Anda di halaman 1dari 42

Kajian Jinayah (Hukum Pidana Islam)

A. Pengertian Fiqih Jinayah


Secara etimologis, fiqih berasal dari kata ‫ هقفي هقف‬yang berarti faham atau
memahami ucapan secara baik, secara terminologis, fiqih didefisinikan oleh wahab al-
Zuhali dan Umar Sulaiman dengan mengutip definisi Al-Syafi’i yaitu ilmu tentang
hukum-hukum syariah yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil
yang terperinci. Kata hukum dalam definisi ini menjelaskan bahwa hal-hal yang
beradadi luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk
kedalam pengertian fikih. Penggunan kata syari’yyah atau syari’ah dalm definisi ini
menjelaskan bahwa fiqih itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I yaitu segala
sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Jadi, fiqih adalah ilmu tentang hukum-
hukum syari’ah yang bersifat praktis dan merupakan hasil mujtahid terhadap dalil-
dalil yang terperinci baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist.
Adapun istilah Jinayah yang juga berasal dari bahasa arab dari kata  ‫ينجي جنيا‬
‫جنى‬  – ‫ وجنا ية‬ yang berarti melakukan dosa, itulah arti kata jinayah secar etimonologis.
Sedangkan secara terminologis jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang
dilarang dan mengandung kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa, dan
wajib dijatuhi hukum qishash atau membayar denda. Jadi fiqih jinayah adalah segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukalaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Alqur’an dan hadist.

B. 1. Pengertian Jarimah Qishas


Qishash merupakan bentuk hukuman bagi seseorang yang telah melanggar hukum
Jinayat. Jinayat sendiri memiliki jama' Jinayah yang memiliki cakupan arti yang cukup
luas, yakni membunuh, memotong anggota badan atau melukai. Sedangkan menurut
istilah Jinayat adalah menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman,
baik berupa Qishash, membayar Diyat atau Kafarah. Lebih mudahnya Jinayat
merupakan sebuah sistem yang mengatur perihal hukuman bagi pelaku tindak pidana
dalam Islam berupa tindakan fisik. Sedangkan Qishash secara bahasa memiliki arti
sepadan atau sama rata. Kata ini diambil dari kata Qashsh yang artinya 'pemotongan',
atau dari kata lqtishash Al-Atsar yang berarti "mengikuti jejak", dikatakan demikian
karena penggugat Qishas mengikuti jejak/tindakan yang sama yang dilakukan ole
pelaku kejahatan.
1. Dalil Al-Qur’an
"Wahai orang-orang yang beriman, Qishash diwajibkan atasmu berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (Diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam Qishash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa". (Q.S. Al-Baqarah: 178-179).
2. Dalil As-Sunnah.
Dalil ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
S.A.W bersabda yang artinya: "Barangsiapa yang menjadi keluarga korban terbunuh
maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bias juga dibunuh (Qishash)".
(HR. Al-Jama'ah). Sedangkan dalam riwayat At-Tirmidzi : "Barangsiapa yang
menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih
memaafkannya dan bisa membunuhnya."
Ayat dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan
dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh) bila
menghendakinya, bila tidak, bisa memilih diyât dan pengampunan. Pada asalnya
pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau
ada kemashlahatan lainnya. (Al-Mulakhash al-Figh 2/473 dan Asy-Syarhul-
Mumti'14/34).
Salah satu pekara yang menyebabkan seseorang dapat dijatuhi hukuman
Qishash adalah karena ia membunuh seseorang atau memotong anggota tubuh
seseorang atau
melukai salah satu anggota tubuh seseorang, yang mana Islam sangat mengecam
keras akan perilaku semacam ini. Islam sangat melindungi hak-hak diantara manusia,
lebih-
lebih hak untuk hidup.
"Dan dalam Qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa". (Q.S. Al-Baqarah: 179).
Dalam kitab Fathul Qarib Al-Mujib disebutkan bahwa pembunuhan sendiri terbagi
menjadi 3 jenis, diantaranya:
1 . Amdun Mahdun (Pembunuhan yang sengaja).
Pembunuhan ini merupakan jenis pembunuhan yang mana pelaku sengaja
memukul atau melukai korban dengan menggunakan sesuatu yang pada
umumnya bias membunuh seseorang. Jika keadaan demikian, maka sang pelaku
wajib Qishash. Beberapa pendapat ada yang menyebutkan bahwa meskipun sang
pelaku tidak sengaja melakukan pembunuhan namun menggunakan alat atau sesuatu
yang umumnya dipergunakan untuk membunuh, maka secara otomatis pelaku terjerat
hukum Qishash. Penetapan Qishash disyaratkan bahwa orang yang terbunuh atau
terpotong anggota badannya harus islam atau memiliki akad aman/damai dengan
Islam. Sehingga ketika orang Islam membunuh kafir harbi atau orang murtad maka
orang Islam ini terbebas dari hukum Qishash.
"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya". (Q.S. At-Taubah : 36).
Pelaku pembunuhan bisa saja terlepas dari hokum Qishas jika korban atau
keluarga korban memaafkan pelaku, namun sebagai gantinya pelaku pembunuhan
dibebankan kewajiban membayar Diyat Mughalladhah (denda yang diberatkan) yang
dibayarkan secara kontan dan diambilkan dari harta si pembunuh.
2. Khatha' Mahdlun (Pembunuhan semi sengaja/seperti sengaja)
Khatha' Mahdlun merupakan jenis pembunuhan yang dilakukan dengan tidak
sengaja namun seakan-akan terlihat sengaja. Misalnya: seseorang melempar sesuatu
dengan target binatang buruan, namun kemudian secara tidak sengaja lemparan
tersebut meleset dan mengenai seseorang hingga menyebabkan meninggal dunia. Jika
hal ini terjadi, maka tidak ada kewajiban Qishash bagi orang yang melempar/pelaku,
akan tetapi ia tetap dibebankan kewajiban membayar Diyat Mukhaffafah (denda yang
diringankan) yang dibebankan kepada ahli waris Ashabah si pelaku dengan cara
diangsur selama tiga tahun dengan rincian setiap satu tahun pelaku atau ahli waris
membayar sepertiga dari jumlah Diyat tersebut. Bagi waris ashabah yang kaya raya
dan memiliki emas, maka setiap akhir tahun diwajibkan membayar setengah dinar.
Dan bagi yang memiliki perak wajib membayar enam dirham sebagaimana yang telah
jelaskan oleh imam Al-Mutawalli dan yang lain. Waris Ashabah dalam pembahasan
ini adalah Waris Agillah yakni ahli waris ashabah si pelaku yakni keluarga besar
pelaku, namun bukan orang tua atau anak-anaknya.
3. 'Amdun Khatha' (Pembunuhan tidak sengaja).
'Amdun Khatha' merupakan jenis pembunuhan yang terjadi secara tidak sengaja.
Misalnya: pelaku sengaja memukul korban dengan menggunakan sesuatu yang
biasanya tidak digunakan untuk membunuh seperti pelaku memukul korban dengan
tongkat yang ringan, namun kemudian korban yang dipukul tersebut meninggal dunia.
Dalam hal ini tidak ada kewajiban had atas si pelaku, akan tetapi wajib membayar
Diyat Mughalladhah (denda yang diberatkan) yang dibebankan kepada waris 'aqilah si
pelaku dengan cara ditempo/diangsur selama tiga tahun.

C. 1. Pengertian Diyat
Diyat menurut bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi. Sedangkan diyat
menurut istilah syara’ diyat adalah pemberian sejumlah barang atau uang kepada
keluarga korban untuk menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan
keluarganya sebagai ganti hukum qishosh yang telah dimaafkan oleh keluarga korban.
Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.
2. Macam- macam Diyat:
1) Diyat Mughallazhah (Benda Berat)
Denda dengan cara membayar 100 ekor unta, terdiri 30 ekor hiqqah (unta betina
usia 3 - 4 tahun), 30 ekor jadzah (unta betina usia 4 – 5 tahun) dan 40 ekor khilfah
(unta betina bunting). Diyat Mughalladzah ini diwajaibkan kepada: a)
Pembunuhan sengaja tapi dimaafkan oleh korban keluarga. Pembayaran diyat ini
sebagai ganti qishash dan pembayaranya secara tunai.
b) Pembunuhan seperti sengaja, tetapi pembayaranya boleh diangsur selama tiga
tahun.
c) Pembunuhan ditanah haram pada bulan-bulan haram atau pembunuhan terhadap
muhrim.
2) Diyat Mukhofafah (Diyat Ringan).
Denda yang sifatnya ringan, yaitu membayar denda yang berupa 100 ekor unta
terdiri 20 ekor hiqqah, 20 ekor jadz’ah, 20 ekor binta labun (unta betina usia lebih
dari 2 tahun), ibnu labun (unta jantan usia lebih dari 2 tahun) dan 20 ekor binta
mukhad (unta betina usia 2 tahun). Diyat mukhafafah diwajibkan atas
pembunuhan tersalah dibayar oleh keluarga pembunuh dan diangsur 3 tahun tiap
tahun sepertiganya. Diyat mukhafafah diwajibkan kepada:
a) Pembunuhan tersalah (qatlu khatha’)
b) Pembunuhan selain ditanah haram (Makkah) bukan bulan haram 9 Muharam,
Dzulhijah dan rajab) dan bukan muhrim.
c) Orang yang sengaja memotong/ membuat cacat/ melukai anggota badan orang
lain tetapi dimaafkan oleh keluarga korban.
3) Diyat Anggota Badan (selain pembunuhan).
Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacat atau melukai anggota badan
dikenakan diyat sebagai berikut :
a. Diyat 100 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan.
b. Diyat 50 ekor unta yaitu bagi anggota badan yang berpasangan jika salah
satunya terpotong.
c. Diyat 33 ekor unta yaitu bagi luka kepala sampai otak,luka badan sampai perut.
d. Diyat 15 ekor unta,jika melukai kulit diatas tulang.
e. Diyat 10 ekor unta, jika melukai sampai jari tangan atau jari kaki sampai putus.
f. Diyat 5 ekor unta,jika meruntuhkan satu gigi.

