atau juga
karena orientasi kepentingan kelompoknya berbeda dengan kelompok yang lain-
nya. Akibatnnya birokrasi menjadi terasa sulit ditembus bagi satu golongan, dan
sangat mudah bagi golongan lainnya. Ini menyebabkan “unfairness”, padahal inti
dari keadilanyang merupakan salah tujuan negara adalah “fairness”.
Agenda Reformasi
Kondisi seperti itu tidak bisa dipertahankan, karena selain akan mengham-
bat pembangunan juga akan menyebarkan virus budaya birokrasi buruk kepada
seluruh rakyat pada level rendah. Untuk itu perlu segera dilakukan reformasi
pada beberapa aspek atau secara menyeluruh. Beberapa alternatif bagi perbaikan
birokrasi di negara kita adalah:
pertama, reorientasi kebijakan secara menyeluruh. Dua dinasty kepemimpinan
Muawiyah dan Abbasiah dalam sistem khilafah Islam yang mencoreng kebaikan
sistem khulafa’ ar-Rasyidin berhasil dikembalikan kepada sistem Khilafah ar-Ra-
syidin oleh seorang Kholifah pembaharu yang dikenal dengan sistem birokrasi
Umarian (Umar Abdul Aziz). Perbaikan sistem pemerintahan pada masanya itu
diawali dengan keberhasilan Umar dalam merubah sikap para birokrat termasuk
beliau di dalamnya. Langkah-langkah yang dilakukan beliau berdasarkan buku
Rohadi Abdul Fatah yang berjudul “Meniti Jalan Kearifan Politik Umar Bin Abdul
Aziz” yaitu: 1. kesederhanaan dan kebersahajaan. 2. kejujuran. 3. menegakkan
keadilan dan kebenaran. 4. pembasmian feodalisme. 5.pemberantasan korupsi dan
penyalahgunaan wewenang. 6. perbaikan kehidupan rakyat untuk kemakmuran.
7. kebijakan politik persuasif dan tanpa kekerasan (hal.7-9 dan 18-21).
Edisi 2, Tahun II | 7
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
8 | Edisi 2, Tahun II
Politik Reformasi Birokrasi
perbaikan birokrasi yang dapat membawa respon positif bagi warga masyarakat
atau pihak asing yang mau berbisnis di negeri kita.
Kedelapan, peningkatan fungsi kontrol terhadap birokrasi. Kontrol dilakukan
oleh lembaga negara yang menjalankan fungsi kontrol seperti DPR, Komisi Pem-
berantasan Korupsi,atau khusus diadakan lembaga kontrol birokrasi. Hal tersebut
sangat penting untuk menstimulasi kenerja birokrasi yang lebih bersih, transparan,
dan akuntabel. Juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi.
Rekomendasi
Jika semua langkah itu menemui kebuntuan atau sulit untuk diperbaiki, maka
perlu dilakukan hal berikut yaitu: pertama, tetapkan aturan untuk mengganti
semua birokrat yang tidak bersih dan bermental politikus atau pebisnis. Kedua,
jauhkan birokrasi dari politik dengan menetapkan untuk sementara waktu PNS
tidak ikut memilih dalam Pemilihan Umum. Dengan demikian diharapkan bahwa
birokrasi dapat kembali untuk berkonsentrasi mengamankan kebijakan-kebijakan
untuk mencapai tujuan negara jauh dari kepentingan politik dan bisnis kalangan
tertentu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan para birokrat yang komitmen untuk
melayani rakyat. Ketiga, terapkan sistem Pemilu yang murah dan sistem kenaikan
pangkat dan jabatan yang murah. Pengeluaran pada kampanye Pemilu dan jenjang
karier yang harus dilalui dengan sejumlah proses yang mahal akan menyebabkan
birokrasi menjadi mahal. Keempat, terapkan pelarangan bagi para birokrat untuk
berbisnis, dan cukupilah kebutuhan mereka. Kelima, tegakkan aturan yang tegas
bahwa birokrat baik di instansi sipil maupun militer dilarang untuk menerima
hadiah atau pemberian apapun dari masyarakat atau pihak yang sedang berurusan
birokrasi dengannya.
Benarlah ajaran yang mengatakan bahwa “Ulama (ilmuwan) adalah pewaris
para nabi, dan Umara’ (pemerintah) adalah pelayan umat (rakyat)”. Berikanlah
tugas kepada ahlinya agar urusan lebih baik dan lebih mashlahat, jika urusan diberi-
kan kepada bukan ahlinya (tidak ahli dan tidak amanah) maka akan rusak binasa
seluruh umat. Tidak heran jika Allah SWT. Berfirman: “Tanyakanlah kepada Ahli
dzikir (Ilmuwan bertakwa), jika kalian tidak mengetahui” (QS. An-nahl(16):43).
Wallahu A’lamu.
***
Edisi 2, Tahun II | 9
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
I. PENDAHULUAN
K
ajian dan diskusi di kementerian pendayagunaan aparatur negara pada tahun
2003-2004 telah menghasilkan kesimpulan tentang penataan kelembagaan/
organisasi. Pertama, visi, misi, dan strategi yang jelas (tidak terjadi duplikasi,
tumpang tindih, dan tarik menarik tugas, wewenang dan tanggungjawab dengan
instansi lain). Kedua, organisasi disusun berdasarkan atas hemat struktur dan kaya
fungsi, lebih banyak unit/pemegang jabatan profesi/fungsional daripada jabatan
struktural. Ketiga, kewenangan terdesentralisasi/delegasi ke pejabat unit terdepan
yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Keempat, lembaga-lembaga ekstra
struktural pemerintah, seperi Komisi, Dewan, Badan, dan lain-lain harus dibatasi
hanya pada lembaga yang benar-benar diperlukan dan bersifat ad hoc/task force. Sejak
2006, dilakukan diskusi tentang reformasi birokrasi yang kemudian difokuskan pada
8 (delapan) area perubahan, yaitu organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-
undangan, sumber daya maanusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan
publik, dan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set).
10 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Tulisan ini merupakan pemikiran awal yang difokuskan pada penataan kelem-
bagaan pemerintah pusat berupa pembentukan, perubahan, dan/atau penggabungan
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Penataan (tanpa memper-
hitungkan pertimbangan politik) ini akan berdampak besar terhadap kelembagaan
pemerintah, karena akan meningkatkan penghematan, efisiensi dan efektivitas, dan
bukan hanya perubahan unit kerja yang hanya akan berpengaruh pada skala kecil.
Edisi 2, Tahun II | 11
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Reformasi Birokrasi diatur dengan Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi dan Permen PANRB Nomor 20 Tahun 2012 tentang Road
Map Reformasi Birokrasi. Dari grand design ini dikenal 8 (delapan) area perubahan
reformasi birokrasi, yaitu organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan,
12 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Edisi 2, Tahun II | 13
1 Permen PANRB Nomor 20 Tahun 2012 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah yang bersih (clean
government), dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). 2
Menyadari bahwa selama ini proses pengusulan, persetujuan, dan pelaksanaan
reformasi birokrasi berjalan lamban atau tidak sesuai harapan, maka Men PANRB
menyederhanakan program pendayagunaan aparatur negara dan reformasi bi-
rokrasi dalam bentuk Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, yaitu 1)
penataan struktur birokrasi, 2) penataan jumlah dan distribusi PNS, 3) sistem seleksi
CPNS dan promosi PNS secara terbuka, 4) profesionalisasi PNS, 5) peningkatan
kesejahteraan pegawai negeri, 6) pengembangan sistem elektronik pemerintah (e-
government), 9) efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS, 8)
peningkatan pelayanan publik, dan 7) peningkatan transparansi dan akuntabilitas
aparatur; yang digambarkan sebagai berikut3
2 Ismadi Ananda, Deputi Men PANRB Bidang Kelembagaan, dalam tulisannya berjudul “Penataan
Kelembagaan Pemerintah Sebuah Keniscayaan”, mengatakan bahwa oleh sebagian pihak, performa
kelembagaaan pemerintah dipandang masih belum ideal, bahkan pada titik tetentu cenderung
dinilai gembrot dan tidak lincah. Pandangan dimaksud dapat dipahami mengingat pada tataran
paling ideal, organisasi pemerintah harus berkinerja tinggi ditandai dengan tepat ukuran dan tepat
guna (right sizing), sementara di sisi lain, tergambar seperti sedang ada trend atau kecenderun-
gan pembentukan organisasi baru dalam rangka mempercepat capaian penyelenggaraan urusan
pemerintahan. Ismadi menambahkan, memasuki tahun 2012 Kementerian PANRB telah meng-
gariskan 2 (dua) kebijakan mendasar di bidang kelembagaan. Pertama, penghapusan unit eselon
IV dan eselon III pada unsur pelaksana tertentu. Sebagai penggantinya akan mengoptimalkan
para pegawai yang menduduki jabatan tersebut ke dalam jabatan fungsional karena pada giliran-
nya pada unsur pelaksana tertentu yang lebih utama adalah para profesional, bukan manajerial
sebagaimana melekat pada jabatan struktural. Kebijakan ini akan dilakukan dengan sangat hati-
hati dan terencana. Kedua, evaluasi terhadap keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) terutama
yang sudah ditetapkan sebagai unit eselon II.
3 Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, Majalah Layanan Publik, Edisi XL Tahun
VIII 2011, Biro Umum dan Humas Kem PANRB, 2012.
14 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Edisi 2, Tahun II | 15
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
16 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Oktober 1967) sampai dengan Kabinet Indonesia Bersatu II tahun 2010-2014 yang
ditunjukkan pada tabel berikut.4
Jumlah Kementerian (34), LPNK (28), LNS (90), dan beberapa kelembagaan
pemerintah pusat dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.
4 Diolah dari Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Buku II Jilid 1 dan Jilid 2,
Lembaga Administrasi Negara (LAN, 2002).
Edisi 2, Tahun II | 17
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Kementerian Kementerian
4. Sekretariat Negara 21. Sosial
5. Dalam Negeri 22. Agama
6. Luar Negeri 23. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
7. Pertahanan 24. Komunikasi dan Informatka
8. Hukum dan Hak Asasi Manusia 25. Riset dan Teknologi
9. Keuangan 26. Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah
10. Energi dan Sumber Daya Mineral 27. Lingkungan Hidup
11. Perindustrian 28. Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak
12. Perdagangan 29. Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi
13. Pertanian 30. Pembangunan Daerah Tertinggal
14. Kehutanan 31. Perencanaan Pembangunan
Nasional
15. Perhubungan 32. Badan Usaha Milik Negara
16. Kelautan dan Perikanan 33. Perumahan Rakyat
17. Tenaga Kerja dan Transmigrasi 34. Pemuda dan Olah Raga
18 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
LPNK LPNK
10. Badan Intelijen Negara 24. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
11. Lembaga Sandi Negara 25. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
12. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana 26. Badan SAR Nasional
Nasional
13. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional 27. Badan Narkotika Nasional
14. Badan Informasi Geospasial 28. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Edisi 2, Tahun II | 19
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
20 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
41. Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Perumahan 86. Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan
dan Permukiman Nasional Pengendalian Pembangunan
42. Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan 87. Ombudsman Republik Indonesia
Air Minum
43. Badan Pengelola Dana Abadi Umat 88. Konsil Kedokteran Indonesia
44. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas 89. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Bumi (BP Migas)
45. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) 90. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
Edisi 2, Tahun II | 21
22 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
24 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Perubahan budaya organisasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak
dijamin akan sukses. Minimal diperlukan waktu 5-10 tahun untuk mengubah
budaya organisasi dengan skala seperti pemerintah Republik Indonesia atau
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu strategi yang dianjurkan
oeh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara ber-
tahap dan gradual. Memang kurang revolusioner dan kurang radikal, tetapi
lebih aman.
Edisi 2, Tahun II | 25
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Catatan:
Singkatan/Akronim LPNK: BPN (Badan Pertanahan Nasional), LAN (Lembaga Administrasi
Negara), BKN (Badan Kepegawaian Negara), ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia),
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Lemsanneg Lembaga Sandi Negara), BIN
(Badan Intelijen Nasional), Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional), Basarnas (Badan
SAR Nasional), BNN (Badan Narkotika Nasional), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), BPS (Badan Pusat
Statistik), LKPP (Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), BPKP (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), BNP2TKI
26 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
(Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), BMKG (Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Beren-
cana Nasional), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Perpusnas (Perpustakaan
Nasional), BSN (Badan Standardisasi Nasional), Bapeten (Badan Pengawasan Tenaga
Nuklir), Batan (Badan Tenaga Nuklir), Lapan (Lembaga Penerbangaan dan Antariksa Na-
sional), BIG (Badan Informasi Geospasial) perubahan dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi
dan Survei Pemetaan Nasional), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan BPPT
(Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
Jumlah Wakil Menteri saat ini mencapai 20. Dihapuskannya Penjelasan Pasal
10 Undang-Undang tentang Kementerian Negara, mengakibatkan polemik jabatan
Wakil Menteri apakah merupakan jabatan karier atau jabatan politik. Jabatan Wakil
Menteri ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil
Menteri, dengan beberapa ketentuan antara lain:
a. Pasal 1: Wakil Menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
b. Pasal 2: Wakil Menteri mempunyai tugas membantu Menteri dalam memimpin
pelaksanaan tugas Kementerian; dan (2) Ruang lingkup bidang tugas Wakil
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. membantu Menteri
dalam perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan Kementerian; dan b. mem-
bantu Menteri dalam mengoordinasikan pencapaian kebijakan strategis lintas
unit organisasi eselon I di lingkungan Kementerian.
Edisi 2, Tahun II | 27
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Jumlah LNS juga dikurangi dari jumlahnya yang mencapai 90, dibatasi hanya
pada lembaga yang dibentuk berdasarkan atau diamanatkan undang-undang. LPNK
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden sebaiknya
ditinjau kembali dan dinilai kembali kelayakannya sebagai LNS. Pembentukan
LNS baru hanya disetujui untuk lembaga yang pembentukannya diamanatkan
oleh undang-undang.
28 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Edisi 2, Tahun II | 29
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
4.1 Kesimpulan
Kebijakan penataan kelembagaan yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right
sizing) dalam reformasi birokrasi harus dilakukan agar terjadi perubahan mendasar
dan signifikan, tidak hanya merupakan perubahan parsial yang dampaknya kecil.
Penggabungan kementerian yang tugas pokok dan fungsinya hampir berdekatan
mutlak diperlukan. Penggabungan LPNK ke dalam Kementerian sangat besar
manfaatnya, seperti Bapedal yang semula merupakan LPND dilebur ke dalam
Kementerian Lingkungan Hidup, BPKP dahulu merupakan Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara, dan BPN semula merupakan Direktorat Jenderal
Agraria.
30 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
4.2 Saran
Beberapa saran terhadap penataan kelembagaan atau penataan struktur bi-
rokrasi adalah
a. Pelaksanaan Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, khususnya
penataaan kelembagaan, harus dipantau dan dievaluasi terus menerus agar
terjadi perampingan kelembagaan dan peningkatan penghematan, efisiensi,
dan efektivitas.
b. Pemerintah harus meningkatkan komitmen, kesungguhan, dan keseriusan untuk
melakukan penataan kelembagaan dalam bentuk penggabungan Kementerian
dan LPNK, pengurangan jumlah LNS, dan pemekaran daerah baru yang sele-
ktif, diarahkan agar memberikan pengaruh signifikan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
c. Perlu dilakukan kajian intensif tentang pembentukan, perubahan, dan peng-
gabungan Kementerian dan LPNK, LNS, keberadaan Kementerian Koordinator,
keberadaan Staf Ahli Kementerian, dan pemekaran daerah.
d. Keberadaan LPNK seharusnya dilebur ke dalam Kementerian terkait dan/atau
jumlahnya dibatasi. Yang dipertahankan adalah terbatas hanya pada LPNK
yang benar-benar tidak dapat dimasukkan ke dalam Kementerian.
e. Penggabungan Kementerian dan LPNK harus dibarengi dengan penataan eselon
1, eselon 2, dan eselon di bawahnya serta perubahan pola pikir (mind-set) dan
budaya kerja (culture-set) aparat negara sehingga dapat mengurangi tumpang
tindih pelaksanaan tugas dan fungsi antar jabatan.
