Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PENDAHULUAN

7 MASALAH KEPERAWATAN JIWA

Disusun oleh :

Rachel Matulessy

1820000009

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

JAKARTA

2021
LAPORAN PENDAHULUAN
Harga Diri Rendah

1. KASUS (MASALAH UTAMA)


Harga Diri Rendah
Gangguan konsep diri adalah suatu keadaan negatif dari perubahan mengenai
perasaan, pikiran atau pandangan tentang dirinya sendiri yang negatif. Harga diri rendah
adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat
evaluasi diri yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Harga diri rendah
yang berkepanjangan termasuk kondisi tidak sehat mental karena dapat menyebabkan
berbagai masalah kesehatan lain terutama kesehatan jiwa. Gangguan harga diri rendah
biasanya digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri termasuk
hilangnya percaya diri dan harga diri karena gagal mencapai keinginan (Budi Ana Keliet,
1999).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung harga diri rendah meliputi
penolakan dan kurangnya penghargaan diri dari orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis, orang tua yang tidak benar, membenci dan tidak menerima akan mempunyai
keraguan atau ketidakpastian, kegagalan yang berulangkali, kurang mempunyai
tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak
realistis, gagal mencintai dirinya dan menggapai cinta orang lain, misalnya karena orang
tua tidak percaya pada anak, tekanan dari teman, dan kultur sosial yang berubah.
B. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi munculnya harga diri rendah meliputi trauma seperti
penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam
kehidupan seperti kehilangan bagian tubuh, perubahan aturan, bentuk dan penampilan
fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal, adanya
kegagalan yang mengakibatkan produktifitas menurun. Selain itu faktor presipitasi
lain yaitu ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dimana individu mengalami frustrasi. Pada mulanya klien merasa dirinya tidak
berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain.
Biasanya klien berasal dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan,
kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam
hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman. Klien
semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha
mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan
sehingga rasa aman tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan
rasionalisasi dan mengaburkan realitas dari pada mencari penyebab kesulitan serta
menyesuaikan diri dengan kenyataan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin
kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.
C. Mekanisme Koping
Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip oleh Anna Budi Keliat, 1998,
mekanisme koping pada pasien dengan gangguan konsep diri menjadi 2 yaitu :
1. Koping jangka pendek
 Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari kasus.
 Aktifitas yang dapat memberikan kesempatan mengganti identitas
sementara.
 Aktifitas yang memberikan kekuatan atau dukungan sementara terhadap
konsep diri atau identitas yang kabur.
 Aktifitas yang memberi arti dalam kehidupan.
2. Koping jangka panjang
Semua koping jangka pendek dapat berkembang menjadi koping jangka panjang.
Penjelasan positif akan menghasilkan identitas dan keunikan individu.
D. Rentang Respons

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Kekacauan Depresionalisasi


Diri Positif Rendah Identitas

Keterangan :
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam
beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dair dirinya.
3. Harga diri rendah adalah individu cendrung untuk menilai dirinya negatif dan
merasa lebih rendah dari orang lain.
4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas
masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikososial kepribadian pada masa
dewasa yang harmonis.
5. Depresionalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.

III. A. POHON MASALAH


Resiko tinggi perilaku kekerasan

Perubahan presepsi sensori : halusinasi

Isolasi Sosial

Harga diri rendah

Gangguan Citra Diri


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI
1. Masalah Keperawatan
Harga Diri Rendah
2. Data Yang Perlu Dikaji
Data Subyektif:
 Mengkritik diri sendiri atau orang lain
 Perasaan tidak mampu
 Pandangan hidup yang pesimis
 Perasaan lemah dan takut
 Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri
 Pengurangan diri / mengejek diri sendiri
 Hidup yang berpolarisasi
 Ketidakmampuan menentukan tujuan
 Mengungkapkan kegagalan pribadi
 Merasionalisasikan penolakan
Data Obyektif:
 Produktifitas menurun
 Perilaku destruktif pada diri sendiri dan orang lain
 Penyalahgunaan zat
 Menarik diri dari hubungan sosial
 Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah
 Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
 Tampak mudah tersinggung / mudah marah

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Harga Diri Rendah

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Tindakan Keperawatan pada Klien
 Tujuan
a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
b. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan.
c. Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai dengan
kebutuhan
d. Klien mampu melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai kemampuan
e. Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
 Tindakan Keperawatan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien.
Perawat dapat melakukan hal-hal berikut untuk membantu klien
mengungkapakan kemapuan dan aspek positif yang masih dimilikinya.
1) Mendiskusikan bahwa klien masih memiliki sejumlah kemampuan dan
aspek postif seperti kegiatan klien di rumah, adanya keluarga dan
lingkungan terdekat klien.
2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian yang
negatif setiap kali bertemu dengan klien
b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan
saat ini setelah mengalami bencana
2) Bantu klien menyebutkan dan beri penguatan terhadap kemampuan diri
yang berhasil diungkapakan klien
3) Perlihatkan respon yang kondusif dan jadilah pendengar yang aktif
c. Membantu klien agar dapat menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai
dengan kemampuan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan
dan dipilih sebagai kegiatan yang akan klien lakukan sehari-hari
2) Bantu klien menetapkan aktivitas yang dapat dilakukan secara mandiri.
Tentukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dan
bantuan penuh dari keluaraga atau lingkungan terdekat klien. Berikan
contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan klien. Lakukan
penyusunan aktivotas bersama klien dan buatlah daftar aktivitas atau
kegitaan sehari-hari klien.
d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang
sudah dipilih klien) yang akan dilatihkan
2) Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegitaan yang
akan dilakukan klien
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan yang
diperlihatkan klien.
e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesui kemampuannya.
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan
2) Beri pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat dilakuakn klien
setiap hari
3) Tingkatkan kegitaan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
4) Menyusun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama klien dan
keluaraga
5) Berikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan persaanya
setelah melaksanakan kegiatan
6) Yakinlah bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan
klien
2. Tindakan Keperawatan pada Keluarga
 Tujuan
a. Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang
dimiliki klien
b. Keluaga memfasilitasi aktiivtas klien yang sesuai dengna kemampuan
c. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan
latihan yang telah dilakukan
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan klien

 Tindakan Keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien
b. Jelaskan kepada keluaraga tentang kondisi klien yang mengalami gangguan
konsep diri harga diri rendah
c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien
d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep diri, harga diri
rendah
e. Demonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri harga diri
rendah
f. Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan klien di rumah
Daftar Pustaka

Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksaan

Tindakan Keperawatan Jakarta: Salemba medika

Stuart, Gail W. 2006. Buku Keperawatan Jiwa Jakarta EGD. 4

Wikinson, J. 2006, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Jakarta: EGD


LAPORAN PENDAHULUAN

Perilaku kekerasan

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau
marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
Perilaku kekerasan adalah prilaku yang ditandai dengan menyentuh orang lain secara
menakutkan, mengucapkan kata-kata ancaman, dan melukai pada tingkat ringan dan
paling berat atau merusak secara serius. (Budi Anna Keliat , 2002)
Kesimpulan: Perilaku kekerasan adalah perilaku dimana seseorang melakukan tindakan
yang membahayakan dirinya maupun orang lain sebagai akibat dari perasaan jengkel
yang timbul sebagai respon kekesalan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. FAKTOR PREDISPOSISI
Factor perkembangan merupakan faktor hambatan perkembangan dan
mengganggu hubungan intrapersonal yang dapat meningkatkan stress dan ansietas yang
dapat berakhir dengan gangguan persepsi, klien mungkin menekan perasaan sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif. Kemudian factor budaya yang
tertutup dan membatas secara diam dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap prilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah prilaku kekerasan diterima. Sedangkan factor
psikologis merupakan faktor terjadinya kegagalan yang dialami dapat menimbulkan
frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu ditolak atau dihina dan dianiaya. Selain itu factor biologis juga
akan menyebabkan terjadinya kerusakan system limbik (pusat marah), lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan membrane transmitter turut berespon terhadap
terjadinya prilaku kekerasan.
B. FAKTOR PRESIPITASI:
Faktor presipitasi adalah sebagai faktor pencetus terjadinya suatu perilaku
kekerasan. Dapat bersumbar dari klien, lingkungan atau interaksi dari orang lain,
kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik) keputusasaan, ketidak berdayaan,
percaya diri yang kurang, dapat menjadi penyebab prilaku kekerasan
C. Mekanisme Koping:
Mekanisme koping yang sering digunakan pada klien dengan prilaku kekerasan
adalah:
1. Displacemen
Pengalihan emosi yang semula ditunjukkan pada seseorang atau benda kepada orang
lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam jiwanya
2. Sublimasi
Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimana suatu masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyaluran secara normal
3. Proyeksi
Pengalihan unsur emosianal dari suatu pikiran yang menggangu dapat bersifat
sementara atau berjangka waktu
4. Persepsi
Mengesampingkan secara tidak sadar tentang suatu pikiran, impuls atau ingatan yang
menyakitkan atau bertentangan dari kesadaran seseorang

D. RENTANG RESPON:
Respons kemarahan dapat berfluktuasi sepanjang rentang respons adaptif dan
maladaptif
Respons adaptif Respons maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan
1. Respons adaptif
Respons yang bisa diterima norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum
yang berlaku, diantaranya:
a. Asertif (pernyataan) adalah respons marah dimana individu mampu menyatakan atau
mengungkapkan perilaku kekerasan rasa marah (tidak setuju tanpa menyalahkan
orang lain)
b. Frustasi adalah respons yang terjadi akibat individu gagal mencapai tujuan kepuasan,
rasa aman yang biasanya dalam keadaan tersebut individu.
2. Respons maladaptif
Respons yang diberikan individu dalam menyelesaikan masalah yang sudah
menyimpang dari norma sosial dan kebudayaan, diantaranya:
a. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan
prilaku kekerasan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan
nyata
b. Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan induvidu
untuk menuntut sesuatu yang dianggap benar dalam bentuk destruktif tetapi masih
terkontrol
c. Kekerasan (amuk) adalah respon atau perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
disertai hilang kontrol dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan
lingkugan

III. A. Pohon Masalah


Resiko perilaku kekerasan

Perilaku Kekerasan

Harga diri rendah


B. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji:
1. Masalah Keperawatan:
Perilaku Kekerasan
2. Data yang dikaji
Data Subyektif:
 Klien mengatakan pernah melakukan tindakan kekerasan
 Klien mengatakan merasa orang lain mengancam
 Klien mengatakan orang lain jahat
Data Obyektif:
 Muka tampak merah
 Mata melotot
 Tegang saat berbicara
 Nada suara tinggi
 Sering mengepalkan tangan
 Mengatupkan rahangnya
 Jalan mondar mandir

IV. Diagnose Keperawatan


Prilaku kekerasan

V. Rencana Tindakan Keperawatan


1. Tindakan keperawatan untuk klien
 Tujuan
a. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
d. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
e. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya
f. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial,
dan dengan terapi psikofarmaka.

 Tindakan
a. Bina Hubungan Saling Percaya
Dalam hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar merasa aman dan
nyaman saat berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus saudara
lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah
mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi,
serta membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.
b. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi dimasa
lalu dan saat ini.
c. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik
kekerasan fisik, psikologis, sosial, spiritual maupun intelektual.
d. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada
saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
e. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.
Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara
fisik (pukul kasur atau bantal serta tarik nafas dalam), obat-obatan, sosial atau
verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun
spiritual (salat atau berdoa sesuai keyakinan klien).
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga
 Tujuan
Keluarga dapat merawat klien di rumah
 Tindakan
a. Diskusikan bersama keluarga tentang perilakukekerasan meliputi penyebab,
tanda dan gejala perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut
b. Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan
1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan tindakan
yang telah diajarkan oleh perawat.
2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota
keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila klien
menunjukan gejala-gejala perilaku kekerasan.
c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.
Daftar Pustaka

Aziz R. Dkk. (2003). Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang RSJDDR. Amino
Gunohutomo

Ernawati, Dalami. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa 1


Jakarta: Trans Info Media

Keliat Budi Ana. (1999). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edisi. 1 Jakarta: EGC

Stuart GW, Sundeen (1995). Princeples And PracticeOf Psykiatric Nursing (S th ed). St Louis
mosby Year Book

Tim Dikrektorat Keswa. (2000). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung: RSJP
Bandung

.
LAPORAN PENDAHULUAN
Isolasi Sosial

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Isolasi Sosial
Hubungan sosial adalah hubungan untuk menjalin kerjasama dan ketergantungan
dengan orang lain (Stuart and Sundeen,1998).
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu kerusakan interpersonal yang terjadi akibat
kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif yang
mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial.
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam.

