Disusun oleh :
Abdullah Hanif Herinanta (E91218064)
Dosen Pembimbing :
Dr. Mukhammad Zamzami, Lc, M.Fil.I
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Biografi Muhammad Abduh............................................................................ 2
B. Biografi ‘Ali ‘Abd al-Raziq............................................................................... 7
C. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Muhammad Abduh.....9
D. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Ali Abd Al-Raziq.......11
BAB III PENUTUP..............................................................................................14
A. Kesimpulan......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan Negara merupakan suatu persoalan diskursus pada kalangan
peminat kajian keislaman baik pada era klasik, pertengahan, maupun
kontemporer. Dalam persoalan Islam dan Negara, al-Qur`an tidak memuat
secara eksplisit untuk mendirikan negara. Seperti dikemukakan oleh Munawir
Sjadzali yang dikutip oleh Abdul Azis Thaba, bahwa Islam tidak memiliki
preferensi terhadap sistem politik yang mapan tetapi hanya memiliki
seperangkat tata nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan
negara1. Di dalam al-Qur`an yang ada adalah konsep-konsep ad-hoc yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat seperti musyawarah, berkonsultasi, ketaatan kepada pemimpin,
menegakkan keadilan, persamaan, tolong-menolong, dan kebebasan/toleransi
beragama. Oleh karena itu lazim bila terjadi perbedaan teori pemikiran yang
mereka kemukakan dengan kata lain bahwa persolan ini adalah persoalan
ijtihadiyah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Muhammad Abduh?
2. Bagaimana biografi Ali Abd Al-Raziq?
3. Bagaimana hubungan Agama dan Negara menurut Muhammad Abduh?
4. Bagaimana hubungan Agama dan Negara menurut Ali Abd Al-Raziq?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui biografi dari Muhammad Abduh.
2. Agar mengetahui biografi dari Ali Abd Al-Raziq.
3. Supaya mengetahui konsep hubungan Agama dan Negara menurut
Muhammad Abduh.
4. Supaya mengetahui konsep hubungan Agama dan Negara menurut Ali Abd
Al-Raziq
1
Abdul Azis Thaba, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hal. 41
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memiliki nama panjang Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah2. Beliau dilahirkan dari keluarga petani di sebuah desa yang
berada di Mesir Hilir pada tahun 1266 H atau 1849 M. Adapun desa tempat
beliau lahir belum diketahui secara tepat dan juga tentang tahun lahir beliau
ada yang mengatakan 1848 dan 1849, namun yang masyhur dipakai oleh
sejarawan adalah tahun 1849. Penyebab terjadinya perbedaan tersebut karena
pada saat itu terjadi kekacauan pada akhir masa kepemimpinan Muhammad Ali
(1805-1849 M), diantaranya adalah berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan
oleh para penguasa dibawah kepemimpinan Muhammad Ali dalam
mengumpulkan pajak dari para penduduk desa. Hal tersebut menyebabkan para
petani berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari tanggungan berat
yang dibebankan kepada mereka. Keluarga Muhammad Abduh dalam kurun
waktu satu tahun saja dapat beberapa kali pindah tempat tinggal dikarenakan
hal tersebut, hingga akhirnya keluarga beliau membeli sebidang tanah di desa
Mahallat Nashr dan menetap di sana3.
Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh bin Khairullah, beliau
memiliki silsilah keluarga dengan bangsa Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Sedangkan ibunya bernama Junainah4, beliau memiliki silsilah
keturunan sampai kepada Khalifah Umar bin Khattab5.
Beliau telah menjadi seorang hafidz Al-Qur’an di usia 12 tahun, ketika
usianya menginjak 13 tahun beliau dikirim oleh ayahnya untuk belajar Bahasa
Arab, Nahwu, Sharaf, Fiqh dan lain-lain ke sebuah sekolah agama di Thanta,
tepatnya di Masjid Syaikh Ahmadi, sekitar 80km dari Kairo, Mesir. Namun
beliau merasa tidak mendapatkan apa-apa di sana, akhirnya beliau melarikan
diri dan bersembunyi di rumah pamannya di desa Syibral Khit. Setelah 3 bulan
2
M. Quraisy Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11
3
Nasution, Pembaruan, hal. 58
4
Nasution, Ensiklopedia, hal. 751
5
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), cet. V
2
3
Thanta, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda
dibandingkan sewaktu pertama kali ke sana. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa
pada periode ini Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan faham
sufi yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisy Khadr. Setelah selesai belajar di
masjid Syaikh Ahmadi di Thanta, Muhammad Abduh kembali harus
meninggalkan keluarga dan istrinya untuk belajar ke Al-Azhar, Kairo, Mesir
pada tahun 1866 M. Selama belajar di Al-Azhar, Muhammad Abduh sempat
berkenalan dengan sekian banyak dosen yang beliau kagumi, diantaranya
adalah :
1. Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajar kitab-kitab filsafat karangan Ibnu
Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagainya.
2. Muhammad Al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian
dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa
melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikannya.
Muhammad Abduh dinyatakan lulus pada tahun 1877 M dan
mendapatkan gelar alim di Al-Azhar pada umur 28 tahun setelah melalui lika-
liku yang lumayan sulit.
Setelah lulus dari Al-Azhar, ia juga mengajar dirumahnya, di sana ia
mengajar kitab Tahdzib Al-Akhlaq karangan Ibnu Miskawaih, mengajarkan
sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa karangan Guizot yang
diterjemahkan oleh Al-Tahtawi ke dalam bahasan Arab di tahun 1877 M dan
mukaddimah Ibn Khaldun. Pada tahun 1878 M atas usaha Perdana Mentri
Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Daarul Ulum,
di samping itu beliau juga menjadi dosen di Al-Azhar, untuk pertama kalinya
beliau di Al-Azhar mengajar manthiq (logika) dan ilmu Al-kalam (teologi)
serta mengajar ilmu-ilmu bahasa Arab di Madrasah Al-Idarah wal-Alsun
(sekolah administrasi dan bahasa-bahasa).
Pada tahun 1879 M Jamaluddin Al-Afghani diusir oleh pemerintah Mesir
Taufiq Pasya atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh di Mesir,
AlAfghani dituduh mengadakan gerakan menentang Taufiq Pasya. Sebagai
pengikut Al-Afghani yang setia, Muhammad Abduh juga dituduh ikut campur
5
6
Nasution, Pembaruan, hal. 62
7
Kamil Sa’fan, Kontroversi Khilafah dan Negara Islam: Tinjauan Kritis atas Pemikiran Ali Abdul
Raziq terj. Arif Chasanul Muna (Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 8
8
Muji Mulja, Sejarah Sosial dan Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq, Jurnal Ilmiah Islam Futura
Volume X no.2, Februari 2011, hal. 119
8
9
Ibid, hal. 120-121
10
Antony Black, The History of Islamic Political Thouqht :From the Prophet to the Present Terj.
Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hal. 569.
9
tahun 1960 (usia 72 tahun), ia mengajar Sastra Arab pada Akademi Bahasa
Arab.11
Beliau wafat pada tanggal 22 September tahun 1966 M, dalam usia 78
tahun12.
C. Hubungan antara Agama dan Negara menurut Muhammad Abduh
Agama sesungguhnya mampu memotivasi para penganutnya
menciptakan hingga memajukan peradaban13. Peradaban-peradaban di dunia
banyak dipengaruhi oleh agama, sebut saja Pagoda di Thailand, Candi
Borobudur di Magelang maupun gedung mewah yang dibangun dan
difungsikan sebagai tempat pemakaman, Taj Mahal di kota Agra negara bagian
India. Bangunan-bangun tersebut berdiri kokoh dengan semangat dan dorongan
agama. Begitu pula dengan aktifitas masyarakat dalam konteks
penyelenggaraan negara, kehadiran dan peran agama tidak dapat dihindari
bahkan secara tidak langsung hingga langsung pengaruh agama menjadi salah
satu modal besar membangun peradaban politik. Kehadiran agama dalam
setiap penyelenggaraan negara hingga konseptual antara agama dengan negara
selalu menjadi masalah aktual14. Bahkan pada komunitas terbanyak dalam
suatu negeri konseptual dan relasi agama dengan negara selalu dan sering
mendapatkan tempat untuk didiskusikan15. Diskusrsus tersebut terbangun
biasanya adalah apa definisi dan persepsi negara tentang agama dan dan apa
definisi dan persepsi agama tentang negara 16. Relasi Islam dan negara
sebenarnya bukanlah kaitan yang tidak saling memiliki hubungan yang kuat ia
saling bersinergi. Bahkan Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa relasi Islam
dengan politik tidak dapat dipisahkan atau dilucuti17. Baginya pemisahan
agama dengan realitas politik maupun politik praktis bisa dilakukan pada
11
Syahrudin Siregar, Khilafah Islam Dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Ali Abdul Raziq, Jurnal
Sejarah Peradaban Islam, Vol. 2 no. 1 tahun 2018, hal. 129
12
M. Dihya’ ad-Din ar-Rais, Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan
dalam Islam Ali Abdul Raziq terj. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka Pelajar, 1985), hlm. 5
13
Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi, Jakarta: Paramadina: 2003, cet. Ke-I,
hal. 1.
14
Nasarudin Umar, Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Keislamani, Jakarta:
Quanta, 2014, cet. Ke-I, hal. 257.
15
Ibid.
16
Ibid.
10
agama lain bukan pada Islam. Bahkan sebenarnya negara hadir sebagai akibat
dari tuntunan teks untuk dapat diselenggarakan wujud negara. Kehadirannya
adalah kehendak ajaran bukan karena produk sekular yang tidak ada
hubungannya sama sekali. Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi 18
menyebutkan bahwa negara atau kepemimpinan sebagai lembaga publik yang
memiliki kedudukan dalam Islam. Bahkan ia menyebut secara eksplisit
lembaga publik tersebut sebagai khilafah. Dalam perkembangan pemikiran
politik Islam kontemporer Musdah Mulia menyebutkan setidaknya relasi
agama dan negara menampilkan tiga pola pemerintahan: sekuleris, tradisionalis
dan reformis19. Lebih lanjut, Musdah menjelaskan bahwa pola pemerintahan
sekularis berbasiskan pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan sehingga tidak ada ajaran yang mengatur relasi agama
dengan negara, cara pandang sekuler berusaha membagi dua “dikotomi’ peran
agama yang dianggap tidak memiliki tempat dan peran untuk mengatur
hubungan tersebut20. Mengenai pola yang kedua, tradisionalis, kaum ini
memandang bahwa agama diposisikan sebagai yang par excellence, baginya
agama sudah tidak diragukan mengenai komprehesifitasnya dan
kelengkapannya, bagi kaum ini menganggap agama sebagai ‘toko serba ada’
barang-barangnya terpajang di dalam ‘etalase’ kitab suci maupun sunnah nabi
Muhammad saw. menurut Musdah Mulia dalam memandang kaum
tradisionalis ini menerangkan bahwa Islam mengandung semua aturan-aturan
yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk kehidupannya
dalam bernegara21. Sedangkan pola reformis menolak kedua pendapat tersebut.
Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang semata-mata
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula agama yang
serba lengkap. Islam menurut pola kaum reformis- dianggap hanya
17
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer,terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press,
1995, cet. ke-I, Jil.II, hal. 897.
18
Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajahi Khazanah
Perdaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-I, hal. 191.
19
Musdah Mulia, Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia, Jurnal Mozaic, Jakarta:
2007, vo. I. no. 2, hal. 153.
20
Ibid.
21
Ibid.
11
berpendapat bahwa bentuk negara yang tepat yaitu republik, karena republik
lebih cocok di samping ia pernah mendirikan partai-partai politik dan lebih
cenderung pada liberalisme atau sekulerisme. Prinsip dasar kekuasaan negara
menurut Ali adalah demokrasi karena masyarakat yang akan memilih
pemimpin mereka dan kekuasaannya ada di tangan rakyat tidak ada di tangan
Tuhan. Karena negara hanya urusan duniawi saja tidak menyangkut urusan
agama. Jadi, hanya rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang absolut,
pemimpin hanya melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh rakyat,
karena negara kebutuhan duniawi, jadi menurut Ali, demokrasilah yang paling
pantas untuk prinsip dasar kekuasaan. Dengan demikian, negara yang ideal
menurut Ali ialah negara yang berasaskan humanisme universal yang
memperjuangkan rakyatnya, demokrasi dan keadilan sosial, yaitu negara
sekuler bagi kaum muslimin dan nonmuslim yang hidup di negara itu. Negara
yang berasaskan humanisme universal dan sistem demokrasi ditunjang oleh
rakyat yang berdaulat dalam rangka mencapai kemajuan dan keadilan sosial
tanpa melibatkan agama.
Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, Ali
dalam hal tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Khaldun yang
dikenal sebagai Bapak Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Ali
mengikuti Khaldun dalam pencarian sumber kekuasaan dari sebab-sebab
alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh karena itu Ali, seperti juga
Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima kekuasaan raja
atau kekuasaan sekular dan bukan khilafah (kekuasaan atau rezim yang
memperoleh keabsahan ilahiah)27.
Menurut Ali, pengertian khilafah identik dengan imamah, baik dari
segi bahasa maupun dari segi terminologi fuqaha. Ia berpendapat bahwa
khilafah adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan
mutlak pada seorang kepala negara atau pemerintahan dengan gelar khalifah,
pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan kewenangan mengatur kehidupan
27
abdel wahab el-Affendi, Masyarakat tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam (Yogyakarta: LkiS,
1991) hal. 8.
13
28
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga
Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kecncana, 2010) hal. 116
29
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik....,Op.Cit, hal. 117
30
Ibid
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Muhammad Abduh memiliki nama panjang Muhammad bin Abduh bin
Khairullah, beliau lahir dari keluarga petani di sebuah desa di Mesir Hilir
pada tahun 1266 H atau 1849 M, dan wafat pada tahun 1905 M.
2. ‘Ali ‘Abd al-Raziq adalah seorang ulama Mesir yang dilahirkan pada tahun
1888 M, tepatnya di Provinsi al-Mania, di kota Bani Mizar, tepatnya di desa
Abu Jirj, dan beliau wafat pada tanggal 22 September tahun 1966 M, dalam
usia 78 tahun.
3. kehadiran dan peran agama tidak dapat dihindari bahkan secara tidak
langsung hingga langsung pengaruh agama menjadi salah satu modal besar
membangun peradaban politik. Kehadiran agama dalam setiap
penyelenggaraan negara hingga konseptual antara agama dengan negara
selalu menjadi masalah aktual.
4. Dalam perjalanan sejarah, ternyata sebagian besar penguasa Islam
menggunakan gelar khalifah hanya sebagai alat legitimasi untuk
mempertahankan kekuasaannya. Mereka berhasil menyebarkan konsep
bahwa mematuhi khalifah berarti mematuhi Allah dan melawan khalifah
sama dengan melawan Allah. Kenyataan sejarah pulalah yang menunjukkan
bahwa banyak khalifah yang berlaku sewenang-wenang, kejam, saling
menumpahkan darah dan tidak Islami.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1989. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang
Ad-Din ar-Rais, M. Dihya’. 1985. Islam dan Khilafah: Kritik Terhadap Buku
Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam Ali Abdul Raziq terj. Afif
Mohammad. Bandung: Pustaka Pelajar
Al-Faruqi, Ismail R. dan Louis Lamya al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam:
Khazanah Perdaban Gemilang. Bandung: Mizan. cet. Ke-I
Black, Antony. 2006. The History of Islamic Political Thouqht :From the Prophet
to the Present Terj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
El-Affendi, abdel wahab. 1991. Masyarakat tak Bernegara: Kritik Teori Politik
Islam. Yogyakarta: LkiS
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kecncana
Mulia, Musdah. 2007. Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia,
Jurnal Mozaic, voI. no. 2
Mulja, Muji. 2011. Sejarah Sosial dan Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq. Jurnal
Ilmiah Islam Futura Volume X no.2
Sa’fan, Kamil. 2009. Kontroversi Khilafah dan Negara Islam: Tinjauan Kritis
atas Pemikiran Ali Abdul Raziq terj. Arif Chasanul Muna. Jakarta: Erlangga
Shihab, M. Quraisy. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka
Hidayah
Thaba, Abdul Azis. 1996. Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press
Umar, Nasarudin. 2014. Islam Fungsional, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-
nilai Keislamani. Jakarta: Quanta. cet. Ke-I