Edisi 2, Tahun II | 31
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Referensi
32 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN
Edisi 2, Tahun II | 33
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
1. Pendahuluan
M
aju mundurnya sebuah bangsa atau negara amat bergantung pada baik
buruknya administrasi (Wilson), baik buruknya administrasi amat ber-
gantung pada kinerja aparatur negara; dan tidak ada satu hal untuk abad
modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi. Kelangsungan hidup
pemerintahan yang beradab dan malahan kelangsungan hidup dari peradaban itu
sendiri akan sangat bergantung atas kemampuan kita untuk membina dan mengem-
bangkan suatu filsafat administrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah
masyarakat modern (Charles A Beard, dalam Lepawsky, 1960).
Pernyatan yang telah berusia puluhan tahun di atas hingga saat ini masih
diakui kebenarannya terutama dari perspektif administrasi publik yang berupaya
mencapai tujuan negara dengan melakukan kolaborasi antara sektor pemerin-
tah, swasta dan masyarakat sipil melalui berbagai kebijakan yang manusiawi dan
berkeadilan.
Kolaborasi ketiga sektor (unsur) administrasi publik itu sendiri hingga saat ini
masih tidak sesuai harapan, aparatur negara yang dalam hal ini diwakili oleh pegawai
negeri sipil (PNS) yang diharapkan menjadi inisiator, motivator dan dinamisator
dalam kolaborasi tersebut berkinerja buruk sehingga belum mampu mengemban
amanah yang dipikulkan dan belum mampu memenuhi sebagian besar tuntutan
kebutuhan pelayanan masyarakat.
Untuk dapat melakukan kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat
sipil, pegawai negeri sipil dituntut untuk bertindak profesional dengan bekerja
berdasarkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan disiplin serta nilai keadilan dalam
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik.
34 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
2. Masalah
Ketidakhadiran nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan disiplin serta keadilan
tersebut di atas pada setiap individu PNS diduga kuat sebagai penyebab antara dari
sekian banyak penyebab buruknya kinerja PNS, sedangkan penyebab utamanya
adalah buruknya sistem manajemen sumber daya aparatur sehingga secara signifi-
kan berdampak pada lemahnya daya saing nasional. Reformasi birokrasi bidang
penataan organisasi, penataan tata laksana, penguatan pengawasan, dan penguatan
akuntabilitas kinerja, serta peningkatan kualitas pelayanan publik kemungkinan
akan tidak optimal atau bahkan mengalami kegagalan jika tidak dimulai dari pe-
nataan sistem manajemen sumber daya manusia aparatur secara baik dan benar.
3. Tantangan
Berbagai tantangan dihadapi baik oleh sektor publik (pemerintah), swasta
maupun masyarakat sipil antara lain terkait dengan: (a) kriminal dan teroris (crime
and terrorist); (b) penyebaran penyakit menular (deases) baik yang dialami manusia
maupun binatang; (c) kesenjangan ekonomi (economic disparity) baik antarspasial
maupun antarstrata; (d) kerusakan lingkungan hidup akibat perkembangan pem-
bangunan dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali (the emergence of the
development and demografic boom); (e) teknologi dan dunia cyber (technology and cyber
world); (f) keuangan dan perdagangan global (global trade and finance); dan (g) dunia
politik dan militer (political world and military).
Kesemua tantangan tersebut berpengaruh dan memiliki andil dengan skala
besaran tertentu dalam upaya pemenuhan kebutuhan hajat hidup masyarakat dan
kebutuhan pelayanan masyarakat bagi terwujudnya masyarakat adil makmur yang
kita cita-citakan.
Edisi 2, Tahun II | 35
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Tabel 1 : Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin
Per 1 Oktober 2011
Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 1.630.898 (35,1 %) orang PNS ber-
pendidikan Strata1 (S1) hingga Strata 3 (S3), dan jika diasumsikan bahwa Diploma 1
(D1) sampai Strata 3 (S3) masuk kategori pendidikan tinggi, maka terdapat 2.870.634
(62 %) PNS yang telah menempuh pendidikan tinggi, dan terdapat keseimbangan
antara jenis kelamin pria dan wanita yaitu 58,8 % pria dan 47, 2 %. Jika digambarkan
secara diagramatis tampak seperti di bawah ini:
Diagram 1: Distribusi jumlah PNS menurut Tingkat pendidikan dan Jenis Kelamin
Sumber: http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/stribusi-jumlah-pns-
dirinci-menurut-tingkat-pendidikan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh 11 April 2012)
36 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
Selanjutnya dilihat dari jenis jabatan dan jenis kelamin distribusi PNS akan
tampak seperti tabel berikut:
Tabel 2 : Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut Jenis Jabatan dan Kelamin
Per 1 Oktober 2011
Sumber : http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/distribusi-pns-
berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh pada 11 April 2012)
Sumber : http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/distribusi-pns-
berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh 12 April 2012)
Edisi 2, Tahun II | 37
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Jumlah PNS seperti di atas adalah untuk melayani seluruh rakyat Indonesia
yang saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa tersebar dari Sabang sampai
Merauke dan bagian terbesar dari PNS tersebut adalah Guru. Jika dibandingkan
dengan Malaysia misalnya, dengan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa dengan
jumlah pegawai Kerajaan (pegawai negeri) 1,3 juta orang atau dibandingkan dengan
Yunani dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa dengan jumlah pegawai negeri
1 juta orang, maka postur PNS di Indonesia tidaklah terlalu gemuk.
PeningkatanNilai-nilai kebenaran
Kinerja Aparatur yang
Negara dijunjung
Melalui tinggi
Penataan akan
Sistem meminimalisir
Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya
penyimpangan, mengurangi pemborosan atau menghindari terjadinya Saing Nasional
5.1. SiklusManajemen
5. Perbaikan Manajemen Sumber Daya Aparatur
Sumber Daya Aparatur
Secara umum sumber daya aparatur dimulai dari perencanaan
5.1. Siklus Manajemen Sumber Daya Aparatur
kebutuhan
Secara umumpegawai, pengangkatan
sumber (recruitment),
daya aparatur dimulaipenempatan, penggajian,
dari perencanaan kebutuhan
pegawai, pengangkatan
pengembangan, (recruitment), penempatan, penggajian, pengembangan,
dan pemensiunan.
dan pemensiunan.
Gambar 1: Siklus
Gambar Manajemen
1: Siklus Sumber
Manajemen Sumber Daya Daya
AparaturAparatur
Kebutuhan
akan
layanan
Penempatan
Uraian singkat dari gambar 1 tersebut di atas adalah sebagaimana di bawah ini:
Edisi 2, Tahun II | 39
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
masyarakat berbeda pada tiap level pemerintahan dan bahkan berbeda pada level
pemerintahan yang sama atau dalam satu level pemerintahan. Bisa jadi tingkat
pemerintahan tertentu memiliki kewenangan menangani satu urusan namun tidak
perlu menyediakan jasa layanan karena masyarakat tidak membutuhkan layanan
di bidang tersebut atau bahkan bisa terjadi masyarakat membutuhkan pelayanan
tertentu namun pemerintahan di mana dia berada tidak memiliki kewenangan di
bidang itu; (3) menentukan jenis pekerjaan yang harus ditangani oleh pemerintah.
Inventarisasi jenis pekerjaan yang harus ditangani oleh pemerintah penting dilaku-
kan agar pemerintah hanya menerima pegawai sesuai dengan jenis pekerjaan yang
ditangani pemerintah. Kita pahami bahwa tidak semua jenis kebutuhan pelayanan
masyarakat harus dipenuhi atau didapat melalui pelayanan langsung dari pemer-
intah. Sebagian kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi oleh pihak swasta atau oleh
masyarakat itu sendiri tanpa perlu bantuan pemerintah.
Penentuan atau inventarisasi jenis pekerjaan yang harus ditangani pemerintah
juga penting karena akan berpengaruh dan berdampak sistemik pada kompetensi/
syarat pekerjaan dan besaran jumlah PNS yang akan diterima, struktur organisasi
pemerintah serta anggaran belanja negara. Berbagai literatur mengajarkan kepada
kita bahwa tiap jenis pekerjaan memerlukan persyaratan pekerjaan tertentu pula.
Syarat pekerjaan untuk menjadi supir bus berbeda dengan syarat pekerjaan untuk
menjadi supir pribadi atau syarat untuk menjadi pilot pesawat tempur berbeda
dengan untuk pilot pesawat komersil.
Contoh sederhana dikemukakan sebagai berikut: Jika kita ingin membangun
sebuah rumah, maka jenis pekerjaan yang akan ditangani antara lain adalah (a)
pasang pondasi; (b) pasang tembok; (c) pasang kayu/kusen; (d) instalasi listrik;
(e) pasang plafon; (f) instalasi ledeng/air; (g) pembuatan WC; (h) pengecetan; (i)
pasang genteng; dan (j) pertamanan.
Dengan demikian syarat pekerjaan atau kompetensi tukang yang dibutuhkan
adalah: (a) ahli pasang pondasi ; (b) ahli pasang tembok; (c) ahli pasang kayu/kusen;
(d) ahli listrik; (e) ahli pasang plafon; (f) ahli instalasi ledeng/ air; (g) ahli WC; (h)
ahli pengecetan; (i) ahli pasang genteng; dan (j) ahli pertamanan.
40 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
BANGUN
RUMAH
Syarat
Pekerjaan/
Jenis
Pekerjaan
Kompetensi
-‐ Pasang
pondasi;
-‐ Ahli
pondasi;
-‐ Pasang
tembok;
-‐ Ahli
pasang
tembok;
-‐ Pasang
kayu
(pintu/jendela/
-‐ Ahli
kayu;
wuwungan);
-‐ Ahli
Instalasi
listrik;
-‐ Instalasi
listrik;
-‐ Ahli
pasang
plafon
-‐ Pasang
plafon;
-‐ Ahli
Instalasi
Air
-‐ Instalasi
air
-‐ Ahli
Pembuatan
WC;
-‐ Pembuatan
WC;
-‐ Ahli
Pengecatan;
-‐ Pengecatan;
-‐ Ahli
pasang
genteng;
-‐ Pasang
genteng;
-‐ Ahli
pertamanan;
-‐ Pembuatan
taman;
-‐ Dll.
-‐ Dll.
Setelah diketahui jenis pekerjaan dan syarat pekerjaan selanjutnya perlu dibuat
Setelah diketahui jenis pekerjaan dan syarat pekerjaan selanjutnya perlu
uraian pekerjaan/uraian tugas dari masing masing jenis pekerjaan atau uraian
pekerjaan/uraian tugaspekerjaan/uraian
dibuat uraian dilakukan setelah jenis
tugas dari pekerjaan
masing masingdiketahui sebelum
jenis pekerjaan atau kom-
petensi pegawai yang dibutuhkan. Contoh uraian pekerjaan/uraian
uraian pekerjaan/uraian tugas dilakukan setelah jenis pekerjaan diketahui
tugas pada
pembangunan sebuah rumah sebagai berikut:
sebelum kompetensi pegawai yang dibutuhkan. Contoh uraian
Gambar 3: Contoh jenis pekerjaan dan uraian pekerjaan
pekerjaan/uraian tugas pada pembangunan sebuah rumah sebagai berikut:
No Jenis Pekerjaan Uraian Pekerajan/Tugas
1 2 Gambar 3: Contoh jenis pekerjaan dan uraian pekerjaan
3
1 Pasang Pondasi - Gali tanah sesuai ukuran
No Jenis Pekerjaan
- MencampurUraian semenPekerajan/Tugas
dengan pasir (adukan)
1 2 3
1 Pasang Pondasi
- Pasang batu belah
- Gali tanah sesuai ukuran
- Pasang besi pondasi
- Mencampur semen dengan pasir (adukan)
- Pasang batu belah
- Mencampur semen dengan pasir & batu kerikil
- Pasang besi pondasi
- Mengecor
- Mencampur semen dengan pasir & batu kerikil
- dll- Mengecor
- dll
2 Pasang
2
Tembok
Pasang Tembok
- Pemasangan profil (utk menarik benang)
- Pemasangan profil (utk menarik benang)
- Mencampur semendandan
- Mencampur semen pasir
pasir (adukan)
(adukan)
- Pasangbata
- Pasang bata
- Memelester
- Memelester
- Menghaluskan tembok pelesteran (mengaci)
- Menghaluskan
- dll tembok pelesteran (mengaci)
- dll
11
Edisi 2, Tahun II | 41
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
42 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
Edisi 2, Tahun II | 43
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Pola seleksi yang dilakukan secara manual dan bersifat massal selama ini sangat
rawan terjadinya penyimpangan atau manipulasi yang merugikan banyak peserta
seleksi. Seleksipun tidak harus dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun tetapi
dapat dilakukan kapan saja ketika terdapat lowongan pekerjaan. Ambil contoh mis-
alnya satu-satunya guru matematika pada sebuah Sekolah Dasar meninggal dunia,
jika harus menunggu saat penerimaan pegawai yang boleh jadi masih memerlukan
waktu berbulan-bulan, maka siapa yang akan mengajar matematika selama belum
ada pengangkatan guru matematika baru pada sekolah tersebut? Dalam kasus seperti
ini mestinya segera dilakukan seleksi penerimaan guru matematika tanpa harus
menunggu waktu seleksi yang sekali atau dua kali setahun tersebut.
44 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
place” perlu kita cermati dan renungkan kembali secara mendalam akan makna
dan konsekuensi-konsekuensi positif - negatifnya jika dipedomani atau diabaikan.
Penempatan awal PNS maupun penempatan dalam jabatan struktural tertentu
berdasarkan jenis pekerjaan yang sesuai dengan persyaratan pekerjaan/keahlian
yang dimilikinya bukan saja mendorong PNS untuk berkinerja baik tetapi juga
menghindari inefisiensi keuangan negara dan mendukung sistem pendidikan yang
“link and match”.
Untuk tujuan di atas maka diperlukan satu unit tertentu yang bertugas men-
gawasi penempatan pegawai dan melakukan seleksi untuk setiap promosi jabatan
di luar Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang selama
ini dinilai tidak efektif.
Rp. 2.311.792
Tunjangan umum Rp. 180.000
Tunjangan beras (3x 59.000) Rp. 177.000
Tunjangan pajak -
Rp. 2.668.792
Potongan
Iuran wajib pegawai 10 % Rp. 266.879
Pajak -
Taperum Rp. 5.000
Rp. 271.879
Sumber : Perhitungan berdasarkan PP No 15 tahun 2012 tentang Perubahan gaji PNS, berlaku per
Sumber : Perhitungan berdasarkan PP No 15 tahun 2012 tentang Perubahan gaji
1 Januari 2012PNS, berlaku per 1 Januari 2012
Edisi 2, Tahun II | 45
Jika gaji sebesar Rp. 2.396.913,00 tersebut dibagi 3, yaitu pegawai X,
Rp. 798.971 per bulan. Bagi pegawai X uang sebesar itu mungkin hanya
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Jika gaji sebesar Rp. 2.396.913,00 tersebut dibagi 3, yaitu pegawai X, istri, dan
satu orang anaknya, maka masing-masing memperoleh sebesar Rp. 798.971 per
bulan. Bagi pegawai X uang sebesar itu mungkin hanya cukup untuk transport ke
kantor setiap bulan. Bagaimana makannya pegawai X? numpang bagian anak istri,
bagaimana anak sekolah? bagaimana kontrak rumah? Jalan yang ditempuh adalah
hutang pinjam teman, saudara, gadaikan SK di bank atau membolos cari tambahan
di luar kantor. Oleh karena itu tidak heran jika banyak PNS yang gajinya minus dan
banyak PNS yang tidak berada di kantor ketika masih jam kerja.