II. PROESES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Faktor perkembangan sosial budaya yang merupakan faktor predisposisi
terjadinya perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu-ragu, takut salah,
pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindari orang lain,
tidak mampu merumuskan keinginan dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih
menyukai berdiam diri dan menyendiri.

B. Faktor Presipitasi
Tingkat kecemasan yang berat menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasi masalah yang diyakini menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan (menarik diri).

C. Mekanisme Koping
Individu mempunyai respons sosial maladaptif yang menggunakan berbagai
mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme yang disajikan
disini berkaitan dengan jenis spesifik dari masalah-masalah berhubngan :
1. Koping yang berkaitan dengan gangguan kepribadian anti sosial yaitu
proyeksi, pemisahan dan merendahkan orang lain.
2. Koping yang berkaitan dengan gangguan kepribadian borderline yaitu
pemisahan, reaksi formasi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang lain,
merendahkan orang lain dan identifikasi – proyeksi.

D. Rentang Respons
Hubungan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya menimbulkan respons-
respons sosial pada individu yaitu:

Respons adaptif Respons maladaptif

- Solitude - Merasa sendiri - Manipulasi


- Bekerjasama
- Saling - Menarik diri - Impulsif
tergantung
- Kebebasan - Tergantung - Narkisisme
- Mutuality

Keterangan:
1. Respons adaptif
Yaitu respons individu dalam penyesuaian masalah yang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya yang meliputi:
a. Solitude (merenung) merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya, dan
merupakan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah-
langkah selanjutnya.
b. Autonomy (kebebasan) merupakan respon individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran dan perasaan dalam hubungan sosialnya.
c. Mutuality merupakan respons individu dalam berhubungan interpersonal
dimana individu saling memberi dan menerima.
d. Interdependence (saling ketergantungan) merupakan respons individu
dimana terdapat saling ketergantungan dalam melakukan hubungan
interpersonal.
2. Respons antara adaptif dan maladaptif
a. Aloness (merasa sendiri) dimana individu merasakan kesepian,
terkucilkan dan tersisihkan dari lingkungannya.
a. Withdrawl (menarik diri) gangguan yang terjadi dimana seseorang
menemukan kesulitan dalam membina hubungan saling terbuka dengan
orang lain, dimana individu sengaja menghindari hubungan
interpersonal ataupun dengan lingkungannya.
b. Dependence (ketergantungan) individu mulai tergantung kepada
individu yang lain dan mulai tidak memperhatikan kemampuan yang
dimilikinya.
3. Respons maladaptif
Yaitu respons individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungannya, yang
meliputi:
a. Loneliness (kesepian) merupakan gangguan yang terjadi apabila seseorang
memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain atau tanpa
bersama orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
b. Manipulation (manipulasi) merupakan hubungan yang berpusat pada
masalah pengendalian lain dan individu cendrung berorientasi pada diri
sendiri atau tujuan dan bukan pada orang lain.
c. Narksisme merupakan rasa cinta pada diri sendiri yang berlebihan

III. A. POHON MASALAH

Resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi (akibat)

Isolasi sosial (core problema)

Harga diri rendah (penyebab)

A. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


1. Masalah keperawatan
Isolasi sosial
2. Data yang perlu dikaji
a. Data subyektif
 Klien mengatakan malas berinteraksi
 Klien mengatakan tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
b. Data obyektif
 Mondar mandir tanpa arah
 Menyendiri
 Mengurung diri
 Tidak mau berbicara dengan orang lain
 Tidak berinisiatif berhubungan sosial

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi sosial
V . RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Tindakan Keperawatan untuk Klien
a. Membina hubungan saling percaya
b. Menyadari penyebab isolasi sosial
c. Mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain
d. Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap

2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


a. Keluarga mengetahui masalah isolasi sosial dan dampaknya pada klien
b. Keluarga mengethaui penyebab isolasi sosial
c. Sikap keluarga untuk membantu klien mengatasi isolasi sosial
d. Keluarga mengetahui pengobatan yang benar untuk kline
e. Keluarga mengetahui tempat rujukan dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi
klien
Daftar Pustaka

Stuard. Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Suart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. KASUS (MASALAH UTAMA): HALUSINASI


Gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara ransang
yang timbul dari sumber internal seperti perasaan, pikiran, sensasi, somatik dengan impulsif
dan stimulus eksternal persepsi mengacu pada respons reserptor sensori terhadap stimulus
eksternal persepsi sehingga gangguan persepsi dapat terjadi pada proses sensasi dari
pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan. Gangguan ini bersifat
ringan, berat atau sementara, lama (Harsir,Nudis 1987).
Halusinasi adalah persepsi sensorik tentang suatu obyek gambaran dan pikiran yang
sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan) (Cook &
Fonntare,1987)
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi pancaindra tanpa adaanya rangsang
dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaann dimana terjadi pada saat individu itu
penuh atau baik. Dengan kata lain klien berespons terhadap rangsang yang tidak nyata dan
hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat ditentukan oleh yang lain (Wilson,1983).
Jadi Halusinasi adalah keadaan dimana pancaindra tidak dapat membedakan rangsangan
interna dan eksterna yang menimbulkan respons yang tidak sesuai dengan jumlah
(interpretasi yang datang).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


