Anda di halaman 1dari 188

JURNAL

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA


REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA
ISSN : 2089 - 3612

Birokrasi Bersih, Kompeten, dan Melayani


Politik Reformasi Birokrasi MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI
Anton Minardi E-PROCUREMENT PADA PENGADAAN BARANG/
JASA PEMERINTAH
Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON
KEMENTERIAN IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT DI KABUPATEN
Komarudin SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH
Dwiyanto

Peningkatan Kinerja Aparatur Negara


Melalui Penataan Sistem Manajemen Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam
Pegawai Negeri Sipil Dalam Rangka Upaya Menciptakan Birokrasi yang Bersih,
Peningkatan Daya Saing Nasional Kompeten, dan Melayani
Prof. Dr. H. Wirman Syafri Sailiwa, MSi Sudjana

SINGLE SALARY SYSTEM: PELAYANAN TERPADU SATU PINTU JAWABAN TEPAT


PERBAIKAN GAJI PNS DARI GAJI PEGAWAI MENJADI PENYEDERHANAAN PERIZINAN
GAJI JABATAN Tugiyono
Drs. Made Ardita, M.Si.

MEMBANGUN PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI


PATOLOGI BIROKRASI DAN PROFESIONALISASI PELAYANAN PRIMA SESUAI KEBUTUHAN DAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) HARAPAN MASYARAKAT
Suwarni, S. Sos, M. Si Oleh : Arief Hidayat & Sri Nur Hari Susanto

II
Tahun II
2012
DAFTAR ISI
Birokrasi Bersih, Kompeten, dan Melayani 1
Politik Reformasi Birokrasi 4
Anton Minardi
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI: 10
Kementerian Dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Komarudin

Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan 34


Sistem Manajemen Pegawai Negeri Sipil Dalam Rangka
Peningkatan Daya Saing Nasional
Prof. Dr. H. Wirman Syafri Sailiwa, MSi
SINGLE SALARY SYSTEM: 50
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan
Drs. Made Ardita, M.Si.

Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai 74


Negeri Sipil (PNS)
Suwarni, S. Sos, M. Si

Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement 83


Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H

Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen 107


Provinsi Jawa Tengah
Dwiyanto

Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya Menciptakan 124


Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani
Sudjana

Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jawaban Tepat 150


Penyederhanaan Perizinan
Tugiyono

Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan 164


Prima Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat
Arief Hidayat & Sri Nur Hari Susanto

BIODATA PENULIS JURNAL PAN 180


Pengantar

Birokrasi Bersih, Kompeten, dan Melayani

S
etelah grand design reformasi birokrasi 2010 – 2025 ditetapkan dengan Perpres No.
81 Tahun 2010, langkah yang ditempuh adalah percepatan pelaksanaan reformasi
birokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, Kementerian PAN dan RB menetapkan Sembi-
lan program (langkah) percepatan reformasi birokrasi. Program dimaksud meliputi (1)
Penataan Struktur Birokrasi; (2) Penataan Jumlah dan Distribusi PNS; (3) Sistem Seleksi
CPNS dan Promosi PNS secara terbuka; (4) Profesionalisasi PNS; (5) Pengembangan
Sistem Elektronik Pemerintah (E-Government); (6) Penyederhanaan Perijinan Usaha; (7)
Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Aparatur; (8) Peningkatan Kesejahteraan
Pegawai Negeri; (9) Efisiensi Penggunaan Fasilitas, Sarana dan Prasarana Kerja PNS.

Kesembilan langkah itu, pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari grand


design reformasi birokrasi yang menetapkan delapan area perubahan. Namun, secara lebih
sederhana, apa yang hendak dicapai dari reformasi birokrasi itu adalah mewujudkan
birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani. Secara singkat, birokrasi harus bersih
dari KKN, dan bersih dari politisasi. Birokrasi juga harus memiliki kompetensi yang
dibutuhkan, sehingga harus terus menerus dididik dan dilatih. Birokrasi, yang pada
hakekatnya merupakan pelayan rakyat, sudah semestinya berkarya untuk memberikan
pelayanan, baik pelayanan dasar maupun pelayanan yang mendukung teriptanya iklim
investasi yang kondusif.

Dalam paruh waktu pertama tahun 2012 ini, Kementerian PAN dan RB telah
melakukan sejumlah langkah yang cukup signifikan, terkait dengan percepatan re-
formasi birokrasi.

Sebagai upaya untuk mewujudkan birokrasi bersih, pada bulan April 2012 dilaku-
kan pencanangan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi.
Langkah itu diikuti oleh sejumlah kementerian/lembaga, serta pemerintah daerah.
Tidak hanya Kementerian PAN dan RB yang berperan di sana, tetapi keijakan itu juga
dikawal oleh KPK, Ombudsman RI serta BPKP.

Edisi 2, Tahun II | 1
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Diklat analisa jabatan untuk mencetak 4.125 analis jabatan bahkan dilaksanakan
sejak ahir 2011. Hal itu sebagai jawaban atas kebijakan moratorium penerimaan CPNS,
yang mewajibkan setiap instani pemerintah melakukan penghitungan jumlah dan
kebutuhan pegawai berdasarkan analisis jabatan, analisis beban kerja, serta memiliki
peta jabatan. Hal itu harus dilampirkan ketika suatu instansi mengajukan permintaan
tambahan formasi CPNS ke Kementerian PAN dan RB.

Dampak dari kebijakan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri PAN dan
RB, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri itu, pada tahun 2011 tidak terjadi
rekruitmen CPNS, meskipun moratorium itu sebenarnya dilakukan secara selektif.
Kelompok yang dikecualikan itu antara lain tenaga honorer kategori 1, tenaga medis,
guru, tenaga dari sekolah kedinasan, serta jabatan tertentu yang mendesak. Namun,
karena banyak instansi yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka tidak banyak
instansi yang mendapatkan formasi pada tahun 2012. Untuk instansi pusat hanya ada
23 instansi, sementara pemda hanya 25. Dari target yang dialkoasikan dalam APBN
2012 sebanyak 61.560 CPNS, ternyata hanya terserap 14.560 orang.

Namun terkait dengan penataan manajemen SDM itu, tahun 2012 ini juga men-
jadi tonggak sejarah dalam mewujudkan rekruitmen CPNS yang bersih, transparan,
akuntabel, dan berbasis kompetensi. Pelaksanaan test kemampuan dasar (TKD), juga
dilaksanakan serentak, yakni tanggal 8 September 2012. Pembuatan soal dilakukan oleh
konsorsium 10 perguruan tinggi negeri (PTN) yang direkomendasikan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, Ombudsman RI, ICW serta LSM lain dilibatkan
dalam mengawasi proses pelaksanaan rekruitmen ini.

Pada bulan Juni 2012, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
No. 56/2012 tentang pengangkatan tenaga honorer sebagai CPNS, yang merupakan
perubahan kedua atas PP No. 48/2005. PP yang ditunggu-tunggu oleh tenaga honorer
ini menjadi payung hukum dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.

Kebijakan lain yang gaungnya cukup kencang belakangan ini adalah penetapan
pilot project reformasi birokrasi pemerintah daerah, yang meliputi 33 pemerintah
provinsi, 33 kota (Ibukota Provinsi), dan 33 kabupaten. Selain itu sekitar 40 kementerian/
lembaga yang belum melaksanakan reformasi birokrasi, didorong untuk merealisasi-
kannya tahun 2012 ini.

2 | Edisi 2, Tahun II
Pengantar

Untuk mewujudkan halite tentu tidak mudah, mengingat berbagai karakteristik


dan kondisi yang berbeda antara satu instansi dengan instansi lain, antara daerah yang
satu dengan yang lain. Guna memudahkan proses tersebut, Kementerian PAN dan RB
telah melaunching program penilaian mandiri pelaksanaan reformasi birokrasi (PM-
PRB) secara online. Dengan demikian, kebiasaan lama yang harus melakukan konsultasi
secara konvensional, harus ketemu langsung, bisa diminimalisir. Singkatnya, dengan
menerapkan teknologi informasi (TI), maka reformasi birokrasi bisa dipercepat. Me-
minjam istilah Menteri PAN dan RB Azwar Abubakar : “Untuk mengajak orang shalat
subuh, tidak perlu membangunkan orang dengan mengetuk pintu satu per satu. Cukup
dengan adzan, maka semua orang akan melakukan shalat subuh,”.

Tentu saja, semua langkah-langkah yang sudah dilakukan itu belum cukup, dan
masih banyak kebijakan lain yang harus secepatnya direalisasikan. Selain itu, diperlukan
berbagai masukan pemikiran dari berbagai elemen bangsa, termasuk dari akademisi,
praktisi, pemerhati, pakar untuk menuangkan tulisannya dalam Jurnal Pendayagunaan
Aparatur Negara edisi kedua ini.

Penerbitan jurnal “Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi”


ini untuk mengupas lebih dalam, dengan tinjauan dari berbagai sudut pandang, serta
berbagai aspek terkait dengan delapan (8) area perubahan yang disederhanakan ke
dalam sembilan (9) program percepatan reformasi birokrasi, secara tidak langsung
diharapkan berisi pemikiran analitik dari para pakar, akademisi, praktisi, legislatif,
pemerhati, serta pihak lain yang berkenan.

Informasi yang ingin didapat berisi kerangka pemikiran solutif dari analisis, kajian,
pengamatan, studi kasus, untuk terkait dengan tema utama “Menciptakan Birokrasi
bersih, Kompeten dan Melayani”.

Meski belum sesuai harapan, namun jurnal edisi kedua ini diharapkan dapat lebih
memberi manfaat, dan membuka cakrawala baru dalam mewujudkan birokrasi yang
bersih, kompeten dan melayani. Semoga !!

Dari Redaksi.

Edisi 2, Tahun II | 3
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Politik Reformasi Birokrasi


Oleh. Anton Minardi*

Performance Birokrasi tidak hanya membawa pada administrasi


negara dan pelayanan masyarakat saja, tetapi ia akan membawa dampak
pada arah dan kondisi negara seperti apa yang akan terwujud. Selama ini
birokrasi dipahami sebagai suatu ”procedure” atau “service”.

D
ikatakan prosedur karena birokrasi adalah suatu sistem pengadministras-
ian dalam melahirkan dan melaksanakan suatu kebijakan. Service karena
birokrasi pada intinya adalah pelayanan terhadap seluruh kepentingan.
Penekanan pada aspek administrasi melahirkan suatu jalur atau lingkaran birokrasi
permanen yang mengikat. Sementara penekanan pada aspek pelayanan menghasilkan
arah birokrasi sesuai dengan kebutuhan yang dilayani, walaupun tidak menutup
kemungkinan administratif akan ada yang terabaikan. Penekanan pada satu aspek
di atas menyebabkan birokrasi hari ini berjalan kurang terarah. Sejumlah pertanyaan
muncul antara lain adalah prosedur seperti apa? dan service bagi siapa?

Pertanyaan itu muncul pada setiap sistem pemerintahan apa pun. Betapa tidak
pemerintah yang memegang kendali sangat menentukan arah dan model birokrasi.
Apalagi bagi birokrasi yang tidak punya “ideologi”. Model birokrasi tanpa Ideologi
itu artinya birokrasi yang diisi dan dijalankan sesuai dengan ideologi penguasa. Di
hampir setiap negara birokrasi diarahkan sesuai dengan orientasi pemerintahannya.
Misalnya, di negara-negara liberal birokrasi sangat berorientasi pada “market”, di
negara komunis birokrasi sangat kental dengan orientasi “negara” dalam pengertian
penguasa. Begitu juga di negara kita Indonesia yang berlandaskan Pancasila, di
mana praktek birokrasi merupakan perpaduan antara kepentingan masyarakat dan
pemerintah (penguasa) sering diwarnai oleh pihak yang dominan. Hal demikian
seringkali terjadi karena dikotomi posisi antara pemerintah sebagai penguasa dengan
rakyat yang dianggap sebagai yang dikuasai.

4 | Edisi 2, Tahun II
Politik Reformasi Birokrasi

Selama 32 tahun birokrasi di negeri kita telah “diseragamkan” dan “diarahkan”


dengan kepentingan Dominan yaitu Orde Baru yang didominasi oleh Golongan
Karya. Dari mulai rekruitmen aparatur birokrasi, peraturan dan etos kerja birokrasi
ditentukan oleh yang berkuasa. Sistem yang berjalan selama kurun waktu tersebut
tentu telah melahirkan suatu kultur birokrasi yang berorientasi kepada kepentin-
gan Orde Baru. Sehingga tidak mengherankan ketika tampuk kekuasaan berganti,
birokrasi tidak terlalu mengalami kemajuan. Selain karena para aparaturnya masih
yang lama juga karena kultur yang berjalan masih yang lama, malah berusaha
membantu mengembalikan kepada penguasa lama. Secara sederhana bahwa hal
demikian terjadi karena para aparatur tersebut merasa bahwa dengan kultur yang
lama lebih terasa “manisnya” hidup di tengah-tengah birokrasi.

Politisasi Birokrasi
Kondisi birokrasi yang diisi oleh ideologi penguasa yang telah menyebab-
kan kultur birokrasi yang kental dengan kepentingan include di dalamnya politik
dan bisnis, selanjutnya tidak mengherankan menimbulkan berbagai “multiplier
effect”. Birokrasi dibuat untuk menunjang kelanggengan kekuasaan, itu artinya
bahwa berbagai aturan dan prosedur bisa dibuat untuk memaintenance sumber
pendanaan politik. Akhirnya lahirlah “politik birokrasi”, yang tersistematisasi oleh
“bisnis birokrasi”. Politik birokrasi tersebut selain untuk kepentingan penguasa
pusat maupun daerah, tetapi juga akhirnya menjadi etos individu para birokrat.
Tidak mengherankan jika di negeri ini birokrasi memiliki ciri-ciri negatif yaitu me-
lekat predikat birokrasi yang lama, berbelit, dan mahal. Sudah dapat dipastikan di
dalamnya terjadi berbagai macam “abuse” dan manipulasi.

Semestinya birokrasi itu menjadi pelaksana dari tujuan mulia rakyat yang
dijabarkan ke dalam tujuan negara. Tujuan negara itulah yang seharusnya menjadi
ideologi bagi birokrasi yang dijalankan. Di antara sejumlah ahli tata negara sebut
saja Al Farabi (8M) menyebut bahwa tujuan negara itu adalah “complete happiness”
atau “as-salamah al-kamilah” yaitu kesejahteraan yang komplete (jasmani dan ruhani).
Kemudian Charles E. Merriam dalam buku Zainal Abidin Ahmad berjudul “Negara
Utama” menyebutkan tujuan negara itu adalah: 1. External security. 2. Internal order.
3. Justice. 4. General welfare. 5. Freedom (hal.41).

Edisi 2, Tahun II | 5
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Birokrasi yang berideologi kepentingan negara tidak akan rela memenang-


kan kelompok tertentu dengan mempermudah satu golongan dan mempersulit
golongan yang lain. Birokrasi model ini akan memiliki daya tahan yang kuat dan
sifat yang fleksibel . Selain memiliki standar prosedur yang jelas, otomatis juga akan
cenderung berorientasi kepada pelayanan masyarakat dan berbasis kinerja apara-
tur yang profesional. Tidak seperti birokrasi hari ini dimana, pertama, umumnya
birokrasi telah menjadi struktur kekuasaan yang melembaga, jadi dalam sistem
pemerintahan kita di Indonesia tidak hanya ada lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, tetapi bertambah dengan adanya “lembaga birokrasi”. Birokrasi seolah
menjadi lembaga baru dalam sistem pemerintahan demokratis, karena brokrasi
memiliki orientasinya tersendiri. Padahal seharusnya semua lembaga negara itu
berjalan menuju tujuan negara yang telah ditetapkan. Itu berarti bahwa birokrasi
seharusnya menjadi penunjang untuk mempermudah dan memperindah tugas-
tugas dalam pencapaian tujuan negara. Kedua, rekruitmen aparat birokrasi yang
sangat rentan kepentingan. Rekruitmen aparatur dilakukan untuk memperkuat dan
memperlemah lawan politiknya. Ketiga, kebanyakan aparatur sudah lama mengi-
dap orientasi bisnis dibandingkan orientasi kepada pelayanan. Hal itu disebabkan
karena sistem rekruitmen yang manipulatif, juga karena “multiplier effect” politik
birokrasi tadi yang melembaga pada personal birokrat.

Akar Masalah
Persoalan mendasar yang diidap oleh birokrasi di negeri kita ini adalah
pertama, mental aparatur yang telah terdidik oleh kultur politisasi birokrasi selama
puluhan tahun. Aparat masih banyak yang bersikap politis dan bisnis dibanding-
kan sebagai negarawan. Kedua, posisioning antara pemerintah dengan rakyat yang
masih bersifat kolonial. A. Pemerintah menempatkan diri sebagai produsen, sedan-
gkan rakyat sebagai konsumen. Sebagai produsen yang menguasai suatu produk,
dengan seenaknya mengendalikan harga dan distribusi produk tersebut kepada
konsumen. Sementara rakyat yang sebagai konsumen diposiskan merasa butuh
akan produk tersebut dapat didikte oleh si produsen tadi. B. Pemerintah sebagai
penguasa dan rakyat sebagai yang dikuasai. Sebagai pihak yang berkuasa tentu
leluasa untuk menentukan tindakan apakah yang akan dilakukannya terhadap
pihak yang dikuasainya. Sementara pihak yang dikuasai akan lebih cenderung ikut

6 | Edisi 2, Tahun II
Politik Reformasi Birokrasi

kepada pilihan yang ditawarkan dan apa yang diperbuat oleh pihak yang berkuasa.
Ketiga, aparatur birokrasi lebih cenderung hanya sekedar menjalankan tugasnya
sebagai pegawai negeri sipil. Sikap tersebut melahirkan kinerja yang lambat, sulit
dan tidak profesional. Hanya akan cepat, mudah, dan profesional apabila diberi-
kan “insentif khusus” dari pihak yang berkepentingan. Keempat, orientasi kepada
materi. Sikap tersebut menyebabkan birokrasi menjadi sangat mahal. Hal tersebut
juga dapat disebabkan oleh karena sistem kepegawaian dan kepangkatan yang
butuh “insentif” tidak hanya prestatif. Atau mungkin juga karena penggajian dan
tunjangan yang tidak memadai. Kelima, “vested interest”. Hal tersebut dikarenakan
sistem rekruitmen yang berdasarkan kepentingan atau like and dis like, atau juga
karena orientasi kepentingan kelompoknya berbeda dengan kelompok yang lain-
nya. Akibatnnya birokrasi menjadi terasa sulit ditembus bagi satu golongan, dan
sangat mudah bagi golongan lainnya. Ini menyebabkan “unfairness”, padahal inti
dari keadilanyang merupakan salah tujuan negara adalah “fairness”.

Agenda Reformasi
Kondisi seperti itu tidak bisa dipertahankan, karena selain akan mengham-
bat pembangunan juga akan menyebarkan virus budaya birokrasi buruk kepada
seluruh rakyat pada level rendah. Untuk itu perlu segera dilakukan reformasi
pada beberapa aspek atau secara menyeluruh. Beberapa alternatif bagi perbaikan
birokrasi di negara kita adalah:
pertama, reorientasi kebijakan secara menyeluruh. Dua dinasty kepemimpinan
Muawiyah dan Abbasiah dalam sistem khilafah Islam yang mencoreng kebaikan
sistem khulafa’ ar-Rasyidin berhasil dikembalikan kepada sistem Khilafah ar-Ra-
syidin oleh seorang Kholifah pembaharu yang dikenal dengan sistem birokrasi
Umarian (Umar Abdul Aziz). Perbaikan sistem pemerintahan pada masanya itu
diawali dengan keberhasilan Umar dalam merubah sikap para birokrat termasuk
beliau di dalamnya. Langkah-langkah yang dilakukan beliau berdasarkan buku
Rohadi Abdul Fatah yang berjudul “Meniti Jalan Kearifan Politik Umar Bin Abdul
Aziz” yaitu: 1. kesederhanaan dan kebersahajaan. 2. kejujuran. 3. menegakkan
keadilan dan kebenaran. 4. pembasmian feodalisme. 5.pemberantasan korupsi dan
penyalahgunaan wewenang. 6. perbaikan kehidupan rakyat untuk kemakmuran.
7. kebijakan politik persuasif dan tanpa kekerasan (hal.7-9 dan 18-21).

Edisi 2, Tahun II | 7
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Kedua, orientasi materialis menjadi orientasi “ibadah profesional” atau “amal


profesional”. Artinya niatan melayani rakyat sebagai suatu ibadah berdasarkan
prinsip profesionalisme. Bukan karena keterpaksaan ataupun sekedar menjalankan
tugas atau mencari keuntungan pribadi, tetapi profesionalisme dan beramal secara
profesional itulah yang akan membawa seorang birokrat mendapatkan nilai lebih
dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Ketiga, reposisioning antara pemerintah dengan rakyat. A. Hubungan Pemer-
intah dan rakyat bukan lagi sebagai produsen dan konsumen, tetapi sama-sama
sebagai pemilik, pemanfaat dan penanggungjawab. B. hubungan pemerintah dan
rakyat bukan lagi sebagai penguasa dan yang dikuasasi, tetapi pemerintah yang
melayani dan rakyat yang dilayani. Baik pemerintah maupun rakyat sama-sama akan
mempertanggungjwabkan posisinya akan hak dan kewajibannya masing-masing.
Keempat, jabatan tidak lagi berbasis pada kepentingan dan kedekatan, tetapi
berbasis pada profesionalisme. Begitu yang diajarkan Muhammad SAW.: “Setiap
perkara yang diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.
Kelima, perbaikan sistem penggajian. Selama ini terjadi diskriminasi, dimana
sebagian departemen menerapkan penggajian yang lebih tinggi daripada departe-
men lainnya, padahal sama-sama pegawai negara dan mengelola amanat rakyat.
Contohnya aparatur di departemen keuangan lebih tinggi gajinya dengan alasan
supaya tidak korupsi karena tiap hari berhubungan dengan uang. Logika seder-
hananya, kalau departemen yang lain yang tidak langsung berhubungan dengan
uang gajinya kecil seperti guru dan dosen. Itu berarti bahwa mereka boleh korupsi.
Keenam, birokrasi diarahkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kese-
jahteraan rakyat bukan aparat. Tetapi hal tersebut akan otomatis membawa kepada
kesejahteraan aparat juga, ketika rakyat sudah sejahtera. Muhammad SAW.men-
gajarkan: “Kasihilah semua yang ada di bumi, maka yang ada di langit (Tuhan)
akan mengasihi kalian”. Feed back dari kesejahteraan rakyat tentu akan kembali
kepada negara dengan perolehan negara yang terus bertambah bahkan berlimpah
baik melalui zakat, infaq, shodaqohnya, pajak, retribusi, sumbangan, dan lain-lain.
Ketujuh, percepat pergantian aparatur yang tidak dapat merubah sikap dan
budaya lama dengan para aparatur yang lebih terdidik dan komitmen akan refor-
masi. Percepatan pada pola pergantian personil aparatur akan mempercepat kondisi

8 | Edisi 2, Tahun II
Politik Reformasi Birokrasi

perbaikan birokrasi yang dapat membawa respon positif bagi warga masyarakat
atau pihak asing yang mau berbisnis di negeri kita.
Kedelapan, peningkatan fungsi kontrol terhadap birokrasi. Kontrol dilakukan
oleh lembaga negara yang menjalankan fungsi kontrol seperti DPR, Komisi Pem-
berantasan Korupsi,atau khusus diadakan lembaga kontrol birokrasi. Hal tersebut
sangat penting untuk menstimulasi kenerja birokrasi yang lebih bersih, transparan,
dan akuntabel. Juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi.

Rekomendasi
Jika semua langkah itu menemui kebuntuan atau sulit untuk diperbaiki, maka
perlu dilakukan hal berikut yaitu: pertama, tetapkan aturan untuk mengganti
semua birokrat yang tidak bersih dan bermental politikus atau pebisnis. Kedua,
jauhkan birokrasi dari politik dengan menetapkan untuk sementara waktu PNS
tidak ikut memilih dalam Pemilihan Umum. Dengan demikian diharapkan bahwa
birokrasi dapat kembali untuk berkonsentrasi mengamankan kebijakan-kebijakan
untuk mencapai tujuan negara jauh dari kepentingan politik dan bisnis kalangan
tertentu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan para birokrat yang komitmen untuk
melayani rakyat. Ketiga, terapkan sistem Pemilu yang murah dan sistem kenaikan
pangkat dan jabatan yang murah. Pengeluaran pada kampanye Pemilu dan jenjang
karier yang harus dilalui dengan sejumlah proses yang mahal akan menyebabkan
birokrasi menjadi mahal. Keempat, terapkan pelarangan bagi para birokrat untuk
berbisnis, dan cukupilah kebutuhan mereka. Kelima, tegakkan aturan yang tegas
bahwa birokrat baik di instansi sipil maupun militer dilarang untuk menerima
hadiah atau pemberian apapun dari masyarakat atau pihak yang sedang berurusan
birokrasi dengannya.
Benarlah ajaran yang mengatakan bahwa “Ulama (ilmuwan) adalah pewaris
para nabi, dan Umara’ (pemerintah) adalah pelayan umat (rakyat)”. Berikanlah
tugas kepada ahlinya agar urusan lebih baik dan lebih mashlahat, jika urusan diberi-
kan kepada bukan ahlinya (tidak ahli dan tidak amanah) maka akan rusak binasa
seluruh umat. Tidak heran jika Allah SWT. Berfirman: “Tanyakanlah kepada Ahli
dzikir (Ilmuwan bertakwa), jika kalian tidak mengetahui” (QS. An-nahl(16):43).
Wallahu A’lamu.

***

Edisi 2, Tahun II | 9
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:


KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON
KEMENTERIAN
Oleh: Komarudin *

Penataan struktur birokrasi atau kelembagaan merupakan salah


satu kegiatan dalam delapan area perubahan reformasi birokrasi. Penataan
kelembagaan harus bisa membentuk, mengubah dan/atau membubarkan
kelembagaan yang saat ini meliputi 34 Kementerian, 28 Lembaga Pemerintah
Non Kementerian, 90 Lembaga Non Struktural, dan 524 pemerintah daerah
(33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota). Pembentukan, perubahan, dan/
atau pembubaran Kementerian, LPNK, dan LNS akan berdampak positif
terhadap penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah.

I. PENDAHULUAN

K
ajian dan diskusi di kementerian pendayagunaan aparatur negara pada tahun
2003-2004 telah menghasilkan kesimpulan tentang penataan kelembagaan/
organisasi. Pertama, visi, misi, dan strategi yang jelas (tidak terjadi duplikasi,
tumpang tindih, dan tarik menarik tugas, wewenang dan tanggungjawab dengan
instansi lain). Kedua, organisasi disusun berdasarkan atas hemat struktur dan kaya
fungsi, lebih banyak unit/pemegang jabatan profesi/fungsional daripada jabatan
struktural. Ketiga, kewenangan terdesentralisasi/delegasi ke pejabat unit terdepan
yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Keempat, lembaga-lembaga ekstra
struktural pemerintah, seperi Komisi, Dewan, Badan, dan lain-lain harus dibatasi
hanya pada lembaga yang benar-benar diperlukan dan bersifat ad hoc/task force. Sejak
2006, dilakukan diskusi tentang reformasi birokrasi yang kemudian difokuskan pada
8 (delapan) area perubahan, yaitu organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-
undangan, sumber daya maanusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan
publik, dan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set).

10 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

Jumlah organisasi/lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah saat


ini sebagai berikut: 34 kementerian, 4 lembaga setingkat kementerian, 28 lembaga
pemerintah non struktural, 7 kesekretariatan lembaga negara, 90 lembaga non
struktural, 2 lembaga penyiaran publik, dan 524 pemerintah daerah (33 provinsi,
398 kabupaten, dan 93 kota). Pemekaran pemerintah daerah sulit ditahan, karena
berbagai pertimbangan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pe-
nataan yang dapat atau mudah dilakukan adalah penataan kelembagaan pemer-
intah pusat. Penataan struktur birokrasi atau penataan kelembagaan pemerintah
pusat yang selama ini dilakukan masih bersifat parsial, antara lain terbatas pada
perampingan eselon kelembagaan dan penghapusan eselon bawah. Penataan ini
belum menyentuh perubahan organisasi secara mendasar dan signifikan karena
organisasi atau lembaga tetap gemuk dan besar seperti semula.

Kedeputian Kelembagaan Kementerian PANRB telah menetapkan agenda


reformasi kelembagaan, yaitu (1) penyusunan Grand Design Kelembagaan Pemer-
intah; (2) penataan organisasi Kementerian Negara; (3) penataan organisasi LPNK;
(4) Evaluasi dan penataan organisasi UPT; (5) evaluasi dan penataan Satuan Kerja
PPK-BLU; (6) penataan organisasi - organisasi Sekretariat Lembaga Negara; (7)
penataan organisasi Lembaga Non Struktural; dan (8) evaluasi dan penataan Kelem-
bagaan Pemerintah Daerah.

Tulisan ini merupakan pemikiran awal yang difokuskan pada penataan kelem-
bagaan pemerintah pusat berupa pembentukan, perubahan, dan/atau penggabungan
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Penataan (tanpa memper-
hitungkan pertimbangan politik) ini akan berdampak besar terhadap kelembagaan
pemerintah, karena akan meningkatkan penghematan, efisiensi dan efektivitas, dan
bukan hanya perubahan unit kerja yang hanya akan berpengaruh pada skala kecil.

II. PENATAAN ORGANISASI/KELEMBAGAAN


Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran Kementerian Negara diatur
dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Beberapa ketentuan
UU 39/2008 tentang Kementerian Negara sebagai berikut:
a. Pembentukan Kementerian adalah pembentukan Kementerian dengan nomen-
klatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah/janji.

Edisi 2, Tahun II | 11
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

b. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan nomenklatur Kementerian dengan


cara menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti nomenklatur Kemen-
terian yang sudah terbentuk.
c. Pembubaran Kementerian adalah menghapus Kementerian yang sudah terbentuk.
d. Pasal 4: (1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; dan
(2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas: (a) urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara
tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; (b) urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (c) urusan
pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program
pemerintah.
e. Pasal 5: (1) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan; (2) Urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi
urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan,
kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertam-
bangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komuni-
kasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan;
(3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf
c meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, ke-
sekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan,
lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi, koperasi, usaha kecil
dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, pe-
rumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal.
f. Pasal 6: Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk dalam satu Kementerian tersendiri.
g. Pasal 10: Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara
khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu.
h. Pasal 14: Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan Kementerian,
Presiden dapat membentuk Kementerian koordinasi.
i. Pasal 15: Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).

Reformasi Birokrasi diatur dengan Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi dan Permen PANRB Nomor 20 Tahun 2012 tentang Road
Map Reformasi Birokrasi. Dari grand design ini dikenal 8 (delapan) area perubahan
reformasi birokrasi, yaitu organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan,

12 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan


pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set).

Beberapa ketentuan tentang penataan kelembagaan dalam Perpres 81/2010


tentang Grand Design Reformasi Birokrasi dan Permen PANRB 20/2010 tentang
Road Map Reformasi Birokrasi:
a. Hasil yang diharapkan dari area perubahan organisasi adalah organisasi yang
tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing) dan dari area perubahan peraturan
perundang-undangan adalah regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih
dan kondusif.
b. Pada tingkat mikro, program penataan dan penguatan organisasi bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan
tugas-tugas masing-masing, sehingga organisasi kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Target
yang ingin dicapai: a) menurunnya tumpang tindih tugas pokok dan fungsi
internal kementerian/lembaga dan pemerintah daerah; dan b) meningkatnya
kapasitas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsi.
c. Program dan Kegiatan serta Hasil yang diharapkan dari area perubahan penataan
peraturan perundang-undangan dan penataan dan penguatan organisasi adalah:
1. Penataan berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan/diter-
bitkan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah: Identifikasi per-
aturan perundang-undangan yang dikeluarkan/diterbitkan oleh K/L dan
Pemda sebagai dasar untuk melakukan regulasi dan deregulasi.
2. Restrukturisasi/penataan tugas dan fungsi unit kerja pada K/L dan Pemda:
Peta tugas dan fungsi unit kerja pada K/L dan Pemda yang tepat fungsi
dan tepat ukuran (right sizing) yang dapat mendorong percepatan reformasi
birokrasi.
3. Penguatan unit kerja yang menangani organisasi, tatalaksana, pelayanan
publik, kepegawaian, dan diklat: Unit kerja organisasi, tatalaksana, kepega-
waian dan diklat yang mampu mendorong percepatan reformasi birokrasi. 1
Melalui penataan kelembagaan, diharapkan ke depan terlahir organisasi pemer-
intah yang poporsional-efektif-efisien dalam rangka mempercepat terwujudnya

Edisi 2, Tahun II | 13

1 Permen PANRB Nomor 20 Tahun 2012 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah yang bersih (clean
government), dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). 2
Menyadari bahwa selama ini proses pengusulan, persetujuan, dan pelaksanaan
reformasi birokrasi berjalan lamban atau tidak sesuai harapan, maka Men PANRB
menyederhanakan program pendayagunaan aparatur negara dan reformasi bi-
rokrasi dalam bentuk Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, yaitu 1)
penataan struktur birokrasi, 2) penataan jumlah dan distribusi PNS, 3) sistem seleksi
CPNS dan promosi PNS secara terbuka, 4) profesionalisasi PNS, 5) peningkatan
kesejahteraan pegawai negeri, 6) pengembangan sistem elektronik pemerintah (e-
government), 9) efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS, 8)
peningkatan pelayanan publik, dan 7) peningkatan transparansi dan akuntabilitas
aparatur; yang digambarkan sebagai berikut3

Tabel 1. Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi


No Program Deskripsi Kegiatan
1 Penataan a. Evaluasi dan penataan organisasi K/L dan Pemda
struktur b. Evaluasi dan Penataan Jabatan Struktural Eselon III, IV, dan V pada unsur
birokrasi pelaksana dan penunjang
c. Evaluasi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
d. Evaluasi Lembaga Non Struktural (LNS) lanjutan
e. Evaluasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Eselon II

2 Ismadi Ananda, Deputi Men PANRB Bidang Kelembagaan, dalam tulisannya berjudul “Penataan
Kelembagaan Pemerintah Sebuah Keniscayaan”, mengatakan bahwa oleh sebagian pihak, performa
kelembagaaan pemerintah dipandang masih belum ideal, bahkan pada titik tetentu cenderung
dinilai gembrot dan tidak lincah. Pandangan dimaksud dapat dipahami mengingat pada tataran
paling ideal, organisasi pemerintah harus berkinerja tinggi ditandai dengan tepat ukuran dan tepat
guna (right sizing), sementara di sisi lain, tergambar seperti sedang ada trend atau kecenderun-
gan pembentukan organisasi baru dalam rangka mempercepat capaian penyelenggaraan urusan
pemerintahan. Ismadi menambahkan, memasuki tahun 2012 Kementerian PANRB telah meng-
gariskan 2 (dua) kebijakan mendasar di bidang kelembagaan. Pertama, penghapusan unit eselon
IV dan eselon III pada unsur pelaksana tertentu. Sebagai penggantinya akan mengoptimalkan
para pegawai yang menduduki jabatan tersebut ke dalam jabatan fungsional karena pada giliran-
nya pada unsur pelaksana tertentu yang lebih utama adalah para profesional, bukan manajerial
sebagaimana melekat pada jabatan struktural. Kebijakan ini akan dilakukan dengan sangat hati-
hati dan terencana. Kedua, evaluasi terhadap keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) terutama
yang sudah ditetapkan sebagai unit eselon II.
3 Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, Majalah Layanan Publik, Edisi XL Tahun
VIII 2011, Biro Umum dan Humas Kem PANRB, 2012.

14 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

No Program Deskripsi Kegiatan


2 Penataan a. Analisis dan pemetaan jabatan di K/L dan Pemda
jumlah dan b. Kebijakan minus growth (penerimaan CPNS lebih kecil dari jumlah PNS yang
distribusi PNS pensiun setiap tahun)
c. Kebijakan Pembatasan dan/atau Pengurangan Belanja Pegawai
d. Monitoring dan Evaluasi Redistribusi/Realokasi PNS
e. Kebijakan Pemberian Pensiun Dini secara Sukarela
3 Sistem seleksi a. Kebijakan Seleksi CPNS melalui:
CPNS dan 1. Kerjasama dengan Konsorsium PTN (Perguruan Tinggi Negeri) untuk
promosi PNS seleksi CPNS
secara terbuka 2. Penggunaan Computer Assisted Test (CAT) untuk seleksi CPNS.
b. Kebijakan Promosi PNS:
Penguatan Assessment Center untuk promosi jabatan dan diklat penjenjangan
dan/atau fungsional
c. Kebijakan Pengisian Lowongan Jabatan secara terbuka antar instansi baik
tingkat nasional maupun regional
4 Profesionalisasi a. Penetapan Standar Kompetensi Jabatan
PNS b. Peningkatan Kemampuan PNS berbasis kompetensi
c. Sistem Nasional Diklat PNS berbasis kompetensi
d. Penegakan Etika dan Disiplin Pegawai Negeri
e. Sertifikasi Kompetensi Profesi
f. Mutasi dan Rotasi sesuai kompetensi secara periodik
g. Pengukuran Kinerja Individu
h. Penguatan Jabatan Fungsional:
i. Penambahan Jumlah Jabatan Fungsional
j. Penetapan Pola Karier Jabatan Fungsional
k. Peningkatan Kemampuan Jabatan Fungsional
l. Peningkatan Tunjangan Jabatan Fungsional
5 Peningkatan a. Perbaikan Struktur Penggajian
kesejahteraan b. Pemberian Tunjangan Berbasis Kinerja secara bertahap
pegawai negeri c. Penyempurnaan Sistem Pensiun
d. Peningkatan Jaminan Kesehatan bagi Aparatur dan Pensiunan
6 Pengembangan a. Kebijakan E-Office {Pengembangan Website, E-Administrasi Umum, manaje-
sistem men dokumen elektronik (E-Arsip), administrasi keuangan elektronik (Sistem
elektronik Pengelolaan Keuangan Elektronik), dan administrasi kepegawaian elektronik
pemerintah (Simpeg)}
b. Kebijakan E-Planning
(e-government)
c. Kebijakan E-Budgeting
d. Kebijakan E-Procurement
e. Kebijakan E-Performance (SAKIP)
(semua kebijakan ini dikenal sebagai Sistem Pengelolaan Sumber Daya Pemerintah
(SMSDP)/Government Resources Management System, GRMS).

Edisi 2, Tahun II | 15
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

No Program Deskripsi Kegiatan


9 Efisiensi a. Kebijakan Efisiensi Penggunaan Fasilitas Kedinasan
penggunaan b. Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja
fasilitas, sarana
dan prasarana
kerja PNS
8 Peningkatan a. Peningkatan Pelayanan Perizinan:
Pelayanan 1. Deregulasi Perizinan
Publik 2. Penguatan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
3. Pembatasan waktu pengurusan izin
4. Kejelasan Biaya dan Persyaratan Perizinan
b. Penguatan Budaya Pelayanan Prima melalui:
1. Penetapan dan Penerapan Standar Pelayanan Publik dan Maklumat Pelayanan
2. Pemeringkatan Pelayanan Publik seluruh K/L dan Pemda
3. Survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)
4. Pengelolaan Pengaduan Masyarakat
7 Peningkatan a. Kebijakan tentang Pengaturan dan Kewajiban seluruh Pegawai Negeri/ PNS melaporkan
transparansi Harta Kekayaan:
dan 1. Pelaporan dan Pengumuman Harta Kekayaan PNS
akuntabilitas 2. Perluasan Kewajiban Melaporkan Harta Kekayaan
aparatur 3. Pelaporan Harta Kekayaan sebagai dasar dalam persyaratan kenaikan pangkat dan
promosi jabatan
4. Penguatan PPATK
b. Larangan pemindahan keuangan rekening pemerintah/pejabat ke rekening pribadi
c. Penertiban pembuatan rekening untuk penampungan sementara (Escrow Account)
d. Kebijakan Pekerjaan yang kemungkinn Tidak Selesai dalam Satu Tahun Anggaran
diusulkan penganggaran dan pelaksanaan secara bertahap (Multi Years)
e. Penguatan Pengawasan:
1. Implementasi sistem whistle blower (perlindungan pelapor dugaan penyimpangan)
2. Penegakan disiplin PNS (penegasan sanksi yang tegas sesuai dengan PP 53/2011
terhadap pelanggaran disiplin PNS terkait dengan transaksi keuangan yang tidak
wajar)
3. Penguatan Peranan APIP dalam pengawasan dan pencegahan korupsi
f. Peningkatan akuntabilitas kinerja (aparatur K/L dan Pemda) dan keuangan instansi
pemerintah (SAKIP)
g. Evaluasi kebijakan tentang permintaan dan penerbitan anggaran Perubahan (APBN/
APBD Perubahan)

Untuk mengetahui gemuk tidaknya Kabinet Republik Indonesia, dapat diband-


ingkan total Menteri pada setiap Kabinet sejak Kabinet Ampera 1 (25 Juli 1966 – 11

16 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

Oktober 1967) sampai dengan Kabinet Indonesia Bersatu II tahun 2010-2014 yang
ditunjukkan pada tabel berikut.4

Tabel 2. Tabel Perbandingan Susunan Kabinet Sejak Orde Baru


Sampai Dengan Kabinet Indonesia Bersatu II
Jumlah- Jumlah Jumlah Jumlah Men- Total
No Nama Kabinet Menko Meneg Menmud teri Dep Menteri
1 Ampera I 5 - - 24 29
2 Ampera I yang Disempurnakan - 2 - 21 23
3 Pembangunan I - 5 - 18 23
4 Pembangunan II - 5 - 17 22
5 Pembangunana III 3 2 6 19 30
6 PembangunanIV 3 8 5 21 37
7 Pembangunana V 3 8 6 21 38
8 PembangunanVI 4 13 - 21 38
9 PembangunanVII 4 10 - 20 34
10 Reformasi Pembangunan 4 12 - 20 36
11 Persatuan Nasional 3 14 3 15 35
12 Gotong Royong 3 10 - 17 30
13 Indonesia Bersatu I 3 11 - 20 34
14 Indonesia Bersatu II 3 11 - 20 34
Catatan: Tampak jelas perbedaan total jumlah Menteri pada masing-masing Kabinet. Yang menarik
untuk dikaji adalah keberadaan Jumlah Menteri, Menteri Muda, Wakil Menteri, dan
Pejabat setingkat Menteri. Pada Kabinet Indonesia Bersatu II terdapat 20 Wakil Menteri.

Jumlah Kementerian (34), LPNK (28), LNS (90), dan beberapa kelembagaan
pemerintah pusat dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.

Tabel 3. Kementerian pada Kabinet Indonesia Bersatu II


Kementerian Kementerian
1. Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan 18. Pekerjaan Umum
Keamanan
2. Koordinator Bidang Perekonomian 19. Kesehatan
3. Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat 20. Pendidikan dan Kebudayaan

4 Diolah dari Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Buku II Jilid 1 dan Jilid 2,
Lembaga Administrasi Negara (LAN, 2002).

