Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

Laporan Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

Program Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sukabumi

Disusun Oleh :

Ni Kadek Ayu Putri Diyanti

C1AC22092

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2023
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS

A. Masalah Utama

Harga Diri Rendah Kronis

B. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian

Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative
dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend, 1998).

Penilaian negative seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang


diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan Videbeck,
1998).

Perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri,
merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998).

2. Tanda dan Gejala

a. Mengkritik diri sendiri

b. Perasaan tidak mampu

c. Pandangan hidup yang pesimistis

d. Tidak menerima pujian

e. Penurunan produktivitas

f. Penolakan terhadap kemampuan diri

g. Kurang memperhatikan perawatan diri

h. Berpakaian tidak rapi

i. Selera makan berkurang

j. Tidak berani menatap lawan bicara

k. Lebih banyak menunduk

l. Bicara lambat dengan nada suara lemah


3. Rentang Respons

Respons Respons
Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonalisasi


diri positif rendah kronis identitas

Sumber : Keliat (1999)

4. Faktor Predisposisi

Penolakan Orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri
yang tidak realistis.

5. Faktor Presipitasi

Hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk


tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunya produktivitas. Gangguan konsep
diri: harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara situsional maupun kronik.

Situsional, gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang terjadi
secara situsional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba
misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban pemerkosaan
atau menjadi narapidan sehingga masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit
juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang
tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas
kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.

Kronik, gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejal lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Klien sudah memiliki pikiran negative sebelum dirawat dan menjadi semakin
meningkat saat dirawat.

Baik faktor predisposisi maupun presipitasi bila telah memengaruhi


seseorang baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap telah
memengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif. Bila
kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut dapat menyebabkan
kondisi dimana klien tidak memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang
lain. Klien yang mengalami isos dapat membuat klien asyik dengan dunia dan
pikirannya sendiri sehingga dapat muncul risiko perilaku kekerasan.

6. Teori Para Ahli mengenai Harga Diri Rendah Kronis

Peplau dan Sulivan (1999) mengatakan bahwa pengalaman interpersonal di


masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia yang tidak
menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering disalahkan atau
merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan aman yang tidak terpenuhi.
Hal ini dapat menimbulkan perasaan ditolak oleh lingkungan dan apabila koping
yang digunakan tidak efektif dapat menyebabkan harga diri rendah kronis.

Caplan (1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman individu, dan


adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak, serta tidak dihargai
akan memengaruhi individu. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan stress dan
menimbulkan penyimpangan perilaku seperti harga diri rendah kronis.

C. Pohon Masalah

Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Effect Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial

Core Problem Harga Diri Rendah


Kronis

Causa Koping Individu Tidak Efektif

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Harga diri rendah kronis

2. Koping individu tidak efektif

3. Isolasi sosial
4. Perubahan persepsi sensori: halusinasi

5. Risiko tinggi perilaku kekerasan

E. Data yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji

Harga diri rendah kronis Subjektif :


1. Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna
2. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
3. Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk
beraktivitas atau bekerja
4. Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan
diri (mandi, berhias, makan atau toileting)
Objektif :
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penurunan produktivitas
6. Penolakan terhadap kemampuan diri
7. Berpakaian tidak rapi
8. Berkurang selera makan
9. Tidak berani menatap lawan bicara
10. Lebih banyak menunduk
11. Bicara lambat dengan nada sura lemah

F. Diagnosis Keperawatan

Harga diri rendah kronis


G. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Rencana Tindakan Keperawatan pada klien

Tujuan/strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien

a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

b. Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat dilakukan

c. Membantu klien menentukan kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan


kemampuan klien

d. Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih

e. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien

f. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih kemampuan kedua

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien

a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien

b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan

c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan sesuai


dengan kemampuan

d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan

e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuan

2. Rencana Tindakan Keperawatan pada keluarga

Tujuan/strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien

b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
klien beserta proses terjadinya
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga

a. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien harga diri rendah

b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien harga


diri rendah

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum


obat

b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang

Tindakan keperawatan untuk keluarga

a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien

b. Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang mengalami gangguan


konsep diri: harga diri rendah kronis

c. Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien

d. Jelaskan cara – cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga
diri rendah kronis

e. Demonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga


diri rendah kronis

f. Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan klien di rumah

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL

A. Masalah Utama

Isolasi Sosial

B. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian

Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak
sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).

Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan


interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam
hubungan sosial (Depkes RI,2000).

Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang


berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak
efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan
dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada perilaku
menarik diri (Townsend, 1998).

2. Tanda dan Gejala

a. Kurang spontan

b. Apatis (acuh terhadap lingkungan)

c. Ekspresi wajah kurang berseri

d. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri

e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal

f. Mengisolasi diri

g. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya


h. Asupan makanan dan minuman terganggu

i. Retensi urine dan feses

j. Aktivitas menurun

k. Kurang energi (tenaga)

l. Rendah diri

m. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi


tidur).

Perilaku ini biasanya disebebkan karena seseorang menilai dirinya rendah,


sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak
dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi
sensori: halusinasi dan risiko tinggi mencederai diri, orang lain bahkan
lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan
intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhdap ketidakmampuan
untuk melakukan perawatan secara mandiri. Peranan keluarga cukup besar dalam
mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila
sistem pendukungnya tidak baik (koping keluarga tidak efektif) makan akan
mendukung seseorang memiliki harga diri rendah.

3. Rentang Respons

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Menyendiri Merasa sendiri Menarik diri


Depedensi curiga Ketergantungan
Otonomi
Manipulasi curiga
Bekerja sama
independen

Sumber : Townsend (1998)

 Respons adaptif

Respons yang masih dapat diterima oleh norma – norma sosial dan
kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut
adalah sikap yang termasuk respons adaptif :

a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk


merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.

b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan


menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.

c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan


satu sama lain.

d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang


lain dalam membina hubungan interpersonal.

 Respons maladapif

Respons yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu


tempat. Berikut adalah perilaku yang termasuk respons maladaptive :

a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina


hubungan secara terbuka dengan orang lain.

b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya


diri sehingga tergantung dengan orang lain.

c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek


individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.

d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap


orang lain.

4. Faktor Predisposisi

Faktor Tumbuh Kembang

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan


yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.

Bila tugas – tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan
masalah.
Tahap Perkembangan Tugas

Masa Bayi Menetapkan rasa percaya

Masa Bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri

Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab dan


hati nurani

Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi

Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengn teman sesama jenis


kelamin

Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung
pada orang tua

Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orangtua dan teman,
mencari pasangan, menikah dan mempunyai anak

Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehudupan yang sudah dilalui

Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan mengembangkan


perasaan keterikatan dengan budaya

 Faktor Komunikasi dalam Keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung


terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Double mind yaitu suatu keadaan
dimana seseorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang
menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.

 Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan


suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh norma – norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
 Faktor Biologis

Organ tubuh yang dapat memengaruhi terjadinya gangguan hubungan


sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi
otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel – sel dalam limbik dan daerah
kortikal.

5. Faktor Presipitasi

Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor


internal dan eksternal seseorang

a. Faktor eksternal

Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan


oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.

b. Faktor internal

Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas


yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat
tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya
kebutuhan individu.

C. Pohon Masalah

Risiko Mencederai Diri, Orang lain, dan lingkungan

Defisit Perawatan Diri PPS: Halusinasi

Intoleransi Aktivitas Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis

Koping Individu Tidak Efektif Koping Keluarga Tidak Efektif


D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Isolasi sosial

2. Harga diri rendah kronis

3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi

4. Koping individu tidak efektif

5. Koping keluarga tidak efektif

6. Intoleransi aktivitas

7. Defisit perawatan diri

8. Risiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

E. Data yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji

Isolasi Sosial Subjektif :

1. Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain

2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani


perawat dan meminta untuk sendirian

3. Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang


lain

4. Tidak mau berkomunikasi

5. Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga yang


mengetahui keterbatasan klien (suami, istri, anak, ibu,
ayah, atau teman dekat)

Objektif :

1. Kurang spontan

2. Apatis (acuh terhadap lingkungan)

3. Ekspresi wajah kurang berseri

4. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan


kebersihan diri

5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal

6. Mengisolasi sosial

7. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan


sekitarnya

8. Asupan makanan dan minuman terganggu

9. Retensi urine dan feses

10. Aktivitas menurun

11. Kurang berenergi atau bertenaga

12. Rendah diri

13. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin


(khususnya pada posisi tidur)

F. Diagnosis Keperawatan

Isolasi sosial

G. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien

Strategi pelaksanaa 1 (SP 1) untuk klien

a. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial

b. Berdiskusi degan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain

c. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang


lain

d. Mengajarkan kepada klien tentang cara berkenalan dengan satu orang

e. Menganjurkan kepada klien memasukkan kegiatan berbincang – bincang


dengan orang lain dalam kegiatan harian
Strategi pelaksanaa 2 (SP 2) untuk klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikan cara berkenalan


dengan satu orang.

c. Membantu klien memasukkan kegiatan berbincang – bincang dengan


orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b. Memberi kesempatan kepada klien berkenalan dengan dua orang atau


lebih.

c. Menganjurkan kepada klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.

b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial beserta proses


terjadinya.

c. Menjelaskan cara – cara merawat klien isolasi sosial.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga

a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat klien isolasi sosial.

b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien isolasi


sosial.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum


obat.

