Anda di halaman 1dari 19

JURNAL FORMULA TFS SOLIDA

SUPPOSITORIA

OLEH:
KELOMPOK :5
KELAS :B
ASISTEN : NUR ASITA

Nama NIM Tugas Nilai Nilai


dokumen diskusi
Nurul Annisa Dwi Ningsih G70119004 Preformulasi
Aulia Izzatunnisa G70119025
Nurul Anisa G70119090 Formulasi
Ni Wayan Anggun G70119063
Kudriah Rezkia G70119055 Evaluasi
Azizah Sabrina G70119057
Mujtahidah G70117184 Kemasan
Yeyen Ayusari G70117129

PALU

2021
I. Rancangan Produk
Nama produk : PROFENUS
Nama perusahaan : PT SEVENFARMA
Nomor registrasi sediaan : DKL2110510553A1
Kandungan suppositoria : mengandung ibuprofen 125 mg
Bobot produk : 2000 mg
Jumlah produk : 10 suppositoria
Jumlah Per-
No. Bahan Fungsi Range
tablet
1. Ibuprofen Zat aktif 125 mg 125 mg
2. Oleum cacao Basis larut lemak 50% 437,5 mg
3. PEG 400 Basis larut air 25% 218,75 mg
4. PEG 6000 Basis larut air 25% 218,75 mg
5. Parafin cair Pelumas / emolien q.s q.s

Bahan kemas :
Primer : aluminium foil
Sekunder : Dus
Label : sticker
Leaflet : kertas 70 gsm
Klaim etiket
1 box @ 10 strips, tiap 1 suppositoria mengandung 125 mg ibuprofen

II. Rancangan Batch Produksi


No. Item Jumlah
No. Bahan Fungsi
Per pcs Per batch
1. A-00001 Ibuprofen Zat aktif 125 mg 1,25 gr
B-00001 Basis larut
2. Oleum cacao 437,5 mg 4,3 gr
lemak
3. B-00002 PEG 400 Basis larut air 218,75 mg 2,1 gr
4. B-00003 PEG 6000 Basis larut air 218,75 mg 2,1 gr
B-00004 Pelumas /
5. Parafin cair q.s q.s
emolien

