Berdasarkan onsetnya, hiponatremia dibedakan menjadi hiponatremia akut jika terjadi <24−48
jam, atau kronis jika >48 jam.[1,6,16]
Hiponatremia diklasifikasikan menjadi gejala berat jika serum natrium <125 mEq/L.
Penatalaksanaan hiponatremia akut dengan gejala berat adalah:
Hiponatremia gejala ringan jika serum natrium 130−134 mEq/L, dan gejala sedang jika 125−129
mEq/L. Untuk hiponatremia gejala ringan hingga sedang diberikan terapi:
Hiponatremia kronis sering tanpa gejala. Terapi hiponatremia kronis dilihat berdasarkan status
volume hiponatremia sebagai berikut:
Pada penanganan hiponatremia kronis, terdapat risiko terjadi ODS jika koreksi natrium terlalu
cepat. Gejala ODS dapat muncul setelah beberapa hari, seperti kejang, disorientasi, gangguan
psikiatri dan perilaku, bahkan koma. Pasien yang memiliki risiko tinggi ODS adalah penderita
hipokalemia, penyakit hati, malnutrisi, dan alkoholisme.[1,2,6]
Oleh karena itu, koreksi kadar natrium sebaiknya dilakukan dengan perlahan. Rekomendasi
penanganan adalah:
Pasien dengan risiko ODS tinggi: koreksi minimal natrium serum 4‒8 mEq/L per hari,
dengan sasaran pemberian <4‒6 mEq/L per hari
Pasien dengan risiko ODS normal: koreksi maksimum 10‒12 mEq/L dalam 24 jam, atau
18 mEq/L dalam periode 48 jam[1,2,6]
Hiponatremia pada SIADH terjadi karena metastasis dalam otak, dapat diatasi dengan pemberian
kortikosteroid dan pengobatan radiasi. Di samping itu, penting untuk menghentikan penggunaan
obat yang dapat memicu SIADH.[10,32]
Penatalaksanaan utama SIADH adalah mengatasi penyakit yang mendasari. Penanganan lainnya
adalah pembatasan cairan, suplementasi garam, dan penggunaan obat diabetes insipidus, yaitu
golongan vasopressin receptor antagonists (VRA) atau vaptan. Vaptan sangat bermanfaat bagi
pasien yang tidak dapat diatasi dengan pembatasan cairan dan suplementasi garam.[1,2,10,29]
Infus NaCl 0,9% tidak efektif pada pasien dengan SIADH, bahkan hiponatremia dapat
memburuk dengan NaCl 0,9%. Hal ini karena NaCl 0,9% akan menurunkan natrium serum
sehingga air tertahan dan natrium diekskresikan melalui urin.[1,2,10,29]
Penatalaksanaan dibedakan berdasarkan usia pasien. Contoh pedoman yang sering digunakan
adalah pedoman terapi RFS dari American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN)
dan American Academy of Pediatrics (AAP).
RFS sering terjadi pada pasien malnutrisi, pasien gagal tumbuh, dan pasien anoreksia nervosa.
Sebelum inisiasi nutrisi, pemeriksaan kalium, magnesium, dan fosfat perlu dilakukan.
Pemeriksaan ini dilakukan tiap 12 jam selama 3 hari pertama pada pasien dengan risiko tinggi.
Pemantauan dapat dilakukan lebih sering tergantung pada gejala klinis pasien.[1]
Pemantauan lain yang juga diperlukan adalah pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 4 jam sekali
selama 24 jam pertama pada pasien dengan risiko RFS. Pemantauan status kardiorespiratori
direkomendasikan pada pasien yang tidak stabil atau pada pasien dengan defisiensi berat.
Pemantauan lain yang juga diperlukan adalah pencatatan berat badan, intake, dan output harian.
[1,3]
Tata laksana refeeding syndrome perlu mencakup manajemen nutrisi, koreksi elektrolit, koreksi
defisiensi thiamine, dan pemberian cairan yang tidak berlebihan.
Manajemen Nutrisi
Menurut AAP, inisiasi nutrisi dimulai dari 50% target pemberian nutrisi. Namun, inisiasi nutrisi
pada pasien yang berisiko tinggi perlu dimulai dari 25% target pemberian nutrisi. Peningkatan
kalori harus dilakukan dalam waktu 3–7 hari dengan cara menambah jumlah kalori sebesar 10–
25% per hari sampai target kalori tercapai
Glucose infusion rate (GIR) dimulai dari 4–6 mg/kgBB/menit dan dapat ditingkatkan 1–2
mg/kgBB/menit per hari hingga maksimal 14–18 mg/kgBB/menit (termasuk di dalamnya
glukosa enteral dan parenteral).[1,2]
Pemberian nutrisi parenteral harus dihentikan dan diganti menjadi nutrisi enteral sedini mungkin
ketika pasien sudah dapat menoleransi 60% kebutuhan nutrisi melalui jalur enteral. Nutrisi
enteral lebih dipilih daripada parenteral karena jalur parenteral memiliki risiko infeksi dan
komplikasi yang lebih tinggi. Komposisi nutrisi parenteral yang direkomendasikan yaitu 20%
protein, 65% karbohidrat (dekstrosa), dan 15% lemak.[2]
Menurut AAP, thiamine dapat diberikan dalam dosis 100–300 mg/hari peroral atau dosis 50–100
mg intravena selama 3 hari sebelum pemberian nutrisi.[1,2]
Koreksi Elektrolit
Waktu terbaik untuk koreksi elektrolit masih menjadi perdebatan. Namun, rekomendasi yang ada
menyarankan gangguan elektrolit dikoreksi saat inisiasi nutrisi.
Koreksi Hipofosfatemia:
Koreksi Hipomagnesemia:
Koreksi Hipokalemia:
Tata laksana hipokalemia adalah dengan memberikan kalium 0,3–0,5 mEq/kgBB/dosis (IV),
dengan maksimal dosis tunggal sebesar 30 mEq/dosis (IV). Koreksi dilakukan minimal selama 1
jam. Lalu, periksa ulang kadar kalium 2 jam setelah koreksi. Dosis rumatan pemberian kalium
adalah sebesar 1-2 mmol/kgBB/hari.[2]
Pemberian cairan perlu dilakukan dengan hati-hati karena pasien dengan RFS berisiko
mengalami kelebihan cairan. Konsensus mengenai volume cairan yang dianjurkan belum ada,
tetapi umumnya cairan disarankan diberikan dalam volume rumatan.[1,2]
Tata laksana refeeding syndrome pada orang dewasa juga perlu mencakup manajemen nutrisi,
koreksi elektrolit, koreksi defisiensi thiamine, dan manajemen cairan.
Manajemen Nutrisi
Pemberian kalori dimulai dari 100–150 gram dekstrosa atau 10–20 kkal/kgBB dalam 24 jam
pertama, lalu bisa ditingkatkan 33% dari target pencapaian setiap 1–2 hari. Inisiasi atau
peningkatan kalori dapat ditunda di kelompok dengan risiko refeeding syndrome sedang sampai
berat dengan deplesi elektrolit ringan, sampai kadar elektrolit normal atau sampai pasien sudah
diberikan suplementasi elektrolit.
Inisiasi atau peningkatan kalori harus ditunda pada pasien dengan gangguan elektrolit berat dan
diberikan setelah kadar elektrolit terkoreksi. Apabila koreksi elektrolit sulit tercapai atau
elektrolit mengalami penurunan pada saat inisiasi nutrisi, pemberian kalori dapat diturunkan
sebesar 50% dan ditingkatkan 33% dari target setiap 1–2 hari berdasarkan gambaran klinis.[1,3]
Koreksi Elektrolit
Anjuran koreksi elektrolit untuk hipokalemia adalah 2–4 mmol/kgBB/hari, sedangkan untuk
hipofosfatemia adalah 0,3–0,6 mmol/kgBB/hari. Untuk kasus hipomagnesemia, anjuran koreksi
adalah 0,2 mmol/kgBB/hari secara intravena atau 0,4 mmol/kgBB/hari secara peroral.[3]
Suplementasi thiamine dengan dosis 100 mg bisa diberikan pada pasien yang berisiko
mengalami RFS sebelum pemberian cairan intravena yang mengandung dekstrosa. Pada pasien
yang kelaparan berat, peminum alkohol berat, dan pasien yang berisiko tinggi mengalami
defisiensi thiamine, suplementasi dapat diberikan selama 5–7 hari atau lebih.[1,3]
Pemantauan elektrolit dapat dilakukan setiap hari khususnya pada 1 minggu pertama perbaikan
nutrisi dan tiga kali dalam seminggu pada minggu selanjutnya.[1,3]