Edisi 2, Tahun II | 17
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Kementerian Kementerian
4. Sekretariat Negara 21. Sosial
5. Dalam Negeri 22. Agama
6. Luar Negeri 23. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
7. Pertahanan 24. Komunikasi dan Informatka
8. Hukum dan Hak Asasi Manusia 25. Riset dan Teknologi
9. Keuangan 26. Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah
10. Energi dan Sumber Daya Mineral 27. Lingkungan Hidup
11. Perindustrian 28. Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak
12. Perdagangan 29. Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi
13. Pertanian 30. Pembangunan Daerah Tertinggal
14. Kehutanan 31. Perencanaan Pembangunan
Nasional
15. Perhubungan 32. Badan Usaha Milik Negara
16. Kelautan dan Perikanan 33. Perumahan Rakyat
17. Tenaga Kerja dan Transmigrasi 34. Pemuda dan Olah Raga

Tabel 4. Lembaga Pemerintah Non Kementerian pada Kabinet Indonesia Bersatu II


LPNK LPNK
1. Lembaga Administrasi Negara 15. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
2. Arsip Nasional Republik Indonesia 16. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
3. Badan Kepegawaian Negara 17. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 18. Badan Koordinsi Penanaman Modal
5. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 19. Badan Pertanahan Nasional
6. Badan Pusat Statistik 20. Badan Pengawas Obat dan Makanan
7. Badan Staandardisasi Nasional 21. Lembaga Ketahanan Nasional
8. Badan Pengawas Tenaga Nuklir 22. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofifika
9. Badan Tenaga Nuklir Nasional 23. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia

18 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

LPNK LPNK
10. Badan Intelijen Negara 24. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
11. Lembaga Sandi Negara 25. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
12. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana 26. Badan SAR Nasional
Nasional
13. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional 27. Badan Narkotika Nasional
14. Badan Informasi Geospasial 28. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Tabel 5. Kesekretariatan Lembaga Negara pada Kabinet Indonesia Bersatu II


Kesekretariatan Lembaga Negara Kesekretariatan Lembaga Negara
1. Mahkamah Agung 5. Badan Pemeriksa Keuangan
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat 6. Mahkamah Konstitusi
3. Dewan Perwakilan Rakyat 7. Komisi Yudisial
4. Dewan Perwakilan Daerah

Tabel 6. Lembaga Setingkat Kementerian pada Kabinet Indonesia Bersatu II


Lembaga Setingkat Kementerian Lembaga Setingkat Kementerian
1. Kejaksaan Agung 3. Tentara Nasional Republik Indonesia
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia 4. Sekretariat Kabinet

Tabel 7. Lembaga Penyiaran Publik pada Kabinet Indonesia Bersatu II


Lembaga Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik
1. Radio Republik Indonesia 2. Televisi Republik Indonesia

Tabel 8. Lembaga Non Struktural pada Kabinet Indonesia Bersatu II


Lembaga Non Struktural Lembaga Non Struktural
1. Komisi Hukum Nasional 46. Badan Nasional Sertifikasi Profesi
2. Komisi Kepolisian Nasional 47. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
3. Komisi Pengawas Persaingan Usaha 48. Badan Pengawas Pemilihan Umum
4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia 49. Badan Pengembangan Wilayah Surabaya – Madura
5. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 50. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional

Edisi 2, Tahun II | 19
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Lembaga Non Struktural Lembaga Non Struktural


6. Komisi Kejaksaan 51. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
7. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 52. Badan Amil Zakat Nasional
8. Komisi Nasional Lanjut Usia 53. Badan Koordinasi Keamanan Laut
9. Komisi Penyiaran Indonesia 54. Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik
10. Komisi Banding Merek 55. Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional
Keolahragaan
11. Komisi Banding Paten 56. Badan Olah Raga Profesional
12. Komisi Informasi Pusat 57. Badan Nasional Pengelola Perbatasan
13. Komisi Pengawas Haji Indonesia 58. Badan Pertimbangan Film Nasional
14. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 59. Badan Pertimbangan Kepegawaian
15. Komisi Pemberantasan Korupsi 60. Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal
16. Komisi Pemilihan Umum 61. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Sabang
17. Dewan Buku Nasional 62. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam
18. Dewan Gula Nasional 63. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Karimun
19. Dewan Riset Nasional 64. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Bintan
20. Dewan Koperasi Indonesia 65. Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional
21. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah 66. Komite Nasional Keselamatan Transportasi
22. Dewan Kelautan Indonesia 67. Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk- Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
23. Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional 68. Komite Akreditasi Nasional
24. Dewan Pengupahan Nasional 69. Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan
25. Dewan Ketahanan Pangan 70. Komite Standar Nasional Untuk Satuan Ukuran
26. Dewan Energi Nasional 71. Komite Standar Akuntansi Pemerintah
27. Dewan Pers 72. Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan
28. Dewan Pertimbangan Presiden 73. Komite Kebijakan Percepatan Penyiapan
Infrastruktur
29. Dewan Sumber Daya Air Nasional 74. Komite Nasional Penanggulangan Flu Burung
(Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi
Pandemi Influenza
30. Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan 75. Komite Pengarah Pengembangan Kawasan
Pelabuhan Bebas Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Pulau Bintan,
dan Pulau Karimun
31. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan 76. Komite Olah Raga Nasional Indonesia
Bebas Batam

20 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

Lembaga Non Struktural Lembaga Non Struktural


32. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan 77. Komite Ekonomi Nasional
Bebas Bintan
33. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan 78. Komite Inovasi Nasional
Bebas Karimun
34. Dewan Ketahanan Nasional 79. Lembaga Produktivitas Nasional
35. Dewan Nasional Perubahan Iklim 80. Lembaga Sensor Film
36. Dewan Jaminan Sosial Nasional 81. Lembaga Kerjasama Tripartit
37. Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia 82. Lembaga Koordinasi dan Pengendalian
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang
Cacat
38. Dewan Penerbangan Antariksa Nasional 83. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
39. Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus 84. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
40. Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu 85. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

41. Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Perumahan 86. Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan
dan Permukiman Nasional Pengendalian Pembangunan
42. Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan 87. Ombudsman Republik Indonesia
Air Minum
43. Badan Pengelola Dana Abadi Umat 88. Konsil Kedokteran Indonesia
44. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas 89. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Bumi (BP Migas)
45. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) 90. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan

III. ANALISIS PENATAAN KELEMBAGAAN


Reformasi Birokrasi mulai menggema pada tahun 2003/2004, antara lain
dengan dihasilkannya pokok-pokok pikiran tentang reformasi birokrasi aparatur
negara (Kementerian PAN, 2004) seperti digambarkan sebagai berikut.5

Tabel 9. Kebijakan dan Arah Reformasi Birokrasi (2004)


No Kebijakan dan Arah Reformasi Birokrasi
1 KELEMBAGAAN: Organisasi ”ramping struktur dan banyak/kaya fungsi, efisien, dan efektif”, organisasi disusun
berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas (structure follows strategy), organisasi efisien dan efektif, rasional,
dan proporsional (right sizing), flat atau datar, ramping, pembidangan sesuai beban dan sifat tugas, span of
control yang ideal, bersifat jejaring (small organization but large networking), banyak diisi jabatan-jabatan
fungsional (mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugasnya), dan menerapkan
strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat beradaptasi terhadap perubahan.

Edisi 2, Tahun II | 21

5 “Kebijakan dan Arah Reformasi Birokrasi Aparatur Negara”, Kementerian Pendayagunaan


Aparatur Negara, Oktober 2004.
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

No Kebijakan dan Arah Reformasi Birokrasi


2 SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR: SDM yang ingin dibangun adalah “PNS yang profesional, netral, dan
sejahtera”, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, berdayaguna, produktif, transparan,
bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang
ideal: sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi pemerintah, penera-
pan sistem merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap,
standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa,
membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database
kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, dan sistem remunerasi yang layak dan adil menuju
manajemen modern.
3 TATA LAKSANA ATAU MANAJEMEN: Ketatalaksanaan aparatur pemerintah diharapkan ditandai oleh ”mekanisme,
sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif”, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang
sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi,
pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan e-government,
dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat, disiplin,
dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja, terwujudnya
sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan
kepada masyarakat), sistem kearsipan yang andal: tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan efisien,
otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemer-
intah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit korporatisasi
dalam bentuk BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.
4 AKUNTABILITAS KINERJA APARATUR: Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan
agar diciptakan ”kinerja instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN”, ditandai
oleh sistem akuntabilitas kinerja, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, laporan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang berkualitas, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif:
berdasarkan peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai
sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh pemangku kepentingan (stakeholders) - atasan, masyarakat,
dan pihak lain yang berkepentingan yang didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang
terpadu secara nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan pengang-
garan, organisasi dan ketalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan
indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari
praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja
sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).
5 PENGAWASAN: Diharapkan terbangun “sistem pengawaan nasional dengan elemen-elemen pengawasan
fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, pengawasan masyarakat,” yang ditandai sistem
pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan
tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan
dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.

22 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

No Kebijakan dan Arah Reformasi Birokrasi


6 PELAYANAN PUBLIK: Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat
didorong upaya mewujudkan ”pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan
akuntabel”, ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien,
transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (waktu-biaya-hukum), dan
tidak dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan,
mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktik-
praktik pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah
dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke arah penyelenggaraan Good Governance: menjadi
entrepreneurial-competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer-driven dan accountable
government (pemerintahan tanggap/responsive, berorientasi pelanggan dan akuntabel), serta global-cosmo-
politan orientation government (pemerintahan yang berorientasi global); penerapan prinsip pelayanan prima:
metode dan prosedur pelayanan, produk dan jasa pelayanan, mantapnya peraturan perundangan, penetapan
standar pelayanan, indeks kepuasan masyarakat, pengembangan model dan penanganan keluhan masyarakat/
pengguna jasa secara terorganisasi, serta partisipasi masyarakat; proses kerja serta modernisasi administrasi
melalui otomatisasi administrasi perkantoran: elektronis di setiap instansi pemerintah serta penerapan
dan pengembangan e-government; publikasi secara terbuka prosedur, biaya dan waktu pelayanan; dan peran
serta masyarakat dengan adanya kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
7 BUDAYA KERJA PRODUKTIF, EFISIEN, DAN EFEKTIF: Penumbuhkembangan budaya kerja produktif, efisien
dan efektif harus didorong agar ”terbangun kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif”,
terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan
Budaya Kerja yang mengubah mind-set, sikap dan perilaku serta motivasi kerja; membangun biorkrat berjiwa
entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja (culture-set) yang tinggi: terbentuk pola pikir (mind-set),
sikap dan perilaku dan budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana,
jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat.
8 KOORDINASI, INTEGRASI, DAN SINKRONISASI: Perlu ditingkatkan “koordinasi program dan pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara.” Koor-
dinasi, integrasi dan sinkronisasi, perlu diwujudkan antara lain melalui “keterkaitan institusional (koordinatif)
yaitu keterkaitan Kementerian PAN dengan Instansi/Lembaga terkait yang bersifat koordinasi dalam rancangan,
integrasi dalam program, sinkronisai dalam kegiatan dan simplifikasi dalam prosedur”, ditandai oleh kesatuan
bahasa dan kerjasama yang dikembangkan melalui Rakor, Fortek dan Forkom, Raker, dan rapat berkala; koordinasi
dilakukan sejak penyusunan program kerja dan anggaran; jelasnya instansi/unit kerja yang secara fungsional
berwenang dan bertanggungjawab atas sesuatu masalah atau tugas; dan program kerja instansi/organisasi
yang jelas (memperlihatkan keserasian kegiatan unit-unit kerja).

Organisasi/kelembagaan pemerintah merupakan salah satu aspek pent-


ing dalam penyelenggaraan pemerintahan dan reformasi birokrasi. Pada tahun
2005, Sofyan Effendi mengemukakan bahwa reformasi birokrasi perlu dimulai dari
kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur, kemudian disusul aspek-aspek
lainnya seperti ketatakaksanaan, pelayanan publik, akuntablitas, dan pengawasan
dalam upaya membangun pemerintahan yang amanah. Sofyan Effendi menegas-
kan pentingnya pemahaman terhadap pemerintah (government: peran pemerintah
Edisi 2, Tahun II | 23
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan), tata pemerintahan, peny-


elenggaraan pemerintahan, pengelolaan pemerintahan (governance), tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), penyelenggaraan pemerintahan yang
amanah, tata pemerintahan yang balance, pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggungjawab, pemerintahan yang bersih, dan pemerintahan yang baik, bersih
dan berwibawa. Reformasi membangun pemerintahan yang amanah dilakukan
sebagai berikut:
a. Sampai dengan saat ini Indonesia belum mampu mengembangkan good gover-
nance: pemberantasan KKN, dan clean government. Banyak kebijakan yang tidak
jelas, penempatan personil yang tidak kredibel, enforcement menggunakan sentra
kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa.
b. Penyelenggaraan pemerintahan harus hati-hati, harus sesuai dengan praktik
internasional, memperhatikan budaya dan kondisi bangsa, tidak terjebak dan
terjerumus pada jebakan asing atau lembaga internasional dalam penyeleng-
garaan negara, hubungan pusat dan daerah, dan dalam pengelolaan keuangan
negara.
c. Budaya organisasi penting, contoh budaya pemerintahan (public culture) dan
budaya perusahaan (corpotrate culture), harus menyesuaikan dengan bentuk
organisasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil, menjalankan tugas yang
bersifat massif tetapi redundant. Budaya organisasi berubah jika tugas organisasi
dan lingkungannya berubah.
d. Peter Bijur (2001): syarat paling utama yag menjadi keberhasilan upaya peruba-
han budaya organisasi adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik
dalam kemampuan memimpin maupun dalam ketajaman visinya. Ini kendala
utama bangsa Indonesia. Lima faktor penting untuk menyukseskan perubahan
budaya organisasi adalah nilai-nilai, motivasi, ide dan strategi, tujuan yang
jelas, dan etika kinerja didukung remunerasi dan penghargaan yang tepat.
e. Organisasi yang mengubah budaya harus berani menempuh jalan yang tidak
selalu lurus, dari kondisi stabil, melalui turbulence atau bahkan chaos, untuk
mencapai penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan simbol-
simbol budaya baru. Organisasi harus disiapkan untuk selalu adaptif terhadap
perubahan, harus berani berekspserimen, harus berani gagal dan harus dapat
menyesuaikan diri dengan unsur-unsur budaya baru yang diletakkan oleh
pimpinan organisasi.
f. Walaupun sudah dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta program yang
benar, selalu ada risiko perubahan budaya organisasi tidak berjalan seperti di-
harapkan atau dalam kasus ekstrim bertentangan dengan arah yang diinginkan.

24 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

Perubahan budaya organisasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak
dijamin akan sukses. Minimal diperlukan waktu 5-10 tahun untuk mengubah
budaya organisasi dengan skala seperti pemerintah Republik Indonesia atau
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu strategi yang dianjurkan
oeh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara ber-
tahap dan gradual. Memang kurang revolusioner dan kurang radikal, tetapi
lebih aman.

Analisis penataan struktur birokrasi dilakukan mengacu pada Sembilan Pro-


gram Percepatan Reformasi Birokrasi, yaitu (1) Evaluasi dan penataan organisasi
K/L dan Pemda; (2) Evaluasi dan Penataan Jabatan Struktural Eselon III, IV, dan
V pada unsur pelaksana dan penunjang; (3) Evaluasi Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (LPNK); (4) Evaluasi Lembaga Non Struktural (LNS) lanjutan; dan
(5) Evaluasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Eselon II. Tulisan ini difokuskan pada
penataan organisasi K/L dan LPNK serta LNS. Kementerian yang saat ini jumlahnya
34, jika mau dan berani, bisa ditekan menjadi jumlahnya sekitar 20. LPNK yang saat
ini mencapai 28 bisa ditekan jumlahnya menjadi di bawah 10. Jumlah LNS yang
hampir mencapai angka 90 bisa dikurangi kecuali lembaga yang pembentukannya
diamanatkan undang-undang. Penataan kementerian dan lembaga pemerintah non
kementerian dilakukan sebagai berikut.

Tabel 10. Penataan Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian


Penataan Kementerian Penataan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
a. Jumlah maksimum Kementerian dipertahankan pada a. Jumlah LPNK dibatasi, hanya pada LPNK yang sulit
angka 20. dimasukkan ke dalam Kementerian, diupayakan
b. Ada sejumlah Kementerian yang disatukan/digabung, dari 28 menjadi di bawah 10.
dengan alasan tugas dan fungsi yang hampir sama b. Ada satu atau sejumlah LPNK yang disatukan
atau serumpun. dengan Kementerian, dengan alasan tugas dan
c. Kementerian dan Hasil gabungan beberapa fungsi yang hampir sama atau serumpun.
Kementerian, masing-masing digabung dengan LPNK c. Ada LPNK yang dianggap sangat strategis sehingga
yang selama ini dikoordinasikan, menjadi Kementerian harus berdiri sendiri dan sulit dimasukkan ke
Baru. dalam Kementerian.
d. Pemikiran ini tidak mempertimbangkan aspek politik. d. Pemikiran ini tidak mempertimbangkan aspek
e. Acuannya adalah UU 39/2008 tentang Kementerian politik.
Negara dan Perpres 47/2009 tentang Pembentukan e. Acuannya adalah Keppres 103/2001 dan Keppres
dan Organisasi Kementerian Negara. 110/2001 yang mengatur LPND.

Edisi 2, Tahun II | 25
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Gambar berikut memperlihatkan kelembagaan hasil pembentukan, peruba-


han, dan penggabungan Kementerian dan LPNK, sehingga terbentuk Kementerian
baru yang lebih kuat dan mantap.

Tabel 11. Pemikiran Usulan Penggabungan Kementerian dan LPNK


No Kementerian (penggabungan) LPNK (dibubarkan, masuk ke Kementerian)
1 Kemenko Politik, Hukum, dan HAM
2 Kemenko Perekonomian
3 Kemenko Kesejahteraan Sosial
4 Kemen Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet
5 Kemen Dalam Negeri dan PANRB BPN, LAN, BKN, ANRI, dan BNPB
6 Kemen Luar Negeri
7 Kemen Pertahanan Lemsanneg, BIN, Lemhannas, Basarnas, BNN,
dan BNPT
8 Kemen Hukum dan HAM
9 Kemen Keuangan dan Perencanaan Pembangunan Bappenas, BPS, LKPP, dan BPKP
Nasional
10 Kemen Perindustrian, Perdagangan, dan KUKM BKPM
11 Kemen Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan
12 Kemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial BNP2 TKI
13 Kemen Perhubungan, Pekerjaan Umum, dan BMKG
Pengurangan Daerah Tertinggal
14 Kemen Kesehatan dan Kependudukan BKKBN, BPOM
15 Kemen Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan
16 Kemen Komunikasi, Informatika, Pariwisata, dan Perpusnas
Ekonomi Kreatif
17 Kemen Litbang Iptek BSN, Bapeten, Batan, Lapan, BIG, LIPI, BPPT
18 Kemen Lingkungan Hidup dan Perumahan Rakyat
19 Kemen Perempuan, Pemuda, dan Olahraga
20 Kemen BUMN

Catatan:
Singkatan/Akronim LPNK: BPN (Badan Pertanahan Nasional), LAN (Lembaga Administrasi
Negara), BKN (Badan Kepegawaian Negara), ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia),
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Lemsanneg Lembaga Sandi Negara), BIN
(Badan Intelijen Nasional), Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional), Basarnas (Badan
SAR Nasional), BNN (Badan Narkotika Nasional), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), BPS (Badan Pusat
Statistik), LKPP (Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), BPKP (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), BNP2TKI

26 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

(Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), BMKG (Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Beren-
cana Nasional), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Perpusnas (Perpustakaan
Nasional), BSN (Badan Standardisasi Nasional), Bapeten (Badan Pengawasan Tenaga
Nuklir), Batan (Badan Tenaga Nuklir), Lapan (Lembaga Penerbangaan dan Antariksa Na-
sional), BIG (Badan Informasi Geospasial) perubahan dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi
dan Survei Pemetaan Nasional), LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan BPPT
(Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).

Penataan kelembagaan melalui penggabungan Kementerian dan LPNK sehingga


jumlah Kementerian menjadi 20 (atau di bawah 34) diyakini akan dapat mening-
katkan penghematan, efisiensi, dan efektivitas. Keberadaan 3 (tiga) Kementerian
Koordinator dapat dievaluasi dan masih dimungkinkan untuk penghapusan.

Saat ditetapkannya Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara,


timbul pertanyaan “apakah jabatan Staf Ahli Menteri/Kementerian masih ada”?
Dalam undang-undang ini tidak diatur tentang adanya jabatan Staf Ahli Kementerian,
sehingga banyak pendapat bahwa jabatan Staf Ahli ditiadakan. Kenyataannya, ja-
batan Staf Ahli Kementerian yang jumlahnya di atas 150 masih tetap ada. Sebenarnya
dapat dipertimbangkan penghapusan jabatan staf ahli dimaksud. Sebagai catatan,
keberadaan Staf Ahli ditetapkan dalam Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Kedudukan Tugas dan Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja Kementerian
Negara, seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara yang tidak menetapkan adanya Staf Ahli.

Jumlah Wakil Menteri saat ini mencapai 20. Dihapuskannya Penjelasan Pasal
10 Undang-Undang tentang Kementerian Negara, mengakibatkan polemik jabatan
Wakil Menteri apakah merupakan jabatan karier atau jabatan politik. Jabatan Wakil
Menteri ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil
Menteri, dengan beberapa ketentuan antara lain:
a. Pasal 1: Wakil Menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
b. Pasal 2: Wakil Menteri mempunyai tugas membantu Menteri dalam memimpin
pelaksanaan tugas Kementerian; dan (2) Ruang lingkup bidang tugas Wakil
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. membantu Menteri
dalam perumusan dan/atau pelaksanaan kebijakan Kementerian; dan b. mem-
bantu Menteri dalam mengoordinasikan pencapaian kebijakan strategis lintas
unit organisasi eselon I di lingkungan Kementerian.

Edisi 2, Tahun II | 27
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

c. Pasal 3: Rincian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi: a. mem-


bantu Menteri dalam proses pengambilan keputusan Kementerian; b. membantu
Menteri dalam melaksanakan program kerja dan kontrak kinerja; c. memberikan
rekomendasi dan pertimbangan kepada Menteri berkaitan dengan pelaksanaan
tugas dan fungsi Kementerian; d. melaksanakan pengendalian dan pemantauan
pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian; e. membantu Menteri dalam penilaian
dan penetapan pengisian jabatan di lingkungan Kementerian; f. melaksanakan
pengendalian reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian; g. mewakili Men-
teri pada acara tertentu dan/atau memimpin rapat sesuai dengan penugasan
Menteri; h. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Menteri; dan i. dalam
hal tertentu, Wakil Menteri melaksanakan tugas khusus yang diberikan langsung
oleh Presiden atau melalui Menteri.
d. Pasal 4: (1) Wakil Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (2) Masa
jabatan Wakil Menteri paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir
bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang bersangkutan.
e. Pasal 5: (1) Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Wakil Menteri diberikan
di bawah hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Menteri dan di atas jabatan
struktural eselon I.a; dan (2) Ketentuan mengenai besaran hak keuangan dan
fasilitas lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan.
f. Pasal 6: Wakil Menteri dapat berasal dari Pegawai Negeri atau bukan Pegawai
Negeri.

Jumlah LNS juga dikurangi dari jumlahnya yang mencapai 90, dibatasi hanya
pada lembaga yang dibentuk berdasarkan atau diamanatkan undang-undang. LPNK
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden sebaiknya
ditinjau kembali dan dinilai kembali kelayakannya sebagai LNS. Pembentukan
LNS baru hanya disetujui untuk lembaga yang pembentukannya diamanatkan
oleh undang-undang.

Setelah dilakukan penggabungan beberapa Kementerian dan beberapa LPNK


menjadi satu Kementerian, dilakukan penataan eselon I, eselon II, dan eselon-eselon
di bawahnya. Dengan demikian terjadi penggabungan dan/atau penghapusan eselon
(jabatan). Dengan cara ini akan terjadi pengurangan secara signifikan: (1) jumlah
Kementerian; (2) jumlah LPNK; (3) jumlah eselon, yaitu (a) eselon I di Kementerian/
LPNK lama; (b) penggabungan beberapa eselon I yang bersesuaian; dan (c) pengu-
rangan jumlah eselon II dan di bawahnya sebagai akibat penggabungan lembaga.

28 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

Pada tahun 1999, di Indonesia terdapat 319 pemerintah daerah (26


provinsi, 234 kabupaten, dan 59 kota). Sejak pemekaran dibuka, hanya dalam waktu
sepuluh tahun (1999-2009) jumlah pemerintah daerah bertambah 205 daerah oto-
nom baru (DOB), yaitu 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian
total pemerintah daerah saat ini adalah 524, yaitu 33 provinsi, 398 kabupaten, dan
93 kota, tidak termasuk 6 daerah administratif di DKI Jakarta. Usulan DOB masih
terus mengalir dan saat ini telah mencapai 170 (usulan pembentukan: 33 provinsi,
123 kabupaten, dan 14 kota).

Kebijakan penataan daerah mengacu pada Desain Besar Penataan Daerah


(Desartada) dengan tiga misi utama, yaitu menjaga integrasi NKRI sebagai amanat
konstitusi, akselerasi peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pengukuhan kapa-
sitas Indonesia dalam konteks persaingan global (Djohermansyah, 2011). Pencapaian
misi tersebut didasarkan atas empat pertimbangan, yaitu pengutamaan kepentingan
strategis nasional, penataan daerah yang berwawasan global, integrasi seluruh
aspek perubahan lingkungan, dan keterpaduan pembangunan pusat dan daerah.

Djohermansyah menjelaskan empat pokok desartada, yaitu 1) pembentu-


kan daerah persiapan sebagai prosedur baru dalam pembentukan daerah otonom;
2) penghapusan, penggabungan, dan penyesuaian daerah otonom; 3) pengaturan
daerah otonom yang memiliki karakteristik khusus; dan 4) penetapan estimasi
jumlah maksimal daerah otonom hingga tahun 2025. Implementasi desartada harus
mengacu pada lima langkah. Pertama, memasukkan desartada ke dalam revisi UU
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (pengertian, penataan daerah, pembentu-
kan, penyesuaian, penghapusan, dan penggabungan daerah). Kedua, penyusunan
detail parameter penataan ulang daerah otonom. Ketiga, pengkajian ulang usulan
pembentukan daerah otonom berdasarkan parameter baru. Keempat, implementasi
seluruh substansi desartada. Kelima, evaluasi terhadap pelaksanaan desartada. Hal
penting lainnya, desartada harus disosialisasikan kepada seluruh pemerintah daerah.

Pemekaran daerah seolah tidak terbendung lagi padahal penataan dae-


rah sedang diupayakan. Aspek potensi berupa sumber potensi provinsi untuk
berkembangnya ekonomi regional, potensi untuk berkembangnya ekonomi berba-
sis sumber daya alam di kabupaten, dan potensi untuk berkembangnya kegiatan
industri, perdagangan, dan jasa di kota kurang diperhatikan. Terlepas dari masih

Edisi 2, Tahun II | 29
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

banyaknya keinginan masyarakat untuk bisa memperoleh pemekaran baru, Siti


Zuhro (2011) telah menganalisis perlu tidaknya pemekaran daerah dan upaya
pencegahan pemekaran daerah. 6

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Kebijakan penataan kelembagaan yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right
sizing) dalam reformasi birokrasi harus dilakukan agar terjadi perubahan mendasar
dan signifikan, tidak hanya merupakan perubahan parsial yang dampaknya kecil.
Penggabungan kementerian yang tugas pokok dan fungsinya hampir berdekatan
mutlak diperlukan. Penggabungan LPNK ke dalam Kementerian sangat besar
manfaatnya, seperti Bapedal yang semula merupakan LPND dilebur ke dalam
Kementerian Lingkungan Hidup, BPKP dahulu merupakan Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara, dan BPN semula merupakan Direktorat Jenderal
Agraria.

Pembentukan, perubahan, dan penggabungan Kementerian dan LPNK yang


“radikal” ini merupakan pemikiran awal, belum didukung penelitian atau kajian
mendalam, dan tanpa pertimbangan politik. Jika penggabungan ini bisa dilakukan,
diperkirakan akan terjadi penghematan yang cukup besar.

Jumlah LNS dapat dikurangi dengan melihat dasar pembentukan kelembagaan.


Dikecualikan bagi lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang,

6 Dalam tulisannya berjudul “Realitas Pemekaran Daerah di Indonesia: Masalah, Implikasi,


dan Solusinya”, Siti Zuhro (LIPI, 2011) menegaskan bahwa sudah saatnya Indonesia
mengendalikan pemekaran dan mengawasi prosesnya dengan mengubah kerangka
kebijakan dan menetapkan langkah alternatif untuk menyediakan pelayanan terhadap
daerah-daerah kurang beruntung. Salah satu akternatif adalah menggunakan insentif
fiscal untuk mendorong restrukturisasi administrasi, menginformasikan kepada semua
daerah tentang dampak pemekaran, melakukan kajian secara lebih cermat, memperke-
nalkaan kriteria initial threshold bagi daerah yang ingin memekarkan, menginformasikan
kebutuhan waktu yang panjang dalam membangun daerah baru, konsultasi publik dan
pelibatan publik, bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan masyarakat
madani (civil society), moratorium pemekaran daerah, penguatan kerjasama antardaerah,
dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada daerah terpencil dan terisolasi.

30 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

maka terbuka kemungkinan adanya pembubaran atau penggabungan LNS. Pena-


taan pemerintahan daerah, khususnya pemekaran DOB dilakukan secara selektif
mengacu pada desartada. Keberadaan Staf Ahli Kementerian ditetapkan dalam
Peraturan Presiden tetapi tidak ada ketentuan acuannya dalam Undang-Undang
tentang Kementerian Negara.

Pemikiran awal tentang penggabungan Kementerian dan LPNK ini dapat


dijadikan masukan dalam pembentukan Kabinet RI 2014-2018 sehingga terbentuk
Kementerian yang jumlahnya di bawah 34 seperti yang ditetapkan dalam Undang-
Undang tentang Kementerian Negara. Dibutuhkan pimpinan yang tidak hanya
berpikir biasa-biasa saja (business as usual), tetapi diperlukan pimpinan yang men-
gubah paradigma (paradigm shift) dan berpikir luar biasa (out of the box thinking).

4.2 Saran
Beberapa saran terhadap penataan kelembagaan atau penataan struktur bi-
rokrasi adalah
a. Pelaksanaan Sembilan Program Percepatan Reformasi Birokrasi, khususnya
penataaan kelembagaan, harus dipantau dan dievaluasi terus menerus agar
terjadi perampingan kelembagaan dan peningkatan penghematan, efisiensi,
dan efektivitas.
b. Pemerintah harus meningkatkan komitmen, kesungguhan, dan keseriusan untuk
melakukan penataan kelembagaan dalam bentuk penggabungan Kementerian
dan LPNK, pengurangan jumlah LNS, dan pemekaran daerah baru yang sele-
ktif, diarahkan agar memberikan pengaruh signifikan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
c. Perlu dilakukan kajian intensif tentang pembentukan, perubahan, dan peng-
gabungan Kementerian dan LPNK, LNS, keberadaan Kementerian Koordinator,
keberadaan Staf Ahli Kementerian, dan pemekaran daerah.
d. Keberadaan LPNK seharusnya dilebur ke dalam Kementerian terkait dan/atau
jumlahnya dibatasi. Yang dipertahankan adalah terbatas hanya pada LPNK
yang benar-benar tidak dapat dimasukkan ke dalam Kementerian.
e. Penggabungan Kementerian dan LPNK harus dibarengi dengan penataan eselon
1, eselon 2, dan eselon di bawahnya serta perubahan pola pikir (mind-set) dan
budaya kerja (culture-set) aparat negara sehingga dapat mengurangi tumpang
tindih pelaksanaan tugas dan fungsi antar jabatan.

Edisi 2, Tahun II | 31
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

f. Pimpinan Nasional pada Kabinet RI 2014-2018 sebaiknya memperhatikan pe-


mikiran penggabungan Kementerian dan LPNK sehingga terbentuk birokrasi
yang baik, profesional, efisien, dan efektif.

Referensi

1. Biro Hukum dan Humas Kemen PANRB, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan


Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara”, Jilid I dan II, Jakarta, 2011.
2. Biro Hukum dan Humas Kementerian PANRB, “Sembilan Program Percepatan
Reformasi Birokrasi”, Jurnal Layanan Publik Edisi XL Tahun VIII 2012.
3. Djohermansyah Djohan, Dirjen Otda Kemendagri, “Kebijakan Penataan Daerah”,
Jurnal Kenegaraan Sekretariat Negara RI, Nomor 21 Tahun 2011.
4. Ismadi Ananda, Deputi Kelembagaan Kemen PANRB, “Penataan Kelembagaan
Pemerinah Sebuah Keniscayaan”, Jurnal Kenegaraan Sekretariat Negara RI, Nomor
21 Tahun 2011.
5. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, “Kebijakan dan Arah Reformasi
Birokrasi Aparatur Negara”, Oktober 2004.
6. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, “Dasawarsa Reformasi Birokrasi
1999-2009”, Jakarta, Oktober 2009.
7. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organaisasi, dan Tata Kerja LPND beserta perubahannya.
8. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon
I LPND beserta perubahannya.
9. Komarudin, “Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik”, Jurnal Kenegaraan Sekretariat
Negara RI, Nomor 20 Tahun 2011.
10. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan daan Organisasi
Kementerian Negara.
11. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi
Kementerian Negara, serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara beserta perubahannya.
12. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025.
13. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
14. Siti Zuhro, LIPI, “Realitas Kemekaran Daerah di Indonesia: Masalah, Implikasi, dan
Solusinya”, Jurnal Kenegaraan Sekretariat Negara RI, Nomor 22 Tahun 2011.

32 | Edisi 2, Tahun II
PENATAAN STRUKTUR BIROKRASI:
KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON KEMENTERIAN

15. Sofyan Effendi, “Membangun Pemerintahan Yang Amanah”, Workshop reformasi


birokrasi diselenggarakan oleh Kemenpan di Yogyakarta, 22 September 2005.
16. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Edisi 2, Tahun II | 33
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui


Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri Sipil
Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional
Prof. Dr. H. Wirman Syafri Sailiwa, MSi

1. Pendahuluan

M
aju mundurnya sebuah bangsa atau negara amat bergantung pada baik
buruknya administrasi (Wilson), baik buruknya administrasi amat ber-
gantung pada kinerja aparatur negara; dan tidak ada satu hal untuk abad
modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi. Kelangsungan hidup
pemerintahan yang beradab dan malahan kelangsungan hidup dari peradaban itu
sendiri akan sangat bergantung atas kemampuan kita untuk membina dan mengem-
bangkan suatu filsafat administrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah
masyarakat modern (Charles A Beard, dalam Lepawsky, 1960).
Pernyatan yang telah berusia puluhan tahun di atas hingga saat ini masih
diakui kebenarannya terutama dari perspektif administrasi publik yang berupaya
mencapai tujuan negara dengan melakukan kolaborasi antara sektor pemerin-
tah, swasta dan masyarakat sipil melalui berbagai kebijakan yang manusiawi dan
berkeadilan.
Kolaborasi ketiga sektor (unsur) administrasi publik itu sendiri hingga saat ini
masih tidak sesuai harapan, aparatur negara yang dalam hal ini diwakili oleh pegawai
negeri sipil (PNS) yang diharapkan menjadi inisiator, motivator dan dinamisator
dalam kolaborasi tersebut berkinerja buruk sehingga belum mampu mengemban
amanah yang dipikulkan dan belum mampu memenuhi sebagian besar tuntutan
kebutuhan pelayanan masyarakat.
Untuk dapat melakukan kolaborasi dengan sektor swasta dan masyarakat
sipil, pegawai negeri sipil dituntut untuk bertindak profesional dengan bekerja
berdasarkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan disiplin serta nilai keadilan dalam
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik.

34 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

2. Masalah
Ketidakhadiran nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan disiplin serta keadilan
tersebut di atas pada setiap individu PNS diduga kuat sebagai penyebab antara dari
sekian banyak penyebab buruknya kinerja PNS, sedangkan penyebab utamanya
adalah buruknya sistem manajemen sumber daya aparatur sehingga secara signifi-
kan berdampak pada lemahnya daya saing nasional. Reformasi birokrasi bidang
penataan organisasi, penataan tata laksana, penguatan pengawasan, dan penguatan
akuntabilitas kinerja, serta peningkatan kualitas pelayanan publik kemungkinan
akan tidak optimal atau bahkan mengalami kegagalan jika tidak dimulai dari pe-
nataan sistem manajemen sumber daya manusia aparatur secara baik dan benar.

3. Tantangan
Berbagai tantangan dihadapi baik oleh sektor publik (pemerintah), swasta
maupun masyarakat sipil antara lain terkait dengan: (a) kriminal dan teroris (crime
and terrorist); (b) penyebaran penyakit menular (deases) baik yang dialami manusia
maupun binatang; (c) kesenjangan ekonomi (economic disparity) baik antarspasial
maupun antarstrata; (d) kerusakan lingkungan hidup akibat perkembangan pem-
bangunan dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali (the emergence of the
development and demografic boom); (e) teknologi dan dunia cyber (technology and cyber
world); (f) keuangan dan perdagangan global (global trade and finance); dan (g) dunia
politik dan militer (political world and military).
Kesemua tantangan tersebut berpengaruh dan memiliki andil dengan skala
besaran tertentu dalam upaya pemenuhan kebutuhan hajat hidup masyarakat dan
kebutuhan pelayanan masyarakat bagi terwujudnya masyarakat adil makmur yang
kita cita-citakan.

4. Kondisi PNS saat ini


4.1. Jumlah PNS
Jumlah PNS hingga bulan Oktober 2011 adalah sebesar 4.646.351 dengan dis-
tribusi menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin seperti tabel berikut:

Edisi 2, Tahun II | 35
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Tabel 1 : Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin
Per 1 Oktober 2011

Sumber: http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan data/profil-statistik-pns/stribusi-jumlah-pns-


dirinci-menurut-tingkat-pendidikan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh 11 April 2012)

Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 1.630.898 (35,1 %) orang PNS ber-
pendidikan Strata1 (S1) hingga Strata 3 (S3), dan jika diasumsikan bahwa Diploma 1
(D1) sampai Strata 3 (S3) masuk kategori pendidikan tinggi, maka terdapat 2.870.634
(62 %) PNS yang telah menempuh pendidikan tinggi, dan terdapat keseimbangan
antara jenis kelamin pria dan wanita yaitu 58,8 % pria dan 47, 2 %. Jika digambarkan
secara diagramatis tampak seperti di bawah ini:
Diagram 1: Distribusi jumlah PNS menurut Tingkat pendidikan dan Jenis Kelamin

Sumber: http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/stribusi-jumlah-pns-
dirinci-menurut-tingkat-pendidikan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh 11 April 2012)

36 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

Selanjutnya dilihat dari jenis jabatan dan jenis kelamin distribusi PNS akan
tampak seperti tabel berikut:

Tabel 2 : Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut Jenis Jabatan dan Kelamin
Per 1 Oktober 2011

Sumber : http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/distribusi-pns-
berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh pada 11 April 2012)

Tabel di atas memperlihatkan bagian kecil PNS (229.141 atau sekitar 5 %)


memegang jabatan struktural dari eselon IV hingga eselon 1 sedangkan sebanyak
1.994.559 atau sekitar 43 % adalah fungsional tertentu terdiri dari guru, dosen,
perawat, dan lain-lain dan fungsional umum atau staf sebanyak 52%. Selanjutnya
secara diagramatis tampak seperti di bawah ini:

Diagram 2: Distribusi PNS berdasarkan Kelompok jabatan dan Jenis Kelamin

Sumber : http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profil-statistik-pns/distribusi-pns-
berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html (diunduh 12 April 2012)

Edisi 2, Tahun II | 37
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Jumlah PNS seperti di atas adalah untuk melayani seluruh rakyat Indonesia
yang saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa tersebar dari Sabang sampai
Merauke dan bagian terbesar dari PNS tersebut adalah Guru. Jika dibandingkan
dengan Malaysia misalnya, dengan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa dengan
jumlah pegawai Kerajaan (pegawai negeri) 1,3 juta orang atau dibandingkan dengan
Yunani dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa dengan jumlah pegawai negeri
1 juta orang, maka postur PNS di Indonesia tidaklah terlalu gemuk.

4.2. Kinerja PNS


Produk PNS adalah berupa jasa pelayanan sehingga memungkinkan unit-unit
ekonomi negara dan rakyat seperti pada bidang: industri, industri rumah tangga,
pertambangan, perkebunan, kehutanan, perhubungan dan lain-lain dapat ber-
produksi, dan unit sosial budaya seperti: pendidikan, kesehatan, dan hubungan
sosial antar masyarakat dapat berjalan sesuai kaidah atau norma tertulis maupun
tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat.
Capaian hasil kerja dari produk tersebut secara makro dapat dilihat dari tingkat
kemajuan melalui indikator ranking nasional pada daya saing global. Menurut The
Global Competitiveness Report 2011-2012 terbitan World Economic Forum bahwa per-
ingkat daya saing global (global competitiveness ranking) Indonesia pada 2011-2012
turun dua level menjadi 46 dari 44 pada tahun 2010-2012. (http://bp2t.magelang-
kota.go.id/component).
Penurunan tingkat daya saing global Indonesia tersebut sebagian disebabkan
oleh inefisiensi birokrasi pemerintah dan masih merajalelanya korupsi di lingkun-
gan aparatur negara. Kedua hal tersebut juga menjadi pertimbangan utama dan
berpengaruh besar bagi masuknya investor asing ke Indonesia.
Inefisiensi birokrasi pemerintah dan korupsi akan berlanjut jika aparatur pemer-
intah tidak menjadikan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keadilan dan disiplin sebagai
landasan utama dalam bekerja dan berperilaku.
Kejujuran aparat pemerintah (PNS) merupakan prasyarat bagi tumbuhnya
kepercayaan masyarakat, pelaku bisnis, wisatawan dan masyarakat internasional.
Ketiadaan kejujuran akan mengurangi dukungan masyarakat terhadap pemerin-
tahan, menghilangkan kesempatan masuknya investor asing maupun dalam negeri
dan melambatnya roda perekonomian serta terkucilnya bangsa ini dari pergaulan
internasional.
38 | Edisi 2, Tahun II
serta terkucilnya bangsa ini dari pergaulan internasional.

PeningkatanNilai-nilai kebenaran
Kinerja Aparatur yang
Negara dijunjung
Melalui tinggi
Penataan akan
Sistem meminimalisir
Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya
penyimpangan, mengurangi pemborosan atau menghindari terjadinya Saing Nasional

inefisiensi anggaran pemerintah.


Nilai-nilai kebenaran yang dijunjung tinggi akan meminimalisir penyimpan-
gan, mengurangi pemborosan
Nilai-nilai atau
keadilan akan menghindari
menumbuhkan terjadinya persatuan
kebersamaan, inefisiensidan
anggaran
pemerintah.
kerjasama dan semangat korp dikalangan di kalangan PNS, sedang nilai-nilai
Nilai-nilai keadilan akan menumbuhkan kebersamaan, persatuan dan kerjasama
disiplin akan mendorong kemajuan dan ketaatan terhadap aturan berlaku.
dan semangat korp di kalangan PNS, sedang nilai-nilai disiplin akan mendorong
kemajuan dan ketaatan terhadap aturan berlaku.
5. Perbaikan Manajemen Sumber Daya Aparatur

5.1. SiklusManajemen
5. Perbaikan Manajemen Sumber Daya Aparatur
Sumber Daya Aparatur
Secara umum sumber daya aparatur dimulai dari perencanaan
5.1. Siklus Manajemen Sumber Daya Aparatur
kebutuhan
Secara umumpegawai, pengangkatan
sumber (recruitment),
daya aparatur dimulaipenempatan, penggajian,
dari perencanaan kebutuhan
pegawai, pengangkatan
pengembangan, (recruitment), penempatan, penggajian, pengembangan,
dan pemensiunan.
dan pemensiunan.
Gambar 1: Siklus
Gambar Manajemen
1: Siklus Sumber
Manajemen Sumber Daya Daya
AparaturAparatur

Perencanaan   Kewenangan     Pengembangan   Pemensiunan  


Kebutuhan   level  Pem-­‐an    
Pegawai  
Penggajian  

Kebutuhan  akan  
layanan  
Penempatan  

Jenis     Persyaratan   Rekruitmen  


pekerjaan   pekerjaan  

Uraian singkat dari gambar 1 tersebut di atas adalah sebagaimana di bawah ini:

5.2. Perencanaan Kebutuhan PNS


Kebutuhan akan PNS harus didasari
8   alasan-alasan rasional yang dimulai
 
dengan: (1) memperhatikan dan memetakan kewenangan yang dimiliki oleh tiap
level pemerintahan. Kita pahami dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah tiap level pemerintahan (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan) memiliki kewenangan masing-masing. Perbedaan kewenangan
ini berdampak pada jenis dan sifat serta cakupan pelayanan yang harus diberikan
kepada masyarakat; (2) kebutuhan masyarakat akan pelayanan; kebutuhan pelayanan

Edisi 2, Tahun II | 39
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

masyarakat berbeda pada tiap level pemerintahan dan bahkan berbeda pada level
pemerintahan yang sama atau dalam satu level pemerintahan. Bisa jadi tingkat
pemerintahan tertentu memiliki kewenangan menangani satu urusan namun tidak
perlu menyediakan jasa layanan karena masyarakat tidak membutuhkan layanan
di bidang tersebut atau bahkan bisa terjadi masyarakat membutuhkan pelayanan
tertentu namun pemerintahan di mana dia berada tidak memiliki kewenangan di
bidang itu; (3) menentukan jenis pekerjaan yang harus ditangani oleh pemerintah.
Inventarisasi jenis pekerjaan yang harus ditangani oleh pemerintah penting dilaku-
kan agar pemerintah hanya menerima pegawai sesuai dengan jenis pekerjaan yang
ditangani pemerintah. Kita pahami bahwa tidak semua jenis kebutuhan pelayanan
masyarakat harus dipenuhi atau didapat melalui pelayanan langsung dari pemer-
intah. Sebagian kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi oleh pihak swasta atau oleh
masyarakat itu sendiri tanpa perlu bantuan pemerintah.
Penentuan atau inventarisasi jenis pekerjaan yang harus ditangani pemerintah
juga penting karena akan berpengaruh dan berdampak sistemik pada kompetensi/
syarat pekerjaan dan besaran jumlah PNS yang akan diterima, struktur organisasi
pemerintah serta anggaran belanja negara. Berbagai literatur mengajarkan kepada
kita bahwa tiap jenis pekerjaan memerlukan persyaratan pekerjaan tertentu pula.
Syarat pekerjaan untuk menjadi supir bus berbeda dengan syarat pekerjaan untuk
menjadi supir pribadi atau syarat untuk menjadi pilot pesawat tempur berbeda
dengan untuk pilot pesawat komersil.
Contoh sederhana dikemukakan sebagai berikut: Jika kita ingin membangun
sebuah rumah, maka jenis pekerjaan yang akan ditangani antara lain adalah (a)
pasang pondasi; (b) pasang tembok; (c) pasang kayu/kusen; (d) instalasi listrik;
(e) pasang plafon; (f) instalasi ledeng/air; (g) pembuatan WC; (h) pengecetan; (i)
pasang genteng; dan (j) pertamanan.
Dengan demikian syarat pekerjaan atau kompetensi tukang yang dibutuhkan
adalah: (a) ahli pasang pondasi ; (b) ahli pasang tembok; (c) ahli pasang kayu/kusen;
(d) ahli listrik; (e) ahli pasang plafon; (f) ahli instalasi ledeng/ air; (g) ahli WC; (h)
ahli pengecetan; (i) ahli pasang genteng; dan (j) ahli pertamanan.

40 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

Gambar 2: Jenis pekerjaan dan syarat pekerjaan/kompetensi yang dibutuhkan dalam


pembangunan sebuah rumah

BANGUN  
RUMAH  

Syarat  Pekerjaan/  
Jenis  Pekerjaan   Kompetensi  
 
-­‐ Pasang  pondasi;   -­‐ Ahli  pondasi;  
-­‐ Pasang  tembok;   -­‐ Ahli  pasang  tembok;  
-­‐ Pasang  kayu  (pintu/jendela/   -­‐ Ahli  kayu;  
wuwungan);   -­‐ Ahli  Instalasi  listrik;  
-­‐ Instalasi  listrik;   -­‐ Ahli  pasang  plafon  
-­‐ Pasang  plafon;   -­‐ Ahli  Instalasi  Air  
-­‐ Instalasi  air   -­‐ Ahli  Pembuatan  WC;  
-­‐ Pembuatan  WC;   -­‐ Ahli  Pengecatan;  
-­‐ Pengecatan;   -­‐ Ahli  pasang  genteng;  
-­‐ Pasang  genteng;   -­‐ Ahli  pertamanan;  
-­‐ Pembuatan  taman;   -­‐ Dll.  
-­‐ Dll.  