a) Proses Prediposisi
Pada pasien dengan halusinasi (Stuart and Lumala,1998) adalah faktor
perkembangan yaitu jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungn
interpersonal yang terganggu maka individu mengalami stres dan kecemasan. Dan faktor
sosio kultural di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakharmonisan sosial budaya, hidup
terisolasi dan stres yang menumpuk. Selanjutnya faktor biokimia yang menyebabkan
terjadinya pelepasan zat-zat halusinogen (bupatin dan simotil transerase) yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses informasi dan penurunan kemampuan
menanggapi rangsangan.
b) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi halusinasi menurutStuart and Sundeen,1998 adalah stressor sosial
dimana stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadinya penurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dari orang sangat penting atau diasingkan oleh kelompok
masyarakat.Faktor biokimia dimana karena klien kurang berinteraksi dengan kelompok
lain, suasana terisolasi (sepi) sehingga dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang
merangsang tubuh mengeluarkan zat-zat halusigenik. Kemudian masalah keperawatan
yang menjadi penyebab munculnya halusinasi antara lain adalah harga diri rendah dan
isolasi sosial. Akibat kurangnya ketrampilan berhubungan sosial, klien jadi menarik diri
dari lingkungan. Dampak selanjutnya klien akan lebih terfokus pada dirinya sendiri.
Stimulus eksternal menjadi lebih dominan dibandingkan dengan stimulus internal.
c) Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri (Stuart & Sundeen,1998,hal 33). Mekanisme koping
merupakan upaya langsung dalam mengatasi stres yang berorientasi pada tugas yang
meliputi upaya pencegahan langsung, mengurangi ancaman yang ada. Mekanisme koping
yang sering dilakukan oleh klien dengan halusinasi adalah regresi yaitu berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas, klien jadi
malas beraktifitas sehari-hari. Proyeksi yaitu upaya untuk menyelesaikan kehancuran
persepsi dan mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggungjawab kepada orang lain atau suatu benda. Denial adalah menghindari
kenyataan yang tidak diinginkan dengan mengabaikan dan mengakui adanya kenyataan
ini.
d) Rentang Respons
Rentang respons neurobiolgical
Adaptif Ilusi Maladaptif
- Pemikiran - Reaksi emosional - Kelainan pikiran
Logis berkembang/lebih - Halusinasi
- Emosi konsisten - Perilakunya -Ketidakmampuan
dengan pengalaman ganjil emosi
- Perilakunya - Menarik diri - Ketidakteraturan
Sesuai Isolasi sosial
- Hubungan social

e) Fase –fase Halusinasi


Menurut Stuart and Laraia,1998, halusinasi dibagi menjadi 4 fase yaitu :
1. Fase pertama:
Individu mengalami stres, cemas, perasaan terpisah kecuali kesepian klien mungkin
melamun dan memfokuskan pada hal-hal yang menyenangkan untuk menghilangkan
kecemasan dan stres. Hal ini menolong sementara integrasi pemikirannya meningkat
tetapi masih bisa mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya.
2. Fase kedua:
Ketakutan meningkat dipengaruhi oleh pengalaman berada pada tingkat pendengaran
halusinasi pikiran internal menjadi menonjol. Halusiansi sensori dapat berupa bisikan
yang tidak jelas dan suara aneh tetapi klien takut bila orang lain mendengar atau
memperhatikannya, perasaan klien tidak efektif untuk mengontrol dirinya dan
halusinasi dengan memproyeksikan pengalaman sehingga seolah-olah halusinasi
datangnya dari tempat lain.
3. Fase ketiga:
Halusinasi semakin menonjol menguasai dan mengontrol klien menjadi lebih terbiasa
dan tidak berdaya dengan halusinasinya tersebut memberi kemungkinan dan rasa
aman sementara.
4. Fase keempat :
Klien merasa tidak berdaya dan terpaku untuk melepaskan dirinya dan kontrol yang
sebelumnya menyenangkan menjadi memerintah, memarahi, mengancam dirinya,
klien tidak behubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya.
Mungkin klien berada dalam dunia menakutkan. Bila tidak dilakukan intervensi
secepatnya proses tersebut bisa menjadi kronik.

f) Klasifikasi jenis dan sifat masalah


Adapun jenis dan sifat halusinasi menurut Wilson & Kneils,1998 yaitu :
a. Halusinasi dengar (Auditarik dan Akustik) yaitu suara atau ucapan yang didengar
oleh klien tetapi tidak ada obyek realita, merupakan proyeksi ketidakmampuan klien
menerima persepsi dari dirinya yang dihubungkan dengan kekuatan ketakutan luar
yang kadang-kadang suara tersebut memaki-maki, menghina orang lain,
menertawakan dan mengancam.
b. Halusinasi lihat (Visual) yaitu bayangan visual atau sensasi yang dialami oleh klien
tanpa adanya stimulus, klien mungkin melihat bayangan dari figure obyek atau
kejadian orang lain tidak melihat obyek tersebut.
c. Halusinasi kecap (Eustatorik) yaitu halusinasi rasa yang terjadi bersama-sama dengan
halusinasi bau, klien merasa mengecap sesuatu bau atau rasa di dalam mulitnya.
Halusinasi hirup atau bau (Olfaktori) yaitu klien mengalami atau mengatakan
mencium bau-bauan seperti bunga, kemenyan dan bau-bau lain yang sebenarnay tidak
ada sumbernya.
d. Halusinasi raba (Taktil) yaitu klien merasa ada seseorang yang memegang, meraba,
memukul klien. Halusinasi septik yaitu klien merasakan rabaan yang merupakan
rangsangan seksual.
Dari semua tipe halusinasi tersebut dapat terjadi sendiri atau secara kombinasi
halusinasi dapat menimbulkan perubahan yang jelas pada perubahan lingkungan yang
nyata, sehingga klien dapat sulit diajak bicara, komunikasi mengenai diri dan
lingkungannya serta mengukur efek yang terdapat pada klien tersebut.
III. A. POHON MASALAH

Resiko Perilaku kekerasan


Gangguan Sensori Sensori
Gangguan Persepsi Persepsi: Halusinasi
: Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga diri Rendah


