Anda di halaman 1dari 12

Nama : Wirdona Yunisa

Kelas : Kelas 006


No UKG : 201900816351

LK. 1.1. Identifikasi Masalah


Jenis Masalah yang
No. Analisis Identifikasi Masalah
Permasalahan Diidentifikasi
1 Pedagogik, a. Pedagogik : a. Pedagogik
literasi, dan  Ketidaksesuaian  Ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
numerasi. antara perencanaan yang terjadi di dalam kelas.
dan pelaksanaan
pembelajaran yang Salah satu tugas pokok seorang guru adalah merencanakan pembelajaran.
terjadi di dalam Sesuai dengan PP No.74 Tahun 2008 bahwa tugas guru bidang studi
kelas. diantaranya adalah menyusun kurikulum pembelajaran, menyusun
 Rendahnya motivasi silabus, menyusun RPP, dan menyusun alat ukur soal sesuai mata
belajar siswa di pelajarannya.
kelas.
Pada pelaksanaannya di kelas, perencanaan pembelajaran tidak sesuai
b. Literasi: dengan pelaksanaan yang terjadi. Guru membuat rencana pembelajaran
Literasi peserta didik dengan menggunakan model berbasis konstruktivisme seperti Problem
yang rendah akibat Based Learning, Discovery Learning, dan Project Based Learning. Namun
minat baca peserta pada kenyataannya, saat di kelas guru menggunakan metode ceramah
didik yang kurang. dalam pembelajaran.

c. Numerasi Ketidaksesuaian yang terjadi ini disebabkan oleh kurang maksimalnya


Rendahnya numerasi guru dalam menyiapkan media pembelajaran yang sesuai. Menurut
pada siswa. Ayuriyanti (2015 : 64 ) hambatan yang dialami guru dalam pelaksanaan
Kemampuan dasar pembelajaran diantaranya peserta didik kurang aktif, dan kurangnya
matematika peserta memaksimalkan media pembelajaran.
didik masih rendah,
sehingga peserta didik Akibat yang ditimbulkan dari ketidaksesuaian antara perencanaan dan
kurang antusias pelaksanaan ini diantaranya ialah siswa menjadi kurang aktif,
terhadap materi yang pembelajaran menjadi monoton, dan kerugian yang dialami pendidik
melibatkan operasi karena tidak dapat melaksanakan pembelajaran seperti yang telah
hitung. direncanakan

Dalam menyusun RPP, guru harus mempertimbangkan banyak faktor


untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini sangat penting agar RPP
tersebut dapat terlaksana dengan baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penyusunan RPP adalah (1) siswa (kemampuan, minat, jumlah, dsb), (2)
tujuan yang ingin dicapai, (3) materi pelajaran, (4) guru sendiri (filosofi
tentang pendidikan, kemampuan mengelola pelajaran, kemampuan
menerapkan metode tertentu, kebiasaan, dsb), serta (5) ruang, fasilitas,
dan waktu yang tersedia (Wardani, 2006 : 67)

 Rendahnya semangat belajar siswa di kelas.

Motivasi belajar siswa sangat penting dalam proses pembelajaran. Fakta


yang terjadi di kelas, motivasi belajar siswa masih rendah. Siswa kurang
antusias dalam pembelajaran. Hal ini tentu mempengaruhi hasil
pembelajaran siswa. Berdasarkan data nilai Penilaian Harian siswa,
ditemukan bahwa 64% siswa di kelas mendapatkan nilai di bawah KKM.

Rendahnya motivasi belajar siswa ini dipengaruhi oleh pembelajaran yang


cenderung monoton. Guru lebih sering menggunakan pembelajaran
dengan metode ceramah dibandingkan menggunakan pendekatan
scientifik.

Berdasarkan Journal of Mechanical Engineering Education, Vol 6.


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi belajar
siswa, diantaranya adalah faktor internal dan ekternal. Faktor internal
yaitu faktor yang bersumber dari dalam diri siswa seperti kondisi jasmani
dan rohani, cita-cita/aspirasi, kemampuan siswa, dan perhatian. Faktor
eksternal yaitu faktor yang bersumber dari luar diri siswa seperti
Kondisi lingkungan siswa, unsur-unsur dinamis dalam belajar dan
pembelajaran dan upaya guru dalam mengelola kelas (Moeslem dkk, 2019
: 260)
b. Literasi

 Literasi peserta didik yang rendah akibat minat baca peserta didik
yang kurang.

Literasi merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh


setiap peserta didik dalam pembelajaran Abad 21. Gerakan Literasi
Numerasi (GLN) merupakan implementasi dari Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan
Budi Pekerti. Literasi sebagai salah satu wujud penumbuhan budi perkerti
melalui pembudayaan yang menjadi karakter.

Namun, fakta yang terjadi di sekolah, ditemukan bahwa literasi siswa


masih rendah. Rendahnya literasi siswa disebabkan oleh minat baca siswa
yang masih rendah.

Rendahnya minat baca di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor.


Faktor pertama, belum adanya pembiasaan dalam membaca yang
ditanamkan sejak dini. Kedua, akses dalam fasilitas yang belum merata.
(Saffanah dkk, 2021 : 4)

Sementara itu, menurut Witanto dalam (Saffanah, dkk : 4-5) faktor


penyebab kurangnya literasi disebabkan permaslahan di dalam dan di luar
lingkungan sekolah. Permasalahan di dalam lingkungan sekolah meliputi
terbatasnya sarana prasarana sekolah, kegiatan belajar yang kurang
memotivasi siswa untuk mempelajari buku-buku tertentu, dan kurangnya
role mode (dari kalangan guru). Sementara itu, permasalahan di luar
sekolah meliputi, berkembangnya teknologi informasi, berkembangnya
handphone dan internet, keluarga yang belum nmenanamkan kebiasaan
wajib membaca, dan keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap buku.

Sehingga menurut Witanto dalam (Saffanah , dkk : 6) dampak yang terjadi


akibat kurangnya literasi ialah kurangnya wawasan dan keilmuan yang
terbatas, kreativitas yang tidak berkembang, tidak mengetahui informasi
teraktual, menimbulkan sikap ketidakpedulian, dan menyebabkan
kerugian bagi negara yang kehilangan sumber saya sebagai kontribusi
generasi muda dalam kemajuan bangsa.

Upaya sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan literasi di sekolah,


salah satunya dengan mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang
dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah
kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar
dimulai.

c. Numerasi

 Rendahnya numerasi pada siswa.

Kemampuan dasar peserta didik dalam menghitung di kelas masih rendah.


Siswa sulit untuk mengerjakan latihan yang berhubungan dengan operasi
hitung sehingga peserta didik kurang antusias terhadap materi yang
melibatkan operasi hitung.

Menurut Traffer’s (dalam Sari, 2015: 715) numerasi merupakan


kemampuan mengelola bilangan dan data serta mengevaluasi pernyataan
yang melibatkan mental dan perkiraan sesuai masalah dan kenyataan.

Sementara itu, menurut Hartatik (dalam Salvia, 2021 dkk: 352)


menyatakan bahwa kemampuan numerasi diartikan sebagai kemampuan
peserta didik untuk menjabarkan informasi yang berkaitan dengan angka
atau matematika kemudian merumuskan sebuah permasalahan,
menganalisis permasalahan, serta menemukan penyelesaian dari masalah
tersebut.

Rendahnya kemampuan numerasi peserta didik dapat dipengaruhi oleh


banyak hal, seperti kemampuan penyelesaian masalah matematika,
maupun kemampuan literasi peserta didik itu sendiri (Salvia dkk, 2021 :
353).

Rendahnya numerasi juga dapat disebabkan karena kurangnya latihan


soal-soal literasi numerasi. Hal ini disebabkan masih banyaknya guru yang
belum mampu menyusun soal-soal literasi numerasi. Guru cenderung
membuat soal rutin yang tertutup dan dapat langsung diselesaikan dengan
penggunaan suatu rumus (Kartikasari, Kusmayadi, dan Usodo, 2016).

Dampak yang ditimbulkan oleh rendahnya numerasi peserta didik ialah


rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika. Hal ini
didukung dengan penelitian Alfiah dan Apriyani (2019 : 7) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara literasi
numerasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

Agar dapat meningkatkan numerasi peserta didik, maka perlu dilakukan


upaya tertentu. Keberhasilan ketrampilan literasi dan numerasi tidak
terlepas dari minat siswa sendiri. Minat belajar siswa bisa dilaksanakan
dengan menggunakan media pembelajaran. Dengan menggunakan media
pembelajaran secara tidak langsung dapat membiasakan dan melatih
ketrampilan siswa dalam menjawab soal berbasis numerasi (Sugiyanto,
2011).

2. Kesulitan belajar Guru belum memahami  Guru belum memahami dan terampil melakukan proses pembelajaran
siswa termasuk dan terampil melakukan inklusif yang terdapat ABK (Anak Berkebutuhan Khusus).
siswa proses pembelajaran
berkebutuhan inklusif yang terdapat Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, tidak
khusus dan ABK (Anak terkecuali ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Dalam pasal 5 ayat 1
masalah Berkebutuhan Khusus) undang-undang nomor 20 tahun 2003, oleh Permendikbud nomor 70
pembelajaran tahun 2009 mengenai pendidikan inklusif bagi peserta didik di mana
(berdiferensiasi) terdapat instruksi bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki kelainan
di kelas fisik, mental, emosional, intelektual serta sosial yang harus mendapatkan
berdasarkan pendidikan khusus atau pelayanan pendidikan yang khusus.
pengalaman
mahasiswa saat Beberapa tahun belakangan ini, sekolah saya telah menerima ABK sebagai
menjadi guru. siswa di sekolah. Pada awal masuk, diberikan tes pada ABK untuk
mengetahui kemampuan yang dimiliki. Namun, karena keterbatasan
Sumber Daya, terutama Guru yang mumpuni di bidangnya, maka ABK
digabungkan dengan peserta didik normal lainnya.

Menurut Muhammad (2008: 130) menyatakan bahwa anak-anak


berkebutuhan khusus berbeda dengan anak-anak biasa dalam hal ciri-ciri
mental,kemampuan sensorik, kemampuan komunikasi,tingkah laku sosial,
ataupun ciri-ciri fisik(special needs). Anak-anak dalam kategori ini
misalnya anak dengan masalah pendengaran (tunarungu), masalah
penglihatan (tunanetra), masalah dalam pembelajaran yang meliputi cacat
mental, autism, cerebral parsy, masalah dalam komunikasi, penuturan
dan bahasa, down syndrome, hiperaktifatau gangguan konsentrasi
(attention deficit disorder), gangguan emosi, diskalkulia, disgrafia, dislesia,
serta berbagai ketidakmampuan lainnya. Anak genius dengan IQ di atas
rata-rata termasuk anak yang memerlukan penanganandan kebutuhan
khusus.

Fakta yang ditemukan di kelas, guru belum pernah mendapatkan


pelatihan, bimbingan, maupun pengalaman terhadap ABK. Sehingga
merasa kesulitan dalam melaksanakan proses pembelajaran.selain itu
ABK juga digabungkan dengan peserta didik yang normal lainnya. Hal
tersebut tentu menganggu proses pembelajaran ABK di kelas. Anak merasa
kesulitan jika mengikuti standar pembelajaran di kelas pada umumnya,
sehingga mempengaruhi hasil belajarnya.

Upaya yang dapat dilakukan sekolah untuk mengatasi hal ini adalah
dengan memberikan guru pendamping khusus pada ABK sehingga anak
tersebut mendapatkan perhatian khusus. Selain itu, Guru BK juga ikut
membantu dan mengawasi.
Mulyani dan Abidinsyah (2021 : 211) menjelaskan strategi pembelajaran
ABK hendaknya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan. Seperti
strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar, diantaranya:
- Anak kesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan
remedial teaching
- Anak berkesulitan belajar menulis melalui remedial sesuai dengan
tingkat kesalahan
- Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu program remisi yang
sistematis.

3 Membangun Sulitnya membangun  Sulitnya membangun komunikasi antara guru dengan wali murid. Wali
relasi/hubungan komunikasi antara guru murid bersikap kurang peduli terhadap perkembangan anak dan proses
dengan siswa dengan wali murid. Wali pembelajaran.
dan orang tua murid bersikap kurang
siswa. peduli terhadap Komunikasi yang baik antara guru, peserta didik, dan orang tua /wali
perkembangan anak dan murid menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran di
proses pembelajaran. sekolah. Menurut Effendi (2001:10) komunikasi adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan untuk
menimbulkan efek.

Komunikasi antara orang tua dan guru biasanya berupa pertukaran


informasi dan ide tentang pengembangan dan perkembangan anak di
sekolah dan di rumah. Orang tua memperoleh informasi tentang hal-hal
yang dilakukan dan diperoleh anaknya, sementara guru memperoleh data
tentang aktivitas siswanya saat bermain dan belajar di rumah (Clay, 2005 :
117-118).

Salah satu peserta didik di kelas saya memiliki sifat yang agresif, sehingga
seringkali tanpa sengaja menyakiti teman-temannya. Selaku guru, saya
mencoba menjalin komunikasi dengan orang tua anak tersebut untuk
mencari cara penyelesaian. Namun, orang tua anak tersebut sulit untuk
diajak bertemu dan berkomunikasi.
Pendekatan secara interpersonal dilakukan terhadap peserta didik tersebut
agar dapat menemui akar permasalahannya. Pihak sekolah juga
memfasilitasi anak tersebut untuk dapat berkonsultasi dengan BK untuk
membantu mengatasi permasalahan yang ada. Menurut Pontoh (2013:10)
berkomunikasi dengan siswa dengan cara interpersonal lebih tepat dan
efektif karena masing-masing anak memiliki keunikan.

Selain hal tersebut, dalam membangun komunikasi dengan orangtua, guru


perlu mendapatkan persepsi yang dari orang tua. Perhatian khusus dalam
bentuk jalinan komunikasi yang cukup dekat, memberi informasi secara
konsisten, atau merespon pesan yang dikirim oleh orang tua menjadi
bagian dari upaya guru untuk membangun persepsi positif pada orang tua
siswa (Triwardhani dkk, 2020 : 105).

4 Pemahaman/ Guru cenderung  Guru cenderung menggunakan metode ceramah dalam proses
pemanfaatan menggunakan metode pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi monoton.
model-model ceramah dalam proses
pembelajaran pembelajaran sehingga Setiap guru memiliki kewajiban untuk memberikan pembelajaran yang
inovatif pembelajaran menjadi bermakna sekaligus menyenangkan bagi siswa. Menurut UU No. 14 tahun
berdasarkan monoton. 2005 tentang Guru dan Dosen, mendefinisikan guru sebagai pendidik
karakteristik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
materi dan mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.
siswa.
Pemilihan metode pembelajaran oleh guru dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Syaiful dan Aswan (2010 : 78), menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi penentuan metode diantaranya: anak didik, tujuan,
situasi, fasilitas, dan kepribadian, latar belakang pendidikan serta
pengalaman guru. Pradana (2016 : 87-88) menyatakan bahwa salah satu
penyebab guru memilih menggunakan metode konvensional adalah
kurangnya pengetahuan tentang variasi model pembelajaran.

Guru cenderung memilih berada di zona nyamannya, dibandingkan harus


menggunakan model-model pembelajaran yang lebih modern.
Menurut Djamalah dan Zain (2016 : 97) kelemahan model pembelajaran
konvensional adalah menyebabkan siswa menjadi pasif dan seringkali
siswa kurang mengerti apa yang disampaikan oleh guru.

Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang dapat membuat


siswa menjadi aktif, menarik, dan tidak monoton. salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan TPACK.

Menurut Mishra, et al (2016:2) TPACK adalah suatu kerangka kerja untuk


memahami dan menggambarkan jenis pengetahuan yang dibutuhkan oleh
seorang guru untuk mengefektifkan praktik pedagogik dan pemahaman
konsep dengan mengintegrasikan sebuah teknologi di lingkungan
pembelajaran. TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge)
penting diterapkan dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan pendekatan
ini diharapkan mampu memberikan arahan baru bagi pendidik tentang
bagaimana menerapkan teknologi di dalam pembeljaran, sehingga kegiatan
pembelajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien.

5 Materi terkait Siswa tidak terbiasa  Siswa tidak terbiasa mengerjakan soal bertipe HOTS, sehingga
Literasi mengerjakan soal mengalami kesulitan terhadap soal-soal yang melatih berpikir tingkat
numerasi, bertipe HOTS, sehingga tinggi siswa.
Advanced mengalami kesulitan
material, terhadap soal-soal yang Pembelajaran Abad 21 mengutamakan peserta didik untuk
miskonsepsi, melatih berpikir tingkat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS). Namun pada
HOTS. tinggi siswa. sekolah yang saya ampu, peserta didik merasa kesulitan mengerjakan soal-
soal yang bertipe HOTS.

Menurut Sani (2019: 2) Higher Order Thinking Skill (HOTS) atau


kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir strategis
untuk menggunakan informasi dalam menyelesaikan masalah,
menganalisa argumen, negosiasi isu, atau membuat prediksi. Sementara
itu Stein & Lane (dalam Ayuningtyas & Rahaju, 2017) mengemukakan
bahwa higher order thinking skill adalah pemikiran kompleks yang tidak
memiliki algoritma untuk menyelesaikannya, tidak dapat diprediksi, serta
hanya dapat diselesaikan menggunakan pendekatan yang berbeda dengan
pertanyaan atau tugas yang telah ada dan berbeda dengan contoh-contoh
yang telah diberikan.

Arikunto (dalam Ningsih & Annajmi, 2020 :5) menguraikan ketiga tipe soal
HOTS, yakni: 1) Soal analisis. Soal analisis adalah soal yang menuntut
kemampuan peserta didik untuk menganalisis atau menguraikan sesuatu
persoalan untuk diketahui bagian bagiannya. 2) Soal evaluasi. Soal
evaluasi adalah soal yang berhubungan dengan menilai, mengambil
kesimpulan, membandingkan, mempertentangkan, mengkritik, mengkritik,
mendeskripsikan, membedakan, menerangkan, memutuskan dan
mmmenafsirkan. 3) Soal mengkreasi. Soal mengkreasi adalah soal yang
menuntut peserta didik agar memunculkan ide, produk atau cara-cara
baru. Soal yang memancing peserta didik untuk mendesain, mengkonstruk,
merencanakan dan menemukan sesuatu yang baru.

Sulitnya siswa mengerjakan soal bertipe HOTS disebabkan oleh kurangnya


siswa berlatih dengan menggunakan soal bertipe HOTS. Siswa lebih sering
mengerjakan soal bertipe LOTS (Lower Order Thinking Skill), sehingga
kesulitan saat mengerjakan soal-soal bertipe HOTS. Selain itu,
pembelajaran di kelas juga minim menggunakan model-model
pembelajaran berbasis HOTS.

Hal ini sesuai dengan pendapat. Kusuma dan Adna (2021: 158) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan siswa kesulitan dalam
mengerjakan soal HOTS yaitu: 1) Kurangnya pemahaman konsep yang
digunakan, 2) tidak mampu memahami soal berupa narasi, 3) salah
mendeskripsikan pertanyaan dari soal, dan 4) kurangnya berlatih.
6 Pemanfaatan Peserta didik tidak  Peserta didik tidak terbiasa menggunakan teknologi terkini dalam
teknologi/ terbiasa menggunakan proses pembelajaran di kelas.
inovasi dalam teknologi terkini dalam
pembelajaran. proses pembelajaran di Meskipun terletak di Kabupaten Lampung Utara yang akses teknologi dan
kelas. komunikasi mudah, namun penggunaan teknologi / inovasi pembelajaran
di sekolah kami masih sangat relatif rendah. Peserta didik tidak terbiasa
menggunakan peralatan teknologi seperti gawai ataupun komputer pada
proses pembelajaran, sehingga sumber belajar yang digunakan hanya
berasal dari buku semata.

Di era pembelajaran abad 21, teknologi harusnya bukanlah hal yang asing
digunakan dalam pembelajaran di kelas. Peran teknologi dan inovasi sangat
penting untuk menunjang proses pembelajaran.

Sanjaya (2010) mengungkapkan bahwa sebuah inovasi merupakan suatu


ide, gagasan yang dilaksanakan dalam kurikulum dan pembelajaran yang
dianggap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. Selain itu, beliau
juga mengungkapkan bahwa mengajar bukan hanya menyampaikan materi
pembelajaran tetapi juga pemberian bantuan terhadap siswa berupa
penggunaan media pembelajaran. Hal ini berarti dalam menyampaikan
materi pembelajaran kepada peserta didik membutuhkan kreatifitas dan
inovasi dari pendidik.

Rosidi (2019) menyatakan penggunaan media pembelajaran yang tepat


berupa media konkret untuk menjelaskan konsep terbukti mampu
meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran IPA. Setiap
media pembelajaran memiliki potensi menjadi perantara yang tepat tetapi
tidak lantas paling benar, karena masing-masing media pembelajaran
memiliki karakteristik tersendiri yang relatif mampu menjembatani materi
pembelajaran tertentu.

Menurut Azhar (2016) bahwa penggunaan media teknologi yang tepat


sesuai kebutuhan mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik
dibanding penggunaan media konvensional yang tidak memberikan ruang
yang relatif kurang konkret.

Minimnya penggunaan teknologi dan inovasi pembelajaran di sekolah


disebabkan karena kurangnya pemahaman guru terhadap pentingnya
penggunaan teknologi dan inovasi pembelajaran. Guru cenderung berada di
zona nyamannya dengan menggunakan metode konvensional dalam
mengajar, seperti metode ceramah dan mencatat buku sehingga tidak
mengoptimalkan penggunaanteknologi.

Selain itu terdapat juga hambatan teknis yang terjadi, yakni kurangnya
pengetahuan guru dalam menggunakan teknologi atau dikenal dengan
istilah “gaptek”. Seperti pendapat Mirzajani et al (2016) jika guru tidak
memahami pemahaman yang baik tentang menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi dalam mengajar, maka mereka mungkin tidak
memiliki motivasi untuk mengintegrasikan teknologi dengan kegiatan
pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai