C. 1. Pengertian Diyat
Diyat menurut bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi. Sedangkan diyat
menurut istilah syara’ diyat adalah pemberian sejumlah barang atau uang kepada
keluarga korban untuk menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan
keluarganya sebagai ganti hukum qishosh yang telah dimaafkan oleh keluarga korban.
Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.
2. Macam- macam Diyat:
1) Diyat Mughallazhah (Benda Berat)
Denda dengan cara membayar 100 ekor unta, terdiri 30 ekor hiqqah (unta betina
usia 3 - 4 tahun), 30 ekor jadzah (unta betina usia 4 – 5 tahun) dan 40 ekor khilfah
(unta betina bunting). Diyat Mughalladzah ini diwajaibkan kepada: a)
Pembunuhan sengaja tapi dimaafkan oleh korban keluarga. Pembayaran diyat ini
sebagai ganti qishash dan pembayaranya secara tunai.
b) Pembunuhan seperti sengaja, tetapi pembayaranya boleh diangsur selama tiga
tahun.
c) Pembunuhan ditanah haram pada bulan-bulan haram atau pembunuhan terhadap
muhrim.
2) Diyat Mukhofafah (Diyat Ringan).
Denda yang sifatnya ringan, yaitu membayar denda yang berupa 100 ekor unta
terdiri 20 ekor hiqqah, 20 ekor jadz’ah, 20 ekor binta labun (unta betina usia lebih
dari 2 tahun), ibnu labun (unta jantan usia lebih dari 2 tahun) dan 20 ekor binta
mukhad (unta betina usia 2 tahun). Diyat mukhafafah diwajibkan atas
pembunuhan tersalah dibayar oleh keluarga pembunuh dan diangsur 3 tahun tiap
tahun sepertiganya. Diyat mukhafafah diwajibkan kepada:
a) Pembunuhan tersalah (qatlu khatha’)
b) Pembunuhan selain ditanah haram (Makkah) bukan bulan haram 9 Muharam,
Dzulhijah dan rajab) dan bukan muhrim.
c) Orang yang sengaja memotong/ membuat cacat/ melukai anggota badan orang
lain tetapi dimaafkan oleh keluarga korban.
3) Diyat Anggota Badan (selain pembunuhan).
Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacat atau melukai anggota badan
dikenakan diyat sebagai berikut :
a. Diyat 100 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan.
b. Diyat 50 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan jika salah
satunya terpotong.
c. Diyat 33 ekor unta yaitu bagi luka kepala sampai otak,luka badan sampai perut.
d. Diyat 15 ekor unta,jika melukai kulit diatas tulang.
e. Diyat 10 ekor unta, jika melukai sampai jari tangan atau jari kaki sampai putus.
f. Diyat 5 ekor unta,jika meruntuhkan satu gigi.
Secara etimologis, Hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had yang
berarti اللمنع (larangan, pencegahan). Selain itu, had juga dapat diartikan sebagai
batasan sesuatu( )منتهي الشئsesuatu yang telah ditentukan ()الشئ المعين, hukuman ()العقوبه
dan marah ()الغضب. Sedangkan pengertian hudud secara terminologis adalah : ” Had
(hudud) adalah hukuman yang telah ditentukan sebagai hak Allah SWT dan arti
‘uqubah muqaddarah adalah bahwa hukuman telah dibatasi, ditentukan, tidak ada pada
hukuman itu batasan terendah dan batasan tertinggi. Artinya bahwa hukuman itu
adalah hak Allah SWT dan bahwa hukuman itu tidak bisa digugurkan oleh individu-
individu dan tidak pula oleh kelompok.” Hukuman hudud tidak boleh dimaafkan oleh
siapa pun. Mereka yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan
dan ditetapkan Allah/Rasul-Nya yang disebutkan didalam Al-Qur' an/ hadis adalah
termasuk dalam golongan orang-orang yang zalim. Sebagaimana firman Allah SWT di
dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229 yang artinya: “Dan siapa yang melanggar
aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
2) Macam-macam jarimah Hudud
Ditinjau dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai
berikut: Pertama,Hudud yang termasuk hak Allah. Menurut Abu Ya’la, hudud jenis
ini adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia
meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.Kedua, Hudud yang termasuk hak manusia. Hudud jenis ini adalah semua jenis
sanksi yang diberlakukan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah,
seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar. Hudud jenis ini terbagi menjadi dua:
pertama, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzf, meminum
minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan. Macam-macam
Jarimah hudud yang termasuk hak manusia, yaitu sebagai berikut:
a. Jarimah Zina, macam-macam jarimah zina dan sanksinya.
Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang
diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.Mengenai kekejian jarimah zina ini,
Muhammad Al- Khatib Al-Syarbini mengatakan, zina termasuk dosa-dosa yang
paling keji, tidak satu agamapun tidak menghalalkannya.Oleh sebab itu, sanksinya
juga sangat berat, karena mengancam kehormatan dan hubungan nasab.
Macam-macam jarimah zina dan sanksinya:
Ada dua jenis jariamah zina, yaitu zina Muhsan dan ghairu muhsan.Zina
muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda atau janda.Artinya,
pelaku adalah orang yang masih dalam pernikahan atau pernah menikah secara
sah.Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka
atau gadis.Artinya, pelaku belum pernah menikah secara sah dan sedang berada
dalam ikatan pernikahan. Terhadap kedua jenis jarimah diatas, syari’at Islam
memberlakukan dua sanksi yang berlainan yaitu:
1) Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari
batu hingga meninggal. Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tidak secara
eksplisit disebutkan didalam al-Qur’an eksistensinya ditetapkan melalui ucapan
dan perbuatan Rasulullah saw. Ada sebagian kelompok yang menolak hukuman
rajam. Ia menyabut kelompok ini sebagai firqah min ahl al-ahwa’. Menurut
mereka, hukuman bagi pelaku jariamah zina apapun jenisnya adalah cambuk.
Sedangkan hukuman tambahan untuk pezina yang bukan muhsan ini adalah buang
selama satu tahun. Adapun alasan hukum dari adanya buang ini adalah hadits Nabi
menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi yang bunyinya:
“jemputlah mereka, Allah telah memberikan jalan: yaitu bujang dengan gadis
hukumannya dera seratus kali dan dibuang satu tahun.”
Adapun ancaman atau sanksi hukuman terhadap pelaku zina yang muhsan adalah
rajam sampai mati. Ketentuan tentang hukuman rajam itu tidak merujuk kepada
Firman Allah tetapi berdasarkan kepada hadits Nabi, baik dalam bentuk ucapan
langsung dari Nabi atau apa yang dilakukan sendiri oleh Nabi. Adapun ucapan
langsung dari Nabi adalah haditsnya menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-
Tirmizi,
Yang merupakan ujung dari hadits yang dikutip di atas, yang bunyinya:
“Pezina yang tsayib dengan yang tsaib, hukumannya adalah dera seratus kali dan
dirajam dengan batu.” Adapun perbuatan Nabi adalah beberapa riwayat yang
menyatakan tindakan Nabi yang merajam pelaku zina muhsan yang mengaku di
depan Nabi seperti kasus Ma’iz dan Ghamidiyah; perempuan dari suku Juhainah,
dan lain-lain. Yang dimaksud dengan tsayib di atas dengan merujuk kepada
pengertian tsayib dalam hukum perkawinan adalah orang yang telah pernah
kawin.Dengan memahami hadits Nabi tersebut para ulama sepakat untuk
memberlakukan hukum rajam terhadap pezina yang tsayib. Tentang apakah masih
diberlakukan hukuman dera di samping raj am sampai mati itu, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama menetapkan tidak ada lagi
hukuman dera di samping rajam yang telah disepakati itu. Karena adanya
perbedaan yang besar antara hukuman terhadap pezina muhsan dan yang tidak
muhsan, perlu diperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan orang yang sudah
muhsan itu. Dari beberapa kata muhsan yang terdapat di dalam al-Quran di
antaranya ada yang berarti “orang yang terikat dalam tali perkawinan” atau orang
yang sedang kawin.
Hal ini terdapat dalam surat al-Nisa ayat 24 yang artinya:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-
isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Dan tidak ada yang maksudnya sama dengan pengertian tsayib yang terdapat
dalam hadits Nabi. Kalau muhsan diartikan sama dengan tsayib yang terdapat
dalam hadits Nabi, sedangkan pengertian tsayib itu adalah orang yang pernah
kawin walaupun telah putus perkawinannya, maka duda atau janda yang
melakukan zina akan diancam dengan hukuman rajam. Inilah pemahaman ulama
pada umumnya tentang muhsan itu. Dengan mengkompromikan pengertian
muhsan yang terdapat dalam salah satu pengertian dalam ayat al-Quran dengan
pendapat yang dianut ulama pada umumnya, maka arti muhsan yang paling tepat
adalah “orang yang dapat merasakan hubungan kelamin dalam perkawinan yang
sah”. Dengan begitu janda atau duda yang melakukan zina tidak termasuk dalam
arti muhsan.
2) Sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah dicambuk sebanyak seratus kali.
Berbeda dengan rajam yang tidak secara tegas disebutkan didalam al-Qur’an
sanksi cambuk bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara ekspelisit di
tegaskan dalam firman Allah swt. didalam QS. al-Nur (24):2:
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera.”
Walaupun dalam ayat ini tidak dijelaskan pezina mana yang di dera seratus kali
itu, namun karena ada petunjuk tambahan dari Nabi, maka ulama memahami
pezina yang didera seratus kali itu adalah pezina yang bukan muhsan.Hukuman
100 dera untuk pezina yang bukan muhsan itu adalah sebagai hukuman pokok
yang langsung ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Adanya perbedaan yang nyata hukuman antara pezina yang bukan muhsan
dengan pezina yang muhsan, dapat dilihat dari sebab-sebab di bawah ini:
a. Tidak ada dorongan secara fisis, psikis dan rasional bagi orang yang sedang
terikat dalam perkawinan untuk melakukan perzinaan, karena kenikmatan yang
diharapkannya dari hubungan kelamin yang tidak baik itu telah didapatnya secara
sah dan baik. Lebih dari itu hanyalah keserakahan. Sedangkan bagi yang bukan
muhsan, termasuk janda atau duda, dorongan tersebut ada; karena tidak ada
penyaluran syahwatnya secara sah. Oleh karena itu, sangat rasional bila
hukumanterhadap yang muhsan lebih berat dari yang bukan muhsan. Bahkan
sangat tepat bagi yang muhsan itu hukuman mati dengan rajam.
b. Perzinaan yang dilakukan oleh yang bukan muhsan hanya merupakan satu
kejahatan yaitu kejahatan terhadap akibat perzinaan itu sendiri; sedangkan
perzinaan yang dilakukan muhsan di samping kejahatan terhadap zina itu sendiri,
juga merupakan kejahatan terhadap perkawinan dan rumah tangga.
(Yaitu) letakkanlah dia (Musa) didalam peti, kemudian hanyutkanlah dia kesungai
(Nil)…(QS.Thaha’[20]: 39)
Arti qadzf dalam kaitannya dengan zina dipetik dari arti firman Allah tersebut.
Kemudian, yang dimaksud qadzf zina adalah menuduh zina. Barang siapa
menuduh orang lain berzina dengan cara memfitnah atau melecehkannya, seperti
ucapan,”wahai pezina”.” wahai anak yang tidak punya ayah,”untuk menuduh
ibunya berzina, dan lain-lain, dia dikenakan hukum qadzf, dengan syarat, baligh,
berakal dan orang yang menuduh bukan ayah tidak dihukum qisash jika ia
membunuh anaknya, ia juga tidak dihukumhad dengan menuduh anaknya berbuat
zina, berdasarkan qiyas. Kakek atau nenek dan seterusnya ke atas memiiki hokum
yang sama dengan ayah dalam masalah ini. Lima syarat yang berhubungan dengan
orang yang dituduh yaitu muslim, baligh, berakal, merdeka dan orang yang baik-
baik yang belum pernah dikenai hukuman had zina sebelumnya
Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 4
“Dan orang- orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan
puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya
mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Seseorang yang wajib dikenakan hukuman had karena menuduh orang lain berzina
yang kemungkinan besar ia telah berbohong dan mencemarkan nama baik yang
dituduh. Sementara orang yang menuduh orang lain tidak bias menjaga
kehormatannya, kebenaran tuduhannya bias diterima. Hal ini tidak dapat
menimbulkan pencemaran nama baik orang tersebut karena pada awalnya
namanya sudah tercemar. Begitu juga dengan orang kafir karena ia tidak memiliki
pencegah untuk menghindari diri dari perbuatan keji.
Hukuman had bisa gugur apabila terpenuhi salah satu dari tiga hal berikut :
a. Adanya saksi yang membenarkan yang ia tuduhkan. Sesuai dengan QS. An-
Nur ayat 4 tersebut menerangkan, apabila penuduh dapat mendatangkan empat
orang saksi, ia terbebas dari hukuman had, dan orang yang dituduh dikenai
hukuman zina.
b. Orang yang dituduh memaafkan karena had orang yang dituduh disyariatkan
untuh membersihkan nama baik tertuduh.
c. Sumpah li’an, jika tuduhan dilakukan suami terhadap istrinya.
2. Syarat-syarat Qadzaf
1) Syarat-syarat qadzif (yang menuduh zina)
a) Berakal
b) Dewasa
c) Dalam keadan ikhtiar, yakni tidak dipaksa oleh pihak
Jadi, apabila orang gila, ank kecil, atau orang yang dipaksa menuduh zina kepada
orang lain, mereka tidak dapat dijatuhi hukum dera kecuali orang tidur sehingga ia
bangun, anak kecil sehingga ia dewasa, orang gila sehingga ia sadar berdasarkan
hadist rasulullah saw. Selain itu apabila yang menuduh zina itu orang yang
murahik puber (orang yang hamper dewasa), sekiranya tuduhan itu menyakitkan ia
tidak didera, melainkan dikenai sanksi yang relevan baginya.
2) Syarat-syarat maqdzuf
Berakal ; apabila yang berzina itu orang gila, penuduh tidak dapat dijatuhi
hukuman dera karena sesungguhnya hukuman dera itu untuk mencegah terjadinya
bahaya yang diterima dengan sakit hati oleh tertuduh.
Dewasa ; pihak yang menuduh zina tidak dapat dijatuhi hukuman dera apabila
yang dituduhnya anak kecil yang belum dewasa. Hokum orang yang menuduh zina
kepada anak perempuan yang belum dewasa tetapi memungkinkan untuk dizinahi
disini mayoritas ulama berpendapat bahwa masalah ini termasuk qadzaf. Karena
pihak perempuan yang belum dewasa tidak bias dijatuhi had. Meskipun demikian,
penuduhnya harus dijatuhi sanksi, bukan dijatuhi had dera. Al imam malik
berpendapat bahwa masalah tersebut termasuk qadzaf dan penuduhnya harus
dihad.
Islam ; menurut mayoritas ulama’, jika maqdzhuf bukan orang islam,
penuduhnya tidak dapat dijatuhi hukuman dera. Kemudian apabila ada orang
nasrani atau yahudi menuduh zina kepada orang islam yang merdeka, orang
nasrani atau yahudi dikenai hokum dera delapan puluh kali.
Merdeka ; apabila maqdzuf itu budak, baik milik qadzifnya maupun bukan,
qadzhifnya tidak dapat dikenai hukuman dera. Karena martabat budak tidak sama
dengan martabat orang yang mardeka, meskipun qadzhaf orang yang mardeka
terhadap buda menuduh zina hukumnya haram.
Belum pernah dan menjauhi zina ; apbila ada orang yang berbuat zina pada
awal masa remajanya, kemudian ia bertaobat dan bertingkah laku baik sampai tua,
kemudian ada yang menuduhnya berzina, orang yang menuduh tersebut tidak
dikenai hukuman dera. Akan tetapi meskipun tidak dikenai hukuman dera, yang
menuduh zina tersebut tetap dikenai hukuman sanksi.
3) Syarat-syarat pada maqdzuf bih (tuduhan) :
a. Secara sharih (jelas), seperti perkataan “ hai orang yang berzina,” atau kata-kata
yang dianggap jelas, seperti “ hai kamu lahir tanpa bapak.” Hal ini berarti secara
tidak langsung telah menuduh ibu dari anak tersebut berbuat zina.
b. Dengan kinayah (sindiran), misalnya ada dua orang bertengkar kemudian yang
satu berkata, “ walaupun aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan
ibu ku juga.” Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh
zina kepada lawannya dan ibunya.
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.s, Ali 'Imran [3]: 85)
Kata baghyun juga berarti pelanggaran dan penyelewengan. Secara
terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan
terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak
mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Asy-Syafi'i mengatakan,
pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi imam, dengan cara tidak
menaatinya dan melepaskan diri dari imam, menolak kewajiban, yang memiliki
kekuatan, argumentasi, dan pimpinan.
Pemberontak adalah sekelompok kaum muslim yang tidak menaati pemerintah
yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan
memerangi jemaah kaum muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang
mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya
dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh
kaum muslim bersama pemerintah yang adil.
2. Unsur-unsur Pemberontakan
Unsur-unsur pemberontakan adalah melawan pemerintahan yang sah atau
melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan kesengajaan atau iktikad
tidak baik. Melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan menentang dan
mencoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis. Hal ini karena
keluar dari imam tanpa alasan politis, hanya dikategorikan sebagai pengacau
keamanan atau perampokan biasa. Adapun dikategorikan pemberontakan adalah
mereka yang mempunyai kekuatan, dalam arti banyaknya personel serta
persenjataan yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan dan memiliki
pimpinan sebagai pengganti imam yang ditinggalkan. Menurut Abu Hanifah, yang
dikategorikan sebagai pemberontak walaupun belum ada perlawanan apabila
mereka telah berkumpul dan merencanakan tindakan. Mereka yang kembali dan
meletakkan senjata, pemerintah tidak boleh memeranginya dan memperlakukan
secara adil, seperti warga yang lain.
Syarat memerangi pemberontak ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1) Memiliki kekuatan, yaitu mereka mempunyai kekuatan (bersenjata) yang
dapat digunakan untuk melawan pemerintah atau penegak keadilan. Seperti
mereka memiliki kelompok lain yang dapat dimintai bantuan, mempunyai benteng
pertahanan, atau menguasai salah satu daerah kaum muslim (yang berada dalam
kekuasaan pemerintah). Tujuan memeranginya adalah menghindari bahaya yang
ditimbulkan. Oleh karena itu, jika tidak memiliki kekuatan seperti yang
disebutkan, bahaya keberadaan mereka tidak perlu ditakuti.
2) Membangkang dari ketaatan terhadap pemimpin, misalnya mengangkat
pemimpin sendiri dari kalangan mereka untuk memimpin daerahnya.
3) Mempunyai pemikiran berbeda dengan pemerintah, yang mungln'n benar,
mungkin juga salah. Misalnya, mereka mempunyai pemahaman berbeda dalam
memaknai AlQuran atau hadis, yang menyebabkan memperbolehkan
kelompoknya untuk membangkang terhadap pemerintah yang sah, atau tidak
menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh pemerintah.
3. Sanksi Hukum bagi Pemberontak
Hukuman bagi yang melakukan pemberontakan terhadap negara atau
pemerintahan yang sah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran yang
menerangkan kewajiban memerangi pemberontak adalah firmanNya:
"Dan apabila ada dua golongan mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang
lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan bedakulah adil.
Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Hujurat [49]:
9)
َِإنَّ َما ْال ُمْؤ ِمنُونَ ِإ ْخ َوةٌ فََأصْ لِحُوا بَ ْينَ َأخَ َو ْي ُك ْم ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون
“Sesungguhnya orang-orang mukminitu bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu (yang berselisiih) dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 10)
Menurut firman Allah, hukum memerangi pemberontak atas perintah imam
atau pemimpin hukumnya wajib, jika pemberontakan itu dilakukan oleh
segolongan kaum muslim atas segolongan kaum muslim yang lain. Apalagi jika
pemberontakan itu ditujukan kepada pemimpin yang sah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa memecah belah persatuan kaum muslim, padahal
mereka telah sepakat untuk memilih satu pemimpin dengan maksud
menceraiberaikan umat, maka bunuhlah dia."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Barang siapa memecah belah
persatuan umat ini, padahal ia telah menyatu, tebaslah dia dengan pedang di
mana pun dia berada." Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang
mendatangimu, sedangkan urusanmu berada di tangan mereka (pemimpin
mereka) dan mereka ingin merusak kekuasaanmu serta akan memorak-
morandakan jemaahmu, maka bunuhlah mereka." (H.R. Muslim)
Sumber :
https://pecihitam.org/fikih-jinayah/
https://www.spiritmuslim.co.id/2018/06/penjelasan-lengkap-hukum-qishash.html
https://www.bacaanmadani.com/2017/07/pengertian-diyat-sebab-diyat-dan-
macam.html
Jarimah Hudud dan Macam-Macamnya (pejoeangtoga.blogspot.com)
Pengertian Jarimah Ta’zir – suduthukum.com