B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI

1. Masalah Keperawatan
Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi
2. Data yang perlu dikaji
Data Subyektif
 Klien mengatakan sering mendengar suara bisikan di telinga.
 Klien mengatakan sering melihat sesuatu
Data Obyektif
a. Klien tampak ketakutan
b. Klien tampak bicara sendiri
c. Klien tampak marah tanpa sebab
d. Klien kadang tertawa sendiri
e. Klien sering menyendiri
f. Klien tampak mondar-mandir

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Halusinasi
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Rencana tindakan untuk klien
 Tujuan tindakan untukk klien adalah sebagai berikut:
a) Klien mengalami halusinasii yang dialaminya
b) Klien dapat mengontrol halusinasinya
c) Klien mengikuti program pengobatan secara optimal
 Tindakan keperawatan
a) Membantu klien mengenali halusinasinya
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien
mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait isi
halusinasinya ( apa yang didengar atau dilihat). Waktu terjadi halusinasi,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul,
dan perasaan klien ketika halusinasi muncul ( komunikasinya sama pengkajian
diatas)
b) Melatih klien mengontrol halusinasinya
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien.
Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrolhalusinasi seseorang.
Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap cakapdengan
orang lain, melakukan aktifitas yang terjadwal, dan mengkomsumsi obat secara
teratur.
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
 Tujuan tindakan untuk keluarga
Keluarga dapat merawat klien dirumah dan menjadi system pendukung yang efektif
untuk klien
 Tindakan keperawatan
Keluarga merupakan faktor vital dalam penanganan klien gangguan jiwa dirumah.
Hal ini mengingat keluarga adalah system pendukung terdekat dan orang yang
bersama-sama dengan klien 24 jam. Keluarga sangat menentukan apakah klien akan
kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung klien secara konsisten akan
membuat klien mampu mempertahankan pengobatan secara optimal. Namun
demikian, jika keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bhkan
untuk memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus
melatih keluarga klien agar mampu merawat klien gangguan jiwa dirumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga tahap.
Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh klien dan
pentingnya peran keluarga untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah melatih
keluarga untuk merawat klien. Tahap ketiga yaitu melatih keluarga untuk merawat
klien langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami klien, tanda dan gejala halusinasi, proses
terjadinya, cara merawat klien halusinasi (cara berkomunikasi, Pemberian obat, dan
cara pemberian aktifitas kepada klien)., serta sumber-sumber pelayanan kesehatan
yang bisa di jangkau.

Daftar Pustaka

Carpeneto – Lynda Juall 1998 Diagnosa Keperawatan, “Jakarta: EGC


Kaliat, B. A. 2006. “Proses Keperawatan dan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Stuart and Sudeen. 1998 “Buku Saku Keperawatan Jiwa “Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
Defisit Perawatan Diri

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan aktifitas perawatan diri secara mandiri
(Tarwoto dan Wartonah,2000).
Personal hygene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, dan kurang perawatan diri
adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu untuk melakukan perawatan kebersihan
untuk dirinya (Poter Perry, 2005).
Syndroma kurang perawatan diri adalah keadaan dimana individu mengalami
suatu kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktifitas diri yang meliputi
makan, mandi, berdandan dan instrumental (Carpenito, 2000).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya defisist perawatan diri dan yang
sangat berpengaruh terhadap kondisi klien adalah faktor perkembangan dimana
keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu. Faktor biologis dimana penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak
mampu melakukan perawatan diri. Disamping itu ada faktor sosial yang
menyebabkan klien kurang mendapat dukungan dan latihan kemampuan perawatan
diri di lingkungannya, situasi lingkungan mempengaruhi letihan kemampuan dalam
perawatan diri. Selanjutnya faktor kemampuan realitas turun, dimana klien dengan
gangguan jiwa dan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.

B. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya
motivasi, kerusakan kognitif atau preseptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes, 2009: 59: faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah: faktor body image dimana gambaran individu terhadap dirinya sangat
mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya. Dan faktor sosial dimana pada masa
anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene. Faktor sosial ekonomi dimana personal hygiene
memerlukan alat dan bahan seperti sabun, odol, sikat gigi, shampo, alat mandi yang
semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya. Faktor pengetahuan dimana
pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting karena pengetahan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien diabetes melitus harus menjaga
kebersihan kuku kakinya. Faktor budaya dimana sebagian masyarakat jika individu
sakit tertentu maka tidak boleh dimandikan. Faktor kebiasaan sesorang dimana ada
kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan dirinya seperti
penggunaan sabun, dll. Selanjutnya faktor kondisi fisik atau psikis dimana pada
keadaan tertentu atau sakit, kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan orang lain.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Depkes, 2000: tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
1. Fisik:
 Badan bau, pakaian kotor
 Rambut dan kulit kotor
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor dan bau mulut
 Penampilan rapi
2. Psikologis:
 Malas, tidak ada inisiatif
 Menarik diri, isolasi diri
 Merasa tidak berdaya, rendah diri dan merasa dihina
3. Sosial:
 Interaksi kurang
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma
 Cara makan tidak teratur, BAK/BAB disembarang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu.
D. Etiologi
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan
merawat diri, makan secara mandiri, berhias secara mandiri, dan toileting secara
mandiri.
E. Akibat
 Dapat berakibat terjadinya resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi.
 Semakin sulit membina hubungan dengan orang lain
 Dapat memperlambat proses penyembuhan atau pengobatan klien
 Klien dapat dikucilkan dalam keluarga maupun masyarakat
F. Jenis-jenis defisit perawatan diri
a. Kurang perawatan diri: mandi atau kebersihan adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktifitas mandi atau kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri: mengenakan pakaian atau berhias adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktifitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri: makan adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan
aktifitas makan.
d. Kurang perawatan diri: toileting adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktifitas toileting sendiri (Nurjannah,2004:79).
G. Mekanisme Koping
a. Regresi adalah kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri
khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
b. Penyangkalan
c. Isolasi diri atau menarik diri adalah pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran
yang mengganggu yang dapat bersifat sementara atau dalam waktu yang lama.
d. Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan berlebihan untuk menghindari
pengalaman yang mengganggu perasaannya.

III. A. POHON MASALAH


Resiko Tinggi Isolasi Sosial

DPD

HDR

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
2. Data yang perlu dikaji
Data Subyektif
 Klien mengatakan dirinya malas mandi, tidak mau menyisir rambut, tidak
mau menggosok gigi dan tidak mau memotong kuku.
 Klien mengatakan juga tidak mau berhias, tidak mau menggunakan alat
mandi atau kebersihan diri.
Data Obyektif
 Klien tampak kotor, rambut kotor
 Badan bau
 Pakaian kotor
 Kuku kaki dan kuku tangan panjang dan kotor
 Mulut bau
 Gigi kotor
 Penampilan tidak rapih

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Tujuan
Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi/membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK.
2. Tindakan Keperawatan untuk Klien
a. Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi
mandi/membersihkan diri, berhias,/berpakaian, makan dan BAB/BAK secara
mandiri
b. Memberikan latihan cara melakukan mandi/membersihkan diri,
berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK secara mandiri
c. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang
perawatan diri

3. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung agar kemampuan klien
dalam perawatan dirinya meningkat. Serangkaian intervensi ini dapat dilakuakn
dengan cara sebagi berikut :
a. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan
oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri
b. Anjurkan keluraga untuk terlibat dalam merawat dan membantu klien dalam
merawat diri ( sesuai jadwal yang telah disepakakti)
c. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan dalam merawat
diri.

Daftar Pustaka

Tarwoto dan Wartonah,2000. Proses Keperawatan dan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
EGC

Poter Perry, 2005. Diagnosa Keperawatan, “ Jakarta : EGC

Carpenito, 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung : RSJP Bandung
LAPORAN PENDAHAULUAN

Waham

I. KASUS (MASALAH UTAMA: WAHAM

a) Pengertian Waham

Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang di pertahankan secara kuat atau terus

menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (keliat dan Akemat,2010). Waham adalah

keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak

didapat diubah secara logis oleh orang lain. Kenyataan ini berasal dari pemikiran klien

yang sudah kehilangan kontrol ( Depkes RI,2000). Berdasarkan pengertian diatas dapat

disimpulkan bahwa waham adalah suatu keyakinan yang salah atau tidak sesuai dengan

kenyataan tetapi tetap dipertahankan.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

Perasaan diancam oleh lingkungan,cemas,merasa sesuatu yang tidak menyenangkan hati.


Mencoba mengingkari ancama dari persepsi diri atau objek realitas dengan menyalah artikan

kesan terhadap kejadiaan.

Individu memproyeksikan pikiran dan perasaan internal pada lingkungan sehingga perasaan,

pikiran, dan keinginan negative / tidak dapat diterima menjadi bagian eksternal.

Individu mencoba memberikan pembenaran / rasional / alas an interpretasi personal tentang

realita pada diri sendiri atau orang lain.

a) Faktor Predisposisi

Faktor Predisposisi yang mempengaruhi terjadinya waham, yaitu faktor perkembangan,

sosial budaya, pisikologis dan genetik. Hambatan perkembangan akan menganggu

hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang

berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaan nya sehingga pematangan

fungsi intelektual dan emosi tidak efektif. Seseorang yang merasa diasingkan dan

kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham. Hubungan yang tidak harmonis, peran

ganda atau bertentangan, dapat menyebabkan timbulnya ansietas dan berakhir dengan

pengingkaran terhadap kenyataan. Waham diyakini karna adanya atrofi otak.

b) Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya waham adalah faktor social budaya, biokimia dan psikologis.

Waham dapat dipicu karna adanya perpisahan dengan orang yang berarti diasingkan dari

kelompok. Dopamin, dan zat halusinogen lainya diduga dapat menyebabkan terjadinya

waham pada seseorang. Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan


unstuck mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping unstuck menghindari

kenyataan yang menyenangkan

c) Jenis Waham

1) Waham kebesaran

Individu meyakini bahwa ia memiliki kebebasan atau kekuatan khusus dan diucapkan

berulang kali.

2) Waham curiga

Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusahha untuk

merugikan / mencerdai diri nya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai

keyataan.

3) Waham Agama

Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan dan diucapkan

berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.

4) Waham somatic

Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang

penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.

5) Waham Nihilistik

Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada didunia / meninggal dan diucapkan

berulang kali, tetapi tidak sesuia dengan kenyataan

d) Fase-fase

Menurut Yosep (2009), proses terjadinya wahan meliputi 6 fase yaitu:

1. Fase of human need


Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik

maupun pisikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang

dengan status social dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan

menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan kebutuhab hidupnya

mendorongnya untuk melakukan konpensasi yang salah. Ada juga klien yang secara

social dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara reality dengan self ideal

sangat tinggi.

2. Fase Lack Of self esteem

Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal

dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak

terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuan nya.

3. Fase control internal external

Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia

katakana adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan

kenyataan, tetapi mengadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat,

karna kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan dianggap penting dan diterima

lingkungan menjadi prioritas dalam hidup nya, karna kebutuhan tersebut belum

terpenuhi secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi

bahwa suatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara

adekuat karna besar nya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan

hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konprontatif berkepanjangan dengan

alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.

4. Fase envinment support


Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan

klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan

tersebut sebagai sesuatu kebeneran karna seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai

terjadinya kontrol diri dan tidak berfungsi nya norma ( super ego) yang ditandai

dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.

5. Fase comforting

Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap

semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering di

sertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien

sering menyendiri dan menghindari interaksi social (isolasi social).

6. Fase improving

Apabila tidak adanya konprontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan

yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan

dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai

yang hilang). Waham bersipat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat

menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

e) Mekanisme koping

Tidak memiliki kelainan dalam orientasi klien waham spesifik terhadap orang, tempat,

waktu. Daya ingat atau kognisi lainya biaanya akurat. Pengendalian implus pada klien

waham perlu diperhatikan bila terlihat adanya rencana bunuh diri, membunuh atau
melakukan kekerasan pada orang lain. Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali

dengan adanya riwayat penyakit berupa kerusakan pada bagian konteks dan libik otak.

Biar dikarenakan terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya

perubahan emosional seseorangyang yidak stabil. Bila berkepanjangan akan

menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain dan

lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi ketidak mampuan

sseseorang dalam memenuhi kebutuhanya. Bila respon lingkungan kurang mendukung

terhadap perilakunya kekerasan pada orang lain.

f) Rentang respon neurologik

Respon adaptif Respon maladaptive

 Pikiran logis  kadang-kadang  gangguan isi


 Persepsi akurat proses piker pikir halusinasi
 Emosi konsisten terganggu  perubahan
dengan  ilusi proses emosi
pengalaman  emosi  perilaku tidak
 Perilaku sesuai berlebihan terorganisas
 Hubungan  perilaku yang  isolasi social
sosial tidak biasa
 menarik diri

III. A. POHON MASALAH

Resiko tinggi perilaku kekerasan

Gangguan proses pikir: Waham

Isolasi sosial
Harga diri rendah kronis

B. MASALAH KEPERAWATAN YANG PERLU DIKAJI

1. Masalah keperawatan yang mungkin muncul

Gangguan proses pikir: waham

2. Data yang perlu dikaji

a. subjektif:

1) klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat

2) klien mengatakan bahwa dirinya memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus

b. objektif:

1) klien terlihat mengoceh tentang pemahaman yang dimilikinya.

2) pembicaraan klien cenderung diulang

3) isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Setelah pengkajian dilakukan dan data subjektif dan objektif sudah ditemukan pada pasien,

diagnosa yang dapat ditegakkan adalah gangguan proses pikir: waham.

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

1) Tindakan keperawtaan pada klien

 Tujuan

a) Klien dapat berorientasi terhadap realitas secara bertahap

b) Klien mampu berinteraksi dengan orang laindan lingkungannya


c) Klien menggunakan obata denganprinsip enam benar

 Tindakan

a) Bina hubungan saling percaya

Sebelum memulai pengkajian pada klien dengan waham. Perawat harus membina

hubungan saling percaya terlebih dahulu agar klien merasa aman dan nyaman saat

berinteraksi. Tindakan yang hatus saudara lakukan dalam rangka membina

hubungan saling percaya adalah sebagai berikut:

1) Mengucapkan salam teraupetik

2) Berjabat tangan

3) Menjelaskan tujuan interaksi

4) Membuat kontrak topic, waktu dan tempat setiap kali bertemu klien

b) Tidan mendukung atau membantah waham klien

c) Yakinlah klien berada dala keadaan aman

d) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari

e) Diskusikan kebutuhan psikologi/emosional yang tidak terpenuhi karena dapat

menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah

f) Jika klien terus menerus membuicarakan wahamnya, dengarkan tanpa

memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti membicarakannya

g) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi kklien sesuai dengan realitas

h) Diskusikan dengan klien kemampuan realittas yang dimilikinya pada saat yang

lalu dan saat ini

i) Anjurkan klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang dimilikinya


j) Ddiskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga

menimbulkan kecemasan. Rasa takut dan marah

k) Tingkatkan aktifitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien

l) Berbicara dalam konteks realitas

m) Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya berikanpujian yang

sesuai

n) Jelaskan pada klien tentang program pengobatan ( Manfaat, dosis obat, jenis dan

efek samping dari obat yang diminum serta cara meminum obat yang benar)

o) Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa berkonsultasi

2) Tindakan keperawatan untuk keluarga klien

 Tujuan

a) Keluarga mampu mengidentifikasikan waham klien

b) Keluarga mampu memfasilitasi klien untuk memenuhi kebutuhan yang belum

dipenuhi oleh wahamnya

c) Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan klien secara optimal.

 Tindakan keperawatan

a) Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien

b) Diskusikan dengan keluarga cara merawat klien waham dirumah, follow up dan

keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk klien

c) Diskusikan dengan keluarga tentang oabat klien ( nama obta, dosis, frekuensi,

efek samping, dan akibat penghentian obat)

d) Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.


DAFTAR PUSTAKA

Direja . (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika
Keliat dan Akemat. (2010). model praktik keperawatan profesional jiwa. Jakarta:
Yosep. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Jakarta : Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN

Resiko Bunuh Diri

I. KASUS (MASALAH UTAMA)

Resiko Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk

mengakhiri kehidupannya (Budi Anna Keliat, dkk,2009).

Usaha bunuh diri adalah tindakan yang merupakan bagian dari depresi

(kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan integritas tubuh atau status,

gambaran diri buruk) dan dapat dipandang sebagai tangisan untuk meminta

pertolongan dan intervensi (Brunner dan Suddarth, Edisi 8, 2002).

Pencederaan diri adalah aniaya diri, agresi yang diarahkan kepada diri

sendiri, membahayakan diri, cedera yang membebani diri dan mutilasi diri dengan

tujuan mengakhiri hidup (Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J.Sundeen, Edisi 3 , 2002).

Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku bunuh

diri merupakan tindakan dari depresi kehilangan yang merupakan tangisan untuk
meminta pertolongan, dengan tindakan yang agresif,merusak diri sendiri dan

bertujuan untuk mengakhiri kehidupannya.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart dan Sundeen,1997, faktor presdisposisi bunuh diri antara lain

faktor diagnostik dimana lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya

dengan bunuh diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa

yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif,

penyalahgunaan zat, dan skizofrenia. Faktor sifat kepribadian dimana ada tiga aspek

kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah rasa

bermusuhan, implisif dan depresi. Faktor lingkungan psikososial adalah seseorang

yang baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini

dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan

dengan bunuh diri. Faktor riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri

merupakan faktor resiko penting untuk perilaku destruktif. Faktor biokomia

menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik dan depominersik menjadi media

proses yang dapat menimbulkan perilaku destruktif diri.

B. Faktor Presipitasi

Faktor pencetus seseorang melakukan bunuh diri adalah perasaan terisolasi yang

dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal melakukan

hubungan yang berarti. Faktor kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat

menghadapi stres. Faktor perasaan marah atau bermusuhan, bunuh diri dapat

merupakan hukuman pada diri sendiri.


C. Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah segala usaha yang diarahkan untuk

menanggulangi stres. Usaha ini dapat berorientasi pada tugas yang meliputi usaha

pemecahan masalah langsung. Dari sudut kedokteran dapat dikemukakan bahwa

setidak-tidaknya orang yang hendak melakukan bunuh diri egoistik atau anomik

berada dalam keadaan patologis. Mereka semua sedang mengalami gangguan fungsi

mental yang bervarariasi dari yang ringan sampai yang berat karena itu perlu

ditolong. Pencegahan bunuh diri altruistik boleh dikatakan tidak mungkin kecuali

bila kebudayaan dan norma-norma masyarakat diubah.

D. Rentang Respons

Rentang sehat sakit dapat dipakai untuk menggambarkan respons adaptif

sampai respons maladaptif pada bunuh diri:

Adaptif Maladaptif

Menghargai Berani ambil Merusak diri Bunuh diri

Diri resiko dalam sendiri secara

mengembangkan tidak langsung

diri

Keterangan :

Dalam kehidupan, individu selalu menghadapi masalah atau stressor respons

individu terhadap stressor tergantung pada kemampuan masalah yang dimiliki serta

tingkat stres yang dialami. Individu yang sehat senantiasa berespons secara adaptif
dan jika gagal ia akan berespons maladaptif dengan menggunakan koping bunuh

diri.

III. A. POHON MASALAH


Resiko Bunuh Diri

Harga Diri Rendah

Keputusasaan

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI

1. Masalah Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

3. Data yang dikaji

Data Subyektif

 Klien mengungkapkan ingin untuk bunuh diri

 Klien mengungkaapkan keinginan untuk mati

 Klien mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

 Klien sering berbicara tentang kematian, menanyakan dosis obat yang

mematikan

 Klien mengungkapkan adanya konflik interpersonal

 Klien mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat

kecil

 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga

Data Obyektif
 Impulsif

 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat

patuh)

 Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis dan penyalahgunaan

alkhohol)

 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal)

 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau kegagalan dalam

karier)

 Status perkawinan yang tidak harmonis

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Resiko Bunuh Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Ancaman/percobaan bunuh diri dengan dignosis: risiko bunih diri.

1. Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri.

 Tujuan: klien teteap aman dan selamat

 Tindakan: melindungi klien

Perawatan dapat melakukan hal-hal berikut untuk melindungi klien yang

mengancam atau mencoba bunuh diri.

a. Tetap menemani klien sampai dipindahkan ketempat yang lebih aman

b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, ikat

pingang, dan lain-lain).


c. Memastikan bahwa klien benar-benartelah meminum obatnya, jika klien

mendapatkan obat.

d. Menjelaskan dengan lembut kepada klien bahwa saudara akan melindungi

klien sampai klien melupakan keinginan untuk bunuh diri

2. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan klien percobaan bunuh diri

 Tujuan

Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam

atau mencoba bunuh diri

 Tindakan

a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi klien serta jangan

pernah meninggalkan klien sendirian

b. Menganjurkan keluarga untik membantu perawat menjauhi barang-

barang berbahaya di sekitar klien

c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk menjaga klien agar tidak sering

melamun sendiri

d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya klien minum obat secara

teratur

Isyarat bunuh diri dengan diagnosis: harga dirih rendah kronis

3. Tindakan keperawatan untuk klien yang menunjukan isyarat bunuh diri.

 Tujuan

a. Klien mendapat perlindungan dari lingkungannya

b. Klien dapat mengungkapkan perasaanya

c. Klien dapat meningkatkan harga dirinya


d. Klien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik

 Tindakan keperawatan

a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu

dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman

b. Meningkatkan harga diri klien, dapat dilakukan dengan cara sebagai

berikut.

1) Memberi kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan

perasaannya

2) Berikan pujian bila klien dapat mengungkapkan perasaan yang

positif

3) Menyakinkan klien bahwa dirinya berarti untuk orang lain

4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh

klien

5) Merencanakan aktivitas yang dapat klien lakukan

c. Meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah, dengan cara

sebagai berikut.

1) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalahya

2) Mendiskusikan dengan klien efektivitas masing-masing cara

penyelesaian masalah

3) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalah yang lebih

baik.

4. Tindakan keperawatan untik keluarga dengan anggota keluarga yang

menunjukkan isyarat bunuh diri


Tujuan: keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri

Tindakan keperawatan

a. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri

1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang

pernah muncul pada klien

2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala umumnya muncul pada

klien berisiko bunuh diri

b. Mengajarkan keluarga cara melindungi klien dari perilaku bunuh diri

1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila klien

memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri

2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi klien, seperti contoh

berikut ini

 Memberikan tempat yang aman.

Menempatkan klien di tempat yang mudah diawasi, jangan

membiarkan klien mengunci diri di kamar, jangan meninggalkan

klien sendirian di rumah.

 Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh

diri.

Jauhkan klien dari barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh

diri, seperti: tali, bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau benda

tajam lainnya, zat yang berbahaya seperti obat nyamuk atau racun

serangga.
 Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan pengawasan

apabila tanda dan geja bunuh diri meningkat.

Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun klien tidak

menunjukan tanda dan gejala untuk bunuh diri

 Menganjurkan keluarga untuk mempraktikan cara tersebut diatas.

c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila

klien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain dengan cara sebagai

berikut.

1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat

untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut

2) Segera membawa klien ke rumah sakit atau puskesmas untuk

mendapatkan bantuan medis

d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia

bagi klien

e. Memberikan informasi tentang nomor telepon gawat darurat

f. Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan klien berobat/kontrol

secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya

g. Menganjurkan keluarga untuk membantu klien minum obat sesuai

prinsip enam benar yaitu benar orangnnya, benar dosisnya, benar cara

penggunaannya, benar waktu penggunaannya, dan benar pencatatannya.


Daftar Pustaka

Brunner dan suddanth. 2002. Keperawatan medikal bedah Edisi. 8 Jakrta: EGT

Erna, Dalami: dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta: Trans

Info medika

Kelien Anna, Bdi, Akemat. 2009. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC

Surya, Herman, Ade. Joll. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Yogyakarta: Nulia medikal.

Anda mungkin juga menyukai