b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI

A. Masalah Utama
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
 Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori: halusinasi adalah
salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi
sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penghirupan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.
Selain itu, perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga di artikan sebagai
persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi
tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem pengindraan
(pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau pengecapan).
 Individu menginterpretasikan stressor yang tidak ada stimulus dari lingkugan
(Depkes RI, 2000).
 Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang
mendekat (yang di prakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu
pengurangan berlebih lebihan atau kelainan berespon terhadap stimulus
(Towsend, 1998).
 Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pengdengaran, penglihatan,
taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (Antai Otong, 1995).
 Gangguan penyerapan atau persepsi panca indra tanpa adanya rangsangan dari
luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran
individu tersebut penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada
saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri dengan
kata lain klien merespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya
dirasakan oleh klien dan tidak dapat di buktikan (Wilson, 1983).
2. Teori yang menjelaskan halusinasi (Stuart dan Sundeen, 1995)
Teori biokimia terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stress yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neorotik (buffofenon dan
dimethytrabsferase): teori psikoanalisis merupakan respon pertahanan ego untuk
melawan rangsangan dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam
alam sadar.
3. Jenis halusinasi serta data objek dan subjektif
Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri – ciri yang objektif dan subjektif pada klien
dengan halusinasi.
Tabel 4.1. Jenis halusinasi serta ciri objektif dan subjektif klien yang mengalami halusinasi
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi dengar  Bicara atau tertawa  Mendengar suara –
(Klien mendengar suara atau sendiri suara atau
bunyi yang tidak ada  Marah – marah tanpa kegaduhan
hubungannya dengan sebab  Mendengar suara
stimulus yang nyata atau  Mendekatkan telinga yang mengajak
lingkungan). kea rah tertentu bercakap cakap
 Menutup telinga  Mendengar suara
mengyuruh
melakukan sesuatu
yang berbahaya
Halusinasi Penglihatan  Menunjuk nunjuk kea  Melihat bayangan,
(Klien melihat gambaran rah tertentu sinar, bentuk
yang jelas atau samar  Ketakutan kepada geometris, kartun,
terhadap adanya stimulus sesuatu yang tidak jelas melihat hantu, atau
yang nyata dari lingkungan monster
dan orang lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus – endus  Membaui bau –
(Klien mencium suatu bau seperti membaui bau – bauan seperti bau
yang muncul dari sumber bauan tertentu darah, urine, feses,
tertentu tanpa stimulus yang  Menutup hidung dan terkadang bau –
nyata). bau menyenangkan
bagi klien.
Halusinasi Pengecapan  Sering meludah  Merasakan rasa
(Klien merasakan sesuatu  Muntah seperti darah, urine
yang tidak nyata, biasanya atau feses.
merasakan rasa makanan
yang tidak enak).
Halusinasi perabaan  Menggaruk – garuk  Mengatakan ada
(Klien merasakan sesuatu permukaan kulit serangga
pada kulitnya tanpa ada dipermukaan kulit
stimulus yang nyata).  Merasa seperti
tersengat listrik.
Halusinasi kinestetik  Memegang kakinya  Mengatakan
(Klien merasa badannya yang dianggapnya badannya melayang
bergerak dalam suatu bergerak sendiri. di udara.
ruangan atau anggota badan
yang bergerak).
Halusinasi Viseral  Memegang badannya  Mengatakan
(Perasaan tertentu timbul yang dianggapnya perutnya menjadi
dalam tubuhnya). berubah bentuk dan mengecil setelah
tidak normal seperti minum soft drink.
biasanya.
Sumber: Stuart dan Sundeen (1998)
4. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik
dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi faktor
perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetik.
 Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan.
 Faktor sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa
disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang
membesarkannya.
 Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti
buffonon dan dimethytranverase (DMP).

 Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda
bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stress
dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
 Faktor genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui. Tetapi hasil
studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
5. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang di persepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk
menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek yang ada dilingkungan, dan
juga suasana sepia tau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal
tersebut dalam meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
6. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman,
gelisah dan bingung, berprilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasra
unsur – unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat drai lima
dimensi yaitu sebagai berikut:
 Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan
oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat
– obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.

 Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga berbuat sesuatu terhadap
ketakutannya.
 Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan infuls yang
menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua
prilaku klien.
 Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi menunjukan
kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya,
seolah olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi
sosial, kontrol diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.
Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika
perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak
menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan
halusinasi tidak terjadi.
 Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi
dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang
mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di atas tidak
terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi
sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya,
individu kehilangan kontrol terhadao kehidupan nyata.
7. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber
koping yang ada dilingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah. Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat
membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang efektif.
8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang di arahkan pada pengendalian
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme
pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri.
9. Tahapan Halusinasi
 Tahap I (Non-psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien,
tingkat orintasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal
yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik:
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan.
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.
Perilaku yang muncul:
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
 Tahap II (Non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan berat. Secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan
antipati.
Karakteristik:
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalaman
tersebut.
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul:
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensoripun menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita.
 Tahap III (Psikotik)
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan
berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalam sensori berakhir
Prilaku yang muncul
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan oranglain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
 Tahap IV (Psikotik)
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik.
Prilaku yang muncul:
a. Risiko tinggi mencederai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan
seseorang yang menarik diri dari lingkungannya karena orang tersebut menilai
dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah
satunya yang menyuruh pada kejelekan, maka akan berisiko terhadap prilaku
kekerasan.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko tinggi prilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Core Problem

Isolasi sosial

Causa

Harga diri rendah kronis

Gambar 4.1 pohon masalah perubahan persepsi sensori: halusinasi

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Risiko tinggi prilaku kekerasan.
2. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
3. Isolasi sosial.
4. Harga diri rendah
E. Data yang Perlu Dikaji
Diagnosa Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perubahan persepsi Subjektif:
sensori: halusinasi  Klien mengatakan mendengar sesuatu
 Klien mengatakan melihat bayangan putih
 Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik
 Klien mencium bau – bauan yang tidak sedap,
seperti feses
 Klien mengatakan kepalanya melayang di udara
 Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu
yang berbeda pada dirinya
Objektif:
 Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji
 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
 Berhenti bicara ditengah tengahh kalimat untuk
mendengarkan sesuatu
 Disorientasi
 Konsentrasi rendah
 Pikiran cepat berubah – rubah
 Kekacauan alur pikiran.

F. Diagnosis Keperawatan
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan klien untuk klien
 Tujuan atau strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
a. Mengidentifikasi jenis halusinasi
b. Mengidentifikasi isi halusinasi
c. Mengidentifikasi waktu halusinasi
d. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi
e. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
f. Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi
g. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
h. Menganjurkan klien memasukan cara menghardik halusinasi dalam jadwal
kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap – cakap
dengan orang lain
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasa dilakukan klien dirumah).
c. Mengajurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
b. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
c. Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
 Tindakan keperawatan untuk klien
a. Membantu klien mengenali halusinasi
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu
klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klien
terkait isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul, dan perasaan klien saat halusinasi muncul
(komunikaisnya sama dengan pengkajian diatas).
b. Melatih klien mengontrol halusinasi
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada
klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi
seseorang. Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap
– cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal, dan
mengkonsumsi obat secara teratur.
2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga klien
 Tujuan atau strategi pelaksana
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi yang dialami klien
beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara – cara merawat klien dengan halusinasi
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga
a. Melatih keluarga memperaktikan cara merawat klien halusinasi
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi
 Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Keluarga merupaka faktor vital dalam penanganan klien gangguan jiwa
dirumah. Hal ini mengingat keluarga adalah sistem pendukung terdekat dna
orang yang bersama – sama dengan klien selama 24 jam. Keluarga sangat
menentukan apakah klien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yan
mendukung klien secara konsisten akan membuat klien mampu
mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian, jika
keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan untuk
memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus
melatih keluarga klien agar mampu merawat klien gangguan jiwa dirumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga tahap.
Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh klien
dan pentingnya peran keluarga untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah
melatih keluarga untuk merawat klien, dan tahap yang ketiga yaitu melatih
keluarga untuk merawat klien langsung.
Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian
halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala
halusiansi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian obat, dan pemberian aktivitas kepada klien), serta
sumber – sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN PERUBAHAN PROSES PIKIR: WAHAM

A. Masalah Utama
Perubahan Proses Pikir: Waham
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan ralita
normal (Stuart dan Sudeen,1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat di ubah cecara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan control (Depkes RI,2000).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaiyan ralitas
yang salah. Keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui
proses interaksi atau informasi secara akurat (Keliat,1999).
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses piker waham adalah sebagai
berikut:
a. Menolak makan
b. Tidak ada perhatian pada perawatan diri
c. Ekspresi wajah selalu sedih/gembira/ketakutan
d. Gerakan tidak terkontrol
e. Mudah tersinggung
f. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
g. Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
h. Menghindar dari orang lain.
i. Mendominasi pembicaraan.
j. Berbicara kasar
k. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan
3. Rentang Respons