Setelah diketahui jenis pekerjaan dan syarat pekerjaan selanjutnya perlu dibuat
Setelah diketahui jenis pekerjaan dan syarat pekerjaan selanjutnya perlu
uraian pekerjaan/uraian tugas dari masing masing jenis pekerjaan atau uraian
pekerjaan/uraian tugaspekerjaan/uraian
dibuat uraian dilakukan setelah jenis
tugas dari pekerjaan
masing masingdiketahui sebelum
jenis pekerjaan atau kom-
petensi pegawai yang dibutuhkan. Contoh uraian pekerjaan/uraian
uraian pekerjaan/uraian tugas dilakukan setelah jenis pekerjaan diketahui
tugas pada
pembangunan sebuah rumah sebagai berikut:
sebelum kompetensi pegawai yang dibutuhkan. Contoh uraian
Gambar 3: Contoh jenis pekerjaan dan uraian pekerjaan
pekerjaan/uraian tugas pada pembangunan sebuah rumah sebagai berikut:
No Jenis Pekerjaan Uraian Pekerajan/Tugas
1 2 Gambar 3: Contoh jenis pekerjaan dan uraian pekerjaan
3
1 Pasang Pondasi - Gali tanah sesuai ukuran
No Jenis Pekerjaan
- MencampurUraian semenPekerajan/Tugas
dengan pasir (adukan)
1 2 3
1 Pasang Pondasi
- Pasang batu belah
- Gali tanah sesuai ukuran
- Pasang besi pondasi
- Mencampur semen dengan pasir (adukan)
- Pasang batu belah
- Mencampur semen dengan pasir & batu kerikil
- Pasang besi pondasi
- Mengecor
- Mencampur semen dengan pasir & batu kerikil
- dll- Mengecor
- dll
2 Pasang
2
Tembok
Pasang Tembok
- Pemasangan profil (utk menarik benang)
- Pemasangan profil (utk menarik benang)
- Mencampur semendandan
- Mencampur semen pasir
pasir (adukan)
(adukan)
- Pasangbata
- Pasang bata
- Memelester
- Memelester
- Menghaluskan tembok pelesteran (mengaci)
- Menghaluskan
- dll tembok pelesteran (mengaci)
- dll
11  
 

Edisi 2, Tahun II | 41
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

No Jenis Pekerjaan Uraian Pekerajan/Tugas


1 2 3
3 Pasang kayu (Kusen, Jendela, - Menyiapkan kayu yang akan digunakan
Wuwungan/Atap) - Menghaluskan/menyerut kayu
- Merangkai kayu sesuai ukuran yg akan dibuat
- Mencocokan ukuran daun jendela & daun pintu
- Memasang kusen
- Pemasangan kayu balok, kaso, reng (Wuwungan)
- dll
4 Instalasi listrik - Menyediakan bahan yang diperlukan
- Membuat dudukan saklar
- Membuat dudukan lampu
- Memasang instalasi kabel
- Memasang saklar
- Memasang lampu
- Pasangkan kabel nol dengan masa ke induk
- dll
5 Pasang Plafon - Menyiapkan kayu kaso dan paku
- Menyerut kaso (Menghaluskan)
- Memotong kayu sesuai ukuran
- Pemasangan kaso
- Pasang plafon
- dll
6 Instalasi Air - Menyediakan bahan yang diperlukan
- Membuat saluran air sesuai kebutuhan
- Memasang kran air
- Menghubungkan saluran air dengan bak
penampungan air (toren)
- dll
7 Pembuatan WC - Membuat galian untuk spiteng
- Membuat saluran dari kamar mandi ke spiteng
- Membuat adukan cor utk menutup spiteng
- Pemberian lubang udara pada spiteng
- Pasang kloset
- dll
8 Pengecatan - Membersihkan permukaan tembok
- Mendempul permukaan tembok
- Meratakan & menghaluskan permukaan tembok
- Mencampur cat dengan air
- Pengecatan
- dll

42 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

No Jenis Pekerjaan Uraian Pekerajan/Tugas


1 2 3
9 Pembuatan Taman - Menyediakan bahan yang dibutuhkan
- Merancang taman sesuai kondisi halaman
- Memilih jenis bunga/ tanaman
- dll

Diketahuinya jenis pekerjaan dan syarat pekerjaan tersebut, memudahkan kita


dalam menentukan besaran tenaga kerja yang diperlukan. Besaran tenaga kerja akan
sangat bergantung pada besar kecilnya rumah yang akan dibangun. Dalam kaitan-
nya dengan kebutuhan PNS sebaiknya pemerintah mulai menginventarisir secara
nasional jenis pekerjaan yang memang harus ditangani/dikerjakan pemerintah.

5.3. Rekruitmen PNS


Rekruitmen (penerimaan) PNS harus dilakukan secara benar dengan berdasarkan
pada kompetensi/syarat pekerjaan yang diperlukan oleh tiap jenis pekerjaan yang
menjadi tanggungjawab pemerintah. Dengan cara demikian maka pola penerimaan
pegawai yang tidak jelas dasarnya tidak perlu lagi untuk dilanjutkan. Selama ini
penerimaan PNS didasarkan pada kemampuan anggaran pemerintah dalam mem-
bayar gaji dan pada uraian tugas yang sering dibuat-buat tidak berdasarkan jenis
pekerjaan yang seharusnya ditangani pemerintah. Akibatnya terjadi perdebatan
panjang tentang ratio PNS dengan jumlah penduduk, pegawai yang tidak sesuai
kompetensi, pengangguran tidak kentara (disguise unemployment) dalam tubuh
PNS, dan lain-lain. Penetapan jenis pekerjaan dan kompetensi yang diperlukan
untuk menjalankan jenis pekerjaan tersebut pada gilirannya sampai pada peta
program studi yang dibutuhkan di universitas atau perguruan tinggi di seluruh
Indonesia, bahkan besaran output satu program studi untuk kurun waktu tertentu
dapat diperhitungkan junlahnya berdasarkan kebutuhan penanganan pekerjaan
sektor pemerintah.
Seleksi penerimaan calon PNS tidak perlu dilakukan secara massal dalam suatu
tempat khusus (stadion atau GOR), tapi perlu dibangun satu sistem jaringan online
yang memungkinkan peserta seleksi mengerjakan soal-soal tes di rumah masing-
masing atau pada suatu area yang memungkinkan akses internet atau pada suatu
lab komputer tertentu sehingga dalam waktu beberapa jam kemudian hasilnya
sudah dapat diketahui oleh para peserta seleksi.

Edisi 2, Tahun II | 43
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Pola seleksi yang dilakukan secara manual dan bersifat massal selama ini sangat
rawan terjadinya penyimpangan atau manipulasi yang merugikan banyak peserta
seleksi. Seleksipun tidak harus dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun tetapi
dapat dilakukan kapan saja ketika terdapat lowongan pekerjaan. Ambil contoh mis-
alnya satu-satunya guru matematika pada sebuah Sekolah Dasar meninggal dunia,
jika harus menunggu saat penerimaan pegawai yang boleh jadi masih memerlukan
waktu berbulan-bulan, maka siapa yang akan mengajar matematika selama belum
ada pengangkatan guru matematika baru pada sekolah tersebut? Dalam kasus seperti
ini mestinya segera dilakukan seleksi penerimaan guru matematika tanpa harus
menunggu waktu seleksi yang sekali atau dua kali setahun tersebut.

5.4. Penempatan Pegawai


Penempatan pegawai yang serampangan selama ini juga berkontribusi terhadap
kekisruhan menyangkut rendahnya kinerja PNS. Banyak Kepala Dinas atau Kepala
Kantor/Badan/Lembaga tertentu harus menerima pegawai dengan keahlian yang
tidak sesuai permintaan sebelumnya. Manusia pada dasarnya memang penuh dengan
atau memiliki banyak potensi; seseorang bisa berenang, lari, bermain catur, bulu
tangkis, tenis meja, menyanyi, bermain drama dan lain-lain tetapi belum tentu yang
bersangkutan dapat menjadi juara/berprestasi atau memenangkan suatu kontes
yang diselenggarakan pada bidang-bidang tersebut. Prestasi tentu akan muncul
pada potensi-potensi yang terpupuk dan dikembangkan secara baik sehingga akan
melahirkan profesionalitas dan keunggulan.
Terkait dengan PNS, setiap PNS dengan latar belakang pendidikan dan ket-
rampilan tertentu dapat saja ditempatkan pada dinas/kantor/badan/atau lembaga
manapun karena memiliki banyak potensi dasar tetapi pada akhirnya belum tentu
yang bersangkutan berprestasi dan berkinerja baik.
Penempatan PNS yang asal-asalan bukan saja berdampak pada kuantitas dan
kualitas kinerja yang bersangkutan akan tetapi juga dapat mengacaukan sistem
dan jenis pendidikan secara nasional. Seseorang yang menempuh pendidikan pada
bidang keahlian atau program studi tertentu selama bertahun-tahun menjadi tidak
termanfaatkan keahlian dan ilmunya ketika ditempatkan pada pekerjaan yang
tidak sesuai dengan ilmu dan keahlian yang dipelajari. Jika demikian untuk apa
ada pembagian bidang keahlian atau program studi tertentu pada sistem pendi-
dikan kita? Ajaran “the right man on the right place”, atau “the right man on the wrong

44 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

place” perlu kita cermati dan renungkan kembali secara mendalam akan makna
dan konsekuensi-konsekuensi positif - negatifnya jika dipedomani atau diabaikan.
Penempatan awal PNS maupun penempatan dalam jabatan struktural tertentu
berdasarkan jenis pekerjaan yang sesuai dengan persyaratan pekerjaan/keahlian
yang dimilikinya bukan saja mendorong PNS untuk berkinerja baik tetapi juga
menghindari inefisiensi keuangan negara dan mendukung sistem pendidikan yang
“link and match”.
Untuk tujuan di atas maka diperlukan satu unit tertentu yang bertugas men-
gawasi penempatan pegawai dan melakukan seleksi untuk setiap promosi jabatan
di luar Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang selama
ini dinilai tidak efektif.

5.5. Sistem Penggajian


Gaji sebagai imbalan atas pekerjaan PNS masih saja menjadi bahan diskusi yang
tetap menarik dibicarakan. Betapa tidak, kenaikan gaji PNS sebesar 10% atau 15%
dari sekitar 4,6 juta orang PNS dapat berpengaruh terhadap harga barang-barang
yang dibutuhkan oleh sekitar 237 juta jiwa penduduk Indonesia. Secara matematis
tidak ada keluarga PNS yang dapat hidup layak dari gaji per bulan yang diterima.
Ambil contoh; seorang pegawai X, sarjana golongan III/a dengan masa kerja 0
(nol) tahun dengan seorang istri dan seorang anak akan memperoleh penghasilan/
gaji per bulan sebagai berikut :
Gaji pokok Rp. 2.064.100
Tunjangan istri 10 % Rp. 206.410
Tunjangan anak 2 % Rp. 41.282

Rp. 2.311.792
Tunjangan umum Rp. 180.000
Tunjangan beras (3x 59.000) Rp. 177.000
Tunjangan pajak -

Rp. 2.668.792
Potongan
Iuran wajib pegawai 10 % Rp. 266.879
Pajak -
Taperum Rp. 5.000

Rp. 271.879

Bersih Rp. 2.396.913

Sumber : Perhitungan berdasarkan PP No 15 tahun 2012 tentang Perubahan gaji PNS, berlaku per
Sumber : Perhitungan berdasarkan PP No 15 tahun 2012 tentang Perubahan gaji
1 Januari 2012PNS, berlaku per 1 Januari 2012

Edisi 2, Tahun II | 45
Jika gaji sebesar Rp. 2.396.913,00 tersebut dibagi 3, yaitu pegawai X,

istri, dan satu orang anaknya, maka masing-masing memperoleh sebesar

Rp. 798.971 per bulan. Bagi pegawai X uang sebesar itu mungkin hanya
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Jika gaji sebesar Rp. 2.396.913,00 tersebut dibagi 3, yaitu pegawai X, istri, dan
satu orang anaknya, maka masing-masing memperoleh sebesar Rp. 798.971 per
bulan. Bagi pegawai X uang sebesar itu mungkin hanya cukup untuk transport ke
kantor setiap bulan. Bagaimana makannya pegawai X? numpang bagian anak istri,
bagaimana anak sekolah? bagaimana kontrak rumah? Jalan yang ditempuh adalah
hutang pinjam teman, saudara, gadaikan SK di bank atau membolos cari tambahan
di luar kantor. Oleh karena itu tidak heran jika banyak PNS yang gajinya minus dan
banyak PNS yang tidak berada di kantor ketika masih jam kerja.
Terlepas dari kontroversi tentang besar dan kecilnya gaji seorang PNS, secara
jujur harus diakui bahwa komponen-komponen dalam gaji tersebut memang san-
gat tidak layak atau bahkan bertentangan dengan hak asasi manusia. Komponen
tunjangan anak sebesar 2% dan istri/suami 10% dari gaji pokok sudah sangat tidak
sesuai dengan perkembangan peradaban. Bayangkan seorang istri yang tidak bekerja
dan bergantung dengan gaji suami hanya dihargai (diberi tunjangan ) sebesar
Rp. 460.370,00 dari sebesar Rp.4.603.700,00 gaji pokok suaminya dengan golongan
tertinggi PNS (IV/e) dan masa kerja selama 32 tahun atau lebih (PP No 15 tahun
2012 tentang Perubahan gaji PNS, berlaku per 1 Januari 2012).
Idealnya penghasilan PNS tiap bulan dapat menghidupi keluarganya secara
layak, besarannya tentu perlu perhitungan mendalam dengan melakukan peruba-
han beberapa komponen gaji PNS. Misalnya tunjangan istri dan anak tidak seperti
saat ini, apalagi tunjangan anak diberikan sampai yang bersangkutan menikah atau
menyelesaikan pendidikannya maksimal umur 25 tahun atau sampai usia 21 tahun
jika tidak sekolah/kuliah. Struktur gaji yang lebih besar tunjangan dari gaji pokok
perlu dibalik sehingga tunjangan lebih kecil dari gaji pokok. Sesuatu yang sifatnya
menunjang tentu terhadap yang lebih besar, oleh karena itu gaji pokok mestinya
lebih besar dari tunjangan. Sistem penambahan penghasilan melalui honor-honor
dan remunerasi perlu dikaji ulang sebab menimbulkan kesenjangan karena tidak
semua pegawai terlibat dalam kepanitiaan dan dapat honor. Akan lebih baik uang
untuk honor-honor dan remunerasi digunakan untuk memperbesar gaji pokok
sehingga sampai memasuki masa purna tugas-pun PNS dapat sejahtera karena
persentasi uang pensiun dihitung dari gaji pokok.

46 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

5.6. Pengembangan
Fredrick Winslow Taylor bapak manajemen ilmiah (scientific management)
mengajarkan perlunya (a) menyeleksi, melatih, mendidik dan mengembangkan
karyawan secara benar; (b) mengembangkan ilmu bagi tiap jenis/unsur pekerjaan;
dan (c) menciptakan kerjasama yang sungguh-sungguh di antara sesama karyawan
dan karyawan dengan atasan.
Ajaran manajemen ilmiah tersebut nampaknya disana sini masih terabaikan
atau memang sengaja diabaikan, seleksi, pelatihan dan pendidikan pegawai banyak
dilakukan secara formalitas sehingga tidak banyak atau sama sekali tidak ditemukan
perubahan perilaku yang mengarah pada perbaikan kinerja. PNS dapat naik pangkat
setiap 4 tahun sekali terlepas dari berprestasi atau tidak, PNS dapat menduduki ja-
batan struktural tertentu berdasarkan selera pimpinan atau intervensi pihak tertentu
meskipun Badan Pertimbangan Kepangkatan dan Jabatan tidak merekomendasikan.
Pengembangan PNS baik untuk keikutsertaan dalam kursus-kursus penjenjan-
gan, menduduki jabatan maupun untuk kenaikan pangkat seyogyanya dilakukan
melalui seleksi secara terbuka oleh suatu tim yang tidak memihak (independent).
Jadi setiap akan mengikuti kursus dilakukan seleksi, setiap akan promosi jabatan
dilakukan seleksi, dan setiap akan naik pangkat dilakukan seleksi. Kenaikan pan-
gkat PNS tidak harus 4 (empat) tahun sekali, dapat saja seorang PNS naik pangkat
2 (dua) atau 3 (tiga) tahun sekali sesuai prestasinya, dan sebaliknya seorang PNS
dapat tidak naik pangkat lebih dari 4 (empat) atau 5 (lima) tahun jika memang yang
bersangkutan tidak berkinerja baik.

5.7. Pemensiunan
Pensiun bagi sebagian PNS menjadi sebuah momok, bukan saja bagi mereka
yang pernah mengenyam manisnya jabatan tetapi juga bagi pegawai biasa yang
bergaji pas-pasan. Dengan sistem penggajian seperti saat ini yang lebih besar tun-
jangan daripada gaji pokoknya akan terasa mengagetkan. Oleh karena itu dengan
membalik sistem penggajian dengan cara memperbesar gaji pokok dan tunjangan
lebih kecil dari gaji pokok akan mengurangi kekhawatiran para PNS yang akan
pensiun.
Di samping itu Pemerintah harus mempersiapkan keterampilan tertentu bagi
PNS yang telah memasuki masa persiapan pensiun. Perlu pula dipertimbangkan

Edisi 2, Tahun II | 47
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

kembali pembayaran pensiun per bulan seperti saat ini atau sekaligus diterima oleh
PNS pada penghujung karier dan pengabdiannya.

6. Kesimpulan
Peningkatan daya saing nasional pada tataran global dapat dilakukan dengan
peningkatan kinerja PNS dan untuk meningkatkan kinerja PNS perlu dilakukan
perubahan pengelolaan sumber daya aparatur secara mendasar tidak tambal sulam.
Selama perubahan mendasar tidak dilakukan maka selama itu pula Indonesia tidak
akan memiliki aparatur negara yang berdaya saing tinggi. Perubahan manajemen
sumber daya aparatur secara mendasar tersebut dimulai dari inventarisasi jenis-jenis
pekerjaan yang harus ditangani pemerintah/negara, penempatan pegawai pada
jenis pekerjaan sesuai keahliannya, perbaikan sistem penggajian, pengembangan
pegawai melalui seleksi terbuka, kenaikan pangkat sesuai prestasi dan perlunya
internalisasi nilai-nilai kejujuran, kebenaran, disiplin dan keadilan di kalangan PNS.

48 | Edisi 2, Tahun II
Peningkatan Kinerja Aparatur Negara Melalui Penataan Sistem Manajemen Pegawai Negeri
Sipil Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Nasional

DAFTAR PUSTAKA

Barzelay, Michael.1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Govern-
ment. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Bennis, Warren G. 1994. On Becoming a Leader. With a New Introduction Reading: M A. Addison-
Wesley Publishing Co.
Chandler, Ralp. C. and Jack.C. Plano. 1988. The Public Administration Dictionary. 2nd ed. Santa
Barbara. CA: ABC-CLIO Inc.
Gaspersz, Vincent. 2003. Sitem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six
Sigma Untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Jakarta. Gramedia.
-----------------1997. Manajemen Kualitas, Penerapan Konsep-konsep Kualitas Dalam Bisnis Total.
Terjemahan Sudarsono. Jkt: PT Gramedia.
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. 1992. “The Balanced Scorecard-Measures that Drive
Performance”. Harvard Bussines Review. January – February 1992.
­­­­­­­­­--------------, 1996. Balanced Scorecard. Jakarta: Erlangga.
--------------, 1997. Translating Strategy Into Action The Balanced Scorecard. Boston, MA: HBS Press.
Lepawsky, Albert, 1960. “Administration”, New York
Mahmudi 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta : UPP AMP YKPN..
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Suradinata, Ermaya.1994. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara. Bandung: Ramadhan.
-------------, 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, Suatu Tinjauan Wawasan Masa Depan.
Bandung: Ramadhan.
Wirman Syafri, P Israwan. 2010. Implementasi Kebijakan Publik dan Etika Profesi Pamong Praja,
cetakan ke 2, Alqaprint Jatinangor.
Wirman Syafri, 2011. Studi Tentang Administrasi Publik. IPDN Press
http://bkn.go.id/in/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan-data/profilstatistik-pns/dis-
tribusi-pns-berdasarkan-kelompok-jenis-jabatan-dan-jenis-kelamin-1-oktober-2011.html
http://bp2t.magelangkota.go.id/component

Edisi 2, Tahun II | 49
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

SINGLE SALARY SYSTEM:


PERBAIKAN GAJI PNS DARI GAJI PEGAWAI
MENJADI GAJI JABATAN
Drs. Made Ardita, M.Si.
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatikan Kepegawaian BKN

A. PENDAHULUAN
Secara juridis - formal, sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur
dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999. Pasal 7 undang-undang tersebut
mengamanatkan: (1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil
dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya; (2) Gaji yang
diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraannya; (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimak-
sud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam bab penjelasan
dinyatakan: Pertama, yang dimaksud sebagai adil dan layak adalah bahwa gaji PNS
harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan
perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang diper-
cayakan kepadanya. Kedua, Pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk
mencegah kesenjangan baik antarPNS maupun antarPNS dengan swasta.

Rumusan normatif UU tersebut dapat dikatakan cukup ideal. Untuk menjabarkan


pengaturan gaji yang layak dan ideal tersebut, undang-undang mendelegasikannya
ke dalam peraturan pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
diubah dengan PP Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempatbelas PP No-
mor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Kendatipun sudah
empat belas kali terjadi perubahan atas PP tersebut dengan kenaikan rata-rata 10
persen setiap tahunnya, namun dalam realitas kenaikan tersebut tidak membawa
dampak yang signifikan pada tingkat kesejahteraan PNS. Di samping karena besa-
rannya sangat kecil, hal ini juga karena tidak didasarkan pada ukuran yang kinerja

50 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

jelas. Karena tidak jelasnya ukuran yang digunakan untuk kenaikan gaji tersebut,
banyak orang mengatakan bahwa “sistem penggajian PNS yang berlaku saat ini
merupakan sistem penggajian yang tidak bersistem”.

Sistem penggajian yang berlaku saat ini adalah gaji dengan sistem gabun-
gan, yaitu gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan pangkat dan masa kerja, tanpa
memperhatikan sifat pekerjaan dan tanggungjawab serta tunjangan jabatan yang
ditetapkan berdasarkan jenjang jabatan. Di samping gaji pokok, PNS juga menerima
tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan khusus dan honorarium. Seja-
lan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mencanangkan bahwa salah satu
bagian dari reformasi birokrasi di bidang kepegawaian adalah reformasi sistem
remunerasi Pegawai Negeri. Reformasi sistem remunerasi PNS pada prinsipnya
adalah penataan sistem penggajian, pemberian tunjangan dan fasilitas PNS menuju
pada sistem yang adil dan layak, yaitu berdasarkan tugas, tanggung jawab dan
beban kerja serta kinerja.

Ada sejumlah pertanyaan yang terkandung dalam UU 43 Tahun 1999 yang


perlu dijadikan wacana terhadap permasalahan gaji PNS saat ini (Muttaqin, 2008).
1. Dalam ayat 1 Pasal 7 UU 43/1999 disebutkan Pegawai Negeri mendapatkan
gaji yang adil dan layak disesuaikan dengan beban kerja dan tanggung jawab-
nya. Dalam hal ini perlu kita simak pertanyaan (i) bahwa gaji yang layak dan
ideal dimaksud tersebut belum terealisasi dan belum mempunyai kemampuan
prediktif pada tahun keberapa amanat dalam UU tersebut bisa terealisasi? dan
(ii) karena gaji dimaksud harus disesuaikan dengan beban kerja dan tanggung
jawabnya, lantas rumusan seperti apa yang menjelaskan indikator beban kerja
dan tanggung jawab pekerjaannya?
2. Dalam ayat 2 Pasal 7 UU 43/1999, disebutkan gaji yang diberikan kepada PNS
diharapkan menjadi pemacu produktivitas, kreativitas dan menjamin kes-
ejahteraan. Dalam hal ini, (i) seperti apa rumusan produktivitas dimaksud?
(ii) apa yang dimaksud dengan menjamin kesejahteraan, dan standar ukuran
apa yang digunakan dalam jaminan kesejahteraan? dan (iii) dalam penjelasan
Pasal 7 UU 43/1999, disebutkan gaji yang adil dan layak mampu memenuhi
kebutuhan hidup keluarga sehingga memusatkan perhatian, pikiran dan tenaga
hanya untuk tugas yang dipercayakan kepada PNS. Dalam hal ini, bagaimana
rumusan terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga sehingga konsentrasi peker-
jaan tetap terjaga?

Edisi 2, Tahun II | 51
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

3. Penjelasan Pasal 7 UU 43/1999 juga menyebutkan pengaturan gaji PNS yang


adil harus mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antarPNS maupun PNS
dengan Pegawai Swasta. Atas hal ini perlu kita simak pertanyaan (i) bagaima-
na dapat mengatasi kesenjangan jika rumusan gaji tidak membuat skala per-
bandingan gaji yang adil antara gaji yang terendah dengan gaji yang tertinggi
dalam hubungannya terhadap faktor beban kerja, tanggung jawab, serta masa
pengabdian; (ii) dalam mencegah kesenjangan kesejahteraan dengan pegawai
swasta, mungkinkah membuat standar yang persis sama karena antara instansi
pemerintah dengan swasta memiliki perbedaan dalam (i) misi dan tujuan. (ii)
output yang dicapai, (iii) outcomes yang dihasilkan, dan (iv) karakteristik/jenis
pekerjaan yang didasarkan atas berbagai tipe/jenis badan usaha/lembaga
swasta.

Dari sejumlah pertanyaan di atas, permasalahan pokok yang dihadapi sistem


penggajian PNS saat ini dan perlu mendapat perhatian utama adalah: (1) besaran
gaji kurang memenuhi kebutuhan hidup layak; (2) gaji PNS kurang kompetitif
dibandingkan dengan gaji swasta, khususnya untuk tingkat manajer dan pimpinan;
(3) besarnya gaji tidak memenuhi prinsip “equity” karena gaji tidak dikaitkan dengan
kompetensi dan kinerja/prestasi, namun didasarkan pada pangkat dan masa kerja;
(4) struktur gaji kurang mendorong motivasi kerja karena jarak antara gaji terendah
dan gaji tertinggi terlalu pendek (1 : 3,65), sehingga kenaikan pangkat hanya diikuti
dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang tidak berarti. Dengan skala gaji
PNS yang mempunyai rentang golongan/ruang tinggi (17 jenjang), sementara
rasio gaji hanya sebesar itu, maka perbedaan gaji tiap jenjang tidak memberikan
makna yang berarti; (5) terkait dengan variabel-variabel penggajian yang hanya
mempertimbangkan masa kerja dan golongan/ruang. Variabel ini dirasakan terlalu
sederhana apabila dikaitkan dengan tujuan pemberian gaji PNS; dan (6) tunjangan
jabatan struktural yang besar (lebih besar dari gaji pokok) menimbulkan kompetisi
yang tidak sehat, kurang transparan karena di samping gaji PNS masih menerima
sejumlah honorarium dari pos non-gaji, sehingga terjadi distorsi dalam sistem peng-
gajian dan jumlah anggaran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti dan
sulit dipertanggungjawabkan kepada publik.

52 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

B. PERKEMBANGAN DAN KONDISI EKSISTING SISTEM


PENGGAJIAN PNS
1. Perkembangan Sistem Penggajian PNS
Saat ini sistem penggajian PNS masih didasarkan pada pangkat dan masa
kerja, dan belum didasarkan pada bobot pekerjaan/jabatan. Pemberian tun-
jangan jabatan masih belum mencerminkan keadilan internal (internal equity)
maupun eksternal (external equity) serta menggunakan standar dan indikator
yang jelas. Besaran Gaji PNS tidak mencerminkan penghasilan yang sesung-
guhnya, karena di samping menerima gaji pokok, PNS juga menerima tunjangan
(keluarga, pangan, jabatan, khusus) dan sejumlah honorarium dari berbagai
sumber lainnya. Di samping itu pula dalam menentukan besarnya gaji pokok
terendah belum didasarkan kepada standar kebutuhan hidup layak (KHL).

Sistem penggajian PNS telah mengalami beberapa perubahan. Hal ini


seiring dengan perkembangan politik dan sistem pemerintahan. Perkemban-
gan politik penggajian di Indonesia dapat dibagi dalam masa Hindia Belanda,
Jepang, dan Republik Indonesia. (Ichsan, 1981).

a. Masa Hindia Belanda


Politik penggajian nampak dalam BBL 1925 (ordonansi Stbl 1925/53)
di dalamnya tersimpul dasar pikiran ”unificatie” ialah yang mengandung
asas, bahwa untuk jabatan-jabatan yang sama tidak diadakan perbedaan
gaji antara bangsa Eropa, Inlander dan ”Vreemde Oosterlingen”. Atas dasar
kebangsaan ini disusun golongan-golongan jabatan A, B dan C. Kelompok
yang termasuk Golongan A adalah pokok jabatan yang digaji menurut
ukuran penghidupan bangsa Indonesia dan disediakan khusus untuk
bangsa ini. Golongan B adalah pokok jabatan yang biasanya dipegang
oleh lapisan masyarakat yang mempunyai ukuran penghidupan lebih
tinggi dan dipegang oleh lapisan masyarakat yang jumlahnya tidak be-
sar dan biasanya disediakan untuk golongan Indo. Golongan C adalah
pokok jabatan yang tidak mungkin dipangku oleh golongan Inlander
dan Indo, karena disediakan bagi tenaga-tenaga impor yang dianggap
sebagai tenaga-tenaga ahli. Golongan C gajinya jauh lebih tinggi dari
golongan A dan B.
Edisi 2, Tahun II | 53
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Pada masa ini, gaji pegawai lebih didasarkan pada tingkat kebutuhan
hidup pegawai dan stelsel yang dipergunakan adalah stelsel ” horizon-
tale overgang” atau ”masa kerja”. Selanjutnya menyempurnakan sistem
penggajian dengan menambah perhitungan besaran gaji dengan sistem
”Inheemsemaatstaf”, yakni gaji didasarkan atas ukuran hidup bangsa Indo-
nesia. Akibatnya, pada masa Hindia Belanda ini sistem penggajian selain
menggunakan asas unifikasi juga menerapkan sistem gaji berdasarkan
masa kerja dan kebutuhan hidup. Sistem penggajian tidak menggunakan
evaluasi jabatan dan klasifikasi jabatan yang mendasarkan pada prestasi
kerja.

b. Masa Jepang
Pada masa pendudukan Jepang sistem penggolongan jabatan yang
berlaku pada jaman Hindia Belanda dihapuskan. Pada masa ini, jabatan
dibagi menjadi lima tingkatan yang termuat dalam peraturan ”Kengpo”,
yang khusus mengatur pegawai yang bukan bangsa Jepang. Di sini pun
tidak dapat diharapkan adanya evaluasi dan klasifikasi jabatan.

c. Masa RI hingga Sekarang


Pada masa pemerintahan Republik Indonesia sistem penggajian
dapat dibagi dalam beberapa periode, sebagai berikut :
1) Masa Peraturan Gaji Pegawai 1948 (PGP-1948). Pada masa ini sistem pengga-
jian menggunakan stelsel horinsontale overgang ala BBL-1925, dan masih belum
menggunakan evaluasi jabatan. Beberapa perubahan dalam era ini, antara lain:
jumlah golongan/ruang gaji dibagi enam golongan (I-VI), diselaraskan dengan
kebutuhan nyata, telah mendapat tunjangan-tunjangan, seperti: tunjangan tang-
gungjawab, tunjangan perwakilan, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan,
tunjangan jabatan yg berbahaya, dan tunjangan lain-lain yg diberikan dalam
hal luar biasa atau jika ada alasan-alasan yang sah. Persoalan yang dihadapi
adalah gaji diberikan hanya berdasarkan pangkat, tanpa mempertimbangkan
sifat pekerjaan, prestasi kerja, maupun beratnya tanggungjawab. Begitu pula
dengan evaluasi dan klasifikasi jabatan juga belum dilakukan.
2) Masa Peraturan Gaji Pegawai Negeri (PGPN-1955). Ssistem penggajian menun-
jukkan beberapa ”progressifiteiten”, antara lain adanya evaluasi dalam skala yang
berdasarkan pendidikan dan syarat kerja, yang menggunakan :
a) grondschaal dengan syarat pendidikan pokok.

54 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

b) tusschenschaal dengan syarat pendidikan pokok ditambah 1 tahun kursus.


c) paralelschaal atas dasar syarat grondschaal dan syarat tusschenschaal untuk
mengadakan evaluasi dalam jabatan yang berat dan yang ringan (faktor-
faktor jabatan yang digunakan, antara lain: kerja yang lebih 7 jam, intensiteit,
keahlian yang belum dihargai, waktu kerja tidak tentu, jabatan yang memberi
pertanggungan jawab membahayakan kepentingan umum, upaya jasmani
serta rohani, lingkungan kerja yang menjemukan atau terpencil letaknya,
dan sifat pekerjaan)
3) Masa PGPN-1961, pada masa ini dikenal dengan menggunakan sistem penggajian
skala tunggal dan skala ganda, yang perbedaannya terletak dalam pengangkatan
pertamanya (dalam skala ganda ditambah 1 tahun kursus pendidikan)
4) Masa Peraturan Gaji Pegawai Sipil 1968 (PGPS-1968). Sistem penggajian diharap-
kan dapat mendorong kegairahan kerja untuk mencapai prestasi yang optimal
dengan menerapkan sistem skala tunggal dan skala ganda, yaitu pemberian gaji
didasarkan pada pangkat dan beban tugasnya. Masa PGPS-1968, pada masa ini
pemberian pangkat dan gaji perlu disesuaikan dengan: luasnya tugas pekerjaan,
beratnya tanggungjawab, martabat jabatan, dan syarat-syarat pengangkatan
dalam jabatan. Penetapan gaji masih menggunakan masa kerja/horisontal dan
tidak menetapkan nama-nama jabatan, namun hanya menetapkan pangkat dan
golongan ruang (paling rendah Juru Muda I/a – paling tinggi Pegawai Utama
IV/e). Persoalan PGPS adalah diberikannya gaji sama pada pegawai yang ber-
pangkat golongan ruang sama, dengan memperhitungkan masa kerja, namun
tidak memperhitungkan sifat dan beban kerja, tanggungjawab dan prestasi kerja.
Persoalan lainnya adalah belum dilakukan evaluasi dan klasifikasi jabatan.
5) Masa PGPS 1977. Merupakan tindaklanjut dari pelaksanaan UU 8/74 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian. Pasal 7 dinyatakan bahwa setiap Pegawai Negeri
berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung-
jawabnya. Masa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, pada masa ini masih
menggunakan sistem yang berlaku pada masa PGPS-1968, yakni skala tunggal
dan skala ganda tetapi dengan menambahkan sistem skala gabungan, yakni
merupakan gabungan antara sistem skala tunggal dan skala ganda. Dalam sistem
gabungan gaji pokok ditentukan sama bagi Pegawai Negeri yang berpangkat
sama, di samping itu diberikan tunjangan kepada pegawai yang memikul tang-
gung jawab yang berat, mencapai prestasi yang tinggi atau melakukan pekerjaan
tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga
secara terus-menerus.
6) Masa Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Undang-Undang ini mengam-
anatkan seperti dalam penjelasannya antara lain bahwa sistem penggajian PNS

Edisi 2, Tahun II | 55
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

mendasarkan pada pemberian gaji secara adil dan layak. Gaji adil dan layak
yang dimaksud adalah bahwa gaji pegawai harus mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya, sehingga yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian,
pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan
kepadanya.
Dari amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 199 ini, maka sistem penggajian
PNS diharapkan mencerminkan keadilan baik internal (antarjabatan di lingkun-
gan Pegawai Negeri haruslah diberlakukan indikator/faktor jabatan yang sama
dalam penentuan gajinya) dan keadilan eksternal (antara jabatan di lingkungan
Pegawai Negeri dengan jabatan di luar Pegawai Negeri (seperti pejabat negara
atau pegawai swasta haruslah mencerminkan keadilan). Selain itu gaji yang
diberikan kepada pegawai diupayakan dapat menjamin dan mampu memenuhi
kebutuhan hidup layak, sehingga juga harus didasarkan pada kebutuhan hidup
layak seorang pegawai dan keluarganya.

2. Kondisi Eksisting Penggajian PNS


Dalam realitanya saat ini, Struktur Gaji PNS sangat kompleks, sehingga
sulit dijadikan barometer kinerja bagi seorang PNS. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil,
Struktur Gaji PNS terdiri atas Gaji Pokok, Kenaikan Gaji Berkala, Kenaikan Gaji
Istimewa, dan Tunjangan serta Honorarium. Penjelasan dari masing - masing
unsur struktur gaji tersebut adalah sebagai berikut:

a. Gaji Pokok
Gaji Pokok PNS ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaima-
na yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni mulai dari Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1948 hingga terakhir Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2010. Penentuan gaji pokok didasarkan pada Pangkat
dan Golongan/Ruang Penggajian serta Masa Kerja yang dimiliki PNS.
Terdapat beberapa pengecualian dalam ketentuan penggajian, misalnya
Gaji Hakim yang diatur secara khusus dengan Peraturan Pemerintah,
dengan alasan: a. Agar Hakim sebagai Pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman dan sebagai salah satu aparat hukum perlu terus
ditingkatkan kualitas dan kemampuan profesionalnya. b. Untuk mendu-
kung kedudukan kekuasaan kehakiman dan agar melakukan tugasnya

56 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

dengan baik serta bertanggung jawab, maka kepada hakim perlu diberikan
jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggungjawabnya.

b. Kenaikan Gaji Berkala


Sistem Kenaikan Gaji Berkala (KGB) disusun dengan besaran yang
sesuai dengan golongan dan masa kerja. Sesuai dengan namanya, sistem
ini dilakukan secara berkala dan diberikan setelah mencapai masa kerja
golongan yang ditentukan dan penilaian pelaksanaan pekerjaan rata-
rata “cukup”. Dengan kata lain, PNS akan diberikan KGB apabila yang
bersangkutan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: telah mencapai
Masa Kerja Golongan (MKG) yang ditentukan untuk KGB, memiliki Nilai
DP - 3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), dan sekurang - kurang-
nya “cukup”. Selanjutnya, KGB diatur di dalam Keputusan Presiden dan
Peraturan Pemerintah.

c. Kenaikan Gaji Istimewa


Kenaikan Gaji Istimewa diberikan sebagai bentuk penghargaan
kepada PNS atas hasil pelaksanaan kerja dengan kategori “amat baik”.
Kenaikan Gaji Istimewa ini hanya diberikan kepada pegawai yang telah
nyata - nyata menjadi teladan bagi pegawai di lingkungan kerjanya.
Hal tersebut diputuskan (misalkan dengan Surat Keputusan) Pimpinan
Instansi/Lembaga yang bersangkutan.

d. Tunjangan
Tunjangan yang diterima oleh PNS diatur dalam Peraturan Pemer-
intah, yang terdiri atas Tunjangan Keluarga (Isteri/Suami dan Anak),
Tunjangan Pangan/Beras, Tunjangan untuk Jabatan Struktural, Tunjangan
untuk Jabatan Fungsional, Tunjangan Kemahalan, Tunjangan Penyesuaian
Risiko Pekerjaan, Tunjangan Penyesuaian Indeks Harga, dan Tunjangan
Perbaikan Penghasilan (saat ini sudah tidak diberlakukan lagi). Keselu-
ruhan ketentuan tentang tunjangan tersebut diatur tersendiri, baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun dalam bentuk
peraturan perundang - undangan lainnya.

Edisi 2, Tahun II | 57
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

e. Honorarium
Honorarium biasanya diterima oleh PNS melalui pelaksanaan Pro-
gram dan Kegiatan pada masing-masing Instansi/ Lembaga, yang be-
sarnya disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

C. Prinsip Sistem Penggajian Pegawai


Ada konsep yang cukup populer mengenai struktur gaji, yakni Konsep 3P.
Konsep 3P mengenalkan bahwa seyogyanya gaji seorang pegawai dibayar dalam
tiga hal, yakni: Pay for Position, Pay for Person, dan Pay for Performance. Ahli lain me-
nambahkan dengan 1P lagi yaitu pay for living cost. Konsep ini banyak disarankan
dalam manajemen kompensasi, termasuk dalam mengembangkan sistem penggajian
PNS (Direktorat Gaji dan Kesejahteraan BKN, 2011).

Pay for position, bahwa seseorang dibayar berdasarkan posisinya, semakin


tinggi job value dan posisi seseorang maka akan semakin besar bayaran posisinya
(pay for position). Ini dilakukan dengan menyusun job grading, yaitu memberikan
harga, nilai atau bobot bagi jabatan-jabatan yang ada didalam struktur kepega-
waian PNS, melalui position/job evaluation (evaluasi jabatan). Pay for person untuk
menghargai kemampuan atau kompetensi yang berbeda-beda dari pegawai. Pay
for person bicara mengenai kompetensi seseorang, semakin tinggi kompetensi se-
seorang maka sudah selayaknya ia dibayar lebih tinggi (regardless kinerjanya). Pay
for performance untuk menghargai pegawai-pegawai yang mampu bekerja bagus
dan membedakannya dengan pegawai-pegawai yang lain. Pay for performance ini
mengatur pembayaran variabel terkait kinerja seseorang. Sementara pay for living
cost supaya jumlah nominal gaji yang diterima bisa memenuhi kebutuhan hidup
pegawai dan keluarganya.

Cara memelihara (penyesuaian tahunan) ketiga komponen ini juga relatif


mudah. Pay for position disesuaikan manakala seseorang mengalami perubahan
posisi atau job value. Peningkatan pada komponen pay for person dilakukan manakala
pegawai memberikan evidence telah meningkat kompetensinya, misal dengan memi-
liki sertifikat keahlian tambahan yang langka, atau peningkatan pendidikan (pada
dosen dan lain-lain). Sementara pay for performance diberikan berubah-ubah sesuai

58 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

dengan kinerja individu/unit atau kinerja/laba perusahaan. Dengan demikian,


untuk bisa menerapkan sistem tersebut perlu didukung dengan kegiatan analisis
jabatan dan evaluasi jabatan untuk menghasilkan job grading dan job pricing semua
jabatan dalam struktur PNS, asesmen individu untuk memotret kompetensi yang
dimiliki pegawai untuk penempatannya dalam posisi-posisi tertentu, adanya in-
strumen performance appraisal yang mampu mengukur dan menilai kinerja nyata
pegawai, perhitungan indek KHL yang bagus sehingga mencerminkan kebutuhan
nyata manusia di Indonesia di masing-masing daerah, adanya dukungan anggaran
yang memadai dan terakhir adanya perubahan paradigma, mindset, budaya dan
perilaku PNS dalam bekerja.

Prinsip 3P di atas dirancang untuk memberikan kejelasan mengenai sistem


penggajian dengan membuat kaitan yang jelas dan terdefinisi antara setiap elemen
gaji dengan alasan pemberian gaji dengan tingkat besaran gaji. Setiap “P” disertai
satu set perangkat untuk membantu mendefinisikan bagaimana kompensasi yang
sudah dialokasikan untuk “P” itu didistribusikan kepada setiap individu. Namun,
sesunggulmya perangkat-perangkat ini memfasilitasi manajemen keseluruhan dari
“P”, bukan hanya manajemen kompensasi saja. Position/job evaluation (evaluasi jabatan)
pada dasarnya merupakan alat untuk menganalisis organisasi, tetapi juga dapat
menyusun dasar bagi position pay (bayaran untuk posisi/jabatan). Person assessment
(evaluasi individu) pada dasarnya merupakan alat untuk pengembangan pribadi
dan organisasi, tetapi juga dapat menyusun dasar bagi person pay (bayaran untuk
individu pegawai). Performance review (evaluasi kinerja) pada dasarnya merupakan
alat untuk memaksimalkan kinerja perorangan dan organisasi, tetapi juga dapat
menyusun dasar bagi performance pay (bayaran untuk kinerja).

Position/job evaluation pada dasarnya merupakan alat untuk menganalisis or-


ganisasi, tetapi juga dapat menyusun dasar bagi position pay (bayaran untuk posisi/
jabatan). Bayaran untuk posisi ditentukan dengan menggunakan Reference Salary
bagi setiap grade (golongan), yang secara seragam diterapkan bagi semua posisi di
grade yang sama. Grade ditentukan melalui evaluasi jabatan/posisi. Di dalam satu
grade yang sama, tidak ada perbedaan bayaran sekalipun job-size-nya berbeda.
Reference Salary adalah yang mengaitkan antara internal equity (kesetaraan internal)
dan external competitiveness (daya saing eksternal). Evaluasi jabatan, grading, dan

Edisi 2, Tahun II | 59
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

tingkat kompetensi yang ideal bagi pemegang jabatan tertentu adalah dasar bagi
keadilan internal.

Reference Salary adalah suatu besaran gaji yang dipercayai organsiasi perlu
dibayarkan untuk dapat mempertahankan pegawai-pegawainya yang paling kom-
peten. Referensi ini disusun berdasarkan kebijakan kompensasi dan survai pasar.
Karena gaji berdasarkan referensi ini dibayarkan bagi individu-individu yang paling
kompeten, maka nilai referensi tidak terletak pada nilai tengah suatu rentang gaji,
melainkan cenderung berada di bagian atas dari rentang gaji yang dibayarkan untuk
individu-individu dalam grade itu. Oleh karena itu, Reference Salary merupakan hal
yang sangat penting yang mengaitkan kesetaraan internal dan daya saing eksternal.
Reference Salary dapat didefinisikan sebagai bayaran yang kompetitif bagi pemegang
jabatan yang berkompetensi penuh.