III. DASAR FORMULASI


III.1. Alasan pembuatan sediaan
1. Sistem dispersi padat merupakan teknologi dengan metoda
sederhana yang dapat meningkatkan kecepatan melarut zat-zat
yang sukar larut, peningkatan laju disolusi dan bioavaibilitasnya
(Wahyuni. R, dkk, 2016).
2. Dispersi padat adalah salah satu metode yang melibatkan
dispersi satu atau lebih bahan zat aktif dalam suatu pembawa
yang inert pada keadaaan padat. Dispersi padat menggambarkan
produk padat yang mengandung setidaknya dua komponen yang
berbeda, umumnya pembawa hidrofilik dan obat yang bersifat
hidrofobik, dimana pembawa atau polimer tersebut dapat
berupa amorf atau Kristal (Salma. U., K, dkk. 2021).
3. Dispersi padat merupakan campuran solid yang terdiri paling
sedikit dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik
dan obat hidrofobik. Matriks dapat berupa kristal atau amorf,
sedangkan obat dapat terdispersi secara molekuler pada partikel
amorf maupun partikel kristal. Beberapa kelebihan metode
dispersi padat diantaranya adalah mudah dalam persiapan,
optimasi, dan reprodusibilitas pembuatannya (Trianggani. D., F,
dkk. 2017)
III.2 Alasan pemilihan bahan aktif
1. Rasa nyeri berkurang dengan kemampuan ibuprofen
menghambat enzim siklooksigenase dan inhibisi prostaglandin.
Ibuprofen merupakan inhibitor non selektif siklooksigenase
(COX) yang dapat menghambat enzim COX 1 dan COX 2
(rahmatia,et.al, 2018)
2. Ibuprofen merupakan inhibitor non selektif cyclooxigenase (COX)
yang dapat menghambat enzim COX 1 dan COX 2. Enzim COX 2
diduga bertanggung jawab untuk efek antiinflamasi NSAIDs,
sedangkan enzim COX 1 bertanggung jawab untuk toksisitas
gastrointestinal (Febrianti,F.T ,et.al, 2011).
3. Ibuprofen dikenal sebagai obat antiinflamasi nonsteroid yang
digunakan untuk analgetik dan antipiretik dan termasuk obat
dengan kelarutan rendah, tetapi memiliki permeabilitas yang
tinggi ( Ferdinsyah. R, 2017)
III. 3 Dasar Pemilihan Kekuatan Sediaan
1. Dalam tabel Oxford League yang menampilkan nilai NNT untuk
analgesik pada nyeri akut menunjukkan bahwa ibuprofen 400
mg memiliki tingkat efikasi yang lebih baik dari pada ibuprofen
800 mg (NNT 1,6) dan ibuprofen 100 mg (NNT 4,3) memiliki
tingkat efikasi yang lebih baik dibanding ibuprofen 400 mg. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin kecil dosis ibuprofen yang
digunakan, semakin baik efek analgesik yang diberikan (Radani,
et.al, 2016).
2. Persyaratan kadar zat aktif ibuprofen dalam sediaan tidak
kurang dari 80% dan tidak lebih dari 110% (Etmawati, et.al,
2019)
3. Ibuprofen Sediaan Tablet : 100 mg, 200 mg, 400 mg, 600 mg,
800 mg. Kapsul: 200 mg, 400 mg. Suspensi oral : 100 mg/5 mL
[5 mL, 60 mL, 120 mL, 480 mL]. Suspensi forte: 200 mg/5 mL [
50 mL, 60 mL ( Tambunan,et.al, 2012).
III. 4 Alasan Pemilihan Bahan Tambahan
1. Oleum Cacao
1. 1 Oleum cacao sebagai basis suppositoria memiliki beberapa
keunggulan yaitu meleleh pada suhu tubuh dan tidak
tercampurkan oleh cairan tubuh (Nuryanti. Dkk 2016)
1. 2 Lemak cokelat merupakan basis larut lemak, lemak coklat
merupakan basis yang ideal karena memiliki leleh pada
rentang 30-36 C, sehingga dapat leleh pada suhu tubuh
manusia. Penggunaan lemak coklat pada suppositoria
ibuprofen lebih efisien jika dibandingkan dengan PEG dan
wetipsol karena memiliki kecepatan disolusi dan
permeasi yang paling cepat (Trianggani, D 2017).
1. 3 Lemak coklat memiliki titik leleh sesuai dengan tubuh
manusia, keunggulan oleum cacao khususnya adalah
lembut yang sensitif tidak mengiritasi jaringan membran,
mudah diakses dan nyaman digunakan pada pembuatan
suppositoria dengan tidak adanya peralatan yang spesifik
(Meinyk, G dkk 2020).
2. PEG 6000
2. 1 PEG merupakan basis suppositoria polimer hidrofilik yang
paling banyak digunakan. Campuran polietileglikol (PEG)
400 da polietilenglikol (PEG) 6000 banyak digunakan
sebagai basis suppositoria karena dapat meningkatkan
titik lebur suppositoria sehingga lebih tahan terhadap
suhu ruangan yang hangat, dengan demikian pelepasan
obat tidak tergantung dari titik lelehnya, stabilitas fisik
dalam penyimpanan lebih baik, sediaan suppositoria akan
segera bercampur dengan cairan rektal (Nuryanti. Dkk
2016).
2. 2 Suppositoria dengan sifat fisik paling baik adalah
suppositoria dengan basis oleum cacao dengan basis 50%
PEG 400 dan 50% PEG 6000 (Kurnia dan ratnaputri 2019).
2.3 Suppositoria sendiri mrnggunakan variasi penggunaan PEG
400 dan PEG 6000 yang berbeda sehingga tidak
mempengaruhi bentuk, bau dan warna suppositoria
(Afikoh, dkk 2017).
3. PEG 400
3. 1 PEG merupakan basis suppositoria polimer hidrofilik yang
paling banyak digunakan. Campuran polietileglikol (PEG)
400 da polietilenglikol (PEG) 6000 banyak digunakan
sebagai basis suppositoria karena dapat meningkatkan
titik lebur suppositoria sehingga lebih tahan terhadap
suhu ruangan yang hangat, dengan demikian pelepasan
obat tidak tergantung dari titik lelehnya, stabilitas fisik
dalam penyimpanan lebih baik, sediaan suppositoria akan
segera bercampur dengan cairan rektal (Nuryanti. Dkk
2016).
3.1 Suppositoria dengan sifat fisik paling baik adalah
suppositoria dengan basis oleum cacao dengan basis 50%
PEG 400 dan 50% PEG 6000 (Kurnia dan ratnaputri 2019).
3.2 Suppositoria sendiri mrnggunakan variasi penggunaan
PEG 400 dan PEG 6000 yang berbeda sehingga tidak
mempengaruhi bentuk, bau dan warna suppositoria
(Afikoh, dkk 2017).
4. Parafin Cair
4. 1 Parafin cair yang digunakan sebagai pelumas yang dioles
dalam cetakan suppositoria (Trianggani, D 2017).
4. 2 Paraffin cair digunakan dalam formulasi farmasi topikal
maupun lokal meningkatkan titik leleh formulasi atau
menambah kekakuan serta mempengaruhi pelepasan
obat (Hope Ed.8, 2017).
4. 3 Untuk memudahkan suppositoria dikeluarhn dari cetakan
ditambahkan paraffin liquidum yang akan melumuri
dindinf cetakan (Afikoh, dkk 2017).
IV. SKEMA KERJA DAN PERALATAN
IV. 1 Skema Kerja

Siapkan Alat dan Bahan

- Ditimbang
Bahan di Neraca analitik
- Dilelehkan
Lemak coklat pada suhu 35
derajat celcius
-ditambahkan

peg 400 & peg 6000

- Ditambahkan

Ibu profen sampai homongen

- Dioleskan
Parafin cair pada cetakan

- Dituang
Dalam Cetakan

- Diberikan
15 menit pada pada
suhu ruang
- Disimpan

Kedalam lemari pendingin


pada suhu 4 derajat celcius
selama 15 menit
IV. 2 Peralatan
1. Neraca analitik
2. hot plate
3. batang pengaduk
4. cetakan suppo
5. lemari pendingin
6. sendok tanduk
7. cawan petri
V. INFORMASI BAHAN AKTIF & BAHAN TAMBAHAN
V.1. Uraian Farmakologi Bahan aktif
V. 1. 1 Ibuprofen (MIMS, 2021)
a. Indikasi : Demam
b. Kontraindika : Hipersensitivitas (termasuk asma)
si terhadap ibuprofen atau NSAID
lainnya. Riwayat perdarahan
gastrointestinal, perforasi, atau
ulserasi yang berhubungan dengan
terapi NSAID. Ulserasi
gastrointestinal, perforasi atau
perdarahan. Gagal jantung berat
atau pasien yang menjalani operasi
cangkok bypass arteri koroner.
Gangguan ginjal atau hati yang
parah. Kehamilan (trimester ketiga).
c. Efek samping : Reaksi anafilaktoid, risiko
hiperkalemia, edema, hipertensi,
kelainan fungsi hati, anemia,
penglihatan kabur, skotoma,
perubahan penglihatan warna.
Jarang, diskrasia darah berat
(misalnya agranulositosis,
trombositopenia, anemia aplastik).
d. Dosis dan : Dewasa: Awalnya, 400 mg
Kekuatan kemudian, 400 mg setiap 4-6 jam
Sediaan atau 100-200 mg setiap 4 jam, sesuai
kebutuhan. Maks: 3,2 g setiap hari.
Anak: 6 bulan sampai <12 tahun 10
mg/kg selama 10 menit setiap 4-6
jam, sesuai kebutuhan; 12-17 tahun
400 mg selama 10 menit 4-6 jam.
Maks: 2,4 g setiap hari (Maks 400
mg/dosis).individu.
e. Rute : Awalnya, 10 mg/kg diinfuskan
pemberian selama 15 menit kemudian, 2 dosis 5
dan aturan mg/kg setelah 24 dan 48 jam. Oral :
pakai Dewasa: 200-400 mg setiap 4-6 jam.
Anak: 6 bulan 5-10 mg/kg setiap 6-8
jam.
f. Farmakokine : Penyerapan: Diserap dari saluran
tika pencernaan, sebagian ke dalam
kulit, dan hampir sepenuhnya
diserap setelah pemberian rektal.
Asupan makanan menurunkan
tingkat penyerapan. Waktu untuk
mencapai konsentrasi plasma
puncak: 1-2 jam (oral); 0,75 jam
(rektal). Distribusi: Memasuki ASI.
Ikatan protein plasma: 90-99%.
Metabolisme: Dimetabolisme di hati
melalui oksidasi. Ekskresi : Terutama
melalui urin (45-80% sebagai
metabolit, kira-kira 1% sebagai obat
yang tidak berubah); kotoran. Waktu
paruh eliminasi: Kira-kira 2 jam.
g. Perhatian : Pasien dengan penyakit KV atau
faktor risiko (misalnya CHF, penyakit
jantung iskemik, CVA, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes mellitus),
gangguan perdarahan, SLE,
gangguan jaringan ikat campuran,
porfiria. Operasi. Gangguan hati dan
ginjal.
h. Interaksi : Peningkatan risiko ulserasi
gastrointestinal, perforasi atau
perdarahan dengan NSAID lain
(misalnya aspirin), antiplatelet,
antikoagulan (misalnya warfarin),
kortikosteroid, SSRI. Peningkatan
risiko hiperkalemia dan toksisitas
ginjal dengan siklosporin, tacrolimus.
Peningkatan kadar dan risiko
toksisitas dengan litium,
metotreksat. Dapat menurunkan
efek antihipertensi ACE inhibitor,
antagonis reseptor angiotensin II;
efek natriuretik diuretik.
i. Mekanisme : Ibuprofen, NSAID, memiliki sifat
kerja analgesik, anti-inflamasi dan
antipiretik. Ini menghambat
siklooksigenase-1 dan 2 dengan
demikian, juga menghambat sintesis
prostaglandin.

V. 2 Sifat Fisika & Kimia Bahan Aktif


IV. 2. 1 Ibuprofen (FI Edisi VI, 2020)
a. Nama resmi : IBUPROFEN
b. Sinonim : Ibuprofen
c. RM / BM : C13H18O2/206,28
d. Rumus :
Struktur

(Pubchem, 2021)
e. Kegunaan : Zat aktif
f. Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga hampir
putih, berbau khas lemah
g. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam etanol,
methanol, aseton dan kloroform,
sukar larut dalam etil asetat, praktis
tidak larut dalam air.
h. Metode : -
Sterilisasi
i. Stabilitas : -
j. Inkompatibili : -
tas

V. 3 Sifat Fisika & Kimia Bahan Tambahan


V. 3. 1 Oleum cacao (FI Edisi III, 1979 ; 453)
a. Nama resmi : OLEUM CACAO
b. Sinonim : Lemak coklat/minyak teobroma
c. RM / BM : -/-
d. Rumus : -
Struktur
e. Kegunaan : Sebagai basis larut lemak
f. Pemerian : Lemak padat, putih kekuningan, bau
khas aromatic, rasa khas lemak, agak
rapuh.
g. Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95%),
mudah larut dalam kloroform P,
dalam eter P, dan dalam eter minyak
tanah P.
h. Metode : -
Sterilisasi
i. Stabilitas : Memanaskan minyak theobroma
lebih banyak dari 36°C selama
persiapan supositoria dapat
mengakibatkan penurunan yang
cukup besar dari titik pemadatan
karena pembentukan keadaan
metastabil; ini dapat menyebabkan
kesulitan dalam pengaturan
supositoria. Minyak theobroma
harus disimpan di suhu tidak
melebihi 25°C.
j. Inkompatibili : -
tas