Terlepas dari kontroversi tentang besar dan kecilnya gaji seorang PNS, secara
jujur harus diakui bahwa komponen-komponen dalam gaji tersebut memang san-
gat tidak layak atau bahkan bertentangan dengan hak asasi manusia. Komponen
tunjangan anak sebesar 2% dan istri/suami 10% dari gaji pokok sudah sangat tidak
sesuai dengan perkembangan peradaban. Bayangkan seorang istri yang tidak bekerja
dan bergantung dengan gaji suami hanya dihargai (diberi tunjangan ) sebesar
Rp. 460.370,00 dari sebesar Rp.4.603.700,00 gaji pokok suaminya dengan golongan
tertinggi PNS (IV/e) dan masa kerja selama 32 tahun atau lebih (PP No 15 tahun
2012 tentang Perubahan gaji PNS, berlaku per 1 Januari 2012).
Idealnya penghasilan PNS tiap bulan dapat menghidupi keluarganya secara
layak, besarannya tentu perlu perhitungan mendalam dengan melakukan peruba-
han beberapa komponen gaji PNS. Misalnya tunjangan istri dan anak tidak seperti
saat ini, apalagi tunjangan anak diberikan sampai yang bersangkutan menikah atau
menyelesaikan pendidikannya maksimal umur 25 tahun atau sampai usia 21 tahun
jika tidak sekolah/kuliah. Struktur gaji yang lebih besar tunjangan dari gaji pokok
perlu dibalik sehingga tunjangan lebih kecil dari gaji pokok. Sesuatu yang sifatnya
menunjang tentu terhadap yang lebih besar, oleh karena itu gaji pokok mestinya
lebih besar dari tunjangan. Sistem penambahan penghasilan melalui honor-honor
dan remunerasi perlu dikaji ulang sebab menimbulkan kesenjangan karena tidak
semua pegawai terlibat dalam kepanitiaan dan dapat honor. Akan lebih baik uang
untuk honor-honor dan remunerasi digunakan untuk memperbesar gaji pokok
sehingga sampai memasuki masa purna tugas-pun PNS dapat sejahtera karena
persentasi uang pensiun dihitung dari gaji pokok.
46 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
5.6. Pengembangan
Fredrick Winslow Taylor bapak manajemen ilmiah (scientific management)
mengajarkan perlunya (a) menyeleksi, melatih, mendidik dan mengembangkan
karyawan secara benar; (b) mengembangkan ilmu bagi tiap jenis/unsur pekerjaan;
dan (c) menciptakan kerjasama yang sungguh-sungguh di antara sesama karyawan
dan karyawan dengan atasan.
Ajaran manajemen ilmiah tersebut nampaknya disana sini masih terabaikan
atau memang sengaja diabaikan, seleksi, pelatihan dan pendidikan pegawai banyak
dilakukan secara formalitas sehingga tidak banyak atau sama sekali tidak ditemukan
perubahan perilaku yang mengarah pada perbaikan kinerja. PNS dapat naik pangkat
setiap 4 tahun sekali terlepas dari berprestasi atau tidak, PNS dapat menduduki ja-
batan struktural tertentu berdasarkan selera pimpinan atau intervensi pihak tertentu
meskipun Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan tidak merekomendasikan.
Pengembangan PNS baik untuk keikutsertaan dalam kursus-kursus penjenjan-
gan, menduduki jabatan maupun untuk kenaikan pangkat seyogyanya dilakukan
melalui seleksi secara terbuka oleh suatu tim yang tidak memihak (independent).
Jadi setiap akan mengikuti kursus dilakukan seleksi, setiap akan promosi jabatan
dilakukan seleksi, dan setiap akan naik pangkat dilakukan seleksi. Kenaikan pan-
gkat PNS tidak harus 4 (empat) tahun sekali, dapat saja seorang PNS naik pangkat
2 (dua) atau 3 (tiga) tahun sekali sesuai prestasinya, dan sebaliknya seorang PNS
dapat tidak naik pangkat lebih dari 4 (empat) atau 5 (lima) tahun jika memang yang
bersangkutan tidak berkinerja baik.
5.7. Pemensiunan
Pensiun bagi sebagian PNS menjadi sebuah momok, bukan saja bagi mereka
yang pernah mengenyam manisnya jabatan tetapi juga bagi pegawai biasa yang
bergaji pas-pasan. Dengan sistem penggajian seperti saat ini yang lebih besar tun-
jangan daripada gaji pokoknya akan terasa mengagetkan. Oleh karena itu dengan
membalik sistem penggajian dengan cara memperbesar gaji pokok dan tunjangan
lebih kecil dari gaji pokok akan mengurangi kekhawatiran para PNS yang akan
pensiun.
Di samping itu Pemerintah harus mempersiapkan keterampilan tertentu bagi
PNS yang telah memasuki masa persiapan pensiun. Perlu pula dipertimbangkan
Edisi 2, Tahun II | 47
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
kembali pembayaran pensiun per bulan seperti saat ini atau sekaligus diterima oleh
PNS pada penghujung karier dan pengabdiannya.
6. Kesimpulan
Peningkatan daya saing nasional pada tataran global dapat dilakukan dengan
peningkatan kinerja PNS dan untuk meningkatkan kinerja PNS perlu dilakukan
perubahan pengelolaan sumber daya aparatur secara mendasar tidak tambal sulam.
Selama perubahan mendasar tidak dilakukan maka selama itu pula Indonesia tidak
akan memiliki aparatur negara yang berdaya saing tinggi. Perubahan manajemen
sumber daya aparatur secara mendasar tersebut dimulai dari inventarisasi jenis-jenis
pekerjaan yang harus ditangani pemerintah/negara, penempatan pegawai pada
jenis pekerjaan sesuai keahliannya, perbaikan sistem penggajian, pengembangan
pegawai melalui seleksi terbuka, kenaikan pangkat sesuai prestasi dan perlunya
internalisasi nilai-nilai kejujuran, kebenaran, disiplin dan keadilan di kalangan PNS.
48 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Barzelay, Michael.1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Govern-
ment. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Bennis, Warren G. 1994. On Becoming a Leader. With a New Introduction Reading: M A. Addison-
Wesley Publishing Co.
Chandler, Ralp. C. and Jack.C. Plano. 1988. The Public Administration Dictionary. 2nd ed. Santa
Barbara. CA: ABC-CLIO Inc.
Gaspersz, Vincent. 2003. Sitem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six
Sigma Untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Jakarta. Gramedia.
-----------------1997. Manajemen Kualitas, Penerapan Konsep-konsep Kualitas Dalam Bisnis Total.
Terjemahan Sudarsono. Jkt: PT Gramedia.
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. 1992. “The Balanced Scorecard-Measures that Drive
Performance”. Harvard Bussines Review. January – February 1992.
--------------, 1996. Balanced Scorecard. Jakarta: Erlangga.
--------------, 1997. Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard. Boston, MA: HBS Press.
Lepawsky, Albert, 1960. “Administration”, New York
Mahmudi 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta : UPP AMP YKPN..
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Suradinata, Ermaya.1994. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara. Bandung: Ramadhan.
-------------, 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, Suatu Tinjauan Wawasan Masa Depan.
Bandung: Ramadhan.
Wirman Syafri, P Israwan. 2010. Implementasi Kebijakan Publik dan Etika Profesi Pamong Praja,
cetakan ke 2, Alqaprint Jatinangor.
Wirman Syafri, 2011. Studi Tentang Administrasi Publik. IPDN Press
http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profilstatistik-pns/dis-
tribusi-pns-berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html
http://bp2t.magelangkota.go.id/component
Edisi 2, Tahun II | 49
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
A. PENDAHULUAN
Secara juridis - formal, sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur
dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999. Pasal 7 undang-undang tersebut
mengamanatkan: (1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil
dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya; (2) Gaji yang
diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraannya; (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimak-
sud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam bab penjelasan
dinyatakan: Pertama, yang dimaksud sebagai adil dan layak adalah bahwa gaji PNS
harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan
perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang diper-
cayakan kepadanya. Kedua, Pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk
mencegah kesenjangan baik antarPNS maupun antarPNS dengan swasta.
50 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
jelas. Karena tidak jelasnya ukuran yang digunakan untuk kenaikan gaji tersebut,
banyak orang mengatakan bahwa “sistem penggajian PNS yang berlaku saat ini
merupakan sistem penggajian yang tidak bersistem”.
Sistem penggajian yang berlaku saat ini adalah gaji dengan sistem gabun-
gan, yaitu gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan pangkat dan masa kerja, tanpa
memperhatikan sifat pekerjaan dan tanggungjawab serta tunjangan jabatan yang
ditetapkan berdasarkan jenjang jabatan. Di samping gaji pokok, PNS juga menerima
tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan khusus dan honorarium. Seja-
lan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mencanangkan bahwa salah satu
bagian dari reformasi birokrasi di bidang kepegawaian adalah reformasi sistem
remunerasi Pegawai Negeri. Reformasi sistem remunerasi PNS pada prinsipnya
adalah penataan sistem penggajian, pemberian tunjangan dan fasilitas PNS menuju
pada sistem yang adil dan layak, yaitu berdasarkan tugas, tanggung jawab dan
beban kerja serta kinerja.
Edisi 2, Tahun II | 51
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
52 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Pada masa ini, gaji pegawai lebih didasarkan pada tingkat kebutuhan
hidup pegawai dan stelsel yang dipergunakan adalah stelsel ” horizon-
tale overgang” atau ”masa kerja”. Selanjutnya menyempurnakan sistem
penggajian dengan menambah perhitungan besaran gaji dengan sistem
”Inheemsemaatstaf”, yakni gaji didasarkan atas ukuran hidup bangsa Indo-
nesia. Akibatnya, pada masa Hindia Belanda ini sistem penggajian selain
menggunakan asas unifikasi juga menerapkan sistem gaji berdasarkan
masa kerja dan kebutuhan hidup. Sistem penggajian tidak menggunakan
evaluasi jabatan dan klasifikasi jabatan yang mendasarkan pada prestasi
kerja.
b. Masa Jepang
Pada masa pendudukan Jepang sistem penggolongan jabatan yang
berlaku pada jaman Hindia Belanda dihapuskan. Pada masa ini, jabatan
dibagi menjadi lima tingkatan yang termuat dalam peraturan ”Kengpo”,
yang khusus mengatur pegawai yang bukan bangsa Jepang. Di sini pun
tidak dapat diharapkan adanya evaluasi dan klasifikasi jabatan.
54 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Edisi 2, Tahun II | 55
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
mendasarkan pada pemberian gaji secara adil dan layak. Gaji adil dan layak
yang dimaksud adalah bahwa gaji pegawai harus mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya, sehingga yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian,
pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan
kepadanya.
Dari amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 199 ini, maka sistem penggajian
PNS diharapkan mencerminkan keadilan baik internal (antarjabatan di lingkun-
gan Pegawai Negeri haruslah diberlakukan indikator/faktor jabatan yang sama
dalam penentuan gajinya) dan keadilan eksternal (antara jabatan di lingkungan
Pegawai Negeri dengan jabatan di luar Pegawai Negeri (seperti pejabat negara
atau pegawai swasta haruslah mencerminkan keadilan). Selain itu gaji yang
diberikan kepada pegawai diupayakan dapat menjamin dan mampu memenuhi
kebutuhan hidup layak, sehingga juga harus didasarkan pada kebutuhan hidup
layak seorang pegawai dan keluarganya.
a. Gaji Pokok
Gaji Pokok PNS ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaima-
na yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni mulai dari Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1948 hingga terakhir Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2010. Penentuan gaji pokok didasarkan pada Pangkat
dan Golongan/Ruang Penggajian serta Masa Kerja yang dimiliki PNS.
Terdapat beberapa pengecualian dalam ketentuan penggajian, misalnya
Gaji Hakim yang diatur secara khusus dengan Peraturan Pemerintah,
dengan alasan: a. Agar Hakim sebagai Pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman dan sebagai salah satu aparat hukum perlu terus
ditingkatkan kualitas dan kemampuan profesionalnya. b. Untuk mendu-
kung kedudukan kekuasaan kehakiman dan agar melakukan tugasnya
56 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
dengan baik serta bertanggung jawab, maka kepada hakim perlu diberikan
jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggungjawabnya.
d. Tunjangan
Tunjangan yang diterima oleh PNS diatur dalam Peraturan Pemer-
intah, yang terdiri atas Tunjangan Keluarga (Isteri/Suami dan Anak),
Tunjangan Pangan/Beras, Tunjangan untuk Jabatan Struktural, Tunjangan
untuk Jabatan Fungsional, Tunjangan Kemahalan, Tunjangan Penyesuaian
Risiko Pekerjaan, Tunjangan Penyesuaian Indeks Harga, dan Tunjangan
Perbaikan Penghasilan (saat ini sudah tidak diberlakukan lagi). Keselu-
ruhan ketentuan tentang tunjangan tersebut diatur tersendiri, baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun dalam bentuk
peraturan perundang - undangan lainnya.
Edisi 2, Tahun II | 57
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
e. Honorarium
Honorarium biasanya diterima oleh PNS melalui pelaksanaan Pro-
gram dan Kegiatan pada masing-masing Instansi/ Lembaga, yang be-
sarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
58 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Edisi 2, Tahun II | 59
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
tingkat kompetensi yang ideal bagi pemegang jabatan tertentu adalah dasar bagi
keadilan internal.
Reference Salary adalah suatu besaran gaji yang dipercayai organsiasi perlu
dibayarkan untuk dapat mempertahankan pegawai-pegawainya yang paling kom-
peten. Referensi ini disusun berdasarkan kebijakan kompensasi dan survai pasar.
Karena gaji berdasarkan referensi ini dibayarkan bagi individu-individu yang paling
kompeten, maka nilai referensi tidak terletak pada nilai tengah suatu rentang gaji,
melainkan cenderung berada di bagian atas dari rentang gaji yang dibayarkan untuk
individu-individu dalam grade itu. Oleh karena itu, Reference Salary merupakan hal
yang sangat penting yang mengaitkan kesetaraan internal dan daya saing eksternal.
Reference Salary dapat didefinisikan sebagai bayaran yang kompetitif bagi pemegang
jabatan yang berkompetensi penuh.
60 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
juga akan memberi lebih banyak kebebasan bagi organsiasi dalam memberi imbalan
bagi para top perfomer-nya. Suatu organisasi perlu berhati-hati dalam mengontrol
kenaikan gaji karena kinerja (performance-based salary increases), karena dengan
melakukan hal itu berarti organisasi telah menaikkan biaya tetapnya menjadi ti-
dak terbatas hanya berdasarkan kinerja satu tahun saja. Organisasi boleh menjadi
lebih royal dalam memberi imbalan bagi kinerja pegawainya dengan memberikan
pembayaran sekali-bayar, karena pembayaran seperti ini tidaklah menaikkan biaya
tetap pada tahun berikutnya.
Untuk dapat betul-betul melaksanakan “P” yang pertama ini secara tepat
sasaran, kuncinya adalah dengan menyusun struktur grading yang sederhana, lalu
menetapkan reference salary bagi setiap grade/golongan. Menyeimbangkan “3P”, “Pay
for Position” adalah dasar dari kebijakan pembayaran gaji suatu organisasi yang
merupakan kepanjangan dari strategi bisnis dan merefleksikan kultur kerja suatu
organisasi. Strategi bisnis dan kultur kerja menentukan seberapa besar penekanan
yang ingin diberikan oleh suatu perusahaan kepada P yang pertama ini dibanding-
kan kedua P yang lain (Person dan Performance). Dalam kaitannya terhadap Pay for
Position, fokus kebijakan kompensasi akan diterjemahkan ke dalam lebarnya suatu
golongan. Lebar golongan mencerminkan perbedaan dalam ukuran pekerjaan (job
size) yang memungkinkan untuk dikelompokkan ke dalam golongan yang sama.