D.   1) Pengertian Jarimah Hudud

Secara etimologis, Hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had yang
berarti ‫اللمنع‬  (larangan, pencegahan). Selain itu, had juga dapat diartikan sebagai
batasan sesuatu(‫ )منتهي الشئ‬sesuatu yang telah ditentukan (‫)الشئ المعين‬, hukuman (‫)العقوبه‬
dan marah (‫)الغضب‬. Sedangkan pengertian hudud secara terminologis adalah : ” Had
(hudud) adalah hukuman yang telah ditentukan sebagai hak Allah SWT dan arti
‘uqubah muqaddarah adalah bahwa hukuman telah dibatasi, ditentukan, tidak ada pada
hukuman itu batasan terendah dan batasan tertinggi. Artinya bahwa hukuman itu
adalah hak Allah SWT dan bahwa hukuman itu tidak bisa digugurkan oleh individu-
individu dan tidak pula oleh kelompok.” Hukuman hudud tidak boleh dimaafkan oleh
siapa pun. Mereka yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, yang telah ditentukan
dan ditetapkan Allah/Rasul-Nya yang disebutkan didalam Al-Qur' an/ hadis adalah
termasuk dalam golongan orang-orang yang zalim. Sebagaimana firman Allah SWT di
dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229 yang artinya: “Dan siapa yang melanggar
aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
2) Macam-macam jarimah Hudud
Ditinjau dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai
berikut: Pertama,Hudud yang termasuk hak Allah. Menurut Abu Ya’la, hudud jenis
ini adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia
meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.Kedua, Hudud yang termasuk hak manusia. Hudud jenis ini adalah semua jenis
sanksi yang diberlakukan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah,
seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar. Hudud jenis ini terbagi menjadi dua:
pertama, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzf, meminum
minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan. Macam-macam
Jarimah hudud yang termasuk hak manusia, yaitu sebagai berikut:
a. Jarimah Zina, macam-macam jarimah zina dan sanksinya.
Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang
diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.Mengenai kekejian jarimah zina ini,
Muhammad Al- Khatib Al-Syarbini mengatakan, zina termasuk dosa-dosa yang
paling keji, tidak satu agamapun tidak menghalalkannya.Oleh sebab itu, sanksinya
juga sangat berat, karena mengancam kehormatan dan hubungan nasab.
Macam-macam jarimah zina dan sanksinya:
Ada dua jenis jariamah zina, yaitu zina Muhsan dan ghairu muhsan.Zina
muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda atau janda.Artinya,
pelaku adalah orang yang masih dalam pernikahan atau pernah menikah secara
sah.Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka
atau gadis.Artinya, pelaku belum pernah menikah secara sah dan sedang berada
dalam ikatan pernikahan. Terhadap kedua jenis jarimah diatas, syari’at Islam
memberlakukan dua sanksi yang berlainan yaitu:
1)      Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari
batu hingga meninggal. Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tidak secara
eksplisit disebutkan didalam al-Qur’an eksistensinya ditetapkan melalui ucapan
dan perbuatan Rasulullah saw. Ada sebagian kelompok yang menolak hukuman
rajam. Ia menyabut kelompok ini sebagai firqah min ahl al-ahwa’. Menurut
mereka, hukuman bagi pelaku jariamah zina apapun jenisnya adalah cambuk.
Sedangkan hukuman tambahan untuk pezina yang bukan muhsan ini adalah buang
selama satu tahun. Adapun alasan hukum dari adanya buang ini adalah hadits Nabi
menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi yang bunyinya:
“jemputlah mereka, Allah telah memberikan jalan: yaitu bujang dengan gadis
hukumannya dera seratus kali dan dibuang satu tahun.”
Adapun ancaman atau sanksi hukuman terhadap pelaku zina yang muhsan adalah
rajam sampai mati. Ketentuan tentang hukuman rajam itu tidak merujuk kepada
Firman Allah tetapi berdasarkan kepada hadits Nabi, baik dalam bentuk ucapan
langsung dari Nabi atau apa yang dilakukan sendiri oleh Nabi. Adapun ucapan
langsung dari Nabi adalah haditsnya menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan al-
Tirmizi,
Yang merupakan ujung dari hadits yang dikutip di atas, yang bunyinya:
“Pezina yang tsayib dengan yang tsaib, hukumannya adalah dera seratus kali dan
dirajam dengan batu.” Adapun perbuatan Nabi adalah beberapa riwayat yang
menyatakan tindakan Nabi yang merajam pelaku zina muhsan yang mengaku di
depan Nabi seperti kasus Ma’iz dan Ghamidiyah; perempuan dari suku Juhainah,
dan lain-lain. Yang dimaksud dengan tsayib di atas dengan merujuk kepada
pengertian tsayib dalam hukum perkawinan adalah orang yang telah pernah
kawin.Dengan memahami hadits Nabi tersebut para ulama sepakat untuk
memberlakukan hukum rajam terhadap pezina yang tsayib. Tentang apakah masih
diberlakukan hukuman dera di samping raj am sampai mati itu, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Kebanyakan ulama menetapkan tidak ada lagi
hukuman dera di samping rajam yang telah disepakati itu. Karena adanya
perbedaan yang besar antara hukuman terhadap pezina muhsan dan yang tidak
muhsan, perlu diperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan orang yang sudah
muhsan itu. Dari beberapa kata muhsan yang terdapat di dalam al-Quran di
antaranya ada yang berarti “orang yang terikat dalam tali perkawinan” atau orang
yang sedang kawin.
Hal ini terdapat dalam surat al-Nisa ayat 24 yang artinya:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-
isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Dan tidak ada yang maksudnya sama dengan pengertian tsayib yang terdapat
dalam hadits Nabi. Kalau muhsan diartikan sama dengan tsayib yang terdapat
dalam hadits Nabi, sedangkan pengertian tsayib itu adalah orang yang pernah
kawin walaupun telah putus perkawinannya, maka duda atau janda yang
melakukan zina akan diancam dengan hukuman rajam. Inilah pemahaman ulama
pada umumnya tentang muhsan itu. Dengan mengkompromikan pengertian
muhsan yang terdapat dalam salah satu pengertian dalam ayat al-Quran dengan
pendapat yang dianut ulama pada umumnya, maka arti muhsan yang paling tepat
adalah “orang yang dapat merasakan hubungan kelamin dalam perkawinan yang
sah”. Dengan begitu janda atau duda yang melakukan zina tidak termasuk dalam
arti muhsan.
2)      Sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah dicambuk sebanyak seratus kali.
Berbeda dengan rajam yang tidak secara tegas disebutkan didalam al-Qur’an
sanksi cambuk bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara ekspelisit di
tegaskan dalam firman Allah swt. didalam QS. al-Nur (24):2:
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera.”
Walaupun dalam ayat ini tidak dijelaskan pezina mana yang di dera seratus kali
itu, namun karena ada petunjuk tambahan dari Nabi, maka ulama memahami
pezina yang didera seratus kali itu adalah pezina yang bukan muhsan.Hukuman
100 dera untuk pezina yang bukan muhsan itu adalah sebagai hukuman pokok
yang langsung ditetapkan dalam Al-Qur'an.
Adanya perbedaan yang nyata hukuman antara pezina yang bukan muhsan
dengan pezina yang muhsan, dapat dilihat dari sebab-sebab di bawah ini:
a.       Tidak ada dorongan secara fisis, psikis dan rasional bagi orang yang sedang
terikat dalam perkawinan untuk melakukan perzinaan, karena kenikmatan yang
diharapkannya dari hubungan kelamin yang tidak baik itu telah didapatnya secara
sah dan baik. Lebih dari itu hanyalah keserakahan. Sedangkan bagi yang bukan
muhsan, termasuk janda atau duda, dorongan tersebut ada; karena tidak ada
penyaluran syahwatnya secara sah. Oleh karena itu, sangat rasional bila
hukumanterhadap yang muhsan lebih berat dari yang bukan muhsan. Bahkan
sangat tepat bagi yang muhsan itu hukuman mati dengan rajam.
b.      Perzinaan yang dilakukan oleh yang bukan muhsan hanya merupakan satu
kejahatan yaitu kejahatan terhadap akibat perzinaan itu sendiri; sedangkan
perzinaan yang dilakukan muhsan di samping kejahatan terhadap zina itu sendiri,
juga merupakan kejahatan terhadap perkawinan dan rumah tangga.

b. Jarimah Qadzaf dan sanksinya


1.        Pengertian qadzaf
Secara etimologis, qadzf berasal dari kata ‫قذف‬  ‫فيقذ‬ – ‫– قذفا‬ yang oleh Lu’is Ma’luf
jika dihubungkan dengan kalimat  ‫بقولهقذف‬ bearti‫ثكام‬  ‫من غير ثدبر وال ثامل‬ yang berate
berbicara mengawur tanpa berfikir terlebih dahulu. Dapat juga dkatakan asal
makna Qadzf adalah arramyu (melempar), umpamanya dengan batu atau dengan
yang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari firman Allah swt. Dalam Al-Qur’an:

(Yaitu) letakkanlah dia (Musa) didalam peti, kemudian hanyutkanlah dia kesungai
(Nil)…(QS.Thaha’[20]: 39)

Arti qadzf dalam kaitannya dengan zina dipetik dari arti firman Allah tersebut.
Kemudian, yang dimaksud qadzf zina adalah menuduh zina. Barang siapa
menuduh orang lain berzina dengan cara memfitnah atau melecehkannya, seperti
ucapan,”wahai pezina”.” wahai anak yang tidak punya ayah,”untuk menuduh
ibunya berzina, dan lain-lain, dia dikenakan hukum qadzf, dengan syarat, baligh,
berakal dan orang yang menuduh bukan ayah tidak dihukum qisash jika ia
membunuh anaknya, ia juga tidak dihukumhad dengan menuduh anaknya berbuat
zina, berdasarkan qiyas. Kakek atau nenek dan seterusnya ke atas memiiki hokum
yang sama dengan ayah dalam masalah ini. Lima syarat yang berhubungan dengan
orang yang dituduh yaitu muslim, baligh, berakal, merdeka dan orang yang baik-
baik yang belum pernah dikenai hukuman had zina sebelumnya
Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 4
“Dan orang- orang yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan
puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya
mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Seseorang yang wajib dikenakan hukuman had karena menuduh orang lain berzina
yang kemungkinan besar ia telah berbohong dan mencemarkan nama baik yang
dituduh. Sementara orang yang menuduh orang lain tidak bias menjaga
kehormatannya, kebenaran tuduhannya bias diterima. Hal ini tidak dapat
menimbulkan pencemaran nama baik orang tersebut karena pada awalnya
namanya sudah tercemar. Begitu juga dengan orang kafir karena ia tidak memiliki
pencegah untuk menghindari diri dari perbuatan keji.
Hukuman had bisa gugur apabila terpenuhi salah satu dari tiga hal berikut :
a.       Adanya saksi yang membenarkan yang ia tuduhkan. Sesuai dengan QS. An-
Nur ayat 4 tersebut menerangkan, apabila penuduh dapat mendatangkan empat
orang saksi, ia terbebas dari hukuman had, dan orang yang dituduh dikenai
hukuman zina.
b.      Orang yang dituduh memaafkan karena had orang yang dituduh disyariatkan
untuh membersihkan nama baik tertuduh.
c.       Sumpah li’an, jika tuduhan dilakukan suami terhadap istrinya.
2. Syarat-syarat Qadzaf
1)      Syarat-syarat qadzif (yang menuduh zina)
a)      Berakal
b)      Dewasa
c)      Dalam keadan ikhtiar, yakni tidak dipaksa oleh pihak
Jadi, apabila orang gila, ank kecil, atau orang yang dipaksa menuduh zina kepada
orang lain, mereka tidak dapat dijatuhi hukum dera kecuali orang tidur sehingga ia
bangun, anak kecil sehingga ia dewasa, orang gila sehingga ia sadar berdasarkan
hadist rasulullah saw. Selain itu apabila yang menuduh zina itu orang yang
murahik puber (orang yang hamper dewasa), sekiranya tuduhan itu menyakitkan ia
tidak didera, melainkan dikenai sanksi yang relevan baginya.
2)      Syarat-syarat maqdzuf
         Berakal ; apabila yang berzina itu orang gila, penuduh tidak dapat dijatuhi
hukuman dera karena sesungguhnya hukuman dera itu untuk mencegah terjadinya
bahaya yang diterima dengan sakit hati oleh tertuduh.
         Dewasa ; pihak yang menuduh zina tidak dapat dijatuhi hukuman dera apabila
yang dituduhnya anak kecil yang belum dewasa. Hokum orang yang menuduh zina
kepada anak perempuan yang belum dewasa tetapi memungkinkan untuk dizinahi
disini mayoritas ulama berpendapat bahwa masalah ini termasuk qadzaf. Karena
pihak perempuan yang belum dewasa tidak bias dijatuhi had. Meskipun demikian,
penuduhnya harus dijatuhi sanksi, bukan dijatuhi had dera. Al imam malik
berpendapat bahwa masalah tersebut termasuk qadzaf dan penuduhnya harus
dihad.
         Islam ; menurut mayoritas ulama’, jika maqdzhuf bukan orang islam,
penuduhnya tidak dapat dijatuhi hukuman dera. Kemudian apabila ada orang
nasrani atau yahudi menuduh zina kepada orang islam yang merdeka, orang
nasrani atau yahudi dikenai hokum dera delapan puluh kali.
         Merdeka ; apabila maqdzuf itu budak, baik milik qadzifnya maupun bukan,
qadzhifnya tidak dapat dikenai hukuman dera. Karena martabat budak tidak sama
dengan martabat orang yang mardeka, meskipun qadzhaf orang yang mardeka
terhadap buda menuduh zina hukumnya haram.
         Belum pernah dan menjauhi zina ; apbila ada orang yang berbuat zina pada
awal masa remajanya, kemudian ia bertaobat dan bertingkah laku baik sampai tua,
kemudian ada yang menuduhnya berzina, orang yang menuduh tersebut tidak
dikenai hukuman dera. Akan tetapi meskipun tidak dikenai hukuman dera, yang
menuduh zina tersebut tetap dikenai hukuman sanksi.
3)      Syarat-syarat pada maqdzuf bih (tuduhan) :
a.       Secara sharih (jelas), seperti perkataan “ hai orang yang berzina,” atau kata-kata
yang dianggap jelas, seperti “ hai kamu lahir tanpa bapak.” Hal ini berarti secara
tidak langsung telah menuduh ibu dari anak tersebut berbuat zina.
b.      Dengan kinayah (sindiran), misalnya ada dua orang bertengkar kemudian yang
satu berkata, “ walaupun aku jelek seperti ini, aku tidak pernah berbuat zina dan
ibu ku juga.” Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh
zina kepada lawannya dan ibunya.