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Pikiran logis
Kadang proses Gangguan isi
Persepsi akurat piker terganggu piker halusinasi
Emosi Konsisten Ilusi Perubahan
dengan proses emosi
Emosi berlebihan
Pengalaman
Berprilaku yang Perilaku tidak
Perilaku sesuai terorganisasi
tidak bisa
Hubungan social Isolasi sosial
Menarik diri
harmonis
4. Faktor Predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan aan mengganggu hubungan intrapersonal seseorang.
Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien mereka perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan
emosi tidak efektif.
b. Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
c. Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan peningkatan terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
e. Faktor Genetik
5. Faktor Presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
b. Faktor Biokimia
Dopamin, Norepineprin, dan zat halusinasinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
c. Faktor Psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan
yang menyenangkan.
6. Macam-macam Waham
a. Waham Agama
Keyakinan terhadap suatu agama berlebihan, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih setiap
hari,” atau klien mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang dapat
mengendalikan makhluknya.
b. Waham Kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“Saya ini pejabat di Departemen Kesehatan lho…”
“Saya punya tambang emas!”
c. Waham Curiga
Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh:
“Saya tahu… semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena
mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya.”
d. Waham Somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
Klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakit kanker namun setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel kanker pada tubuhnya.
e. Waham Nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“in ikan alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.”
7. Status Mental
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, tetapi mungkin terlihat eksentrik dan
aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap orang lain. Klien
biasanya cerdik Ketika dilakukan pemeriksaan sehingga dapat memanipulasi data.
Selain itu perasaan hatinya konsisten denga nisi waham.
8. Sensori dan Kognisi
Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik terhadap
orang, tempat dan waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya akurat.
Pengendalian implus pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat adanya
rencana untuk bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan pada orang lain.
Gangguan proses pikir waham biasanya diawali dengan adanya Riwayat penyakit
berupa kerusakan pada bagian korteks dan limbik otak. Bisa dikarenakan terjatuh atau
didapat Ketika lahir. Hal ini mendukung stabil. Bila berkepanjangan akan
menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain dan
lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi ketidak mampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respons lingkungan kurang
mendukung terhadap perilakunya dimungkinkan akan timbul risiko perilaku
kekerasan pada orang lain.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Care Problem Perubahan Sensori Waham

Causa Isolasi Sosial: Menarik Diri

Harga Diri Rendah Kronis

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Resiko tinggi perilaku kekerasan
2. Perubahan Proses Pikir: Waham
3. Isolasi Sosial
4. Harga Diri Rendah
E. Data yang Perlu Dikaji

Data Etiologi Masalah Keperawatan

DS : Perubahan proses waham


kebesaran
1. Klien mengatakan
bahwa dirinya
adalah orang yang
paling hebat
2. Klien mengatakan
bahwa ia memiliki
kebesaran atau
kekuasaan
DO :
1. Klien terus berbicara
tentang kemampuan
yang dimilikinya
2. Pembicaraan klien
cenderung berulang-
ulang
3. Isi pembicaraan
tidak sesuai dengan
kenyataan

F. Dignosis Keperawatan

Perubahan Proses Pikir : Waham Kebesaran


G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana Tindakan keperawatan pada klien.
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.
a. Membantu orientasi realitas
b. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
c. Membantu klien memenuhi kebutuhannya
d. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.
a. Mengevaluadi jadawl kegiatan harian klien
b. Berdiskusi tentang kemampuan yang dimiliki
c. Melatih kemampuan yang dimiliki

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


b. Memberikan Pendidikan Kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur.
c. Mengajarkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien.

a. Tindak mendukung atau membantah waham klien


b. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman
c. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
d. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi karena dapat
menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah
e. Jika klien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarakan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti membicarakannya.
f. Berikan pujian jika penampilan dan orientasi klien sesuai dengan realitas
g. Diskusikan dengan klien kemampuan realistis yang dimilikinya pada saat yang
lalu dan saat ini
h. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang dimilikinya
i. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah.
j. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien
k. Berbicara dalam konteks realistas
l. Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya
m. Berikan pujian yang sesuai.
n. Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaat, dosis obat, jenis,
dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum obat yang benar).
o. Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa konsultasi.
2. Rencana Tindakan keperawatan untuk keluarga
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.
b. Menjelaskan pengertian , tanda dan gejala waham yang dialami klien beserta
proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat klien waham

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga

a. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien waham


b. Melatih keluarga cara merawat klien waham

Strategi pelaksaan 3 (SP 3) untuk keluarga

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat


b. Menjelaskan Follow up klien setelah pulang
Tindakan keperawatan untuk keluarga klien

a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien


b. Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham dirumah, follow
up dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk klien
c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat klien (nama obat, dosis, frekuensi, efek
samping, dan akibat penghentian obat).
d. Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Masalah Utama
Defisit perawatan diri
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan
BAB/BAK (toileting).
2. Tanda dan gejala
 Mandi atau hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar
kamar mandi.
 Berpakaian atau berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien
juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
 Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu
memasukannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara
yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup
makanan dengan aman.
 BAB/BAK (Toileting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian
untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat, dan
menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena stressor
yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri
rendah). Sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik
dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan, maupun BAB dan BAK. Bila tidak
dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami
masalah risiko tinggi isolasi sosial.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko tinggi isolasi sosial

Core problem Defisit perawatan diri

Causa Harga diri rendah kronik

Gambar 6.1. Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Defisit perawatan diri
2. Harga diri rendah
3. Isolasi sosial
E. Data yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Defisit Perawatan Diri Subjektif
 Klien mengatakan dirinya malas mandi karena
airnya dingin, atau di RS tidak tersedia alat
mandi
 Klien mengatakan dirinya malas berdandan
 Klien mengatakan ingin disuapi makan
 Klien mengatakan jarang membersihkan alat
kelaminnya setelah BAK maupun BAB.

