Laporan Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh :
C1AC22092
A. Masalah Utama
1. Pengertian
Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative
dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).
Perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri,
merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).
e. Penurunan produktivitas
Respons Respons
Adaptif Maladaptif
4. Faktor Predisposisi
Penolakan Orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri
yang tidak realistis.
5. Faktor Presipitasi
Situsional, gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang terjadi
secara situsional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban pemerkosaan
atau menjadi narapidan sehingga masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit
juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang
tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas
kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.
Kronik, gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejal lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiliki pikiran negative sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.
C. Pohon Masalah
Isolasi Sosial
3. Isolasi sosial
4. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
F. Diagnosis Keperawatan
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
klien beserta proses terjadinya
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga
d. Jelaskan cara – cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga
diri rendah kronis
A. Masalah Utama
Isolasi Sosial
1. Pengertian
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).
a. Kurang spontan
f. Mengisolasi diri
j. Aktivitas menurun
l. Rendah diri
3. Rentang Respons
Respons adaptif
Respons yang masih dapat diterima oleh norma – norma sosial dan
kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut
adalah sikap yang termasuk respons adaptif :
Respons maladapif
4. Faktor Predisposisi
Bila tugas – tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan
masalah.
Tahap Perkembangan Tugas
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung
pada orang tua
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orangtua dan teman,
mencari pasangan, menikah dan mempunyai anak
Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehudupan yang sudah dilalui
5. Faktor Presipitasi
a. Faktor eksternal
b. Faktor internal
C. Pohon Masalah
1. Isolasi sosial
6. Intoleransi aktivitas
Objektif :
1. Kurang spontan
6. Mengisolasi sosial
F. Diagnosis Keperawatan
Isolasi sosial
A. Masalah Utama
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori: halusinasi adalah
salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi
sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penghirupan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.
Selain itu, perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga di artikan sebagai
persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi
tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem pengindraan
(pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan).
Individu menginterpretasikan stressor yang tidak ada stimulus dari lingkugan
(Depkes RI, 2000).
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang
mendekat (yang di prakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu
pengurangan berlebih lebihan atau kelainan berespon terhadap stimulus
(Towsend, 1998).
Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pengdengaran, penglihatan,
taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (Antai Otong, 1995).
Gangguan penyerapan atau persepsi panca indra tanpa adanya rangsangan dari
luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran
individu tersebut penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada
saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri dengan
kata lain klien merespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya
dirasakan oleh klien dan tidak dapat di buktikan (Wilson, 1983).
2. Teori yang menjelaskan halusinasi (Stuart dan Sundeen, 1995)
Teori biokimia terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stress yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neorotik (buffofenon dan
dimethytrabsferase): teori psikoanalisis merupakan respon pertahanan ego untuk
melawan rangsangan dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam
alam sadar.
3. Jenis halusinasi serta data objek dan subjektif
Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri – ciri yang objektif dan subjektif pada klien
dengan halusinasi.
Tabel 4.1. Jenis halusinasi serta ciri objektif dan subjektif klien yang mengalami halusinasi
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi dengar Bicara atau tertawa Mendengar suara –
(Klien mendengar suara atau sendiri suara atau
bunyi yang tidak ada Marah – marah tanpa kegaduhan
hubungannya dengan sebab Mendengar suara
stimulus yang nyata atau Mendekatkan telinga yang mengajak
lingkungan). kea rah tertentu bercakap cakap
Menutup telinga Mendengar suara
mengyuruh
melakukan sesuatu
yang berbahaya
Halusinasi Penglihatan Menunjuk nunjuk kea Melihat bayangan,
(Klien melihat gambaran rah tertentu sinar, bentuk
yang jelas atau samar Ketakutan kepada geometris, kartun,
terhadap adanya stimulus sesuatu yang tidak jelas melihat hantu, atau
yang nyata dari lingkungan monster
dan orang lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman Mengendus – endus Membaui bau –
(Klien mencium suatu bau seperti membaui bau – bauan seperti bau
yang muncul dari sumber bauan tertentu darah, urine, feses,
tertentu tanpa stimulus yang Menutup hidung dan terkadang bau –
nyata). bau menyenangkan
bagi klien.
Halusinasi Pengecapan Sering meludah Merasakan rasa
(Klien merasakan sesuatu Muntah seperti darah, urine
yang tidak nyata, biasanya atau feses.
merasakan rasa makanan
yang tidak enak).
Halusinasi perabaan Menggaruk – garuk Mengatakan ada
(Klien merasakan sesuatu permukaan kulit serangga
pada kulitnya tanpa ada dipermukaan kulit
stimulus yang nyata). Merasa seperti
tersengat listrik.
Halusinasi kinestetik Memegang kakinya Mengatakan
(Klien merasa badannya yang dianggapnya badannya melayang
bergerak dalam suatu bergerak sendiri. di udara.
ruangan atau anggota badan
yang bergerak).