V. 3. 2 PEG 6000 (FI edisi III, 1979 ; 506


a. Nama resmi : POLYAETHYLENGLYCOLUM - 6000
b. Sinonim : Polietilenglikol-6000/makrogol-
6000/poliglikol-6000
c. RM / BM : -/7000 sampai 9000
d. Rumus : -
Struktur
e. Kegunaan : Sebagai basis larut air
f. Pemerian : Serbuk licin putih atau potongan
putih kuning gading, praktis tidak
berbau, tidak berasa.
g. Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol
(95%) P dan dalam kloroform P,
praktis tidak larut dalam eter P.
h. Metode : Autoklaf, filtrasi atau radiasi gamma
Sterilisasi
i. Stabilitas : Polietilen glikol secara kimiawi stabil
di udara dan dalam larutan,
meskipun nilai dengan berat molekul
kurang dari 2000 adalah hidroskopis.
Polietilen glikol tidak mendukung
pertumbuhan mikroba dan mereka
tidak menjadi tengik
j. Inkompatibili : Aktivitas antibakteri antibiotik
tas tertentu berkurang dalambasa
polietilen glikol, terutama penisilin
dan basitrasin. Khasiat pengawet
paraben juga mungkin terganggu
karena mengikat dengan polietilen
glikol.

V. 3. 3 PEG 400 (FI edisi III, 1979 : 504)


a. Nama resmi : POLYAETHYLENGLYCOLUM - 400
b. Sinonim : Polietilenglikol-400/makrogol-
400/poliglikol-400
c. RM / BM : -/380 sampai 420
d. Rumus : -
Struktur
e. Kegunaan : Sebagai basis larut air
f. Pemerian : Cairan kental jernih, tidak berwarna
atau praktis tidak berwarna, bau
khas lemak, agak higroskopik.
g. Kelarutan : Larut dalam air, dalam etanol (95%)
P, dalam aseton P, dalam glikol lain
dan dalam hidrokarbon arimatik,
praktis tidak larut dalam eter p dan
dalam hidrokarbon alifatik.
h. Metode : Autoklaf, filtrasi atau radiasi gamma.
Sterilisasi
i. Stabilitas : Polietilen glikol secara kimiawi stabil
di udara dan dalam larutan,
meskipun nilai dengan berat molekul
kurang dari 2000 adalah hidroskopis.
Polietilen glikol tidak mendukung
pertumbuhan mikroba dan mereka
tidak menjadi tengik
j. Inkompatibili : Aktivitas antibakteri antibiotik
tas tertentu berkurang dalambasa
polietilen glikol, terutama penisilin
dan basitrasin. Khasiat pengawet
paraben juga mungkin terganggu
karena mengikat dengan polietilen
glikol.
V. 3. 4 Paraffin cair (FI III, 1979; 474-475)
a. Nama resmi : PARAFFINUM LIQUIDUM
b. Sinonim : Paraffin cair
c. RM / BM : -/-
d. Rumus : -
Struktur
e. Kegunaan : Pelumas
f. Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak
berfluorosensi; tidak berwarna;
hampir tidak berbau; hampir tidak
mempunyai rasa.
g. Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan
dalam etanol (95%) P; larut dalam
kloroform P dan dalam eter P..
h. Metode : -
Sterilisasi
i. Stabilitas : Parafin stabil, meskipun pencairan
dan pembekuan berulang dapat
mengubah sifat fisiknya. Parafin
harus disimpan pada suhu tidak
melebihi 40oC dalam wadah tertutup
baik (Rowe, 2009).
VI. PERHITUNGAN
Dosis : DL = 200 – 400 mg ; DM = 3,2 gr
• Perhitungan Bahan (per pcs dan per batch)
Ibuprofen 125 mg
Oleum cacao 50%
PEG 400 25%
PEG 6000 25%
a. Tentukan bobot 1 cetakan basis. Misalnya didapat bobot suppositoria untuk
basis saja 1000 mg
b. Buat campuran 10% zat aktif dalam basis

Misalnya didapat bobot 2000 mg


Basis saja = 1000 mg
Basis + 10% zat aktif = 2000 mg
10
10% zat aktif = 100 x 2000 mg = 200 mg
90% basis = 2000 mg – 200 mg = 1800 mg

Jadi dalam basis mengisi tempat zat aktif = 2000 mg – 1800 mg = 200 mg
Jadi 200 mg basis ~ 200 mg zat aktif
Dosis zat aktif ibuprofen = 125 mg
125
Maka 125 mg zat aktif = 200 x 200 = 125 mg basis
Maka untuk cetakan yang sama jumlah basis yang digunakan untuk cetakan 1 =
1000 mg – 125 mg = 875 mg
50
Oleum cacao = 100 x 875 mg = 437,5 mg
25
PEG 400 = 100 x 875 mg = 218,75 mg
25
PEG 6000 = 100 x 875 mg = 218,75 mg

Perhitungan per batch


Bila dibuat 10 suppositoria, ditimbang
Ibuprofen = 10 x 125 mg = 1250 mg
Oleum cacao = 10 x 437,5 mg = 4375 mg
PEG 400 = 10 x 218,75 mg = 2187,5 mg
PEG 6000 = 10 x 218,75 mg = 2187,5 mg
VII. RANCANGAN PENGEMASAN& SPESIFIKASI SEDIAAN
VII.1. Alasan pemilihan Wadah (kemasan primer)
1. Teknologi blister packaging digunakan oleh industri farmasi
untuk kemasan jumlah produk seperti tablet, kapsul, jarum
suntik atau bahan cair. Kemasan blister pack berguna untuk
melindungi produk terhadap faktor eksternal, seperti
kelembaban dan kontaminasi untuk waktu yang lama. Kemasan
blister pack yang portable, dapat melindungi obat dengan jangka
waktu yang panjang (Rusman dan Prasetyo, 2018).
2. Jenis kemasan pembungkus obat yang umum digunakan adalah
blister. Blister terdiri dari dua lapisan utama, yaitu aluminium foil
dan PVC (Poly Vinyl Chloride). Oleh karena terdapat kandungan
logam aluminium pada blister, maka limbahnya menjadi masalah
bagi lingkungan (Nugroho dan Redjeki ,2015)
3. Bahan pengemas primer merupakan bahan yang kontak langsung
dengan produk dan secara langsung berpengaruh pada waktu
simpan produk. Contohnya botol untuk sediaan cairan,
alumunium foil atau blister pada sediaan tablet (Karlida dan
Musfiroh,2017)
VI.2. Rancangan Label, Leaflet dan Kemasan Sekunder
IBUPROFEN 125 Mg SUPPOSITORIA

Komposisi :

Tiap suppositoria mengandung :


Ibuprofen 125 mg
Bahan Tambahan q.s

Indikasi :

Meredakan demam, meredakan nyeri ringan sampai


sedang, dan sakit kepala.

Perhatian :

HARUS DENGAN RESEP DOKTER. Hati-hati pemberian


pada penderita tukak lambung dan penderita payah
jantung, gangguan fungsi ginjal, hipertensi.

Efek samping :

Efek samping relative ringan sakit kepala, gugup dan


muntah. Efek samping lebih serius berupa diare,
hematemesis, hematuria, penglihatan kabur, ruam
kulit, gatal dan bengkak.

Aturan Pakai :

Masukkan kedalam dubur

No. Reg : DKL2110510553A1


No. Bacth : J 01 001 1

Di produksi oleh :

