Anda di halaman 1dari 18

Konsep Pembaruan Kiri: Hubungan anatara Agama dan Negara

Menurut Muhammad Abdu dan Ali Abd Al-Raziq


Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“PMDI”

Disusun oleh :
Abdullah Hanif Herinanta (E91218064)

Dosen Pembimbing :
Dr. Mukhammad Zamzami, Lc, M.Fil.I

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH SWT, Rabb semesta alam, pencipta langit dan
bumi, pengatur seluruh makhluk, yang telah mengaruniakan manusia
pengelihatan, pendengaran dan akal untuk membedakan yang haq dan yang bathil,
serta tidak ada daya dan kekuatan selain-NYA, hanya kepada-NYA lah kami
menyembah dan hanya kepada-NYA lah kami memohon pertolongan.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah menyampaikan risalahnya dan memberikan
petunjuk jalan yang lurus sehingga kita dapat merasakan indahnya Islam dan
manisnya iman.
Alhamdulillah, dengan izin ALLAH SWT, setelah melalui waktu yang tidak
singkat ini dan perjalanan yang penuh lika-liku, makalah yang berjudul “ADAB
BERTETANGGA” telah diselesaikan oleh penulis.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan ataupun kekeliruan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun guna penulisan
makalah yang lebih baik pada penulisan berikutnya.
Akhirnya, dengan penuh harap kepada ALLAH SWT, semoga makalah
yang sederhana ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis maupun bagi setiap orang
yang membacanya.

Surabaya, 11 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Biografi Muhammad Abduh............................................................................ 2
B. Biografi ‘Ali ‘Abd al-Raziq............................................................................... 7
C. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Muhammad Abduh.....9
D. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Ali Abd Al-Raziq.......11
BAB III PENUTUP..............................................................................................14
A. Kesimpulan......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan Negara merupakan suatu persoalan diskursus pada kalangan
peminat kajian keislaman baik pada era klasik, pertengahan, maupun
kontemporer. Dalam persoalan Islam dan Negara, al-Qur`an tidak memuat
secara eksplisit untuk mendirikan negara. Seperti dikemukakan oleh Munawir
Sjadzali yang dikutip oleh Abdul Azis Thaba, bahwa Islam tidak memiliki
preferensi terhadap sistem politik yang mapan tetapi hanya memiliki
seperangkat tata nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan
negara1. Di dalam al-Qur`an yang ada adalah konsep-konsep ad-hoc yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat seperti musyawarah, berkonsultasi, ketaatan kepada pemimpin,
menegakkan keadilan, persamaan, tolong-menolong, dan kebebasan/toleransi
beragama. Oleh karena itu lazim bila terjadi perbedaan teori pemikiran yang
mereka kemukakan dengan kata lain bahwa persolan ini adalah persoalan
ijtihadiyah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Muhammad Abduh?
2. Bagaimana biografi Ali Abd Al-Raziq?
3. Bagaimana hubungan Agama dan Negara menurut Muhammad Abduh?
4. Bagaimana hubungan Agama dan Negara menurut Ali Abd Al-Raziq?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui biografi dari Muhammad Abduh.
2. Agar mengetahui biografi dari Ali Abd Al-Raziq.
3. Supaya mengetahui konsep hubungan Agama dan Negara menurut
Muhammad Abduh.
4. Supaya mengetahui konsep hubungan Agama dan Negara menurut Ali Abd
Al-Raziq

1
Abdul Azis Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hal. 41

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memiliki nama panjang Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah2. Beliau dilahirkan dari keluarga petani di sebuah desa yang
berada di Mesir Hilir pada tahun 1266 H atau 1849 M. Adapun desa tempat
beliau lahir belum diketahui secara tepat dan juga tentang tahun lahir beliau
ada yang mengatakan 1848 dan 1849, namun yang masyhur dipakai oleh
sejarawan adalah tahun 1849. Penyebab terjadinya perbedaan tersebut karena
pada saat itu terjadi kekacauan pada akhir masa kepemimpinan Muhammad Ali
(1805-1849 M), diantaranya adalah berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan
oleh para penguasa dibawah kepemimpinan Muhammad Ali dalam
mengumpulkan pajak dari para penduduk desa. Hal tersebut menyebabkan para
petani berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari tanggungan berat
yang dibebankan kepada mereka. Keluarga Muhammad Abduh dalam kurun
waktu satu tahun saja dapat beberapa kali pindah tempat tinggal dikarenakan
hal tersebut, hingga akhirnya keluarga beliau membeli sebidang tanah di desa
Mahallat Nashr dan menetap di sana3.
Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh bin Khairullah, beliau
memiliki silsilah keluarga dengan bangsa Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Sedangkan ibunya bernama Junainah4, beliau memiliki silsilah
keturunan sampai kepada Khalifah Umar bin Khattab5.
Beliau telah menjadi seorang hafidz Al-Qur’an di usia 12 tahun, ketika
usianya menginjak 13 tahun beliau dikirim oleh ayahnya untuk belajar Bahasa
Arab, Nahwu, Sharaf, Fiqh dan lain-lain ke sebuah sekolah agama di Thanta,
tepatnya di Masjid Syaikh Ahmadi, sekitar 80km dari Kairo, Mesir. Namun
beliau merasa tidak mendapatkan apa-apa di sana, akhirnya beliau melarikan
diri dan bersembunyi di rumah pamannya di desa Syibral Khit. Setelah 3 bulan

2
M. Quraisy Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11
3
Nasution, Pembaruan, hal. 58
4
Nasution, Ensiklopedia, hal. 751
5
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), cet. V

2
3

bersembunyi, beliau dipaksa untuk kembali belajar di Thanta, namun beliau


tetap tidak mau karena ia yakin bahwa belajar di Thanta tidak akan membawa
hasil. Akhirnya beliau bertekad untuk tidak melanjutkan pendidikannya dan
ingin kembali ke desanya saja. Beliau berniat untuk menjadi petani seperti
yang dilakukan saudara-saudara serta kaum kerabatnya. Setelah kembali di
kampungnya, beliau menikah pada usia yang sangat muda yaitu 16 tahun. Tapi
nasib rupanya membawanya menjadi orang besar, niat untuk menjadi petani itu
tidak dapat diteruskannya. Baru saja 40 hari menikah, Muhammad Abduh
dipaksa kedua orang tuannya untuk kembali belajar ke Thanta. Beliau pun
meninggalkan kampungnya, tapi beliau bukan pergi ke Thanta untuk belajar
tetapi untuk bersembunyi lagi di rumah salah satu pamannya. Pamannya ini
adalah orang yang akan merubah jalan hidup Muhammad Abduh. Orang
tersebut bernama Syaikh Darwisy Khad. Beliau adalah paman dari Ayah
Muhammad Abduh. Syaikh Darwisy Khadr sudah memiliki banyak
pengalaman, di mana beliau pernah pergi merantau keluar Mesir dan belajar
agama Islam dan tasawwuf (tarekat Syadziliah) di Libia dan Tripoli. Setelah
selesai pendidikannya, Syaikh Darwisy Khadr kembali ke kampung
halamannya. Syaikh Darwisy Khadr tahu akan keengganan Muhammad Abduh
untuk belajar, maka beliau selalu membujuk Muhammad Abduh untuk
membaca buku bersama-sama. Sedangkan Muhammad Abduh pada waktu itu
benci buku, dan buku yang diberikan oleh Syaikh Darwisy Khadr kepada
Muhammad Abduh untuk dibaca malah beliau lempar jauh-jauh. Lalu buku itu
dipungut oleh Syaikh Darwisy kembali dan diberikan kepada Muhammad
Abduh. Akhirnya Muhammad Abduh mau juga untuk membaca buku itu meski
hanya beberapa baris. Setiap habis satu kalimat, Syaikh Darwisy memberikan
penjelasan luas tentang arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat
tersebut. Setelah beberapa hari membaca buku bersama-sama dengan cara yang
diberikan oleh Syaikh Darwisy tersebut, sikap Muhammad Abduh pun menjadi
berubah, beliau mulai menyukai buku dan ilmu pengetahuan Setelah beberapa
lama beliau bersembunyi di rumah pamannya Syaikh Darwisy Khadr dan
belajar di sana. Beliau pun pergi dan kembali ke masjid Syaikh Ahmadi di
4

Thanta, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda
dibandingkan sewaktu pertama kali ke sana. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa
pada periode ini Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan faham
sufi yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisy Khadr. Setelah selesai belajar di
masjid Syaikh Ahmadi di Thanta, Muhammad Abduh kembali harus
meninggalkan keluarga dan istrinya untuk belajar ke Al-Azhar, Kairo, Mesir
pada tahun 1866 M. Selama belajar di Al-Azhar, Muhammad Abduh sempat
berkenalan dengan sekian banyak dosen yang beliau kagumi, diantaranya
adalah :
1. Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajar kitab-kitab filsafat karangan Ibnu
Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagainya.
2. Muhammad Al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian
dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa
melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikannya.
Muhammad Abduh dinyatakan lulus pada tahun 1877 M dan
mendapatkan gelar alim di Al-Azhar pada umur 28 tahun setelah melalui lika-
liku yang lumayan sulit.
Setelah lulus dari Al-Azhar, ia juga mengajar dirumahnya, di sana ia
mengajar kitab Tahdzib Al-Akhlaq karangan Ibnu Miskawaih, mengajarkan
sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa karangan Guizot yang
diterjemahkan oleh Al-Tahtawi ke dalam bahasan Arab di tahun 1877 M dan
mukaddimah Ibn Khaldun. Pada tahun 1878 M atas usaha Perdana Mentri
Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Daarul Ulum,
di samping itu beliau juga menjadi dosen di Al-Azhar, untuk pertama kalinya
beliau di Al-Azhar mengajar manthiq (logika) dan ilmu Al-kalam (teologi)
serta mengajar ilmu-ilmu bahasa Arab di Madrasah Al-Idarah wal-Alsun
(sekolah administrasi dan bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879 M Jamaluddin Al-Afghani diusir oleh pemerintah Mesir
Taufiq Pasya atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir,
AlAfghani dituduh mengadakan gerakan menentang Taufiq Pasya. Sebagai
pengikut Al-Afghani yang setia, Muhammad Abduh juga dituduh ikut campur
5

dalam permasalahan ini, sehingga Muhammad Abduh harus diasingkan keluar


kota Kairo yaitu ke kampung halamannya di Mahallat Nashr, Mesir. Selain itu
pada waktu yang bersamaan Muhammad Abduh diberhentikan dari sekolah
Darul Ulum dan Madrasah Al-Idarah wal-Alsun.
Pada tahun 1880 M Muhammad Abduh diperbolehkan kembali ke ibu
kota. Setelah pembebasannya, Muhammad Abduh diserahi tugas menjadi
redaktur atau pemimpin surat kabar resmi pemerintah Mesir yaitu Al-waqa’i
Al-misriyyah. Pada waktu itu perasaan kenasionalan Mesir telah mulai timbul
di bawah pimpinan Muhammad Abduh di Al-waqa’i Al-misriyyah. Surat kabar
ini tidak hanya menyiarkan berita-berita resmi, tetapi juga artikel tentang
kepentingan-kepentingan nasional Mesir, dan juga berisikan kritikan-kritikan
terhadap pemerintah dan aparat-aparat yang menyeleweng atau bertindak
sewenang-wenang. Di dalam tentara, perwira-perwira yang berasal dari Mesir
berusaha mendobrak kontrol yang diadakan oleh perwira-perwira Turki dan
sarkas yang selama ini menguasai tentara Mesir. Setelah berhasil dalam usaha
ini, mereka di bawah pimpinan Urabi Pasya juga dapat menguasai pemerintah.
Untuk menjatuhkan Urabi Pasya, Inggris di tahun 1882 M mengebom
Alexandaria dari laut, dan dalam pertempuran yang kemudian terjadi, kaum
nasionalis Mesir dengan cepat dapat di kalahkan Inggris, dan Mesir pun jatuh
ke bawah kekuasaan Inggris. Peristiwa ini dikenal dengan revolusi Urabi
Pasya, dari peristiwa ini Muhammad Abduh dituduh terlibat dalam
pemberontakan tersebut. Dan sebagaimana yang dituduhkan, Muhammad
Abduh pun ditangkap beserta pemimpin-pemimpin lainnya yang terang-
terangan melakukan pemberontakan. Ia dipenjara dan diasingkan ke luar Mesir
pada penutup tahun 1882 M. Pemerintah Mesir memutuskan untuk
mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk
memilih tempat pengasingannya dan Muhammad Abduh memilih Beirut,
Syiria. Ketika di Beirut Muhammad Abduh mengalami kehidupan yang kelam.
Tahun 1884 M Muhammad Abduh mendapatkan surat dari Jamaluddin
Al-Afghani. Surat itu berisikan utusan dari Al-Afghani untuk mengajak
Muhammad Abduh datang ke Paris, karena pada saat itu Al-Afghani sedang
6

berada di Paris. Bersama Al-Afghani, Muhammad Abduh mendirikan


organisasi dan menerbitkan surat kabar yang memiliki nama yang sama yaitu
Al-‘urwat Al-wutsqa’. Al-‘urwat Al-wutsqa’ memiliki arti “Mata Rantai
Terkuat”. Organisasi Al-‘urwat Al-wutqa’ bertujuan untuk menyatukan umat
Islam dan sekaligus melepaskan umat Islam dari sebab-sebab perpecahan
mereka, dan menentang penjajah Barat khususnya Inggris. Gebrakan ini
dengan cepat menggema ke seluruh dunia Islam, terlihat pengaruhnya di
kalangan umat Islam. Maka dalam waktu yang singkat kaum imperalis menjadi
cemas dan gempar. Akhirnya Inggris melarang surat kabar tersebut masuk ke
daerah jajahnnya. Sehingga umur surat kabar tersebut tidak panjang dan hanya
menerbitkan 18 edisi. Atas permintaan Inggris dan perancis surat kabar Al
‘urwat Al-wutqa dilarang terbit lagi.
Pada tahun 1885 M, Muhammad Abduh kembali lagi ke Beirut dan
menetap di sana. Di Beirut ia mengajar di sebuah sekolah muslim yaitu
perguruan Sulthaniyah. Rumahnya yang ada di Beirut juga dijadikan tempat
belajar dari berbagai keyakinan mulai dari Islam, Kristen, Druze. Para murid-
murid Muhammad Abduh sangat terpesona dengan gaya mengajarnya. Selain
itu di Beirut Muhammad Abduh juga mendirikan suatu organisasi yang
bertujuan untuk menggalang kerukunan antar umat beragama. Organisasi ini
telah membuahkan hasil-hasil positif, terbukti dengan dimuatnya artikel-artikel
yang sifatnya menonjolkan ajaran-ajaran Islam secara objektif pada media
massa di Inggris, padahal ketika itu jarang sekali dijumpai hal serupa di media
Barat. Namun, organisasi ini dan aktivitas-aktivitas anggotannya dinilai oleh
penguasa Turki di Beirut mempunyai tujuan-tujuan politik. Sehingga penguasa
tersebut mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman
pengasingannya agar ia segera kembali ke Mesir.
Akhirnya, pada tahun 1888 M Muhammad Abduh kembali ke tanah
airnya di Mesir. Tetapi pemerintah Mesir tidak mengizinkannya untuk kembali
mengajar. Karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya kepada
Mahasiswa. Mengingat ia dianggap terlalu berpengaruh pada kaum muda.
Sehingga pemerintah Mesir memberikan tugas kepada Muhammad Abduh
7

sebagai hakim di pengadilan daerah Banha. Beberapa kali Muhammad Abduh


dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain dalam kedudukan yang sama.
Tahun 1894 M, Muhammad Abduh diangkat menjadi anggota majelis
A’la dari Al-Azhar. Sebagai anggota dari majelis ini ia membawa perubahan
dan perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai Univeritas.
Pada tahun 1899 M, Muhammad Abduh diangkat menjadi “Mufti Besar
Mesir”. Ketika diposisi ini, ia mengusulkan berbagai perubahan sitem
pengadilan agama dan melanjutkan perjuangnnya memperbarui pendidikan,
pengajaran, kesejahteraan guru dan administrasi di Al-Azhar.
Pada tanggal 3 Juni 1899 M ia menjadi anggota majelis perwakilan.
Kedudukan tinggi “Mufti Besar Mesir” ini dipegangnya sampai beliau
meninggal dunia di tahun 1905 M6.
B. Biografi ‘Ali ‘Abd al-Raziq
‘Ali ‘Abd al-Raziq adalah seorang ulama Mesir yang dilahirkan pada
tahun 1888 M, tepatnya di Provinsi al-Mania, di kota Bani Mizar, tepatnya di
desa Abu Jirj7. Ayahnya bernama Hasan Abd al-Raziq Pasha, salah seorang
teman Muhammad Abduh. Oleh karena Ali Abd Raziq masih kecil, ia tidak
sempat secara langsung menjadi murid Muhammad Abduh, dia adalah
pengagum Muhammad Abduh.
Pendidikan formal Ali Abd al-Raziq ditempuh di Lembaga Pendidikan
alAzhar. Dalam usia lebih kurang 10 tahun, Ali Abdur Raziq sudah mulai
belajar di al-Azhar, pada Syekh Ahmad Abu Khalwat, sahabat Muhammad
Abduh. Selama beberapa tahun ia mengikuti kuliah di Universitas Mesir
(sekarang Universitas Cairo). Pada tahun 1910 (usia 22 tahun), dia mengikuti
kuliah Sastra Arab di Universitas Cairo pada Prof. Naillino (ahli sastra dan
syair Arab) dan sejarah filsafat pada Prof. Santillana (sejarah dan filsuf)8.