Objektif
 Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
 Ketidakmampuan berpakaian /berhias ditandai
dengan rambut acak – acakan, pakaian kotor dan
tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
(laki – laki), atau tidak berdandan (wanita)
 Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai
dengan ketidakmampuan mengambil makan
sendiri, makan berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.
 Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak
membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.

F. Diagnosis Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien
 Mengkaji kemampuan klien melakukan perawatan diri meliputi mandi/kebersihan
diri, berpakaian /berhias, makan, serta BAB/BAK secara mandiri.
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien


 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien
 Memberikan latihan cara melakukan mandi/kebersihan diri secara mandiri
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien
 Memberikan latihan cara berpakaian atau berhias secara mandiri
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien
 Memberikan latihan cara makan secara mandiri
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Strategi pelaksanaa 5 (SP 5) untu klien
 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien
 Memberikan latihan cara BAB/BAK secara mandiri
 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi atau
membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK.
Tindakan keperawatan untuk klien
 Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi mandi atau
membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK secara
mandiri
 Memberikan latihan cara melakukan mandi atau membersihkan diri,
berpakaian atau berhias, makan, dan BAB/BAK, secara mandiri
 Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang
perawatan diri
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga
 Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan
oleh klien untuk menjaga perawatan diri.
Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga
 Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri klien dan membantu
mengingatkan klien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati)
 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien yang mengalami defisit
perawatan diri.
Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam
merawat diri
 Menjelaskan follow up klien setelah pulang
Tindakan keperawatan untuk keluarga klien
Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung agar kemampuan
klien dalam perawatan dirinya meningkat. Serangkaian intervensi ini dapat saudara
lakukan dengan cara sebagai berikut:
 Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan
oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri
 Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri (sesuai jadwal yang
telag disepakati)
 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam
merawat diri.

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN
KEPERAWATAN RISIKO BUNUH DIRI

A. Masalah Utama

Risiko Bunuh Diri

B. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian

Suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri


sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber
lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri
yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri
yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan
individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinnginka (Stuart dan Sundeen,
1995).

2. Tanda dan Gejala

a. Mempunyai ide untuk bunuh diri

b. Mengungkapkan keinginan untuk mati

c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

d. Impulsif

e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat


patuh)

f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri

g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat


dosis mematikan)

h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah,


dan mengasingkan diri)

i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis, dan menyalahgunaan alkohol)

j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau


terminal)
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau mengalami
kegagalan dalam karier)

l. Umur 15 – 19 tahun atau di atas 45 tahun

m. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan)

n. Pekerjaan

o. Konflik interpersonal

p. Latar belakang keluarga

q. Orientasi seksual

r. Sumber – sumber personal

s. Sumber – sumber sosial

t. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil

3. Rentang Respons

Rentang Respons Protektif Diri

Respons Adaptif Respons maladaptif

Peningkatan diri Berisiko destruktif Destruktif diri Pencederaan diri Bunuh diri
Sumber : Keliat (1999)

 Peningkatan diri : seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan


diri secara wajar terhadap situsional yang membutuhkan pertahanan diri.

 Berisiko destruktif : seseorang memiliki kecenderungan atau berisiko


mengalami perilaku destruktif ata menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.

 Destruktif diri tidak langsung : seseorang telah mengambil sikap yang


kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri.
 Pencederaan diri : seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.

 Bunuh diri : seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai


dengan nyawanya hilang.

Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga
kategori yaitu :

a. Upaya bunuh diri (suicide attempt)

b. Isyarat bunuh diri (suicide gesture)

c. Ancaman bunuh diri (suicide threat)

4. Faktor Predisposisi

Teori perilaku meyakini bahwa pencederaan diri merupakan hal yang dipelajari
dan diterima pada saat anak – anak dan masa remaja.

Teori psikologi memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego,


trauma interpersonal dan kecemasan berkepanjangan yang mungkin dapat
memicu seseorang untuk mencederai diri.

Teori interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan


dari interaksi dalam hidup, masa anak-anak mendapat perlakuan kasar serta tidak
mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen,1995).