c. Larangan (Syurb al-khamr) minum minuman keras dan sanksinya


1.     Pengertian asyribah
Kata ‫الخمر‬ berasal dari kata ‫ خمرا‬-‫ يخمر‬-‫خمر‬   yang berarti ‫سثره‬ menutup.  Dalam
menjelaskan tentang arti khamr ini, Al-Qurthubi mengemukakan:
Kata khamr berasal dari kata khamara atau satara yang berarti menutup. Oleh
karena itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap benda yang menutup sesuatu
yang lain, selalu disebut khamar, seperti dalam kalimat “jadi, khamar dapat
menutup akal, menyumbat, dan membungkusnya.”
Adapun Asyribah adalah bentuk jamak (plural) dari kat syurbun. Asyribah atau
minum minuman keras adalah minuman yang bias memabukkan apapun
asalnya. Imam Malik, imam Assyafi’I dan imam Ahmad berpendapat bahwa
yang dimaksud khamar adalah minumanyang memabukkan, baik disebut
khamar atau dengan nama lain. Adapun imam Abu Hanifah membedakan
antara khamr dan mabuk. Khamar diharamkan meminumnya, baik sedikit
maupun banyak dan keharamannya terletak pada zatnya. Minuman lain yang
bukan khamar, tetapi memabukkan, keharamannya tidak terletak pada
minuman itu, tetapi padaminuman terakhir yang menyebabkan mabuk menurut
imam Abu Hanifah, minum-minuman memabukkan selain khamar tidak
diharamkan.
2. Sanksi dan batasan syurb Al-Khamr
Sebagaimana menurut pendapat beberapa ulama’ sebagai berikut:
1) Hanafiah; sebagaimana dipaparkan Al-Zuhaili, membedakan antara sanksi
sekedar minum khamar dan sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyaknya
tetap saja haram dan peminum yang tidak mabuk dapat dikenai sanksi hukum.
Jika mengonsumsi sudah dapat dikenai sanksi, terlebih lagi sampai mabuk,
sanksi yang dikenakan pastilah lebih berat.
2) Jumhur ulama’; tidak memisahkan antara sanksi sekedar meminum dan
sekdar mabuk. Menurut mereka, setiap meminum (memakan) suatu zat yang
dalam jumlah besarnya memabukkan maka sedikitnya tetap saja haram, baik
mabuk atau tidak. Mengenai sanksi pidana bagi pemabuk, tidak disebutkan
secara jelas dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamar diatas. Adapun
perbedaan pendapat mengenai sanksi jraimah cambukan yang harus dikenakan
pada pelaku. Apakah cukup diberi sanksi empat puluh kaliu cambukan atau
harus elapan puluh kali. Abu Dawaud meriwayatkan hadits sebagai berikut
yang artinya:
“Dari Ali ra. Ia berkata,” Nabi mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr
sebanyak empat puluh kali demikian juga Abu Bakar. Sementara itu, Umar
menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali. Kedua-duanya merupakan
sunnah. (HR. Abu Dawud). Dari hadits ini bias kita ketahui bahwa sanksi bagi
peminum khamar itu ada dua, yaitu emept puluh kali cambukan dan delapan
puluh kali cambukkan. Dari sinilah beberapa fuqaha’ berbeda pendapat;
jumhur fuqaha berpendapat sanksinya delapan puluh cambukan berdasarkan
kebijakan Umar dan Ali, sedangkankelompok syafi’iyah berpendapat
sanksinya empat puluh kali cambukkan. karena Anas bin Malik yang
berdasarkan pada Nabi saw dan Abu Bakar yang melaksanakan anksi cambuk
sebanyak empat puluh kali. Adapun tambahan empat puluh kali cambukkan
diluar itu sebagaimana yang dilakukan Umar bukanlah Hudud melainkan ta’zir
dan merupakan kebijakan sendiri yang dilakukan berdasarkan kemashlahatan
didalamnya, sedangkan rasulullah dan Abu Bakar tidak menemukan adanya
kemashlahatan. Menurut imam Abu Hanifah yang termasuk dalam kategori
khamar adalah:
1)      Air anggur yang telah mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi
menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, air anggur ketika
telah mendidih sudah menjadi khamr, walaupun tidak mengeluarkan buih.
2)     Air anggur yang telah direbus dan yang tersisa kurang dari dua pertiga
telah berubah menjadi khamr, baik basah maupun kering.
3)     Perasan kedelai ketika mendidih dan mengeluarkan buih. Akan tetapi,
menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, perasan itu telah
menjadi khamar meskipun belum mengeluarkan buih. Dalil yang digunakan
Abu Hanifah untuk mendukung pendapatnya adalah hadits berikut: Dari Abu
Hurairah ra. Ia berkata,” aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘khamar
itu berasal dari dua pohon, pohon anggur dan kurma.”(HR. Muslim). Apabila
meminum selain dari kedua jenis ini yaitu anggur dan kurma yang dapat
memabukkan maka hukumanya adalah cambuk bagi pelakunya. Jadi, tempat
perbedaanyaitu, jumhur ulama berpendapat bahwa selain dari perasan anggur
dan kurma dapat dikatakan khamar. Sementra itu Abu hanifah
berpendapat  bahwa selain perasan anggur dan kurma bukan khamar. Apabila
ketika diminum tidak memabukkan dan hukumnya halal dan sebaliknya jika
diminum memabukkan maka hukumnya haram.
3. Menjual belikan benda yang memabukkan
Memperjual belikan benda yang memabukkan haram hukumnya sehingga
haram pula uangnya, karena sama dengan mengambil harta dengan jalan batil
seperti jual beli khamar dan benda-benda yang memabukkan. Sesuatu yang
telah diharamkan dilarang mengambil manfaat atas barang tersebu begitupun
dengan menikmati hasil penjualannya.
4. Syarat-syarat melakukan hukuman bagi peminum khamar
1.      Berakal
2.      Baligh
3.      Sesuai kemauan sendiri.
Seseorang yang meminum khamar karena terpaksa atau dipaksa tidak dikenai
hukuman, baik ancaman tersebut berupa ancaman pembunuhan atau siksaan
fisik atau akan dirampas hartanya melainkan akan menghilangkan dosanya
akibat terpaksa.
4.      Mengetahui apa yang diminumnya adalah memabukkan. Apabila ia
meminumnya karena tidak tahu bahwa itu memabukkan maka ia tidak
dihukum. Tetapi apabila sebelumnya sudah diingatkan bahwa minuman
tersebut lalu ia meminumnya maka akan diperkirakan bagi hukumannya.

d. Jarimah Al-Baghyu (Pemberontak) dan sanksinya


1. Pengertian Al-baghyu
Al-baghyu secara etimologis berarti mencari, mengusahakan, atau memilih.
Pengertian tersebut diambil dari beberapa ayat Al-Quran.
َ‫ك فَُأولَِئكَ هُ ُم ْال َعا ُدون‬
َ ِ‫فَ َم ِن ا ْبتَغَى َو َرا َء َذل‬
“Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mu'minin [23]: 7)

“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.s, Ali 'Imran [3]: 85)
Kata baghyun juga berarti pelanggaran dan penyelewengan. Secara
terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan
terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak
mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Asy-Syafi'i mengatakan,
pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi imam, dengan cara tidak
menaatinya dan melepaskan diri dari imam, menolak kewajiban, yang memiliki
kekuatan, argumentasi, dan pimpinan.
Pemberontak adalah sekelompok kaum muslim yang tidak menaati pemerintah
yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban yang diperintahkan dan
memerangi jemaah kaum muslim yang lain, dengan dalih perbedaan hukum yang
mereka pahami dan yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran berada di pihaknya
dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib diperangi oleh
kaum muslim bersama pemerintah yang adil.
2. Unsur-unsur Pemberontakan
Unsur-unsur pemberontakan adalah melawan pemerintahan yang sah atau
melepaskan diri atau keluar dari kekuasaan imam dan kesengajaan atau iktikad
tidak baik. Melepaskan diri atau keluar merupakan perbuatan menentang dan
mencoba menjatuhkan kekuasaan imam dengan alasan politis. Hal ini karena
keluar dari imam tanpa alasan politis, hanya dikategorikan sebagai pengacau
keamanan atau perampokan biasa. Adapun dikategorikan pemberontakan adalah
mereka yang mempunyai kekuatan, dalam arti banyaknya personel serta
persenjataan yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan dan memiliki
pimpinan sebagai pengganti imam yang ditinggalkan. Menurut Abu Hanifah, yang
dikategorikan sebagai pemberontak walaupun belum ada perlawanan apabila
mereka telah berkumpul dan merencanakan tindakan. Mereka yang kembali dan
meletakkan senjata, pemerintah tidak boleh memeranginya dan memperlakukan
secara adil, seperti warga yang lain.
Syarat memerangi pemberontak ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1)      Memiliki kekuatan, yaitu mereka mempunyai kekuatan (bersenjata) yang
dapat digunakan untuk melawan pemerintah atau penegak keadilan. Seperti
mereka memiliki kelompok lain yang dapat dimintai bantuan, mempunyai benteng
pertahanan, atau menguasai salah satu daerah kaum muslim (yang berada dalam
kekuasaan pemerintah). Tujuan memeranginya adalah menghindari bahaya yang
ditimbulkan. Oleh karena itu, jika tidak memiliki kekuatan seperti yang
disebutkan, bahaya keberadaan mereka tidak perlu ditakuti.
2)      Membangkang dari ketaatan terhadap pemimpin, misalnya mengangkat
pemimpin sendiri dari kalangan mereka untuk memimpin daerahnya.
3)       Mempunyai pemikiran berbeda dengan pemerintah, yang mungln'n benar,
mungkin juga salah. Misalnya, mereka mempunyai pemahaman berbeda dalam
memaknai AlQuran atau hadis, yang menyebabkan memperbolehkan
kelompoknya untuk membangkang terhadap pemerintah yang sah, atau tidak
menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh pemerintah.
3. Sanksi Hukum bagi Pemberontak
Hukuman bagi yang melakukan pemberontakan terhadap negara atau
pemerintahan yang sah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran yang
menerangkan kewajiban memerangi pemberontak adalah firmanNya:
"Dan apabila ada dua golongan mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang
lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan bedakulah adil.
Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Hujurat [49]:
9)
َ‫ِإنَّ َما ْال ُمْؤ ِمنُونَ ِإ ْخ َوةٌ فََأصْ لِحُوا بَ ْينَ َأخَ َو ْي ُك ْم ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬
“Sesungguhnya orang-orang mukminitu bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu (yang berselisiih) dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 10)
Menurut firman Allah, hukum memerangi pemberontak atas perintah imam
atau pemimpin hukumnya wajib, jika pemberontakan itu dilakukan oleh
segolongan kaum muslim atas segolongan kaum muslim yang lain. Apalagi jika
pemberontakan itu ditujukan kepada pemimpin yang sah.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa memecah belah persatuan kaum muslim, padahal
mereka telah sepakat untuk memilih satu pemimpin dengan maksud
menceraiberaikan umat, maka bunuhlah dia."
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, “Barang siapa memecah belah
persatuan umat ini, padahal ia telah menyatu, tebaslah dia dengan pedang di
mana pun dia berada." Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang
mendatangimu, sedangkan urusanmu berada di tangan mereka (pemimpin
mereka) dan mereka ingin merusak kekuasaanmu serta akan memorak-
morandakan jemaahmu, maka bunuhlah mereka." (H.R. Muslim)

e. Jarimah Riddah (Murtad) dan sanksinya


1. Pengertian Riddah
Riddah adalah kembali ke jalan asal atau kembalinya orang Islam yang berakal
dan dewasa pada kekafiran dengan kehendaknya sendiri. tanpa ada paksaan dari
orang lain. Secara etimologis, n'ddah berarti kembali dari sesuatu kepada sesuatu
yang lain, sedangkan menurut terminologi fiqh, n'ddah adalah keluarnya seseorang
(menjadi kafir) setelah dia memeluk Islam. Perbuatan tersebut dinamai riddah,
sedangkan pelakunya dinamai murtad atau orang yang keluar dari agama Islam.
Barang siapa murtad dari agama Islam, dia diminta untuk bertobat sebanyak tiga
kali. Jika tidak mau, dia harus dibunuh. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu
Abbasia bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa mengganti agamanya,
bunuhlah dia!" Dalam hadis lain, beliau bersabda, "Seorang muslim tidak boleh
dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga sebab, (karena) meninggalkan
agamanya dan memisahkan diri dari jemaah kaum muslimin."
Meminta agar orang yang murtad bertobat hukumnya wajib, sebelum menjatuhkan
hukuman mati. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Daruquthni dari Jabir, ia
berkata, “Seorang wanita yang bernama Ummu Ruman murtad dari agama Islam.
Mendengar itu, Rasulullah memerintahkan agar wanita itu diajak kembali ke
dalam ajaran Islam dengan baik-baik, jika tidak mau, ia harus dibunuh.
Sebagian ulama berpandangan bahwa penjatuhan hukuman mati ditangguhkan
selama tiga hari. Dalam masa itu, ia harus diminta terusmenerus agar kembali
masuk Islam. Hal ini sesuai dengan ucapan Umar tentang seorang laki-laki yang
dibunuh karena murtad, tetapi belum diberi masa tenggang tiga hari, ia berkata,
“Kenapa kalian tidak menahannya selama tiga hari lebih dahulu, memberinya
makan roti setiap hari, dan memintanya bertobat? Mungkin ia sadar dan kembali
ke jalan Allah. Akan tetapi, menurut pendapat yang lebih kuat dalam mazhab
Syafi'i, hukuman mati tidak perlu ditangguhkan hingga tiga hari, sesuai dengan
hadis yang diriwayatkan Bukhari (6525) dan Muslim (1733) tentang penugasan
Abu Musa Al-Asy'ari di daerah Yaman. Dalam penggalan hadis itu tertera, “Muaz
bin-Jabal datang menemui Abu Musa. Ketika ia sampai kepadanya, Abu Musa
melemparkan bantal, seraya berkata,"Duduklah", tiba-tiba Muaz melihat seorang
laki-laki yang diikat di tempat itu, dan ia bertanya, Ada apa ini?" Abu Musa
menjawab, "Ini adalah seorang Yahudi yang masuk Islam lalu kembali lagi
memeluk agama Yahudi. " "Duduklah!" mkasnya. Muaz menjawab, "Saya tidak
akan duduk sebelum orang ini di hukum mati! Ini adalah ketetapan Allah dan
Rasul-Nya." Ia mengulang ucapannya tiga kali, Abu Musa pun memerintahkan
agar orang itu dibunuh.
Orang murtad yang dieksekusi mati tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak
dikuburkan di pemakaman kaum muslim karena ia telah keluar dari kelompok
orang Islam. Allah SWT berfirman:
“.. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar)
dari agamamu, jika mereka sanggup” (QS. Al-Baqarah [2]: 21 7)
Orang yang meninggalkan shalat wajib terbagi menjadi dua. Orang yang
meninggalkannya karena berkeyakinan bahwa ia tidak wajib, hukum orang ini
sama dengan hukum orang yang murtad dari agama Islam. Oleh karena itu, ia
harus bertobat. Sebagai bukti tobatnya, ia harus shalat secara terang-terangan dan
mengumumkan bahwa ia telah meyakini kewajiban shalat. Apabila tidak bertobat,
ia harus dibunuh dan dihukum sebagai orang kafir. Ia tidak dimandikan, tidak
dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman kaum muslim.
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir, ia berkata,”Aku mendengar
Rasulullah bersabda,Yang membedakan antara seorang muslim dengan
kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat." Hadis ini khusus bagi
orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Meninggalkan
shalat karena malas dengan tetap berkeyakinan bahwa shalat itu wajib. Orang
seperti ini harus diminta bertobat dan shalat baik untuknya. Jika tidak, ia
dijatuhi hukuman mati berdasarkan hukuman had dan tetap dianggap gai muslim
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dan' Ibnu Umar bahwa Rasulullah
bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi
bahwa tiada ilah yang berhak disembah, selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka
mengenakan semua itu, nyawa dan harta mereka telah aman, kecuali berdasarkan
ketentuan hukum Islam, dan ganjaran amal mereka ada kepada Allah."
Hadis di atas menerangkan bahwa barang siapa yang telah mengucapkan
kalimat syahadat, dia harus dihukum mati jika meninggalkan shalat wajib, tetapi ia
tidak dihukum kafir. Hal ini dipertegas dalam hadis lain riwayat Abu Dawud
(1420) dari Ubadah bin Shamit, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,
'Ada lima waktu shalat yang Allah wajibkan bagi hamba-hamba-Nya. Barang
siapa mengerjakannya dengan tidak meremehkan dan melalaikan tata cara
pelaksanaannya, Allah berjanji akan memasukannya ke dalam surga. Barang
siapa yang tidak mengerjakannya, Allah tidak memiliki janji dengannya. Jika
berkehendak, Allah bisa mengazabnya, (atau jika Allah berkehendak bisa
mengampuninya) dan memasukannya ke surga ."
Dalam hadis itu diuraikan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena
malas tidak dihukum kafir, tepatnya pada sabda Rasulullah SAW, ”Jika
berkehendak, Allah bisa mengazabnya (atau mengampuninya) dan
memasukkannya ke surga."
Orang kafir tidak akan masuk surga. Oleh karena itu, hadis ini untuk kategori
orang yang meninggalkan shalat karena malas. Ketika meninggal, orang ini tetap
dimandikan, dikatani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum muslim
karena termasuk golongan kaum muslimin.
2. Sanksi Hukum Riddah
Dalam Islam, orang murtad dikenai hukuman berat sebab perbuatannya dapat
memorak-morandakan jemaah serta memancing perpecahan masyarakat. Oleh
karena itu, demi kelestarian jemaah dan mencegah perpecahan dalam jemaah,
pelakunya harus dihukum. Di samping itu, konsekuensi riddah adalah terputusnya
hubungan waris dan bubarnya perkawinan. Bahkan, gugurnya semua amal yang
telah diperbuat. Asas legalitas jarimah riddah dapat dilihat dalam ketentuan di
bawah ini:
"Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 217)
Rasulullah SAW menyatakan, “Barang siapa yang mengubah agamanya,
bunuhlah dia. " (H.R. Bukhari). Paksaan terhadap orang Islam untuk
mengucapkan kalimat kufur tidak bisa mengeluarkan dari agamanya (Islam)
sepanjang hatinya tetap teguh memegangi keimanan terhadap iman Islamnya.
Mengenai paksaan ini, Ammar bin Yasir juga telah pernah dipaksa Untuk
mengucapkan kalimat kufur. Ia ucapkan kalimat itu. Kemudian turunlah firman
Allah SWT:
ْ ‫ان َو ٰلَ ِك ْن َم ْن َش َر َح‬
َ ‫بِال ُك ْف ِر‬
‫ص • ْدرًا فَ َعلَ ْي ِه ْم‬ ْ ‫َم ْن َكفَ َر بِاهَّلل ِ ِم ْن بَ ْع ِد ِإي َمانِ ِه ِإاَّل َم ْن ُأ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم‬
ِ ‫ط َمِئ ٌّن بِاِإْل ي َم‬
ِ ‫ضبٌ ِمنَ هَّللا ِ َولَهُ ْم َع َذابٌ ع‬
‫َظي ٌم‬ َ ‫َغ‬
Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (ia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab
yang besar. (QS. An-Nahl [16]: 106)
Pada suatu ketika orang-orang kafir menangkap Ammar bin Yasir,
ayahnya, ibunya, Shuhaib, Bilal, Khabbab, dan Salim. Mereka disiksa oleh orang-
orang kafir. Samiyyah, ibu Ammar, diikat antara dua unta. Kemudian, di depannya
dipasang tombak, kepadanya dikatakan, “Engkau masuk Islam karena laki-
laki!" Setelah itu, ia dibunuh bersama suaminya. Pada saat itu pula, Ammar
dipaksa berikrar untuk masuk kekafiran, Ammar menuruti paksaan mereka.
Setelah peristiwa ini, Ammar minta keterangan kepada Rasulullah SAW. Rasul
bertanya,“Bagaimana keadaan hatimu?" Jawab Ammar, “Hatiku tetap teguh
memegangi keimanan terhadap agama Islam!" Rasulullah SAW. berkata, “Kalau
mereka kembali kepadamu, katakanlah seperti tadi!"
Orang Islam jika keluar dari agamanya adalah murtad. Hukum Allah masih
berlaku padanya. Akan tetapi, adakah riddah hanya terbatas kepada orang-orang
Islam yang keluar dari agamanya? Ataukah riddah mencakup nonmuslim yang
keluar dari agamanya dan pindah ke agama non-Islam? Orang kafir yang pindah
dari agamanya ke agama non-Islam dinilai menurut agama yang ditinggalkannya
dan itu tidak bisa dicegah. Karena ia pindah dari agama yang tidak benar ke agama
lain yang juga tidak benar. Perpindahan agama seperti ini tidak bisa disamakan
dengan perpindahan agama dari Islam ke agama lain karena sama dengan pindah
dari kebenaran ke tempat yang tidak benar. Allah SWT berfirman:
ِ ‫َو َم ْن يَ ْبت َِغ َغي َْر اِإْل ْساَل ِم ِدينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ْال َخ‬
َ‫اس ِرين‬
"Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali 'Imran [3]: 85)
Dalam hal ini Imam Syafi'i mempunyai dua pendapat.
1)        Apabila orang kafir pindah ke agama lain yang juga kafir, ia tidak dapat
diterima, kecuali masuk Islam atau dibunuh. Pendapat ini sesuai dengan salah satu
pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad.
2)        Apabila orang kafir pindah ke agama lain yang juga kafir, tetapi sepadan
kualitasnya lebih tinggi, kita setuju terhadap hal seperti ini. Apabila ia pindah ke
agama lain yang juga kafir, tetapi kualitasnya lebih rendah, kita tidak setuju
terhadap hal itu. Dengan demikian, jika seseorang pindah dari Yahudi ke Nasrani,
kita setuju. Karena Yahudi itu kualitasnya sama dengan Nasrani, sama-sama
agama samawi menurut asalnya, kemudian diubah oleh penganutnya.
Banyak terjadi riddah ditimbulkan oleh keragu-raguan dalam jiwa sehingga
mendesak iman untuk keluar. Walaupun demikian. orang yang berbuat riddah
diberi kesempatan untuk menghilangkan keraguannya. Ia harus diberi dalil-dalil
dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan keimanan ke dalam hatinya sehingga
ia yakin. Dengan demikian, menganjurkan kepadanya untuk bertobat dan kembali
ke dalam Islam termasuk hal yang wajib.
Menurut sebagian ulama, kesempatan yang diberikan kepada orang murtad
untuk menghilangkan keraguannya dan kembali lagi ke dalam Islam adalah tiga
hari. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa orang yang murtad hanya diberi
penjelasan dan pandangan secara berulang-ulang sehingga dapat diperkirakan
dengan mantap, apakah ia tetap murtad atau kembali ke Islam. Apabila ia tetap
murtad, ia dijatuhi had.
Ulama yang mengatakan diberi kesempatan tiga hari, berpegang pada tindakan
Umar, ketika datang seorang laki-laki dari Syam kepadanya. Umar bertanya,
'Adakah kabar dari daerah yang jauh?" Jawab laki-laki tersebut, 'Ada, yaitu kabar
seorang laki-laki bertindak murtad setelah ia beragama Islam!" Umar bertanya,
“Apa yang kau kerjakan?" Jawab laki-laki tersebut, “Dia kudekah' dan kubunuh. "
Umar bertanya,“Mengapa tidak kau penjarakan di rumah selama tiga hari; kau beri
makan roti setiap harinya dan kau anjurkan bertobat, mungkin ia akan mau dan
kembali ke agama Islam? Ya, Tuhan, sungguh aku tidak menyaksikan tindakan
laki-laki ini. Aku tidak menyuruhnya. Aku tidak setuju terhadap tindakan ini! Ya,
Tuhan, sungguh aku tidak ikut campur terhadap darah yang dialirkannya!" Ibarat
ini diriwayatkan oleh Imam Syafi'i.
Adapun ulama yang mempunyai pendapat kedua berpegang pada tindakan
Muaz, bahwa pada suatu ketika ia datang ke Yaman dan bertemu Abu Musa Al-
Asy'ari. Di samping Abu Musa ada seorang laki-laki yang terikat. Muaz bertanya,
‘Ada apa ini?” Jawab Abu Musa, “Laki-laki ini berasal dari Yahudi. Ia masuk
Islam lalu kembali lagi ke agama asalnya, yaitu Yahudi! "
Perlu diketahui bahwa laki-laki yang terikat itu telah dianjurkan bertobat
selama 20 malam atau hampir 20 malam sebelum Muaz datang. Muadz berkata,
”Aku tak mau duduk sehingga ia dibunuh. Bunuh itu putusan Rasulullah SAW.!"
Muaz mengulangi ucapannya tiga kali sehingga dibunuhlah laki-laki itu.
Apabila orang Islam bertindak murtad, terjadi perubahan berikut.
1)      Hubungan perkawinan
Jika suami atau istri murtad, putus hubungan perkawinannya karena riddahnya
salah satu dari suami istri merupakan hal yang mengharuskan pisah. Apabila salah
satu dari suami-istri yang murtad itu bertobat dan kembali lagi ke Islam, untuk
mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka harus memperbaharui
lagi akad nikah dan mahar.
2)      Hak waris
Orang murtad tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat
muslimnya karena orang murtad adalah orang yang tidak beragama. Jika ia tidak
beragama, tentu ia tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat
muslimnya. Apabila ia mati atau dibunuh, harta peninggalannya diambil alih oleh
para pewarisnya yang beragama Islam karena sejak ia murtad, ia telah dianggap
dan dihukum sebagai mayat. Ali pernah didatangi seorang laki-laki tua yang
asalnya beragama Nasrani, kemudian masuk agama Islam dan akhirnya kembali
lagi ke Nasrani. Ali berkata, “Mungkin kamu murtad hanya untuk mendapatkan
harta warisan dan setelah itu kamu kembali lagi ke dalam Islam?" Laki-laki tua itu
menjawab, “Tidak!" Ali berkata, atau mungkin kamu melamar seorang
perempuan, tetapi orang-orang tidak mau mengawinkanmu dengan perempuan itu.
Kemudian kamu murtad untuk dapat mengawininya, dan setelah itu kamu kembali
lagi ke dalam Islam?” Laki-laki tua itu menjawab, 'Aku tidak akan kembali ke
Islam sehingga aku menemui Almasih!" Laki-laki tua itu pun dipenggal lehernya.
Kemudian, harta peninggalannya diserahkan kepada anaknya yang beragama
Islam.
3)      Hak kewaliannya
Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap orang lain. Ia tak
boleh menjadi wali untuk anaknya. Dalam kitab Al-Maswa dijelaskan secara
ringkas bahwa orang yang mengingkari dan tidak mau mengakui agama Islam,
baik lahir atau batin, disebut kafir. Apabila ia mengakui agama Islam dalam mulut,
tapi hatinya ingkar, ia disebut munafik. Apabila ia mengakui agama Islam lahir
dan batin. tetapi dalam Islam ia menafsirkan ajaran agama yang telah ditetapkan
(secara pasti) dengan tafsiran yang berbeda dengan para sahabat, tabiin, dan
konsensus bersama, ia disebut zindiq.
Contohnya riddah Zindiq adalah seseorang yang mengakui bahwa Al-Quran
itu benar. Sesuatu yang terkandung di dalamnya -termasuk surga dan neraka-, juga
benar. Akan tetapi, surga yang disebut dalam Al-Quran ditafsirkan dengan
kemewahan yang terjadi disebabkan memiliki harta benda yang banyak. Neraka
ditafsirkan dengan kesengsaraan yang terjadi karena kemelaratan dan kemiskinan.
Dengan demikian, surga dan neraka tidak ada di akhirat. Surga dan neraka hanya
suatu perasaan senang dan sengsara. Orang yang punya tafsiran seperti ini
dinamakan Zindiq. Sebagaimana syara' telah menegakkan hukum bunuh sebagai
peringatan bagi orang murtad agar segera kembali ke Islam. Syara' . juga
menegakkan hukum bunuh yang merupakan peringatan bagi orang Zindiq agar
segera meninggalkan tafsirannya yang sesat dalam agama.
f. Jarimah Sariqah (pencuri) dan sanksinya
1. Pengertian Sariqah
Sariqah adalah bentuk mashdar dari kata saraqa-yasriqu-saraqan dan secara
etimologis berarti  mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-
sembunyi dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis definisi
sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli berikut.
1) Ali bin Muhammad Al-Jurjani.
Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong
tangan adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih
berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh
seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur
syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih
berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya
diancam hukuman potong tangan.
2)      Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi'i) .
Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) Secara sembunyi-
sembunyi dan secara istilah syara' adalah mengambil harta (orang lain) secara
sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa
digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.
Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa jenis dan modus operandi
Pentiurian kecil itu beragam. Selain itu, pengklasifikasian jarimah ini juga Penting
untuk menentukan jenis sanksi yang akan dijatuhkan. Selanjutnya, Abdul Qadir
Audah menjelaskan mengenai pencurian besar.
Adapun pencurian besar dilakukan dengan sepengetahuan korban, tetapi ia
tidak mengizinkan hal itu terjadi sehingga terjadi kekerasan. Kalau di dalamnya
tidak terdapat unsur kekerasan, disebut penjarahan, penjambretan, atau
perampasan; di mana unsur kerelaan pemilik harta tidak terpenuhi.
Jadi, jenis pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari tingkat
terendah sampai tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah penjarahan,
penjambretan, perampasan, dan perampokan.
b)      Dalil, Nisab Barang Curian, Dan Sanksi Terhadap Pencuri
Ulama menyatakan bahwa pencurian termasuk salah satu dari tujuh jenis
jarimah hudud. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 38
sebagai berikut.
ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
  Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Di dalam ayat ini Allah menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri
dan perempuan pencuri harus dipotong tangannya. Ulama telah sepakat dengan hal
ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian
dan tangan sebelah mana yang harus dipotong. Sehubungan dengan hal itu, Al-
Qurthubi mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.
Allah memulai ayat (tentang hukum potong tangan) dengan kata sebelum
kata yang merupakan kebalikan dari susunan ayat tentang zina yang nanti akan
kami jelaskan di bagian akhir bab. Sejak zaman jahiliah, pencuri telah diancam
dengan hukuman potong tangan. Orang pertama yang memberi keputusan
hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan
untuk memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Laki-laki pencuri pertama yang
tangannya dipotong oleh Rasulullah adalah Al-hiyar bin Adi bin Naufal bin Abdi
Manaf. Perempuan pencuri pertama yang dihukum potong tangan adalah Murrah
binti Sufyan bin Abdi Al-Asad dari Bani Mahzum. Abu Bakar pernah memotong
tangan kanan seorang pencuri kalung dan Umar memotong tangan Ibnu Samurah,
saudara Abdurrahman bin Samurah.
Hal ini telah disepakati bersama. Sepintas ayat ini bersifat Umum, setiap
pencuri harus dihukum potong tangan. Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab
terdapat sabda Rasulullah , Tangan pencuri akan dipotong jika mencari sesuatu
yang harganya seperempat dinar atau lebih. Jadi jelaslah bahwa hukuman ini
hanya berlaku pada sebagian pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari
seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin
AlKhaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-
Laits,Al-Syafi'i, dan Abu Saur. Imam Malik berkata, “Tangan pencuri dipotong
juga karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri sesuatu
seharga dua dirham yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya;
tangan pencuri tersebut tidak boleh dipotong.”
Dengan demikian, ayat tentang potong tangan harus dihubungkan dengan hadis
Nabi. Berikut ini versi lengkap dari hadis tersebut.
Dari Aisyah ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tangan
pencuri akan dipotong jika mencuri seharga seperempat dinar atau lebih.” (HR.
Muttafaq 'Alaih) “Tangan pencuri dipotang karena mencuri seperempat dinar
atau lebih”  (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Dan Aisyah, “Potonglah tangan
pencuri yang mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong pada pencurian
yang kurang dari itu.” (HR. Ahmad). Walaupun dalam hadis dinyatakan secara
jelas bahwa nisab barang curian yang tangan pelakunya dapat dipotong adalah
seperempat dinar atau tiga dirham, ulama masih berbeda pendapat. Mengenai hal
ini, Al-San'ani berkomentar: Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai nisab.
Setelah mereka sepakat mensyaratkan (harus mencapai nisab) bagi pencuri yang
dapat dihukum potong tangan, muncul keberagaman pendapat hingga berjumlah
dua puluh.
Selanjutnya, Al-Qurthubi mengemukakan pendapat Imam Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Abu Hanifah dan dua orang
sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Al-Syaibani) berpendapat
bahwa tangan pencuri tidak harus dipotong, kecuali ia mencuri sesuatu senilai
sepuluh dirham, baik berupa takaran, uang dinar, maupun timbangan. Selain itu,
tangan pencuri juga tidak harus dipotong sebelum ia mengeluarkan barang
berharga dari kepemilikan seseorang. Alasan mereka adalah hadis Ibnu Abbas
yang mengatakan, “Perisai yang pencurinya dihukum potong tangan oleh Nabi
SAW adalah perisai yang senilai sepuluh dirham.” Di samping itu, hadis yang
diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,
“Harga sebuah perisai pada saat itu sebesar sepuluh dirham.” (Hadis ini di-
takhrij oleh Al-Daraquthni dan lain-lain).
Dengan demikian, pendapat para ulama mengenai nisab barang curian
setidaknya terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ulama Hijaz, Imam Al-Syafi'i,
dan lain-lain. Kedua, ulama Irak, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain. Dalam
masalah ini Al-San'ani tampaknya cenderung kepada kelompok  pertama yang
menyatakan bahwa nisabnya seperempat dinar atau tiga dirham, bukan sepuluh
dirham sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan, Sehubungan
dengan itu, Al-San'ani berkomentar: Disebutkan didalam kitab Sahih (Al-Bukhci'ri
dan Muslim) dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW memotong tangan pencuri sebuah
perisai. Sekalipun informasi ini terdapat di dalam kedua kitab Sahih harga perisai
tersebut adalah tiga dirham. Riwayat tentang hal ini bertentangan dengan
riwayatriwayat lain di dalam kedua kitab Sahih. Oleh karena itu, hukumnya
menjadi wajib berhati-hati mengenai diperbolehkannya memotong anggota tubuh
orang yang dihormati, kecuali dengan cara yang dibenarkan. Selain itu, wajib
berpegangan pada pendapat yang meyakinkan dan inilah pendapat yang mayoritas.
Selanjutnya, Syamsul Haq Azim Abadi memberikan komentar mengenai nisab
barang curian. Para ulama berbeda pendapat hingga mencapai dua puluh
pendapatsetelah mereka mengajukan syarat mengenai nisab hukum potong tangan.
Ada dua pendapat yang didasarkan atas dalil. Pertama, nisab barang curian yang
tangan pelakunya harus dipotong adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Ini
pendapat fuqaha Hijaz, Al-Syafi'i, dan lain-lain. Kedua, nisabnya sepuluh dirham.
Ini pendapat ulama Irak. Adapun pendapat yang sahih (kuat) di antara keduanya
adalah pendapat pertama. Inilah kesimpulan penulis kitab Subul Al-Salam (Al-
San'ani).
Sementara itu, Al-Syaukani berpendapat bahwa hadis tentang nisab yang
dijadikan hujjah bagi Abu Hanifah dan lain-lain berasal dari Ibnu Abbas dan Amr
bin Al-Ash yang status hadisnya adalah mu'an'an. Semua hadis itu berasal dari
Muhammad bin Ishaq dan menjadi tidak sah apabila bertentangan dengan hadis
yang terdapat di dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Berikut ini
penjelasan Al-Syaukani mengenai hal tersebut.
Terdapat riwayat serupa (yang menguatkan pendapat Al-Syafi’i dan ulama
Hijaz) dari Ibnu Al-Arabi yang juga didukung oleh Sufyan (Ibnu Uyainah) dengan
kejelasannya. Akan tetapi, riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas dan Abdullah bin Amr
bin Al-Ash dibantah karena seluruh rangkaian sanadnya berasal dari Muhammad
bin Ishaq yang berstatus mu'an'an. Riwayat-riwayat tersebut dianggap tidak sah
karena bertentangan dengan kitab Sahih (Al-Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Umar
dan Aisyah. Pendapat serupa dikemukakan oleh Imam Al-Nawawi dalam Syarh
Sahih Muslimnya.
Pendapat yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh Al-Syafi'i dan ulama-
ulama yang sependapat dengannya karena Nabi SAW menyebutkan tentang nisab
sebesar seperempat dinar dalam beberapa hadis dengan berbagai redaksinya. Oleh
karena itu, semua informasi yang berbeda dengan ukuran ini tidak dapat diterima,
sebab bertentangan dengan hadis-hadis tersebut.
Adapun mengenai nilai tukar dinar terhadap rupiah, harga jual satu gram emas
per 27 Agustus 2007 adalah 199.500 rupiah dan harga belinya adalah 202.000
rupiah. Selanjutnya, diambil rata-rata per gram sehingga menjadi 200.000 rupiah
dan seperempatnya adalah 50.000 rupiah. Angka tersebut tidaklah fantastis jika
tangan si pencuri harus dipotong. Untuk tahun 2013 ini harga emas per gram lebih
kurang 600.000 rupiah. Seperempatnya adalah 200.000 rupiah. Hal sebaliknya
dikemukakan oleh Shalih Al-Utsaimin. Ia berpendapat: Riwayat yang
dikemukakan oleh pengarang sudah sangat jelas. Tangan pencuri harus dipotong
jika mencuri seperempat dinar atau lebih. Jatuhkan sanksi potong tangan karena
mencuri seperempat dinar dan batalkan sanksi itu kalau yang dicuri kurang dari
seperempat dinar. Hal ini sangat jelas.
Selanjutnya, kalau ada yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW
memberlakukan hukum potong tangan karena mencuri seperempat dinar dinilai
besar. Saat itu harga seekor kambing adalah satu dinar, sedangkan untuk saat ini
seperempat dinar nilainya sedikit sekali. Jawabannya bukan, bukan begitu.
Pemikiran seperti ini tidak dapat diterima. Sebab sesuatu yang telah ditetapkan
oleh syariat harus diambil begitu saja. Padanannya adalah zakat unta pada zaman
Rasulullah SAW sebanyak dua ekor kambing atau dua puluh dirham. Saat ini
kalau diminta mengeluarkan zakat sebanyak beberapa dirham, maka kita akan
memberikan dua puluh dirham. Dengan melihat paparan Al-Utsaimin, dapat
dimengerti bahwa tidak terlalu penting untuk mengontekstualisasikan ajaran Islam
dari sisi angka. Menurutnya yang terpenting adalah menerima sepenuhnya ajaran
Islam tanpa harus mempertanyakan lebih lanjut, demikian, hal yang menarik
adalah mengenai zakat. Orang tidak begitu mempermasalahkan angka dua puluh
dirham atau dua ekor kambing. Akan tetapi jika menyangkut nisab barang curian,
orang cenderung meributkannya. Sementara itu ulama kharismatik Mesir, Syaikh
Mutawalli Al-Sya'rawi,berpandangan sebagai berikut.
Bagaimana kita memberi nilai angka seperempat dinar untuk saat ini? Kalau
seperempat dinar tidak cukup untuk hidup, maka wajib menaikkan nilai nisab
tersebut sampai pada nilai tertentu yang dinilai cukup untuk membiayai kebutuhan
hidup. Dinar pada zaman dahulu berupa emas sehingga angka seperempat nilainya
sangat tinggi. Dulu harga satu gram emas sama dengan 790,5 qursy, tetapi
sekarang harga per gram emas sama dengan dua ratus tujuh puluh pound Mesir.
Terkadang ada seseorang yang terpaksa mencuri karena memang sangat butuh atau
kelaparan. Oleh karena itu, syariat Islam menentukan sebuah ukuran yang tidak
melebihi keperluan untuk keberlangsungan hidup pelaku dan orang yang di bawah
tanggungannya, yaitu berupa dirham. Mencuri satu dirham tidak dikenai hukuman
had seakan-akan tidak berdosa. Demikian itu ketika cara-cara yang disyariatkan
dilaksanakan untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Kita juga mengetahui bahwa
Rasulullah SAW pernah memberikan satu dirham kepada seseorang, lalu bersabda,
“Belilah makanan untukmu dan keluargamu.” Satu dirham seperti yang kami
katakanpada saat itu cukup (banyak). Satu dirham merupakan bagian terkecil dari
uang senilai dua belas dinar. Jadi, seperempat dinar sama dengan tiga dirham. Satu
dirham pada saat sekarang ini sama dengan dua puluh pound Mesir.
Sebagai seorang ulama besar kharismatik yang sangat populer di Mesir. Al-
Sya'rawi tampak lebih dinamis dibandingkan dengan Shalih Al-Utsaimin Hal ini
terlihat dari cara Al-Sya'rawi menjelaskan konsep seperempat dinar yang nilainya
sama dengan tiga dirham dan bahkan ia mencoba mengontekstualisasikan
persoalan ini ke zaman sekarang. Memang masalah ini harus dipahami tidak hanya
melalui pendekatan ekonomis-matematis, tetapi juga harus melibatkan aspek
sosiologis-historis. Artinya, makna nilai yang seperempat dinar pada zaman Nabi
SAW harus dilihat juga dari sisi kondisi ekonomi ketika itu. Hal seperti ini penting
dilakukan mengingat nilai mata uang sangat fluktuatif. Mengenai nilai yang
diajukan Al-Sya'rawi, menurut penulis, juga tidak fantastis. Ia menyebutkan satu
dirham sama dengan dua puluh pound Mesir. ]adi, nisab barang curian yang sudah
wajib dipotong tangannya hanya sekitar 20 X 3 = 60 pound Mesir.
Untuk dapat mengetahui berapa nilai tiga dirham dalam kurs rupiah, harus
diukur dengan dolar Amerika Serikat. Satu dolar Amerika Serikat sama dengan 5,7
pound Mesir. Dengan demikian, tiga puluh pound Mesir sama dengan 10,52 dolar
Amerika Serikat. Jika satu dolar Amerika Serikat sama dengan 9500 rupiah, maka
10,52 dolar Amerika Serikat sama dengan 99.940 rupiah dan dapat dibulatkan
menjadi 100.000 rupiah. Inilah perkiraan seperempat dinar atau tiga dirham, yaitu
100.000 rupiah. Di samping persoalan nisab barang curian sebagai penjabaran dari
tafsif kalimat persoalan lain yang juga diperdebatkan oleh ulama adalah penafsiran
kata  kedua tangan pencuri (baik laki-laki maupun perempuan). Dalam
menafsirkan makna ini, Muhammad Ali Al-Sabuni berpendapat sebagai berikut.
Kandungan hukum kelima adalah batas pemotongan tangan pencuri. Firman Allah
yang menunjukkan sanksi potong tangan dalam pencurian hukumnya wajib.
Fuqaha sepakat bahwa tangan yang harus dipotong adalah tangan kanan. Hal ini
didasarkan atas bacaan lbnu Mas'ud yakni (potonglah tangan kanan keduanya).
Kemudian ulama berselisih pendapat mengenai batasan makna tangan. Fuqaha
berpendapat bahwa yang dipotong itu sebatas pergelangan tangan, bukan sebatas
siku atau pundak. Namun kelompok Al-khawarij berpendapat, hingga pundak.
Sementara itu, kelompok lain memahami cukup sampai bagian jari saja.
Perbedaan pendapat tentang batasan tangan ini terjadi karena semua batasan
yang mereka sebutkan termasuk ke dalam cakupan makna  tangan; baik jari,
pergelangan, siku, maupun sampai bagian pundak. Selanjutnya mengenai
prosedur, Al-Qurthubi menjelaskan sebagai berikut.
Tidak diperselisihkan (oleh ulama) bahwa tangan kananlah yang pertama kali
harus dipotong. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat jika pencuri itu mencuri lagi.
Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Al-Syafi'i, Abu Tsaur, dan lain-lain
berpendapat dipotong kaki kirinya. Kemudian untuk ketiga kalinya dipotong
tangan kirinya. Kemudian untuk keempat kalinya dipotong kaki kanannya.
Kemudian untuk kelima kalinya (karena kedua tangan dan kaki telah buntung)
maka dihukum ta’zir dan ditawan. Syariat Islam terkesan sangat keras, Islam juga
mengedepankan aspek yuridis formal dan memperhatikan hak-hak terdakwa.
Untuk mengeksekusi pelaku, diperhatikan terlebih dahulu syarat dan rukun sebuah
jarimah. Berkaitan dengan masalah perlindungan hak terdakwa, Rasulullah
memberikan saran setelah tangan pencuri dipotong dlberikan layanan perawatan
agar tidak mengalami infeksi. Dalam hal ini, Ibnu Al-Munzir seperti dikutip oleh
Al-Qurthubi, berkata: Ibnu Al-Munzir berkata, “Kami meriwayatkan dari Nabi
SAWbahwa beliau pernah memerintahkan agar memotong tangan seorang
pencuri seraya berkata, 'Panasilah tangan yang telah dipotong itu.'" Sementara
itu, Al-Qurthubi berkata bahwa sanad hadis ini dipertanyakan. Meskipun
demikian, sekelompok besar ulama, antara lain Al-Syafi'i, Abu Tsaur, dan lain-
lain menganggap bahwa dipanasinya tangan yang telah dipotong itu sebagai
suatu hal yang baik dan dapat membantu proses penyembuhan agar tidak
meninggal (karena darahnya terus mengalir) .
Dari pernyataan Ibnu Al-Mundzir yang dikutip oleh Al-Qurthubi di atas, dapat
diketahui bahwa sekalipun sanksi tegas diberlakukan kepada pencuri, haknya tetap
diperhatikan. Memang kalau tidak dipahami secara baik maksud dipanasinya
tangan yang telah dipotong tentu saja akan terkesan sangat keras, bahkan
mengerikan. Sudah dipotong masih juga dipanasi. Adapun kata  membakar,
Tangan yang telah dipotong itu dipanasi agar darah yang mengalir deras dapat
segera berhenti sehingga tidak terinfeksi. Menurut penulis, para dokter ahli bedah
memiliki andil yang sangat besar dalam masalah ini. Mereka dapat menemukan
cara yang lebih baik untuk mengatasinya tanpa mengubah syariat
c)      Syarat Dan Rukun Jarimah Sariqah
Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek
penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini Shalih
Sa’id Al-Haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada'
mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukuman ini, yaitu
sebagai berikut.
a.   Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya sedang tidur, anak kecil,
orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.
b.   Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup.
Contohnya adalah kasus seorang hamba sahaya milik Hatib bin Abi Balta'ah yang
mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan
kepada Umar bin Al-Khaththab. Namun, Umar justru membebaskan pelaku karena
ia terpaksa melakukannya.
c.   Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak
mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.
d.  Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang dicuri itu
menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.
e.   Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu,
Rasulullah tidak memberlakukan hukuman potong tangan. Meskipun demikian,
jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau
dipenjara. Itulah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memberlakukan hukuman
potong tangan. Di samping itu, hukuman ini baru dapat dilaksanakan setelah
memenuhi beberapa rukun. Abdul Qadir Audah mengemukakan rukun-rukun
tersebut sebagai berikut.
Kami mendefinisikan sariqah sebagaimana uraian di atas bahwa sariqah ialah
mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi. Dari definisi ini
dapat diketahui bahwa rukun sariqah ada empat, yaitu mengambil secara
sembunyi-sembunyi, barang yang diambil berupa harta, harta yang diambil
tersebut milik orang lain, dan melawan hukum.
1)      Mengambil Secara Sembunyi-sembunyi
Proses pengambilan ini harus sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya
pelaku yang berada di dekat barang curian. Perihal mengambil barang orang lain
ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari
tempat penyimpanan. Kedua, barang curian tersebut dikeluarkan dari pemeliharaan
pihak korban. Ketiga, barang curian berpindah tangan dari pihak korban kepada
pihak pelaku. Kalau syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka proses pencurian dinilai
tidak sempurna dan hukumannya berupa ta’zir, bukan potong tangan.
2)      Barang yang Diambil Berupa Harta
Konsep harta dalam Islam tampaknya terjadi pergeseran makna antara
sebelum dan sesudah dihapuskannya perbudakan oleh PBB. Dulu pada saat
perbudakan masih eksis, hamba sahaya laki-laki atau perempuan dianggap sebagai
harta kekayaan sehingga orang yang mencuri budak, dapat dikenai sanksi hukum
potong tangan. Namun sejak adanya kesepakatan PBB tentang dihapuskannya
perbudakan, hamba sahaya tidak lagi dianggap sebagai harta. Akibatnya,
penculikan atau perdagangan manusia tidak masuk ke dalam lingkup pembahasan
mengenai pencurian. Namun, kini human trafficking (perdagangan manusia)
menjadi salah satu bentuk tindak pidana modern yang harus dicermati dan
ditangani dengan baik.
Selanjutnya, agar pelaku pencurian dapat dikenai hukuman potong tangan, harus
memenuhi beberapa persyaratan seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah berikut. Harta yang dicuri harus memenuhi beberapa syarat agar pelaku
dapat dihukum potong tangan. Syarat-syarat dimaksud adalah (1) berupa harta
yang bergerak, (2) berupa benda berharga, (3) disimpan di tempat penyimpanan,
dan (4) harus mencapai nisab.
Perihal harta yang dicuri, yaitu berupa benda berharga dan mencapai nisab,
penulis telah mengemukakannya. Adapun perihal harta yang berupa
benda  bergerak dan disimpan di tempat penyimpanan, dijelaskan oleh Abdul
Qadir Audah. Menurutnya, harta yang berupa benda bergerak adalah benda yang
memungkinkan untuk dipindahtangankan dan tidak harus berupa benda yang
secara fisik dapat dilihat mata. Oleh karena itu, seseorang yang mencuri aliran
listrik atau pulsa telepon dianggap sebagai pencuri karena benda benda tersebut
walaupun tidak kasat mata, tetap bernilai nominal dan dapat diidentifikasi
harganya. Sementara itu perihal tempat penyimpanan, Abdul Qadir Audah berkata:
“Sesungguhnya unsur penting dalam jarimah pencurian adalah mengambil
(sesuatu) dengan cara sembunyi-sembunyi, sedangkan mengambil (sesuatu) bukan
dari tempat penyimpanannya tidak perlu sembunyi-sembunyi sehingga unsur
terpenting dalam pencurian tidak terealisasi apabila tidak diambil dari tempat
penyimpanannya.”
3)       Harta yang Diambil Adalah Milik Orang Lain
Hal ini penting, karena kalau ternyata harta yang diambil itu milik pelaku,
sekalipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tetap tidak dapat disebut
pencurian. Demikian pula kalau harta tersebut menjadi milik bersama antara
pelaku dan korban, juga tidak termasuk pencurian. Hal serupa juga berlaku antara
pelaku dan korban yang memiliki hubungan kekerabatan, seperti ayah yang
mengambil harta anak atau --menurut Imam Al-Syaffi dan Ahmad-sebaliknya.
Alasannya adalah hadis berikut ini.
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya ada
seseorang yang mendatangi Nabi SAW untuk memperkarakan ayahnya. Ia berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia menginginkan hartaku. ” Rasulullah SAW
bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayah kamu.” (HR Ahmad dan Ibn
Majah)
Hadis lain yang dijadikan alasan bahwa seseorang ayah boleh mengambil
dan memanfaatkan harta kekayaan anak adalah sebagai berikut. “Dari Amr bin
Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya; bahwasanya ada seorang Badui yang
mendatangi Nabi SAW seraya berkata, “Sungguh saya memiliki harta dan kedua
orangtua, tetapi mereka ingin menguasai harta saya ”Beliau bersabda,
“Sesungguhnya kamu dan hartamu adalah milik orangtuamu. Sungguh anak-anak
kalian termasuk usaha terbaik kalian, maka makanlah dari hasil usaha anak-anak
kalian. ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadis di atas, seseorang yang mengambil harta milik anak
kandungnya tidak dihukum potong tangan karena anak/anak dan hartanya
dianggap milik ayahnya. Demikian pula kalau kebetulan sang anak tidak memiliki
harta, tetapi memiliki penghasilan tetap; ia wajib memberikan hasil usahanya dan
menafkahi ayahnya jika memang sang ayah membutuhkan dan tidak ada yang
menanggung biaya hidupnya. Mengenai hal ini, Syamsul Haq Azim Abadi
mengatakan: Rasulullah bersabda kepada seseorang, “Kamu dan hartamu adalah
milik orangtuamu.” Artinya, apabila orangtuamu menginginkan hartamu, ia dapat
mengambil harta itu darimu sebatas keperluannya seperti halnya mengambil dari
harta miliknya sendiri. Apabila ternyata kamu tidak memiliki harta, tetapi kamu
mempunyai usaha; kamu wajib berupaya dan memberikan nafkah kepadanya.
Dari pernyataan Syamsul Haq Azim Abadi ini dapat diketahui bahwa Islam
sangat menghargai jasa orangtua dalam mendidik anak. Oleh karena itu, tidak
layak kalau ada seorang anak yang memperkarakan ayah kandungnya di depan
hakim, lantaran tidak senang kalau ayahnya meminta harta sang anak.
Lain halnya Al-Mawardi yang memahami hadis tersebut sebagai sebuah
gambaran kedekatan hubungan antara anak dan ayah yang tidak hanya dari sisi
nasab,tetapi juga dari sisi kepemilikan. Mengenai hal ini ia berpendapat:
Rasulullah bersabda, “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu. " Hadis ini
mencegah hukuman potong tangan bagi ayah yang mencuri harta anaknya. Sebab,
antara ayah dan anak terdapat syubhat dalam masalah kepemilikan harta, yaitu
adanya kewajiban memberikan nafkah oleh ayah kepada anak karena adanya
konsep perwalian ayah atas harta anaknya. Oleh karena itu, hukuman potong
tangan antara keduanya harus dibatalkan. Alasan lain karena eksistensi
kebersamaan antara ayah dan anak ini berlaku seperti pada dirinya, artinya
seseorang tidak akan dihukum potong tangan karena mengambil harta miliknya
sendiri. Kemudian apabila dibandingkan antara harta yang dicuri dan anak, maka
anak jauh lebih mulia dan lebih dicintai daripada sekadar harta, maka tidak
mungkin berlaku hukuman potong tangan antara ayah dan anak
kandungnya. Dengan demikian, ayah yang mengambil harta anaknya tidak
dinamakan mencuri, karena'di dalamnya terdapat unsur syubhat. Adapun syubhat
tidak boleh ada ketika menjatuhkan hudud. Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW.
berikut. “Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hindarilah
hudud dari kaum muslimin semampu kalian. Kalau ada kemungkinan jalan keluar
(untuk bebas) maka bebaskanlah ia, sebab seorang imam (hakim) kalau ia salah
dalam memaafkan (membebaskan tersangka) jauh lebih baik daripada salah
dalam menjatuhkan sanksi. ” (HR. Al-Tirmidzi)
4)      Melawan Hukum
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah berpendapat mengambil secara
sembunyi-sembunyi tidak dapat dianggap sebagai mencuri kecuali di dalam benak
si pelaku terdapat unsur melawan hukum. Sikap melawan hukum ini dapat terjadi
pada saat pelaku mengambil harta orang lain, padahal ia mengetahui bahwa
perbuatan itu diharamkan. Hal ini ia lakukan untuk memiliki harta tersebut bagi
dirinya (unsur memperkaya diri) tanpa sepengetahuan dan tidak diizinkan oleh
pihak korban. Oleh sebab itu seseorang yang mengambil sesuatu dengan
keyakinan bahwa hal itu, diperbolehkan atau hal itu akan dibiarkan (tidak akan
dituntut) maka ia tidak akan dihukum karena tidak terdapat unsur melawan hukum,
sebab ia meyakini bahwa barang tersebut boleh diambil. Demikian pula kalau ada
seseorang yang mengambil suatu barang milik orang lain bukan dengan niat untuk
memilikinya, melainkan memakai dan akan dikembalikannya atau ia
mengambilnya hanya berpura-pura atau ia meyakini bahwa pihak korban dapat
menerimanya maka semuanya itu tidak dapat disebut sebagai pencurian, karena
tidak ada unsur melawan hukum.
Pencurian masuk ke dalam kategori melawan hukum kalau dilakukan
untuk memiliki barang yang dicurinya. Menurut Abdul Qadir Audah kalau tujuan
mengambil harta tersebut bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain dan
diambil agar lenyap dari tempatnya maka tidak termasuk pencurian, tetapi pelaku
hanya dianggap menggelapkan sesuatu, secara jelas ia berkata: Disebut sebagai
tindak pidana pencurian pada saat pelaku mengambil harta milik orang lain itu
harus dengan niat untuk memilikinya. Oleh sebab itu, seseorang yang mengambil
sesuatu untuk orang lain dan menggelapkannya dari tempatnya tidak dapat
dianggap sebagai pencurian, tetapi hanya sebatas menggelapkan sesuatu.
Berbeda dari Abdul Qadir Audah yang menyatakan rukun pencurian ada
empat, Imam Al-Nawawi dalam Raudah Al-thalibin mengemukakan rukun
pencurian ada enam, yaitu (1) harta yang dicuri mencapai nisab; (2) harta yang
dicuri bukan milik pelaku; (3) harta yang dicuri memiliki nilai nominal; (4) harta
dimiliki korban secara sempurna, bukan harta bersama; (5) tidak terdapat unsur
syubhat dari sisi kepemilikan antara pelaku dan korban; dan (6) harta disimpan di
tempat penyimpanan.
Imam Al-Nawawi hanya menyoroti harta yang dicuri. Mengenai cara
pengambilan, apakah sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, tidak dijelaskan;
bahkan pada awal pembahasan, tidak terdapat pengertian dan batasan pencurian.
Di samping itu, rukun melawan hukum juga tidak dijelaskan. Hal ini dapat
dipahami bahwa ulama-ulama klasik, seperti Al-Nawawi, belum terpengaruh oleh
konsep ilmu hukum pidana modern, sebagaimana yang dialami oleh Abdul Qadir
Audah yang berkebangsaan Mesir dan hidup setelah terjadi interaksi intensif
dengan Prancis akibat kolonialisasi.
Dari uraian mengenai jarimah sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa
untuk dapat memberlakukan hukuman potong tangan harus diteliti terlebih dahulu
syarat dan rukunnya. Apabila salah satu syarat atau rukun tidak terpenuhi, maka
hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan kepada hukum ta'zir.

g. Jarimah Hirabah (Perampok) dan sanksinya


1. Perbandingan Antara Hirabah Dan Pencurian
Seperti telah dikemukakan dalam uraian yang lalu, hirabah atau perampokan dapat
digolongkan kepada tindak pidana pencurian, tetapi bukan dalam arti hakiki,
melainkan dalam arti majazi. Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta
milik orang lain secara diam-diam, sedangkan perampokan adalah pengambilan
secara terang-terangan dan kekerasan. Hanya saja dalam perampokan juga terdapat
unsur diam-diam atau sembunyi-sembunyi jika dinisbahkan kepada penguasa atau
petugas keamanan. Itulah sebabnya hirabah (perampokan) diistilahkan dengan
sirqah kubra atau pencurian berat, untuk membedakan dengan sirqah sughra atau
pencurian. Di samping sirqah kubra dan hirabah, istilah lain yang digunakan untuk
jatimah ini adalah qath’u ath-thariq; seperti yang digunakan oleh Hanafiyah. Hal
ini karena tindak pidana perampokan selalu diawali dengan memotong jalan orang
yang lewat. Dalam pembahasan tentang jarimah hirabah ini, akan dikemukakan
beberapa hal yaitu sebagai berikut: a. Pengertian atau definisi hirabah, b. Unsur
dan bentuk-bentuk jarimah hirabah, c. Pelaku hirabah, d. Syaratsyarat hirabah, e.
Pembuktian untuk jarimah hirabah, f. Hukuman atau sanksi hirabah.
1)      Pengertian Hirabah
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama yang apabila
dilihat redaksinya terdapat beberapa perbedaan. Namun, sebenarnya inti
persoalannya tetap sama. imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi
yang sama dengan definisi yang dikemukakan oleh Hanafiyah, sebagaimana telah
disebutkan di atas. Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di
atas, dapat dikemukakan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah
keluarnya sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan
terang-terangan dan kekerasan, apakah dalam realisasinya pengambilan tersebut
terjadi atau tidak. Hanya definisi Imam Malik dan Zhahiriyah yang sedikit
berbeda. Imam Malik dalam mendefinisikan perampokan lebih mementingkan
kekuatan otak, taktik, dan strategi dibandingkan dengan kekuatan fisik. Sedangkan
definisi Zhahiriyah sangat  umum, sehingga pencurian pun dapat dimasukkan ke
dalam tindak pidana perampokan. Meskipun demikian, menurut mereka
(Zhahiriyah) apabila tindak pidana pencurian dilakukan dengan sembunyi-
sembunyi, atau kemudian ia berzina (memperkosa), atau membunuh maka
hukumannya bukan sebagai perampokan, melainkan dihukum sebagai pencuri,
atau pezina, atau pembunuh.
2)      Rukun Dan Bentuk-Bentuk Hirabah
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur jarimah
hirabah itu adalah ke luar untuk mengambil harta, baik dalam kenyataannya pelaku
tersebut mengambil harta atau tidak. Di sini terlihat dengan jelas perbedaan antara
perampokan dengan pencurian, karena unsur pencurian adalah mengambil harta itu
sendiri, sedangkan perampokan adalah tindakan ke luar dengan tujuan mengambil
harta, yang dalam pelaksanaannya mungkin tidak mengambil harta, melainkan
tindakan lain, seperti melakukan intimidasi atau membunuh orang. Di samping itu
dari defmisi-defmisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat diketahui
bahwa bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada empat macam, yaitu
sebagai berikut.
a.       Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya
melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh.
b.      Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil
harta tanpa membunuh.
c.       Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan
pembunuhan tanpa mengambil harta.  Keluar untuk mengambil harta secara
kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan. Apabila
seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana Perampokan
tersebut maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan
mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan
tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi, dan tidak
mengambil harta, serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap
sebagai perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan, dan
termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta'zir.
3)      Pelaku Hirabah dan Syarat-Syaratnya
Hirabah atau perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok, maupun
perorangan (individu) yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Untuk
menunjukkan kemampuan ini, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus memiliki dan menggunakan senjata
atau alat lain yang disamakan dengan senjata, seperti tongkat, kayu, atau batu.
Akan tetapi Imam Malik, Imam Syafi'i dan Zhahiriyah, serta Syi’ ah Zaidiyah
tidak mensyaratkan adanya senjata, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan
dan kemampuan fisik.
Bahkan Imam Malik mencukupkan dengan digunakannya tipu daya, taktik atau
strategi, tanpa penggunaan kekuatan, atau dalam keadaan tertentu dengan
menggunakan anggota badan, seperti tangan dan kaki.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pelaku jarimah hirabah ini. Menurut
Hanafiyah, pelaku hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung
atau tidak langsung perbuatan tersebut. Dengan demikian, menurut mereka
(Hanafiyah) orang yang ikut terjun secara langsung dalam mengambil harta,
membunuh, atau mengintimidasi termasuk pelaku perampokan. Demikian pula
orang yang ikut memberikan bantuan, baik dengan cara permufakatan, suruhan,
maupun pertolongan, juga termasuk pelaku perampokan. Pendapat Hanaiiyah ini
disepakati oleh Imam Malik, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah. Akan tetapi, Imam
Syafl’i berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku perampokan adalah
orang yang secara langsung melakukan perampokan. Sedangkan orang yang tidak
ikut terjun melakukan perbuatan, walaupun ia hadir di tempat kejadian, tidak
dianggap sebagai pelaku perampokan, melainkan hanya sebagai pembantu yang
diancam dengan hukuman ta’zir.
Untuk dapat dikenakan hukuman had, pelaku hirabah disyaratkan harus
mukalaf, yaitu balig dan berakal. Hal ini merupakan persyaratan umum yang
berlaku untuk semua jarimah, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Iinam
Ahmad danAbu Dawud. Dari 'Aisyah ra. ia berkata: ”Telah bersabda Rasulullah
saw.: Dihapuskann ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia
bangun, dari orang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia
dewasa. (Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Majah, dan Hakim). Di
samping itu, Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan pelaku hirabah harus laki-laki
dan tidak boleh perempuan. Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku
hirabah terdapat seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman had. Akan
tetapi, Imam Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam
tindak pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta
dalam melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah,
perempuan yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan
hukuman. Dengan demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku laki-laki
dan perempuan, seperti halnya dalam jarimah hudud yang lain. Persyaratan lain
yang menyangkut jarimah hirabah ini adalah persyaratan tentang harta yang
diambil.
Pada prinsipnya persyaratan untuk harta dalam jarimah hirabah, sama dengan
persyaratan yang berlaku dalam jarimah pencurian. Secara global, syarat tersebut
adalah barang yang diambil harus tersimpan (muhraz), mutaqawwim, milik orang
lain, tidak ada syubhat, dan memenuhi nishab. Hanya saja syarat nishab ini masih
diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat, dalam jarimah hirabah
tidak disyaratkan nishab untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh
sebagian fuqaha Syafi’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa
dalam jarimah hirabah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua
pelaku secara keseluruhan, dan tidak memperhitungkan perolehan perorangan.
Dengan demikian, meskipun pembagian harta untuk masing-masing peserta
(pelaku) tidak mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman
had. Imam Abu Hanifah dan sebagian Syafl’iyah berpendapat bahwa perhitungan
nishab bukan secara keseluruhan pelaku, melainkan secara perorangan. Dengan
demikian, apabila harta yang diterima oleh masing-masing peserta itu tidak
mencapai nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai
pengambil harta. Hanya saja dalam hal ini perlu diingat adanya perbedaan
pendapat antara Hanafiyah dan Syafl’iyah mengenai pelaku jarimah hirabah
sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian yang lalu.
Di samping itu juga perlu diperhatikan perbedaan antara kedua kelompok
tersebut mengenai ukuran nishab pencurian, sebagaimana telah dijelaskan dalam
bab pencurian. Persyaratan lain untuk dapat dikenakannya hukuman had dalam
jarimah hirabah adalah menyangkut tempat dilakukannya jarimah hirabah. Syarat-
syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Jarimah perampokan harus terjadi di negeri Islam. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanaiiyah. Dengan demikian, apabila j arimah hirabah
(perampokan) terjadi di luar negeri Islam (dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak
dikenakan hukuman had. Akan tetapi jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan
demikian menurut jumhur, pelaku tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik
jarimah hirabah terjadi di negeri Islam maupun di luar negeri Islam.
b.      Perampokan harus terjadi di luar kota, jauh dari keramaian. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, dan
Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini, Dengan
demikian, menurut mereka (jumhur), perampokan yang terj adi di dalam kota dan
di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasanya pelaku tetap harus dikenakan
hukuman had.
c.       Malikiyah dan Syafl’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau kendala untuk
meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya
terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan, atau karena upaya penghadangan
oleh para perampok, atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada
pihak keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan demikian, apabila upaya
dan kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan
hukuman.
Selain persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan di atas, terdapat pula
persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang
menjadi korban perampokan adalah orang yang ma ’shum ad-dam, yaitu orang
yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam. Orang tersebut adalah
orang muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena keislamannya sedangkan
kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan. Orang kafir musta'man
(mu ’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi
karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku
perampokan atas musta ’man ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha.Menurut
Hanafiyah perampokan terhadap musta'man tidak dikenakan hukuman had.
4)      Pembuktian Untuk Jarimah Hirabah
Jarimah hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu
1. dengan saksi, dan
2. dengan pengakuan.
a.  Pembuktian dengan Saksi
Seperti halnya jarimah-jarimah yang lain, untuk jarimah hirabah saksi
merupakan alat bukti yang kuat. Seperti halnya jarimah pencurian, saksi untuk
jarimah hirabah ini minimal dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat-syarat
persaksian, yang rinciannya sudah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Saksi
tersebut bisa diambil dari para korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut
terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki tidak ada
maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau
empat orang saksi perempuan.
b. Pembuktian dengan Pengakuan
Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti.
Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan pengakuan dalam
tindak pidana pencurian. Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali
saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf,
pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali.
5)      Hukuman Atau Sanksi Hirabah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman untuk jarimah hirabah. Menurut
Imam Abu Hanifah, Imam Syafl’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah, hukuman
untuk pelaku perampokan itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis
perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana telah diuraikan di atas. Bentuk-bentuk
jarimah hirabah itu ada empat macam, yaitu :
1. menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa membunuh dan mengambil harta;
2. mengambil harta tanpa membunuh;
3. membunuh tanpa mengambil harta;
4. mengambil harta dan membunuh orangnya.
Menurut mereka, untuk masing-masing perbuatan tersebut diterapkan
hukuman tertentu yang diambil dari alternatif hukuman yang tercantum dalam
Surah Al-Maaidah ayat 33. Menurut Imam Malik dan Zhahiriyah, hukuman untuk
pelaku perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana
yang lebih sesuai dengan tersebut. Hanya saja Imam Malik memb atasi pilihan
hukuman tersebut untuk selain pembunuhan. Untuk tindak pidana pembunuhan
maka pilihannya hanya dibunuh atau disalib. Sementara Zhahiriyah memberikan
kebebasan penuh kep ada hakim untuk memilih hukuman apa saja yang sesuai
menurut pandangannya dengan perbuatan apa pun dari keempat jenis perbuatan
tersebut.
E. Jarimah Ta’zir
Menurut bahasa, ta’zir merupakan bentuk masdar dari kata “’azzara” yang
berarti menolak dan mencegah kejahatan. Sedangkan menurut istilah adalah
pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak ada ketentuannya
dalam had, kifarat maupun qishasnya. Ta’zir adalah hukuman atas tindakan
pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had.
Hukuman ini berbeda–beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya.
Dari satu segi, ta’zir ini sejalan dengan hukum had, yakni tindakan yang dilakukan
untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak
melakukan tindakan yang sama. Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan
fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’
dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk
hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana). Sebagai dasar hukumnya
adalah QS. Al-Fath: 8-9 Artinya: “Sesungguhnya kami utus engkau Muhammad
sebagai saksi dan pemberi kabar gembira dan peringatan(8)Supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-
NYA, Dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang(9).”
Jarimah ta’zir itu jumlahnya sangat banyak sekali, yaitu semua jarimah selain
diancam dengan hukuman had, kifarat, dan qishas diyat semuanya termasuk
jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir dibagi menjadi dua: Pertama, Jarimah yang bentuk
dan macamnya sudah ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits tetapi hukumnya
diserahkan pada manusia. Kedua, Jarimah yang baik bentuk atau macamnya,
begitu pula hukumannya diserahkan pada manusia. Syara’ hanya memberikan
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum saja. Syara’ tidak menentukan macam-
macam hukuman untuk setiap jarimah ta’zir tetapi hanya menyebutkan
sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Syari’ah hanya menentukan sebagian jarimah ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan
yang selamanya akan dianggap sebagai jarimah; seperti riba, menggelapkan
titipan, memaki-maki orang, suap-menyuap dan sebagainya.
Sedangkan sebagian jarimah ta’zir diserahkan pada penguasa untuk
menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingankepentingan
masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan syara’) dan
prinsip-prinsip umum. Dengan maksud agar mereka dapat mengatur masyarakat
dan memelihara kepentingan-kepentingannya serta dapat menghadapi persoalan
yang sifatnya mendadak. Perbedaan antara jarimahta’zir yang ditetapkan oleh
syara’ dengan jarimah ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa ialah kalau jarimah
ta’zir macam pertama tetap dilarang selama-lamanya dan tidak mungkin menjadi
perbuatan yang tidak dilarang pada waktu apapun juga, akan tetapi jarimah ta’zir
macam yang kedua bisa menjadi perbuatan yang tidak dilarang manakala
kepentingan masyarakat menghendaki demikian.

Sumber :

https://pecihitam.org/fikih-jinayah/
https://www.spiritmuslim.co.id/2018/06/penjelasan-lengkap-hukum-qishash.html
https://www.bacaanmadani.com/2017/07/pengertian-diyat-sebab-diyat-dan-
macam.html
Jarimah Hudud dan Macam-Macamnya (pejoeangtoga.blogspot.com)
Pengertian Jarimah Ta’zir – suduthukum.com

Anda mungkin juga menyukai