6
Nasution, Pembaruan, hal. 62
7
Kamil Sa’fan, Kontroversi Khilafah dan Negara Islam: Tinjauan Kritis atas Pemikiran Ali Abdul
Raziq terj. Arif Chasanul Muna (Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 8
8
Muji Mulja, Sejarah Sosial dan Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq, Jurnal Ilmiah Islam Futura
Volume X no.2, Februari 2011, hal. 119
8

Setelah memperoleh ijazah ‘alimiyyah dari al-Azhar pada tahun 1911,


beliau mulai bertugas memberikan kuliah di Universitas tersebut pada tahun
1912.
Pada tahun 1913 beliau berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas
Oxford. Di Universitas ini beliau mempelajari ilmu ekonomi dan politik.
Ketika belajar di Inggris Ali Abd Raziq banyak membaca dan mempelajari
teori-teori Barat, terutama teori-teori politik sebagai bidang kajiannya, seperti
teori politik Thomas Hobbes dan John Locke. Pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh selama belajar di Eropa tampaknya berpengaruh besar terhadap
pemikirannya, terutama rasionalitas dalam berfikir, dan kebebasan dalam
berpendapat. Hal tersebut merupakan ciri khas dari pengaruh peradaban Barat.
Pada tahun 1915, beliau kembali ke negaranya, Mesir, dan kemudian
diangkat menjadi hakim Mahkamah Syariah di al-Mansurah. Dalam
kedudukannya sebagai hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya
dibukukan dalam sebuah karya tulis terkenal, berjudul al-Islam wa Usul al-
Hukm: bahs fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Islam dan prinsip
pemerintahan: Suatu Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam)
diterbitkan pada tahun 1925. Inti dari buku ini adalah menjelasakan tentang
asal usul istilah khilafah dalam Islam9.
Buku yang ditulis Ali Abd al-Raziq tentang Islam dan dasar-dasar
pemerintahan Islam, sedikit banyak merupakan justifikasi atas revolusi Turki.
Dengan membela pendekatan Majelis Nasional terhadap pemisahan otoritas
agama dan politik, dan sekulerisasi lembaga kekhalifahan10.
Pada tahun 1915, beliau memulai karirnya di bidang pemerintahan
sebagai seorang hakim di berbagai Mahkamah Syar’iyah (Pengadilan Agama)
Mesir, tepatnya di wilayah Iskandariyah, sekaligus sebagai menteri wakaf
Mesir. Pada tahun yang sama ia juga mengajar sejarah Islam dan sastra Arab
pada salah satu cabang Universitas al-Azhar yang ada di Iskandariyah. Sekitar

9
Ibid, hal. 120-121
10
Antony Black, The History of Islamic Political Thouqht :From the Prophet to the Present Terj.
Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 569.
9

tahun 1960 (usia 72 tahun), ia mengajar Sastra Arab pada Akademi Bahasa
Arab.11
Beliau wafat pada tanggal 22 September tahun 1966 M, dalam usia 78
tahun12.
C. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Muhammad Abduh
Agama sesungguhnya mampu memotivasi para penganutnya
menciptakan hingga memajukan peradaban13. Peradaban-peradaban di dunia
banyak dipengaruhi oleh agama, sebut saja Pagoda di Thailand, Candi
Borobudur di Magelang maupun gedung mewah yang dibangun dan
difungsikan sebagai tempat pemakaman, Taj Mahal di kota Agra negara bagian
India. Bangunan-bangun tersebut berdiri kokoh dengan semangat dan dorongan
agama. Begitu pula dengan aktifitas masyarakat dalam konteks
penyelenggaraan negara, kehadiran dan peran agama tidak dapat dihindari
bahkan secara tidak langsung hingga langsung pengaruh agama menjadi salah
satu modal besar membangun peradaban politik. Kehadiran agama dalam
setiap penyelenggaraan negara hingga konseptual antara agama dengan negara
selalu menjadi masalah aktual14. Bahkan pada komunitas terbanyak dalam
suatu negeri konseptual dan relasi agama dengan negara selalu dan sering
mendapatkan tempat untuk didiskusikan15. Diskusrsus tersebut terbangun
biasanya adalah apa definisi dan persepsi negara tentang agama dan dan apa
definisi dan persepsi agama tentang negara 16. Relasi Islam dan negara
sebenarnya bukanlah kaitan yang tidak saling memiliki hubungan yang kuat ia
saling bersinergi. Bahkan Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa relasi Islam
dengan politik tidak dapat dipisahkan atau dilucuti17. Baginya pemisahan
agama dengan realitas politik maupun politik praktis bisa dilakukan pada
11
Syahrudin Siregar, Khilafah Islam Dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Ali Abdul Raziq, Jurnal
Sejarah Peradaban Islam, Vol. 2 no. 1 tahun 2018, hal. 129
12
M. Dihya’ ad-Din ar-Rais, Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan
dalam Islam Ali Abdul Raziq terj. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka Pelajar, 1985), hlm. 5
13
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Jakarta: Paramadina: 2003, cet. Ke-I,
hal. 1.
14
Nasarudin Umar, Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Keislamani, Jakarta:
Quanta, 2014, cet. Ke-I, hal. 257.
15
Ibid.
16
Ibid.
10

agama lain bukan pada Islam. Bahkan sebenarnya negara hadir sebagai akibat
dari tuntunan teks untuk dapat diselenggarakan wujud negara. Kehadirannya
adalah kehendak ajaran bukan karena produk sekular yang tidak ada
hubungannya sama sekali. Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi 18
menyebutkan bahwa negara atau kepemimpinan sebagai lembaga publik yang
memiliki kedudukan dalam Islam. Bahkan ia menyebut secara eksplisit
lembaga publik tersebut sebagai khilafah. Dalam perkembangan pemikiran
politik Islam kontemporer Musdah Mulia menyebutkan setidaknya relasi
agama dan negara menampilkan tiga pola pemerintahan: sekuleris, tradisionalis
dan reformis19. Lebih lanjut, Musdah menjelaskan bahwa pola pemerintahan
sekularis berbasiskan pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan sehingga tidak ada ajaran yang mengatur relasi agama
dengan negara, cara pandang sekuler berusaha membagi dua “dikotomi’ peran
agama yang dianggap tidak memiliki tempat dan peran untuk mengatur
hubungan tersebut20. Mengenai pola yang kedua, tradisionalis, kaum ini
memandang bahwa agama diposisikan sebagai yang par excellence, baginya
agama sudah tidak diragukan mengenai komprehesifitasnya dan
kelengkapannya, bagi kaum ini menganggap agama sebagai ‘toko serba ada’
barang-barangnya terpajang di dalam ‘etalase’ kitab suci maupun sunnah nabi
Muhammad saw. menurut Musdah Mulia dalam memandang kaum
tradisionalis ini menerangkan bahwa Islam mengandung semua aturan-aturan
yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk kehidupannya
dalam bernegara21. Sedangkan pola reformis menolak kedua pendapat tersebut.
Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang semata-mata
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula agama yang
serba lengkap. Islam menurut pola kaum reformis- dianggap hanya
17
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer,terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press,
1995, cet. ke-I, Jil.II, hal. 897.
18
Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajahi Khazanah
Perdaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-I, hal. 191.
19
Musdah Mulia, Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia, Jurnal Mozaic, Jakarta:
2007, vo. I. no. 2, hal. 153.
20
Ibid.
21
Ibid.
11

memberikan prinsip-prinsip umum dan dasar yang dapat dijadikan sebagai


pedoman. Pedoman tersebut kemudian mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya, manusia dengan masyarakat dan manusia dalam bernegara 22. Bisa
juga difahami dengan pernyataan bahwa agama dalam suatu negara tidak
selamanya tampil sebagai faktor yang berdiri sendiri (independen) namun juga
agama tampil sebagai faktor yang memiliki tingkat dependensi yang cukup
tinggi terhadap negara, bahkan agama sering dijadikan sebagai ‘modal politik”
dan sering dijadikan sebagai asas legitimasi bagi penguasa 23. Di samping tiga
tipologi di atas, di mana agama (baca: Islam) dalam relasinya dengan negara
terfragmentasi ke dalam tiga kategori. Ini berbeda seperti yang diutarakan
Nasaruddin Umar, ia membagi-secara umum tidak menyangkut kepada satu
agama saja- kepada tiga hal; negara agama, agama negara dan negara sekuler 24.
Namun bila relasinya agama Islam dengan negara, Ismail R al-Faruqi dan
Louis Lamya al-Faruqi menyebut sejatinya negara Islam harus memiliki ketiga
karakter ini; Universalisme dan Egalitarianisme, Totalisme dan
Kemerdekaan25.

D. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Ali Abd Al-Raziq


Secara sistematis Ali Abdul Raziq tidak memberikan defenisi khusus
tentang negara, ia hanya menyatakan negara secara global tidak terperinci atau
hanya universal. Menurutnya negara yang mementingkan agama, agama
dipentingkan negara hanya urusan duniawi bukan menyangkut urusan
berkepentingan26. Maksudnya negara berkepentingan pada agama, tegasnya
agama berguna bagi negara dan agama pun berkepentingan pada negara yang
kuat akan memperkuat agama. Di sini dipahami bahwa ia memisahkan antara
agama dan Negara. Namun keduanya saling membutuhkan. Ali Abdul Raziq
22
Ibid, hal. 153-154
23
Nasarudin Umar, Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Keislamani, Jakarta:
Quanta, 2014, cet. Ke-I, hal. 257.
24
Ibid
25
Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajahi Khazanah
Perdaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-I, hal. 191.
26
Ali Abd. al-Raziq, “Risalah bukan Pemerintah, Agama bukan Negara”, dalam Wacana Islam
Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, ed. Chareles Kurzman (Jakarta:
Paramadina, 2003) hal. 5
12

berpendapat bahwa bentuk negara yang tepat yaitu republik, karena republik
lebih cocok di samping ia pernah mendirikan partai-partai politik dan lebih
cenderung pada liberalisme atau sekulerisme. Prinsip dasar kekuasaan negara
menurut Ali adalah demokrasi karena masyarakat yang akan memilih
pemimpin mereka dan kekuasaannya ada di tangan rakyat tidak ada di tangan
Tuhan. Karena negara hanya urusan duniawi saja tidak menyangkut urusan
agama. Jadi, hanya rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang absolut,
pemimpin hanya melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh rakyat,
karena negara kebutuhan duniawi, jadi menurut Ali, demokrasilah yang paling
pantas untuk prinsip dasar kekuasaan. Dengan demikian, negara yang ideal
menurut Ali ialah negara yang berasaskan humanisme universal yang
memperjuangkan rakyatnya, demokrasi dan keadilan sosial, yaitu negara
sekuler bagi kaum muslimin dan nonmuslim yang hidup di negara itu. Negara
yang berasaskan humanisme universal dan sistem demokrasi ditunjang oleh
rakyat yang berdaulat dalam rangka mencapai kemajuan dan keadilan sosial
tanpa melibatkan agama.
Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, Ali
dalam hal tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Khaldun yang
dikenal sebagai Bapak Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Ali
mengikuti Khaldun dalam pencarian sumber kekuasaan dari sebab-sebab
alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh karena itu Ali, seperti juga
Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima kekuasaan raja
atau kekuasaan sekular dan bukan khilafah (kekuasaan atau rezim yang
memperoleh keabsahan ilahiah)27.
Menurut Ali, pengertian khilafah identik dengan imamah, baik dari
segi bahasa maupun dari segi terminologi fuqaha. Ia berpendapat bahwa
khilafah adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan
mutlak pada seorang kepala negara atau pemerintahan dengan gelar khalifah,
pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan kewenangan mengatur kehidupan

27
abdel wahab el-Affendi, Masyarakat tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam (Yogyakarta: LkiS,
1991) hal. 8.
13

dan urusan umatrakyat, baik keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya


wajib bagi umat untuk patuh dan taat sepenuhnya28.
Menurut pengamatan Ali Abdul Raziq, semua dalil yang menyatakan
wajibnya mendirikan khilafah tidak berdasarkan dalil alQur‟an yang qath’i.
Sementara pemikir Islam, Rasyid Ridha, mendasarkan keyakinan bahwa
mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama, atas Al-Qur‟an Surat al-
Nisaa ayat 59 dan 83. Ayat-ayat ini memerintahkan umat beriman untuk
mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri di antara mereka. Sebenarnya ayat
tersebut tidak ada relevansinya dengan kewajiban mendirikan khilafah dalam
Islam. Makna hakiki ayat tersebut, menurut Ali adalah keharusan bagi kaum
muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan rujukan bagi
persoalan-persoalan yang mereka hadapi29.
Makna inilah yang menurutnya lebih luas dan lebih umum yang dapat
diperolah dari ayat tersebut daripada memaknakan khilafah yang sama sekali
tak ada relevansinya. Oleh karena itu, ia menolak penafsiran yang dilakukan
sebagian ulama terhadap ayat tersebut di atas dengan penafsiran amir, khalifah,
hakim, panglima, dan ulama untuk kata ulil amri. Penafsiran seperti ini,
menurut Ali, memberikan pemahaman untuk tidak keluar dari pemahaman
struktur politik masa lampau30.
Ali Abdul Raziq, menolak anggapan tersebut diatas. Dalam perjalanan
sejarah, ternyata sebagian besar penguasa Islam menggunakan gelar khalifah
hanya sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka
berhasil menyebarkan konsep bahwa mematuhi khalifah berarti mematuhi
Allah dan melawan khalifah sama dengan melawan Allah. Kenyataan sejarah
pulalah yang menunjukkan bahwa banyak khalifah yang berlaku sewenang-
wenang, kejam, saling menumpahkan darah dan tidak Islami.

28
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga
Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kecncana, 2010) hal. 116
29
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik....,Op.Cit, hal. 117
30
Ibid
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Muhammad Abduh memiliki nama panjang Muhammad bin Abduh bin
Khairullah, beliau lahir dari keluarga petani di sebuah desa di Mesir Hilir
pada tahun 1266 H atau 1849 M, dan wafat pada tahun 1905 M.
2. ‘Ali ‘Abd al-Raziq adalah seorang ulama Mesir yang dilahirkan pada tahun
1888 M, tepatnya di Provinsi al-Mania, di kota Bani Mizar, tepatnya di desa
Abu Jirj, dan beliau wafat pada tanggal 22 September tahun 1966 M, dalam
usia 78 tahun.
3. kehadiran dan peran agama tidak dapat dihindari bahkan secara tidak
langsung hingga langsung pengaruh agama menjadi salah satu modal besar
membangun peradaban politik. Kehadiran agama dalam setiap
penyelenggaraan negara hingga konseptual antara agama dengan negara
selalu menjadi masalah aktual.
4. Dalam perjalanan sejarah, ternyata sebagian besar penguasa Islam
menggunakan gelar khalifah hanya sebagai alat legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaannya. Mereka berhasil menyebarkan konsep
bahwa mematuhi khalifah berarti mematuhi Allah dan melawan khalifah
sama dengan melawan Allah. Kenyataan sejarah pulalah yang menunjukkan
bahwa banyak khalifah yang berlaku sewenang-wenang, kejam, saling
menumpahkan darah dan tidak Islami.

14
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1989. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang
Ad-Din ar-Rais, M. Dihya’. 1985. Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku
Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam Ali Abdul Raziq terj. Afif
Mohammad. Bandung: Pustaka Pelajar
Al-Faruqi, Ismail R. dan Louis Lamya al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam:
Khazanah Perdaban Gemilang. Bandung: Mizan. cet. Ke-I
Black, Antony. 2006. The History of Islamic Political Thouqht :From the Prophet
to the Present Terj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
El-Affendi, abdel wahab. 1991. Masyarakat tak Bernegara: Kritik Teori Politik
Islam. Yogyakarta: LkiS
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kecncana
Mulia, Musdah. 2007. Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia,
Jurnal Mozaic, voI. no. 2
Mulja, Muji. 2011. Sejarah Sosial dan Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq. Jurnal
Ilmiah Islam Futura Volume X no.2
Sa’fan, Kamil. 2009. Kontroversi Khilafah dan Negara Islam: Tinjauan Kritis
atas Pemikiran Ali Abdul Raziq terj. Arif Chasanul Muna. Jakarta: Erlangga
Shihab, M. Quraisy. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka
Hidayah
Thaba, Abdul Azis. 1996. Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press
Umar, Nasarudin. 2014. Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-
nilai Keislamani. Jakarta: Quanta. cet. Ke-I

Anda mungkin juga menyukai