KEPERAWATAN JIWA
LEMBARAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
IV. HALUSINASI
V. ISOLASI SOSIAL
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus operasi,
kecelakan, dicerai suami, utus sekolah, putus hubungan kerja dll. Pada klien
yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi yang kurang
diperhatikan: pemeriksaan fisik sembarangan, pemasangan alat yang tidak
sopan (pemasangan kateter, pemasangan perianal, dll), harapan akan struktur,
bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit,
perlakuan petugas yang tidak menghargai.
2. Kronik, yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama.
2. Tanda dan gejala
- Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
- Menghindar dari orang lain (menyendiri)
- Mengkritik diri sendiri
- Berpakaian tidak rapi
- Selera makan berkurang
- Berbicara lambat dengan nada suara lemah
- Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan
klien lain atau perawat
- Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
- Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
- Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau
pergi jika diajak bercakap-cakap
- Tidak melakukan kegiatan sehari-hari
- Posisi janin tidur
3. Rentang respon
Respon maladaptif
Respon adaptif
Core problem
Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Diagnosa Perencanaan
Tujuan Kriteria Intervensi
Evaluasi
Keperawatan
Harga diri Tujuan umum: 1. setelah 1. bina hubungan saling
rendah klien memiliki interaksi klien percaya dengan
diri yg positif menunjukkan menggunakan prinsip
1. Tujuan ekspresi wajah komunikasi
khusus: bersahabat, terapeutik:
2. klien dapat menunjukkan 2. sapa klien dengan
membuna rasa senang, ramah baik verbal
hubungan ada kontak maupun non verbal
saling percaya mata, mau 3. perkenalkan diri
dengan menjabat dengan sopan
perawat tangan, mau 4. tanyakan nama
menyebut lengkap dan nama
nama, mau panggilan yang
menjawab disukai klien
salam, klien 5. jelaskan tujuan
mau duduk pertemuan jujur dan
berdampingan menepati janji
dengan 6. tunjukkan sikap
perawat, mau empati dan menerima
mengutarakan apa adanya
masalah yang 7. beri perhatian dan
dihadapi perhatikan kebutuhan
dasar klien
1. klien dapat Setelah interaksi 1.1 diskusikan
mengidentifik klien dengan klien tentang :
asi aspek menyebutkan aspek positif yg
positif dan aspek positif dimiliki klien,
kemampuan dan keluarga, lingkungan
yang dimiliki kemampuan kemampuan yg
yang aspek dimiliki klien
positif keluarga 1.2 bersama klien buat
aspek positif daftar tentang : aspek
lingkungan positif klien,
klien keluarga, lingkungan
kemampuan yg
dimiliki klien
1.3 beri pujian yg
realistis, hindarkan
memberi penilaian
negative
2. klien dapat 3. setelah 3.1 diskusikan dengan
menilai interaksi klien klien kemampuan
kemampuan menyebutkan yang dapat
yang dimiliki kemampuan dilaksankan
untuk yang dapat 3.2 diskusikan
dilaksanakan dilaksanakan kemampuan yang
dapat dilanjutkan
pelaksanannya
4. klien dapat 4. setelah 4.1 rencanakan Bersama
merencanakan interaksi klien klien aktivitas yang
kegiatan membuat dapat dilakukan
sesuai dengan rencana setiap hari sesuai
kemampuan kegiatan kemampuan klien
yg dimiliki harian 4.2 tingkatkan kegiatan
sesuai kondisi klien
4.3 beri contoh cara
pelaksanaan kegiatan
yang dapat klien
lakukan
5. klien dapat 5. setelah 5.1 anjurkan klien
melakukan interaksi klien untuk melaksankan
kegiatan melakukan kegiatan yang telah
sesuai kegiatan direncanakan
rencana yg sesuai jadwal 5.2 pantau kegiatan yg
dibuat yg dibuat dilaksanakan klien
5.3 beri pujian atas
usaha yg dilakukan
klien
5.4 diskusikan
kemungkinan
pelaksanaan
kegiatan setelah
pulang
6. klien dapat 6. setelah 6.1 beri penkes pada
memanfaatka interaksi klien keluarga tentang
n system memanfaatkan cara merawat klien
pendukungny system dengan harga diri
a pendukung rendah
yang ada di 6.2 bantu keluarga
keluarga memberikan
dukungan selama
klien dirawat
6.3 bantu kelurga
menyiapkan
lingkungan rumah
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
Nama : Sarah Ladiyah
Nim : 2720190058
1. Definisi
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive
behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan
atau menyakiti orang lain, termasuk kepada hewan atau benda-benda. Ada
perbedaan antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan
agresi sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan,
kekecewaan perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah yang dapat
membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau
menghukum yang berupa tindakan menyerang orang lain (assault), agresivitas
terhadap diri sendiri (self aggression) serta penyalahgunaan narkoba (drugs
abuse). Untuk melupakan persoalan hingga tindakan bunuh diri juga merupakan
suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu
bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis. (Muhith, Abdul, 2015).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan defenisi ini maka perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat
sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.
(Dermawan, Deden, dkk, 2013).
2. Tanda Dan Gejala
Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya antara lain:
Data subjektif:
1. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam.
2. Klien mengungkapkan perasaan tidak berguna
3. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
4. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa
tercekik, dada terasa sekal dan bingung
5. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
6. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya
Data objektif;
Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence
(Ermawati Dalami, dkk 2014)
Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif, dan
agresif/perilaku kekerasan.
a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan atau
mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan kelegaan pada
individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan
tujuan menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat
tinggi atau ketakutan (panik).
Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan
kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah bisa
diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan
penyakit fisik).
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstrukstif, menggunakan kata-kata
yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan
memberikan persaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya dilakukan individu karena ia
merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat
menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan individu
seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan
rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaan destruktif
yang ditujukan kepada diri sendiri. (Dermawan, Deden, 2013).
4. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah
faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
a. Faktor biologis
Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan Naluri).Teori ini
menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu dorongan
kebutuhan dasar yang sangat kuat.
Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik) Pengalaman marah adalah
akibat dari respons psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun
lingkungan. Dalam hal ini system limbic berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor psikologis
Frustration Aggression Theory (teori agresif frustasi) Menurut teori ini
perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau menghambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif karena
perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan adalah proses belajar,
hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.
Eksistensial Theory (Teory Eksistensi) bertingkah laku adalah
kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi
melalui berperilaku konstruktif, maka individu akan memenuhinya melalui
berperilaku destruktif.
c. Faktor sosiokultural
Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial) Lingkungan
sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.
Norma budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif dan agresif.
Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) Perilaku kekerasan
dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialitas.
5. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat
unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan,
kematian dan lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan orang yang
berarti, kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain
itu lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden, 2013).
6. Sumber Koping
a. Kesehatan dan energi
b. Dukungan spiritual
c. Keyakinan positif
d. keterampilan menyelesaikan masalah dan sosial
e. sumber daya sosial dan material
f. kesejahteraan fisik
7. Mekanisme Koping Perilaku Kekerasan
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sudden, 1998). Kemarahan
merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri
antara lain:
1. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu
dorongan, penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
2. Proyeksi: menyalahkan orang lain, mengenal kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik menuduh
bahwa temannya tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.
3. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik
dan dikutuk oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya
ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bisa diekspresikan
dengan berlebih-lebihan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman-teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah karena ia baru saja
mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya,
mulai bermain perang-perangan dengan teman-temannya. (Muhith, Abdul,
2015)
Perilaku Kekerasan
Harga diri rendah kronis
Regiment terapeutik inefektif
Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran
Isolasi sosial: menarik diri
Berduka disfungsional
Koping keluarga tidak efektif
(Fitria, Nita 2010)
DO:
- Wajah klien tampak tegang
- Wajah memerah
- Tangan mengepal
Pandangan mata tajam
E. Diagnose Keperawatan
Resiko Perilaku Kekerasan
F. Perencanaan Tindakan Keperawatan
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Risiko Prilaku Selama perawatan diruangan, BHSP
Kekerasan pasien tidak memperlihatkan
SP I:
perilaku kekerasan, dengan
criteria hasil · Diskusikan
penyebab, tanda
· Dapat membina hubungan
dan gejala,
saling percaya.
bentuk dan akibat
· Dapat mengidentifikasi
PK yang
penyebab, tanda dan gejala,
dilakukan pasien
bentuk dan akibat PK yang
serta akibat PK
sering dilakukan.