Riwayat abuse atau incest dapat juga menjadi faktor predisposisi atau presipitasi
pencederaan diri. Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman
perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan :

1) Diagnosis Psikiatrik

2) Sifat Kepribadian

3) Lingkungan Psikososial

4) Riwayat Keluarga

5) Faktor Biokimia

5. Faktor Presipitasi

Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang


dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.

6. Sumber Koping

Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan


dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar
memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan
dengan banyak faktor, baik faktor sosial maupun budaya. Struktur sosial dan
kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong klien melakukan
perilaku bunuh diri. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam
kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka
bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.

7. Mekanisme Koping

Denial, rasionalization, regression,dan magical thinking. Mekanisme


pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternative.

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman


bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan
agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan
koping dan mekanisme adaftif pada diri seseorang.

C. Pohon Masalah

Effect Bunuh diri

Core Problem Risiko Bunuh diri

Causa Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis


D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Risiko bunuh diri

2. Bunuh diri

3. Isolasi sosial

4. Harga diri rendah kronis

E. Data yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji

Risiko bunuh diri Subjektif :

1. Mengungkapkan keinginan bunuh diri

2. Mengungkapkan keinginan untuk mati

3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

4. Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya


dari keluarga

5. Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis


obat yang mematikan

6. Mengungkapkan adanya konflik interpersonal

7. Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku


kekerasan saat kecil

Objektif :

1. Impulsif

2. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya


menjadi sangat patuh)

3. Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis dan


penyalahgunaan alkohol)

4. Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau


penyakit terminal)

5. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau


kegagalan dalam karier)
6. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun

7. Status perkawinan yang tidak harmonis

F. Diagnosis Keperawatan

Risiko bunuh diri

G. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri

Tujuan : klien tetap aman dan selamat

Tindakan : melindungi klien

Perawat dapat melakukan hal – hal berikut untuk melindungi klien yang
mengancam atau mencoba bunuh diri.

a. Tetap menemani klien sampai dipindahkan ke tempat yang lebih aman

b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas,


ikat pinggang, dll)

c. Memastikan bahwa klien benar – benar telah meminum obatnya, jika klien
mendapatkan obat

d. Menjelaskan dengan lembut pada klien bahwa saudara akan melindungi


klien sampai klien melupakan keinginan untuk bunuh diri

2. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan klien percobaan bunuh diri

Tujuan : keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam


atau mencoba bunuh diri.

Tindakan :

a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi klien serta jangan pernah


meninggalkan klien sendirian.

b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang –


barang berbahaya di sekitar klien.

c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk menjaga klien agar tidak sering


melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya klien minum obat secara teratur

H. Evaluasi

1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien secara umum

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien

a. Mengidentifikasi benda – benda yang dapat membahayakan klien.

b. Mengamankan benda – benda yang dapat membahayakan klien.

c. Melakukan contact treatment.

d. Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri.

e. Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien

a. Mengidentifikasi aspek positif klien.

b. Mendorong klien untuk berfikir positif terhadap diri.

c. Mendorong klien untuk menghargai diri sebagai individu.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien

a. Mengidentifikasi pola koping yang biasa dilakukan klien.

b. Menilai pola koping yang biasa dilakukan.

c. Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif.

d. Mendorong klien memiih pola koping yang konstruktif.

e. Menganjurkan klien menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan


harian.

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien

a. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama klien.

b. Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis.

c. Memberi dorongan klien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa


depan yang realistis.

2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga


Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.

b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku bunuh diri yang dialami
klien berserta proses terjadinya.

c. Menjelaskan cara – cara merawat klien perilaku bunuh diri.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga

a. Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien perilaku bunuh diri,

b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien perilaku bunuh diri.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum


obat.

b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN

KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN

A. Masalah Utama

Perilaku Kekerasan

B. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian

 Perilaku kckerasan merupakan suatu keadaan di mana sescorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang

lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).

 Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan

untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam

Harnawati, 1993).

 Setiap aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan

Sundeen, 1998).

 Suatu keadaan di mana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara

fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).

 Suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan

klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain, dan barang-barang (Maramis,

1998).

 Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan

fisik (Ketner et al., 1995).


2. Tanda dan Gejala

a. Fisik: mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah

memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

b. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada

keras, kasar, dan ketus.

c. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak

lingkungan, amuk/agresif.

d. Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,

jengkel, tidakberdaya,bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan,

dan menuntut.

e. Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang

mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

f. Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,

dan kreativitas terhambat.

g. Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan,kekerasan ejekan, dan sindiran.

h. Perhatian: bolos, melarikan diri, dan melakul penyimpangan seksual.

3. Rentang Respons

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan:

1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang

lain dan memberikan ketenangan.

2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak

dapat menemukan alternatif.

3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk

menuntut tetapi masih terkontrol.

5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang serta hilangnya kontrol.