Gaji aktual seorang individu didasarkan pada perbandingan antara kompe-


tensi yang dimiliki individu tersebut terhadap kompetensi ideal untuk posisi yang
dijabatnya. Jika ia memiliki tingkat kompetensi yang penuh, maka ia akan menerima
bayaran sesuai Reference Salary. Sementara jika kompensasinya di bawah tingkat
ideal, ia akan menerima yang lebih rendah dari Reference Salary. Namun ada be-
berapa pengecualian jika seseorang memiliki kompetensi di atas ideal posisi yang
bersangkutan, ia tidak akan memperoleh bayaran ekstra, karena sesungguhnya
kompetensi itu tidaklah dibutuhkan  untuk menjalankan posisinya yang sekarang.
Penyesuaian gaji terhadap tuntutan pasar dibayarkan melalui tunjangan-tunjangan,
yang dapat naik ataupun turun tiap tahunnya, sesuai perubahan kondisi pasar.
‘Market allowance’ terkadang perlu dibayarkan karena ada kelangkaan dalam jangka
waktu singkat di pasar tenaga kerja. Tunjangan seperti itu membantu organisasi
untuk menarik dan mempertahankan individu-individu yang memiliki keahlian
yang unik. Biasanya, hanya sedikit saja dari para pegawai yang memiliki keahlian
khusus yang menerima penyesuaian gaji seperti ini.

Bayaran untuk Kinerja dialokasikan melalui skema insentif yang dirancang


untuk memberi imbalan bagi kinerja korporasi, tim, dan/atau individu. Kinerja tidak
menjadi faktor dalam penentuan gaji seseorang, karena kinerja bersifat fluktuatif,
sedangkan gaji hanya dapat bergerak satu arah, yaitu bergerak naik. Memisahkan
antara bayaran untuk kinerja dan gaji memberi fleksibilitas yang besar, dan hal ini

60 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

juga akan memberi lebih banyak kebebasan bagi organsiasi dalam memberi imbalan
bagi para top perfomer-nya. Suatu organisasi perlu berhati-hati dalam mengontrol
kenaikan gaji karena kinerja (performance-based salary increases), karena dengan
melakukan hal itu berarti organisasi telah menaikkan biaya tetapnya menjadi ti-
dak terbatas hanya berdasarkan kinerja satu tahun saja. Organisasi boleh menjadi
lebih royal dalam memberi imbalan bagi kinerja pegawainya dengan memberikan
pembayaran sekali-bayar, karena pembayaran seperti ini tidaklah menaikkan biaya
tetap pada tahun berikutnya.

Untuk dapat betul-betul melaksanakan “P” yang pertama ini secara tepat
sasaran, kuncinya adalah dengan menyusun struktur grading yang sederhana, lalu
menetapkan reference salary bagi setiap grade/golongan. Menyeimbangkan “3P”, “Pay
for Position” adalah dasar dari kebijakan pembayaran gaji suatu organisasi yang
merupakan kepanjangan dari strategi bisnis dan merefleksikan kultur kerja suatu
organisasi. Strategi bisnis dan kultur kerja menentukan seberapa besar penekanan
yang ingin diberikan oleh suatu perusahaan kepada P yang pertama ini dibanding-
kan kedua P yang lain (Person dan Performance). Dalam kaitannya terhadap Pay for
Position, fokus kebijakan kompensasi akan diterjemahkan ke dalam lebarnya suatu
golongan. Lebar golongan mencerminkan perbedaan dalam ukuran pekerjaan (job
size) yang memungkinkan untuk dikelompokkan ke dalam golongan yang sama.
Golongan yang sangat lebar mengakibatkan kurangnya penekanan pada posisi,
karena dalam golongan yang lebar tertampung banyak posisi dengan ukuran pe-
kerjaan yang berbeda.

Dalam hal ini, maka faktor-faktor lain seperti kapabilitas dan kompetensi in-
dividu (Pay for Person) atau pencapaian target individu (Pay for Performance) akan
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam kompensasi total dibandingkan tingkat
golongan. Contoh pendekatan seperti ini biasa disebut broad-banding. Kebalikannya,
golongan yang sempit memberi penekanan pada posisi, karena bertambahnya tang-
gungjawab yang sedikit saja pada suatu pekerjaan akan mengakibatkan promosi
dan kenaikan golongan. Lebar golongan tidak hanya menentukan pentingnya
bobot posisi terhadap bayaran, tetapi juga dapat digunakan untuk memvariasikan
penekanan masing-masing elemen bayaran itu – position, person, and performance –
pada tingkatan yang berbeda dalam organisasi. Evaluasi jabatan dapat dilakukan

Edisi 2, Tahun II | 61
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

melalui suatu alat ukur posisi yang memusatkan pada karakteristik universal yang
ada pada tiap pekerjaan.

Hal lain yang perlu dipahami dalam pengembangan sistem penggajian adalah
berkaitan dengan konsep clean wages. Clean wages bukan semata-mata diartikan
sebagai Gaji Bersih (setelah pajak). Namun clean wages merupakan trend struktur
gaji (salary structure) yang tidak terlalu banyak benefit/tunjangan. Mengapa terlalu
banyak tunjangan tidak diinginkan? Pertama, organisasi/perusahaan yang tidak
menerapkan clean wages cenderung untuk menambahkan tunjangan lain yang pada
akhirnya akan menimbulkan tambah ruwetnya sistem remunerasi yang ada. Kedua,
dengan terlalu banyaknya tunjangan maka akan menimbulkan kebingungan meme-
liharanya, organisasi akan kesulitan melakukan penyesuaian berkala-nya karena
yang pasti besaran tunjangan yang ada tidak akan tetap selama bertahun-tahun.

Hasil dari beberapa kajian tentang sistem penggajian Pegawai Negeri ber-
pendapat bahwa sistem penggajian PNS hendaknya mengakomodasi beberapa hal
berikut (Puslitbang BKN, 2009).
a. Menitikberatkan bobot jabatan (pekerjaan) dan prestasi kerja, yakni dengan
mengubah paradigma gaji pegawai menuju gaji jabatan . Paradigma gaji pega-
wai, adalah bahwa gaji yang diterimakan kepada pegawai lebih mendasarkan
pada kondisi pegawai saat itu, yakni lebih mendasarkan pada golongan ruang
dan kurang mendasarkan pada bobot pekerjaan atas jabatan yang dipangkunya.
Sedangkan gaji jabatan, adalah gaji yang diterimakan kepada pegawai lebih
didasarkan pada besarnya bobot pekerjaan atas jabatan yang dipangkunya dan
prestasi kerja yang dicapai oleh pegawai yang bersangkutan. Dalam paradigma
gaji jabatan, pegawai yang memangku jabatan berbeda maka gajinya berbeda.
Sehingga sistem penggajian ini dapat mewujudkan pemberian gaji secara adil
dan layak.
b. Memenuhi prinsip-prinsip equity, competitiveness, transparant, simple, dan legal.
c. Sistem penggajian haruslah dalam suatu kerangka besar sistem manajemen
kepegawaian. Sistem penggajian PNS haruslah berorientasi pada sistem merit,
yang mendasarkan pada nilai bobot pekerjaan sesuai hasil evaluasi jabatan.
d. Proporsional atau persentase gaji dan tunjangan pegawai negeri, pejabat negara,
dan pejabat lainnya diatur dalam satu peraturan perundang-undangan secara
sekaligus. Sehingga pada saat ada perubahan kebijakan yang terkait dengan
penggajian secara langsung sudah mempertimbangkan keadilan internal dan
eksternal.

62 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

D. LANGKAH STRATEGIS PENATAAN SISTEM PENGGAJIAN


PNS
1. Arah Penataan Sistem Penggajian PNS
Sistem penggajian, atau dalam Konvensi International Labor Organization
(ILO) menyebutnya sebagai remunerasi, adalah upah/gaji pokok atau upah
minimum dan setiap komponen tambahan yang dibayarkan langsung atau
tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha
kepada pekerja dalam kegiatan kerja. Dalam Konvensi ILO Nomor 100 disebut-
kan satu prinsip bahwa “remunerasi yang sama/berimbang harus dibayarkan
kepada jabatan/pekerjaan yang memiliki bobot/nilai yang sama/berimbang”
(equal remuneration for job of equal value”). Ini artinya bahwa perbaikan sistem
penggajian Pegawai Negeri ke depan harus didasarkan pada nilai/bobot
masing-masing jabatan. Instrumen yang digunakan untuk menuju ke arah
tersebut adalah evaluasi jabatan. Dari proses evaluasi jabatan inilah nantinya
akan diketahui nilai suatu jabatan (job value), sehingga diketahui kelas suatu
jabatan (job grade), yang pada akhirnya diketahui pula harga suatu jabatan
(job price).

Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian PANRB telah


menyatakan bahwa untuk menyiapkan dan menerapkan sistem penggajian
yang memenuhi prinsip-prinsip merit yang memenuhi asas keadilan (equity),
transparan dan kompetitif, arah perbaikan sistem remunerasi dilakukan dengan:
a. Merumuskan struktur gaji berdasarkan klasifikasi dan bobot jabatan (harga
jabatan).
b. Merumuskan jenis tunjangan yang dianggap layak untuk diberikan kepada
Pegawai Negeri.
c. Mengaitkan sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja dengan tujuan
untuk memacu prestasi dan motivasi kerja.
d. Menata sumber-sumber pembiyaan gaji agar tercipta transparansi dalam
sistem penggajian dan mendorong pengintegrasian anggaran rutin dan
pembangunan agar tersedia dana yang cukup bagi pembayaran gaji Pega-
wai Negeri. Dengan penerapan struktur gaji seperti ini, maka tidak ada lagi
honor-honor, dan penghasilan lain di luar gaji dan tunjangan resmi.

Edisi 2, Tahun II | 63
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

e. Mengupayakan agar penghasilan Pegawai Negeri disesuaikan dengan tingkat


inflasi, antara lain dengan membuat indeks untuk dijadikan dasar bagi
penyesuaian gaji dan tunjangan.
f. Agar beban anggaran belanja pegawai tidak terlalu besar, maka perlu diru-
muskan kebijakan outsourcing untuk jabatan fungsional umum, khususnya
yang menyangkut masalah rekruitmen dan penggajian.
g. Menyusun Peraturan Pemerintah tentang Dana Pensiun dalam menata pen-
gelolaan dana pensiun.

2. Langkah-Langkah Strategis
Sistem penggajian berbasis jabatan pernah diterapkan di Indonesia, yaitu
melalui PP Nomor 200 Tahun 1961 (PGPN-1961). PGPN tahun 1961 menetap-
kan gaji berdasarkan harga jabatan. Mengacu pada sistem penggajian yang
pernah diterapkan di Republik Indonesia tersebut, maka struktur gaji PNS
akan didesain berdasarkan jabatan. Dalam struktur gaji PNS berdasarkan ja-
batan tersebut tidak ada lagi tunjangan jabatan, karena sebenarnya tunjangan
jabatan sudah melekat di dalam gaji tersebut (setiap jabatan mempunyai harga
jabatan). Secara garis besar, ada empat langkah strategis yang perlu dilaku-
kan untuk menuju pada penerapan sistem penggajian berbasis jabatan, yaitu
tahap perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan dan tahap tindakan koreksi
(Direktorat Gaji dan Kesejahteraan BKN, 2011). Penjelasan terhadap empat
langkah tersebut adalah seperti uraian di bawah ini.

1. Perencanaan Gaji Jabatan


Sebelum beranjak pada tahapan konkrit pelaksanaan penyusunan
gaji berbasis jabatan, memahami tujuan dari penyusunan gaji berbasis
jabatan menjadi bahasan penting untuk dirumuskan. Tahapan ini meliputi
beberapa kegiatan berikut.
a. Identifikasi Tujuan, adalah mengidentifikasi beberapa tujuan yang harus di-
capai bahwa penerapan sistem penggajian PNS berbasis jabatan agar mampu
memotivasi PNS untuk berkinerja tinggi agar tercapai produktivitas tinggi,
mampu mempertahankan para PNS dan keluarganya agar tetap memiliki
kemampuan fisik dan mentalyang prima, dan mampu mengendalikan biaya

64 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

pegawai sehingga apa yang dikeluarkan seimbang dengan bentuk produk-


tivitas yang diinginkan.
b. Pembentukan Tim Kerja, perlu dibentuk tim khusus dengan melibatkan
semua pemangku kepentingan (stakeholders) terkait.
c. Penyusunan Model, tim menyusun rencana kerja dan model penggajian
(strukt ur dan skala) yang akan dibangun.
d. Benchmark dan Hasil Survei, melakukan studi banding ke beberapa negara
yang telah menerapkan gaji berbasis jabatan.
e. Penyusunan Naskah Akademik, meliputi kegiatan antara lain sinkronisasi
peraturan tentang gaji, termasuk mengidentifikasi beberapa komponen gaji
jabatan.
f. Informasi lain yang relevan, adalah informasi lain yang relevan dengan
penyusunan gaji berbasis jabatan seperti membuat database penghasilan,
menghitung KHL, dan sebagainya.

2. Pengerjaan Gaji Jabatan


Pada tahap sebelumnya telah dibahas bagaimana merumuskan tahap
perencanaan dan hal-hal apa yang perlu dilakukan. Setelah proses panjang
pada tahap perencanaan telah selesai, saatnya pada tahap ini mengap-
likasikan data yang telah dihimpun sebagai referensi dalam pelaksanaan
pengerjaan gaji jabatan. Subbab berikut adalah langkah-langkah yang
perlu dilakukan dalam pengerjaan tahap ini.
a. Evaluasi Jabatan, berfungsi untuk mengukur dan menilai jabatan yang ter-
tulis dalam informasi jabatan dengan menggunakan metode tertentu (factor
evaluation system).
b. Klasifikasi Jabatan, adalah penyusunan dan penetapan jabatan berdasarkan
klasifikasi tertentu (jabatan struktural, fungsional tertentu dan jabatan fung-
sional umum).
c. Penetapan Nilai/Bobot Jabatan, melakukan grading sebagai hasil evaluasi
jabatan di beberapa instansi sebagai bahan untuk menerapkan gaji jabatan.
d. Menetapkan Struktur dan Skala Gaji. Menyusun struktur gaji yaitu susunan
gaji terendah sampai gaji tertinggi atau sebaliknya dan skala gaji yaitu kisaran
nominal gaji untuk setiap kelompok jabatan, merupakan tahap yang harus
dilakukan. Dalam tahap ini dilakukan pula penetapan nilai tengah gaji (mid
point), serta penetapan nilai gaji minimum dan maksimum pada setiap grade
jabatan.

Edisi 2, Tahun II | 65
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

e. Menetapkan Gaji Pokok/jabatan dan Total Penerimaan Gaji, bahwa dalam


penetapan struktur dan skala gaji, nominal yang dijadikan acuan perhitungan
adalah gaji pokok (basic salary). Dalam memberikan gaji tidak hanya sebesar
nilai pokok saja, tetapi juga bebagai tunjangan. Keseluruhan total gaji plus
tunjangan itulah yang dinamakan total penerimaan gaji.

3. Pemeriksaan Gaji Jabatan


Melalui proses pengerjaan, akan diperoleh potret dari hasil evaluasi
jabatan. Seluruh jabatan telah memiliki point yang kemudian dikelompokkan
dalam suatu grade tertentu. Jabatan yang sudah dikelompokkan kemudian
akan menjadi pembanding yang harus setara untuk setiap jabatan dalam
hal survei. Jabatan berbobot sama dengan jabatan di pasar akan memiliki
harga yang sama. Seperti diketahui bahwa salah satu sasaran untuk me-
nyusun struktur gaji adalah mendapatkan hasil yang sesuai dengan pasar
(keadilan internal dan eksternal). Untuk langkah pemeriksaan (check) dari
hasil yang diperoleh maka dilakukan langkah-langkah lebih lanjut.
a. Memeriksa Hasil yang diperoleh, yaitu menganalisis hasil yang diperoleh
pada saat langkah pengerjaan sebelumnya, seperti pemeriksaan terhadap
nilai minimum dan grade yang telah ditetapkan.
b. Data Survei adalah pemeriksaan yang mendalam terhadap data survei (gaji
pokok dan total penerimaan gaji) akan mendapatkan gambaran dalam mene-
tapkan kebijakan gaji jabatan.
c. Membandingkan Hasil dengan Data yang ada, yaitu membandingkan data
gaji aktual yang telah dirumuskan dengan data hasil survei dan benchmark
yang tujuannya untuk memastikan apakah sudah mencakup kebutuhan in-
ternal (nilai yang adil dan kesanggupan anggaran) dan kebutuhan eksternal
(nilai kompetitif di pasar).

4. Tindakan Koreksi Gaji Jabatan


Sebagai tahap akhir, bagian ini memegang peranan yang sangat
penting karena di sinilah tindakan pembenahan dilakukan sebelum akh-
irnya kebijakan diterapkan.
a. Perbaikan/Uji Materi, untuk memperoleh struktur gaji jabatan seperti yang
diharapkan perlu dilakukan perbaikan meliputi grading, skala, progresi gaji
dan struktur gaji.

66 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

b. Sinkronisasi Anggaran, setelah itu perlu dilakukan sinkronisasi dengan ke-


mampuan anggaran yang ada.
c. Sosialisasi, adalah tahap memberikan informasi kepada stakeholders agar
mengetahui, mengerti dan memahami tentang sistem gaji berbasis jabatan.
d. Kebijakan lebih lanjut Pembuatan RUU, adalah tahap pembuatan rancangan
UU untuk penerapan gaji berbasis jabatan bagi PNS.

Untuk menjaga kesinambungan dengan sistem penggajian yang


berlaku saat ini, ada beberapa prakondisi yang harus dilakukan untuk
melakukan penataan sistem penggajian PNS, antara lain adalah penataan
jabatan dan pangkat, serta konversi jabatan dan kompetensi PNS.

a. Jabatan dan Pangkat


Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepega-
waian, menyatakan antara lain dalam pasal 17 ayat 1, bahwa ” Pegawai
Negeri Sipil diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu ”. Selanjutnya dalam
penjelasannya yang dimaksud Jabatan adalah kedudukan yang menun-
jukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai
Negeri Sipil dalam satuan organisasi Negara. Sedangkan Jabatan dalam
lingkungan birokrasi pemerintah adalah Jabatan Karier. Jabatan Karier
dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu jabatan struktural dan jabatan
fungsional. Pasal 17 ayat 2, Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, me-
nyatakan antara lain, bahwa ” Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam
suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan
kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan
itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama,
ras, atau golongan.” Selanjutnya yang dimaksud dengan syarat obyektif
lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengala-
man, kerjasama, dan dapat dipercaya. Dari pernyataan Pasal 17 ayat (1)
dan (2) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tersebut, dapat dipahami
bahwa setiap PNS memangku jabatan dan diangkat sesuai prosedur dan
berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi
kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat
obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras,
Edisi 2, Tahun II | 67
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

atau golongan. Di sisi lain, sebagian besar instansi pemerintah belum


memberdayakan jabatan fungsional yang ada (baik fungsional tertentu/
khusus maupun fungsional umum) secara maksimal sehingga kecender-
ungan pegawai masih menganggap jabatan yang paling favorit adalah
jabatan struktural.

Promosi, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan


struktural cenderung tidak obyektif dan tidak melalui seleksi atau evaluasi
yang obyektif dan rasional. Sementara pengangkatan dalam jabatan fung-
sional cenderung sebagai penampungan PNS yang tidak lagi tertampung
dalam jabatan struktural atau bahkan untuk memperpanjang batas usia
pensiun.(Puslitbang BKN, 2001). Hasil penelitian dari Pusat Penelitian
dan Pengembangan BKN tahun 2004 terhadap ”Pengaruh Pembinaan
terhadap Perilaku PNS”, antara lain menunjukkan bahwa pengembangan
karier PNS tidak adanya arah pengembangan karier pegawai yang jelas,
sebagai anekdot ”seorang PNS biasanya tahu kapan masuknya dan kapan
pensiunnya, tetapi tidak tahu bagaimana kariernya”.

Sebagaimana arah manajemen PNS agar tercapai PNS yang profesio-


nal, maka setiap PNS diharapkan memiliki wawasan yang luas dan dapat
memandang masa depan, memiliki kompetensi di bidangnya, memiliki
jiwa berkompetisi/bersaing secara jujur dan sportif, serta memiliki etika
profesi. Di samping itu seorang PNS diharapkan memiliki sikap yang
netral dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (tidak diskrimi-
nasi) dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Sebagai PNS yang profesional, setiap PNS diharapkan akuntabel, artinya
berkewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban kinerjanya. Oleh
karena itu dalam rangka pembinaan PNS perlu dibangun suatu sistem
manajemen kinerja PNS yang dapat mengukur kinerja PNS berdasar-
kan standard pengukuran kinerja yang ditetapkan, sehingga diperoleh
gambaran tentang kinerja termasuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor
penghambat kinerja, baik itu dari individu PNS sendiri maupun dari
dalam organisasi. (Prapto Hadi, 2007).

68 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

Strategi pembinaan sebagai komponen utama pembinaan pegawai


negeri sipil. Strategi pembinaan pada dasarnya merupakan suatu seni
menggunakan kecakapan (skill) dan sumber daya yang ada, untuk men-
capai tujuan/sasaran pembinaan, melalui hubungan yang efektif dengan
lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan, baik terhadap
pegawai sendiri maupun terhadap organisasi atau lingkungan kerjanya
masing-masing. Strategi dapat diartikan sebagai penetapan tujuan dan
sasaran jangka panjang suatu organisasi serta penggunaan serangkaian
tindakan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut. (Puslitbang BKN, 2005).

Penataan Jabatan dan pangkat dilakukan melalui:


1. Penyusunan formasi jabatan PNS, yang dilakukan melalui analisis jabatan dan
analisis beban kerja tugas-tugas pekerjaan di lingkungan instansi pemerintah.
Formasi jabatan PNS hendaknya disusun tidak hanya untuk kebutuhan tahu-
nan tetapi lebih pada perencanaan pegawai secara strategis. Melalui metoda
analisis jabatan dan analisis beban kerja, maka dapat dihasilkan informasi
jabatan (yang berisi informasi tentang identitas jabatan, deskripsi jabatan,
persyaratan jabatan, dan informasi lainnya) dan standar tingkat efisiensi
jabatan (untuk menentukan jumlah jabatan dan pegawai serta kualifikasi
yang dibutuhkan), serta sebagai dasar dalam menyusun mana jabatan-jabatan
inti dan jabatan-jabatan pendukung sehingga dapat ditentukan pula mana
jabatan-jabatan yang harus diisi oleh PNS dan jabatan-jabatan yang dapat
diisi dari non PNS (outsourcing).
2. Optimalisasi pemanfaatan SDM, yang dilakukan melalui pengembangan PNS
dalam jabatan baik jabatan structural maupun jabatan fungsional. Pada setiap
permulaan kariernya sebagian PNS diarahkan untuk menjadi tenaga generalis
sementara sebagian lainnya sudah diarahkan untuk menjadi tenaga spesialis.
PNS yang diarahkan menjadi tenaga spesialis di kemudian hari akan menjadi
tenaga spesialis yang menduduki jabatan fungsional. Sedangkan PNS yang
berkembang di lingkup manajerial mengembangkan kariernya pada jalur
jabatan struktural. Pengangkatan dalam jabatan struktural maupun fungsional
hendaknya dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan
kompetensi, prestasi kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan
itu serta syarat-syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin,
suku, agama, ras, atau golongan, sehingga dimaksudkan untuk dapat men-
goptimalkan kinerjanya dengan mengembangkan dan memanfaatkan segala
potensi yang ada pada masing-masing PNS yang bersangkutan. Kebijakan

Edisi 2, Tahun II | 69
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

pembinaan jabatan yang dikembangkan dimaksudkan untuk menciptakan


PNS yang profesional, berwawasan global, netral, berpengetahuan luas,
berkemampuan tinggi, bermoral tinggi dan mampu berperan sebagai unsur
perekat persatuan dan kesatuan bangsa;

Penataan jabatan dan pangkat berarti juga penataan kelembagaan,


yang harus dilakukan mendasarkan pada tugas-tugas pokok penyeleng-
garaan pemerintahan dengan mengutamakan pada pelayanan masyarakat,
kejelasan tugas dan tanggung jawab (satu jabatan satu tanggung jawab dan
kewenangan), dan akuntabilitas setiap jabatan (satu jabatan satu output).

Beberapa hal yang sangat urgent dalam penataan pangkat dan ja-
batan, antara lain:
1) Rekrutmen pegawai, yang harus mendasarkan pada kebutuhan riil organ-
isasi. Prinsip satu jabatan satu tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak
haruslah mendasari setiap perumusan jabatan, sehingga tidak ada satupun
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak yang sama dilakukan oleh lebih
dari satu jabatan atau tidak ada satupun jabatan yang tidak mempunyai
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak. Rekrutmen pegawai sebagai
langkah untuk mengisi formasi jabatan lowong dilaksanakan berdasarkan
prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi (tuntutan syarat jabatan),
prestasi kerja (tuntutan kinerja jabatan) dan jenjang pangkat (tingkatan/
level jabatan). 2) Karir, kompetensi dan kinerja pegawai sebagai dasar dalam
pembinaan karir pegawai (rotasi, promosi, dan demosi). Sehingga tidak
ada lagi pegawai yang mulai diangkat sampai pensiun memangku jabatan
yang sama, tidak ada lagi pegawai mempunyai kompetensi dan kinerja baik
tetapi demosi (mutasi memangku jabatan yang lebih rendah tingkat/level
jabatan dari jabatan sebelumnya) atau tidak ada satupun pegawai yang tidak
memangku jabatan (struktural, fungsional tertentu, atau fungsional umum)
sehingga tidak mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak. Pola
pengembangan karir “spiral piramida”, yakni pola pengembangan karir
bertingkat dalam kelompok jabatan, unit kerja, unit organisasi (instansi/
regional), dan nasional perlu dikembangkan dalam rangka kaderisasi dan
kepastian karir.
2) Pengembangan, Pendidikan dan pelatihan pegawai lebih dikembangkan
pada “competency based training(CBT)”, yakni pendidikan dan pelatihan
pegawai didasarkan pada analisis kebutuhan kompetensi pegawai (gap
antara tuntutan syarat jabatan dan kompetensi pegawai). Di samping itu,
setiap pegawai haruslah diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan

70 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

pendidikan dan pelatihan jabatan (karena saat ini, ada kecenderungan diklat
hanya diperuntukan pada jabatan-jabatan tertentu, sedangkan jabatan lain
(seperti: pengemudi, montir, pengadministrasi umum atau jabatan lainnya)
kurang mendapat perhatian bahkan tidak pernah tersentuh pendidikan dan
pelatihan.
3) Kinerja, Capaian hasil kerja sebagai wujud pertanggung jawaban setiap pegawai
(pemangku jabatan) haruslah didasarkan kontrak kerja setiap tahun yang
disepakati antara pimpinan dan pegawai yang secara hierarkhi merupakan
satu kesatuan utuh nantinya sebagai pertanggung jawaban/kinerja organisasi.
Sehingga tidak ada satupun pegawai yang tidak bisa diukur kinerjanya dan
tidak mendukung capaian kinerja organisasi.
4) Remunerasi, komponen remunerasi haruslah dipahami terdiri atas 3 (tiga)
komponen, yakni bersifat: fixed/tetap (gaji dan tunjangan lainnya yang ter-
kait dengan gaji), variabel/tidak tetap tergantung variabel kinerja (tunjangan
kinerja dan tunjangan lainnya yang pemberiannya tergantung suatu variabel
tertentu), dan facility/fasilitas (tunjangan rumah dinas, mobil dinas, medical
check up dan tunjangan lainnya yang terkait dengan sifat pekerjaan/ jabatan).
Pemberian remunerasi harulas berdasarkan prinsip keadilan (internal dan
eksternal) dan kelayakan.

Solusi yang menurut saya paling bijaksana untuk mengatasi carut-


marutnya kepegawaian saat ini adalah melalui pengendalian secara kom-
prehensif terhadap perencanaan, karir, dan pengembangan pegawai sesuai
kebutuhan dan akuntabilitas organisasi. Perencanaan pegawai haruslah
didasarkan hanya pada jabatan lowong sesuai beban kerja organisasi (satu
jabatan satu tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak). Pembinaan
karir pegawai yang biasanya dimanifestasikan dalam kenaikan pangkat,
haruslah dipahami bahwa “pangkat adalah kedudukan yang menun-
jukkan tingkatan seseorang sesuai jabatannya dalam satuan organisasi”,
sehingga kenaikan pangkat seseorang haruslah berdasarkan jenjang/
level dan formasi jabatannya (tidak ada lagi seseorang yang jabatan tetap
tetapi naik pangkat kecuali masih dalam jenjang pangkatnya). Pengi-
sian dan pengangkatan pegawai dalam jabatan berdasarkan sistem merit,
yakni berdasarkan kompetensi dan kompetisi (seleksi). Pengembangan
pegawai yang dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan pegawai
haruslah mendasarkan pada kebutuhan untuk mengisi kompetensi yang

Edisi 2, Tahun II | 71
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

diperlukan dalam rangka memenuhi persyaratan jabatan (mengisi gap


syarat jabatan dan kompetensi pegawai), baik sebagai pemangku jabatan
maupun rencana pengembangan karir.

b. Konversi Jabatan dan Kompetensi PNS


Konversi jabatan dan kompetensi PNS sebagai salah satu tahapan
langkah penataan sistem penggajian PNS yang adil dan layak (berdasar-
kan bobot jabatan dan kinerja).

E. PENUTUP
Dengan memperhatikan lingkungan strategis yang terus berkembang baik
internal dan eksternal, maka tahapan langkah strategis penataan sistem penggajian
PNS berdasarkan jabatan dan kinerja seyogyanya didahului dengan beberapa hal
berikut. (1) Pemetaan jabatan PNS, meliputi: analisis jabatan, penetapan jabatan
PNS dan evaluasi jabatan (klasifikasi jabatan dan bobot jabatan); (2) Pemetaan
kompetensi PNS, meliputi perencanaan kompetensi, pengembangan kompetensi
dan pengkuran kompetensi; (3) Manajemen kinerja, meliputi perencanaan kinerja,
pengembangan kinerja dan penilaian/pengukuran kinerja PNS; (4) Penataan sistem
penggajian (remunerasi) PNS berdasarkan bobot jabatan dan kinerja; dan (5) Pena-
taan berbagai tunjangan, yang pada prinsipnya pemberian tunjangan tidak boleh
melebihi gaji pokok.

Dalam rangka mempersiapkan penerapan sistem penggajian yang baru terse-


but, Pemerintah diharapkan dapat membentuk tim remunerasi nasional, yang
melibatkan para stakeholders dari Kementerian PANRB, Kementerian Keuangan,
BKN, dan lembaga terkait lainnya. Penerapan sistem penggajian berbasis jabatan
akan terlaksana apabila didukung oleh semua komponen yang ada pada semua
level pimpinan. Prakondisi untuk menuju ke arah sistem penggajian berbasis jabatan
ini saat ini telah dimulai, yaitu dengan melakukan evaluasi jabatan pada semua
instansi pusat, dan mulai tahun 2012 pada instansi daerah. Grading sebagai hasil
evaluasi jabatan di beberapa instansi dapat dijadikan bahan untuk menyusun dan
menerapkan sistem penggajian PNS berbasis jabatan.

72 | Edisi 2, Tahun II
Single Salary System:
Perbaikan Gaji PNS Dari Gaji Pegawai Menjadi Gaji Jabatan

Referensi
Affandi, M. Joko, 2000, Beberapa Pokok Pikiran tentang Peningkatan Kesejahteraan PNS, Puslitbang
BKN, Jakarta.
Ichasan, Achmad, 1981, Tata Administrasi Kekaryawanan, Djambatan, Jakarta.
Maryanti Ninik dan Salipi Basri, 1988, Perkembangan Sistem Penggajian PNS, Bina Aksara, Jakarta.
Dewan Ketahanan Nasional, 1999, Hasil Penelitian, Sekretariat Jenderal, Jakarta.
Indarto, W. B, 2004, Sistem Penggajian, Insentif PNS dan Reformasi Birokrasi, Bunga Rampai Hasil
Penelitian, Badan Analisa Fiskal, Jakarta.
Simanungkalit, Janry Haposan, 2011, Redesign Sistem Penggajian PNS, BKN, Jakarta.
Direktorat Gaji dan Kesejahteraan BKN, 2011, BKN, Jakarta.
Muttaqin, Tatang, 2008, Pembaruan Birokrasi: Ikhtiar Mewujudkan PNS yang Bersih dan Profesional,
Bappenas, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.

Edisi 2, Tahun II | 73
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

PATOLOGI BIROKRASI
DAN PROFESIONALISASI PEGAWAI NEGERI SIPIL
(PNS)
Oleh : Suwarni, S. Sos, M. Si
Staf Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen, Jawa Tengah

A. Sejarah Birokrasi
Kehidupan modern mengharuskan manusia saling tergantung dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup tersebut akan terlaksana kalau
manusia melibatkan diri dalam organisasi. Kebutuhan modern diselenggarakan
oleh organisasi yang berskala luas yang disebut birokrasi, yaitu  organisasi yang
direncanakan untuk menjalankan tugas yang bersakala luas dan melibatkan sejumlah
orang yang berkerja secara berkoordinasi.

Sebenarnya, fenomena birokrasi sudah ada berabad-abad yang lalula. Walau-


pun di zaman dahulu orang belum menamakannya birokrasi, tetapi gejala birokrasi
telah mulai menampakkan diri pada 2500 SM yaitu pada negara-negara kuno yang
telah mempunyai kebudayaan tinggi seperti Mesir Kuno, Romawi, Inca, Cina dan
India Kuno. Ada kecenderungan bahwa birokrasi timbul di negara-negara yang
peradabannya dimulai dari kehidupan di tepi sungai besar seperti Sungai Nil, Sungai
Yangtse, Sungai Hoangho, Sungai Tibet, Sungai Gangga, dan lain-lain. Di sungai
ini berkembang kehidupan ekonomi yang dilakukan oleh kelompok usahawan.
Perkembangan ekonomi di tepi sungai ini semakin lama semakin luas dan maju
sehingga menimbulkan berbagai masalah yang kadang-kadang dapat mengganggu
bisnis mereka. Untuk memecahkan masalah ini, kelompok pengusaha memerlukan
lembaga sentral yang dapat mengatur kehidupan bisnis di tepi sungai sehingga
hambatan-hambatan dapat dihindarai. Dengan timbulnya lembaga yang sentral ini,
maka dapat diangap sebagai permulaan munculnya birokrasi di negara tersebut.
Sehingga dengan hal tersebut di atas Alfred Weber mengemukakan bahwa sejarah
kebudayaan yang sudah tinggi dimulai dengan terbentuknya birokrasi totaliter.

74 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Hal ini utamanya ditemui di negara Mesir Kuno dan Babilonia. Untuk membayar
imbalan, kepada aparat birokrasi maka dipungut semacam pajak dari pengusaha
yang meminta jasa birokrasi yaitu berupa gandum atau hasil pertanian lainnya
(Jacoby dalam Suwarni, 2000 : 73).

Dari uraian di atas, adanya birokrasi dimaksudkan sebagai suatu sistem otorita
yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai aturan. Birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang
banyak. Oleh karena itu, pengertian dan konsep tentang birokrasi dari Max Weber
tidak dapat dipungkiri menjadi dasar telaah berbagai tesis mengenai birokrasi.

Belajar memahami birokrasi dewasa ini dirasa jauh lebih penting diband-
ingkan masa-masa sebelumnya. Lagi pula, proses pembelajaran ini memiliki arti
secara khusus dalam birokrasi. Apalagi pada masa sekarang ini, birokrasi sedang
dan harus mengalami revolusi agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat yang
semakin maju dan modern. Di samping itu, kajian terhadap organisasi birokrasi
akan memberikan kontribusi khusus terhadap kemajuan kinerja birokrasi, dimana
tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada sisi lain, birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang
kehadirannya tak mungin terelakkan. Birokrasi merupakan sebuah konsekuensi logis
dari diterimanya hipotesis bahwa negara mempunyai tugas untuk menyejahterakan
rakyatnya. Karena itu negara harus terlibat langsung dalam memproduksi barang
dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam
kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang
bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat yang disebut dengan istilah birokrasi
(Sulistyani, 2004 : 1).

Birokrasi, pertama kali dicetuskan oleh Max Weber pada awal abad ke-20, tepat-
nya Tahun 1911. Ide Weber pada mulanya untuk mengatasi kekacauan manajemen
dan kondisi birokrasi pemerintahan yang belum teratur di negara-negara Barat
pada waktu itu. Untuk mengetahui ide orisinal Bapak Birokrasi tersebut, berikut
disampaikan ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber (dalam Sulistyani, 2004 : 8 - 9):
1. Pembagian kerja

Edisi 2, Tahun II | 75
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

2. Hirarki wewenang
3. Pengaturan perilaku pemegang jabatan birokrasi
4. Impersonalitas hubungan
5. Kemampuan teknis
6. Jenjang karier

B. Permasalahan dan Patologi Birokrasi


Peran pemerintah yang strategis akan banyak ditopang oleh bagaimana bi-
rokrasi publik mampu melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu tantangan
besar yang dihadapi birokrasi bagaimana mereka mampu melaksanakan kegiatan
secara efektif dan efisien. Karena selama ini birokrasi diidentikkan dengan kinerja
yang berbelit-belit, struktur yang gemuk, penuh KKN, serta tidak ada standar yang
pasti. Sejumlah patologi birokrasi tersebut menjadi hambatan luar biasa untuk dapat
mewujudkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Birokrasi Indonesia selama
ini masih jauh dari apa yang disebut good governance.

Birokrasi juga dianggap sebagai necessary evil (hantu yang menakutkan yang
dibutuhkan) dari era Weber, Parson, sampai pada Osborne dan Gaebler dalam re-
inventing government-nya tampak masih memposisikan masyarakat sebagai objek
pasif. Sehingga organisasi publik yang bernama pemerintah semakin tidak diminati.
Bukan karena publik sudah jenuh karena birokrasi hanya mengurus dirinya sendiri,
namun publik merasa harus menghindari hantu ini (Putra dan Arif, 2001 : 4).

Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan awal bahwa masih banyak ter-
dapat berbagai kelemahan dalam organisasi birokrasi, khususnya birokrasi pemer-
intah. Oleh karena itu, menurut Blau dan Meyer ( 2000 ) tidak ada keraguan bahwa
kadang-kadang birokrasi bekerja tidak efisien. Dengan demikian birokrasi sering
dijuluki dengan istilah red tape hal ini disebabkan karena masyarakat selama ini
sering merasa dirugikan oleh keputusan birokrasi.

Apabila permasalahan tersebut dikorelasikan dengan kondisi birokrasi kita,


maka akan relevan dengan permasalahan birokrasi di Indonesia yang teridentifikasi
menurut Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi tahun 2010 – 2025, yakni adalah sebagai berikut:
1. Organisasi pemerintahan yang belum tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing).

76 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

2. Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih ada


yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir.
3. Masalah utama SDM aparatur negara adalah alokasi dalam hal kuantitas, kuali-
tas, dan distribusi PNS menurut teritorial (daerah) tidak seimbang, serta tingkat
produktivitas PNS masih rendah. Manajemen sumber daya manusia aparatur
belum dilaksanakan secara optimal untuk meningkatkan profesionalisme, kinerja
pegawai, dan organisasi.
4. Masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan dan belum mantapnya akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah.
5. Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan
masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk.
Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan bangsa ber-
pendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin
ketat.
6. Pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) birokrat belum sepenuhnya
mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, dan profesional. Selain
itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat,
belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berori-
entasi pada hasil (outcomes).

Mengingat begitu banyak permasalahan yang dihadapi birokrasi, maka ti-


dak asing lagi jika kita juga sering mendengar istilan patologi birokrasi. Patologi
birokrasi di sini dimaksudkan sebagai berbagai penyakit yang selama ini dimilki
birokrasi. Melihat banyaknya penyakit birokrasi ini, maka Sondang P. Siagian (1994
: 187 – 188) mengklasifikasikan patologi birokrasi ke dalam beberapa jenis. Secara
lengkap, penyebab dan penjabaran patologi birokrasi dapat dilihat sebagai berikut.

1. Patologi karena persepsi, perilaku dan gaya manajerial

Edisi 2, Tahun II | 77
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

• penyalahgunaan wewenang dan jabatan • Kredibilitasi yang rendah


• persepsi yang didasarkan pada prasangka • Kurangnya visi yang imajinatif
• pengaburan masalah • Kedengkian
• penerima sogok • Nepotisme
• pertentangan kepentingan • Tindakan yang tidak rasional
• kecenderungan mempertahankan status quo • Bertindak di luar wewenangnya
• “ empire building “ • Paranoia / selalu curiga
• Sikap opresif / mengancam
• Patronase / Pilih kasih

• sikap bermewah-mewah • Penyeliaan dengan pendekatan punitif


• Pilih kasih • Keengganan mendelelegasikan
• Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko • Keenggaan memikul tanggung jawab
• Penipuan • Ritualisme
• Sikap sombong • Xenophobia / penyakit ketakutan
• Ketidakpedulian pada kritik dan saran • Intimidasi
• Jarak kekuasaan • Kurangnya komitmen
• Tidak mau bertindak • Kurangnya koordinasi
• Takut mengambil keputusan • Kurangnya kreativitasi dan eksperimentasi
• Sifat menyalahkan orang lain
• Tidak adil

2. Masalah pengetahuan dan keterampilan


• ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan
• ketidaktelitian
• rasa puas diri
• bertindak tanpa pikir
• kebingungan
• tindakan yang “counter productive “
• tidak adanya kemampuan berkembang
• mutu hasil pekerjaan yang rendah
• kedangkalan

78 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

• ketidakmampuan belajar
• ketidaktepatan tindakan
• inkompetensi
• ketidakcekatan
• ketidakteraturan
• melakukan kegiatan yang tidak relevan
• sikap ragu-ragu
• kurangnya imajinasi
• kurangnya prakarsa
• kemampuan rendah (mediocrity)
• bekerja tidak produktif
• ketidakrapian
• stagnasi

3. Patologi birokrasi dikaitkan dengan tindakan melanggar hukum


• Penggemukan pembiayaan
• Menerima sogok
• Ketidakjujuran
• Korupsi
• Tindakan kriminal
• Penipuan
• Kleptokrasi / penyakit mencuri
• Kontrakdiktif
• Sabotase
• Tata buku yang tidak benar
• Pencurian

Edisi 2, Tahun II | 79
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

4. Patologi birokrasi dikaitkan dengan keperilakuan


• Bertindak sewenang-wenang • Melalaikan tugas
• Pura-pura sibuk • Rasa tanggung jawab yang rendah
• Paksaan • Lesu darah
• Konspirasi • Paperasserie / penumpukan dokumen
• Sikap takut • Melaksanakan kegiatan yang tidak relevan
• Penurunan mutu • Cara kerja yang berbelit-belit (red tape)
• Tidak sopan • Kerahasiaan
• Diskriminasi • Pengutamaan kepentingan sendiri
• Cara kerja yang legalistik • Suboptimasi
• Dramatisasi • Sycophancy / kurang elegan
• Sulit dijangkau • Tampering / mengotak-atik barang bukti
• Sikap tidak acuh • Imperatif wilayah kekuasaan
• Tidak disiplin • Tokenisme / tidak sepenuh hati
• Inercia / bekerja lamban • Tidak profesional
• Sikap kaku (tidak fleksibel) • Sikap tidak wajar
• Tidak berperikemanusiaan • Melampaui wewenag
• Tidak peka • Vested interest / kepentingan pribadi
• Sikap tidak sopan • Pertentangan kepentingan
• Sikap lunak • Pemborosan
• Tidak peduli mutu kinerja • Semangat yang salah tempat
• Salah tindak • Negativisme

5. Patologi birokrasi dikaitkan dengan internal

80 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

• penempatan tujuan dan sasaran yang • tidak adanya indikator kinerja


tidak tepat • kekuasaan kepemimpinan
• kewajiban sosial sebagai beban • miskomunikasi
• eksploitasi • misinformasi
• ekstorsi / pemerasan • beban kerja yang terlalu berat
• tidak tanggap • terlalu banyak pegawai
• pengangguran terselubung • sistem pilih kasih (spoiles system)
• motivasi yang tidak tepat • sasaran yang tidak jelas
• imbalan yang tidak memadai • kondisi kerja yang tidak aman
• kondisi kerja yang kurang memadai • sarana dan prasarana yang tidak tepat
• pekerjaan yang tidak kontibel • perubahan sikap yang mendadak
• inconvenience / tata ruang yang tidak
tepat

Uraian di atas menunjukkan bahwa birokrasi selama ini masih bergelut dengan
berbagai persoalan. Bahkan karena begitu banyaknya masalah atau penyakit biro-
krasi, maka istilah patologi birokrasi sudah tampak akrab dan tak asing lagi bagi
birokrasi. Dengan melihat berbagai kompleksitas permasalahan birokrasi ini, maka
sudah saatnya jika birokrasi segera melakukan perubahan di segala aspek untuk
membenahi citra dan kinerjanya yang selama ini masih terkesan lamban, berbelit-
belit, KKN, dan sebagainya. Aspek penting perubahan birokrasi ini salah satunya
adalah aspek Sumber Daya Manusia (SDM ) atau PNS yang profesional.

C. Profesionalisme Birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)


1. Pengertian dan Kedudukan PNS
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 1 (1), yang di-
maksud Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia
yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas
negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan menurut Pasal 3 (1), Pegawai Negeri berkedudukan sebagai
unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan
tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.