· Latih pasien
· Dapat mendemonstrasikan
mencegah PK
cara mengontrol PK dengan
dengan cara: fisik
cara :
(tarik nafas dalam
- Fisik
& memeukul
- Sosial dan verbal
bantal)
- Spiritual
· Masukkan dalam
- Minum obat teratur.
jadwal harian
· Dapat menyebutkan dan
mendemonstrasikan cara
mencegah PK yang sesuai
SP II:
· Dapat memelih cara
· Diskusikan
mengontrol PK yang
jadwal harian
efektif dan sesuai
· Latih pasien
· Dapat melakukan cara
mengntrol PK
yang sudah dipilih untuk
dengan cara
mengontrl PK
social
· Memasukan cara yang
· Latih pasien cara
sudah dipilih dalam
menolak dan
kegitan harian
meminta yang
· Mendapat dukungan dari
asertif
keluarga untuk
· Masukkan dalam
mengontrol PK
jadwal kegiatan
· Dapat terlibat dalam
harian
kegiatan diruangan
SP III:
· Diskusikan
jadwal harian
· Latih cara
spiritual untuk
mencegah PK
· Masukkan dalam
jadawal kegiatan
harian
SP IV
· Diskusikan
jadwal harian
· Diskusikan
tentang manfaat
obat dan
kerugian jika
tidak minum
obat secara
teratur
· Masukkan
dalam jadwal
kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
Pola perawatan diri seimbang: saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang,
klien masih melakukan perawatan diri.
Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stressor kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya, Tidak melakukan
perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan
perawatan saat stresor.
4. Faktor Predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
5. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi,
kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu
sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000, dalam Dermawan, 2013), faktor-faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik social
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien menderita diabetes
melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan
diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pada pasien dengan deficit perawatan diri adalah sebagai
berikut:
1) Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali,
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk mengulangi ansietas
(Dermawan, 2013).
2) Penyangkalan (Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak
menyenangkan dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan
dengan cara melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain
serta tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan
(Yusuf dkk, 2015).
3) Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber
stresor, misalnya: menjauhi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi
psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat sering disertai rasa takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
4) Intelektualisasi suatu bentuk penyekatanemosional karena beban emosi
dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah
(distorsi) misalnya rasa sedih karena kematian orang dekat, maka
mengatakan “sudah nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak
menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015).
B. Pohon Masalah
Effect Isolasi Sosial
↑
Core Problem Defisit Perawatan Diri
↑
Causa Harga Diri Rendah Kronis
C. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan defisit perawatan diri
menurut Fitria (2012), adalah sebagai berikut:
a. Defisit perawatan diri
b. Harga diri rendah
c. Isolasi sosial
D. Data Yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Defisit Perawatan Diri Subjektif:
1. Pasien merasa lemah
2. Malas untuk beraktivitas
3. Merasa tidak berdaya
Objektif:
1. Rambut kotor, acak-acakan
2. Badan dan pakaian kotor dan bau
3. Mulut dan gigi bau
4. Kulit kusam dan kotor
5. Kuku panjang dan tidak terawatt
E. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada defisit perawatan diri:
a. Defisit perawatan diri
b. Gangguan sensori persepsi: halusinasi
c. Resiko perilaku kekerasan
d. Harga diri rendah
e. Isolasi sosial
F. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, dan mengurangi masalah
pasien (Hidayat, 2010). Menurut Sutejo (2017) Perencanaan keperawatan pada klien dengan
defisit perawatan diri yaitu:
a. Tujuan jangka panjang
Pasien dapat memelihara atau merawat kebersihan secara mandiri.
1. Bina hubungan saling percaya.
Rasional:
Kepercayaan dari pasien merupakan hal yang akan memudahkan
perawatan dalam melakukan pendekatan keperawatan.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu menunjukkan
tanda-tanda percaya kepada perawat dengan kriteria hasil:
2. Ekspresi wajah bersahabat
3. Menunjukkan rasa senang
4. Bersedia berjabat tangan
5. Bersedia menyebutkan nama
6. Ada kontak mata
7. Bersedia duduk berdampingan
8. Bersedia mengutarakan masalah yang dihadapi
Intervensi:
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik:
1. Sapa pasien dengan ramah, baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Jujur dan menempati janji
6. Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
7. Beri perhatian pada pemenuhan kebetuhan dasar pasien
b. Latih pasien cara-cara perawatan diri
Rasional:
Pengetahuan tentang pentingnya perawatan diri dapat meningkatkan
motivasi pasien.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 2 kali, pasien mampu melakukan
kebersihan diri secara mandiri dengan kritetia hasil:
1) Pasien dengan aman melakukan aktivitas perawatan diri secara
mandiri.
Intervensi:
Melatih pasien cara-cara perawatan diri dengan cara:
1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri.
2. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
3. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
4. Melatih pasien mempraktikan cara menjaga
c. kebersihan diri.Latih pasien berdandan
Rasional:
Membiasakan diri untuk melakukan perawatan diri sendiri.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 2 kali, pasien mampu melakukan
tindakan perawatan, berupa berhias dan berdandan secara baik dengan
kriteria hasil:
1. Pasien dengan aman melakukan atau mempertahankan aktivitas
perawatan diri berupa berhias dan berdandan.
2. Pasien berusaha untuk memelihara kebersihan diri.
Intervensi:
Melatih pasien berdandan, dengan rincian:
1. Untuk pasien laki-laki, latihan meliputi: berpakaian, menyikat
rambut, bercukur.
2. Memantau kemampuan pasien dalam berpakaian dan berhias.
3. Memonitor atau mengidentifikasi adanya kemunduran sensori,
kognitif, dan psikomotor yang menyebabkan pasien mempunyai
kesulitan dalam berpakaian dan berhias.
4. Diskusikan dengan pasien kemungkinan adanya hambatan dalam
berpakaian dan berhias.
5. Menggunakan komunikasi/instruksi yang mudah dimengerti.
6. Sediakan baju bersih, sisir, dsb.
7. Dorong pasien untuk mengenakan baju sendiri dan memasang
kancing dengan benar.
8. Memberikan bantuan kepada pasien jika perlu.
9. Evaluasi perasaan pasien setelah mampu berpakaian dan berhias.
10. Berikan reinforcemen atau pujian atas keberhasilan pasien
berpakaian.
d. Diskusikan dengan pasien akibat kurang/ tidak mau makan.
Rasional:
Identifikasi mengenai penyebab pasien tidak mau makan menentukan
intervensi perawat selanjutnya.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu melakukan
kegiatan makan dengan baik dengan kriteria hasil:
e. Kebutuhan personal hygiene pasien terpenuhi.
f. Pasien mampu melakukan kegiatan makan secara mandiri dan tepat
dengan mengungkapkan kepuasan.
Intervensi:
1. Memantau kemampuan pasien makan.
2. Identifikasi bersama pasien faktor-faktor penyebab pasien tidak mmau
makan.
3. Identifikasi adanya hambatan makan.
4. Diskusikan dengan pasien akibat kurang/tidak mau makan.
5. Diskusikan dengan pasien fungsi makanan bagi kesehatan.
6. Menjelaskan cara mempersiapkan makanan kepada pasien.
7. Menjelaskan personal hygiene tentang pola makan.
8. Menjelaskan cara makan yang tertib.
9. Kaji budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri.
Rasional:
Mengetahui kebiasaan pasien dalam toileting dalam membantu perawat
melakukan intervensi selanjutnya.
Tujuan jangka pendek:
Setelah dilakukan interaksi selama 3 kali, pasien mampu melakukan
BAB/BAK secara mandiri dengan kriteria hasil:
a. Mampu duduk dan turun dari toilet.
b. Mampu membersihkan diri setelah eleminasi secara mandiri/dibantu.
Intervensi:
1. Bantu pasien ke toilet
2. Berikan pengetahuan tentang personal hygiene dalam kaitannya dengan
toileting.
3. Menjelaskan temmpat BAB/BAK yang sesuai.
4. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB/BAK.
5. Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK.
6. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh pasien.
Rasional:
Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk membantu pasien dan
member motivasi.
Tujuan jangka pendek:
Setelah interaksi selama 4 kali, keluarga mampu merawat anggota
keluarganya yang mengalami masalah.
Kurang perawatan diri dengan kriteria hasil:
1. Keluarga dapat mengetahui defisit perawatan diri pasien dan cara
memberikan dukungan dalam memberikan dukungan pada pasien dalam
melakukan perawatan diri.
Intervensi:
1. Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan
membantu mengingatkan pasien dalam merawat diri.
2. Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien
dalam merawat diri.
Tujuan tindakan keperawatan pada pasien defisit perawatan diri, antara lain:
pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri, pasien mampu
melakukan berhias/berdandan secara baik, pasien mampu melakukan makan
dengan baik dan pasien mampu melakukan defekasi/berkemih secara mandiri
(Keliat, 2011, p.221).
Tindakan keperawatan yang dilakukan adalah (Keliat, 2011, p.221):
a. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Dilakukan dengan cara menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri,
menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri, menjelaskan cara-
cara melakukan kebersihan diri dan melatih pasien mempraktekkan cara
menjaga kebersihan diri.
b. Melatih pasien berdandan/berhias.
Dilakukan dengan cara melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-laki
latihan meliputi: berpakaian, menyisir rambut dan bercukur. Adapun
untuk pasien wanita, latihannya meliputi: berpakaian, menyisir rambut
dan berhias.
c. Melatih pasien makan secara mandiri.
Dilakukan dengan cara menjelaskan cara mempersiapkan makan,
menjelaskan cara makan yang tertib, menjelaskan cara merapihkan
peralatan makan setelah makan dan praktek makan sesuai dengan tahapan
makan yang baik.
d. Mengajarkan pasien melakukan defekasi/berkemih secara mandiri.
Dilakukan dengan cara menjelaskan tempat defekasi/berkemih yang
sesuai, menjelaskan cara membersihkan diri setelah defekasi/berkemih
dan menjelaskan cara membersihkan tempat defekasi/berkemih.
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
Nama : Sarah Ladiyah
Nim : 2720190058
1. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak
sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak, (2001) dalam Darmaja (2014).
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
akan dapat memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif meliputi:
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli.
d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
Respon psikososial meliputi:
a. Proses pikir terganggu yang menimbulkan gangguan.
b. Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra.
c. Emosi berlebihan atau kurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi.
e. Batas untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
f. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interkasi dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial dan budaya dan lingkungan,
adapun respon maladaptif ini meliputi:
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
social
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
d. Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang
negatif mengancam.
6. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Dalami, dkk, 2014):
1. Biologis
Hal yang dikaji dalam faktor biologis meliputi: Adanya faktor herediter
mengalami gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit atau
trauma kepala, dan riwayat penggunaan Napza.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian berikut:
a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien adanya kegagalan yang berulang,
kurangnya kasih sayang, atau overprotektif.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
5. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Prabowo, 2014):
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
7. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi reapon individu dalam menanggapi stressor.
8. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology termasuk (Dalami, dkk, 2014):
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
2. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk
menjelaskan keracunan persepsi).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor,
misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain, sedangkan
reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
B. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
(Efek)
↑
Perubahan persepsi sensori halusinasi (penglihatan, pendengaran, pengecapan,
perabaan dan penciuman)
(Core Problem)
↑
Isolasi sosial: menarik diri
(Etiologi)
↑
Harga diri rendah
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
Nama : Sarah Ladiyah
Nim : 2720190058
ISOLASI SOSIAL
respon maladaptif
respon adaptif
kesepian
menarik diri
ketergantungan
manipulasi
impulsive
narsisisme
menyendiri
otonomi
kebersamaan
saling percaya
Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang dapat
diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S dan Purwanto T. (2013)
respon ini meliputi:
- Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah
terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-
rencana.
- Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu mamapu menetapkan untuk
interdependen dan pengaturan diri.
- Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling member, dan
menerima dalam hubungan interpersonal.
- Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar
individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah dengan
cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Menurut
Riyardi S dan Purwanto T. (2013) respon maladaptive tersebut adalah:
a. Manipulasi Merupakan gangguan sosial dimana individu memperlakukan orang lain sebagai
objek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan
terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain.
b. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak
dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan tidak mampu untuk belajar
dari pengalaman dan miskin penilaian.
c. Narsisme
Respon sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku ogosentris, harga diri yang
rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak
mendapat dukungan dari orang lain.
d. Isolasi sosial
Adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali
tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain.
5. Faktor Predisposisi
Menurut Fitria (2009) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial
yaitu:
1. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas perkembangan yang harus
terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas
tersebut tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang
nantinya dapat menimbulkan suatu masalah.
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk hubungan dengan lingkungan diluar keluarga.
3. Faktor sosial budaya
Norma-norma yang salah didalam keluarga atau lingkungan dapat menyebabkan
hubungan sosial, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut
usia, berpenyakit kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan
sosialnya.
4. Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan
dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi gangguan
hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizfrenia yang mengalami
masalah dalam hubungan memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti atropi
otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal
6. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi
dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Faktor eksternal Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
2. Faktor internal Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang terjadi
akibat kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat
terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi
kebutuhan individu.
7. Sumber Koping
· keterlibatan dengan jaringan kekeluargaan dan pertemanan
· hubungan dengan hewan peliharaan
· penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal : musik, seni,
menulis, dll.
8. Mekanisme Koping
a. koping terkait dengan kepribadian anti sosial :
· proyeksi
· splitting (memisahkan)
· devaluasi orang lain
b. koping kepribadian batas :
· splitting
· reaksi formasi
· proyeksi
· isolasi
· idealisasi orang lain
· devaluasi orang lain
· identifikasi proyektif
I. Pohon Masalah
Resiko perubahan persepsi sensori
core problem
Isolasi sosial : menarik di
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
J. Masalah Keperawatan Yang Mungkin Muncul
· Resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
· Solasi sosial : menarik diri
· Gangguan konsep diri : harga diri rendah
K. Data Yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji
Isolasi sosial Subjektif :
· klien mengatakan saya tidak mampu,
tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik sendiri, mengungkapkan
perasaan malu terhadap diri sendiri
Objektif :
· klien terlihat lebih suka sendiri,
bingung bila disuruh memilih
alternatif Tindakan, ingin mencederai
diri/ingin mengakhiri hidup
L. Diagnosis Keperawatan
Isolasi sosial: menarik diri
M. Rencana Tindakan Keperawatan
RENCANA TINDAKAN
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Isolasi sosial Setelah dilakukan TINDAKAN
tindakan PSIKOTERAPEUTIK
keperawatan selama v klien
3x24 jam klien SP 1
dapat berinteraksi · bina hubungan saling
denngan orang lain percaya
baik secara individu · identifikasi penyebab
maupun secara isolasi sosial
berkelompok SP 2
dengan kriteria · diskusikan Bersama klien
hasil: keuntungan berhubungan
v klien dapat dengan orang lain dan
membina hubungan kerugian tidak berinteraksi
saling percaya dengan orang lain
v dapat menyebutkan · ajarkan kepada kllien cara
penyebab isolasi berkenalan dengan satu
sosial orang
v dapat menyebutkan · anjurkan kepada klien
keuntungan untuk memasukkan
berhubungan kegiatan berkenalan
dengan orang lain dengan orang lain dalam
v dapat meneyebutkan jadwal kegiatan harian
kerugian tidak dirumah
berhubungan SP 3
dengan orang lain · evaluasi pelaksaan dari
v dapat berkenalan jadwal kegiatan harian
dan bercakap-cakap klien
dengan orang lain · beri kesempatan pada
secara bertahap klien mempraktekkan cara
v terlibat dalam berkenalan dengan dua
aktivitas sehari-hari orang
· ajarkan klien berbincang-
bincang dengan dua orang
dengan topik tertentu
· anjurkan kepada klien
untuk memasukkan
kegiatan berbincang-
bincang dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan
rumah
SP 4
· evaluasi pelaksanaan dari
jadwal kegiatan harian
klien
· jelaskan tentang obat
yang diberikan (jenis,
dosis, waktu, manfaat dan
efek samping obat)
· anjurkan klien
memasukkan kegiatan
bersosialisasi dalam
jadwal kegiatan harian
rumah
· anjurkan klien untuk
bersosialisasi dengan
orang lain