PT. SEVENFARMA
PALU-INDONESIA
VII. Rancangan Detail Proses Manufaktur
• Persiapan kemasan primer
1. Disiapkan kemasan yang telah didesain untuk digunakan
2. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam proses
pengemasan
• Pencampuran
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang semua bahan menggunakan neraca analitik
3. Dilelehkan lemak coklat pada suhu 35 derajat celcius kedalam
hotplate
4. Ditambahkan PEG 400 & 6000
5. Dimasukkan kedalam lumpang ibuprofen
6. Dioleskan parafin cair pada cetakan
7. Dituang bahan kedalam cetakan
8. Dibiarkan pada suhu ruangan selama 15 menit
9. Disimpan ke dalam lemari pendingin 4 derajat celcius selama 15
menit
• Labeling
1. Ditutup kemasan primer yang telah berisi sediaan
2. Ditempel label yang telah didesain pada kemasan primer
• Kemasan sekunder
1. Dimasukkan strip suppositoria ke dalam box
2. Dimasukkan leaflet ke dalam box yang telah didesain.
DAFTAR PUSTAKA
Afikoh dkk (2017). Pengaruh Konsentrasi PEG 400 dan PEG 6000 Terhadap
Formulasi dan Uji Sifat Fisik Suppositoria Ekstrak Sosor Bebek (Kalanchoe
(L.) pers). Jurnal para pemikir volume 6. Nomor 2.ISSN:2549-5062.

Ermawati,et.al. (2019). Pengaruh Kombinasi Polimer Hidroksipropilmetilselulosa


dan Natrium Karboksimetilselulosa terhadap Sifat Fisik Sediaan Matrix-
based Patch Ibuprofen. PSCR: Journal of Pharmaceutical Science and
Clinical Research, 2019, 02, 109-119.
Febrianti, F,T, et.al. (2013). EFEK ULCEROGENIC DISPERSI PADAT IBUPROFEN-
POLIVINILPIROLIDON (PVP) PADA TIKUS PUTIH JANTAN : Pharmaciana , Vol.
3, No. 2, 2013 :29 – 36.
Ferdiansyah, R. (2017). Peningkatan Kelarutan dan Disolusi Ibuprofen melalui
Pembentukan Mikropartikel Metode Emulsification-Ionic-Gelation
Menggunakan Polivinil Alkohol (PVA) sebagai Polimer dan Tripolifosfat
(TPP) sebagai Agen Crosslink : IJPST Volume 4, Nomor 3, Oktober 2017.
Kurnia dan ratnaputri (2019) Aktivitas Farmakologi dan perkembangan Produk
dari Lidah Buaya (Aloe vera L.) jurnal pharmascience, vol. 06, No.01 hal:38-
49. ISSN:2460-9560.
Meinyk, G dkk (2020) Analytical riview of the modern range of suppository Based.
A multifaceted riview journal in the fiild of pharmacy. Vol 11(4) hal.503-
508.
Nuryanti dkk (2016) Formulasi dan evcaluasi suppositoria ekstrak terpurifikasi
daun lidah buaya (Aloe vera). Universitas jendral soedirman. ISSN: 2337-
8433.
Ramadani, et.al. (2016). KARAKTERISTIK DAN POLA PENGGUNAAN OBAT
ANALGESIK NSAID PADA PASIEN PASCA OPERASI DI RSUD ABDUL WAHAB
SJAHRANIE SAMARINDA. Samarinda: Fakultas Farmasi Universitas
Mulawarman.
Rahmatia,et.al. (2018). Potency of Methanolic Extract of Sernai Stems (Wedelia
biflora) as Analgesic on Mice (Mus musculus) : Jurnal Medika Veterinaria
Agustus 2018 12 (2):91 – 96 I-SSN : 0853-1943; E-ISSN : 2503-1600.
Salma. U., K, Dkk. (2021). Review Artikel: Peningkatan Kelarutan Atorvastatin
Dengan Berbagai Metode Dispersi Padat. Program Studi Farmasi, Fmipa,
Universitas Garut.
Tambunan, et.al. (2012). FORMULARIUM SPESIALISTIK ILMU KESEHATAN ANAK
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA: IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA.
Jakarta.
Trianggani. D., F, dkk. (2017). Formulasi dan Evaluasi Dispersi Padat Ibuprofen
dengan Dekstrosa sebagai Pembawa dalam Sediaan Supositoria.
PHARMACEUTICAL JOURNAL OF INDONESIA 2017. 2(2): 51–56.
Wahyuni. R, Dkk. (2016). Studi Sistem Dispersi Padat Ibuprofen – Manitol Dengan
Metode Pelarutan. Jurnal Farmasi Higea, Vol. 8, No. 1, 2016

Anda mungkin juga menyukai