Halusinasi Viseral Memegang badannya Mengatakan
(Perasaan tertentu timbul yang dianggapnya perutnya menjadi
dalam tubuhnya). berubah bentuk dan mengecil setelah
tidak normal seperti minum soft drink.
biasanya.
Sumber: Stuart dan Sundeen (1998)
4. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik
dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi faktor
perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetik.
Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
Faktor sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang
membesarkannya.
Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
buffonon dan dimethytranverase (DMP).
Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stress
dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
Faktor genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui. Tetapi hasil
studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
5. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang di persepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek yang ada dilingkungan, dan
juga suasana sepia tau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal
tersebut dalam meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
6. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman,
gelisah dan bingung, berprilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasra
unsur – unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat drai lima
dimensi yaitu sebagai berikut:
Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan
oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat
– obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga berbuat sesuatu terhadap
ketakutannya.
Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan infuls yang
menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua
prilaku klien.
Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi menunjukan
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya,
seolah olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi
sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak
menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan
halusinasi tidak terjadi.
Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang
mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di atas tidak
terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi
sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya,
individu kehilangan kontrol terhadao kehidupan nyata.
7. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber
koping yang ada dilingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang efektif.
8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang di arahkan pada pengendalian
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme
pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri.
9. Tahapan Halusinasi
Tahap I (Non-psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien,
tingkat orintasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal
yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik:
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan.
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.
Perilaku yang muncul:
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
Tahap II (Non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan berat. Secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipati.
Karakteristik:
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalaman
tersebut.
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul:
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensoripun menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita.
Tahap III (Psikotik)
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan
berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalam sensori berakhir
Prilaku yang muncul
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan oranglain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
Tahap IV (Psikotik)
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik.
Prilaku yang muncul:
a. Risiko tinggi mencederai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan
seseorang yang menarik diri dari lingkungannya karena orang tersebut menilai
dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah
satunya yang menyuruh pada kejelekan, maka akan berisiko terhadap prilaku
kekerasan.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko tinggi prilaku kekerasan
Core Problem
Isolasi sosial
Causa
F. Diagnosis Keperawatan
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan klien untuk klien
Tujuan atau strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi jenis halusinasi
b. Mengidentifikasi isi halusinasi
c. Mengidentifikasi waktu halusinasi
d. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi
e. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
f. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi
g. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
h. Menganjurkan klien memasukan cara menghardik halusinasi dalam jadwal
kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap – cakap
dengan orang lain
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasa dilakukan klien dirumah).
c. Mengajurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Tindakan keperawatan untuk klien
a. Membantu klien mengenali halusinasi
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu
klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien
terkait isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul, dan perasaan klien saat halusinasi muncul
(komunikaisnya sama dengan pengkajian diatas).
b. Melatih klien mengontrol halusinasi
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada
klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi
seseorang. Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap
– cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal, dan
mengkonsumsi obat secara teratur.
2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Tujuan atau strategi pelaksana
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi yang dialami klien
beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara – cara merawat klien dengan halusinasi
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga
a. Melatih keluarga memperaktikan cara merawat klien halusinasi
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi
Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Keluarga merupaka faktor vital dalam penanganan klien gangguan jiwa
dirumah. Hal ini mengingat keluarga adalah sistem pendukung terdekat dna
orang yang bersama – sama dengan klien selama 24 jam. Keluarga sangat
menentukan apakah klien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yan
mendukung klien secara konsisten akan membuat klien mampu
mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian, jika
keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan untuk
memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus
melatih keluarga klien agar mampu merawat klien gangguan jiwa dirumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga tahap.
Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh klien
dan pentingnya peran keluarga untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah
melatih keluarga untuk merawat klien, dan tahap yang ketiga yaitu melatih
keluarga untuk merawat klien langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala
halusiansi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian obat, dan pemberian aktivitas kepada klien), serta
sumber – sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.
A. Masalah Utama
Perubahan Proses Pikir: Waham
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan ralita
normal (Stuart dan Sudeen,1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat di ubah cecara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan control (Depkes RI,2000).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaiyan ralitas
yang salah. Keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui
proses interaksi atau informasi secara akurat (Keliat,1999).
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses piker waham adalah sebagai
berikut:
a. Menolak makan
b. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
c. Ekspresi wajah selalu sedih/gembira/ketakutan
d. Gerakan tidak terkontrol
e. Mudah tersinggung
f. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
g. Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
h. Menghindar dari orang lain.
i. Mendominasi pembicaraan.
j. Berbicara kasar
k. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan
3. Rentang Respons
Pikiran logis
Kadang proses Gangguan isi
Persepsi akurat piker terganggu piker halusinasi
Emosi Konsisten Ilusi Perubahan
dengan proses emosi
Emosi berlebihan
Pengalaman
Berprilaku yang Perilaku tidak
Perilaku sesuai terorganisasi
tidak bisa
Hubungan social Isolasi sosial
Menarik diri
harmonis
4. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan aan mengganggu hubungan intrapersonal seseorang.
Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien mereka perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan
emosi tidak efektif.
b. Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
c. Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan peningkatan terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Faktor Genetik
5. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
b. Faktor Biokimia
Dopamin, Norepineprin, dan zat halusinasinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.
6. Macam-macam Waham
a. Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama berlebihan, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih setiap
hari,” atau klien mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang dapat
mengendalikan makhluknya.
b. Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Saya ini pejabat di Departemen Kesehatan lho…”
“Saya punya tambang emas!”
c. Waham Curiga
Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh:
“Saya tahu… semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena
mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya.”
d. Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakit kanker namun setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel kanker pada tubuhnya.
e. Waham Nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“in ikan alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.”
7. Status Mental
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, tetapi mungkin terlihat eksentrik dan
aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap orang lain. Klien
biasanya cerdik Ketika dilakukan pemeriksaan sehingga dapat memanipulasi data.
Selain itu perasaan hatinya konsisten denga nisi waham.
8. Sensori dan Kognisi
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik terhadap
orang, tempat dan waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya akurat.
Pengendalian implus pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat adanya
rencana untuk bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan pada orang lain.
Gangguan proses pikir waham biasanya diawali dengan adanya Riwayat penyakit
berupa kerusakan pada bagian korteks dan limbik otak. Bisa dikarenakan terjatuh atau
didapat Ketika lahir. Hal ini mendukung stabil. Bila berkepanjangan akan
menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain dan
lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi ketidak mampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respons lingkungan kurang
mendukung terhadap perilakunya dimungkinkan akan timbul risiko perilaku
kekerasan pada orang lain.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan
F. Dignosis Keperawatan
A. Masalah Utama
Defisit perawatan diri
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan
BAB/BAK (toileting).
2. Tanda dan gejala
Mandi atau hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar
kamar mandi.
Berpakaian atau berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien
juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu
memasukannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara
yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup
makanan dengan aman.
BAB/BAK (Toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian
untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan
menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena stressor
yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri
rendah). Sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik
dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan, maupun BAB dan BAK. Bila tidak
dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami
masalah risiko tinggi isolasi sosial.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko tinggi isolasi sosial
Objektif
Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
Ketidakmampuan berpakaian /berhias ditandai
dengan rambut acak – acakan, pakaian kotor dan
tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
(laki – laki), atau tidak berdandan (wanita)
Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai
dengan ketidakmampuan mengambil makan
sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.
Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak
membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
F. Diagnosis Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
Mengkaji kemampuan klien melakukan perawatan diri meliputi mandi/kebersihan
diri, berpakaian /berhias, makan, serta BAB/BAK secara mandiri.
Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
A. Masalah Utama
1. Pengertian
d. Impulsif
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis, dan menyalahgunaan alkohol)
n. Pekerjaan
o. Konflik interpersonal
q. Orientasi seksual
3. Rentang Respons
Peningkatan diri Berisiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
Sumber : Keliat (1999)
Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga
kategori yaitu :
4. Faktor Predisposisi
Teori perilaku meyakini bahwa pencederaan diri merupakan hal yang dipelajari
dan diterima pada saat anak – anak dan masa remaja.
Riwayat abuse atau incest dapat juga menjadi faktor predisposisi atau presipitasi
pencederaan diri. Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan :
1) Diagnosis Psikiatrik
2) Sifat Kepribadian
3) Lingkungan Psikososial
4) Riwayat Keluarga
5) Faktor Biokimia
5. Faktor Presipitasi
6. Sumber Koping
7. Mekanisme Koping
C. Pohon Masalah
2. Bunuh diri
3. Isolasi sosial
Objektif :
1. Impulsif
F. Diagnosis Keperawatan
Perawat dapat melakukan hal – hal berikut untuk melindungi klien yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.
c. Memastikan bahwa klien benar – benar telah meminum obatnya, jika klien
mendapatkan obat
Tindakan :
H. Evaluasi
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku bunuh diri yang dialami
klien berserta proses terjadinya.
A. Masalah Utama
Perilaku Kekerasan
1. Pengertian
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam
Harnawati, 1993).
Setiap aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Suatu keadaan di mana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara
fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).
1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan
lingkungan, amuk/agresif.
d. Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
dan menuntut.
f. Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
3. Rentang Respons
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak
Teori Biologik
(narapidana).
kekerasan.
Teori Psikologik
dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
Teori Sosiokultural
b. Ekternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dan
lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
alcohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
6. Mekanisme Koping
dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat, menyebabkan seseorang
rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan
halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan
tindak kekerasan . Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya dan orang
kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat memengaruhi perkembangan klien
(koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar
C. Pohon Masalah
Perilaku Kekerasan
Regimen Terapeutik PPS : Halusinasi
Inefektif
Koping Keluarga
1. Perilaku kekerasan.
5. Isolasi sosial
6. Berduka disfungsional
sebagai berikut :
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol
F. Diagnosis Keperawatan
Perilaku kekerasan
c. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik
d. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada
saat marahh baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
fisik (pukul Kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obatan, sosial
merawat klien
tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut
Fitria, N. (2012). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Salemba Medika.