Golongan yang sangat lebar mengakibatkan kurangnya penekanan pada posisi,
karena dalam golongan yang lebar tertampung banyak posisi dengan ukuran pe-
kerjaan yang berbeda.
Dalam hal ini, maka faktor-faktor lain seperti kapabilitas dan kompetensi in-
dividu (Pay for Person) atau pencapaian target individu (Pay for Performance) akan
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam kompensasi total dibandingkan tingkat
golongan. Contoh pendekatan seperti ini biasa disebut broad-banding. Kebalikannya,
golongan yang sempit memberi penekanan pada posisi, karena bertambahnya tang-
gungjawab yang sedikit saja pada suatu pekerjaan akan mengakibatkan promosi
dan kenaikan golongan. Lebar golongan tidak hanya menentukan pentingnya
bobot posisi terhadap bayaran, tetapi juga dapat digunakan untuk memvariasikan
penekanan masing-masing elemen bayaran itu – position, person, and performance –
pada tingkatan yang berbeda dalam organisasi. Evaluasi jabatan dapat dilakukan
Edisi 2, Tahun II | 61
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
melalui suatu alat ukur posisi yang memusatkan pada karakteristik universal yang
ada pada tiap pekerjaan.
Hal lain yang perlu dipahami dalam pengembangan sistem penggajian adalah
berkaitan dengan konsep clean wages. Clean wages bukan semata-mata diartikan
sebagai Gaji Bersih (setelah pajak). Namun clean wages merupakan trend struktur
gaji (salary structure) yang tidak terlalu banyak benefit/tunjangan. Mengapa terlalu
banyak tunjangan tidak diinginkan? Pertama, organisasi/perusahaan yang tidak
menerapkan clean wages cenderung untuk menambahkan tunjangan lain yang pada
akhirnya akan menimbulkan tambah ruwetnya sistem remunerasi yang ada. Kedua,
dengan terlalu banyaknya tunjangan maka akan menimbulkan kebingungan meme-
liharanya, organisasi akan kesulitan melakukan penyesuaian berkala-nya karena
yang pasti besaran tunjangan yang ada tidak akan tetap selama bertahun-tahun.
Hasil dari beberapa kajian tentang sistem penggajian Pegawai Negeri ber-
pendapat bahwa sistem penggajian PNS hendaknya mengakomodasi beberapa hal
berikut (Puslitbang BKN, 2009).
a. Menitikberatkan bobot jabatan (pekerjaan) dan prestasi kerja, yakni dengan
mengubah paradigma gaji pegawai menuju gaji jabatan . Paradigma gaji pega-
wai, adalah bahwa gaji yang diterimakan kepada pegawai lebih mendasarkan
pada kondisi pegawai saat itu, yakni lebih mendasarkan pada golongan ruang
dan kurang mendasarkan pada bobot pekerjaan atas jabatan yang dipangkunya.
Sedangkan gaji jabatan, adalah gaji yang diterimakan kepada pegawai lebih
didasarkan pada besarnya bobot pekerjaan atas jabatan yang dipangkunya dan
prestasi kerja yang dicapai oleh pegawai yang bersangkutan. Dalam paradigma
gaji jabatan, pegawai yang memangku jabatan berbeda maka gajinya berbeda.
Sehingga sistem penggajian ini dapat mewujudkan pemberian gaji secara adil
dan layak.
b. Memenuhi prinsip-prinsip equity, competitiveness, transparant, simple, dan legal.
c. Sistem penggajian haruslah dalam suatu kerangka besar sistem manajemen
kepegawaian. Sistem penggajian PNS haruslah berorientasi pada sistem merit,
yang mendasarkan pada nilai bobot pekerjaan sesuai hasil evaluasi jabatan.
d. Proporsional atau persentase gaji dan tunjangan pegawai negeri, pejabat negara,
dan pejabat lainnya diatur dalam satu peraturan perundang-undangan secara
sekaligus. Sehingga pada saat ada perubahan kebijakan yang terkait dengan
penggajian secara langsung sudah mempertimbangkan keadilan internal dan
eksternal.
62 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Edisi 2, Tahun II | 63
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
2. Langkah-Langkah Strategis
Sistem penggajian berbasis jabatan pernah diterapkan di Indonesia, yaitu
melalui PP Nomor 200 Tahun 1961 (PGPN-1961). PGPN tahun 1961 menetap-
kan gaji berdasarkan harga jabatan. Mengacu pada sistem penggajian yang
pernah diterapkan di Republik Indonesia tersebut, maka struktur gaji PNS
akan didesain berdasarkan jabatan. Dalam struktur gaji PNS berdasarkan ja-
batan tersebut tidak ada lagi tunjangan jabatan, karena sebenarnya tunjangan
jabatan sudah melekat di dalam gaji tersebut (setiap jabatan mempunyai harga
jabatan). Secara garis besar, ada empat langkah strategis yang perlu dilaku-
kan untuk menuju pada penerapan sistem penggajian berbasis jabatan, yaitu
tahap perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan dan tahap tindakan koreksi
(Direktorat Gaji dan Kesejahteraan BKN, 2011). Penjelasan terhadap empat
langkah tersebut adalah seperti uraian di bawah ini.
64 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Edisi 2, Tahun II | 65
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
66 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
68 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Edisi 2, Tahun II | 69
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Beberapa hal yang sangat urgent dalam penataan pangkat dan ja-
batan, antara lain:
1) Rekrutmen pegawai, yang harus mendasarkan pada kebutuhan riil organ-
isasi. Prinsip satu jabatan satu tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
haruslah mendasari setiap perumusan jabatan, sehingga tidak ada satupun
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak yang sama dilakukan oleh lebih
dari satu jabatan atau tidak ada satupun jabatan yang tidak mempunyai
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak. Rekrutmen pegawai sebagai
langkah untuk mengisi formasi jabatan lowong dilaksanakan berdasarkan
prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi (tuntutan syarat jabatan),
prestasi kerja (tuntutan kinerja jabatan) dan jenjang pangkat (tingkatan/
level jabatan). 2) Karir, kompetensi dan kinerja pegawai sebagai dasar dalam
pembinaan karir pegawai (rotasi, promosi, dan demosi). Sehingga tidak
ada lagi pegawai yang mulai diangkat sampai pensiun memangku jabatan
yang sama, tidak ada lagi pegawai mempunyai kompetensi dan kinerja baik
tetapi demosi (mutasi memangku jabatan yang lebih rendah tingkat/level
jabatan dari jabatan sebelumnya) atau tidak ada satupun pegawai yang tidak
memangku jabatan (struktural, fungsional tertentu, atau fungsional umum)
sehingga tidak mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak. Pola
pengembangan karir “spiral piramida”, yakni pola pengembangan karir
bertingkat dalam kelompok jabatan, unit kerja, unit organisasi (instansi/
regional), dan nasional perlu dikembangkan dalam rangka kaderisasi dan
kepastian karir.
2) Pengembangan, Pendidikan dan pelatihan pegawai lebih dikembangkan
pada “competency based training(CBT)”, yakni pendidikan dan pelatihan
pegawai didasarkan pada analisis kebutuhan kompetensi pegawai (gap
antara tuntutan syarat jabatan dan kompetensi pegawai). Di samping itu,
setiap pegawai haruslah diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan
70 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
pendidikan dan pelatihan jabatan (karena saat ini, ada kecenderungan diklat
hanya diperuntukan pada jabatan-jabatan tertentu, sedangkan jabatan lain
(seperti: pengemudi, montir, pengadministrasi umum atau jabatan lainnya)
kurang mendapat perhatian bahkan tidak pernah tersentuh pendidikan dan
pelatihan.
3) Kinerja, Capaian hasil kerja sebagai wujud pertanggung jawaban setiap pegawai
(pemangku jabatan) haruslah didasarkan kontrak kerja setiap tahun yang
disepakati antara pimpinan dan pegawai yang secara hierarkhi merupakan
satu kesatuan utuh nantinya sebagai pertanggung jawaban/kinerja organisasi.
Sehingga tidak ada satupun pegawai yang tidak bisa diukur kinerjanya dan
tidak mendukung capaian kinerja organisasi.
4) Remunerasi, komponen remunerasi haruslah dipahami terdiri atas 3 (tiga)
komponen, yakni bersifat: fixed/tetap (gaji dan tunjangan lainnya yang ter-
kait dengan gaji), variabel/tidak tetap tergantung variabel kinerja (tunjangan
kinerja dan tunjangan lainnya yang pemberiannya tergantung suatu variabel
tertentu), dan facility/fasilitas (tunjangan rumah dinas, mobil dinas, medical
check up dan tunjangan lainnya yang terkait dengan sifat pekerjaan/ jabatan).
Pemberian remunerasi harulas berdasarkan prinsip keadilan (internal dan
eksternal) dan kelayakan.
Edisi 2, Tahun II | 71
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
E. PENUTUP
Dengan memperhatikan lingkungan strategis yang terus berkembang baik
internal dan eksternal, maka tahapan langkah strategis penataan sistem penggajian
PNS berdasarkan jabatan dan kinerja seyogyanya didahului dengan beberapa hal
berikut. (1) Pemetaan jabatan PNS, meliputi: analisis jabatan, penetapan jabatan
PNS dan evaluasi jabatan (klasifikasi jabatan dan bobot jabatan); (2) Pemetaan
kompetensi PNS, meliputi perencanaan kompetensi, pengembangan kompetensi
dan pengkuran kompetensi; (3) Manajemen kinerja, meliputi perencanaan kinerja,
pengembangan kinerja dan penilaian/pengukuran kinerja PNS; (4) Penataan sistem
penggajian (remunerasi) PNS berdasarkan bobot jabatan dan kinerja; dan (5) Pena-
taan berbagai tunjangan, yang pada prinsipnya pemberian tunjangan tidak boleh
melebihi gaji pokok.
72 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Referensi
Affandi, M. Joko, 2000, Beberapa Pokok Pikiran tentang Peningkatan Kesejahteraan PNS, Puslitbang
BKN, Jakarta.
Ichasan, Achmad, 1981, Tata Administrasi Kekaryawanan, Djambatan, Jakarta.
Maryanti Ninik dan Salipi Basri, 1988, Perkembangan Sistem Penggajian PNS, Bina Aksara, Jakarta.
Dewan Ketahanan Nasional, 1999, Hasil Penelitian, Sekretariat Jenderal, Jakarta.
Indarto, W. B, 2004, Sistem Penggajian, Insentif PNS dan Reformasi Birokrasi, Bunga Rampai Hasil
Penelitian, Badan Analisa Fiskal, Jakarta.
Simanungkalit, Janry Haposan, 2011, Redesign Sistem Penggajian PNS, BKN, Jakarta.
Direktorat Gaji dan Kesejahteraan BKN, 2011, BKN, Jakarta.
Muttaqin, Tatang, 2008, Pembaruan Birokrasi: Ikhtiar Mewujudkan PNS yang Bersih dan Profesional,
Bappenas, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
Edisi 2, Tahun II | 73
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
PATOLOGI BIROKRASI
DAN PROFESIONALISASI PEGAWAI NEGERI SIPIL
(PNS)
Oleh : Suwarni, S. Sos, M. Si
Staf Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen, Jawa Tengah
A. Sejarah Birokrasi
Kehidupan modern mengharuskan manusia saling tergantung dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup tersebut akan terlaksana kalau
manusia melibatkan diri dalam organisasi. Kebutuhan modern diselenggarakan
oleh organisasi yang berskala luas yang disebut birokrasi, yaitu organisasi yang
direncanakan untuk menjalankan tugas yang bersakala luas dan melibatkan sejumlah
orang yang berkerja secara berkoordinasi.
74 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Hal ini utamanya ditemui di negara Mesir Kuno dan Babilonia. Untuk membayar
imbalan, kepada aparat birokrasi maka dipungut semacam pajak dari pengusaha
yang meminta jasa birokrasi yaitu berupa gandum atau hasil pertanian lainnya
(Jacoby dalam Suwarni, 2000 : 73).
Dari uraian di atas, adanya birokrasi dimaksudkan sebagai suatu sistem otorita
yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai aturan. Birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang
banyak. Oleh karena itu, pengertian dan konsep tentang birokrasi dari Max Weber
tidak dapat dipungkiri menjadi dasar telaah berbagai tesis mengenai birokrasi.
Belajar memahami birokrasi dewasa ini dirasa jauh lebih penting diband-
ingkan masa-masa sebelumnya. Lagi pula, proses pembelajaran ini memiliki arti
secara khusus dalam birokrasi. Apalagi pada masa sekarang ini, birokrasi sedang
dan harus mengalami revolusi agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang
semakin maju dan modern. Di samping itu, kajian terhadap organisasi birokrasi
akan memberikan kontribusi khusus terhadap kemajuan kinerja birokrasi, dimana
tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada sisi lain, birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang
kehadirannya tak mungin terelakkan. Birokrasi merupakan sebuah konsekuensi logis
dari diterimanya hipotesis bahwa negara mempunyai tugas untuk menyejahterakan
rakyatnya. Karena itu negara harus terlibat langsung dalam memproduksi barang
dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam
kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang
bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat yang disebut dengan istilah birokrasi
(Sulistyani, 2004 : 1).
Birokrasi, pertama kali dicetuskan oleh Max Weber pada awal abad ke-20, tepat-
nya Tahun 1911. Ide Weber pada mulanya untuk mengatasi kekacauan manajemen
dan kondisi birokrasi pemerintahan yang belum teratur di negara-negara Barat
pada waktu itu. Untuk mengetahui ide orisinal Bapak Birokrasi tersebut, berikut
disampaikan ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber (dalam Sulistyani, 2004 : 8 - 9):
1. Pembagian kerja
Edisi 2, Tahun II | 75
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
2. Hirarki wewenang
3. Pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi
4. Impersonalitas hubungan
5. Kemampuan teknis
6. Jenjang karier
Birokrasi juga dianggap sebagai necessary evil (hantu yang menakutkan yang
dibutuhkan) dari era Weber, Parson, sampai pada Osborne dan Gaebler dalam re-
inventing government-nya tampak masih memposisikan masyarakat sebagai objek
pasif. Sehingga organisasi publik yang bernama pemerintah semakin tidak diminati.
Bukan karena publik sudah jenuh karena birokrasi hanya mengurus dirinya sendiri,
namun publik merasa harus menghindari hantu ini (Putra dan Arif, 2001 : 4).
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan awal bahwa masih banyak ter-
dapat berbagai kelemahan dalam organisasi birokrasi, khususnya birokrasi pemer-
intah. Oleh karena itu, menurut Blau dan Meyer ( 2000 ) tidak ada keraguan bahwa
kadang-kadang birokrasi bekerja tidak efisien. Dengan demikian birokrasi sering
dijuluki dengan istilah red tape hal ini disebabkan karena masyarakat selama ini
sering merasa dirugikan oleh keputusan birokrasi.
76 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Edisi 2, Tahun II | 77
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
78 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
• ketidakmampuan belajar
• ketidaktepatan tindakan
• inkompetensi
• ketidakcekatan
• ketidakteraturan
• melakukan kegiatan yang tidak relevan
• sikap ragu-ragu
• kurangnya imajinasi
• kurangnya prakarsa
• kemampuan rendah (mediocrity)
• bekerja tidak produktif
• ketidakrapian
• stagnasi
Edisi 2, Tahun II | 79
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
80 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Uraian di atas menunjukkan bahwa birokrasi selama ini masih bergelut dengan
berbagai persoalan. Bahkan karena begitu banyaknya masalah atau penyakit biro-
krasi, maka istilah patologi birokrasi sudah tampak akrab dan tak asing lagi bagi
birokrasi. Dengan melihat berbagai kompleksitas permasalahan birokrasi ini, maka
sudah saatnya jika birokrasi segera melakukan perubahan di segala aspek untuk
membenahi citra dan kinerjanya yang selama ini masih terkesan lamban, berbelit-
belit, KKN, dan sebagainya. Aspek penting perubahan birokrasi ini salah satunya
adalah aspek Sumber Daya Manusia (SDM ) atau PNS yang profesional.
Edisi 2, Tahun II | 81
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
2. Pengertian Profesional
Ada beberapa pengertian “profesional” menurut para ahli yang dikutip
dari http://carapedia.com/pengertian_definisi_profesional_info2140.html
, antara lain :
• Korten dan Alfonso, 1981
Yang dimaksud dengan profesionalisme adalah kecocokan (fitness) an-
tara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence)
dengan kebutuhan tugas (ask-requireme)
• Kusnanto
Profesional adalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam suatu
pekerjaan tertentu
• Kamus Besar Bahasa Indonesia
Profesional bersangkutan dengan profesi yang memerlukan kepandaian
khusus untuk menjalankannya
82 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Edisi 2, Tahun II | 83
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
84 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Edisi 2, Tahun II | 85
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
86 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Edisi 2, Tahun II | 87
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Dari pendapat ini terlihat jelas, betapa kualitas SDM (birokrasi) yang pro-
fesional merupakan kunci utama dalam mewujudkan Reinventing Government
dan Good Governance di Indonesia. Kualitas SDM yang dimaksud tentu tidak
terlepas dari semangat entrepreneur atau wirausaha dalam konteks birokrasi
88 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Edisi 2, Tahun II | 89
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
UU Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 32 (1) dan (2) juga menyebutkan bahwa
untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan
Pegawai Negeri Sipil. Usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi program pensiun dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan,
tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra-putri Pegawai
Negeri Sipil. Sedangkan Pasal 7 (2) menyebutkan bahwa Gaji yang diterima
oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraannya.
90 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Oleh karena itu, profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem
rekruitmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan
mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara
pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan
yang sepadan, tentu menjadi sebuah keniscayaan.
Edisi 2, Tahun II | 91
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
DAFTAR PUSTAKA
Ambar Teguh Sulistyani, dkk, Memahami Good Governance, 2004, Gava Media, Yogyakarta.
Blau, Peter M dan Meyer, Marshall W., Birokarsi dalam Masyarakat Modern (terjemahan),
2000, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta
Fadillah Putra dan Saiful Arif, Kapitalisme Birokrasi, 2001, LkiS, Yogyakarta
Moeljarto Tjokrowinoto, dkk., Birokrasi Dalam Polemik, 2001, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Osborne, David dan Plastrik, Peter., Bunishing Bureaucracy (Memangkas Birokrasi – ter-
jemahan), 1996, PPM, Jakarta
Osborne, David dan Gaebler, Ted., Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi
– terjemahan ), 1992, PPM, Jakarta.
Salamoen dan Nasri Efffendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI, 2006, LAN
RI, Jakarta.
Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Suwarni, Modul Organisasi dan Mananajemen, 2000, Universitas Islam “45” , Bekasi
Suwarni, Reinventing Government, Mungkinkah ? Kajian Tentang: Politik Kemanusiaan
Negara Versus Kapital isme Birokrasi, 2008, Widya Sari, Salatiga
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian
Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010 – 2025
92 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
ABSTRACT
A. PENDAHULUAN
Dalam rangka menggerakkan pembangunan nasional, salah satu komponen
yang dibiayai oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah dalam bentuk pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada pengadaan
barang/jasa pemerintah, di mana sumber dana yang digunakan berasal dari rakyat
dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat tentunya harus dipergunakan secara
efisien dan efektif.
Edisi 2, Tahun II | 93
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
1 *) Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H., Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh (Email : insa_ansari@yahoo.com) Paragraf 2 Penjelasan Umum Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
2 Ibid. Lihat juga dengan Konsideran Menimbang huruf b Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, di mana di antaranya disebutkan: “….perlu pengaturan mengenai tata
cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik,
sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif bagi para pihak yang terkait dengan Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah.”
3 Pasal 5 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “Pen-
gadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. efisien; b. efektif; c. transparan; d.
terbuka; d. terbuka; e. bersaing; f. adil/tidak diskriminatif; dan g. akuntabel.”
94 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
1. Konsideran Menimbang
Pada konsideran menimbang huruf a disebutkan: “bahwa agar pengadaan
barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilak-
sanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan,
terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya
bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat, dipandang perlu
menyempurnakan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.”
Edisi 2, Tahun II | 95
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
5. Pakta Integritas
Dalam formulir pakta integritas yang terdapat dalam Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, terdapat
penyataan yang menyatakan:
96 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4 Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2002, hal. 20-21.
5 Pasal 1 angka 37 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Edisi 2, Tahun II | 97
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
Pengaturan pengadaan pada Bab XIII Peraturan Presiden dimaksud terdiri atas
beberapa bagian, yaitu Ketentuan Umum Pengadaan Secara Elektronik, E-Tendering,6
E-Purchasing,7 dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik.8 Adapun selengkapnya
pengaturan di dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum Pengadaan Secara Elektronik.
Ketentuan umum pengadaan secara elektronik dalam Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdiri
atas 3 (tiga) pasal, yaitu:
a. Kemungkinan Pengadaan secara Elektronik
Ketentuan Pasal 106 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan:
(1) Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara elektronik.
(2) Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik dilakukan dengan cara e-tendering
atau e-purchasing.
b. Tujuan Pengadaan secara Elektronik
Ketentuan Pasal 107 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyatakan:
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik bertujuan untuk:
a. meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
b. meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
c. memperbaiki tingkat efisiensi proses Pengadaan;
d. mendukung proses monitoring dan audit; dan
e. memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.
6 Pasal 1 angka 39 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “E-Tendering adalah tata cara
pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua Penyedia
Barang/Jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan 1 (satu)
kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan.”
7 Pasal 1 angka 41 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “E-Purchasing adalah tata cara
pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog elektronik.”
8 Pasal 1 angka 38 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “Layanan Pengadaan Secara
Elektronik yang selanjutnya disebut LPSE adalah unit kerja K/L/D/I yang dibentuk untuk menyelenggarakan
sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik”
98 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Edisi 2, Tahun II | 99
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
9 Pasal 1 angka 40 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “Katalog elektronik atau E-
Catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang
tertentu dari berbagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah.”
10 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Bidang Hukum
Administrasi Negara, Jakarta, BPHN Depkumham RI, 2008, hal.1
11 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2005, hal. 107
12 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 61.
13 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004, Hal. 24
14 Ibid.
Untuk mewujudkan Good Governance dan Clean Governance dalam pengadaan barang/
jasa pemerintah, sebenarnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebenarnya telah mengembangkan prinsip efisien,17 efektif,18
15 Salamoen Soeharyo, Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indo-
nesia, Jakarta, LAN-RI, 2006, hal.13
16 Paragraf Pertama Penjelasan Umum atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
17 Penjelasan atas Pasal 5 huruf a Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Efisien, berarti Pengadaan
Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas
dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai
hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum.”
18 Penjelasan atas Pasal 5 huruf b Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Efektif, berarti Pengadaan
Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya.”
19 Penjelasan atas Pasal 5 huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Transparan, berarti semua
ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas
oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.”
20 Penjelasan atas Pasal 5 huruf d Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Terbuka, berarti Pengadaan
Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu
berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.”
21 Penjelasan atas Pasal 5 huruf e Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Bersaing, berarti Pengadaan
Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/
Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara
kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan
Barang/Jasa.”
22 Penjelasan atas Pasal 5 huruf f Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Adil/tidak diskriminatif, be-
rarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk
member keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.”
23 Penjelasan atas Pasal 5 huruf g Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: Akuntabel, berarti harus sesuai
dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggung-
jawabkan.”
24 Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan:
“Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan terca-
painya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya
harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan
atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat
dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
Kedua Rule of Law. Meskipun Pasal 106 ayat (2) menyatakan bahwa Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara elektronik. Kata-kata “dapat” yang
terdapat dalam ketentuan tersebut merupakan kata-kata yang tidak mewajibkan
dan tidak melarang, tapi sebenarya belum memiliki kekuatan memaksa (imperative)
terhadap penggunaan E-Procurement. Sehingga memungkinkan para pihak untuk
menggunakan atau tidak menggunakan system tersebut. Hal ini bisa dipahami,
mungkin karena keterbatasan sumber daya (resources) yang dimiliki oleh pemerintah.
Akan tetapi dengan adanya pengaturan lebih baik berkaitan dengan E-Procurement
dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah tentunya telah memiliki dasar berpijak yang jelas. Hanya saja pelaksa-
naannya perlu lebih baik, sehingga tidak terjadi disparitas antara peraturan dengan
praktek.
E. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan pada bagian terdahulu, maka kesimpulan yang dapat
diambil bahwa pengadaan secara elektronik (E-procurement) pada pengadaan ba-
rang/jasa pemerintah dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good
governance). Karena prinsip-prinsip dan tujuan pemanfaatan E-Procurement sesuai
dan sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Namun,
disarankan juga pentingnya kaedah hukum yang sifatnya memaksa (imperative) un-
tuk pelaksanaan E-Procurement di masa mendatang, di samping dengan dukungan
sumber daya manusia dan teknologi yang memadai. Dengan cita-cita perubahan
untuk kebaikan dan kemajuan terus disuarakan dan dijalankan. Semoga kemak-
muran tidak hanya menjadi cita-cita, tetapi menjadi kenyataan bagi seluruh Bangsa
Indonesia.
***
25 Lihat dan bandingkan dengan Paragraf Pertama Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Sistem Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana disebutkan: “……
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia
menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara
signifikan berlangsung demikian cepat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Peraturan Perundang-undangan
A. Pendahuluan
Seiring dengan arus globalisasi yang berbasis Teknologi Informasi dan Komu-
nikasi (TIK), maka implementasi e-Government merupakan suatu kebutuhan setiap
tingkatan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah sebagaimana diamanahkan
oleh Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Na-
sional Pengembangan e-Government. Adapun garis besar isi dari regulasi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Panduan pembangunan infrastruktur portal pemerintah
2. Panduan manajemen sistem dokumen elektronik
3. Panduan penyusunan rencana induk pengembangan e-Government lembaga
4. Panduan penyelenggaraan situs web pemerintah daerah
5. Panduan tentang pendidikan dan pelatihan SDM e-Government
1 Kepala Kantor Pengelola Data Elektronik Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah
Otonomi Daerah juga memberikan kewenangan dan peluang yang sangat luas
bagi daerah untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan
daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain otonomi dae-
rah juga merupakan tantangan yang menuntut Pemerintah Daerah untuk selalu
mengembangkan inovasi, strategi, dan ide-ide baru untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi masyarakat, serta Pemerintah Daerah juga dituntut untuk dapat
mengantisipasi tantangan persaingan antar daerah maupun persaingan global yang
semakin meningkat.
Dari gambar di atas terlihat bahwa konsep e-Government dengan model e-Business
yaitu: B to B (Business to Business), B to C (Business to Customer), C to C (Custumer to
3 Ibid
D. E-Government di Indonesia
Berdasarkan penilaian e-Government Development Indeks (EGDI)9 yang di-
lakukan oleh PBB pada Tahun 2012 menempatkan Indonesia urutan ke 97 dari 193
6 Ibid hal 97
7 Diakses dari http://www.egov.gov.sg, pada tanggal 23 Juni 2012 Jam 06.57. WIB.
8 Akademi Esensi TIK untuk Pimpinan Pemerintahan, Modul 3 Penerapan e-Government, UN-
APCICT 2009 hal 24.
9 Diakses dari http://www.un.org/en/development/desa/publications/connecting-
governments-to-citizens.html, pada tanggal 23 Juni 2012 jam 07.08
Seiring dengan instruksi presiden tersebut dari waktu ke waktu semakin ban-
yak lembaga pemerintahan yang mengimplementasikan teknologi informasi dalam
proses penyelenggaraan tugasnya sebagai contoh Sistem Informasi Keimigrasian,
Sistem Informasi Kejaksaan, Sistem Informasi Haji, Sistem Informasi pemantauan
jalan raya secara online, pengembangan beberapa sistem informasi yang diperun-
tukkan bagi daerah oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi, pembangunan
database kependudukan yang dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Administrasi
Kependudukan, Departemen Dalam Negeri. Dalam inisiatif tersebut, pemerintah
menetapkan penggunaan e-KTP yang menggunakan Nomor Induk Kependudukan
(NIK). Dengan NIK ini, akan dijamin bahwa, setiap penduduk hanya memiliki satu
dan hanya satu nomor KTP, selain hal tersebut dengan terwujudnya NIK ke depan
akan terwujud Single Indentitas Number yang akan dapat digunakan untuk berb-
agai kepentingan, misalnya untuk urusan keimigrasian, urusan kepolisian, urusan
penanganan kesehatan, urusan pengentasan kemiskinan dan masih banyak lagi.
Indonesia dapat dengan mudah memperoleh akses kepada informasi dan layanan
pemerintah daerah, serta ikut berpartisipasi di dalam pengembangan demokrasi
di Indonesia dengan menggunakan media internet.
Secara garis besar acuan bagi pengembangan dan pemanfaatan TIK di ling-
kungan pemerintah di Indonesia mengacu kepada 5 (lima) dimensi10 , antara lain :
1. Dimensi Kebijakan
1. Merupakan landasan utama bagi pengembangan dan implementasi e-Gov-
ernment.
2. Evaluasi dimensi kebijakan dilakukan terhadap kebijakan dalam bentuk
nyata dari dokumen-dokumen resmi yang memiliki kekuatan legal.
3. Dokumen dokumen tersebut berisi antara lain penentuan dan penetapan dari:
arah/tujuan, program kerja, tata cara atau pengaturan bagi pengembangan
dan implementasi e-Government di lingkungan instansi peserta.
4. Bentuk dokumen dapat berupa surat keputusan, peraturan, pedoman atau
bentuk dokumen resmi lainnya.
5. Pengalokasian Pembiayaan yang cukup untuk melakukan pengembangan dan
implementasi TIK secara layak termasuk salah satu aspek yang dievaluasi
dalam dimensi kebijakan.
2. Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan berkaitan erat dengan keberadaan organisasi yang ber-
wewenang dan bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pemanfaatan
TIK.
3. Dimensi Perencanaan
Dimensi perencanaan berkaitan dengan tata kelola atau manajemen perencanaan
TIK yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
4. Dimensi Infrastruktur
Dimensi infrastruktur berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung
pengembangan dan pemanfaatan TIK, antara lain keberadaan Data Center, sistem
jaringan komunikasi, hardware dan software dan fasilitas pendukung lainnya.
5. Dimensi Aplikasi
Dimensi aplikasi berkaitan dengan ketersediaan dan tingkat pemanfaatan piranti
lunak aplikasi yang mendukung layanan e-Government secara langsung (front
office) atau tidak langsung (backoffice).
Berkaitan dengan hal tersebut pada kesempatan ini penulis ingin menyampai-
kan mengenai implementasi e-Government yang ada di Kabupaten Sragen, dengan
harapan sekelumit pengalaman Kabupaten Sragen dalam mengimplementasikan e-
Government sampai ke level pemerintahan yang paling rendah yaitu desa/kelurahan
dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah lainnya
untuk mengembangkan maupun menyempurnakan implementasi e-Government.
1. Dimensi Kebijakan
Implementasi e-Government di Kabupaten Sragen berawal dari komitmen yang
sangat kuat dari seorang pimpinan daerah untuk menerapkan pemerintahan
yang berbasis elektronik. Komitmen ini terinspirasi dari pengalaman pribadi
Bupati Sragen pada waktu itu dan diteruskan oleh bupati berikutnya bahwa
pelaksanaan birokrasi yang semula terkenal lambat, berbelit belit tidak transparan
dan lain sebagainya, sebagaimana stigma umum birokrasi yang melekat di
mata masyarakat umum Indonesia bahwa birokrasi itu mempunyai sifat dilay-
ani masyarakat bukanlah birokrasi yang melayani masyarakat, maka stigma
tersebut diubah menuju birokrasi yang efektif, efisien dan transparan dengan
memanfaatkan teknologi informasi.
Selain komitmen yang sangat kuat dari pimpinan daerah yang didukung oleh
lembaga legislatif, Pemerintah Kabupaten Sragen juga memperhatikan acuan
normatif yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat maupun yang regulasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen, adapun regulasi yang menjadi
acuan tersebut antara lain :
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Ele-
ktronik.
• Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2003 tentang Tim Koordinasi Telema-
tika Indonesia.
• Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pen-
dayagunaan Telematika di Indonesia.
• Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan e-Government.
• Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor: 2/SK/MENEG/
KI/2002 tanggal 1 Maret 2002 tentang Pembentukan Organisasi Task Force
Pengembangan e-Government.
• Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor: 47A/KEP/M.
KOMINFO/12/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Teknis Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam menunjang e-Govenment.
• Peraturan Bupati Sragen Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pendayagunaan Teknologi
Informasi di kabupaten Sragen.
• Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi Kabupaten Sragen 2010-2014.
2. Dimensi Kelembagaan
Implementasi e-Government di Kabupaten Sragen dimulai pada tahun 2002,
secara kelembagaan bentuk organisasi pada saat itu berupa Bagian Penelitian
Pengembangan dan Data Elektronik (LDE) di bawah Sekretariat Daerah. Sesuai
perkembangan situasi serta adanya beban kerja yang semakin besar, maka pada
tahun 2008 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 15 Tahun 2008
tentang Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah, maka dibentuk Kantor
Pengelola Data Elektronik (KPDE) Kabupaten Sragen yang secara langsung
berkedudukan dan bertanggungjawab kepada Bupati Sragen.
Perubahan organisasi tersebut sebagai komitmen pemerintah Kabupaten Sragen
bahwa dengan pembentukan KPDE, maka proses implementasi e-Government
yang ada di Kabupaten Sragen bisa berjalan dengan lancar. Adapun secara garis
besar lembaga KPDE tersebut mempunyai tugas dan fungsi meliputi 3 (tiga) hal,
antara lain pertama yaitu mengelola jaringan komunikasi dan informasi yang
ada di Kabupaten Sragen, yang meliputi jaringan di SKPD sampai jaringan ke
semua desa/kelurahan termasuk juga instansi vertikal yang ada di kabupaten
Sragen. Dalam hal sewaktu-waktu ada kerusakan sistem jaringan, maka personil
yang ada di KPDE dapat segera melakukan perbaikan sehingga tidak tergantung
kepada vendor. Fungsi kedua yaitu melakukan pengembangan sistem informasi
baik sistem informasi yang digunakan untuk kepentingan intern pemerintah
(back office) maupun sistem informasi yang digunakan sebagai sarana untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat (front office). Pengalaman di lapangan
bahwa sistem informasi manajemen elektronik tidaklah statis artinya dalam
perjalanan waktu harus selalu diubah sesuai perkembangan kebutuhan, hal
ini tentunya dibutuhkan personil yang menangani khusus/programmer yang
setiap saat bisa membaiki mapun melakukan modifikasi terhadap suatu sistem
informasi. Adapun fungsi yang ketiga adalah untuk mengelola data elektronik
yang terintegrasi di data center milik Pemerintah Kabupaten Sragen, dengan
demikian interoperabilitas data antar SKPD tetap terwujud.
3. Dimensi Perencanaan
Rencana implementasi e-Government di Kabupaten Sragen berawal dari komit-
men Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam
melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik, hal
ini dimulai dengan mendatangkan para tenaga ahli di bidang Teknologi In-
formasi dan Komunikasi yang selanjutnya dilakukan brainstorming dengan
Bupati dan seluruh SKPD mengenai rencana penerapan e-Government. Sebagai
tindak lanjut dari brainstorming tersebut secara normatif berbagai rencana
4. Dimensi Infrastruktur
Jaringan komunikasi dan informasi yang ada di Kabupaten Sragen mulai dibangun pada
tahun 2002 yaitu dimulainya koneksi jaringan komputer dan integrasi sistem
pada kompleks perkantoran Sekretariat Daerah (Kantor Bupati, Sekretaris
Daerah, Asisten, Badan Pengelola Keuangan Daerah, Bappeda, Kesbangpolin-
mas dan Kantor Pelayanan Terpadu), yang terpusat di Kantor Pengelola Data
Elektronik. Selanjutnya tahun 2003-2004 dimulainya koneksi antar SKPD di luar
Sekretariat Daerah dan 8 (delapan) titik Kecamatan. Tahun 2005-2006 semua
SKPD dan 20 (dua puluh) kecamatan terkoneksi jaringan online. Kemudian ta-
hun 2007 dibangun Jaringan Desa yang meliputi 208 (dua ratus delapan) Desa/
Kelurahan se-Kabupaten Sragen. Adapun sampai saat ini terus dikembangkan
ke sekolah dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, sehingga performa
Local Area Network (LAN) yang ada di Kabupaten Sragen semakin hari akan
semakin berfungsi dengan baik.
Selain hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen juga menyediakan
beberapa titik free hotspot di lokasi publik yang strategis seperti di Alun-alun
Sasono Langen Putro, GOR Diponegoro, Kompleks DPRD, Perpustakaan Dae-
rah, Pasar Kota, Pujamari, Technopark dan beberapa kecamatan yang strategis
yang diperuntukkan masyarakat sebagai wujud pelayanan pemerintah daerah
atas peran serta dan dukungan masyarakat terkait proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta mendorong peran aktif masyarakat dalam mengem-
bangkan TIK yang ada di Kabupaten Sragen. Adapun untuk akses internet telah
disediakan bandwidth yang dari tahun ketahun mengalami kenaikan, Pada Tahun
2012 alokasi bandiwith sebesar 14 Mbps.
5. Dimensi Aplikasi
F. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang penulis kemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
strategi penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui implementasi e-Government
dapat berjalan dengan lancar, dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain :
1. Perlunya strong e-leadership, yaitu komitmen yang kuat dari para pengambil
kebijakan baik itu Kepala Daerah maupun unsur DPRD dalam menyeleng-
garakan pemerintahan berbasis elektronik (e-Government).
2. Perlunya pemahaman bersama terhadap semua Satuan Kerja Perangkat Dae-
rah dan stakeholder terkait akan arti pentingnya teknologi informasi untuk
mendukung penyelenggaraan pemerintahan.
3. Perlunya dukungan masyarakat dalam penerapan pelayanan publik berbasis
elektronik (awareness society).
4. Tersedianya koneksi jaringan yang menghubungkan antar lembaga pemerintah
sampai ke level pemerintahan yang paling bawah yaitu desa/kelurahan dan juga
tersedianya fasilitas komunikasi untuk masyarakat (free hotspot, mobile internet,
dan lain-lain) termasuk di dalamnya fasilitas data center yang memadahi.
5. Tersedianya aplikasi e-Government, baik aplikasi yang digunakan untuk kepent-
ingan internal pemerintah (back office) maupun aplikasi yang diperuntukkan
untuk kepentingan pelayanan publik (front office).
6. Tersedia Sumber Daya Manusia yang mampu untuk mengelola e-Government,
baik kemampuan tata kelola TIK maupun kemampuan teknis
7. Tersedianya Master Plan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) berkaitan
dengan implementasi e-Government.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk menentukan kendala dalam permohonan dan proses
penerbitan serta penggunaan izin usaha serta merumuskan pembenahan kinerja
melalui penyederhanaan perizinan usaha dalam upaya menciptakan birokrasi yang
bersih, kompeten, dan melayani.
A. LATAR BELAKANG
Dalam perspektif hukum, penyelenggaaan perizinan berbasis pada teori negara
hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan antara
konsep Negara hukum (rechtsstaat) dan konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai
1 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,hlm 1
baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk
dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.2
Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah proses
penyusunan rencana perubahan, yang di dalamnya menyangkut rencana aksi, strategi
perubahan, dan strategi komunikasi. Rencana perubahan akan membawa seluruh
proses perubahan berjalan dengan secara hati-hati, bertahap. Konsisten dan melalui
upaya perbaikan yang secara terus menerus untuk menciptakan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada
masyarakat, serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.5
Keputusan pemerintah yang berupa izin usaha pada dasarnya memberikan suatu
kebolehan dari suatu perbuatan atau tindakan, sehingga tindakan atau perbuatan
tersebut mendapat landasan pembenaran (hukum) yang dapat menjamin adanya
kepastian hukum atau kepastian hak. Namun dalam kenyataan, tidak mudah untuk
mendapatkan izin usaha dari suatu instansi karena timbulnya kendala-kendala
yang menjadi faktor penghambat penyelesaian izin usaha tersebut sehingga men-
gakibatkan jangka waktu lama dan biaya mahal untuk penyelesaian izin usaha,
serta berpotensi terjadinya korupsi dan inefisiensi.
bukan hanya masalah kinerja pelayanan publik dari aparatur pemerintah saja,
tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor yang erat dengan permohonan dan
proses penerbitan serta penggunaan izin usaha. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pembenahan kinerja melalui penyederhanaan izin usaha dalam upaya menciptakan
birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.
B. METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif yaitu pendekatan
yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU Nomor
25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Permen PANRB Nomor
20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Spesifikasi pene-
litian adalah deskriptif analisis yaitu menjelaskan tentang hubungan variable das
solen (upaya menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani) dengan
das sein (penyederhanaan perizinan usaha) kemudian dianalisis dengan menggu-
nakan prinsip-prinsip hukum. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen
yaitu penelusuran dokumentasi hukum atau sumber hukum formal dan observasi
(pengamatan). Tahap penelitian dilakukan dengan menganalisi studi kepustakaan
yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu perundang-undangan terkait dengan
permasalahan. Selanjutnya, bahan hukum sekunder melalui telaahan pendapat para
ahli tentang hukum, dan bahan hukum tersier yaitu kamus atau ensiklopedia dan
sumber lainnya, seperti internet. Analisis data dilakukan secara normatif kualita-
tif yaitu analisis terhadap norma hukum yang menjadi obyek pembahasan, tidak
menggunakan perhitungan atau rumus statistik.
C. KAJIAN TEORI
Indonesia sebagai negara kesejahteraan tidak hanya untuk menegakan ket-
ertiban saja, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat guna mencapai
tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Alinea-4 Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan tujuan tersebut, negara berperan aktif untuk melayani kepentingan
umum atau kepentingan seluruh rakyat melalui pemberian pelayanan publik ber-
dasarkan prosedur tertentu yang harus dilalui atau birokrasi.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenu-
han kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.10 Sedangkan kata “birokrasi”
dapat diartikan mengandung pengertian: (a) Sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan;
(b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dan
sebagainya) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.11 Bintoro Tjokroamidjojo
mengatakan bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara
rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi diitegrasikan ke dalam ke-
seluruhan struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi disusun sebagai hirarki
otoritas yang terelaborasi dan mengutamakan pembagian kerja secara terperinci
dalam sistem administrasi, khususnya oleh aparatur pemerintah12.
14 Ibid
15 http://congkring.blogspot.com/2008/01/sistem-pemerintahan-yang-baik.html, di akses
pada hari Sabtu, tanggal 16 Juni 2012 Jam 6. 15.
16 Ibid
Pemerintahan yang baik erat kaitannya dengan pelayanan publik yang ruang
lingkup meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan admi-
nistratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan berasaskan:17
Program untuk Tingkat Makro Program untuk Tingkat Meso Program untuk Tingkat Mikro
1) Penataan Organisasi 1) Manajemen Perubahan 1) Manajemen Perubahan
2) Penataan Tatalaksana 2) Konsultasi dan Asistensi 2) Penataan Peraturan
3) Penataan Sistem 3) Monitoring, Evaluasi Perundang-undangan
Manajemen SDM Aparatur dan Pelaporan 3) Penataan dan
4) Penguatan Pengawasan 4) Knowledge Management Penguatan Organisasi
5) Penguatan Akuntabilitas 4) Penataan Tatalaksana
Kinerja 5) Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
6) Peningkatan Kualitas 6) Penguatan Pengawasan
Pelayanan Publik 7) Penguatan Akuntabilitas Kinerja
8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
9) Monitoring, Evaluasi
dan Pelaporan
19 Ibid
Hal yang berkaitan lingkup Ruang lingkup RMRB 2010-2014, terutama Program
untuk Tingkat Makro (butir 6) dan Mikro (butir 8) mengenai penguatan birokrasi
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain melalui
penyederhanaan izin usaha yang diberikan oleh instansi terkait dengan permohonan
yang diajukan oleh masyarakat20.
20 Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warganegara maupun penduduk sebagai orang-
perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima
manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lihat Pasal 1
Angka (6) UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
21 Mr. J. B. J.M Ten Berge disuting oleh Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan,
Cetakan I, Surabaya : Penerbit Yuridika, 1993, hlm. 2
22 WE.Prins dan R.Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara , Jakarta
: Pradnya Paramita,1983, hlm 71.
23 Van der Pot dalam Utrecht dan Moch Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, cetakan ke delapan, Jakarta : Penerbit Balai Buku Ichtiar, 1985, hlm 143
24 S Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hlm 94
Pemberian izin oleh pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah propinsi
dan kabupaten/kota kepada masyarakat berarti memberikan serta memperkenan-
kan pemohon untuk melakukan tindakan tertentu, sehingga melalui pemberian
izin tersebut diharapkan tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai. Motif-motif
untuk menggunakan sistem izin dapat berupa keinginan untuk mengarahkan
atau mengendalikan aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh masyara-
kat. Sebagai contoh warga masyarakat yang akan mengajukan izin usaha perlu
memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah.
Di pihak lain pemerintah daerah juga mempunyai kebijakan untuk mengarahkan
aktivitas usaha tersebut sesuai dengan rencana pemerintah yang telah ditetapkan.
Dengan demikian aktivitas masyarakat diarahkan atau dikendalikan melalui sistem
perizinan agar sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam mencapai tujuan yang
telah direncanakan.
25 N.M Spelt dan J.B.J Ten Berge, disunting oleh Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum
Perizinan, Surabaya : Penerbit Yuridika, 1993, hlm 2-3
26 Ateng Syafrudin”Perizinan untuk berbagai kegiatan”, Makalah tidak dipublikasikan,
hlm 1
27 http://www.scribd.com/doc/58547868/Hukum-Perijinan, diakses pada hari Sabtu,
tanggal 16 Jam 14.35
28 Y Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta : Grasindo, 2009, hlm
22-24
29 Bandingkan dengan Y Sri Pudyatmoko, idem, hlm 139-166.
dan biaya yang jelas. Kebijakan ini sesuai dengan asas pelayanan publik
yaitu ketepatan waktu; dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
2) Pemohon izin
Prilaku pemohon yang kadang-kadang tidak mau mengikuti prose-
dur yang ditetapkan, karena merasa waktunya sangat mendesak untuk
mendapatkan izin tertentu, bahkan cenderung mengambil jalan pintas
melalui kolusi dengan petugas atau melalui “calo” sehingga biaya pen-
gurusan menjadi mahal. Hal lain yang kendala adalah ketika izin yang
akan diberikan memerlukan pengecekan ke lapangan, ternyata pemohon
izin tidak berada ditempat.
ganda atau multi tafsir sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan atau
ketidakpastian hukum.
mengajukan saran dan masukan yang bersifat konstruktif. Hal ini penting
untuk melakukan koreksi dan evaluasi terhadap proses pemberian izin usaha
sekaligus dapat mengetahui indeks kepuasan konsumen terhadap jasa, mis-
alnya melalui angket yang diisi oleh pemohon izin usaha.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Kendala perizinan usaha dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) hal, yaitu:
1) Kendala dalam permohonan dan proses penerbitan izin usaha:
a) Pengurusan izin dan sarana pendukung;
b) Pemohon izin;
c) Aparatur perizinan dan instansi terkait;
d) Peraturan yang tidak sinkron.
2. Saran
a. Perlu adanya Koordinasi, Integrasi, Simplikasi, dan Sinkronisasi (KISS) di
antara instansi terkait dengan permohonan dan proses penerbitan izin usaha.
b. Pemohon izin usaha perlu memahami dan mempunyai komitmen untuk
menaati persyaratan dalam pengajuan izin usaha.
c. Perlu perbaikan, pemeliharaan, dan peningkatkan sarana dan prasarana
pendukung administrasi perizinan usaha secara berkelanjutan.
d. Perlu ketentuan perizinan usaha yang dibuat secara terpadu dan kompre-
hensif yang melibatkan seluruh instansi terkait.
e. Pelaksana pelayanan publik perlu mempunyai komitmen yang tinggi dalam
menyelesaikan permohonan izin usaha dari warga masyarakat.
f. Ombudsman perlu lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan eksternal
terhadap pelaksana pelayanan publik, agar dapat mendung upaya dalam
menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Cetakan I, Surabaya : Penerbit
Yuridika, 1993.
S Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983.
Utrecht dan Moch Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indo-
nesia, cetakan ke delapan, Jakarta : Penerbit Balai Buku Ichtiar, 1985.
WE.Prins dan R.Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara ,
Jakarta : Pradnya Paramita,1983.
Y Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta : Grasindo,
2009,
Perundang-undangan
UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Presiden No 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.
20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Sumber Lain
Ateng Syafrudin”Perizinan untuk berbagai kegiatan”, Makalah tidak dipublikasikan.
http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2024105-pengertian
birokrasi/#ixzz1y8PDb6nV, diakses pada hari Senin, tanggal 18 Juni 2012,
Jam 16.05.
http://congkring.blogspot.com/2008/01/sistem-pemerintahan-yang-baik.html,
di akses pada hari Sabtu, tanggal 16 Juni 2012 Jam 6. 15.
http://www.scribd.com/doc/58547868/Hukum-Perijinan, diakses pada hari Sabtu,
tanggal 16 Jam 14.35.
Proposal Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Curriculum Vitae
Dr. Sudjana. S.H., M.Si adalah Staf Pengajar (Lektor Kepala) pada Program S1, S2,
dan Promotor pada Program S3 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran. Pendidikan terakhir adalah lulus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran tahun 2006, dengan Predikat Cumlaude.
S
alah satu tujuan dari kebijakan Otonomi Daerah menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah mewujudkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada ma-
syarakat. Untuk itu kualitas pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu
indikator penilaian keberhasilan otonomi daerah.
Otonomi Daerah membawa impikasi pada terjadinya demokratisasi, termasuk
dalam hal pelayanan publik yang dilaksanakan. Masyarakat yang sedang tumbuh ke
arah masyarakat Madani (civil society) menuntut adanya peran birokrasi pemerintah
yang lebih adaptif terhadap penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan
secara luas dan berimbang. Masyarakat sebagai subyek layanan mengharapkan
penyelenggaraan pelayanan yang tidak berbelit-belit, lama dan beresiko akibat
mata rantai bikokrasi yang panjang.
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Untuk mewujudkan pelayanan yang
berkualitas sangat tergantung beberapa aspek yaitu bagaimana pola penyeleng-
garaannya, dukungan sumber daya manusia, kelembagaan dan konsep yang jelas.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraan, pelayanan publik secara umum di-
pandang masih terdapat beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan, antara
lain:
a. Kurang Responsif
Kondisi ini terjadi hampir di semua tingkat pelayanan, mulai pada tingkat
petugas atau front line sampai pada tingkat penanggungjawab instansi. Respon
terhadap keluhan, aspirasi dan saran dari masayarakat lambat atau bahkan
diabaikan sehingga pelayanan tidak ada perbaikan dari waktu ke waktu.
b. Kurang Informatif
Berbagai informasi yang seharusnya sampai ke masyarakat, lambat atau
bahkan tidak sampai sama sekali
c. Kurang Accesible
Pelaksanaan pelayanan terletak pada tempat yang jauh atau terpisah-pisah
sehingga sulit dijangkau masyarakat
d. Kurang Koordinasi
Kurang koordinasinya penyelenggara pelayanan yang terkait mengaki-
batkan sering terjadinya tmpang tindih atau pertentangan antara instansi pe-
nyelenggara pelayanan.
e. Birokratis
Pelayanan, khususnya pelayanan perizinan, dilaksanakan dengan melalui
proses di berbagai instansi dan tingkatan sehingga penyelenggaraan pelayanan
memerlukan waktu yang lama
f. In efisien
Berbagai persyaratan yang diperlukan, khususnya pelayanan perijinan
sering tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan
bahwa perizinan dan pertumbuhan dunia usaha akan selalu saling berkaitan. Prinsip
dasar yang dipegang dalam masalah perizinan dan kewajiban dunia usaha adalah
bahwa setiap tindakan atau kegiatan usaha diperlukan adanya ijin. Dunia usaha
tidak akan berkembang tanpa adanya izin yang jelas menurut hukum yang berlaku.
Hal ini berarti bahwa salah satu penentu berkembangnya dunia usaha yaitu bila ada
ijin yang memiliki suatu kekuatan yang pasti. Dan dengan adanya izin seseorang
atau pelaku dunia usaha akan mempunyai serangkaian hak dan kewajiban yang
dapat bermanfaat atau keuntungan bagi usahanya. Sehubungan hal tersebut di atas,
masyarakat khususnya dunia usaha mengharapkan akan mendapatkan pelayanan
perizinan yang prima dengan suatu tata laksana pelayanan yang mudah, efisien,
responsif dan akuntabel.
Untuk mewujudkan harapan sebagaimana tersebut di atas dipandang perlu
melaksanakan penyederhanaan pelayanan perijinan dengan membentuk Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan PTSP,
segala urusan yang semula tersebar di beberapa satuan kerja dapat diselesaikan
pada satu tempat.
Dengan penyelenggaraan PTSP ini maka kegiatan penyelenggaraan periz-
inan mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan
dalam satu tempat, diharapkan proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi
standar waktu yang telah ditetapkan, kepastian biaya pelayanan tidak melebihi
dari ketentuan, kejelasan prosedur pelayanan, dapat ditelusuri dan diketahui setiap
tahapan proses sesuai dengan urutan prosedur, mengurangi berkas kelengkapan
permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan,
pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan.
Agar penyelenggaraan PTSP berjalan sesuai harapan, terdapat beberapa faktor
pendukung yang harus difungsikan antara lain :
1. Faktor peraturan yang menjadi landasan kegiatan pelayanan
2. Faktor komitemen para pengambil keputusan
3. Faktor sistem dan mekanisme kegiatan pelayanan
4. Faktor keterampilan petugas
5. Faktor sarana dan prasarana
Sesuai uraian di atas, dalam menyusun PTSP ada beberapa prosedur dan
tahapan yang perlu dilaksanakan dengan mendasarkan pada peraturan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan untuk selanjutnya membuat produk hukum
daerah untuk mengatur pelaksanaan teknisnya. Adapun dasar pembentukan PTSP
adalah Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) dan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi Tata Kerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu serta
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
utamanya pasal 47. Selain itu terdapat juga Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun
2009 tentang PTSP Bidang Investasi.
Sebelum melangkah menyusun dan mempersiapkan PTSP, perlu dilaksanakan
menyamakan persepsi dan komitemen pihak-pihak penentu kebijakan yang dalam
hal ini yaitu Kepala Daerah dan DPRD. Dengan penyamaan persepsi ini diharapkan
akan berlanjut terbangunnya suatu komitemen, yaitu komitemn perlu dibentuknya
dan diselenggarakannya PTSP di daerah, konsep PTSP yang akan diterapkan dan proses
pembentukan PTSP.
Penyamaan persepsi dan komitemen perlu dibentuknya PTSP ini sangat pent-
ing mengingat hal ini terkait pelimpahan kewenangan pelayanan perizinan kepada
penyelenggara PTSP dan penyusunan produk-produk hukum daerah. Tanpa komit-
men penentu kebijakan, khususnya dari Kepala Daerah, maka konsep-konsep men-
genai penyelenggaraan PTSP tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Setelah penyamaan persepsi dan komitmen terbangun maka tahapan yang harus
dilakukan adalah menetapkan konsep dan proses pembentukan PTSP, khusunya
terkait dengan pembentukan lembaga penyelenggara PTSP dan struktur organ-
isasinya.
PTSP bidang Investasi dengan bentuk kelembagaan yang berbeda-beda ada yang
berbentuk Badan, Dinas atapun Kantor.
Dalam hal ini Kabupaten Sragen mengambil langkah yang berbeda, tidak
membentuk Satker tersendiri di Bidang Investasi namun menggabungkan pelay-
anannya di dalam PTSP perijinan. Langkah ini diambil dengan dasar pemikiran
bahwa masalah seputar Investasi dan perizinan ibarat dua sisi mata uang, dimana
masyarakat yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan investasi atau
penanaman modal akan selalu berkaitan dengan masalah perijinan. Sehingga akan
lebih memberi kemudahan ke masyarakat apabila pelayanan di Bidang Investasi
dilayani dijadikan satu tempat dengan pelayanan PTSP Bidang Perijinan. Model
seperti yang telah dilaksanakan oleh kabupaten Sragen ini ternyata mendapat
apresiasi dan perhatian dari beberapa daerah.
Dengan melihat uraian di atas, agar penyelenggaraan PTSP Perizinan dapat
berjalan secara optimal di seluruh daerah di Indonesia maka Pemerintah Pusat se-
baiknya mengambil kebijakan menyeragamkan bentuk kelembagaan PTSP, apakah
dalam bentuk Badan, Dinas atau Kantor. Dan untuk menentukan bentuk kelembagaan
yang secara umum cocok diapikasikan di seluruh daerah maka perlu mengambil
model PTSP yang telah terselenggara dan teruji dengan baik. Penyeragaman kelem-
bagaan PTSP ini akan mempermudah pembinaan dan sekaligus meminimalisir
kemungkinan terjadinya hambatan dari upaya trial and error bagi daerah yang
baru mau menyelenggarakan PTSP. Selain itu juga daerah dapat melakukan studi
banding ke daerah lain dan kemudian melakukan penataan sesuai situasi masing-
masing daerah.
dan sepanjang tidak ditentukan khusus oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Dan pelimpahan wewenang yang dapat dilimpahkan kepada pejabat bawahannya
adalah wewenang penandatanganan.
Untuk menunjang kelancaran tugas, selama ini Kepala Daerah melimpahkan
kewenangan penandatanganan dokumen perizinan kepada Kepala Dinas Teknis
penyelenggara perizinan. Namun dengan penyelenggaraan PTSP kewenangan
tersebut diberikan kepala Kepala PTSP, dengan maksud agar pelayanan dapat di-
laksanakan dengan proses yang lebih sederhana dan mata rantai yang lebih pendek
sehingga pelayanan akan selesai sesuai target waktu yang ditentukan .
Pada umumnya pada awal pembentukan PTSP akan terjadi suatu hambatan
yang berkaitan dengan pengalihan kewenangan, yaitu munculnya ketidakikhlasan
Dinas Teknis dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Untuk mengantisipasi
hal tersebut sebaiknya perlu diatur penataan kewenangan antara lain dengan tetap
memposisikan Dinas Teknis sebagai pengawas, pembina penyelenggaraan perizinan
dan hasil penarikan retribusi menjadi pemasukan bagi Dinas Teknis. Dengan pola
seperti ini maka Dinas Teknis tidak merasa kehilangan kewenangan di bidang teknis
dan hal-hal yang berkaitan dengan pemasukan PAD, khususnya upah pungut. Di
sinilah komitmen Kepala Daerah terhadap penyelenggaraan PTSP sangat berperan
besar.
awal sudah ada penyamaan persepsi dan komitmen dari para penyelenggara
Pemerintahan daerah maka penyusunan Peraturan Daerah akan berjalan
dengan lancar. Penyusunan Peraturan daerah ini sangat penting karena akan
menjadi dasar pembentukan produk-produk hukum daerah lainnya. Melalui
Peraturan Daerah ini ditetapkan lembaga PTSP ini apakah dalam bentuk
Badan, Dinas atau Kantor.
Sedangkan dalam menyusun Struktur Organisasi PTSP yang mungkin
dapat dipertimbangkan adalah dengan mengelompokkan objek/izin atau
mengelompokkan fungsi. Dengan pengelompokan objek/izin ini maka pem-
bagian bidang/seksi berdasarkan pengkategorian jenis-jenis izin, misalnya
Bidang/Seksi Perizinan Tertentu, Perizinan Usaha Lain dan lain-lain. Sedan-
gkan pengelompokan fungsi ini maka pembagian Bidang/Seksi berdasarkan
proses, seperti Bidang/Seksi Pelayanan, Pengolahan, Monitoring dan Evaluasi,
Promosi dan Pengembangan.
2. Penyelenggaraan Pelatihan
a. Pelatihan Komputer
Pada era globalisasi ini perangkat komputer merupakan suatu kebutuhan
yang dapat membnatu pengolahan data secara cepat, mudah dan lebih akurat.
Demikian juga dalam penyelenggaraan PTSP perangkat komputer diperlukan
pada setiap tahapan proses perizinan maupun untuk keperluan hal yang
berkaitan dengan penyampaian informasi ke masyarakat/customer. Untuk
itu personil pada PTSP wajib memiliki kemampuan operasional komputer,
hal ini dapat terwujud dengan menempatkan personil yang sudah memiliki
b. Out Bond
Out Bond yang dilakukan baik in door maupun out door akan sangat mem-
bantu membangun team work di antara para personil PTSP. Apalagi untuk
suatu lembaga baru dengan personil yang berasal dari berbagai satuan kerja
maka sarana out bond ini dapat menciptakan kebersamaan yang hakiki dan
menghilangkan ego sentris sehingga hal ini akan dapat menunjang kelancaran
dalam pelaksanaan tugas.
d. Performance
Untuk mewujudkan pelayanan yang ramah, luwes dan profesional serta
meminimalisir kesan birokrat yang kaku maka personil PTSP perlu mendapat
pembekalan mengenai:
Cara berpakaian dan berpenampilan menarik ketika melayani customer. Pemakaian
uniform yang berbeda dengan seragam yang biasa dipakai oleh PNS, diharap-
kan akan menghilangkan kesan kaku yang biasa ditemukan ketika menghadap
birokrat.
Bagaimana bersikap ramah, sopan dan santun dalam menghadapi customer dalam
situasi apapun.
Bagaimana caranya tampil yakin dan meyakinkan dalam melayani customer.
Back Office:
c. Sarana Informasi
- Website
- Brosur, leaflet
- Buku Panduan Pelayanan
d. Prasarana Pelayanan
- Personil komputer
- Mobil, sepeda motor
- TV
PENGEMBANGAN LANJUT
1. Sertifikasi/Standarisasi Sistem Pelayanan
Setelah semua mekanisme pelayanan terbentuk dan berjalan secara mekanis,
maka sudah saatnya untuk ‘mengunci’nya dalam satu standar tertentu. Standar
ini merupakan standar pelayanan yang minimal sehingga mencegah layanan
agar tidak terjadi penurunan standar pelayanan. Beberapa Pemda telah dan
sedang mencoba untuk melakukan standarisasi pelayanan ini bahkan dengan
standar internasional. Selain untuk kepentingan perbaikan sistem, sertifikasi
atau standarisasi juga dapat membuat citra lembaga ini menjadi lebih baik.
2. Inovasi Pelayanan
Optimalisasi pelayanan publik oleh birokrat bukan suatu pekerjaan yang
mudah, mengingat hal tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah mem-
budaya dalam lingkungan birokrat. Solusi untuk melaksanakan optimalisasi
pelayanan publik, khususnya pelayanan perizinan dibutuhkan perubahan me-
lalui adopsi dan inovasi program. Berbagai inovasi pelayanan perijinan dapat
dilakukan dengan menerapkan Kontrak Kerja (Citizen Charter), pemanfaatan
tehnologi informasi (E-Goverment) dan kemitraan dengan pihak di luar pemer-
intah (Public-Private Partnership).
Demikian halnya PTSP Kabupaten Sragen sebagai salah satu PTSP percon-
tohan nasional, dalam mengikuti perkembangan global senantiasa melakukan
inovasi. Beberapa inovasi yang telah dilakukan antara lain memanfaatkan
tehnologi informasi untuk menciptakan Program Tandatangan Jarak Jauh/
Tanda Tangan secara Elektronik. Dengan program ini, penandatanganan do-
kumen perijinan oleh Kepala PTSP dapat dilakukan tanpa harus berada di
kantor. Inovasi program ini dapat membantu penyelesaian proses pelayanan
perijinan secara tepat waktu. Inovasi yang lain yang dilakukan PTSP Kabupaten
Sragen adalah membangun kerjasama dengan dunia usaha, antara lain Bank,
Lembaga Konsultasi psikologi untuk memberikan pencerahan atau training for
success secara berkala.
KUNCI SUKSES
Walaupun beberapa PTSP memiliki kewenangan dan fasilitas yang hampir
sama, namun kinerja atau out put yang dihasilkan sangat variatif. Hal ini tergantung
beberapa faktor yang berpengaruh kuat terhadap kinerja pelayanan PTSP. Faktor-
faktor yang dimaksud adalah :
1. Konsistensi komitmen dari Kepala Daerah.
Tanpa adanya komitmen yang konsisten dari pimpinan daerah dalam hal
ini walikota/bupati serta elit di DPRD, maka akan sulit PTSP mengembangkan
diri. Salah satu bentuk ujian bagi konsistensi komitmen Kepala Daerah terhadap
penyelenggaraan PTSP adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 8
tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Jika komitmen ter-
hadap keberadaan PTSP kuat, maka dalam penataan kembali kelembagaan unit
organisasi pemerintah akan memprioritaskan PTSP sebagai salah satu organisasi
yang akan dipertahankan keberadaannya oleh Kepala Daerah.
2. Review terhadap kebijakan perizinan secara menyeluruh.
Sebagaimana telah banyak disimpulkan dalam berbagai kajian bahwa
kebijakan di Indonesia ini masih cukup rumit. Karena itu perlu keberanian
pemerintah daerah melakukan review terhadap berbagai kegiatan perizinan
yang ada di wilayahnya untuk dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan dan
dinamika masyarakat setempat.
3. Pertisipasi dan kontrol publik.
Salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya kinerja birokrasi secara
umum karena kurangnya partisipasi dan kontrol publik terhadap kerja birokrasi.
Keterlibatan masyarakat dalam memantau kinerja PTSP akan meminimalisir
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan PTSP.
4. Adanya organisasi pengawas PTSP.
Kinerja PTSP akan lebih optimal dengan adanya organisasi khusus di pemer-
intahan daerah yang ditunjuk sebagai unit pengawas PTSP sebagai supervisory
agency. Organisasi ini akan menjadi tempat bagi masyarakat menyampaikan
keluhan, kritik maupun komentar terhadap pelayanan PTSP. Organisasi ini
juga hendaknya memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap PTSP
dalam periode tertentu.
****
A. Pendahuluan
Di dalam melakukan reformasi terhadap Administrasi Negara dalam kaitan-
nya dengan membangun pelayanan publik, maka satu hal yang perlu mendapat
perhatian seksama adalah menumbuh-kembangkan pemikiran-pemikiran tentang
perlunya merekonseptualisasikan dan mereposisi serta merevitalisasi kedudukan
hukum administrasi negara (HAN) dalam penyelenggaraan pemerintahan, khu-
susnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang mampu menjadikan /
menciptakan masyarakat yang sejahtera, sehingga mampu memberikan pelayanan
yang baik kepada masyarakat (publik) sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan.
Oleh karena itu HAN pada dasarnya merupakan norma yang sarat dengan upaya
konkritisasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat (publik) secara selaras,
serasi dan seimbang
Oleh karena itu, setiap upaya yang berkaitan dengan pembaruan perencanaan
hukum harus dapat membingkai Administrasi Negara dalam koridor makna, posisi,
dan peran Administrasi Negara atau birokrasi, yang mampu memberikan pelayanan
prima sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Kinerja pelayan publik oleh aparatur pemerintah sampai saat ini tampak
belum maksimal. Setidaknya ada tiga masalah utama yang dihadapi oleh apara-
tur pemerintah kita dalam membangun Sistem Pemerintahan yang Layak dan
Melakukan Reformasi Hukum Administrasi dengan cara merekonstruksi HAN
dalam rangka Pelayanan Publik, yaitu:
a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur
pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia
saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun
kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum
termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan.
3 Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA),
(Jakarta ; Rajawali Pers, 1992), hlm.3
b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas
dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi
panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga besar kemungkinan
timbul ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi,
kolusi, dan nepotisme, perlakuan diskri-minatif, dan sebagainya.
c. Rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat (social control) terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidakjelasan standar
dan prosedur pelayanan, serta prosedur penyampaian keluhan pengguna jasa
pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social
pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki
kinerja mereka.
Bertolak dari uraian di muka, maka persoalan mendasar dan sentral dalam
upaya membangun pelayanan publik sebagai pelayanan prima yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat, setidak-tidaknya akan bermuara pada 2 (dua)
persoalan utama, yaitu:
1. Mereformasi dan merekonstruksi birokrasi, dan
2. Mereformasi dan merekonstruksi hukum administrasi.
4 Fadel Muhammad, Reiventing Local Goverment, Pengalaman dari Daerah, (Jakarta : PT Elex
Media Komputindo, Kompas Gramedia, 2008), hlm. 14.
Meskipun pada tahap awal upaya yang dilakukan orde baru tersebut menun-
jukkan keberhasilan, namun pada akhirnya justru melahirkan pemerintahan yang
over centralization, otoriter, dan militeristik, hingga pada tahun 1998 melahirkan
gerakan reformasi yang meng-hendaki perbaikan di segala bidang, termasuk dalam
bidang administrasi dan pemerintahan negara.
Ternyata, hingga sekarang kondisi ini tidak lebih baik, bahkan tanpa adanya
kemauan semua komponen bangsa, terutama para elit politik untuk memper-
baiki keadaan ini, maka kea-daan ini pun akan berlanjut hingga masa yang akan
datang. Oleh karena itu, perlu segera ditegakkan kepastian dalam manajemen
pemerintahan negara, karena tanpa upaya ini akan terasa berat untuk melakukan
pendayagunaan aparatur pemerintah secara efektif dan efisien. Selain itu, perlu
disusun pula “Pola Reformasi Aparatur dan Administrasi Pemerintahan ke-2”.9
1. Pandangan Lay: 10
Pelayanan umum atau pelayanan publik merupakan istilah yang menggambarkan
bentuk dan jenis pelayanan pemerintah kepada rakyat atas dasar kepentingan
umum.
2. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/
KEP/ M.PAN/7/2003: Segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pe-
nyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang- undangan.
3. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik:
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenu-
han kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh pe-nyelenggara pelayanan publik.
10 Priyanto Susiloadi, Peran Pemerintah dan Partisipasi Dalam Pelayanan Publik, (Jurnal Spirit
Publik Volume 2 Nomor 2, Oktober 2006), hlm. 82.
11 Soeto Catherine DeVrye, Good Service is Good Business (7 Strategi sederhana menuju
Sukses), (Jakarta : PT. Gramedia, 2001), hlm. 6-9. Lihat juga Eko Supriyanto, Opera-
sionalisasi Pelayanan Prima, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara, 2001), hlm 9.
expecta-tions or desires and their perception". 12Mutu pelayanan dibentuk oleh dua
elemen yaitu : pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang
diterima (perceived service). Kedua elemen tersebut bila dibandingkan akan men-
garah kepada penilaian mutu pelayanan yang diberikan, sebagaimana penilaian
Parasuraman, et,al bahwa: Jika kenyataan (perceived) lebih baik yang diharapkan
(expected), maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan kurang
dari yang diharapkan, maka layanan tidak bermutu. Dan apabila kenyataan sama
dengan harapan, maka layanan disebut memuaskan.13 Dalam studinya Parasuraman
menyimpulkan terdapat 5 (lima) dimensi SERVQUAL (dimensi kualitas pelayanan)
sebagai berikut :
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjuk-
kan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana
dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah
bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi
fasilitas fisik (gedung, dan lain sebagainya), perlengkapan dna peralatan yang
digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2. Reliability, atau keandalam yaitu kemampuan organisasi untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus
sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan
yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan
dengan akurasi yang tinggi.
3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan,
dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu
tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi negatif dalam
kualitas pelayanan.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan,
dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya
para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara
lain, komunikasi (communicatioon), kredibilitas (credibility), keamanan (security),
kompeten (competence), dan sopan santun (courtesy).
12 Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service, (New York : The
Press Adividion of Macmillan, 1990, hlm 19.
13 Parasuraman dalam Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, (Jakarta : Salemba
Empat, 2001), hlm. 148
5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau
pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami
keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian
dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara
spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
Mengacu kepada apa yang dikemukakan oleh Danhardt & Danhardt, Riyadi
14
me-ngemukakan bahwa, “Peran pemerintah dalam konteks administrasi klasik
(Old Public Adminis-tration) yang lebih bersifat mengatur, mengendalikan secara
langsung terpusat pada monopoli pemerintah (rowing), kemudian bergeser
menjadi peran yang sifatnya pengendalian da-lam konteks pengarahan (steering)
dimana peran publik mulai dilibatkan secara aktif. Pergeseran orientasi ini dibangun
dalam konteks administrasi negara yang berkembang menuju perspektif New
Public Management (NPM). Kemudian, perkembangan itu bergeser kembali kepada
peran pemerintah yang lebih bersifat melayani publik, sehingga paradigmanya
menjadi serving oriented. Paradigma ini terumuskan sebagai perspektif New Public
Services (NPS) yang secara kontekstual sangat menekankan kepada pentingnya
peran pemerintah untuk mengarahkan segala bentuk pelaksanaan tugas-tugas
administrasi negara dalam rangka mewujudkan pelayanan publik”.
New Public Service Model merupakan bentuk anti-thesa terhadap pemikiran bahwa
peranan birokrasi hendaknya diserahkan kepada mekanisme pasar. Menurut teori
ini, sebagaimana dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt, birokrasi bagaimana-
pun memiliki peran dan corak kerja yang berbeda dengan sektor swasta, sehingga
peranannya tidak mungkin dapat digantikan oleh pasar. Corak manajemen dan
lingkungan kerja birokrasi juga tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam market mechanism sehingga memaksakan prinsip-prinsip manajemen swasta
ke dalam institusi birokrasi justru dapat berakibat kontra produktif terhadap kinerja
birokrasi itu sendiri.15
16 Inu Kencana Syafi’i, dkk, Ilmu Administrasi Publik, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999),
hlm. v.
17 H.A.S Moenir,. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara,
2001), hlm. 31-34.
yang diharapkan akan dapat memenuhi tututan dan kebutuhan masyarakat yang
sangat mendesak untuk memperoleh pelayanan yang berkeadilan sosial. Perge-
seran ini berseiring dengan pergeseran paradigma administrasi publik, menuju ke
New Public Service Paradigm yang diyakini lebih bersifat partisipatif, berkeadilan,
transparan, berkepastian dan terjangkau.
18 Brabanti, Ralph, Modernisasi Adminsitrasi Negara dalam Mayton Weiner (ed), Modernisasi :
Dinamika Pertumbuhan, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1981), hlm.115-116.
11. Asas Ketepatan waktu: Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat
waktu sesuai dengan standar pelayanan.
12. Asas Kecepatan, kemudahan Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah,
dan keterjangkauan: dan terjangkau.
c. Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang tindih dalam tugas dan kewenan-
gan, yang menyebabkan proses pelayanan menjadi panjang, sehingga kemung-
kinan timbulnya perlakuan yang diskriminatif, biaya tinggi, penyalahgunaan
wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, semakin tinggi.
(3) hukum responsif, yaitu hukum sebagai fasilitator dari responsif terhadap kebu-
tuhan-kebutuhan sosial dan aspirasi-aspirasi sosial.19
D. Penutup
Berdasarkan uraian di muka, maka pokok simpulan yang dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Untuk mewujudkan pelayanan publik secara prima yang mampu memenuhi
kebutuhan dan harapan masyarakat, harus terlebih dahulu dilakukan pem-
benahan baik terhadap norma-norma hukumnya maupun lembaga/institusi
yang menyelenggarakan pelayanan publik. Oleh sebab itu langkah-langkah
melakukan reformasi dan rekonstruksi birokrasi dan hukum administrasi perlu
dilakukan secara terencana, terarah dan menyeluruh dan berkesinambungan.
2. Reformasi dan rekonstruksi terhadap birokrasi selaku penyelenggara pelayanan
publik, harus memperhatikan perkembangan konsep birokrasi itu sendiri yang
akhirnya akan dapat menciptakan birokrasi yang sesuai prinsip-prinsip new
public service.
3. Reformasi dan rekonstruksi terhadap hukum administrasi senantiasa akan dii-
kuti dengan perubahan paradigma dalam melihat hukum administrasi sendiri,
yang tidak sekedar sebagai sekumpulan norma-norma peraturan positif, tetapi
harus dilihat sebagai hasil dari suatu proses politik yang melibatkan variabel-
variabel sosial, politik dan budaya.
19 Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society In Transition: Toward Tanggapanise Law,
London: Harper and Row Publiser, 1978; Benard L Tanya, Yoan Sinanjuntak, Markus Y
Hage ,Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta
Publishing, 2010), hlm. 204
DAFTAR PUSTAKA
Sjachran Basah, 1992, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Admin-
istrasi (HAPLA), Rajawali Pers, Jakarta.
Zeithaml, Parasuraman, dan Berry,1990, Delivering Quality Service, The Press Adi-
vidion of Macmillan, New York.
5. Suwarni
Lahir di Sragen, 3 April 1973; Dosen Luar Biasa Akbid YAPPI Sragen 2006
– sekarang. Koordinator Mulok Pendidikan Budi Pekerti, Wawasan Dinas Pen-
didikan Kab. Sragen 2008 – 2009. Staf UPTPK Dinas Pendidikan Kab. Sragen.
Pendidikan; S1 Universitas Diponegoro jurusan Administrasi Negara tahun
1996, S2 UNS 11 Maret jurusan Ilmu Komunikasi (2008), S3 UNS 11 Maret (se-
dang menyusun proposal disertasi). Penelitian Ilmiah; Pengaruh Tingkat Ko-
munikasi dan Pengembangan Pegawai Terhadap Upah Minimum Regional di
Kanwil Depnaker Propinsi Jawa Tengah; Implementasi P3T di DKI Jakarta, Gaya
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid; Pengaruh Gaya Kepemimpinan
terhadap Budaya Kerja; Implementasi Otonomi Daerah di Jawa Tengah; Budaya
Organisasi Kepolisian Republik Indonesia (Studi Kasus Kepolisian Resor Sragen
) Jawa Tengah. Publikasi Ilmiah; Mewirausahakan Birokrasi, Pengembangan
Kehumasan.