Edisi 2, Tahun II | 81
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

2. Pengertian Profesional
Ada beberapa pengertian “profesional” menurut para ahli yang dikutip
dari http://carapedia.com/pengertian_definisi_profesional_info2140.html
, antara lain :
• Korten dan Alfonso, 1981
Yang dimaksud dengan profesionalisme adalah kecocokan (fitness) an-
tara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi (bureaucratic-competence)
dengan kebutuhan tugas (ask-requireme)
• Kusnanto
Profesional adalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam suatu
pekerjaan tertentu
• Kamus Besar Bahasa Indonesia
Profesional bersangkutan dengan profesi yang memerlukan kepandaian
khusus untuk menjalankannya

82 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

• Tantri Abeng (2002) 


Seorang profesional harus mampu menguasai ilmu pengetahuannya
secara mendalam, mampu melakukan kerativitas dan inovasi atas bidang
yang digelutinya serta harus selalu berfikir positif dengan menjunjung
tinggi etika dan integritas profesi

Menurut Harefa ada tiga belas indikator sehingga seseorang dikatakan


sebagai profesional yaitu:
1. bangga pada pekerjaan, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas;
2. berusaha meraih tanggunjawab;
3. mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif;
4. mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas;
5. melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah-
ditetapkan untuk mereka;
6. selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi
orang-orang yang mereka layani;
7. ingin belajar sebanyak mungkin;
8. benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang mereka layani;
9. belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka layani sehing-
ga bisa mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada di tempat;
10. mereka adalah pemain tim;
11. bisa dipercaya memegang rahasia;
12. jujur bisa dipercaya dan setia
13. terbuka terhadap kritik-kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan
diri
( http://www.scribd.com/doc/41755206/pengertian-profesional )

Dari indikator yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa profe-


sional itu adalah seseorang yang dipercaya memiliki kemampuan khusus untuk
melakukan satu bidang kerja dengan hasil kualitas yang tinggi berdasarkan
pengalaman dan pengetahuannya tentang objek pekerjaannya tersebut.

Edisi 2, Tahun II | 83
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

3. Pengertian PNS Profesional


Untuk memahami pengertian PNS Profesional, mencoba merujuk be-
berapa sumber, antara lain yaitu: menurut UU Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 1
(8), Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya-upaya untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelengga-
raan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan,
pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, ke-
sejahteraan, dan pemberhentian.

Sedangkan menurut Pasal 12 (2) , maka untuk mewujudkan penyeleng-


garaan tugas pemerintah dan pembangunan, diperlukan Pegawai Negeri
Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan
yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang
dititikberatkan pasa sistem prestasi kerja.

Lebih lanjut, untuk memahami pengertian PNS Profesional, dalam kon-


teks ini penulis juga menyampaikan tentang upaya reformasi birokrasi yang
juga dikenal dengan Profesionalisasi Birokrasi dan salah satu substansinya
adalah untuk mewujudkan PNS yang profesional. Sebagaimana hal tersebut
dapat dilihat dari pendapat Prof. Eko Prasojo berikut ini.

Reformasi birokrasi negara pada umumnya dilakukan melalui dua strategi


yaitu: (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang men-
jadi motor penggerak reformasi administrasi, dan (2) menata kembali sistem
administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia
(PNS) serta relasi antara negara dan masyarakat.

Strategi pertama dapat dilakukan melalui penguatan peran dan fungsi


Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemen PANRB) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai motor
reformasi administrasi. Karena itu kepada kedua lembaga ini harus diberikan
kewenangan yang bersifat policy agency dan juga kewenangan yang bersifat
eksekusi (executing agency).

Sedangkan menyangkut penataan sistem birokrasi negara harus meru-


pakan program yang terintegrasi dari hulu sampai hilir dalam bidang-bidang

84 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

pembangunan administrasi. Strategi itu dapat dimulai dari proses rekruitmen


pegawai, sistem promosi pegawai berdasarkan kinerja, perubahan paradigma
dan spirit administrasi publik, sistem dan besar penggajian, perubahan struktur
dan proses kerja, dan pengawasan disiplin pegawai negeri sipil.

Beberapa strategi yang mungkin dilakukan menurut Prof. Eko Prasojo


adalah :
1. Strategi itu dapat dimulai dari proses rekrutmen pegawai, sistem promosi
pegawai berdasarkan kinerja, perubahan paradigma dan spirit administrasi
publik, sistem dan besar penggajian, perubahan struktur dan proses kerja,
dan pengawasan disiplin pegawai negeri sipil.
2. Profesionalisasi birokrasi juga dilakukan melalui market model of government.
Penerapan market model of government dimaksudkan untuk perubahan para-
digma penyelenggaraan administrasi dari authority government based
public services menjadi society based public services
3. Grand design reformasi birokrasi harus berasas dari problem utama yang
sedang dihadapi. Birokrasi pemerintah semakin terkooptasi dan terintervensi
oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya
4. Karena itu, reformasi birokrasi bukanlah sekedar perubahan struktur dan
reposisi birokrasi. Lebih dari itu reformasi birokrasi harus meliputi perubahan
sistem politik dan hukum secara menyeluruh perubahan sikap mental dan
budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan pola pikir dan komitmen
pemerintah serta partai politik
( Media Indonesia, 2006 )

D. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Profesional untuk Mewujudkan


Good Governance
Untuk memahami bagaimana korelasi antara PNS Profesional
untuk Mewujudkan Good Governance, maka hendaknya perlu pula
dipahami tentang arah kebijakan reformasi birokrasi yang ada, yaitu :
Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi
untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewu-
judkan tata pemerintahan yang baik, baik di pusat maupun di daerah

Edisi 2, Tahun II | 85
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya


(Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025).
Sedangkan visi reformasi birokrasi adalah “Terwujudnya Pemerin-
tahan Kelas Dunia”. Visi tersebut menjadi acuan dalam mewujudkan
pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang profesional dan
berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima
kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis
agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke- 21 melalui tata
pemerintahan yang baik pada tahun 2025. (Peraturan Presiden Nomor
81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi).

86 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Pengertian Good Governance


BAPPENAS, Team Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemer-
intahan Yang Baik mengatakan bahwa “istilah tata kepemerintahan yang
baik mulai banyak dikenal di tanah air sejak tahun 1997, ketika krisis ekonomi
terjadi di Indonesia. Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi
tentang penyelenggaraan pemerintahan bersih, demokratis, dan efektif sesuai
dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani. Selain sebagai suatu
konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan, tata kepemerintahan yang
baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan
antara pemerintah, dunia usaha/swasta, dan masyarakat“ (Suharyo dan Ef-
fendy, 2006: 11 – 12).

Untuk itu, BAPPENAS, menyatakan bahwa dalam upaya mewujud-


kan tata kepemerintahan yang baik perlu diperhatikan prinsip-prinsip Tata
Kepemerintahan Yang Baik dengan indikator minimal sebagai berikut (dalam
Suharyo dan Effendy, 2006: 12 - 20):
1. Wawasan ke depan (visionary)
2. Keterbentukan dan transparansi (openness and transparency)
3. Partisipasi masyarakat (participation)
4. Tanggung gugat (accountability)
5. Supremasi hukum (rule of law)
6. Demokrasi (democracy)
7. Profesionalisme dan kompetensi (professionalism and competency)
8. Daya tanggap (responsiveness)
9. Keefisienan dan Keefektifan (efficency and effectiveness)
10. Desentralisasi (decentralization)
11. Kemitraan dengan dunia usaha /swasta dan masyarakat ( private sektor and
civil society partnership)
12. Komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce inequality)
13. Komitmen pada lingkungan hidup (commitment to environmental protection)
14. Komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market)

Edisi 2, Tahun II | 87
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator


atau katalisator. Sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak
pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. Den-
gan begitu kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya kemitraan
antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa,
LSM, dunia usaha serta individu warga negara guna terciptanya manajemen
pembangunan negara yang bertanggung jawab. Sumber daya manusia seb-
agai mobilisator dan dinamisator pemerintah menempati posisi depan untuk
melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah terbentuknya PNS
yang profesional, yaitu pegawai/aparatur yang berkualitas serta memiliki
kemampun yang meliputi pengetahuan dan kecakapan serta adanya kompe-
tensi manajerial sehingga dapat mempercepat terciptanya good governance. Oleh
karena itulah diperlukan pengembangan SDM birokrasi pemerintahan atau
PNS yang profesional untuk menjawab/menyelesaikan segala permasalahan
dan tantangan zaman, sekaligus dalam upaya mewujudkan good governance.

Untuk menjawab isu-isu good governance diperlukan infrastruktur dan


suprastruktur yang akomodatif terhadap nilai-nilai good governance. Strategi
pengembangan SDM merupakan infrastruktur utama yang dapat mendukung
pemerintahan yang good governance. Sedangkan struktur organisasi sebagai
perangkat keras yang menjadi fokus bagi berkembangnya pemerintahan yang
good governance. Bertolak dari nilai strategis baik struktur maupun strategi
pengembangan SDM maka perlu diperbaiki. Untuk memperoleh manfaat
pengembangan SDM yang nyata maka harus ada struktur yang memungkin-
kan terjadinya learning process. Strategi pengembangan SDM ditunjukkan
untuk mengembangknan kemampuan pembelajaran yang kontinu (conti-
nues learning), karena dinamisasi perubahan lingkungan semakin menuntut
kemampuan intelektual (brain intensive) untuk menghasilkan pengetahuan
(Sulistyani, 2004 : 48).

Dari pendapat ini terlihat jelas, betapa kualitas SDM (birokrasi) yang pro-
fesional merupakan kunci utama dalam mewujudkan Reinventing Government
dan Good Governance di Indonesia. Kualitas SDM yang dimaksud tentu tidak
terlepas dari semangat entrepreneur atau wirausaha dalam konteks birokrasi

88 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Indonesia dengan memperhatikan dan mengakomodasi potensi dan kearifan


lokal (local wisdom) yang ada pada masyarakat Indonesia. Itulah modal sosial
(social capital ) yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh sebagian besar negara-
negara di dunia, termasuk negara- negara maju seperti Amerika dan Eropa.

2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk Mewujudkan Good Governance


Untuk menjadikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mampu mewu-
judkan Good Governance, tentu ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi,
baik yang berupa pendidikan formal, pelatihan – pelatihan, sistem kenaikan
pangkat dan karier pegawai, kesejahteraan, dan sebagainya. Untuk itu berikut
penulis sajikan beberapa referensi sebagai legalitas maupun pendapat untuk
menjadikan PNS bisa menjadi profesional.

UU Nomor 43 Tahun 1999 Penjelasan Umum (3) dan (7) menyebutkan


bahwa sebagai bagian dari pembinaan Pegawai Negeri, pembinaan Pegawai
Negeri Sipil perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan berdasarkan
pada perpaduan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan
pada sistem prestasi kerja. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang bagi
Pegawai Negeri Sipil yang berprestasi tinggi untuk meningkatkan kemam-
puannya secara profesional dan berkompetisi secara sehat. Dengan demikian
pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan pada sistem prestasi kerja yang
didasarkan atas penilaian obyektif terhadap prestasi, kompetensi, dan pelati-
han Pegawai Negeri Sipil. Dalam pembinaan kenaikan pangkat, di samping
berdasarkan sistem prestasi kerja juga diperhatikan sistem karier.

Untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan Pegawai Neg-


eri, dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa Pegawai Negeri berhak
memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja dan tang-
gung jawabnya. Untuk itu Negara dan Pemerintah wajib mengusahakan
dan memberikan gaji yang adil sesuai standar yang layak kepada Pegawai
negeri. Usaha untuk menjadikan PNS menjadi profesional antara lain dapat
dilakukan sebagai berikut:

Edisi 2, Tahun II | 89
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

1. Pengelolaan PNS sudah harus meninggalkan paradigma administrasi persona-


lia/administrasi kepegawaian (personnel administration) menjadi pengelolaan
sumberdaya manusia (human resource management).
2. Luasnya lingkup manajemen PNS, mulai dari perencanaan hingga pember-
hentian pegawai, menunjukkan bahwa proses pengembangan menuju PNS
profesional berjalan berkesinambungan sepanjang ia bekerja.
3. Pembinaan PNS dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem
karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.
4. Diklat-diklat hendaknya diberikan agar PNS dapat memiliki kompetensi
yang sesuai dengan persyaratan jabatan masing-masing.
5. Kompetensi yang harus dikembangkan pada PNS meliputi seluruh aspek
kompetensi yaitu baik pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan.
6. Pembinaan manajemen PNS daerah itu dilaksanakan pemerintah dalam satu
kesatuan penyelenggaraan manajemen PNS secara nasional (Christanto,
2012).

UU Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 32 (1) dan (2) juga menyebutkan bahwa
untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan
Pegawai Negeri Sipil. Usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), meliputi program pensiun dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan,
tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra-putri Pegawai
Negeri Sipil. Sedangkan Pasal 7 (2) menyebutkan bahwa Gaji yang diterima
oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraannya.

Hal ini mengimplikasikan bahwa apa-apa yang dipesankan dalam Un-


dang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ini juga menjadi dasar pemikiran dalam
pengembangan PNS Daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah juga wajib
mengembangkan profesionalisme PNS. Inisiatif-inisiatif pengembangan PNS
mesti muncul di tingkat daerah guna mempercepat tercapainya PNS profesional
yang pada akhirnya akan mempercepat pengembangan daerah.

Mengingat betapa pentingnya reformasi birokrasi dan profesionalisme


PNS, maka Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi Tahun 2010-2025 begitu menekankan bagaimana reformasi birokrasi
harus berhasil. Penekanan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

90 | Edisi 2, Tahun II
Patologi Birokrasi Dan Profesionalisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Reformasi birokrasi, jika gagal dilaksanakan, hanya akan menimbulkan


ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak
secara eksponensial di abad ke-21, antipati, trauma, berkurangnya kepercay-
aan masyarakat terhadap pemerintah, dan ancaman kegagalan pencapaian
pemerintahan yang baik (good governance), bahkan menghambat keberhasilan
pembangunan nasional.

Oleh karena itu, profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem
rekruitmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan
mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara
pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan
yang sepadan, tentu menjadi sebuah keniscayaan.

Edisi 2, Tahun II | 91
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

DAFTAR PUSTAKA

Ambar Teguh Sulistyani, dkk, Memahami Good Governance, 2004, Gava Media, Yogyakarta.
Blau, Peter M dan Meyer, Marshall W., Birokarsi dalam Masyarakat Modern (terjemahan),
2000, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta
Fadillah  Putra dan Saiful Arif, Kapitalisme Birokrasi, 2001, LkiS, Yogyakarta
Moeljarto Tjokrowinoto, dkk., Birokrasi Dalam Polemik, 2001, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Osborne, David dan Plastrik, Peter., Bunishing Bureaucracy (Memangkas Birokrasi – ter-
jemahan), 1996, PPM, Jakarta
Osborne, David dan Gaebler, Ted., Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi
– terjemahan ), 1992, PPM, Jakarta.
Salamoen dan Nasri Efffendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI, 2006, LAN
RI, Jakarta.
Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Suwarni, Modul Organisasi dan Mananajemen, 2000, Universitas Islam “45” , Bekasi
Suwarni, Reinventing Government, Mungkinkah ? Kajian Tentang: Politik Kemanusiaan
Negara Versus Kapital isme Birokrasi, 2008, Widya Sari, Salatiga
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian
Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun 2010 – 2025

Surat Kabar dan Internet :


• Media Indonesia, 06 Desember 2006
• http://carapedia.com/pengertian_definisi_profesional_info2140.
html
• http://www.scribd.com/doc/41755206/pengertian-profesional

92 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI E-PROCUREMENT


PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H *)

ABSTRACT

Electronic Procurement (E-Procurement) is the procurement of


goods and services with the aid of information technology and electronic
transaction. E-Procurement is ruled by president regulation number 45,
year 2010 on Government goods and services procurement. One of the
purpose of E-Procurement that ruled by president regulation is to en-
hance transparency and accountability in government goods and services
procurement. Transparency and accountability are the characteristics of
good governance.
Keywords: Good Governance, E-Procurement

A. PENDAHULUAN
Dalam rangka menggerakkan pembangunan nasional, salah satu komponen
yang dibiayai oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah dalam bentuk pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada pengadaan
barang/jasa pemerintah, di mana sumber dana yang digunakan berasal dari rakyat
dan dibelanjakan untuk kepentingan rakyat tentunya harus dipergunakan secara
efisien dan efektif.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan keuangan yang


dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah, diperlukan upaya
untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip per-
saingan/kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah
yang dibiayai APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan

Edisi 2, Tahun II | 93
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan,


maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.1

Sehubungan dengan hal tersebut, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010


tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini dimaksudkan untuk memberikan
pedoman pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana,
jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik.2 Ketentuan dimaksud
tidak lain bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan
pemerintahan.

Di samping itu Peraturan Presiden dimaksud juga telah memperkenankan


pengadaan barang/jasa pemerintah melalui sistem elektronik, yang dikenal den-
gan Electronic Procurement (E-Procurement). Hal ini juga tidak lain bertujuan untuk
mengembangkan pengelolaan pemerintahan yang baik, sehingga pemerintah dapat
menjalankan tugas secara efisien dan efektif demi mewujudkan kemakmuran yang
menjadi cita-cita dan harapan seluruh rakyat Indonesia.

B. TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH


Transparan merupakan salah satu prinsip dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah.3 Penjelasan atas Pasal 5 huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “Transparan,
berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat
jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat
serta oleh masyarakat.”

1 *) Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H., Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh (Email : insa_ansari@yahoo.com) Paragraf 2 Penjelasan Umum Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
2 Ibid. Lihat juga dengan Konsideran Menimbang huruf b Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, di mana di antaranya disebutkan: “….perlu pengaturan mengenai tata
cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik,
sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif bagi para pihak yang terkait dengan Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah.”
3 Pasal 5 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “Pen-
gadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. efisien; b. efektif; c. transparan; d.
terbuka; d. terbuka; e. bersaing; f. adil/tidak diskriminatif; dan g. akuntabel.”

94 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Sebenarnya konsepsi transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah


bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru, karena sebelumnya di dalam Keputu-
san Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
transparansi sudah sering juga disebut-sebut dalam keputusan presiden tersebut.
Setidak-tidaknya pada beberapa bagian dari Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun
2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sudah menyebut dan menggu-
nakan nomenklatur transparan, di antaranya adalah:

1. Konsideran Menimbang
Pada konsideran menimbang huruf a disebutkan: “bahwa agar pengadaan
barang/jasa pemerintah yang dibiayai  dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilak-
sanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan,
terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya
bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat, dipandang perlu
menyempurnakan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.”

Konsideran menimbang dari suatu peraturan perundang-undangan itu


sendiri merupakan salah satu pertimbangan yang sangat mendasar sifatnya,
bahkan lebih cenderung merupakan landasan filosofi, sosiologis, serta yuridis
dari kehadiran peraturan dimaksud.

2. Tujuan Pemberlakuan Keputusan Presiden


Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “Tujuan diberlakukannya Keputusan
Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau
seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara  efisien, efektif, terbuka dan
bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.”

3. Transparan sebagai salah satu Prinsip


Pasal 3 huruf d Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pen-
gadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan: “transparan, berarti semua

Edisi 2, Tahun II | 95
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat


teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon
penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang
berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya.”

4. Prinsip-Prinsip Prakualifikasi dan Pascakualifikasi


Pasal 14 ayat (3) Keputusan Presiden Nomo 80 Tahun 2003 tentang Pen-
gadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan:

“Panitia/pejabat pengadaan wajib melakukan pascakualifikasi untuk pele-


langan umum pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya secara adil,
transparan, dan mendorong terjadinya persaingan yang sehat dengan mengi-
kutsertakan sebanyak-banyaknya penyedia barang/jasa.”

5. Pakta Integritas
Dalam formulir pakta integritas yang terdapat dalam Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, terdapat
penyataan yang menyatakan:

“Dalam proses pengadaan ini, berjanji akan melaksanakan tugas secara


bersih, transparan, dan profesional dalam arti akan mengerahkan segala kemam-
puan dan sumber daya secara optimal untuk memberikan hasil kerja terbaik
mulai dari penyiapan penawaran, pelaksanaan, dan penyelesaian pekerjaan/
kegiatan ini.”

Berdasarkan pada uraian di atas menunjukkan bahwa transparansi memiliki


kedudukan yang sangat penting dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, di mana transparansi telah ditempat-
kan pada konsideran menimbang, tujuan pembelakuan, prinsip dalam pengadaan,
prinsip pelaksanaan serta dituangkan juga dalam Pakta Integritas.

Sebenarnya sebelum berlakunya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003


tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam Keputusan Presiden Nomor 18
Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Intansi Pemer-
intah, konsepsi transparan juga merupakan salah satu prinsip pengadaan barang/
jasa, di mana dalam Pasal 3 angka 3 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000

96 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

disebutkan: “Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pen-


gadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara
evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka
bagi peserta penyedia barang/jasa (peserta pelelangan, pemilihan langsung, dan
penunjukan langsung) yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya.”
Di samping itu terdapat juga prinsip lain, seperti efisien, efektif, bersaing, adil/
tidak diskriminatif, dan bertanggung jawab.4

C. PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH MELALUI SISTEM


E-PROCUREMENT
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui E-Procurement mulai diperkenal-
kan dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah. Hanya saja pengaturannya dalam Keppres tersebut masih sangat
sederhana dan memungkinkan terjadinya penafsiran dalam pelaksanaannya, di
mana dalam Lampiran I, Bab IV, huruf D Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003
menyebutkan:

“Dalam menyikapi era globalisasi, pelaksanaan pengadaan barang/jasa dapat


menggunakan sarana elektronik (internet, Electronic Data Interchange  dan e-mail).

Pelaksanaan e-procurement disesuaikan dengan kepentingan pengguna barang/


jasa dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuan e-Procurement adalah :


a.   Memudahkan sourcing, proses pengadaan, dan pembayaran;
b.   Komunikasi On-line antara Buyers dengan Vendors;
c.   Mengurangi biaya proses dan administrasi pengadaan;
d.   Menghemat biaya dan mempercepat proses.”

Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement adalah Pengadaan Barang/


Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi
elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.5 Pengadaan secara

4 Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2002, hal. 20-21.
5 Pasal 1 angka 37 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Edisi 2, Tahun II | 97
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

elektronik dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan


Barang/Jasa Pemerintah mendapat pengaturan secara tersendiri dalam Bab XIII
tentang Pengadaan Secara Elektronik.

Pengaturan pengadaan pada Bab XIII Peraturan Presiden dimaksud terdiri atas
beberapa bagian, yaitu Ketentuan Umum Pengadaan Secara Elektronik, E-Tendering,6
E-Purchasing,7 dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik.8 Adapun selengkapnya
pengaturan di dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum Pengadaan Secara Elektronik.
Ketentuan umum pengadaan secara elektronik dalam Peraturan Pre­siden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdiri
atas 3 (tiga) pasal, yaitu:
a. Kemungkinan Pengadaan secara Elektronik
Ketentuan Pasal 106 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan:
(1) Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara elektronik.
(2) Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik dilakukan dengan cara e-tendering
atau e-purchasing.
b. Tujuan Pengadaan secara Elektronik
Ketentuan Pasal 107 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyatakan:
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik bertujuan untuk:
a. meningkatkan transparansi dan akuntabilitas;
b. meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat;
c. memperbaiki tingkat efisiensi proses Pengadaan;
d. mendukung proses monitoring dan audit; dan
e. memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.

6 Pasal 1 angka 39 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “E-Tendering adalah tata cara
pemilihan Penyedia Barang/Jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua Penyedia
Barang/Jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan 1 (satu)
kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan.”
7 Pasal 1 angka 41 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “E-Purchasing adalah tata cara
pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog elektronik.”
8 Pasal 1 angka 38 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “Layanan Pengadaan Secara
Elektronik yang selanjutnya disebut LPSE adalah unit kerja K/L/D/I yang dibentuk untuk menyelenggarakan
sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik”

98 | Edisi 2, Tahun II
Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

c. Pengembangan Pengadaan Elektronik


Ketentuan Pasal 107 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan:
(1) LKPP mengembangkan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara
elektronik.
(2) LKPP menetapkan arsitektur sistem informasi yang mendukung penyeleng-
garaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik.
2. E-Tendering
Ketentuan yang terkait dengan E-Tendering terdapat dalam Pasal 109 Per-
aturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, dimana dinyatakan:
(1) Ruang lingkup e-tendering meliputi proses pengumuman Pengadaan Barang/
Jasa sampai dengan pengumuman pemenang.
(2) Para pihak yang terlibat dalam e-tendering sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah PPK, ULP/Pejabat Pengadaan dan Penyedia Barang/Jasa.
(3) E-tendering dilaksanakan dengan menggunakan sistem pengadaan secara elek-
tronik yang diselenggarakan oleh LPSE.
(4) Aplikasi e-tendering sekurang-kurangnya memenuhi unsur perlindungan Hak atas
Kekayaan Intelektual dan kerahasian dalam pertukaran dokumen, serta tersedianya
sistem keamanan dan penyimpanan dokumen elektronik yang menjamin doku-
men elektronik tersebut hanya dapat dibaca pada waktu yang telah ditentukan.
(5) Sistem e-tendering yang diselenggarakan oleh LPSE wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. mengacu pada standar yang meliputi interoperabilitas dan integrasi dengan
sistem Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik;
b. mengacu pada standar proses pengadaan secara elektronik; dan
c. tidak terikat pada lisensi tertentu (free license).
(6) ULP/Pejabat Pengadaan dapat menggunakan sistem Pengadaan Barang/Jasa
secara elektronik yang diselenggarakan oleh LPSE terdekat.
3. E-Purchasing
Ketentuan yang terkait dengan E-Purchasing terdapat dalam Pasal 110 Per-
aturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, di mana dinyatakan:

Edisi 2, Tahun II | 99
JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

(1) Dalam rangka E-Purchasing, sistem katalog elektronik (E-Catalogue)9 sekurang-


kurangnya memuat informasi teknis dan harga Barang/Jasa.
(2) Sistem katalog elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh LKPP.
(3) Dalam rangka pengelolaan sistem katalog elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), LKPP melaksanakan Kontrak Payung dengan Penyedia Barang/
Jasa untuk Barang/Jasa tertentu.
4. Layanan Pengadaan Secara Elektronik
Ketentuan yang terkait dengan Layanan Pengadaan Secara Elektronik ter-
dapat dalam Pasal 111 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dimana dinyatakan:
(1) Gubernur/Bupati/Walikota membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat
Pengadaan dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik.
(2) K/L/I dapat membentuk LPSE untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan
dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik.
(3) ULP/Pejabat Pengadaan pada Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN
yang tidak membentuk LPSE, dapat melaksanakan Pengadaan secara elektronik
dengan menjadi pengguna dari LPSE terdekat.
(4) Fungsi pelayanan LPSE paling kurang meliputi:
a. administrator sistem elektronik;
b. unit registrasi dan verifikasi pengguna; dan
c. unit layanan pengguna.
(5) LPSE wajib menyusun dan melaksanakan standar prosedur operasional serta
menandatangani kesepakatan tingkat pelayanan (Service Level Agreement) den-
gan LKPP.
(6) LKPP melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem
Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik.

Ketentuan pengadaan barang/jasa pemerintah berdasarkan pada beberapa


ketentuan di atas menunjukkan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah secara
elektronik mendapat pengaturan tersendiri dan lebih lengkap dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Hal
ini sangat berbeda dengan pengaturan sebelumnya dalam Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

9 Pasal 1 angka 40 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan: “Katalog elektronik atau E-
Catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang
tertentu dari berbagai Penyedia Barang/Jasa Pemerintah.”

100 | Edisi 2, Tahun II


Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

D. MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI E-PROCUREMENT


PADA PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerin-
tahan yang baik, bersih dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk
mewujudkan tata pemerintah yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas,
efektifitas dan efisiensi, supremasi hukum, dan partisipasi masyarakat yang dapat
menjamin kelancaran, keserasian, dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.10 Bahkan di negara-negara berkembang, tugas
utama birokrasi lebih dititikberatkan untuk memperlancar proses pembangunan.11

Tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep


yang akhir-akhir ini diperjuangkan secara reguler dalam ilmu politik dan adminis-
trasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan dengan konsep-konsep dan terminologi
demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, Hak Asasi Manusia, dan pemban-
gunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa warsa yang lalu, konsep
Good Governance ini lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik.12

Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang


baik. Sementara Word Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu peny-
elenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang
sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi
dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi
tumbuhnya aktivitas usaha.13 United Nation Development Program (UNDP) mem-
berikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, yaitu: Participation,
Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus orientation, Equity, Efficiency and
Effectiveness, Accountability, Strategic Vision.14

10 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Bidang Hukum
Administrasi Negara, Jakarta, BPHN Depkumham RI, 2008, hal.1
11 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2005, hal. 107
12 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 61.
13 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004, Hal. 24
14 Ibid.

Edisi 2, Tahun II | 101


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

BAPPENAS, melalui Tim Pengembangan Kebijakan Nasional menyatakan


bahwa “istilah tata kepemerintahan yang baik mulai banyak dikenal di tanah air
sejak tahun 1997, ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Tata kepemerintahan
yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintah yang
bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat
madani. Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan, tata
kepemerintahan yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur
pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha/swasta, dan masyarakat.15

Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, ada baiknya menelaah penjelasan


umum Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, dimana disebutkan: “Tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good
Governance and Clean Government) adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol
dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan
fungsinya melalui institusi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip Good
Governance and Clean Government, maka Pemerintah harus melaksanakan prinsip-
prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujud-
kannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independen),
serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait
(stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.16

Untuk mewujudkan Good Governance dan Clean Governance dalam pengadaan barang/
jasa pemerintah, sebenarnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebenarnya telah mengembangkan prinsip efisien,17 efektif,18

15 Salamoen Soeharyo, Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indo-
nesia, Jakarta, LAN-RI, 2006, hal.13
16 Paragraf Pertama Penjelasan Umum atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
17 Penjelasan atas Pasal 5 huruf a Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Efisien, berarti Pengadaan
Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas
dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai
hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum.”
18 Penjelasan atas Pasal 5 huruf b Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Efektif, berarti Pengadaan
Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya.”

102 | Edisi 2, Tahun II


Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

transparan,19 terbuka,20 bersaing,21 adil/tidak diskriminatif22 dan akuntable23 serta dan


menerapkan etika24 pengadaan barang/jasa pemerintah.

Prinsip-prinsip pada pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut sebenarnya


sangat sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam hubungannya dengan E-Procurement tentunya beberapa prinsip
good governance dapat dijalankan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dengan
sistem E-Procurement, di antaranya adalah:

19 Penjelasan atas Pasal 5 huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Transparan, berarti semua
ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas
oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.”
20 Penjelasan atas Pasal 5 huruf d Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Terbuka, berarti Pengadaan
Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu
berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.”
21 Penjelasan atas Pasal 5 huruf e Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Bersaing, berarti Pengadaan
Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/
Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara
kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan
Barang/Jasa.”
22 Penjelasan atas Pasal 5 huruf f Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: “Adil/tidak diskriminatif, be-
rarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk
member keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.”
23 Penjelasan atas Pasal 5 huruf g Peraturan Presiden Nomor 54 menyebutkan: Akuntabel, berarti harus sesuai
dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggung-
jawabkan.”
24 Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan:
“Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan terca-
painya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya
harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan
atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat
dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.

Edisi 2, Tahun II | 103


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Pertama Participation. Dengan penggunaan E-Tendering sebagai bagian dari


pelaksanaan E-Procurement, maka keterlibatan para pihak untuk terlibat dan men-
gambil peran serta semakin tinggi, sehingga benar-benar penyedia dasar yang
kualifikasi baik saja yang akan memenangkan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Semakin banyak para pihak yang terlibat tentunya proses pengawasan dapat berjalan
dengan baik.

Kedua Rule of Law. Meskipun Pasal 106 ayat (2) menyatakan bahwa Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah dapat dilakukan secara elektronik. Kata-kata “dapat” yang
terdapat dalam ketentuan tersebut merupakan kata-kata yang tidak mewajibkan
dan tidak melarang, tapi sebenarya belum memiliki kekuatan memaksa (imperative)
terhadap penggunaan E-Procurement. Sehingga memungkinkan para pihak untuk
menggunakan atau tidak menggunakan system tersebut. Hal ini bisa dipahami,
mungkin karena keterbatasan sumber daya (resources) yang dimiliki oleh pemerintah.
Akan tetapi dengan adanya pengaturan lebih baik berkaitan dengan E-Procurement
dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah tentunya telah memiliki dasar berpijak yang jelas. Hanya saja pelaksa-
naannya perlu lebih baik, sehingga tidak terjadi disparitas antara peraturan dengan
praktek.

Ketiga Transparency and Accountability. Salah satu tujuan pemberlakuan


pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik berdasarkan Pasal 107 huruf
a Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemer-
intah adalah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Transparansi itu
sendiri merupakan salah satu prinsip dari tata kelola kepemerintahan yang baik
(good governance). Akuntabilitas itu sendiri merupakan langkah yang ditempuh
pemerintah agar pelaksanaan kegiatan pemerintahan berdayaguna, berhasil guna,
bersih dan bertanggung jawab.

Keempat Efficiency and Effectiveness. E-Procurement tentunya sangat efisien


dan efektif dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Efisien dan Efektif dengan
E-Procurement dapat dirasakan baik oleh pemerintah selaku pengguna barang/jasa
maupun oleh pelaku usaha (individu/badan usaha) selaku penyedia barang/jasa.

104 | Edisi 2, Tahun II


Mewujudkan Good Governance Melalui E-Procurement
Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Kelima Strategic Vision. E-Procurement merupakan pengadaan barang/jasa


pemerintah yang dapat dikatakan memiliki wawasan kedepan, karena era tanpa
kertas (paperless) dimulai dan sesuai dengan perkembangan dunia tanpa batas
(borderless).25

Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tentunya barang/jasa yang di-


hasilkan tentunya barang/jasa yang berkualitas baik, sehingga pembiayaan yang
dipergunakan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Di samping itu dalam
proses pengadaan barang/jasa tentunya melibatkan para pihak baik individu, badan
usaha, dan pihak yang lain tentunya harus diperlakukan secara adil dan tidak dis-
kriminatif. Dengan demikian pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah tidak
akan mengecewakan, baik penyedia jasa maupun pengguna jasa, serta yang lebih
penting masyarakat dapat merasakan manfaat dari barang/jasa yang dibelajakan
pemerintah baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

E. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan pada bagian terdahulu, maka kesimpulan yang dapat
diambil bahwa pengadaan secara elektronik (E-procurement) pada pengadaan ba-
rang/jasa pemerintah dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good
governance). Karena prinsip-prinsip dan tujuan pemanfaatan E-Procurement sesuai
dan sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Namun,
disarankan juga pentingnya kaedah hukum yang sifatnya memaksa (imperative) un-
tuk pelaksanaan E-Procurement di masa mendatang, di samping dengan dukungan
sumber daya manusia dan teknologi yang memadai. Dengan cita-cita perubahan
untuk kebaikan dan kemajuan terus disuarakan dan dijalankan. Semoga kemak-
muran tidak hanya menjadi cita-cita, tetapi menjadi kenyataan bagi seluruh Bangsa
Indonesia.

***

25 Lihat dan bandingkan dengan Paragraf Pertama Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Sistem Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana disebutkan: “……
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia
menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara
signifikan berlangsung demikian cepat.

Edisi 2, Tahun II | 105


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasi-


onal (PPHN) Bidang Hukum Administrasi Negara, BPHN Depkumham RI,
Jakarta, 2008
Gunawan Widjaja, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara, Radja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2004
Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Salamoen Soeharyo, Nasri Effendy, Sistem Penyelenggaraan Pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, LAN-RI, Jakarta, 2006
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang


Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843).
________, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
________, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

106 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT DI KABUPATEN


SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH
oleh : Dwiyanto1

A. Pendahuluan
Seiring dengan arus globalisasi yang berbasis Teknologi Informasi dan Komu-
nikasi (TIK), maka implementasi e-Government merupakan suatu kebutuhan setiap
tingkatan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah sebagaimana diamanahkan
oleh Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Na-
sional Pengembangan e-Government. Adapun garis besar isi dari regulasi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Panduan pembangunan infrastruktur portal pemerintah
2. Panduan manajemen sistem dokumen elektronik
3. Panduan penyusunan rencana induk pengembangan e-Government lembaga
4. Panduan penyelenggaraan situs web pemerintah daerah
5. Panduan tentang pendidikan dan pelatihan SDM e-Government

Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tersebut


mendorong peran pemerintah untuk lebih transparan dalam menyelenggarakan
urusan negara serta memberikan peluang yang sangat luas kepada seluruh ma-
syarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sinergi
dengan ditetapkannya Instruksi Presiden tersebut pemerintah juga menetapkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada
prinsipnya memberikan amanah untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang
seluas-luasnya. Hal tersebut tentunya mendorong setiap daerah berupaya untuk
memajukan daerahnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia
di wilayahnya masing-masing.

1 Kepala Kantor Pengelola Data Elektronik Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah

Edisi 2, Tahun II | 107


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Otonomi Daerah juga memberikan kewenangan dan peluang yang sangat luas
bagi daerah untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan
daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain otonomi dae-
rah juga merupakan tantangan yang menuntut Pemerintah Daerah untuk selalu
mengembangkan inovasi, strategi, dan ide-ide baru untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi masyarakat, serta Pemerintah Daerah juga dituntut untuk dapat
mengantisipasi tantangan persaingan antar daerah maupun persaingan global yang
semakin meningkat.

Selain hal tersebut diatas Pemerintah Republik Indonesia juga menetapkan


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang menjamin setiap orang untuk melakukan transaksi melalui dunia maya ini
tanpa terkendala ruang, jarak dan waktu sehingga menuntut pemerintah juga men-
gakomodir kepentingan ini, diantaranya melalui pemanfaatan teknologi informasi
sebagai tools dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat serta sebagai upaya
untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, efisien dan demokratis sehingga
akan terwujud Good Governance. Berkaitan dengan hal tersebut sudah sewajarnya
kalau implementasi e-Government ini wajib dilakukan di semua lini lembaga pemer-
intahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

B. Sekilas tentang E-Goverment


Telah banyak jurnal, makalah seminar dan buku serta tulisan-tulisan dalam
bentuk lain yang membahas tentang e-Government yang secara garis besar dapat
penulis sampaikan bahwa e-Government adalah penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk memperlancar
penyelenggaraan pemerintahan secara internal maupun memberikan pelayanan
kepada masyarakat sehingga akan terwujud suatu penyelenggaraan pemerintahan
yang efektif, efisien dan transparan.

Pengertian tersebut di atas penulis ambil dari kesimpulan terhadap beberapa


definisi tentang e-Government yang disampaikan oleh beberapa lembaga interna-
sional. Salah satu definisi mengenai e-Goverment telah ditulis oleh Word Bank 2:

2 Diakses dari www.uneca.org/aisi/scanict/Framework_eGovCoreIndicators_Final.


pdf di akses pada tanggal 23 Juni 2012 jam 02:28

108 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

E-Government refers to the use by government agencies of information tech-


nologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) that
have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of
government. (e-Government merupakan suatu penggunaan teknologi informasi
oleh lembaga pemerintah (seperti Wide Area Networks, Internet, dan jaringan
komputer) yang digunakan untuk menjembatani hubungan antara pemer-
intah dengan masyarakat, dengan sektor swasta maupun dengan instansi
pemerintah lainnya.)

Sedangkan menurut United Nations Economic for Africa3 mendefinisikan e-Gov-


ernment secara ringkas.

E-government is about using the tools and systems made possible by


Information and Communication Technologies (ICTs) to provide better public
services to citizens and businesses. (e-Government adalah sebuah sistem dan
peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang digunakan oleh suatu
pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maupun
pelayanan dalam sektor swasta).

Secara sederhana konsep e-Government diperlihatkan pada Gambar berikut ini.

Sumber : E - Government Indonesia dalam http://www.goechi.com/egovernment.html

Dari gambar di atas terlihat bahwa konsep e-Government dengan model e-Business
yaitu: B to B (Business to Business), B to C (Business to Customer), C to C (Custumer to

3 Ibid

Edisi 2, Tahun II | 109


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Customer), dan C to B (Customer to Business). Karena banyak berhubungan dengan


administratif, maka model pelayanan pemerintah dengan menggunakan e-Government
merupakan suatu terobosan dimana meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan
seperti penggunaan kertas dan tinta serta menghemat waktu. Sehingga segala aspek
sumber daya dan pelayanan dapat di digitalisasi dari sistem manual ke otomatis.
Selain itu dengan e-Government mengurangi kebutuhan kedua belah pihak untuk
bertatap muka secara fisik karena semua sudah diwakili dengan berbagai produk
teknologi informasi yang canggih.

Kemudian dengan adanya implementasi e-Government seluruh birokrasi mem-


berikan pelayanan yang sama kepada pelanggan karena adanya standart aturan baku
yang harus dipatuhi oleh semua pihak terkait. e-Government akan memperlakukan
semua pelanggannya sebagai sebuah etnisitas yang unik, dalam arti masing-masing
memiliki kebutuhan yang spesifik sehingga pelayanan yang diberikan pun harus
dapat di-tailor-mode sesuai kebutuhan unik masing-masing pelanggan.

C. E-Government di Negara-negara lain


Beberapa negara maju dan negara berkembang hingga saat ini masih terus
melaksanakan pengembangan e-Government sesuai dengan karakteristik negara
masing-masing, di antaranya bertujuan untuk memberikan pelayanan di negara
tersebut. Seperti di Amerika4 yaitu pembangunan jaringan tenaga kerja nasional
yang membuat American Card Kit (ACK) yang dibuat oleh Departemen Tenaga
Kerja Amerika . ACK berbentuk seperti kartu untuk pekerja yang berisi semua data-
data dan kualifikasi dari pekerja yang bersangkutan dan sistem yang dibangun ini
berbasis pada website.

Di Afrika Selatan5, membangun e-Government dengan tiga pilar yaitu melaku-


kan proses efisiensi melalui e-Administrasi, e-Citizen untuk membangun hubun-
gan dengan masyarakat dan membangun hubungan dengan pihak luar melalui
e-Business. Dengan harapan memberikan keuntungan pada pemerintah Afrika

4 Indrajit, R, Eko, Akbar Zainudin, Dudy Rudianto, E- GOVERNMENT IN ACTION : Ragam


Kasus Implementasi Sukses di Berbagai Belahan Dunia, Yokyakarta : Andi Yogyakarta, 2005,hal
75
5 Ibid hal 251

110 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

Selatan. Sedangkan di daerah Toronto6 dikembangkan e-City yang merupakan


konsep bagaimana penataan pemerintahan dan layanan masyarakat di masa depan
berdasarkan manajemen sistem informasi terpadu pada semua departemen dan
pemerintahan kota. Memanfaatkan semua kemajuan teknologi yang ada untuk bisa
mengakses semua layanan pemerintah dan masyarakat mendapatkan kesempatan
yang sama dalam memperoleh layanan di mana pun ia berada selama 24 jam sehari
tanpa dibatasi waktu kerja.

Sedangkan di Singapura implementasi e-Government diwujudkan dalam tiga


program, yaitu penerapan e-Government yang ditujukan kepada warganya (G2C),
penerapan e-Government yang diperuntukkan bagi kalangan bisnis, (G2B) dan penera-
pan e-Government antar instansi pemerintah (G2G). 7

Secara garis besar tahapan e-Government yang diterapkan di beberapa negara


adalah menggunakan model empat tahapan yang meliputi 8:
1. Tahap pertama, yaitu komputerisasi antara lain berupa otomatisasi basis data
ke basis data yang dilakukan secara terpisah. .
2. Tahap kedua, yaitu online antara lain dengan membentuk jaringan online dari
komputer satu ke komputer lainnya dan pelayanan dilakukan secara online.
3. Tahap ketiga, yaitu tahap integrasi antara lain implementasi konvergensi dari
orang ke orang serta layanan dilakukan dengan metode one stop service.
4. Tahap Keempat, yaitu tahap Ubiquitous/Seamless, artinya komunikasi dilakukan
secara embedded dalam suatu perangkat elektronik dan pelayanan dilakukan
secara seamless/invisible.

D. E-Government di Indonesia
Berdasarkan penilaian e-Government Development Indeks (EGDI)9 yang di-
lakukan oleh PBB pada Tahun 2012 menempatkan Indonesia urutan ke 97 dari 193

6 Ibid hal 97
7 Diakses dari http://www.egov.gov.sg, pada tanggal 23 Juni 2012 Jam 06.57. WIB.
8 Akademi Esensi TIK untuk Pimpinan Pemerintahan, Modul 3 Penerapan e-Government, UN-
APCICT 2009 hal 24.
9 Diakses dari http://www.un.org/en/development/desa/publications/connecting-
governments-to-citizens.html, pada tanggal 23 Juni 2012 jam 07.08

Edisi 2, Tahun II | 111


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

negara, dalam skala Asean Indonesia menempati urutan ke 7 di bawah Singapura,


Malaysia, Brunai Darusalam, Vietnam, Philipina dan Thailand. Hal ini menunjuk-
kan bahwa e-Government di Indonesia masih dalam kondisi yang sangat perlu di-
perhatikan. Hal ini disebabkan antara lain bahwa Pemerintah Republik Indonesia
secara normatif baru memulai merintis e-Government pada tahun 2001 yaitu dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan
dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia disusul dengan Instruksi Presiden
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-
Government, walaupun dalam kenyataan di lapangan sudah ada beberapa lembaga
pemerintahan yang sudah melakukan tahapan implementasi e-Government sejak
awal, sebagai contoh di Kabupaten Sragen tahapan e-Government sudah mulai
dilakukan sejak tahun 2002.

Seiring dengan instruksi presiden tersebut dari waktu ke waktu semakin ban-
yak lembaga pemerintahan yang mengimplementasikan teknologi informasi dalam
proses penyelenggaraan tugasnya sebagai contoh Sistem Informasi Keimigrasian,
Sistem Informasi Kejaksaan, Sistem Informasi Haji, Sistem Informasi pemantauan
jalan raya secara online, pengembangan beberapa sistem informasi yang diperun-
tukkan bagi daerah oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi, pembangunan
database kependudukan yang dikoordinir oleh Direktorat Jenderal Administrasi
Kependudukan, Departemen Dalam Negeri. Dalam inisiatif tersebut, pemerintah
menetapkan penggunaan e-KTP yang menggunakan Nomor Induk Kependudukan
(NIK). Dengan NIK ini, akan dijamin bahwa, setiap penduduk hanya memiliki satu
dan hanya satu nomor KTP, selain hal tersebut dengan terwujudnya NIK ke depan
akan terwujud Single Indentitas Number yang akan dapat digunakan untuk berb-
agai kepentingan, misalnya untuk urusan keimigrasian, urusan kepolisian, urusan
penanganan kesehatan, urusan pengentasan kemiskinan dan masih banyak lagi.

Adapun wujud nyata dari aplikasi-aplikasi e-Government yang telah umum


dilaksanakan oleh lembaga pemerintah antara lain pembuatan situs web pemerin-
tah daerah. Situs web pemerintah daerah merupakan salah satu strategi di dalam
melaksanakan pengembangan e-Government secara sistematik melalui tahapan yang
realistik dan terukur. Situs web pemerintah daerah merupakan tingkat pertama dalam
pengembangan e-Government di Indonesia yang memiliki sasaran agar masyarakat

112 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

Indonesia dapat dengan mudah memperoleh akses kepada informasi dan layanan
pemerintah daerah, serta ikut berpartisipasi di dalam pengembangan demokrasi
di Indonesia dengan menggunakan media internet.

Secara garis besar acuan bagi pengembangan dan pemanfaatan TIK di ling-
kungan pemerintah di Indonesia mengacu kepada 5 (lima) dimensi10 , antara lain :
1. Dimensi Kebijakan
1. Merupakan landasan utama bagi pengembangan dan implementasi e-Gov-
ernment.
2. Evaluasi dimensi kebijakan dilakukan terhadap kebijakan dalam bentuk
nyata dari dokumen-dokumen resmi yang memiliki kekuatan legal.
3. Dokumen dokumen tersebut berisi antara lain penentuan dan penetapan dari:
arah/tujuan, program kerja, tata cara atau pengaturan bagi pengembangan
dan implementasi e-Government di lingkungan instansi peserta.
4. Bentuk dokumen dapat berupa surat keputusan, peraturan, pedoman atau
bentuk dokumen resmi lainnya.
5. Pengalokasian Pembiayaan yang cukup untuk melakukan pengembangan dan
implementasi TIK secara layak termasuk salah satu aspek yang dievaluasi
dalam dimensi kebijakan.
2. Dimensi Kelembagaan
Dimensi kelembagaan berkaitan erat dengan keberadaan organisasi yang ber-
wewenang dan bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pemanfaatan
TIK.
3. Dimensi Perencanaan
Dimensi perencanaan berkaitan dengan tata kelola atau manajemen pe­rencanaan
TIK yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan
4. Dimensi Infrastruktur
Dimensi infrastruktur berkaitan dengan sarana dan prasarana yang mendukung
pengembangan dan pemanfaatan TIK, antara lain keberadaan Data Center, sistem
jaringan komunikasi, hardware dan software dan fasilitas pendukung lainnya.
5. Dimensi Aplikasi
Dimensi aplikasi berkaitan dengan ketersediaan dan tingkat pemanfaatan piranti
lunak aplikasi yang mendukung layanan e-Government secara langsung (front
office) atau tidak langsung (backoffice).

10 www.pegi.layanan.go.id, diakses 23 Juni 2012 Pukul 04.15

Edisi 2, Tahun II | 113


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

1. E. Implementasi E-Government di Kabupaten Sragen


Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu Kabupaten
di Indonesia yang telah mengimplementasikan e-Government mulai tahun 2002,
yaitu dengan dibangunnya infrastruktur jaringan di kompleks Kantor Pemerintah
Daerah dan pada akhir tahun 2007 pembangunan infrastruktur jaringan tersebut
sudah merata ke seluruh pelosok desa/kelurahan serta pembangunan infrastruktur
tersebut diiringi dengan implementasi sistem informasi yang menunjang penyeleng-
garaan pemerintahan di Kabupaten Sragen.

Implementasi e-Government tersebut dapat dilakukan berkat komitmen dari


berbagai pihak akan arti pentingnya TIK, antara lain unsur pimpinan daerah dan
stakeholder terkait. Adapun implementasi tersebut dilaksanakan secara sinergi antara
lain melalui pembangunan jaringan, pembangunan aplikasi, rekruitmen Sumber
Daya Manusia (SDM) dan pelatihan bagi para pengguna di masing-masing Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sampai ke tingkat desa/kelurahan serta pengang-
garan untuk kepentingan TIK dimaksud.

Berkaitan dengan hal tersebut pada kesempatan ini penulis ingin menyampai-
kan mengenai implementasi e-Government yang ada di Kabupaten Sragen, dengan
harapan sekelumit pengalaman Kabupaten Sragen dalam mengimplementasikan e-
Government sampai ke level pemerintahan yang paling rendah yaitu desa/kelurahan
dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah lainnya
untuk mengembangkan maupun menyempurnakan implementasi e-Government.

Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai implementasi e-Government di Ka-


bupaten Sragen didasarkan kepada 5 (lima) dimensi, antara lain dimensi kebijakan,
dimensi kelembagaan, dimensi perencanaan, dimensi infrastruktur dan dimensi
aplikasi. Kelima dimensi tersebut dijadikan acuan dalam penulisan ini dengan
pertimbangan kelima dimensi tersebut merupakan indikator yang ditetapkan oleh
Kementrian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dalam pemeringkatan
e-Government di Indonesia (PeGI). Adapun secara rinci dapat penulis sampaikan
sebagai berikut :

114 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

1. Dimensi Kebijakan
Implementasi e-Government di Kabupaten Sragen berawal dari komitmen yang
sangat kuat dari seorang pimpinan daerah untuk menerapkan pemerintahan
yang berbasis elektronik. Komitmen ini terinspirasi dari pengalaman pribadi
Bupati Sragen pada waktu itu dan diteruskan oleh bupati berikutnya bahwa
pelaksanaan birokrasi yang semula terkenal lambat, berbelit belit tidak transparan
dan lain sebagainya, sebagaimana stigma umum birokrasi yang melekat di
mata masyarakat umum Indonesia bahwa birokrasi itu mempunyai sifat dilay-
ani masyarakat bukanlah birokrasi yang melayani masyarakat, maka stigma
tersebut diubah menuju birokrasi yang efektif, efisien dan transparan dengan
memanfaatkan teknologi informasi.
Selain komitmen yang sangat kuat dari pimpinan daerah yang didukung oleh
lembaga legislatif, Pemerintah Kabupaten Sragen juga memperhatikan acuan
normatif yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat maupun yang regulasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen, adapun regulasi yang menjadi
acuan tersebut antara lain :
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Ele-
ktronik.
• Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2003 tentang Tim Koordinasi Telema-
tika Indonesia.
• Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pen-
dayagunaan Telematika di Indonesia.
• Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan e-Government.
• Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor: 2/SK/MENEG/
KI/2002 tanggal 1 Maret 2002 tentang Pembentukan Organisasi Task Force
Pengembangan e-Government.
• Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor: 47A/KEP/M.
KOMINFO/12/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Teknis Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam menunjang e-Govenment.
• Peraturan Bupati Sragen Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pendayagunaan Teknologi
Informasi di kabupaten Sragen.
• Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi Kabupaten Sragen 2010-2014.

Edisi 2, Tahun II | 115


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

2. Dimensi Kelembagaan
Implementasi e-Government di Kabupaten Sragen dimulai pada tahun 2002,
secara kelembagaan bentuk organisasi pada saat itu berupa Bagian Penelitian
Pengembangan dan Data Elektronik (LDE) di bawah Sekretariat Daerah. Sesuai
perkembangan situasi serta adanya beban kerja yang semakin besar, maka pada
tahun 2008 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 15 Tahun 2008
tentang Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah, maka dibentuk Kantor
Pengelola Data Elektronik (KPDE) Kabupaten Sragen yang secara langsung
berkedudukan dan bertanggungjawab kepada Bupati Sragen.
Perubahan organisasi tersebut sebagai komitmen pemerintah Kabupaten Sragen
bahwa dengan pembentukan KPDE, maka proses implementasi e-Government
yang ada di Kabupaten Sragen bisa berjalan dengan lancar. Adapun secara garis
besar lembaga KPDE tersebut mempunyai tugas dan fungsi meliputi 3 (tiga) hal,
antara lain pertama yaitu mengelola jaringan komunikasi dan informasi yang
ada di Kabupaten Sragen, yang meliputi jaringan di SKPD sampai jaringan ke
semua desa/kelurahan termasuk juga instansi vertikal yang ada di kabupaten
Sragen. Dalam hal sewaktu-waktu ada kerusakan sistem jaringan, maka personil
yang ada di KPDE dapat segera melakukan perbaikan sehingga tidak tergantung
kepada vendor. Fungsi kedua yaitu melakukan pengembangan sistem informasi
baik sistem informasi yang digunakan untuk kepentingan intern pemerintah
(back office) maupun sistem informasi yang digunakan sebagai sarana untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat (front office). Pengalaman di lapangan
bahwa sistem informasi manajemen elektronik tidaklah statis artinya dalam
perjalanan waktu harus selalu diubah sesuai perkembangan kebutuhan, hal
ini tentunya dibutuhkan personil yang menangani khusus/programmer yang
setiap saat bisa membaiki mapun melakukan modifikasi terhadap suatu sistem
informasi. Adapun fungsi yang ketiga adalah untuk mengelola data elektronik
yang terintegrasi di data center milik Pemerintah Kabupaten Sragen, dengan
demikian interoperabilitas data antar SKPD tetap terwujud.

3. Dimensi Perencanaan
Rencana implementasi e-Government di Kabupaten Sragen berawal dari komit-
men Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam
melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik, hal
ini dimulai dengan mendatangkan para tenaga ahli di bidang Teknologi In-
formasi dan Komunikasi yang selanjutnya dilakukan brainstorming dengan
Bupati dan seluruh SKPD mengenai rencana penerapan e-Government. Sebagai
tindak lanjut dari brainstorming tersebut secara normatif berbagai rencana

116 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

tersebut dimasukkan dalam Renjana Pembangunan Jangka Menengah Daerah


(RPJMD) Tahun 2001-2006 maupun renstra untuk setiap tahunnya yang dalam
perjalanannya diikuti dengan penuangan dalam RPJMD 2006-2011 dan berlanjut
sampai saat ini sebagaimana dituangkan dalam RPJMD 2011-2016 yang dalam
pelaksanaannya dijabarkan dalam renstra tahunan maupun juga tertuang dalam
Master Plan TIK yang telah disusun. Selain dituangkan dalam RPJMD maupun
renstra setiap tahunnya, hal terpenting lainnya adalah direalisasikan dalam
pemenuhan anggaran untuk setiap tahunnya, baik anggaran yang dipergunakan
untuk pengembangan/pengelolaan jaringan, pengembangan/pengelolaan
sistem informasi maupun pendanaan yang dipergunakan untuk melakukan
peningkatan pengetahuan teknis terhadap SDM yang menangani TIK baik
SDM yang ada di KPDE maupun SDM yang ada di setiap SKPD maupun desa/
kelurahan.

4. Dimensi Infrastruktur
Jaringan komunikasi dan informasi yang ada di Kabupaten Sragen mulai dibangun pada
tahun 2002 yaitu dimulainya koneksi jaringan komputer dan integrasi sistem
pada kompleks perkantoran Sekretariat Daerah (Kantor Bupati, Sekretaris
Daerah, Asisten, Badan Pengelola Keuangan Daerah, Bappeda, Kesbangpolin-
mas dan Kantor Pelayanan Terpadu), yang terpusat di Kantor Pengelola Data
Elektronik. Selanjutnya tahun 2003-2004 dimulainya koneksi antar SKPD di luar
Sekretariat Daerah dan 8 (delapan) titik Kecamatan. Tahun 2005-2006 semua
SKPD dan 20 (dua puluh) kecamatan terkoneksi jaringan online. Kemudian ta-
hun 2007 dibangun Jaringan Desa yang meliputi 208 (dua ratus delapan) Desa/
Kelurahan se-Kabupaten Sragen. Adapun sampai saat ini terus dikembangkan
ke sekolah dan lembaga-lembaga non pemerintah lainnya, sehingga performa
Local Area Network (LAN) yang ada di Kabupaten Sragen semakin hari akan
semakin berfungsi dengan baik.
Selain hal tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen juga menyediakan
beberapa titik free hotspot di lokasi publik yang strategis seperti di Alun-alun
Sasono Langen Putro, GOR Diponegoro, Kompleks DPRD, Perpustakaan Dae-
rah, Pasar Kota, Pujamari, Technopark dan beberapa kecamatan yang strategis
yang diperuntukkan masyarakat sebagai wujud pelayanan pemerintah daerah
atas peran serta dan dukungan masyarakat terkait proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta mendorong peran aktif masyarakat dalam mengem-
bangkan TIK yang ada di Kabupaten Sragen. Adapun untuk akses internet telah
disediakan bandwidth yang dari tahun ketahun mengalami kenaikan, Pada Tahun
2012 alokasi bandiwith sebesar 14 Mbps.

Edisi 2, Tahun II | 117


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

5. Dimensi Aplikasi

Aplikasi yang dikembangkan di Kabupaten Sragen meliputi aplikasi yang


dipergunakan untuk keperluan internal pemerintah (Back office Management
Information System) dan untuk keperluan eksternal (Front Office Management
Information System).
a. Back Office Management Information System : sistem informasi/aplikasi ini
dibuat/dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk kepentin-
gan internal Pemerintah Daerah, misalnya untuk administrasi perkantoran,
kepegawaian, administrasi keuangan, administrasi pembangunan dan lain-
lain meliputi :
 Aplikasi Kantor Maya (Kantaya), yaitu suatu aplikasi yang digunakan oleh
semua SKPD sampai dengan ke tingkat Desa/Kelurahan termasuk juga instansi
vertikal untuk saling tukar menukar data dan informasi secara real time.
 Aplikasi Surat Maya (Surya), yaitu suatu aplikasi yang digunakan untuk urusan
surat menyurat antar SKPD termasuk juga antar SKPD dengan desa/kelurahan
dan instansi vertikal yang ada di Kabupaten Sragen. Aplikasi ini merupakan
aplikasi yang frekuensi penggunaannya paling tinggi, karena kebutuhan surat
menyurat antar SKPD dilakukan setiap saat.
 Aplikasi Disposisi Maya (Disbook), yaitu suatu aplikasi yang digunakan oleh
SKPD dalam menjalankan tugas secara online sesuai heirarki birokrasi, antara
lain meliputi disposisi, pesan, beranda, arsip, crew, dan lain-lain.
 Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah, yaitu suatu sistem informasi
manajemen keuangan daerah yang digunakan oleh semua SKPD dalam menge-
lola keuangan daerah secara terintegrasi, antara lain perencanaan, pengelolaan,
pencairan dan pelaporan keuangan di SKPD.
 Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian, yaitu suatu sistem informasi untuk
melakukan pengelolaan data-data pegawai di lingkungan Pemerintah Kabu-
paten Sragen. Sistem ini dikelola oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD), pada
prinsipnya semua database pegawai di Kabupaten Sragen sudah tersedia secara
online, sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pimpinan dapat disediakan dan
ditampilkan pada saat itu juga.
 Sistem Informasi Manajemen Penggajian, yaitu suatu sistem informasi untuk
melakukan pengolahan data penggajian pegawai di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Sragen.
 Sistem Informasi Manajemen Aset¸ yaitu suatu sistem informasi untuk melakukan
pengolahan data asset milik Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.

118 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

 Sstem Informasi Manajemen Perencanaan Pembangunan (Simrenbang), yaitu


suatu sistem informasi untuk melakukan perencanaan pembangunan daerah.
 Sistem Infirmasi Manajemen Monitoring dan Evaluasi (Simonev), yaitu suatu
sistem informasi untuk melakukan monitor dan evaluasi pelaksanaan APBD
di Kabupaten Sragen.
 PDPI, yaitu suatu aplikasi yang dipergunakan untuk mengetahui profil daerah
dan peluang investasi di Kabupaten Sragen.
 PDP3D, yaitu suatu aplikasi untuk mengetahui pusat data dan pengendalian
pembangunan daerah.
 Aplikasi-aplikasi lain yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan.
b. Front Office Management Information System: sistem informasi/aplikasi ini
dibuat/dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk kepent-
ingan eksternal, yaitu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
antara lain :
 Portal Web Sragen (www.sragenkab.go.id), Situs portal Pemerintah Kabupaten
Sragen yang berisi tentang berita-berita seputar Sragen, sejarah Sragen, visi
misi dan kebijakan serta program kerja dan renstra Pemkab Sragen, informasi
pariwisata, informasi perijinan, forum interaktif dengan warga, sebagai portal
penghubung ke situs-situs instansi di Kabupaten Sragen. Di situs ini terdapat
forum komunikasi interaktif dengan warga melalui email info@sragenkab.go.id.
Di forum tersebut, masyarakat bisa mengirim segala informasi, pendapat,
usulan, pertanyaan, keluhan dan lain-lain dan akan langsung ditanggapi oleh
petugas yang berwenang.
 Sistem Informasi Manajemen Perijinan, yaitu suatu sistem informasi untuk
melakukan pelayanan perijinan skala besar yang dilakukan oleh Badan Perijinan
Terpadu kepada masyarakat.
 Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (SIM-
PATEN), yaitu suatu sistem informasi untuk melakukan pelayanan perijinan
skala kecil yang dilakukan oleh semua kecamatan di Kabupaten Sragen kepada
masyarakat, sistem ini dilakukan terintergrasi dengan database yang ditempatkan
di Pemerintah Kabupaten Sragen.
 Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), yaitu suatu sistem in-
formasi untuk melakukan pengelolaan administrasi kependudukan, baik itu
pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) serta administrasi
kependudukan lainnya.

Edisi 2, Tahun II | 119


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

 Sistem Informasi Manajemen untuk mencetak KTP di Kelurahan/Desa, yaitu


suatu sistem informasi untuk melakukan pencetakan perpanjangan KTP, peng-
gantian KTP yang rusak atau hilang yang dalam pelaksanaan dilakukan oleh
Desa/Kelurahan yang ada di Kabupaten Sragen. Pelayanan sampai ke desa/
kelurahan ini dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat
pada tingkatan pemerintahan yang paling bawah.
 Sistem Informasi Manajemen Saraswati (Simsaraswati), yaitu sebuah sistem infor-
masi yang digunakan untuk menunjang pemberian pelayanan penanggulangan
kemiskinan yang ada di Kabupaten Sragen. Dalam istilah jawa Saraswati mem-
punyai makna “sarase wargo sukowati” yang artinya sehatnya warga masyarakat
di bumi sukowati. Sukowati merupakan nama lain dari Kabupaten Sragen.
 Geographic Information System, yaitu suatu sistem informasi geografi yang bisa
membantu pengambil kebijakan maupun masyarakat berbasis pada peta tematik.
 Sistem Jaringan Data Informasi Hukum (SJDI), yaitu sebuah sistem informasi
yang memuat data regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen,
baik berupa Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan regulasi
lainnya.
 Video.sragenkab.go.id, merupakan layanan video yang dipergunakan oleh Pemerin-
tah Kabupaten Sragen sebagai sarana informasi dan edukasi kepada masyarakat
di Kabupaten Sragen.
 Real Count, yaitu sebuah aplikasi yang digunakan untuk melakukan penghitungan
hasil suara sementara, baik terhadap hasil pemilu Legislatif, Pemilihan Presiden,
Pemilihan Gubernur maupun Pemilihan Bupati dan wakil Bupati.
 Layanan Internet Mobile, suatu layanan internet kepada masyarakat secara mobile
yang dilakukan di sekolah-sekolah dan tempat-tempat strategis lainnya.
 Layanan Pengadaan Secara Elekronik (LPSE), yaitu sistem pengadaan barang dan
jasa pemerintah dengan menggunakan sistem elektronik, hal ini diterapkan sebagai
upaya untuk mewujudkan akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektivitas
dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
 Sistem Informasi Pasar Daerah Sistem berbasis web ini mengelola data pasar secara
lengkap baik lokasi pasar, peta pasar, retribusi, jumlah los yang disewakan,
data penyewa los, dan lain-lain. Dengan adanya sistem ini pengelolaan data pasar
bisa lebih efektif dan efisien. PAD dari retribusi pasar juga bisa di ketahui secara
cepat.

Berkaitan dengan implementasi E-Government yang ada di kabupaten Sragen,


beberapa penghargaan yang diperoleh di antaranya :

120 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

1. Best Of The Best E-Government Award Se-Indonesia Tahun 2008.


2. Anugerah RISTEK dari Wakil Presiden RI Tahun 2010.
3. Penghargaan IOSA (Indonesia Open Service Award) dari Kemenkominfo, Ke-
menristek dan BPPT Tahun 2010.
4. Indonesia Information and Communication Technologies Award (INAICTA) dari
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Tahun 2011.
5. ICT Pura Utama dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
Tahun 2011.

F. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang penulis kemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
strategi penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui implementasi e-Government
dapat berjalan dengan lancar, dapat dilakukan melalui beberapa metode antara lain :
1. Perlunya strong e-leadership, yaitu komitmen yang kuat dari para pengambil
kebijakan baik itu Kepala Daerah maupun unsur DPRD dalam menyeleng-
garakan pemerintahan berbasis elektronik (e-Government).
2. Perlunya pemahaman bersama terhadap semua Satuan Kerja Perangkat Dae-
rah dan stakeholder terkait akan arti pentingnya teknologi informasi untuk
mendukung penyelenggaraan pemerintahan.
3. Perlunya dukungan masyarakat dalam penerapan pelayanan publik berbasis
elektronik (awareness society).
4. Tersedianya koneksi jaringan yang menghubungkan antar lembaga pemerintah
sampai ke level pemerintahan yang paling bawah yaitu desa/kelurahan dan juga
tersedianya fasilitas komunikasi untuk masyarakat (free hotspot, mobile internet,
dan lain-lain) termasuk di dalamnya fasilitas data center yang memadahi.
5. Tersedianya aplikasi e-Government, baik aplikasi yang digunakan untuk kepent-
ingan internal pemerintah (back office) maupun aplikasi yang diperuntukkan
untuk kepentingan pelayanan publik (front office).
6. Tersedia Sumber Daya Manusia yang mampu untuk mengelola e-Government,
baik kemampuan tata kelola TIK maupun kemampuan teknis
7. Tersedianya Master Plan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) berkaitan
dengan implementasi e-Government.

Edisi 2, Tahun II | 121


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

DAFTAR PUSTAKA

Indrajit, R, Eko, Akbar Zainudin, Dudy Rudianto, E- GOVERNMENT IN ACTION


: Ragam Kasus Implementasi Sukses di Berbagai Belahan Dunia, Yokyakarta
: Andi Yogyakarta.
Akademi Esensi TIK untuk Pimpinan Pemerintahan, Modul 3 Penerapan e-Gov-
ernment, UN-APCICT 2009.
http://www.uneca.org/aisi/scanict/Framework_eGovCoreIndicators_Final.pdf
http://www.egov.gov.sg
http://www.un.org/en/development/desa/publications/connecting-governments-
to-citizens.html
http://www.pegi.layanan.go.id
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2003 tentang Tim Koordinasi Telematika
Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendaya-
gunaan Telematika di Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-Government.
Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor 5/SK/MENEG/
KI/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Menteri Negara Komu-
nikasi dan Informasi.
Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor 2/SK/MENEG/
KI/2002 tanggal 1 Maret 2002 tentang Pembentukan Organisasi Task Force
Pengembangan e-Government.
Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Nomor :47A/KEP/M.
KOMINFO/12/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Teknis Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam menunjang e-Government.

122 | Edisi 2, Tahun II


Implementasi E-Government Di Kabupaten Sragen
Provinsi Jawa Tengah

Peraturan Bupati Sragen Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pendayagunaan Teknologi


Informasi dan Komunikasi di Kabupaten Sragen.
Rencana Induk Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kabupaten
Sragen Tahun 2010 - 2014

Edisi 2, Tahun II | 123


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya Menciptakan


Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani
Oleh : Sudjana
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk menentukan kendala dalam permohonan dan proses
penerbitan serta penggunaan izin usaha serta merumuskan pembenahan kinerja
melalui penyederhanaan perizinan usaha dalam upaya menciptakan birokrasi yang
bersih, kompeten, dan melayani.

Metode pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif, spesifikasi pene-


litian adalah deskriptif analisis, teknik pengumpulan data melalui studi dokumen,
tahap penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan dan observasi, dan analisis
data dilakukan secara normatif kualitatif.

Hasil kajian menunjukkan, pada dasarnya kendala dalam perizinan usaha


dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) hal yaitu kendala dalam permohonan dan
proses penerbitan izin usaha dan kendala dalam penggunaan izin usaha. Selanjutnya,
pembenahan melalui penyederhanaan perizinan usaha sebagai upaya menciptakan
birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani meliputi pembenahan birokrasi dan
kelembagaan perizinan, penyediaan sarana dan prasarana, dan partisipasi warga
masyarakat sebagai pemohon izin usaha.

Kata Kunci: Penyederhanaan, Perizinan usaha, Birokrasi.

A. LATAR BELAKANG
Dalam perspektif hukum, penyelenggaaan perizinan berbasis pada teori negara
hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan antara
konsep Negara hukum (rechtsstaat) dan konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai

124 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan (supremasi


hukum). 1

Negara kesejahteraan mempunyai tugas untuk mencapai tujuan nasional


melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang
menyebutkan bahwa arah kebijakan dan strategi nasional bidang pembangunan
aparatur dilakukan melalui Reformasi Birokrasi untuk meningkatkan profesional-
isme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.  Desain
kebijakan dan strategi nasional tersebut dituangkan secara rinci dalam Grand Design
Reformasi Birokrasi sebagai arah kebijakan pelaksanaan Reformasi Birokrasi na-
sional, sehingga  arah kebijakan dalam Grand Design pada dasarnya adalah tindak
lanjut kebijakan dan strategi nasional pembangunan aparatur untuk mendukung
keberhasilan pembangunan nasional dalam menciptakan Indonesia yang mandiri,
maju, adil dan makmur.  Namun, mengingat besarnya cakupan Grand Design ini
maka dilakukan periodisasi tahapan (sasaran lima tahunan), sesuai periode RPJPN, 
dalam bentuk Road Map Lima Tahunan.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan


penjabaran kebijakan dan strategi RPJPN dalam periodisasi Lima Tahunan dan
memuat berbagai arah kebijakan pembangunan yang salah satunya adalah kebijakan
pembangunan di bidang hukum dan aparatur.  Kebijakan tersebut diarahkan pada
perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pemantapan pelaksanaan
Reformasi Birokrasi.  Arah kebijakan ini dan Grand Design menjadi dasar pengem-
bangan Road Map untuk mewujudkan aparatur negara yang melayani, profesional,
efektif, efisien dan akuntabel dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk


memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik; mem-
bangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyeleng-
gara pelayanan publik; mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan
penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam peny-
elenggaraan pelayanan publik; meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan
pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang

1 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,hlm 1

Edisi 2, Tahun II | 125


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk
dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.2

Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi


yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai kehidupan ber-
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketida-
ksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta
berdampak pada masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan
baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang
dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, trans-
portasi, investasi, dan perdagangan3.

Reformasi Birokrasi merupakan sebuah proses perubahan besar secara siste-


matis, terencana, secara terus menerus dengan melibatkan semua elemen bangsa.
Perubahan tersebut merupakan proses yang melelahkan, memerlukan banyak
pengorbanan dan waktu yang lama. Reformasi Birokrasi harus berhasil, sehingga
harus dikelola dengan baik, kalau tidak ingin mengalami kegagalan yang hanya
akan menambah buruknya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.4

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah proses
penyusunan rencana perubahan, yang di dalamnya menyangkut rencana aksi, strategi
perubahan, dan strategi komunikasi. Rencana perubahan akan membawa seluruh
proses perubahan berjalan dengan secara hati-hati, bertahap. Konsisten dan melalui
upaya perbaikan yang secara terus menerus untuk menciptakan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada
masyarakat, serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.5

Sasaran penciptaan birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas


tinggi pada tahun 2025 menjadi tanggung jawab semua instansi pemerintah, baik
pusat maupun daerah, sehingga Reformasi Birokrasi juga harus dilaksanakan pada

2 Selengkapnya, lihat Bagian menimbang UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik


3 Penjelasan Umum  Atas UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
4 Proposal Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2012, hlm 1
5 Ibid

126 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

Pemerintah Daerah, bukan hanya Kementerian/Lembaga. Namun mengingat be-


sarnya jumlah instansi pemerintah yang harus melakukan Reformasi Birokrasi, maka
pelaksanaanya dilakukan secara bertahap. Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negaraa dan Reformasi Birokrasi (Permen PANRB) Nomor 20 Tahun
2010 disebutkan bahwa mengingat keterbatasan kemampuan keuangan negara
dilakukan prioritas Kementrian/Lembaga berdasarkan kepentingan strategis bagi
negara dan manfaat bagi masyarakat. Sementara untuk pemerintah daerah, prioritas
diberikan kepada Pemerintah Daerah yang memiliki kesiapan untuk melaksanakan
Reformasi Birokrasi.

Keputusan pemerintah yang berupa izin usaha pada dasarnya memberikan suatu
kebolehan dari suatu perbuatan atau tindakan, sehingga tindakan atau perbuatan
tersebut mendapat landasan pembenaran (hukum) yang dapat menjamin adanya
kepastian hukum atau kepastian hak. Namun dalam kenyataan, tidak mudah untuk
mendapatkan izin usaha dari suatu instansi karena timbulnya kendala-kendala
yang menjadi faktor penghambat penyelesaian izin usaha tersebut sehingga men-
gakibatkan jangka waktu lama dan biaya mahal untuk penyelesaian izin usaha,
serta berpotensi terjadinya korupsi dan inefisiensi.

Untuk menangani kendala tersebut, pemerintah telah melakukan kebijakan


melalui penyederhanaan perizinan, sebagai salah satu usaha dalam melakukan
Reformasi Birokrasi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Permen PANRB Nomor 20 Tahun
2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.  Secara teknis kedua kebijakan
tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam PERMENPAN
dan Reformasi Birokrasi Nomor 7 s.d 15 Tahun 2011.

Keberhasilan pelaksanaan Reformasi Birokrasi tidak hanya ditentukan oleh


Komisi P…. Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) beserta jajarannya (Tim Re-
formasi Birokrasi Nasional, TRBN; Tim Independen, TI; Tim Quality Assurance,
TQA; dan Unit Pe….. Reformasi Birokrasi Nasional, UPRBN) tetapi juga seluruh
kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.  Keberadaan KPRBN dan jajarannya
adalah meningkatkan efektivitas pelaksanaan Reformasi Birokrasi nasional melalui
pembuatan serangkaian kebijakan/pedoman dan kegiatan fasilitasi. Namun yang
paling berperan untuk berhasil tidaknya Reformasi Birokrasi adalah komitmen dan

Edisi 2, Tahun II | 127


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

upaya masing-masing Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah6. Demikian pula


halnya dengan tunjangan kinerja, tunjangan kinerja ditetapkan ketika organisasi
sudah siap dan terarah dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi serta melakukan
optimalisasi anggaran sebagai sumber pendanaannya (tidak sepenuhnya meng-
gandalkan penambahan anggaran dari APBN). Keputusan pemberian tunjangan
kinerja sepenuhnya di bawah kewenangan KPRBN setelah memperoleh pertim-
bangan dari Menteri Keuangan7.

Semua instansi pemerintah, Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah me-


miliki tanggung jawab yang sama dalam pencapaian sasaran dan indikator keber-
hasilan Reformasi Birokrasi.  Oleh karena itu Kementerian/Lembaga/Pemda harus
mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010–2025 dan melakukan langkah-langkah Reformasi Birokrasi
sebagaimana digariskan dalam Permen PANRB Nomor 20 Tahun 2010, sesuai
dengan karateristik Kementrian/ Lembaga/Pemda, dalam rangka mewujudkan
sasaran reformasi birokrasi secara nasional.

Lingkup Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 adalah penguatan birokrasi


pemerintah dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya
kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi. Hal ini didasarkan atas kinerja pelayanan publik
dari aparatur pemerintah yang belum maksimal, terutama berkaitan dengan tiga
masalah utama, yaitu rendahnya kualitas pelayanan publik, birokrasi yang panjang,
dan rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat (social control)8 dan kurang
berperannya Ombudsman9. Namun, kendala dalam perizinan usaha, nampaknya

6 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


Nomor 20 Tahun 2010.
7 Ibid
8 Selengkapnya lihat Adrian Sutedi, op.cit, hlm 24.
9 Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyeleng- garaan pelayanan
publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan
oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta,
maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah. Lihat Pasal 1 Angka 13 UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

128 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

bukan hanya masalah kinerja pelayanan publik dari aparatur pemerintah saja,
tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor yang erat dengan permohonan dan
proses penerbitan serta penggunaan izin usaha. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pembenahan kinerja melalui penyederhanaan izin usaha dalam upaya menciptakan
birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalahnya adalah:


1. Apa saja kendala dalam permohonan dan proses penerbitan serta peng-
gunaan izin usaha?
2. Bagaimana pembenahan kinerja melalui penyederhanaan perizinan usaha
dalam upaya menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani?

B. METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif yaitu pendekatan
yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU Nomor
25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010
Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Permen PANRB Nomor
20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Spesifikasi pene-
litian adalah deskriptif analisis yaitu menjelaskan tentang hubungan variable das
solen (upaya menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani) dengan
das sein (penyederhanaan perizinan usaha) kemudian dianalisis dengan menggu-
nakan prinsip-prinsip hukum. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen
yaitu penelusuran dokumentasi hukum atau sumber hukum formal dan observasi
(pengamatan). Tahap penelitian dilakukan dengan menganalisi studi kepustakaan
yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu perundang-undangan terkait dengan
permasalahan. Selanjutnya, bahan hukum sekunder melalui telaahan pendapat para
ahli tentang hukum, dan bahan hukum tersier yaitu kamus atau ensiklopedia dan
sumber lainnya, seperti internet. Analisis data dilakukan secara normatif kualita-
tif yaitu analisis terhadap norma hukum yang menjadi obyek pembahasan, tidak
menggunakan perhitungan atau rumus statistik.

Edisi 2, Tahun II | 129


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

C. KAJIAN TEORI
Indonesia sebagai negara kesejahteraan tidak hanya untuk menegakan ket-
ertiban saja, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat guna mencapai
tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Alinea-4 Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan tujuan tersebut, negara berperan aktif untuk melayani kepentingan
umum atau kepentingan seluruh rakyat melalui pemberian pelayanan publik ber-
dasarkan prosedur tertentu yang harus dilalui atau birokrasi.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenu-
han kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.10 Sedangkan kata “birokrasi”
dapat diartikan mengandung pengertian: (a) Sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan;
(b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dan
sebagainya) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.11 Bintoro Tjokroamidjojo
mengatakan bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara
rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi diitegrasikan ke dalam ke-
seluruhan struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi disusun sebagai hirarki
otoritas yang terelaborasi dan mengutamakan pembagian kerja secara terperinci
dalam sistem administrasi, khususnya oleh aparatur pemerintah12.

Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) adalah bentuk operasionalisasi Grand


Design Reformasi Birokrasi (GDRB) yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima)
tahun sekali dan merupakan rencana rinci pelaksanaan reformasi birokrasi dari satu
tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang
jelas. Sasaran tahun pertama akan menjadi dasar bagi sasaran tahun berikutnya, be-
gitupun sasaran tahun-tahun berikutnya mengacu pada sasaran tahun sebelumnya13.

10 Pasal 1 Angka 1 UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik


11 Sumber:http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2024105-pengertian
birokrasi/#ixzz1y8PDb6nV, diakses pada hari Senin, tanggal 18 Juni 2012, Jam 16.05
12 Ibid
13 PERMENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010.

130 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ditetapkan dengan Peraturan


Presiden, sedangkan Road Map Reformasi Birokrasi untuk periode 2010–2014 lebih
bersifat living document, ditetapkan dengan Peraturan Menteri PAN dan Reformasi
Birokrasi14. Hal ini berarti Road Map Reformasi Birokrasi merupakan implementasi
dari Grand Design Reformasi Birokrasi yang disusun sesuai dengan hasil pelaksanaan
RPJMN dan RMRB periode sebelumnya, serta dinamika perubahan penyelenggaraan
pemerintahan. Namun demikian, perubahan penyelenggaraan pemerintah tetap
tidak boleh menyimpang dari sistem pemerintahan yang baik (good governance).
Istilah good governance, arti good dalam istilah ini mengandung dua pengertian:
pertama nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan
(nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua,
aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksa-
naan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan governance berasal dari
kata governing atau pemerintahan merupakan proses interaksi antara berbagai aktor
dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat.
Oleh sebab itu, pola penyelenggaraan pemerintah dalam masyarakat dewasa ini
pada intinya merupakan proses koordinasi, pengendalian, dan penyeimbangan
setiap hubungan interaksi tersebut. Dengan demikian, kepemerintahan yang baik
dapat melakukkan proses koordinasi, pengendalian, dan penyeimbangan antara
pemerintah dengan rakyat. Pemerintah dapat menjunjung tinggi nilai keinginan
atau kehendak rakyat, meningkatkan kemampuan rakyat mencapai kemandirian,
melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan menjunjung tinggi keadilan di
dalam lingkungan masyarakat15.
Adapun prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik ada sepuluh16
1. Partisipasi, yaitu setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, harus
mempunyai hak suara yang sama dalam proses pemilihan umum dengan kebebasan
berpendapat secara konstruktif.
2. Penegakan Hukum, yaitu kerangka yang dimiliki haruslah berkeadilan dan dipatuhi.

14 Ibid
15 http://congkring.blogspot.com/2008/01/sistem-pemerintahan-yang-baik.html, di akses
pada hari Sabtu, tanggal 16 Juni 2012 Jam 6. 15.
16 Ibid

Edisi 2, Tahun II | 131


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

3. Transparan, yaitu bahwa transparansi pemerintahan harus dibangun dalam kebebasan


aliran informasi yang ingin dimiliki oleh mereka yang membutuhkan.
4. Daya Tanggap, yaitu bahwa setiap lembaga dan prosesnya harus diarahkan pada
upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (masyarakat).
5. Berorientasi Konsensus, yaitu bahwa pemerintahan yang baik adalah yang dapat
menjadi penengah bagi berbagai perbedaan dan memberikan suatu penyelesaian.
6. Berkeadilan, yaitu memberikan kesempatan upaya untuk meningkatkan kualitas
hidup seorang dengan adil tidak melihat dari laki-laki atau perempuan.
7. Efektivitas dan Efisiensi, yaitu bahwa setiap proses kegiatan dan kelembagaan
diarahkan untuk menghasilkan suatu yang benar-benar dibutuhkan.
8. Akuntabilitas, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam pemerintahan dapat
memiliki pertanggungjawaban kepada publik.
9. Bervisi Strategis, yaitu bahwa para pimpinan dan masyarakat memiliki pandangan
yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan pembangunan manusia.
10. Kesalingterikatan, yaitu bahwa keseluruhan ciri pemerintah mempunyai kesaling-
terikatan yang saling memperkuat dan tidak bisa saling berdiri sendiri.

Pemerintahan yang baik erat kaitannya dengan pelayanan publik yang ruang
lingkup meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan admi-
nistratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan berasaskan:17

a. kepentingan umum; h. keterbukaan;


b. kepastian hukum; i. akuntabilitas;
c. kesamaan hak; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi
d. keseimbangan hak dan kewajiban; kelompok rentan;
e. keprofesionalan; k. ketepatan waktu; dan
f. partisipatif; l. kecepatan, kemudahan, dan
g. persamaan perlakuan/tidak keterjangkauan.
diskriminatif;

UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional


menetapkan bahwa proses penyusunan RPJP harus dilaksanakan 1 (satu) tahun
sebelum berakhirnya RPJP sedang berjalan. Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB)
bertujuan untuk memberikan arah pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian/
lembaga dan pemerintah daerah (pemda) agar berjalan secara efektif, efisien, terukur,
konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan18.

17 Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik


18 PERMENPAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010, loc.cit

132 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

Ruang lingkup RMRB 2010-2014 mencakup tiga hal berikut:19 a. Penguatan


Birokrasi Pemerintah, terwujudnya penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik
kepada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
b. Tingkat Pelaksanaan, ada dua tingkat pelaksanaan, yaitu tingkat nasional dan
tingkat instansional.

Pada tingkat nasional, pelaksanaan reformasi birokrasi dibagi ke dalam tingkat


pelaksanaan makro dan meso. Tingkat pelaksana makro menyangkut penyempurnaan
regulasi nasional dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi. Sementara tingkat
pelaksanaan meso, menjalankan fungsi manajerial, yaitu mendorong kebijakan-
kebijakan inovatif, menerjemahkan kebijakan makro, dan mengkoordinasikan
(mendorong dan mengawal) pelaksanaan reformasi birokrasi di tingkat Kementrian/
Lembaga dan Pemda. Pada tingkat instansional (disebut tingkat pelaksanaan mikro)
menyangkut implementasi kebijakan/program reformasi birokrasi sebagaimana
digariskan secara nasional dan menjadi bagian dari upaya percepatan reformasi
birokrasi pada masing-masing Kementrian/Lembaga dan Pemda; c. Program ber-
orientasi hasil (outcomes oriented programs), baik pada tingkat makro, meso, maupun
tingkat mikro.

Program untuk Tingkat Makro Program untuk Tingkat Meso Program untuk Tingkat Mikro
1) Penataan Organisasi 1) Manajemen Perubahan 1) Manajemen Perubahan
2) Penataan Tatalaksana 2) Konsultasi dan Asistensi 2) Penataan Peraturan
3) Penataan Sistem 3) Monitoring, Evaluasi Perundang-undangan
Manajemen SDM Aparatur dan Pelaporan 3) Penataan dan
4) Penguatan Pengawasan 4) Knowledge Management Penguatan Organisasi
5) Penguatan Akuntabilitas 4) Penataan Tatalaksana
Kinerja 5) Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
6) Peningkatan Kualitas 6) Penguatan Pengawasan
Pelayanan Publik 7) Penguatan Akuntabilitas Kinerja
8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
9) Monitoring, Evaluasi
dan Pelaporan

Sumber : Permen PANRB Nomor 20 Tahun 2010.

19 Ibid

Edisi 2, Tahun II | 133


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Hal yang berkaitan lingkup Ruang lingkup RMRB 2010-2014, terutama Program
untuk Tingkat Makro (butir 6) dan Mikro (butir 8) mengenai penguatan birokrasi
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain melalui
penyederhanaan izin usaha yang diberikan oleh instansi terkait dengan permohonan
yang diajukan oleh masyarakat20.

Perizinan merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari pengaturan yang-


bersifat pengendalaian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegaiatan
yang dilakukan oleh masyarakat, dan izin untuk melakukan suatu tindakan atau
kegiatan usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi peru-
sahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan
atau usaha. Dengan memberikan izin, penguasa memperkenankan orang yang
dalam memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, ini menyang-
kut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan
pengawasan khusus atasnya.21 Izin(vegunning ) adalah keputusan administrasi
negara berupa peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan tapi masih
juga memperkenankan asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-
masing hal yang kongkrit22.

Adapun bentuk-bentuk lain perizinan itu adalah :


1) Dispensasi adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu
perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu23.
2) Lisensi, yaitu izin untuk melakukan sesuatu yang bersifat komersial serta men-
datangkan keuntungan atau laba24.

20 Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warganegara maupun penduduk sebagai orang-
perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima
manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lihat Pasal 1
Angka (6) UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
21 Mr. J. B. J.M Ten Berge disuting oleh Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan,
Cetakan I, Surabaya : Penerbit Yuridika, 1993, hlm. 2
22 WE.Prins dan R.Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara , Jakarta
: Pradnya Paramita,1983, hlm 71.
23 Van der Pot dalam Utrecht dan Moch Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, cetakan ke delapan, Jakarta : Penerbit Balai Buku Ichtiar, 1985, hlm 143
24 S Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hlm 94

134 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

3) Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau


peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan perundangan (izin dalam arti sempit).25
4) Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar yang
melibatkan kepentingan umum, sehingga sebenarnya pekerjaan itu merupakan
tugas pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya
kepada konsesionaris (pemegang izin) yang bukan pejabat pemerintah.26

Pemberian izin oleh pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah propinsi
dan kabupaten/kota kepada masyarakat berarti memberikan serta memperkenan-
kan pemohon untuk melakukan tindakan tertentu, sehingga melalui pemberian
izin tersebut diharapkan tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai. Motif-motif
untuk menggunakan sistem izin dapat berupa keinginan untuk mengarahkan
atau mengendalikan aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh masyara-
kat. Sebagai contoh warga masyarakat yang akan mengajukan izin usaha perlu
memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah.
Di pihak lain pemerintah daerah juga mempunyai kebijakan untuk mengarahkan
aktivitas usaha tersebut sesuai dengan rencana pemerintah yang telah ditetapkan.
Dengan demikian aktivitas masyarakat diarahkan atau dikendalikan melalui sistem
perizinan agar sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam mencapai tujuan yang
telah direncanakan.

Tujuan perizinan tersebut dapat ditinjau melalui 2 sisi yaitu :27


1) Dilihat dari sisi pemerintah sebagai pemberi izin, untuk melaksanakan peraturan,
apakah telah sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan perizinan yang diberikan
secara tidak langsung telah menjadi sumber pendapatan terhadap daerah.
2) Di lihat dari sisi pemohon, perizinan untuk adanya kepastian hukum, dapat
terhindar dari hal-hal yang nantinya akan menimbulkan masalah di kemudian
hari, dan merupakan fasilitas bagi masyarakat.

25 N.M Spelt dan J.B.J Ten Berge, disunting oleh Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum
Perizinan, Surabaya : Penerbit Yuridika, 1993, hlm 2-3
26 Ateng Syafrudin”Perizinan untuk berbagai kegiatan”, Makalah tidak dipublikasikan,
hlm 1
27 http://www.scribd.com/doc/58547868/Hukum-Perijinan, diakses pada hari Sabtu,
tanggal 16 Jam 14.35

Edisi 2, Tahun II | 135


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Urgensi perizinan berkaitan dengan perbuatan tertentu sebagai landasan


hukum (setelah diberikan izin), instrumen untuk menjamin kepastian hukum (izin
pada umumnya memuat identitas, hak, perbuatan yang dapat dilakukan,waktu,
lokasi,volume maupun hal-hal deskriptif lain), instrumen untuk melindungi kepent-
ingan (kewajiban yang harus dipenuhi untuk kepentingan pemohon, pemerintah
dan pihak lain), dan sebagai alat bukti (pemegangnya mendapat hak atau kebolehan
untuk melakukan suatu tindakan).28

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Kendala dalam Perizinan Usaha
Pada dasarnya kendala dalam perizinan usaha dikategorikan ke dalam 2
(dua) hal:29

a. Kendala dalam permohonan dan proses penerbitan izin


usaha
1) Pengurusan izin dan sarana pendukung
Permasalahan umum yang sering terjadi pada saat permohonan
dan proses penerbitan izin usaha adalah lamanya waktu penyelesaian,
bahkan sering pemohon izin usaha merasakan bahwa pengurusan izin
tersebut berbelit-belit. Padahal pemerintah di sebagian daerah telah
mengusahakan Unit Pelayanan Perizinan Terpusat (UPPT), Unit Pelay-
anan Terpadu Satu Atap (UPTSA), Unit Terpadu Satu Atap (UPSA), Unit
Pelayanan Terpadu Perizinan Satu Atap (UPTPSA) dan Unit Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (UPTSP). Namun ternyata pembentukan unit-unit
tidak dapat menyelesaian masalah pengurusan izin yang lama dan berbelit-
belit. Beberapa faktor penyebab hal itu adalah (1) sistem perizinan, yaitu
pertama, pengurusan perizinan melalui UPTPSA/UPTSA memang dapat
memudahkan dalam pengajuan permohonan izin usaha karena hanya
memerlukan satu tempat. UPTPSA/UPTSA menerima berkas permo-
honan izin usaha sedangkan pemrosesannya dilakukan oleh instansi

28 Y Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta : Grasindo, 2009, hlm
22-24
29 Bandingkan dengan Y Sri Pudyatmoko, idem, hlm 139-166.

136 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

teknis. Apabila terdapat kekurangan persyaratan untuk memperoleh izin


usaha, maka pemohon izin harus menghubungi instansi teknis. Dengan
demikian, adanya UPTPSA/UPTSA yang diharapkan memudahkan pen-
gurusan izin usaha justru menjadi lebih lama dan berbelit-belit. Kedua,
sistem perizinan yang bertahap dalam arti untuk mendapatkan sebuah
izin usaha tertentu mensyaratkan izin yang lain dan sebaliknya. hal ini
dipersulit dengan penanganan izin yang diberikan oleh instansi yang
berbeda dengan durasi waktu yang tidak pasti. (2). standard operating
procedure (SOP) yang tidak pasti, dalam arti meskipun di instansi yang
bersangkutan telah ada SOP, tetapi masih memerlukan rekomendasi dari
instansi lain, misalnya untuk mengurus izin usaha memerlukan IMB
dengan persyaratan adanya rekomendasi tertentu, misalnya harus ada
dokumen lingkungan.

Dalam kenyataannya, terjadi ketidakpastian waktu dalam peny-


elesaian perizinan, meskipun lamanya waktu dan besarnya biaya telah
ditentukan. Namun, ternyata tidak dapat terpenuhi karena sarana pendu-
kungnya bermasalah atau kendala teknis, seperti komputer error sehingga
data hilang atau tidak dapat ditemukan. Hal ini sering dikeluhkan oleh
aparat tentang minimnya sarana untuk mendukung penyelesaian tugas,
sehingga permohonan pemberian izin usaha lebih lama dari yang telah
ditetapkan. Di pihak lain, pengurusan izin yang memerlukan persetujuan
pihak lain (warga masyarakat terkait) dapat menimbulkan kendala apabila
pihak-pihak terkait tersebut keberatan dalam memberikan persetujuannya,
misalnya izin gangguan (HO) sehingga perlu adanya negosiasi terlebih
dahulu yang berakibat pengurusan izin menjadi lebih lama. Hal ini tidak
sesuai prinsip pemerintahan yang baik yaitu daya tanggap, dalam arti
setiap lembaga dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk me-
layani berbagai pihak yang berkepentingan (masyarakat). Penyelenggara
pelayanan publik perlu membenahi dan memberikan solusi terhadap
kendala yang timbul berkaitan pemberian izin usaha, mengevaluasi SOP
yang berlaku di instansinya, memperhatikan aspek teknis atau penun-
jang administrasi perizinan usaha termasuk jangka waktu pelaksanaan

Edisi 2, Tahun II | 137


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

dan biaya yang jelas. Kebijakan ini sesuai dengan asas pelayanan publik
yaitu ketepatan waktu; dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Kendala yang timbul dalam pengurusan izin usaha hakekatnya adalah


cerminan lemahnya organisasi penyelenggara, karena itu perlu dibenahi
sesuai dengan Ruang lingkup RMRB 2010-2014, Program Penataan dan
Penguatan Organisasi.

2) Pemohon izin
Prilaku pemohon yang kadang-kadang tidak mau mengikuti prose-
dur yang ditetapkan, karena merasa waktunya sangat mendesak untuk
mendapatkan izin tertentu, bahkan cenderung mengambil jalan pintas
melalui kolusi dengan petugas atau melalui “calo” sehingga biaya pen-
gurusan menjadi mahal. Hal lain yang kendala adalah ketika izin yang
akan diberikan memerlukan pengecekan ke lapangan, ternyata pemohon
izin tidak berada ditempat.

Penyelenggara pelayanan publik perlu bertindak tegas tetapi ti-


dak mempersulit dalam menegakan peraturan perizinan usaha karena
merupakan tuntutan profesi yang harus dijalankan berkaitan dengan
job description. Hal ini sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik,
yaitu akuntabilitas, dalam arti para pengambil keputusan dalam pemer-
intahan dapat memiliki pertanggung jawaban kepada publik, dan asas
akuntabilitas dalam pelayanan publik yaitu proses penyelenggaraan
pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Adanya pertanggungjawaban sebagai konsekue-
nsi penerapan wewenang penyelenggara negara dalam menjalankan
tugasnya, sehingga peranan pengawasan menjadi penting. Hal ini sesuai
dengan Ruang lingkup RMRB 2010-2014 Program Tingkat Mikro, yaitu
Penguatan Pengawasan.

3) Aparatur perizinan dan instansi terkait


Hal ini dapat terjadi, aparatur yang bertugas untuk pengurusan
izin dapat menyelesaiannya sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditetapkan, namun instansi terkait dengan persyaratan penyesaian izin

138 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

tersebut, misalnya harus memberikan dokumen tertentu lambat dalam


memenuhinya sehingga pengurusan izin yang seharusnya tepat waktu
menjadi lambat juga.

Aparatur perizinan seyogianya memperhatikan prinsip pemerin-


tahan yang baik yaitu Bervisi Strategis dalam arti bahwa para pimpinan
memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang tentang penyeleng-
garaan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia. Selain itu,
perlu penerapan asas pelayanan publik yaitu keprofesionalan dalam arti
Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan
bidang tugas, dan Ruang lingkup RMRB 2010-2014 Program Tingkat
Mikro, yaitu Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur.

4) Peraturan yang tidak sinkron


Acuan untuk permohonan izin usaha menjadi tidak pasti karena
terdapat lebih dari satu peraturan yang bertentangan atau berpotensi
terjadi perbedaan penafsiran. Hal ini berakibat pedoman bagi aparat
dalam menyelesaikan permohonan izin usaha yang diajukan oleh ma-
syarakat menjadi tidak jelas, sehingga, menimbulkan ketidakpastian hu-
kum. Masalah peraturan yang tidak sinkron tidak sesuai dengan pinsip
pemerintahan yang baik, yaitu Penegakan Hukum, yaitu kerangka yang
dimiliki haruslah berkeadilan dan dipatuhi. Kepatuhan terhadap hukum
tidak hanya didasarkan atas sikap dan prilaku masyarakatnya tetapi juga
faktor hukum itu sendiri. Hukum harus mampu menjamin kepastian
hukum, dalam arti harus ada sinkronisasi baik secara vertikal (sesuai
dengan hukum yang lebih tinggi atau lebih rendah) maupun horisontal
(sinkronisasi di antara hukum yang sederajat). Hal ini berkaitan juga
dengan asas pelayanan publik yaitu kepastian hukum dalam arti jaminan
terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.
Selanjutnya Ruang lingkup RMRB 2010-2014, yaitu Program Penataan
Peraturan Perundang-undangan harus mampu menghasilkan peraturan
yang serasi (harmonisasi) antara hukum yang mengatur masalah yang
sama, tidak saling bertentangan (adanya sinkronisasi), tidak bermakna

Edisi 2, Tahun II | 139


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

ganda atau multi tafsir sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan atau
ketidakpastian hukum.

b. Kendala dalam penggunaan izin usaha


1) Penyimpangan dalam penggunaan izin usaha
Izin usaha yang dimiliki oleh warga masyarakat berkaitan dengan
hak untuk melakukan perbuatan tertentu sesuai dengan izin usaha yang
diberikan. Dalam praktek sering terjadi perubahan dalam melakukan
perbuatan tertentu, misalnya perubahan penggunaan spesifikasi bahan
dan penggunaan izin yang tidak sesuai dengan peruntukannya, serta
perubahan atau pengalihan pemegang izin usaha kepada pihak lain pa-
dahal dilarang, atau pengalihan pemegang izin yang tidak dilaporkan
sedangkan ketentuan perizinannya menyaratkan jika terjadi perubahan
pemegang izin usaha wajib dilaporkan karena berkaitan dengan pertang-
gungjawaban atau pengawasannya.

Penyimpangan terhadap izin usaha yang telah diberikan mengaki-


batkan kerugian bagi pihak lain dan merupakan pelanggaran terhadap
prinsip pemerintahan yang baik yaitu Penegakan Hukum dalam arti
kerangka yang dimiliki haruslah berkeadilan dan dipatuhi. Oleh karena
itu, perlu pengawasan yang berkesinambungan dari instansi terkait sesuai
dengan Ruang Lingkup RMRB 2010-2014 untuk Program Tingkat Mikro
yaitu Penguatan Pengawasan.

Izin usaha sebagai ketetapan pemerintah bukan sumber kewenan-


gan, melainkan keputusan yang bersifat konstitutif karena menimbulkan
hak dan kewajiban hukum baru. Di dalam hukum administrasi negara,
kewenangan menjadi dasar bagi subyek hukum publik dalam melakukan
perbuatan hukum sedangkan hak tidak dapat menjadi landasan perbuatan
hukum. Dengan demikian izin usaha yang diterima oleh pemohon yang
dianggap merugikan pihak lain tidak dapat diajukan gugatan ke PTUN.

Penerbitan izin usaha yang tidak memenuhi persyaratan tetapi dika-


bulkan atau kegiatan yang diberikan izin usaha tersebut tidak melanggar
ketentuan tetapi menimbulkan masalah. Apabila penerbitan izin usaha

140 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

tersebut tidak memenuhi persyaratan tetapi dikabulkan, maka pihak


lain yang dirugikan dapat mengajukan gugatan melalui PTUN. Namun
masalahnya siapa yang harus bertanggung jawab, jika izin tersebut ter-
lanjur telah digunakan dan pembatalannya menimbulkan kerugian bagi
pemegang izin usaha yang beritikad baik dalam arti secara wajar tidak
mengetahuinya. Dalam hal ini, seyogianya pelaksana pelayanan publik
bersikap arif dan bijaksana dalam arti tidak secara otomatis izin usaha
tersebut batal demi hukum. Sesuai dengan asas pelayanan publik yaitu
keseimbangan hak dan kewajiban ”Pemenuhan hak harus sebanding
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemberi dan penerima
pelayanan”, karena itu perlu diberikan kesempatan untuk memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan, atau pengembalian hak yang telah
diberikan oleh pemohon izin usaha.

Apabila kegiatan yang diberikan izin usaha tersebut tidak melanggar


ketentuan tetapi menimbulkan masalah, misalnya pemohon izin usaha
telah memenuhi persyaratan untuk mendapat IMB dari pemerintah dae-
rah, tetapi ternyata tanah tersebut karena kondisinya tidak dapat didiri-
kan bangunan di atasnya. Masalahnya, siapa yang harus bertanggung
jawab? Dalam praktek, beban tanggung jawab berada pada pemohon
izin usaha, tetapi apakah dalam hal ini pemerintah daerah juga tidak
dianggap bersalah?

Pelaksana pelayanan publik, seyogianya juga mengetahui tentang


obyek yang berkaitan dengan permintaan izin usahanya. Dengan demikian,
petugas atau instansi yang bersangkutan sebagai bentuk tanggung jawab
perlu pro aktif untuk mendapatkan informasi tentang kemungkinan dapat
tidaknya obyek tersebut dibebani izim usaha. Hal ini sesuai dengan prinsip
kepastian hukum dalam pelayanan publik, yaitu jaminan terwujudnya
hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan dan asas akunt-
abilitas yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertang-
gungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Edisi 2, Tahun II | 141


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

2) Kepastian izin usaha


Pemohon izin usaha telah memberikan kewajibannya yaitu mem-
bayar biaya perizinan karena itu berhak atas Izin Usaha sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan, namun izin tersebut ternyata tidak sesuai
atau dilarang oleh peraturan lainnya. Hal ini terjadi karena penyusunan
peraturan yang dibuat oleh masing-masing instansi disesuaikan den-
gan kepentingannya, sehingga substansi izin usaha tersebut tidak ada
kepastian karena izin usaha yang diberikan oleh lebih dari satu instansi,
memuat peraturan berbeda atau tidak sinkron. Hal ini bertentangan
dengan asas pelayanan publik yaitu kepastian hukum dalam arti jaminan
terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan, dan
asas keseimbangan hak dan kewajiban yaitu pemenuhan hak harus se-
banding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan demikian,
perlu adanya Penegakan Hukum, yaitu kerangka yang dimiliki harus
berkeadilan dan dipatuhi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik
dan Ruang Lingkup RMRB 2010-2014 untuk Program Tingkat Mikro
yaitu Penataan Peraturan Perundang-undangan.

2. Pembenahan melalui penyederhanaan perizinan usaha seba-


gai upaya menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan
melayani30.
a. Pembenahan birokrasi dan kelembagaan perizinan
Berdasarkan pengamatan, beberapa pemerintah daerah telah melakukan
peningkatan kinerja melalui pembenahan birokrasi dan kelembagaan perizinan.
Beberapa pemerintah daerah telah mengubah kebijakan pemberian izin usaha,
yang semula berada pada instansi teknis menjadi terpusat dalam pelayanan
bersama, yaitu Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) kemudian diubah
lagi menjadi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

30 Bandingkan dengan Y Sri Pudyatmoko, idem, hlm 174-185.

142 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

Alasan pembenahan ini, agar pemerintah sebagai penyelenggara pelay-


anan publik,31 dapat meningkatkan hak warga masyarakat dalam memperoleh
standar pelayanan.32 Namun pembenahan ini tidak mudah karena kondisi
kelembagaan sebagai sistem birokrasi sudah terpola sedemikian rupa, se-
hingga dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pelaksana pelayanan
publik.33 Di lain pihak, masyarakat34 yaitu seluruh pihak, baik warganegara
maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan
hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik
secara langsung maupun tidak langsung sudah terbiasa mendapat pelayanan
seperti itu. Bahkan warga masyarakat sudah terbiasa dan menganggap sebagai
suatu hal yang “wajar” memberikan “sesuatu” sebagai imbalan atas pelayan
publik yang telah diterimanya, meskipun sering dikeluhkannya.

Pembenahan birokrasi berkaitan juga dengan kinerja organisasi yang


juga berakibat pada besaran tunjangan kinerja, sedangkan kinerja individu
berpengaruh pada penerimaan tunjangan kinerja per individu.  Kinerja organ-
isasi yang diukur dari perbandingan antara upaya/ kemajuan dan capaian/
dampak strategis akan mempengaruhi besaran prosentase pemberian tunjangan.
Sedangkan kinerja individu yang diukur dari kontribusi dan kinerja individu
pada target-target yang telah disepakati akan berimbas pada penerimaan

31 Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap


institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk
semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Lihat Pasal 1 Angka (2) UU No 25 Tahun
2009 Tentang Pelayanan Publik
32 Standar pelayanan adalah tolok ukur yangdipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara
kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau,
danterukur. Lihat Pasal 1 Angka (7) UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
33 Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnyadisebut Pelaksana adalah pejabat,
pegawai,petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara
yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Lihat Pasal 1 Angka (5) UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
34 Lihat Pasal 1 Angka (6) UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Edisi 2, Tahun II | 143


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

tunjangan kinerja individu Kinerja individu inilah yang akan menentukan


kinerja organisasi dalam Reformasi Birokrasi.35

Reformasi Birokrasi dilaksanakan melalui pendekatan makro dan mikro;


yaitu pendekatan kerangka regulasi nasional dan pendekatan tingkat insta-
sional (agency level) Kementrian/Lembaga/Pemda hanya beroperasi pada
tingkatan mikro dengan membentuk Tim Reformasi Birokrasi. Kementrian/
Lembaga/Pemda yang berperan sebagai penggerak dan pelaksana Reformasi
Birokrasi di instansi masing-masing.  Hasil dari tingkatan mikro ini secara
hirarkis akan berkontribusi pada pencapaian sasaran RB Nasional. Namun
demikian, dalam kaitan dengan Program Penataan Peraturan Perundang-
undangan, setiap kementerian/lembaga diminta untuk melakukan sinkronisasi
kebijakan yang saling berkaitan antara satu kementerian/lembaga dengan
kementerian/lembaga lainnya. Demikian pula di tingkat pemerintah daerah.
Dengan kata lain penataan peraturan perundang-undangan yang dilakukan
oleh Kementerian/Lembaga bisa mencakup pelaksanaan reformasi birokrasi
pada tingkatan mikro tetapi juga mencakup penataan peraturan perundang-
undangan secara nasional36.

Birokrasi tersebut berkaitan erat dengan perizinan usaha yang seringkali


dianggap sebagai proses yang rumit dan biaya mahal karena itu sesuai dengan
prinsip pemerintahan yang baik yaitu Efektifitas dan Efisiensi, dan Ruang
Lingkup RMRB 2010-2014 untuk Program Tingkat Mikro yaitu Perubahan
Manajemen dan Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, maka perlu
dilakukan pembenahan melalui penyederhanaan perizinan sehingga dapat
menciptakan birokrasi yang bersih,kompeten, dan melayani.

b. Penyediaan sarana dan prasarana


Sarana dan prasarana penting dalam menunjang sebelum pemberian izin,
misalnya berkaitan dengan sosialiasi ketentuan perizinan usaha, jenis izin usaha
yang dapat diberikan, persyaratan yang diperlukan dan tata cara pengajuan

35 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20


Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014
36 Ibid

144 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

izin usaha. Selanjutnya, penyediaan sarana dan prasarana juga diperlukan


pada saat proses pemberian izin usaha, misalnya tempat pendaftaran, jangka
waktu penyelesaian izin usaha, dan biaya yang diperlukan. Setelah perizinan
usaha diterbitkan, sarana dan prasarana merupakan sumber informasi dan
berfungsi sebagai kontrol terhadap penggunaan izin usaha.

Penyediaan sarana dan prasarana berkaitan dengan prinsip pemerintahan


yang baik, yaitu Transparan, dalam arti pemerintahan harus dibangun dalam
kebebasan aliran informasi yang ingin dimiliki oleh mereka yang membu-
tuhkan, dan Akuntabilitas, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam
pemerintahan dapat memiliki pertanggung jawaban kepada publik. Apabila
dihubungkan dengan Ruang Lingkup RMRB 2010-2014 Program Tingkat Mikro,
maka sarana dan prasarana merupakan Penguatan Pengawasan dan Penguatan
Akuntabilitas Kinerja dalam menunjang penyederhanaan perizinan perizinan
sehingga dapat menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.

Penyelesaian pemberian izin usaha tidak hanya berkaitan dengan tugas


satu instansi saja tetapi juga melibatkan peran instansi lainnya. Hal ini ses-
uai dengan prinsip pemerintahan yang baik yaitu Kesalingterikatan, dalam
arti keseluruhan ciri pemerintah mempunyai kesalingterikatan yang saling
memperkuat dan tidak bisa saling berdiri sendiri serta Ruang Lingkup RMRB
2010-2014 Program Tingkat Mikro, yaitu Penataan dan Penguatan Organ-
isasi. Selanjutnya, perlu penyediaan sarana Jaringan data secara on line karena
mempunyai beberapa keunggulan yaitu jangkauan lebih luas, kecepatan arus
informasi, hemat waktu biaya dan tenaga, mudah untuk akses, menghemat
tenaga kerja, mengurangi kontak antar petugas yang berpotensi kolusi, dan
memudahkan pengawasan terhadap pelaksana pelayanan publik. Dengan
demikian, untuk kemudahan penyampaian informasi maka penggunaan
Jaringan data secara on line dan SDM yang khusus menanganinya mutlak
diperlukan sebagai sarana untuk melakukan penyederhanaan perizinan
sehingga dapat menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.

c. Partisipasi warga masyarakat sebagai Pemohon izin usaha


Sistem manajemen yang baik dalam pemberian izin usaha adalah mem-
berikan kesempatan kepada warga masyarakat pemohon izin usaha untuk

Edisi 2, Tahun II | 145


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

mengajukan saran dan masukan yang bersifat konstruktif. Hal ini penting
untuk melakukan koreksi dan evaluasi terhadap proses pemberian izin usaha
sekaligus dapat mengetahui indeks kepuasan konsumen terhadap jasa, mis-
alnya melalui angket yang diisi oleh pemohon izin usaha.

Ombudsman sebagai lembaga negara perlu aktif berperan untuk men-


gawasi penyelenggaraan pelayanan publik karena pada saat ini, keberadaan
lembaga tersebut masih belum dikenal secara luas. Sosialisasi kewenangan
Ombudsman sebagai pengawas eksternal penting bagi masyarakat pengguna
pelayanan publik agar hak dan kewajiban penyelenggara pelayanan publik
dan masyarakat berjalan sesuai perundang-undangan.

Apabila dikaitkan dengan prinsip pemerintahan yang baik, maka umpan


balik dari pemohon izin usaha merupakan partisipasi, yaitu kebebasan ber-
pendapat secara konstruktif dan Daya Tanggap, yaitu bahwa setiap lembaga
dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak
yang berkepentingan. Hal ini sesuai juga dengan Ruang Lingkup RMRB
2010-2014 untuk Program Tingkat Mikro yaitu Penataan Sistem Manajemen
SDM Aparatur, Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.

Saran dan masukan terhadap perizinan usaha penting karena pemohon


izin usaha yang mengetahui dan merasakan proses pelaksanaan perizinan
usaha tersebut. Kemudahan prosedur dan biaya murah merupakan harapan
setiap Pemohon izin usaha, karena itu umpan balik ini intinya akan mengarah
pada penyederhaan izin usaha sebagai upaya menciptakan birokrasi yang
bersih, kompeten, dan melayani.

E. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Kendala perizinan usaha dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) hal, yaitu:
1) Kendala dalam permohonan dan proses penerbitan izin usaha:
a) Pengurusan izin dan sarana pendukung;
b) Pemohon izin;
c) Aparatur perizinan dan instansi terkait;
d) Peraturan yang tidak sinkron.

146 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

2) Kendala dalam penggunaan izin usaha:


a) Penyimpangan dalam penggunaan izin usaha;
b) Kepastian izin usaha.
b. Pembenahan melalui penyederhanaan perizinan usaha sebagai upaya men-
ciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani melipui:
1) Pembenahan birokrasi dan kelembagaan perizinan;
2) Penyediaan sarana dan prasarana; dan
3) Partisipasi warga masyarakat sebagai Pemohon izin usaha.

2. Saran
a. Perlu adanya Koordinasi, Integrasi, Simplikasi, dan Sinkronisasi (KISS) di
antara instansi terkait dengan permohonan dan proses penerbitan izin usaha.
b. Pemohon izin usaha perlu memahami dan mempunyai komitmen untuk
menaati persyaratan dalam pengajuan izin usaha.
c. Perlu perbaikan, pemeliharaan, dan peningkatkan sarana dan prasarana
pendukung administrasi perizinan usaha secara berkelanjutan.
d. Perlu ketentuan perizinan usaha yang dibuat secara terpadu dan kompre-
hensif yang melibatkan seluruh instansi terkait.
e. Pelaksana pelayanan publik perlu mempunyai komitmen yang tinggi dalam
menyelesaikan permohonan izin usaha dari warga masyarakat.
f. Ombudsman perlu lebih pro aktif dalam melakukan pengawasan eksternal
terhadap pelaksana pelayanan publik, agar dapat mendung upaya dalam
menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.

Edisi 2, Tahun II | 147


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Cetakan I, Surabaya : Penerbit
Yuridika, 1993.
S Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983.
Utrecht dan Moch Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indo-
nesia, cetakan ke delapan, Jakarta : Penerbit Balai Buku Ichtiar, 1985.
WE.Prins dan R.Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara ,
Jakarta : Pradnya Paramita,1983.
Y Sri Pudyatmoko, Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta : Grasindo,
2009,

Perundang-undangan
UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Presiden No 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.
20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.

Sumber Lain
Ateng Syafrudin”Perizinan untuk berbagai kegiatan”, Makalah tidak dipublikasikan.
http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2024105-pengertian
birokrasi/#ixzz1y8PDb6nV, diakses pada hari Senin, tanggal 18 Juni 2012,
Jam 16.05.

148 | Edisi 2, Tahun II


Penyederhanaan Perizinan Usaha dalam Upaya
Menciptakan Birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani

http://congkring.blogspot.com/2008/01/sistem-pemerintahan-yang-baik.html,
di akses pada hari Sabtu, tanggal 16 Juni 2012 Jam 6. 15.
http://www.scribd.com/doc/58547868/Hukum-Perijinan, diakses pada hari Sabtu,
tanggal 16 Jam 14.35.
Proposal Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Curriculum Vitae
Dr. Sudjana. S.H., M.Si adalah Staf Pengajar (Lektor Kepala) pada Program S1, S2,
dan Promotor pada Program S3 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran. Pendidikan terakhir adalah lulus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran tahun 2006, dengan Predikat Cumlaude.
 

Edisi 2, Tahun II | 149


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

PELAYANAN TERPADU SATU PINTU


JAWABAN TEPAT PENYEDERHANAAN PERIZINAN
Oleh: Tugiyono

S
alah satu tujuan dari kebijakan Otonomi Daerah menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah mewujudkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada ma-
syarakat. Untuk itu kualitas pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu
indikator penilaian keberhasilan otonomi daerah.
Otonomi Daerah membawa impikasi pada terjadinya demokratisasi, termasuk
dalam hal pelayanan publik yang dilaksanakan. Masyarakat yang sedang tumbuh ke
arah masyarakat Madani (civil society) menuntut adanya peran birokrasi pemerintah
yang lebih adaptif terhadap penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan
secara luas dan berimbang. Masyarakat sebagai subyek layanan mengharapkan
penyelenggaraan pelayanan yang tidak berbelit-belit, lama dan beresiko akibat
mata rantai bikokrasi yang panjang.
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Untuk mewujudkan pelayanan yang
berkualitas sangat tergantung beberapa aspek yaitu bagaimana pola penyeleng-
garaannya, dukungan sumber daya manusia, kelembagaan dan konsep yang jelas.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraan, pelayanan publik secara umum di-
pandang masih terdapat beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan, antara
lain:

a. Kurang Responsif
Kondisi ini terjadi hampir di semua tingkat pelayanan, mulai pada tingkat
petugas atau front line sampai pada tingkat penanggungjawab instansi. Respon
terhadap keluhan, aspirasi dan saran dari masayarakat lambat atau bahkan
diabaikan sehingga pelayanan tidak ada perbaikan dari waktu ke waktu.

150 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

b. Kurang Informatif
Berbagai informasi yang seharusnya sampai ke masyarakat, lambat atau
bahkan tidak sampai sama sekali

c. Kurang Accesible
Pelaksanaan pelayanan terletak pada tempat yang jauh atau terpisah-pisah
sehingga sulit dijangkau masyarakat

d. Kurang Koordinasi
Kurang koordinasinya penyelenggara pelayanan yang terkait mengaki-
batkan sering terjadinya tmpang tindih atau pertentangan antara instansi pe-
nyelenggara pelayanan.

e. Birokratis
Pelayanan, khususnya pelayanan perizinan, dilaksanakan dengan melalui
proses di berbagai instansi dan tingkatan sehingga penyelenggaraan pelayanan
memerlukan waktu yang lama

f. In efisien
Berbagai persyaratan yang diperlukan, khususnya pelayanan perijinan
sering tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan

g. SDM Tidak Profesional


Kelemahan kelembagaan dan struktur organisasi yang tidak dirancang
dalam rangka memberikan pelayanan mengakibatkan personil melaksanakan
fungsi pengaturan sekaligus fungsi pelayanan menyebabkan pelayanan publik
tidak efisien. Namun kenyataannya birokrasi publik kita cenderung menjadikan
peraturan dan prosedur sebagai panglima dan mengabaikan perubahan yang
terjadi dalam lingkungan untuk menemukan alternatif tata cara pelayanan
yang mungkin bisa mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
secara lebih mudah.
Pelayanan di bidang perijinan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik
(public services) yang diharapkan segera menata diri dalam menanggapi tuntutan
masyarakat, khususnya dunia usaha yang semakin dinamis saat ini. Dalam dunia
usaha, perizinan memegang peranan yang sangat penting. Bahkan dapat dikatakan

Edisi 2, Tahun II | 151


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

bahwa perizinan dan pertumbuhan dunia usaha akan selalu saling berkaitan. Prinsip
dasar yang dipegang dalam masalah perizinan dan kewajiban dunia usaha adalah
bahwa setiap tindakan atau kegiatan usaha diperlukan adanya ijin. Dunia usaha
tidak akan berkembang tanpa adanya izin yang jelas menurut hukum yang berlaku.
Hal ini berarti bahwa salah satu penentu berkembangnya dunia usaha yaitu bila ada
ijin yang memiliki suatu kekuatan yang pasti. Dan dengan adanya izin seseorang
atau pelaku dunia usaha akan mempunyai serangkaian hak dan kewajiban yang
dapat bermanfaat atau keuntungan bagi usahanya. Sehubungan hal tersebut di atas,
masyarakat khususnya dunia usaha mengharapkan akan mendapatkan pelayanan
perizinan yang prima dengan suatu tata laksana pelayanan yang mudah, efisien,
responsif dan akuntabel.
Untuk mewujudkan harapan sebagaimana tersebut di atas dipandang perlu
melaksanakan penyederhanaan pelayanan perijinan dengan membentuk Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan PTSP,
segala urusan yang semula tersebar di beberapa satuan kerja dapat diselesaikan
pada satu tempat.
Dengan penyelenggaraan PTSP ini maka kegiatan penyelenggaraan periz-
inan mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan
dalam satu tempat, diharapkan proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi
standar waktu yang telah ditetapkan, kepastian biaya pelayanan tidak melebihi
dari ketentuan, kejelasan prosedur pelayanan, dapat ditelusuri dan diketahui setiap
tahapan proses sesuai dengan urutan prosedur, mengurangi berkas kelengkapan
permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan,
pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan.
Agar penyelenggaraan PTSP berjalan sesuai harapan, terdapat beberapa faktor
pendukung yang harus difungsikan antara lain :
1. Faktor peraturan yang menjadi landasan kegiatan pelayanan
2. Faktor komitemen para pengambil keputusan
3. Faktor sistem dan mekanisme kegiatan pelayanan
4. Faktor keterampilan petugas
5. Faktor sarana dan prasarana
Sesuai uraian di atas, dalam menyusun PTSP ada beberapa prosedur dan
tahapan yang perlu dilaksanakan dengan mendasarkan pada peraturan yang

152 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan untuk selanjutnya membuat produk hukum
daerah untuk mengatur pelaksanaan teknisnya. Adapun dasar pembentukan PTSP
adalah Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) dan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi Tata Kerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu serta
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
utamanya pasal 47. Selain itu terdapat juga Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun
2009 tentang PTSP Bidang Investasi.
Sebelum melangkah menyusun dan mempersiapkan PTSP, perlu dilaksanakan
menyamakan persepsi dan komitemen pihak-pihak penentu kebijakan yang dalam
hal ini yaitu Kepala Daerah dan DPRD. Dengan penyamaan persepsi ini diharapkan
akan berlanjut terbangunnya suatu komitemen, yaitu komitemn perlu dibentuknya
dan diselenggarakannya PTSP di daerah, konsep PTSP yang akan diterapkan dan proses
pembentukan PTSP.
Penyamaan persepsi dan komitemen perlu dibentuknya PTSP ini sangat pent-
ing mengingat hal ini terkait pelimpahan kewenangan pelayanan perizinan kepada
penyelenggara PTSP dan penyusunan produk-produk hukum daerah. Tanpa komit-
men penentu kebijakan, khususnya dari Kepala Daerah, maka konsep-konsep men-
genai penyelenggaraan PTSP tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Setelah penyamaan persepsi dan komitmen terbangun maka tahapan yang harus
dilakukan adalah menetapkan konsep dan proses pembentukan PTSP, khusunya
terkait dengan pembentukan lembaga penyelenggara PTSP dan struktur organ-
isasinya.

LANDASAN HUKUM PTSP


Pembentukan PTSP pada dasarnya menindaklanjuti Permendagri Nomor
24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(PTSP). Dengan Permendagri ini maka setiap daerah diwajibkan untuk mem-
bentuk PTSP di bidang perizinan. Namun demikian Permendagri yang mengatur
terbentuknya PTSP itu tidak seiring sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat
yang menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah.

Edisi 2, Tahun II | 153


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Per-


angkat Daerah, pada Bagian Ketiga Perumpunan Urusan Pemerintahan Pasal
22 ayat ( 4 ) dan ( 5 ) bahwa bidang perizinan tidak terwadahi baik dalam bentuk
Badan, Dinas ataupun Kantor. Dan pada Pasal 47 ayat ( 1 ) disebutkan bahwa untuk
meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang
bersifat lintas sektor, gubernur/bupati/walikota dapat membentuk Unit Pelayanan
Terpadu.
Tidak terwadahinya bidang perizinan pada Perumpunan Urusan Pemerintahan
dalam bentuk Badan, Dinas ataupun Kantor tetapi hanya merupakan Unit Pelayanan
Terpadu dapat diintepretasikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tidak mengindahkan apa yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang seharusnya menempatkan bidang
pelayanan perizinan sebagai urusan yang perlu mendapatkan perhatian. Padahal
salah satu tujuan pemberian otonomi adalah memberikan peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan yang semakin baik kepada masyarakat.
Selain itu, ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 ini
telah menimbulkan kebingungan bagi beberapa daerah yang telah terlanjur me-
nyelenggarakan PTSP dalam bentuk Badan, Dinas atau Kantor.
Di Kabupaten Sragen misalnya, pada tahun 2002 telah mengawali menyeleng-
garakan PTSP dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT). Kemudian Tahun
2003 dengan Perda Nomor 15 Tahun 2003 dikukuhkan sebagai Kantor Pelayanan
Terpadu (KPT). Dan pada tahun 2006 KPT meningkat statusnya menjadi Badan
Pelayanan Terpadu (BPT) dan Tahun 2008 dengan Perda Nomor 15 Tahun 2008
dibentuk Badan Perizinan Terpadu (BPT). Terakhir tahun 2011 BPT berubah menjadi
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM). Sehubungan hal tersebut
maka dapat dilihat bahwa secara historis Kabupaten Sragen telah menyelengga-
rakan PTSP lebih awal dalam bentuk Badan pada tahun 2006 dengan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2006, sementara Peraturan Pemerintah baru ditetapkan
pada tahun 2007 tersebut.
Dalam kondisi seperti ini Kabupaten Sragen bertekad tetap melanjutkan pe-
nyelenggaraan PTSP dalam bentuk Badan. Demikian juga secara aktif melakukan
konsultasi dan memberikan masukan ke Pemerintah Pusat mengenai berbagai hal
yang berkaitan dampak ditetapkannya peraturan pemerintah tersebut, antara lain

154 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

dengan ditetapkannya Kepmendagri Nomor 20 tahun 2008 tentang Organisasi dan


Tata Kerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu. Dalam Kepmendagri tersebut pada
pasal 2 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat di
bidang perijinan dibentuk unit pelayanan perijinan terpadu dengan sebutan Badan
atau Kantor. Dengan demikian maka bagi daerah yang sudah terlanjur menyeleng-
garakan PTSP dalam bentuk Badan atau Kantor dapat terakomodir secara regulasi.
Dengan ditetapkannya Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 pada satu sisi
telah menyelesaikan permasalahan mengenai bentuk kelembagaan PTSP, namun
pada sisi lain menimbulkan permasalahan baru khususnya mengenai struktur
organisasi, khususnya yang berbentuk Badan. Pada pasal 8 disebutkan bahwa
Organisasi Badan, terdiri dari:
a. 1 (satu) Bagian Tata Usaha dan membawahkan paling banyak 3 (tiga) Sub-
bagian;
b. paling banyak 4 (empat) Bidang;
c. Tim Teknis;
d. Kelompok Jabatan Fungsional.
Dalam Permendagri ini, pada Lampiran I termuat Bagan Susunan Organisasi
PTSP dalam bentuk Badan , dimana dibawah Kepala Badan terdapat Jabatan Sek-
retaris dan Jabatan Kepala Tata Usaha. Pembentukan struktur organisasi seperti
tidak lazim dilakukan dalam penyusunan organisasi, karena kedua jabatan tersebut
memiliki Tugas Pokok Fungsi yang hampir sama. Apabila hal ini diaplikasikan akan
terjadi overlapping dalam pelaksanaan tugas.
Dan satu hal lagi yang tidak biasa dilakukan dalam menyusun suatu organisasi
yaitu di bawah Bidang tidak terdapat Jabatan Struktur eselon IV melainkan langsung
Tim Teknis selaku pelaksana fungsional. Dengan demikian Kepala Bidang dalam
melaksanakan tugas langsung membawai Tim Teknis, kondisi seperti ini di tataran
implementasi banyak menimbulkan kendala, hal seperti ini perlu ada sinkronisasi
dan harmonisasi masalah kelembagaan tentang PTSP di seluruh Indonesia.
Pada sisi yang lain, pada tahun 2009 telah ditetapkan Peraturan Presiden
Nomor 27 Tahun 2009 tentang PTSP Bidang Investasi. Dengan Perpres tersebut
diamanatkan agar Pemerintah Daerah menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu di bidang Investasi atau Penanaman Modal. Dalam menyikapi Perpres tersebut,
masing-masing Pemerintah Daerah menindaklanjuti dengan menyelenggarakan

Edisi 2, Tahun II | 155


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

PTSP bidang Investasi dengan bentuk kelembagaan yang berbeda-beda ada yang
berbentuk Badan, Dinas atapun Kantor.
Dalam hal ini Kabupaten Sragen mengambil langkah yang berbeda, tidak
membentuk Satker tersendiri di Bidang Investasi namun menggabungkan pelay-
anannya di dalam PTSP perijinan. Langkah ini diambil dengan dasar pemikiran
bahwa masalah seputar Investasi dan perizinan ibarat dua sisi mata uang, dimana
masyarakat yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan investasi atau
penanaman modal akan selalu berkaitan dengan masalah perijinan. Sehingga akan
lebih memberi kemudahan ke masyarakat apabila pelayanan di Bidang Investasi
dilayani dijadikan satu tempat dengan pelayanan PTSP Bidang Perijinan. Model
seperti yang telah dilaksanakan oleh kabupaten Sragen ini ternyata mendapat
apresiasi dan perhatian dari beberapa daerah.
Dengan melihat uraian di atas, agar penyelenggaraan PTSP Perizinan dapat
berjalan secara optimal di seluruh daerah di Indonesia maka Pemerintah Pusat se-
baiknya mengambil kebijakan menyeragamkan bentuk kelembagaan PTSP, apakah
dalam bentuk Badan, Dinas atau Kantor. Dan untuk menentukan bentuk kelembagaan
yang secara umum cocok diapikasikan di seluruh daerah maka perlu mengambil
model PTSP yang telah terselenggara dan teruji dengan baik. Penyeragaman kelem-
bagaan PTSP ini akan mempermudah pembinaan dan sekaligus meminimalisir
kemungkinan terjadinya hambatan dari upaya trial and error bagi daerah yang
baru mau menyelenggarakan PTSP. Selain itu juga daerah dapat melakukan studi
banding ke daerah lain dan kemudian melakukan penataan sesuai situasi masing-
masing daerah.

KOMITMEN “ DECISION MAKER “


Faktor pendukung keberhasilan penyelenggaraan PTSP selain landasan yang
hukum yang jelas adalah komitmen dari para pengambil keputusan, khususnya
Kepala Daerah. Komitmen ini sangat penting karena berkaitan dengan pelimpahan
kewenangan penandatanganan dokumen perijinan yang ada di tangan Kepala
Daerah.
Pelimpahan wewenang berarti adalah penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan guna membantu melaksanakan tugas-tugas kewa-
jiban dengan bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk
menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggungjawab

156 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

dan sepanjang tidak ditentukan khusus oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Dan pelimpahan wewenang yang dapat dilimpahkan kepada pejabat bawahannya
adalah wewenang penandatanganan.
Untuk menunjang kelancaran tugas, selama ini Kepala Daerah melimpahkan
kewenangan penandatanganan dokumen perizinan kepada Kepala Dinas Teknis
penyelenggara perizinan. Namun dengan penyelenggaraan PTSP kewenangan
tersebut diberikan kepala Kepala PTSP, dengan maksud agar pelayanan dapat di-
laksanakan dengan proses yang lebih sederhana dan mata rantai yang lebih pendek
sehingga pelayanan akan selesai sesuai target waktu yang ditentukan .
Pada umumnya pada awal pembentukan PTSP akan terjadi suatu hambatan
yang berkaitan dengan pengalihan kewenangan, yaitu munculnya ketidakikhlasan
Dinas Teknis dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Untuk mengantisipasi
hal tersebut sebaiknya perlu diatur penataan kewenangan antara lain dengan tetap
memposisikan Dinas Teknis sebagai pengawas, pembina penyelenggaraan perizinan
dan hasil penarikan retribusi menjadi pemasukan bagi Dinas Teknis. Dengan pola
seperti ini maka Dinas Teknis tidak merasa kehilangan kewenangan di bidang teknis
dan hal-hal yang berkaitan dengan pemasukan PAD, khususnya upah pungut. Di
sinilah komitmen Kepala Daerah terhadap penyelenggaraan PTSP sangat berperan
besar.

SISTEM DAN MEKANISME


Dalam setiap penyelenggaraan kegiatan agar dapat berjalan secara optimal
perlu didukung sistem administrasi yang baik. Demikian juga dalam penyeleng-
garaan PTSP manajemen pengelolaan adminstrasi berupa penetapan sistem dan
mekanisme menjadi sesuatu yang sangat penting. Dengan sistem dan mekanisme
yang telah baku akan menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pelayanan perizinan
sehingga standart mutu akan terjamin. Untuk mewujudkan harapan tersebut yang
perlu dilakukan antara lain:

a. Menyusun Peraturan Daerah


Penyusunan Perda dipergunakan sebagai dasar hukum pembentukan
kelembagaan, struktur organisasi dan alokasi APBD bagi PTSP. Penyusunan
Peraturan Daerah yang dilaksanakan atas inisiatif dari pihak eksekutif ini,
yaitu Kepala Daerah harus mendapat persetujuan dari DPRD. Apabila sejak

Edisi 2, Tahun II | 157


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

awal sudah ada penyamaan persepsi dan komitmen dari para penyelenggara
Pemerintahan daerah maka penyusunan Peraturan Daerah akan berjalan
dengan lancar. Penyusunan Peraturan daerah ini sangat penting karena akan
menjadi dasar pembentukan produk-produk hukum daerah lainnya. Melalui
Peraturan Daerah ini ditetapkan lembaga PTSP ini apakah dalam bentuk
Badan, Dinas atau Kantor.
Sedangkan dalam menyusun Struktur Organisasi PTSP yang mungkin
dapat dipertimbangkan adalah dengan mengelompokkan objek/izin atau
mengelompokkan fungsi. Dengan pengelompokan objek/izin ini maka pem-
bagian bidang/seksi berdasarkan pengkategorian jenis-jenis izin, misalnya
Bidang/Seksi Perizinan Tertentu, Perizinan Usaha Lain dan lain-lain. Sedan-
gkan pengelompokan fungsi ini maka pembagian Bidang/Seksi berdasarkan
proses, seperti Bidang/Seksi Pelayanan, Pengolahan, Monitoring dan Evaluasi,
Promosi dan Pengembangan.

b. Membuat Surat Keputusan Kepala Daerah


Surat Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk mengatur pelimpahan
kewenangan di bidang perijinan kepada Kepala PTSP, pembentukan organisasi
tata kerja PTPS, pembentukan Tim Pembina PTSP, pembentukan Tim Teknis
Pelayanan Perijinan, menyusun Pedoman Pelayanan Umum PTSP, peng-
gunaan pakaian seragam khusus PTSP dan pengalokasian insentif khusus
personil PTSP.

c. Membuat Peraturan Kepala Daerah


Surat Keputusan Kepala Daerah ditetapkan untuk mengatur penjabaran
tugas dan fungsi serta tata kerja PTSP, Mekanisme Kerja dan Standard Opera-
tional Procedure ( SOP ) pada PTSP.
Pembakuan pengaturan yang bersifat teknis dalam bentuk produk hu-
kum daerah, seperti Peraturan Daerah, Surat Keputusan Kepala daerah dan
Peraturan Kepala Daerah diharapkan menjadi pedoman baik bagi masyarakat
sebagai customer maupun bagi penyelenggara PTSP sendiri sehingga semua
pelayanan bersifat pasti, transparan dan akuntabel.

158 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

SUMBER DAYA MANUSIA


Dalam menyelenggarakan pelayanan perijinan, kualitas sumber daya manusia
yang ditempatkan pada PTSP merupakan unsur yang sangat penting. Prinsip-prinsip
pelayanan prima harus dipahami dan diaksanakan dalam penyelenggaraan PTSP.
Untuk itu pada ada awal pendirian, personil dapat diambil dari Dinas Teknis yang
dipandang mempunyai kompetensi dan performance yang baik, menguasai teknis
proses perijinan yang ditangani, memahami prinsip-prinsip dasar pelayanan yang
baik. Untuk waktu selanjutnya personil dapat diambil dari satuan kerja lain dengan
tetap mempertimbangkan kompetensi dan performance dan dalam rekruitmennya
menggunakan tes psikologi, uji kepatutan dan mengedapankan konsep Merit System.
Dengan Konsep Merit System ini maka dalam jabatan yang dipercayakan kepada
seseorang disesuaikan dengan kemampuan dan kecakapan dengan mempertim-
bangkan pendidikan formal dan non formal, pendidikan dan pelatihan fungsional
maupun teknis, pengalaman kerja, dan tingkat penguasaan tugas.
Pada saat melaksanakan tugas pelayanan perizinan diharapkan di antara
personil dengan latar belakang pengalaman kerja yang berbeda ini akan terjadi
transfer of knowledge yang baik. Dan agar segera terbangun persepsi dan komitemen
di antara personil ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan antara lain :

1. Magang / on the job training


Magang atau on the job training digunakan sebagai ajang latihan kerja. Lokasi
magang diharapkan dilaksanakan pada PTSP yang dipandang telah berjalan
dengan baik . Dengan magang ini diharapkan personil mendapatkan pengalaman
kerja yang kemudian dapat diimplementasikan pada PTSP di mana personil
tersebut bertugas.

2. Penyelenggaraan Pelatihan
a. Pelatihan Komputer
Pada era globalisasi ini perangkat komputer merupakan suatu kebutuhan
yang dapat membnatu pengolahan data secara cepat, mudah dan lebih akurat.
Demikian juga dalam penyelenggaraan PTSP perangkat komputer diperlukan
pada setiap tahapan proses perizinan maupun untuk keperluan hal yang
berkaitan dengan penyampaian informasi ke masyarakat/customer. Untuk
itu personil pada PTSP wajib memiliki kemampuan operasional komputer,
hal ini dapat terwujud dengan menempatkan personil yang sudah memiliki

Edisi 2, Tahun II | 159


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

kemampuan komputer atau dengan cara menyelenggarakan pelatihan opera-


sional komputer ataupun pelatihan programer. Materi pelatihan komputer
antara lain Program Microsoft Word, Program Microsoft Excel, Program Power
Point dan lain-lain.

b. Out Bond
Out Bond yang dilakukan baik in door maupun out door akan sangat mem-
bantu membangun team work di antara para personil PTSP. Apalagi untuk
suatu lembaga baru dengan personil yang berasal dari berbagai satuan kerja
maka sarana out bond ini dapat menciptakan kebersamaan yang hakiki dan
menghilangkan ego sentris sehingga hal ini akan dapat menunjang kelancaran
dalam pelaksanaan tugas.

c. Training For Success


Melalui training for success ini personil PTSP akan ditempa dalam hal pende-
wasaan emosional dan perbaikan pola pikir yang berorientasi pada kepua-
san pelanggan. Training for success dapat dilakukan secara rutin mingguan
atau bulanan dengan menghadirkan pakar psikologi, pakar human resources
development maupun para pemuka agama/ustadz.

d. Performance
Untuk mewujudkan pelayanan yang ramah, luwes dan profesional serta
meminimalisir kesan birokrat yang kaku maka personil PTSP perlu mendapat
pembekalan mengenai:
 Cara berpakaian dan berpenampilan menarik ketika melayani customer. Pemakaian
uniform yang berbeda dengan seragam yang biasa dipakai oleh PNS, diharap-
kan akan menghilangkan kesan kaku yang biasa ditemukan ketika menghadap
birokrat.
 Bagaimana bersikap ramah, sopan dan santun dalam menghadapi customer dalam
situasi apapun.
 Bagaimana caranya tampil yakin dan meyakinkan dalam melayani customer.

SARANA DAN PRASARANA


Secara umum sarana dan prasarana adalah alat penunjang keberhasilan suatu
proses upaya yang dilaksanakan di dalam pelayanan publik, karena apabila ked-
uanya tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilaksanakan tidak dapat berjalan
sesuai yang direncanakan.

160 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

Dalam penyelenggaraan PTSP terlaksana secara profesional dengan mengede-


pankan kualitas, maka perlu ditunjang adanya sarana prasarana antara lain:
a. Sarana Fisik Pelayanan èGedung kantor
Front Office Gedung kantor:
- Ruang /loket informasi - Ruang/loket pembayaran
- Ruang/loket pendaftaran - Ruang/loket pengaduan
- Ruang/loket penyerahan dokumen - Ruang tunggu
perizinan

Back Office:

- Ruang pemrosesan berkas - Ruang rapat


- Ruang server - Ruang kerja penyelenggara PTSP
- Ruang penanganan pengaduan dan pejabat struktural
b. Sarana Teknologi Informasi
- Aplikasi SIM PPTSP
- Aplikasi Informasi PPTSP (touchscreen)
- SMS gateway

c. Sarana Informasi
- Website
- Brosur, leaflet
- Buku Panduan Pelayanan

d. Prasarana Pelayanan
- Personil komputer
- Mobil, sepeda motor
- TV

PENGEMBANGAN LANJUT
1. Sertifikasi/Standarisasi Sistem Pelayanan
Setelah semua mekanisme pelayanan terbentuk dan berjalan secara mekanis,
maka sudah saatnya untuk ‘mengunci’nya dalam satu standar tertentu. Standar
ini merupakan standar pelayanan yang minimal sehingga mencegah layanan

Edisi 2, Tahun II | 161


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

agar tidak terjadi penurunan standar pelayanan. Beberapa Pemda telah dan
sedang mencoba untuk melakukan standarisasi pelayanan ini bahkan dengan
standar internasional. Selain untuk kepentingan perbaikan sistem, sertifikasi
atau standarisasi juga dapat membuat citra lembaga ini menjadi lebih baik.
2. Inovasi Pelayanan
Optimalisasi pelayanan publik oleh birokrat bukan suatu pekerjaan yang
mudah, mengingat hal tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah mem-
budaya dalam lingkungan birokrat. Solusi untuk melaksanakan optimalisasi
pelayanan publik, khususnya pelayanan perizinan dibutuhkan perubahan me-
lalui adopsi dan inovasi program. Berbagai inovasi pelayanan perijinan dapat
dilakukan dengan menerapkan Kontrak Kerja (Citizen Charter), pemanfaatan
tehnologi informasi (E-Goverment) dan kemitraan dengan pihak di luar pemer-
intah (Public-Private Partnership).
Demikian halnya PTSP Kabupaten Sragen sebagai salah satu PTSP percon-
tohan nasional, dalam mengikuti perkembangan global senantiasa melakukan
inovasi. Beberapa inovasi yang telah dilakukan antara lain memanfaatkan
tehnologi informasi untuk menciptakan Program Tandatangan Jarak Jauh/
Tanda Tangan secara Elektronik. Dengan program ini, penandatanganan do-
kumen perijinan oleh Kepala PTSP dapat dilakukan tanpa harus berada di
kantor. Inovasi program ini dapat membantu penyelesaian proses pelayanan
perijinan secara tepat waktu. Inovasi yang lain yang dilakukan PTSP Kabupaten
Sragen adalah membangun kerjasama dengan dunia usaha, antara lain Bank,
Lembaga Konsultasi psikologi untuk memberikan pencerahan atau training for
success secara berkala.

KUNCI SUKSES
Walaupun beberapa PTSP memiliki kewenangan dan fasilitas yang hampir
sama, namun kinerja atau out put yang dihasilkan sangat variatif. Hal ini tergantung
beberapa faktor yang berpengaruh kuat terhadap kinerja pelayanan PTSP. Faktor-
faktor yang dimaksud adalah :
1. Konsistensi komitmen dari Kepala Daerah.
Tanpa adanya komitmen yang konsisten dari pimpinan daerah dalam hal
ini walikota/bupati serta elit di DPRD, maka akan sulit PTSP mengembangkan

162 | Edisi 2, Tahun II


Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Jawaban Tepat Penyederhanaan Perizinan

diri. Salah satu bentuk ujian bagi konsistensi komitmen Kepala Daerah terhadap
penyelenggaraan PTSP adalah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 8
tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Jika komitmen ter-
hadap keberadaan PTSP kuat, maka dalam penataan kembali kelembagaan unit
organisasi pemerintah akan memprioritaskan PTSP sebagai salah satu organisasi
yang akan dipertahankan keberadaannya oleh Kepala Daerah.
2. Review terhadap kebijakan perizinan secara menyeluruh.
Sebagaimana telah banyak disimpulkan dalam berbagai kajian bahwa
kebijakan di Indonesia ini masih cukup rumit. Karena itu perlu keberanian
pemerintah daerah melakukan review terhadap berbagai kegiatan perizinan
yang ada di wilayahnya untuk dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan dan
dinamika masyarakat setempat.
3. Pertisipasi dan kontrol publik.
Salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya kinerja birokrasi secara
umum karena kurangnya partisipasi dan kontrol publik terhadap kerja birokrasi.
Keterlibatan masyarakat dalam memantau kinerja PTSP akan meminimalisir
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan PTSP.
4. Adanya organisasi pengawas PTSP.
Kinerja PTSP akan lebih optimal dengan adanya organisasi khusus di pemer-
intahan daerah yang ditunjuk sebagai unit pengawas PTSP sebagai supervisory
agency. Organisasi ini akan menjadi tempat bagi masyarakat menyampaikan
keluhan, kritik maupun komentar terhadap pelayanan PTSP. Organisasi ini
juga hendaknya memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap PTSP
dalam periode tertentu.

****

Edisi 2, Tahun II | 163


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

MEMBANGUN PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI


PELAYANAN PRIMA SESUAI KEBUTUHAN DAN
HARAPAN MASYARAKAT
Oleh : Arief Hidayat1 & Sri Nur Hari Susanto2

A. Pendahuluan
Di dalam melakukan reformasi terhadap Administrasi Negara dalam kaitan-
nya dengan membangun pelayanan publik, maka satu hal yang perlu mendapat
perhatian seksama adalah menumbuh-kembangkan pemikiran-pemikiran tentang
perlunya merekonseptualisasikan dan mereposisi serta merevitalisasi kedudukan
hukum administrasi negara (HAN) dalam penyelenggaraan pemerintahan, khu-
susnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang mampu menjadikan /
menciptakan masyarakat yang sejahtera, sehingga mampu memberikan pelayanan
yang baik kepada masyarakat (publik) sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan.
Oleh karena itu HAN pada dasarnya merupakan norma yang sarat dengan upaya
konkritisasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat (publik) secara selaras,
serasi dan seimbang

Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai hukum yang mengatur dan


mengikat alat Administrasi Negara dalam menjalankan wewenang yang menjadi
tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (warga negara), harus
senantiasa memperhatikan kepentingan masyarakat (warga negara). HAN sangat
penting dan dibutuhkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara oleh Adminis-
trasi Negara. Keberadaan HAN berperan mengatur wewenang, tugas dan fungsi

1 Arief Hidayat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro


2 Sri Nur Hari Susanto, Lektor Kepala, Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
kini sedang menempuh studi S3 pada Program Doktor Ilmun Hukum UNDIP.

164 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

Administrasi Negara di samping juga membatasi kekuasaan yang diselenggarakan


oleh Administrasi Negara.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sjachran Basah 3 bahwa fungsi hukum itu


sendiri yang dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat berpanca-fungsi, yaitu :
1. Direktif, sebagi pengarah dalam membangun dan membentuk masyarakat yang
hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara;
2. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
3. Stabilitatif, sebagi pemelihara (termasuk di dalamnya hasil-hasil pembangunan)
dan menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat;
4. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara,
maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun
warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan
keadilan.

Oleh karena itu, setiap upaya yang berkaitan dengan pembaruan perencanaan
hukum harus dapat membingkai Administrasi Negara dalam koridor makna, posisi,
dan peran Administrasi Negara atau birokrasi, yang mampu memberikan pelayanan
prima sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.

Kinerja pelayan publik oleh aparatur pemerintah sampai saat ini tampak
belum maksimal. Setidaknya ada tiga masalah utama yang dihadapi oleh apara-
tur pemerintah kita dalam membangun Sistem Pemerintahan yang Layak dan
Melakukan Reformasi Hukum Administrasi dengan cara merekonstruksi HAN
dalam rangka Pelayanan Publik, yaitu:
a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur
pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia
saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun
kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum
termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan.

3 Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA),
(Jakarta ; Rajawali Pers, 1992), hlm.3

Edisi 2, Tahun II | 165


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas
dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi
panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga besar kemungkinan
timbul ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi,
kolusi, dan nepotisme, perlakuan diskri-minatif, dan sebagainya.
c. Rendahnya pengawasan eksternal dari masyarakat (social control) terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidakjelasan standar
dan prosedur pelayanan, serta prosedur penyampaian keluhan pengguna jasa
pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social
pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki
kinerja mereka.

Untuk meninggalkan paradigma administrasi klasik dan Reinventing Govern-


ment atau New Public Management, dan beralih ke paradigma New Public Service,
maka administrasi publik harus mampu untuk :
(a) Melayani warga masyarakat bukan pelanggan (serve citizen, not customers);
(b) Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest),
(c) Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over
entpreneurship),
(d) Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think strategic, act democratically),
(e) Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah (recognize
that accountability is not simple),
(f) Melayani dari pada mengendalikan (serve rather than steer),
(g) Menghargai orang bukannya produktivitas semata (value people, not just productivity)4

Bertolak dari uraian di muka, maka persoalan mendasar dan sentral dalam
upaya membangun pelayanan publik sebagai pelayanan prima yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat, setidak-tidaknya akan bermuara pada 2 (dua)
persoalan utama, yaitu:
1. Mereformasi dan merekonstruksi birokrasi, dan
2. Mereformasi dan merekonstruksi hukum administrasi.

4 Fadel Muhammad, Reiventing Local Goverment, Pengalaman dari Daerah, (Jakarta : PT Elex
Media Komputindo, Kompas Gramedia, 2008), hlm. 14.

166 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

B. Mereformasi dan Merekonstruksi Birokrasi


Administrasi negara dapat dipahami baik sebagai suatu proses maupun se-
bagai suatu institusi. Sebagai suatu proses, Administrasi (negara) berkaitan dengan
semua aktivitas penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sedangkan sebagai
suatu institusi, Administrasi (negara) umumnya dimaknai menurut berbagai per-
spektif atau pendekatan, yang mencerminkan “tubuh doktrin, seperangkat nilai
dan kumpulan prosedur”. Lazimnya berbagai perspektif tersebut adalah: manaje-
men, politik dan hukum.5 Perspektif manajemen yang dipraktikkan pada cabang
Administrasi Negara (bestuur) bersifat administratif, manajerial, birokratik dan
menekankan pada nilai-nilai keterwakilan dan responsivitas. Sementara perspektif
hukum yang dipraktikkan bersifat legal dan menekankan pada integritas konstitu-
sional pada satu sisi dan pada sisi lain juga menekankan pada proteksi substansif
dan prosedural bagi perorangan.

Berdasarkan perspektif di atas, maka Administrasi Negara dapat didefinisikan


sebagai “penggunaan teori dan proses manajerial, politik dan hukum untuk melak-
sanakan mandat pemerintahan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam
rangka penyediaan fungsi-fungsi pengaturan dan pelayanan bagi masyarakat secara
keseluruhan ataupun secara sebagian-sebagian”. 6 Sebagai bandingan, Administrasi
Negara juga didefinisikan oleh Corson & Harris sebagai tindakan pemerintahan
yang merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pemerintahan.
Pfiffner & Presthus mendefinisikan sebagai sarana untuk mengimplementasikan
nilai-nilai politik. Davis mendefinisikan sebagai cabang kekuasaan eksekutif dari
pemerintahan, dan berkepentingan dengan pelaksanaan hukum yang dibuat oleh
legislatif dan diinterpretasikan oleh pengadilan melalui proses organisasi dan
manajemen (Waldo) serta memiliki peranan penting dalam formulasi kebijakan
publik dan karenanya menjadi bagian dari proses politik (Felix & Nigro).7

5 Rosenbloom, David, Public Administration ; Understanding Management, Politics, and Law in


the Public Sector, (New York : McGraw-Hill Inc, 1993), hlm.xvii.
6 Rosenbloom, ibid hlm.6.
7 Rosenbloom, ibid hlm 7

Edisi 2, Tahun II | 167


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Perjalanan paradigma dan implementasi administrasi negara di Indo-


nesia dari periode ke periode beberapa kali mengalami perubahan dalam suatu
kondisi yang dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem lainnya. Pada awal
Orde Baru, reformasi administrasi negara diarahkan pada perumusan secara jelas
tugas pokok dan fungsi departemen, menetapkan pola organisasi, menentukan
sistem kepegawaian negara, mengembangkan ketatalaksanaan dengan kejelasan
hubungan dan tata kerja, pengem-bangan sistem perencanaan, pemrograman, dan
penganggaran, pengembangan manajemen keuangan dan kekayaan negara, serta
pengembangan sistem pengawasan dan pemeriksaan. Tujuannya adalah “institu-
tionalization” aparatur negara dan pemerintahan yang tidak akan terpengaruh oleh
pergantian presiden, menteri, atau pejabat lainnya.8

Meskipun pada tahap awal upaya yang dilakukan orde baru tersebut menun-
jukkan keberhasilan, namun pada akhirnya justru melahirkan pemerintahan yang
over centralization, otoriter, dan militeristik, hingga pada tahun 1998 melahirkan
gerakan reformasi yang meng-hendaki perbaikan di segala bidang, termasuk dalam
bidang administrasi dan pemerintahan negara.

Ternyata, hingga sekarang kondisi ini tidak lebih baik, bahkan tanpa adanya
kemauan semua komponen bangsa, terutama para elit politik untuk memper-
baiki keadaan ini, maka kea-daan ini pun akan berlanjut hingga masa yang akan
datang. Oleh karena itu, perlu segera ditegakkan kepastian dalam manajemen
pemerintahan negara, karena tanpa upaya ini akan terasa berat untuk melakukan
pendayagunaan aparatur pemerintah secara efektif dan efisien. Selain itu, perlu
disusun pula “Pola Reformasi Aparatur dan Administrasi Pemerintahan ke-2”.9

Arah dan orientasi administrasi negara yang mengutamakan perubahan dalam


sistem pelayanan publik merupakan paradigma yang sedang berkembang pada abad
21 ini. Sehubungan dengan hal tersebut, pelayanan publik sendiri dapat diartikan
dari berbagai sudut pandang sebagai berikut:

8 Prajudi Atmosudirdjo, Perilaku Birokrasi Dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Birokrasi Di


Indonesia. Makalah, 2001, hlm.3
9 Awaloedin Djamin, Retrospek dan Prospek Pendayagunaan Aparatur Negara, Makalah, 2001,
hlm.5.

168 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

1. Pandangan Lay: 10
Pelayanan umum atau pelayanan publik merupakan istilah yang menggambarkan
bentuk dan jenis pelayanan pemerintah kepada rakyat atas dasar kepentingan
umum.
2. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/
KEP/ M.PAN/7/2003: Segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pe-
nyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang- undangan.
3. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik:
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenu-
han kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh pe-nyelenggara pelayanan publik.

Dengan demikian, Pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan


(mengurus) apa yang diperlukan orang lain.11 Lebih jauh dikatakan oleh Catherine
DeVrye bahwa pelayanan didalamnya terdapat unsur :

S - Self-esteem---Memberi nilai pada diri sendiri


E - Exceed expectations---Melampaui apa yang diharapkan
R - Recover---Rebut kembali
V - Vision---Visi
I - Improve---Peningkatan
C - Care---Perhatian
E - Empower---Pemberdayaan
Zeitthaml, Parasuraman dan Berry mengemukakan mengenai mutu pelay-
anan, ”The service quality can be defined as the extent of discrepancy between customers

10 Priyanto Susiloadi, Peran Pemerintah dan Partisipasi Dalam Pelayanan Publik, (Jurnal Spirit
Publik Volume 2 Nomor 2, Oktober 2006), hlm. 82.
11 Soeto Catherine DeVrye, Good Service is Good Business (7 Strategi sederhana menuju
Sukses), (Jakarta : PT. Gramedia, 2001), hlm. 6-9. Lihat juga Eko Supriyanto, Opera-
sionalisasi Pelayanan Prima, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara, 2001), hlm 9.

Edisi 2, Tahun II | 169


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

expecta-tions or desires and their perception". 12Mutu pelayanan dibentuk oleh dua
elemen yaitu : pelayanan yang diharapkan (expected service) dan pelayanan yang
diterima (perceived service). Kedua elemen tersebut bila dibandingkan akan men-
garah kepada penilaian mutu pelayanan yang diberikan, sebagaimana penilaian
Parasuraman, et,al bahwa: Jika kenyataan (perceived) lebih baik yang diharapkan
(expected), maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan kurang
dari yang diharapkan, maka layanan tidak bermutu. Dan apabila kenyataan sama
dengan harapan, maka layanan disebut memuaskan.13 Dalam studinya Parasuraman
menyimpulkan terdapat 5 (lima) dimensi SERVQUAL (dimensi kualitas pelayanan)
sebagai berikut :
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjuk-
kan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana
dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah
bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi
fasilitas fisik (gedung, dan lain sebagainya), perlengkapan dna peralatan yang
digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2. Reliability, atau keandalam yaitu kemampuan organisasi untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus
sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan
yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan
dengan akurasi yang tinggi.
3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan,
dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu
tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi negatif dalam
kualitas pelayanan.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan,
dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya
para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara
lain, komunikasi (communicatioon), kredibilitas (credibility), keamanan (security),
kompeten (competence), dan sopan santun (courtesy).

12 Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service, (New York : The
Press Adividion of Macmillan, 1990, hlm 19.
13 Parasuraman dalam Lupiyoadi, Manajemen Pemasaran Jasa, (Jakarta : Salemba
Empat, 2001), hlm. 148

170 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau
pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami
keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian
dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara
spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

Mengacu kepada apa yang dikemukakan oleh Danhardt & Danhardt, Riyadi
14
me-ngemukakan bahwa, “Peran pemerintah dalam konteks administrasi klasik
(Old Public Adminis-tration) yang lebih bersifat mengatur, mengendalikan secara
langsung terpusat pada monopoli pemerintah (rowing), kemudian bergeser
menjadi peran yang sifatnya pengendalian da-lam konteks pengarahan (steering)
dimana peran publik mulai dilibatkan secara aktif. Pergeseran orientasi ini dibangun
dalam konteks administrasi negara yang berkembang menuju perspektif New
Public Management (NPM). Kemudian, perkembangan itu bergeser kembali kepada
peran pemerintah yang lebih bersifat melayani publik, sehingga paradigmanya
menjadi serving oriented. Paradigma ini terumuskan sebagai perspektif New Public
Services (NPS) yang secara kontekstual sangat menekankan kepada pentingnya
peran pemerintah untuk mengarahkan segala bentuk pelaksanaan tugas-tugas
administrasi negara dalam rangka mewujudkan pelayanan publik”.

New Public Service Model merupakan bentuk anti-thesa terhadap pemikiran bahwa
peranan birokrasi hendaknya diserahkan kepada mekanisme pasar. Menurut teori
ini, sebagaimana dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt, birokrasi bagaimana-
pun memiliki peran dan corak kerja yang berbeda dengan sektor swasta, sehingga
peranannya tidak mungkin dapat digantikan oleh pasar. Corak manajemen dan
lingkungan kerja birokrasi juga tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam market mechanism sehingga memaksakan prinsip-prinsip manajemen swasta
ke dalam institusi birokrasi justru dapat berakibat kontra produktif terhadap kinerja
birokrasi itu sendiri.15

14 Riyadi, Manajemen Pelayanan Inklusif (Inovasi Paradigma Administrasi Negara dalam


Perspektif Pelayanan Publik di Indonesia). Jurnal Wacana Kinerja Edisi 1 tahun 2010.
15 R.B Denhardt & J.V Denhardt, The New Public Service, dalam Public Administration Review,
Vol. 60, No.6, 2000, hlm 320-331.

Edisi 2, Tahun II | 171


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat terkadang dibalik


menjadi pelayanan masyarakat kepada negara, meskipun negara berdiri sesung-
guhnya adalah untuk masyarakat kepada negara,16 meskipun negara berdiri sesung-
guhnya adalah untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannya. Dengan kata
lain birokasi sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaiknya kepada
masyarakat, karena sebagai pihak yang ingin memperoleh pelayanan yang baik
dan memuaskan, maka perwujudan pelayanan yang didambakan tersebut adalah :17
1. Kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat
dalam arti tanpa hambatan yang kadangkala dibuat-buat.
2. Memperoleh pelayanan secara wajar. Artinya, pelayanan yang diberikan tanpa
menggunakan kata-kata yang mengarah pada permintaan sesuatu, baik dengan
alasan untuk dinas atau alasan untuk kesejahteraan.
3. Mendapatkan pelakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentinganyang
sama, tertib, dan tidak pandang bulu. Artinya, kalau memang untuk pengu-
rusan suatu permohonan harus antri secara tertib, hendaknya semuanya juga
diwajibkan antri, dan siapa saja yang tidak melalui antrian tidak dilayani.
4. Pelayanan yang jujur dan terus terang. Artinya, apabila ada hambatan karena
suatu masalah yang tidak dielakkan hendaknya diberitahukan, sehingga orang
tidak menunggu-nunggu sesuatu yang tidak menentu.
Dengan pemberitahuan, orang dapat mengerti dan akan menyesuaikan diri secara
ikhlas tanpa emosi. Pada dasarnya, setiap orang dapat memahami kesulitan atau
masalah orang lain, kalau hal itu dikemukakan dengan terus terang. Apabila
masalah yang sebenarnya sering disembunyikan, maka akan menimbulkan
kekecewaan pada orang yang merasa tidak diberi penjelasan yang jujur. Tim-
bulnya kekecewaan merupakan ”iklan” yang sangat merugikan terutama bagi
usaha-uaha yang bergerak di bidang jasa pelayanan dan tidak memiliki hak
monopoli.

C. Mereformasi dan Merekonstruksi Hukum Administrasi Negara (HAN)


Perubahan yang terjadi di bidang sosial-kultural dan politik senantiasa berdam-
pak pada terjadinya pergeseran yang akan menuju ke paradigma hukum responsif,

16 Inu Kencana Syafi’i, dkk, Ilmu Administrasi Publik, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999),
hlm. v.
17 H.A.S Moenir,. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara,
2001), hlm. 31-34.

172 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

yang diharapkan akan dapat memenuhi tututan dan kebutuhan masyarakat yang
sangat mendesak untuk memperoleh pelayanan yang berkeadilan sosial. Perge-
seran ini berseiring dengan pergeseran paradigma administrasi publik, menuju ke
New Public Service Paradigm yang diyakini lebih bersifat partisipatif, berkeadilan,
transparan, berkepastian dan terjangkau.

Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebagai landasan filosofis dalam pengaturan


pelayanan publik, telah memberi amanat kepada pemerintah sebagai penyeleng-
gara utama pelayanan publik untuk melakukan pelayanan atas kebutuhan publik
secara lebih baik, sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dan demokrasi,
sehingga dapat tercipta kehidupan masyarakat pada taraf hidup yang lebih maju
dan kualitas hidup yang lebih bermutu. Jika dicermati, amanat tersebut tercermin
di dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (6), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28
D ayat (2), Pasal 28 F, Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 i ayat (2) Undang Undang Dasar
NRI1945. Pasal-pasal tersebut merupakan amanat UUD untuk diadakannya peny-
elenggaraan pelayanan publik yang memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara
harus diatur, dikelola, dan diselenggarakan oleh pemerintah.

Menurut Brabanti, 18 dalam sistem politik senantiasa akan memperlihatkan


suatu keadaan sebagai berikut:
1. Adanya suatu struktur hukum yang berpotensi untuk mengubah pendapat-
pendapat yang adil dari rakyat banyak menjadi tindakan-tindakan yang dapat
diperkirakan dan yang cocok dengan dasar-dasar sistem pemerintahannya;
2. Perluasan partisipasi rakyat banyak dalam proses-proses politik dan mening-
katkan kualitas partisipasi semacam ini dalam hal pengertian, tanggung jawab
dan ikhtiar yang tertib serta teratur untuk mengadakan perubahan-perubahan;
3. Kemampuan untuk mempertahankan integrasi nasional melalui akomodasi
yang teratur terhadap kekuatan-kekuatan budaya, agama, dan faktor-faktor
lain yang juga bisa menim-bulkan perpecahan;
4. Kemampuan untuk memadukan keterampilan, rasa tanggung jawab dan rasion-
alitas administrasi dengan kemauan rakyat, sehingga menjadi suatu kombinasi
yang efektif, dan membuat kombinasi itu bekerja dengan suatu cara yang teratur,
yang pada tingkat akhir walaupun tidak secara langsung htunduk pada hokum
dan keadilan yang ditegakkan secara tidak memihak;

18 Brabanti, Ralph, Modernisasi Adminsitrasi Negara dalam Mayton Weiner (ed), Modernisasi :
Dinamika Pertumbuhan, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1981), hlm.115-116.

Edisi 2, Tahun II | 173


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

5. Melalui penciptaan keadaan yang demikian itu dapat diharapkan pengembangan


suatu sistem politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-
benar bermanfaat bagi perwujudan masyarakat yang sejahtera dan berdaulat.

Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun


2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa dalam rangka upaya memberikan pelayanan
yang terbaik kepada masyarakat terdapat asas-asas yang harus dijadikan pedoman
dalam pelayanan publik oleh aparat pemerintah sebagai berikut:

1. Asas Kepentingan umum: Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan


kepentingan pribadi dan/atau golongan.
2.Asas Kepastian hukum: Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan.
3. Asas Kesamaan hak: Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
4. Asas Keseimbangan hak dan Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban
kewajiban: yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun
penerima pelayanan.
5. Asas Keprofesionalan: Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang
sesuai dengan bidang tugas.
6. Asas Partisipatif: Peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
7. Asas Persamaan perlakuan/ Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan
tidak diskriminatif: yang adil.
8. Asas Keterbukaan: Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai
pelayanan yang diinginkan.
9. Asas Akuntabilitas: Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
10. Asas Fasilitas dan perlakuan Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan
khusus bagi kelompok rentan: sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.

174 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

11. Asas Ketepatan waktu: Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat
waktu sesuai dengan standar pelayanan.
12. Asas Kecepatan, kemudahan Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah,
dan keterjangkauan: dan terjangkau.

Selain asas-asas yang dicantumkan dalam ketentuan Pasal 4 UU Nomor 25


Tahun 2009 di atas, peraturan perundang-undangan lain telah pula memberikan
landasan formal penyelenggaraan pelayanan publik yang didasarkan pada Asas-
asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi danNepotisme (di samp-
ing UU Pelayanan Publik sendiri) menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan
penyelenggaraan Negara (termasuk di dalamnya pelayanan publik) yang terdiri dari:
(a) asas kepastian hukum;
(b) asas tertib penyelenggaraan negara;
(c) asas kepentingan umum;
(d) asas keterbukaan;
(e) asas proporsionalitas;
(f) asas profesionalitas; dan
(g) asas akuntabilitas.

Meskipun landasan formal bagi penyelenggaraan pelayanan publik telah


mendapatkan dasar legitimasi, namun kinerja pelayan publik oleh aparatur pemer-
intah sampai saat ini tampak belum maksimal. Setidaknya ada tiga masalah utama
yang dihadapi aparatur pemerintah dalam membangun sistem pemerintahan yang
layak sehingga perlu melakukan reformasi Hukum Administrasi, yaitu dengan cara
merekonstruksi HAN dalam rangka Pelayanan Publik yaitu:
a. Kualitas pelayanan publik yang masih rendah. Kondisi ini terjadi karena di
dalam hukum administrasi positif (peraturan perundang-undangan) saat ini
meskipun telah mengatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun
kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum
termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan.
b. Masih rendah/lemahnya pengawasan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidakjelasan standar dan prosedur
pelayanan, serta prosedur penyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan
publik.

Edisi 2, Tahun II | 175


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

c. Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang tindih dalam tugas dan kewenan-
gan, yang menyebabkan proses pelayanan menjadi panjang, sehingga kemung-
kinan timbulnya perlakuan yang diskriminatif, biaya tinggi, penyalahgunaan
wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, semakin tinggi.

Hukum administrasi negara yang menjadi instrumen dalam rangka penyeleng-


garaan pelayanan publik, dengan demikian tidak dapat difahami sekedar sebagai
kesatuan normatif yang objektif an sich, tetapi perlu dikritisi sebagai variabel teri-
kat (dependent variable) dari proses sosial politik yang melibatkan sejumlah aktor
sebagai partisipan dalam suatu proses, ketika merumuskan kebijakan publik yang
mengatur pelayanan publik. Konstruksi hukum administrasi negara dalam kaitan-
nya dengan standar pelayanan publik dengan demikian akan dipahami sebagai
produk politik yang karakternya antara lain ditentukan oleh dinamika sosial politik.
Dengan demikian, konstruksi tersebut tidak dilihat sebagai konstruksi peraturan
perundang-undangan yang dipenuhi dengan prosedur standar, tetapi dilihat seb-
agai keselu-ruhan proses yang saling berkaitan antara variabel sosial, budaya dan
politik. Hal ini memberi arti penting terhadap penyelenggaraan pelayanan publik
yang responsif.

Merekonstruksi hukum administrasi negara dengan demikian akan sesuai dengan


perkembangan paradigma dalam ilmu hukum, dari yang normatif-positivistik ke
yang progresif-sosiologik, yang memberi kesempatan kepada pemangku kepent-
ingan (stakeholders) untuk ikut langsung berparisipasi dalam proses pembentukan
hukum sebagai suatu rational construct in concreto dan hal ini akan menjadi landasan
dalam penerapan New Public Service Paradigm.

Philippe Nonet dan Philip Selznick telah mengenalkan dan mengembangkan


hukum responsif yang bertujuan untuk memberikan teori dan penjelasan tentang
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan demikian tersebut. Menurut Nonet & Selznick
terdapat tiga tipe hukum dalam masyarakat, yaitu :
(1) hukum represif, yaitu hukum sebagai abdi kekuasaan represif;
(2) hukum otonom, yaitu hukum sebagai institusi yang dibedakan dan mampu
untuk menjinakkan represi serta untuk melindungi integritasnya sendiri; dan

176 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

(3) hukum responsif, yaitu hukum sebagai fasilitator dari responsif terhadap kebu-
tuhan-kebutuhan sosial dan aspirasi-aspirasi sosial.19

Pergeseran dalam melihat (sudut pandang) terhadap hukum administrasi


negara di atas, maka terjadi pergeseran paradigma terhadap administrasi negara,
yaitu dari Traditional Public administration menuju New Public Administration. Pada
Traditional Public Adminstrations orientasi administrasi negara, lebih ditekankan
kepada Control, Order, Prediction,, yang sangat terikat kepada political authority, tight-
ening control, to be given and following the instruction. Sementara itu pada New Public
Service, administrasi negara diarahkan kepada alignment creativity and empowering.

D. Penutup
Berdasarkan uraian di muka, maka pokok simpulan yang dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Untuk mewujudkan pelayanan publik secara prima yang mampu memenuhi
kebutuhan dan harapan masyarakat, harus terlebih dahulu dilakukan pem-
benahan baik terhadap norma-norma hukumnya maupun lembaga/institusi
yang menyelenggarakan pelayanan publik. Oleh sebab itu langkah-langkah
melakukan reformasi dan rekonstruksi birokrasi dan hukum administrasi perlu
dilakukan secara terencana, terarah dan menyeluruh dan berkesinambungan.
2. Reformasi dan rekonstruksi terhadap birokrasi selaku penyelenggara pelayanan
publik, harus memperhatikan perkembangan konsep birokrasi itu sendiri yang
akhirnya akan dapat menciptakan birokrasi yang sesuai prinsip-prinsip new
public service.
3. Reformasi dan rekonstruksi terhadap hukum administrasi senantiasa akan dii-
kuti dengan perubahan paradigma dalam melihat hukum administrasi sendiri,
yang tidak sekedar sebagai sekumpulan norma-norma peraturan positif, tetapi
harus dilihat sebagai hasil dari suatu proses politik yang melibatkan variabel-
variabel sosial, politik dan budaya.

19 Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society In Transition: Toward Tanggapanise Law,
London: Harper and Row Publiser, 1978; Benard L Tanya, Yoan Sinanjuntak, Markus Y
Hage ,Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta
Publishing, 2010), hlm. 204

Edisi 2, Tahun II | 177


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

DAFTAR PUSTAKA

Awaloedin Djamin, 2001, Retrospek dan Prospek Pendayagunaan Aparatur Negara,


Ma-kalah.
Benard L Tanya, Yoan Sinanjuntak, Markus Y Hage, 2010 , Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Catherine DeVrye, Soeto, 2001, Good Service is Good Business ( 7 Strategi sederhana
menuju Sukses), PT. Gramedia, Jakarta.
Eko Supriyanto,2001, Operasionalisasi Pelayanan Prima, Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta.
Fadel Muhammad, 2008, Reiventing Local Goverment, Pengalaman dari Daerah, PT
Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia, Jakarta.
H.A.S Moenir, 2001, . Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
Inu Kencana Syafi’i, dkk, 1999, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta, Jakarta.
Lupiyoadi, 2001, Manajemen Pemasaran Jasa, Salemba Empat, Jakarta.
Mayton Weiner (ed), 1981, Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Gajah Mada Univer-
sity Press, Yog-yakarta .
Philippe Nonet & Philip Selznick, 1978, Law and Society In Transition: Toward Re-
sponsive Law,Har-per and Row Publiser, London.
Prajudi Atmosudirdjo, 2001, Perilaku Birokrasi Dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja
Birokrasi Di Indonesia. Makalah.
R.B Denhardt & J.V Denhardt, 2000, The New Public Service, dalam Public Admin-
istration Review, Vol. 60, No.6.
Riyadi, 2010, Manajemen Pelayanan Inklusif (Inovasi Paradigma Administrasi NegaraD-
alam Perspektif Pelayanan Publik di Indonesia). Jurnal Wacana Kinerja Edisi 1.
Rosenbloom, David, 1993, Public Administration ; Understanding Management, Politics,and
Law in the Public Sector, McGraw-Hill Inc, New York

178 | Edisi 2, Tahun II


Membangun Pelayanan Publik Sebagai Pelayanan Prima
Sesuai Kebutuhan Dan Harapan Masyarakat

Sjachran Basah, 1992, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Admin-
istrasi (HAPLA), Rajawali Pers, Jakarta.
Zeithaml, Parasuraman, dan Berry,1990, Delivering Quality Service, The Press Adi-
vidion of Macmillan, New York.

Edisi 2, Tahun II | 179


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

BIODATA PENULIS JURNAL PAN


1.    Dr. Anton Minardi
Lahir di Cianjur, 20 April 1975. Lektor Kepala Gol. IV A, Direktur Humanity
Care. Pendidikan: S1 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pasundan
1997, S2 Jurusan Sosiologi IAIN/UIN Bandung 2000,  S3 Jurusan Ilmu Politik
UI 2007. Publikasi Buku :  Konsep Negara Menurut Islam, Hubungan Inter-
nasional Perspektif Islam, Politik, Pendidikan sampai Masalah Obama, Kapita
Selekta Hubungan Internasional, Pemikiran Politik Islam. Pengalaman;  Staf
Pengajar di HI UNPAS, UNIKOM, UNJANI dan UNPAR, Asesor BAN Pergu-
ruan Tinggi, Asesor Sertifikasi Guru, Komisioner pada Komisi Informasi Jawa
Barat, Tim Monitoring & Evaluasi Keaksaraan Fungsional DMI Jabar;  Ketua
Panitia Pengawas Pemilihan Gubernur Jawa Barat; Peneliti Institute for Democ-
racy, Economy and Auhority Studies; Biro Sosial Politik FKPPI Jawa Barat; Biro
Penelitian Forum Jabar Selatan; Pimpinan Redaksi Tabloid Pembela; Pimpinan
Redaksi Buletin Al Qolam; Dewan Penasehat KAHMI Cianjur; ICMI Jawa Barat;
Direktur Humanity Care; Biro Hukum dan Politik Persatuan Nasional Masyara-
kat Indonesia; Pemakalah Internasional:-Strategi Kebangkitan Ekonomi Korea
Selatan-INAKOS-UI; Memelihara Warisan Ilmiah Islam- UM Malaysia; Resolusi
Islam Terhadap Konflik Internasional-UKM-UNAND,dll; Sunda Islam-Melayu
Nusantara,UNPAS-Univ,Malaya,dll. Email: antonminardi@yahoo.com     

2.    Prof. Drs. Komarudin, M.A., A.P.U.,


Peneliti utama di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mantan Deputi
Kementerian Negara PAN Bidang Tatalaksana, mantan Deputi Kementerian
Negara PAN Bidang Program, mantan Sahli Menpan Bidang Sistem Manajemen
(2001-2008); mantan Deputi Kepala BPPT Bidang Analisis Sistem dan Bidang
Pengkajian Kebijakan Teknologi (1994-2000);  komar_udi@yahoo.com.

180 | Edisi 2, Tahun II


3.    Prof. Dr. H.  Wirman Syafri Sailiwa, M.Si,
Lahir di Liwa-Lampung, 22 Juni 1958, Pembantu Rektor Bidang Akademik
IPDN (2009 – sekarang), Guru Besar di bidang Administrasi Negara,IPDN. Pen-
didikan : S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan Administrasi Negara
Universitas Sebelas Maret – Solo 1983, S2 Ilmu Sosial BKU Ilmu Administrasi
Universitas Padjadjaran Bandung 1996,  S3  Bidang Ilmu Sosial, Universitas Pad-
jadjaran Bandung.  Pendidikan Non formal, Kursus Reguler Angkatan (KRA)
XXXVIII LEMHANNAS RI Tahun 2005, DIKLATPIM TK II angkatan IV Kelas D,
Bandung Tahun 2002, Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Madya (SPAMA)
Angkatan XLVI, Yogyakarta Tahun 1999. Keluarga, Diah Turniati (Istri), dan
3 anak Fadayen Gantha, SH, Bayu Fadayen Gantha, S.IP., M.AP, Widyananda
Maharani. ws.sailiwa@yahoo.com,

4.    Made Ardita


Lahir si Singaraja Bali, tanggal 26 Oktpber 1956. S1 Administrasi Negara
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahayangan Bandung
tahun 1983, Program Pascasarjana Pengembangan SDM pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2004. Kepala Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kepegawaian pada Badan Kepegawaian Negara Jakarta.

5.    Suwarni  
Lahir di Sragen, 3 April 1973; Dosen Luar Biasa Akbid YAPPI Sragen 2006
– sekarang.  Koordinator Mulok Pendidikan Budi Pekerti, Wawasan Dinas Pen-
didikan Kab. Sragen 2008 – 2009. Staf UPTPK Dinas Pendidikan Kab. Sragen.
Pendidikan; S1 Universitas Diponegoro jurusan Administrasi Negara tahun
1996, S2 UNS 11 Maret jurusan Ilmu Komunikasi (2008), S3 UNS 11 Maret (se-
dang menyusun proposal disertasi). Penelitian Ilmiah; Pengaruh Tingkat Ko-
munikasi dan Pengembangan Pegawai Terhadap Upah Minimum Regional di

Edisi 2, Tahun II | 181


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Kanwil Depnaker Propinsi Jawa Tengah; Implementasi P3T di DKI Jakarta, Gaya 
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid; Pengaruh Gaya Kepemimpinan
terhadap Budaya Kerja; Implementasi Otonomi Daerah di Jawa Tengah; Budaya
Organisasi Kepolisian Republik Indonesia (Studi Kasus Kepolisian Resor Sragen
) Jawa Tengah. Publikasi Ilmiah; Mewirausahakan Birokrasi, Pengembangan
Kehumasan.

6.    Muhammad Insa Ansari, S.H., M.H.


Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Pendidikan : S1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala tahun 2002, Magister
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2005.  Pengalaman
kerja : Reporter Warta Unsyiah – Banda Aceh pada tahun 2000,  Legal Assistant
pada Kantor Hukum Martimun Amin & Partners di Jakarta. Kantor Hukum
Asfifuddin & Associates di Jakarta. Kepala Biro Hukum Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias di Banda Aceh.  Sekretaris Kelompok Kerja
Hukum Tim Likuidasi BRR NAD-Nias

7. Dwiyanto, S.STP, MSi


Lahir di Sragen, 10 Maret 1977, Kepala  Kantor Pengelola Data Elektronik
(PDE) Kabupaten Sragen (2009 – sekarang). Pendidikan : D-4 STPDN Tahun
1999, S-2 Magister Administrasi Publik (MAP) UNDIP 2002. Anggota Forum e-
Government Indonesia.  Asessor PeGI (Pemeringkatan e-Government Indonesia).
Email:  dwiyanto@sragenkab.go.id & dwiyantoe@yahoo.com.

8.    Dr. Sudjana. S.H., M.Si.


Staf Pengajar  (Lektor Kepala) pada Program S1, S2, dan Promotor pada
Program S3 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Doktor
Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran tahun 2006, dengan Predikat Cumlaude.

182 | Edisi 2, Tahun II


9.    Tugiyono, SH
Lahir : Boyolali, 08 Juli 1967, Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penana-
man Modal Kab. Sragen.

10.    Arief Hidayat & Sri Nur Hari Susanto.


Arief Hidayat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Sri Nur Hari Susanto, Lektor Kepala, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, sedang menempuh studi  S3 pada Program Doktor Ilmu  Hukum
Universitas Diponegoro

Edisi 2, Tahun II | 183


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

184 | Edisi 2, Tahun II


JURNAL
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
REFORMASI BIROKRASI MENUJU PEMERINTAHAN KELAS DUNIA

Anda mungkin juga menyukai