Perbandingan antara Perilaku Asertif, Pasif, dan Agresif/Kekerasan

Pasif Asertif Agresif

Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan diri,


Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, merendahkan orang
contohnya perkataan: contohnya lain, contohnya
perkataan: perkataan:
“Dapatkah saya?”
“Saya dapat…” “Kamu selalu…”
“Dapatkah kamu?”
“Saya akan…” Kamu tidak pernah…”

Tekanan Suara Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot


mengeluh

Posisi Badan Menundukkan kepala Tegap dan santai Kaku, condong ke


depan

Jarak Menjaga jarak dengan Mempertahankan Siap dengan jarak


sikap jarak yang nyaman akan menyerang orang
acuh/mengabaikan lain

Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi


tenang menyerang

Kontak Mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot


tidak kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan

Sumber: Keliat (1999)


4. Faktor Predisposisi

Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teari yang dapat menjelaskan

tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, di antaranya adalah sebagai berikut.

 Teori Biologik

Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi

seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut.

a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis

mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls

agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya

perilaku bermusuhan dan respons agresif.

b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)

menyatakan bahwa berbagai neurotransmiter (epinefrin, norepinefrin,

dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi

dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan

norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan

serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan

timbulnya perilaku agresif pada seseorang.

c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat

kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang

umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal

(narapidana).

d. Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai

gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus


temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus

temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak

kekerasan.

 Teori Psikologik

a. Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya

kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego

dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat

memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri

serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi

bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan

secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga

diri pelaku tindak kekerasan.

b. Teori Pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang

dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku

kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal

dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.

 Teori Sosiokultural

Kontrol masyakarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku

kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan

faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.


5. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan ekternal.

a. Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya

percaya diri, rasa takut sakit, hilang control, dan lain-lain.

b. Ekternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dan

lain-lain.

Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau

penganiayaan antara lain sebagai berikut :

a. Kesulitan kondisi sosial ekonomi

b. Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu

c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya

dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.

d. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan

alcohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi

e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan

tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

6. Mekanisme Koping

Perawat perlu mengidentifikasikan mekanisme koping klien, sehingga dapat

membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam

mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah

mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial,

dan reaksi formasi.


Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan

dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam

hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat, menyebabkan seseorang

rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila

ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan

halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan

tindak kekerasan . Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya dan orang

lain (risiko tinggal mencederai diri, orang lain, dan lingkungan).

Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan, keluarga yang

kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat memengaruhi perkembangan klien

(koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar

masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal

( regimen terapeutik inefektif).

C. Pohon Masalah

Risiko tinggi mencederai diri, Orang lain dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan
Regimen Terapeutik PPS : Halusinasi
Inefektif

Harga Diri Rendah Isolasi Sosial


Kronis Menarik Diri

Koping Keluarga

Tidak Efektif Berduka Disfungsional


D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Perilaku kekerasan.

2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain , dan lingkungan.

3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi

4. Harga diri rendah kronis

5. Isolasi sosial

6. Berduka disfungsional

7. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif

8. Koping keluarga inefektif

E. Data yang Perlu Dikaji

Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji

Perilaku kekerasan Subjektif :


1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatkan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Objektif :
1. Mata melotot/pandangan tajam
2. Tangan mengepal
3. Rahang mengatup
4. Wajah memerah dan tegang
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan antara lain

sebagai berikut :

1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah

2. Stimulus lingkungan

3. Konflik interpersonal

4. Status mental

5. Putus obat

6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol

F. Diagnosis Keperawatan

Perilaku kekerasan

G. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien

a. Mengindetifikasi penyebab perilaku kekerasan

b. Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan

c. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan

d. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

e. Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan

f. Membantu klien mempraktikan latihan cara mengontrol fisik I

g. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II


c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien

a. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi dimasa

lalu dan saat ini

b. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan

c. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik

kekerasan fisik, psikologis, sosial, spiritual maupun intelektual

d. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada

saat marahh baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan

e. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.


f. Diskusikan bersama klien secara mengontrol perilaku kekerasan baik secara

fisik (pukul Kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obatan, sosial

atau verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun

spiritual (salat atau berdoa sesuai keyakinan klien).

2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien

b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dialami

klien beserta proses terjadinya

c. Menjelaskan cara-cara merawat klien perilaku kekerasdan

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga

a. Melatih keluargz mempraktikan cara merawat klien perilaku kekerasan

b. Melatih keluarga melakukan cara merawat klien perilaku kekerasan

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat

b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang

Tindakan keperawatan untuk keluarga

 Diskusikan bersama keluarga masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat klien

 Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab,

tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut

 Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan


a) Anjurkann keluarga untuk selalu memotivasikan klien agar

melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.

b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila

anggota keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.

c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila

klien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan

 Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera

dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


DAFTAR PUSTAKA

Fitria, N. (2012). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai