Anda di halaman 1dari 13

II.

SUMBER PENGETAHUAN
Pada pembicaraan bab I kita telah memperoleh penjelasan bahwa ilmu
adalah salah satu bentuk pengetahuan (knowledge). Dalam hal ini ilmu
adalah bagian dari pengetahuan dan ia disebut pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge). Karena itu, pembicaraan mengenai sumber
pengetahuan dalam bab ini termasuk di dalamnya sumber pengetahuan
ilmiah. IL.I. Sumber Pengetahuan menurut Filsafat Science Moderen.
Filsafat moderen atau lebih khusus lagi filsafat science moderent
memandang bahwa dalam berpengetahuan sebenarnya selalu ada dua
hal yang berhubungan, yaitu obyek-obyek yang diketahui dan subyek
yang mengetahui. Karena itu, harus ada pembedaan antara sumber-
sumber eksternal dan sumber-sumber internal pengetahuan. Obyek-obyek
yang ingin diketahui pada dasarnya adalah sumber pengetahuan, yakni
sumber eksternal pengetahuan. Sedangkan pada subyek yang
mengetahui, yaitu manusia, terdapat potensi-potensi yang dengannya
pengetahuan menjadi mungkin diaktualkan. Dalam hal ini para filsuf
science moderen berpendapat bahwa potensi-potensi itu adalah sumber-
sumber pengetahuan. Rasionalisme adalah salah-satu aliran filsafat yang
secara umum menekankan rasio (dari kata Latin : ratio) sebagai sumber
utama pengetahuan. Bahkan dalam penekanan kata "isme" pada kata
rasional menegaskan mutlaknya rasio sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang niscaya. Artinya, menurut penganut rasionalisme, satu-
satunya sumber pengetahuan yang mungkin adalah rasio. la merupakan
sumber pengetahuan yang pada hakikatnya tidak tergantung atau bebas
dari pengamatan inderawi. Ilmu pengetahuan sebagai suatu perolehan
hasil upaya pencapaian manusia pada dasarnya adalah sistem deduktif
rasional yang hanya secara tidak internal langsung berhubungan dengan
pengalaman inderawi. Dalam filsafat Barat (moderen) tokoh aliran ini ialah
Rene Descartes (1596-1650) yang bahkan disebut sebagai peletak dasar
aliran rasionalisme Barat. dan beberapa tokoh pasca Descartes, antara
lain : Nicolas Malerbranche (1638-1775), De Spinoza (1632-1677),
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).
Selanjutnya, pada pihak lain empirisme adalah juga salah-satu aliran
filsafat yang meletakkan doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan
harus dicari dan karena ia hanya bersumber dari pengalaman. Empirisme
yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah empiricism, dalam
bahasa Latin dikenal dengan istilah experientia yang artinya pengalaman.
Dalam bahasa Yunani ia dikenal dengan istilah emperia, atau empeiros
yang mengandung pengertian : berpengalaman dalam, berkenalan
dengan atau terampil untuk. Dalam memberi arti terhadap kata
pengalaman, empirisme meletakkannya pada pengamatan inderawi.
Karena itu, pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan,
menurut paham empirisme, tergantung pada dan hanya pada data
inderawi. Dalam sejarah filsafat Barat, tokoh aliran ini antara lain Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1665-
1753) dan David Hume (171 1-1776). Demikian secara sangat singkat
dikemukakan pandangan mengenai sumber pengetahuan dalam
rasionalisme dan empirisme yang sangat besar peranannya dalam teori
pengetahuan atau epistemologi. Di sini ia hanya dikemukakan secara
sangat singkat melalui pengertian dan doktrin utamanya mengenai
sumber pengetahuan, karena lebih jauh keduanya akan dibicarakan
dalam epistemologi. Sebenarnya terdapat aliran ketiga yang diletakkan
oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang sekaligus menjadi kritik atas
rasionalisme dan empirisme. Aliran itu dikenal dengan Kritisisme 
(Kant), yang pada dasarnya bertujuan mengeliminir kecenderungan
ekstrim rasionalisme dan empirisme. Kant berpandangan bahwa baik
rasionalisme maupun empirisme, berat sebelah. Dikatakan, pengetahuan
manusia terjadi dari sintesa unsur-unsur apriori (sebelum pengalaman)
dan unsur-unsur aposteriori( sesudah pengalaman). Karena itu, untuk
mencapai obyektivitas menghindarkan diri dari sikap sepihak rasionalisme
atau empirisme. Dalam buku Living Issues in Philosophy, Harold H. Titus,
Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan mengemukakan bahwa dalam
pembahasan moderen dewasa ini ada empat sumber pengetahuan yang
mungkin. ilmu pengetahuan, orang harus Kata : yang mungkin dalam
pandangan Titus et al di atas cukup penting untuk digaris bawahi untuk
menekankan bahwa dalam realitas pembicaraan filsafat moderen,
khususnya filsafat science moderen, pertentangan filosofis untuk saling
menegasikan antara rasionalisme dan empirisme tidak lagi dibahas
secara dari berlarut-larut. Kedua-duanya dinilai sebagai bagian sumber-
sumber pengetahuan yang mungkin. Karena itu menurut filsafat science
moderen, empat sumber pengetahuan yang dimaksudkan di atas adalah:
1. Orang yang Memiliki Otoritas. Titus et al (1984) mengawali penjelasan
mengenai hal ini dengan ilustrasi pertanyaan, bagaimana kita mengetahui
bahwa Socrates dan Julius Caesar pernah hidup di dunia ? Apakah
mereka itu orang-orang khayalan seperti nama-nama lain yang kita baca
dalam mitologia dan novel-novel moderen ? Jawaabnya, kita punya
pengetahuan tentang Socrates dan Julius Caesar sebagai orang-orang
yang pernah ada dan hidup di dunia, yakni dari kesaksian orang-orang
yang pernah ada serta hidup sezaman dan setempat dengan mereka,
serta juga ahli-ahli sejarah. Artinya, ada orang yang ditempatkan sebagai
yang memiliki otoritas sebagai sumber pengetahuan mengenai hal yang
ingin diketahui, yaitu mereka yang punya kesaksian dan pengalaman dan
pengetahuan berkenaan dengan itu. Demikian filsafat science moderen
memberi alasan unbul menempatkan adanya orang yang mempunyai
otoritas sebagai sumber pengetahuan, yaitu mereka yang karena
otoritasnya, tepat dan relevan dijadikan sebagai sumber pengetahuan
tentang suatu hal. Otoritas tersebut didasarkan pada kesaksian yang bisa
diberikannya. Pada zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki
otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah.
Termasuk juga dalam hal ini. misalnya, hasil publikasi resmi mengenai
kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi
pengetahuan lainnya. Namun, penempatan otoritas sebagai sumber
pengetahuan tidaklah dilakukan dengan panyandaran pendapat
sepenuhnya, dalam arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa
menilai kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, otoritas hanya
ditempatkan sebagai sumber kedua, yang berkedudukan sebagai sumber
eksternal, sedangkan sumber-sumber internal pada diri sendiri tetap
sebagai sumber pertama. 2. Indra. Dalam pandangan filsafat science
moderen, indra aflalah peralatan pada diri manusia sebagai salah-satu
sumber internal pengetahuan. Untuk memahami posisi indra sebagai
sumber pengetahuan biasanya diajukan pertanyaan misalnya, bagaimana
mengetahui bahwa besi memuai bila dipanaskan atau air membeku bila
didinginkan hingga mencapai derajat kedinginan tertentu ? Terhadap
pengetahuan semacam itu, filsafat science moderen berpandangan
bahwa indra lah yang menjadi sumbernya. Bahkan padangan empirisme
yang diterapkan dalam filsafat science moderen menyatakan bahwa
pengetahuan pada dasarnya adalah dan hanyalah pengalaman-
pengalaman konkrit kita yang terbentuk karena persepsi indra, seperti
persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencicipan
dengan lidah. Sains moderen mengembangkan prinsip tersebut secara
metodis melalui pengamatan terarah dan eksperimen untuk mendapatkan
data dari fakta empirik Untuk mewujudkan hal itu, science moderen
menggunakan peralatan teknologis untuk menjalankan prinsip persepsi
indra dalam mempersepsi secara terarah terhadap data fakta yang
relevan, dan sekaligus memberikan ukurannya. Yang dilakukan sesudah
itu adalah inferensi induktif, yaitu penarikan simpulan (inferensi) yang
bersifat umum sebagai sebuah pengetahuan,dari pemahaman akan
gejala-gejala individual yang telah diamati. Dalam menuju simpulan yang
dipandang benar, biasanya terlebih dahulu dirumuskan hipotesis sebagai
pengetahuan sementara, untuk kemudian diuji kebenarannya. Namun
dalam menempatkan indra sebagai sumber pengetahuan, filsafat science
moderen juga menekankan pentingnya kehati-hatian, utamanya terhadap
kemungkinan pengaruh prasangka dan emosi yang akan merusak
obyektifitas. Dalam hal ini diingatkan akan kecenderungan kodrati dimana
orang dipengaruhi oleh keinginan hanya melihat apa yang ingin dilihatnya
dan/atau melihat apa yang ia telah terlatih untuk melihatnya. Padahal
yang diharapkan dari sini (dengan persepsi indra ini), sebenarnya adalah
penampakan (appearance) sesuatu menurut kenyataannya (realitasnya).
3. Akal Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu yang bisa
dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya
dengan indra terlebih dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan,
misalnya, dari anggapan masing-masing sama besarnya dengan entitas
ketiga adalah entitas sama besar. Pengetahuan semacam itu jelas
dengan sendirinya (tanpa persepsi indra) karena ada akal yang
memungkinkannya. Demikian argumentasi yang dibangun para filsuf
science untuk dua entitas yang melandasi pemikiran mereka mengenai
akal sebagai sumber pengetahuan. Bertitik-tolak dari kenyataan tersebut,
maka filsafat science moderen menempatkan akal adalah salah-satu
sumber pengetahuan yang mungkin untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah. Pandangan ini merupakan representasi dari pandangan filsafat
Rasionalisme, yang dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa
manusia memiliki potensi mengetahui dengan pasti dengan sendirinya,
tentang beberapa hal yang relevan. Misalnya, kenyataan-kenyataan
keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya; satu adalah
separuh dari dua; keliling lingkaran lebih besar dari garis tengahnya,
adalah pengetahuan yang dapat diketahui dengan pasti dan dengan
sendirinya karena potensi akal. Istilah bahasa Indonesia yang biasanya
digunakan dalam filsafat untuk akal ialah akal budi, yang dalam bahasa
Inggris disebut reason dan bahasa Latin disebut ratio dan intellectus.
Mengenai akal budi ini, Aristoteles berpandangan bahwa akal budi
mempunyai potensi untuk memahami bentuk atau representasi suatu
obyek terindra. Potensi ini dilakukan oleh akal budi pasif. Akan tetapi
potensialitas akal budi pasif dimungkinkan oleh akal budi aktif dengan
cara membuat representasi eksplisit untuk menyadari obyek tersebut
melalui pengabstraksian dari pengalaman indra. Selanjutnya, Aristoteles
menempatkan apa yang dinamakannya sebagai akal budi praktis sebagai
potensi akal budi dalam bentuk : (1) kemampuan yang memungkinkan
manusia mengetahui cara-cara bagaimana yang tersedia untuk mencapai
pengetahuan, dan kemudian memilih cara yang paling tepat serta relevan
untuk itu, (2) kemampuan memberi pertimbangan sehingga akal
melakukan penalaran atau pemikiran untuk menghasilkan keputusan
dalam bentuk pilihan, tindakan atau resolusi. Pada pihak lain, Aristoteles
menamakan akal budi teoritis yang memiliki potensi kontemplasi dalam
arti : (1) penalaran atau pemikiran untuk mencapal pengetahuan, dan (2)
kemampuan yang dengannya penalaran atau pemikiran untuk mencapai
pengetahuan itu dilakukan. 4. Intuisi 
Dalam mengawali pembicaraan mengenai intuisi sebagai salah-satu
sumber pengetahuan yang mungkin, dalam Living Issues in Philosophy,
Titus, Smith dan Nolan mengantarnya dengan sebuah pertanyaan,
bagaimana kita mengetahui, misalnya, jika kita kebetulan bertemu dengan
seseorang untuk pertama kali, kemudian kita mengetahui bahwa oran
tersebut dapat dipercaya ? Apakah kita mempunyai rasa (sense) atau
intuisi yang kadang-kadang memberi kita pengetahuan yang langsung
tentang situasi kita ? Pertanyaan tersebut dikemukakan oleh penulis untuk
membicarakan bahwa suatu sumber pengetahuan yang mungkin adalah
intuisi atau pemahaman yang langsung tentang pengetahuan yang tidak
merupakan hasil pemikiran yang sadar atau persepsi rasa yang langsung.
George Santayana (dalam Titus et al, 1984) memakai istilah intuisi dalam
arti kesadaran tentang data-data yang langsung dirasakan. Misalnya
sewaktu kita mendengar bunyi, maka selain kita mendengar, kita juga
sadar tentang pendengaran kita dan sadar tentang diri kita sebagai yang
mendengar. Jadi menurut Titus, Smith dan Nolan (1984) intuisi terdapat
dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam
aksioma matematika. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentag hubungan
antara kata-kata (proposition) yang membentuk bermacam-macam
langkah dari argumen. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita
terhadap keindahan, ukuran moral yang kita terima dari nilai-nilai agama.
Pandangan lain mengenai intuisi ialah bahwa intuisi sebenarnya hanya
merupakan hasil tumpukan pengalaman dan pengetahuan seseorang
pada masa lalu. Intuisi hanya berperanan memendekkan proses
pengetahuan yang scharusnya semula diungkapkan oleh indra dan
pemikiran reklektif. Pandangan ini mengartikan bahwa intuisi adalah hasil
induksi dan deduksi yang terjadi di bawah sadar. Itulah sebabnya,
menurut pendpat ini mereka yang mempunyai banyak pengalaman dalam
berfikir de bekerja lebih mudah mempunyai intuisi yang baik dalam
bidangnya Misalnya, pandangan ilmiah lebih mudah muncul pada mereka
yang bergelut terus dengan problema ilmiah; inspirasi puitik banyak
dialami oleh-penyair; intuisi filsafat atau agama muncul pada mereka yang
banyak mengarahkan perhatiannya pada dua dunia itu. Henri Bergson
(1859-1941) adalah salah-seorang tokoh filsafat moderen yang
memandang intuisi sesederhana pandangan di atas. Bahkan ia
berpendapat bahwa intuisi dan akal mempunyai arah yang bertentangan.
Menurutnya, intuisi yang sesungguhnya adalah naluri (instinct) yang
menjadi kesadaran diri sendiri dan bekerja ke dalam diri. Jika ia meluas,
maka ia memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Intuisi bekerja dari
dalam dan langsung, memberi elan vital dan bukannya oleh intelek, yang
dari luar. Pengertian intuisi yang berbeda dengan ketiga pengertian di atas
adalah pandangan tentang intuisi mistik. Menurut pandangan ini praktik-
praktik mendapatkan pengetahuan langsung dan mengatasi (transcend)
atas pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Hal itu terjadi
secara intuitif, dan intuisinya disebut intuisi mistik. Hal ini dimungkinkan
karena seorang mistikus adalah orang yang memiliki kondisi teramat
sadar terhadap kehadiran Yang Maha Riil (presence of the ultimately real).
Demikian beberapa pandangan singkat mengenai intuisi, yang
walaupun antara satu dengan yang lain menunjukkan perbedaan, namun
dalam pandangan filsafat science moderen, sekurang-kurangnya dalam
perkembangannya yang telah melewati masa saling menegasikan
pandangan tentang sumber-sumber pengetahuan yang paling niscaya,
berpendapat bahwa ada yang bernama intuisi, sebagai salah-satu sumber
pengetahuan yang mungkin.

12. Al Quran dan Pandangan Filosofis Tentang Sumber Pengetahuan


Telah dikemukakan di atas beberapa pandangan filosofis mengenai
sumber pengetahuan menurut filsafat science moderen.
Sebelum pandangan-pandangan tersebut, terlebih dahulu akan
dikemukakan beberapa ayat Al Quran yang akan kita jadikan landasan
dalam membangun pemikiran filsafati mengenai sumber pengetahuan.
memberikan tinjauan kritis terhadap
artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu sekalian ialah Allah. Tiada Tuhan
selain Dia, pengetahuanNya meliputi segala sesuatu.
Artinya : Dia lah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha
Mengetahui yang gaib maupun yang nyata. Dia Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Artinya : Dan sesungguhnya Allah, ilmuNya meliputi segala
sesuatu.
Dari ayat-ayat Al Quran tersebut di atas dapat diturunkan beberapa
makna mendasar yang daripadanya bisa dirumuskan pandangan filosofis
mengenai sumber pengetahuan Makna-makna mendasar tersebut ialah :
1. Bahwa manusia tidak membawa pengetahuan sejak awal
diciptakan / dilahirkan (An Nahl 78), karena itu tidak mungkin
menempati posisi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu yang
pada mulanya tidak memiliki tidak mungkin menjadi sumber, karena
ia juga hanya berposisi sebagai yang memperoleh.
2. Thalaq 12), yang pengetahuanNya meliputi yang gaib maupun 2.
Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu (Thaha 98, At
yang nyata (Al Hasyr 22).
3. Pada hakikatnya hanya Allah Yang Maha Mengetahui d manusia
pada hakikatnya tidak mengetahui (An Nahi 74).

Pandangan Filsafat Ilmu Islami tentang Allah sebagai sumber


pengetahuan pada hakikatnya merupakan implementasi pandangan
tauhid melalui makna mendasar bahwa pada hakikatnya (ulangi : pada
hakikatnya) tiada yang memiliki ilmu selain Allah (An Nahl 74). Bila
pandangan ini dikatakan sebagai pandangan tauhid, maka pandangan
mengenai sumber pengetahuan dalam filsafat science moderen, adalah
pandangan anti tauhid dan bahkan ateistik Inilah salah satu wujud dari
apa yang dikatakan oleh Roger Garaudy. sebagaimana telah dijelaskan
dalam bab I, bahwa filsafat Barat (yang mengejawantah dalam filsafat
science moderen) adalah filsafat yang memutuskan dirinya ke Tuhan an.
Dan inilah perwujudan dari yang dikatakan oleh C.A. Qadir, bahwa filsafat
Barat kehilangan dimensinya yang sakral karena memutuskan diri dari
segala yang bersifat ilahi. Bagaimana keniscayaan pengetahuan itu
diperoleh manusia dengan berpijak pada konsep sumber pengetahuan
menurut Filsafat Ilmu Islami ini ? Hal ini akan dibahas dalam pembicaraan
mengenai Epistemologi dalam Filsafat Ilmu Islami.

III. PANDANGAN ONTOLOGI DAN OBYEK MATERI ILMU III.


Pengertian Ontologi dan Obyek Materi Ilmu. Pengetahuan atau ilmu selalu
merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sesuatu. Artinya, pengetahuan
atau ilmu tersebut berkenaan dengan satu obyek tertentu yang menjadi
materi penyelidikan dan pembahasannya. Dalam pembicaraan mengenai
obyek, sebenarnya filsafat medekati pembicaraan obyek ilmu dari dua sisi,
yaitu (1) obyek materia dan (2) obyek forma. Pembicaraan mengenai
obyek materi pembicaraan mengenai apa yang menjadi obyek
penyelidikannya sehingga melahirkan ilmu mengenai obyek tersebut.
Sedangkan pembicaraan mengenai obyek foona ilmu adalah pembicaraan
mengenai bagaimana pendekatan yang ilmu adalah Pembicaraan
mengenai obyek materi ilmu melalui filsafat ilmu bukanlah pembicaraan
yang sederhana dan bersahaja. Ia tidak begitu saja menyebut suatu obyek
materi ilmu menurut kenampakannya (appearance) secara kasat indera
akan tetapi menjelaskan obyek tersebut menurut hakikatnya, sehingga
pembicaraannya masuk dalam wilayah metafisis. Pembicaraan mengenai
hakikat obyek materi ilmu itulah sebenarnya yang dikatakan sebagai
pembicaraan ontologi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa landasan
ontologi dalam falsafah ilmu pengetahuan adalah cara pandang mengenai
obyek materi suatu ilmu. Sebenarnya istilah ontologi baru muncul pada
pertengahan abad 17, yang pada waktu itu juga muncul istilah Philosophia
Entis atau filsafat menegani yang ada Tapi sebagai pencarian jawaban
mengenai hakikat asal alam semesta, jauh sebelumnya ia telah menjadi
pembicaraan dalam filsafat (filsafat alam) oleh para filsuf awal Yunani.
Paling tidak, Thales, Anaximander Anaximenes adalah tiga filsuf Yunani
dari Miletus yang tercatat sebagai filsuf-filsuf awal yang berbicara
mengenai hakikat segala sesuatu melalui usahanya menjawab sumber
segala sesuatu. Mereka adalah generasi awal filsuf alam dari Yunani,
yang memuncak pada Democritus. Pembicaraan tersebut berlanjut hingga
para filsuf Athena, yang kemudian sampai pada Aristoteles. Sebagian
filsuf sesudahnya menempatkan pembahasan masalah ontologi sebagai
sebagai pembahasan metafisika sebagaimana ia dibicarakan dalam
Metafisika Aristoteles. Ontologi, sebagai sebuah istilah, sebenarnya
memang berasal dari bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada),
yang kemudian disenyawakan dengan kata logos (ilmu atau studi
tentang). Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan
pengertian sebagai studi atau ilmu mengenai yang ada atau berada.
Pembahasan panjang lebar mengenai ontologi menurut para filsuf sudah
barang tentu tidak dimungkinkan dalam bab ini mengingat keluasan
masalahnya dalam berbagai pandangan para filsuf. Akan tetapi, di sini
akan dikemukakan bagaimana pandangan ontologis tersebut melandasi
pandangan mengenai hakikat obyek ilmu dalam filsafat ilmu.
III.2. Beberapa Pandangan Ontologi
Dalam relevansinya dengan pembicaraan filsafat pengetahuan,
khususnya melalui filsafat science (Barat) moderen, sebenarnya
pembahasan masalah ontologis berpusat pada keinginan untuk menjawab
pertanyaan apa sesungguhnya yang dimaksud sebagai kenyataan (reality)
?. Dalam filsafat, pertanyaan tersebut merupakan masalah yang
ditemukan beragam jawaban filsafatinya sesuai dengan keragaman
"corak" sistem kefilsafatan yang mendasarinya. Untuk itu, dengan
membatasi diri pada corak kefilsafatan (Barat) moderen, dari mana filsafat
science moderen melandaskan diri untuk menemukan bentuknya dewasa
ini, akan dikemukakan secara singkat pandangan-pandangannya
mengenai realitas. 1. Naturalisme
Naturalisme adalah sebuah aliran filsafat yang secara harfiah
mengandung arti sebagai faham serba alam. Secara sederhana, menurut
naturalisme, kenyataan pada hakikatnya bersifat alam, yang kategori
pokoknya adalah kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu. Apapun yang
bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam. Sesuatu yang
dikategorikan demikian itu, dapat "dijumpai" dan dapat dipelajari oleh
manusia, dengan cara-cara sebagaimana dikenal dewasa ini dalam
metode ilmiah. Dengan demikian pandangan ontologis naturalisme
mengenai kenyataan ialah apa saja yang bersifat alam, yakni segala yang
berada dalam ruang dan waktu. Akibat dari pandangan ini adalah : (1)
segala sesuatu yang dianggap ada, namun di luar ruang dan waktu, tidak
mungkin merupakan kenyataan, dan (2) segala sesuatu yang tidak
mungkin dipahami melalui metode-metode yang digunakan dalam ilmu-
ilmu kealaman, tidak mungkin merupakan kenyataan. Bagi penganut
naturalisme, sesuatu yang bereksistensi bukan merupakan himpunan
bawahan dari kenyataan akan tetapi yang bereksistensi adalah kenyataan
itu sendiri. Dalam pandangan mereka, sebuah kursi kayu bukan hanya
suatu kenyataan yang kebetulan karena substansi terdalamnya bersifat
fisik sehingga ia bereksistensi, akan tetapi kursi kayu itu adalah kejadian
yang niscaya karena sejumlah kualitas dan suatu proses yang
berkesinambungan. Sebagai sesuatu yang terdapat dalam ruang dan
waktu, kursi itu bereksistensi dan sebagai akibatnya bersifat nyata.
Menurut penganut naturalisme, faktor-faktor penyusun kejadian ialah
proses, kualitas dan relasi. Sebuah mangga, misalnya, baik ketika ia
masih di pohonnya maupun setelah ia dipetik, senantiasa akan mengalami
proses yang continuum, terdiri atas kualitas-kualitas tertentu dan
senantiasa berhubungan dengan hal-hal lain. Dengan kata lain, apa saja
yang merupakan kenyataan pasti menggambarkan ketiga hal tersebut.
Dengan demikian, tidak mungkin terdapat sesuatu yang secara mutlak
bersifat statis (misalnya tidak rusak), atau tanpa kualitas, atau tanpa
hubungan dengan yang lain. Sekarang pertanyaannya ialah, bagaimana
proses, kualitas dan hubungan itu dipahami ? Jawabnya ialah
penyelidikan empiris terhadap kejadian-kejadian, yang pemahaman
atasnya (kejadian-kejadian itu) berpulang pada dirinya sendiri
sebagaimana adanya, atau kepada hal lain yang menurut pengalaman
menunjukkan bahwa yang satu memang dapat dipulan gkan kepada yang
lain tanpa mengenal hierarki kualitas apakah lebih tinggi atau lebih
rendah. Jika secara ontologis, naturalisme meletakkan doktrin mengenai
hakikat kenyataan adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
dalam ruang dan waktu, maka secara epistemologis meletakkan doktrin
bahwa semua penjelasan (baca :. pengetahuan) harus mengacu pada
peristiwa-peristiwa dalam kerangka ruang dan waktu.

2. Materialisme
Hakikat kenyataan adalah materi. Demikian doktrin pandangan filsafat
materialisme. Doktrin tersebut didasarkan pada argumen filosofis bahwa
segala sesuatu yang hendak dikatakan nyata (1) pada hakikatnya berawal
dari materi, atau (2) terjadi karena gejala-gejala yang bersangkutan
dengan materi. Karena itu, materialisme menyatakan bahwa tidak ada
entitas nonmaterial dan kenyataan supra natural. Pikiran dan aksi mental
lain yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak bersubstansi material,
pada dasarnya adalah perwujudan dari gejala-gejala yang bersangkut
paut dengan materi. Dari penjelasan singkat di atas terlihat bahwa jika
naturalisme mendasarkan ajarannya pada alam sebagai kenyataan
terdalam, maka materialisme mendasarkannya pada materi. Dengan kata
materi, yang dimaksudkannya adalah yang bersifat material, baik yang
bersifat makroskopis maupun mikroskopis. Karena itulah maka materi
dikatakan bersifat abadi, dalam arti yang abadi adalah serial material.
4. Idealis me Bertolak belakang dengan materialisme dan
naturalisme, idealisme merupakan satu corak kefilsafatan yang
berpandanganbahwa hakikat terdalam dari kenyataan tidaklah
bersifat materi, melainkan bersifat rohani atau spiritual (kejiwaan).
Karena itu istilah idealisme terkadang dikenal juga dengan istilah
immaterialisme atau mentalisme. Penganut idealisme
berpandangan bahwa pada hakikatnya kenyataan terdalam yang
dikenal oleh naturalisme sebagai bersifat alam, atau oleh
materialisme sebagai bersifat materi, sebenarnya bersifat rohani.
Jika benar apa yang dikatakan oleh naturalisme dan materialisme,
tentu segala hal dan gejala pasti dapat diterangkan dengan
penjelasan yang bersifat alam atau materi dan tidak ada misteri.
Akan tetapi demikian banyak terdapat hal atau gejala yang tidak
dapat diterangkan dengan cara itu, seperti nilai, makna,
pengalaman spiritual dan lain-lain sejenisnya. Bahkan adanya nilai,
pada hakikanya mengandung makna adanya jiwa atau roh yang
dapat menangkap maknanya. Istilah roh dalam hal ini dimaknai
sebagai sesuatu dalam diri yang bukan berupa alat-alat inderawi,
yang menangkap dan memberi penghargaan kepada nilai-nilai.
Karena itu, idealisme menempatkan pahamnya pada sisi ekstrim
sebaliknya, yang sebagaimana pendapat G. Watts Cunningham
(dalam Titus al, 1987) bahwa agar materi atau tatanan kejadian
yang terjadi dalam ruang dan waktu dapat dipahami , hakikatnya
yang terdalam maka, harus ada jiwa atau roh yang menyertainya
dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal
tersebut. Dengan pandangan seperti ini, idealisme menyatakan
bahwa seluruh realitas (ontologis) bersifat spiritual dan materi (yang
fisik) pada hakikatnya (epistemologis) ialah bahwa pengetahuan
mengenai realitas hanya mungkin melalui proses-proses mental.
5. Hilomorfisme
Hilomorfisme merupakan istilah yang dalam bahasa Yunani
merupakan bentukan dari dua kata yaitu hyle (materi) dan morphe
(bentuk, rupa). Hilomorfisme meletakkan pandangannya dengan
doktrin bahwa tidak satupun hal yang bersifat fisis yang bukan
merupakan kesatuan dari esensi dan eksistensi. Artinya, ia selalu
memiliki sifat fisis dan hakikat tertentu. Eksistensi dapat dipersepsi
secara inderawi dan esensi dapat dipahami sebuah kursi (sebagai
sesuatu yang bereksistensi). Kursi itu adalah sesuatu yang ada,
berada dalam kenyataan, dan menampak dalam ruang dan waktu.
Karena itu ia berkesistensi dan potensial dipersepsi secara
inderawi Apa sesungguhnya hakikatnya sebagai sesuatu yang
bereksistensi ? Tidak lain adalah kursi. Ke"kursi"an adalah esensi
dari kursi itu dan merupakan keapaan (whatness) kursi yang dapat
dipahami secara akali. Dalam hal ini, upaya memahami
keberadaan (isness) kursi yang bereksistensi tidak dapat dipahami
tanpa adanya dirinya dengan keapaan (whatness) sebagai kursi.
Apa yang dikemukakan diatas adalah keniscayaan adanya esensi
pada setiap hal yang bereksistensi secara fisik. Pemahaman ini
sesungguhnya mengajak untuk bisa memilah antara eksistensi dan
esensi. Oleh karena tidak selalu yang bereksistensi harus
berbentuk fisik (fikiran misalnya), maka doktrin tersebut tidak harus
dipahami secara sebaliknya bahwa segala sesuatu yang beresensi
dengan sendirnya harus bereksistensi. Hilomorfisme lebih jauh
meletakkan doktrin bahwa semua benda fisis tersusun dari materi
dan berforma. Forma adalah prinsip aktualitas dan aktivitasnya,
sedangkan materi adalah prinsip potensialitas dan pasitivitasnya.
Sebagaimana halnya doktrin pertama, doktrin ini pada dasarnya
adalah doktrin Neo-Thomisme. Dalam penerapannya pada
manusia, misalnya, maka manusia dapat dipahami secara
eksistensial dan esensial. Esensi manusia adalah apa yang
menjadikan dirinya sebagai manusia. Kendatipun secara
eksistensial diri manusia bisa mengalami perubahan (tua, invalid,
operasi plastik dll) fisik, namun ia tetap manusia. Esensinya tetap
ada dan tidak berubah karena perubahan lahiriahnya Esensi
manusia sebagai manusia adalah tidak fisis. Sebagai pandangan
yang lebih meluas, hilomorfisme juga menyatakan bahwa alam
semesta tersusun atas materi dan bentuk dalam satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Ada materi berarti ada bentuk, ada
bentuk berarti juga ada materi. Pandangan ontologis hilomorfisme
adalah pandangan yang didasarkan atas hasil penerapan akal budi
terhadap dunia sekeliling yang berbentuk.
6. Positivisme Positivisme adalah aliran filsafat yang secara radikal
beranjak dari ketidakpercayaan terhadap pandangan-pandangan
dan pembicaraan-pembicraan aliran-filsafat sebelumnya. metafisis
yang dilakukan oleh Karena itu, para penganutnya menyatakan
bahwa positivisme adalah suatu filsafat non-metafisik. Dalam
pandangan positivisme, pertanyaan-pertanyaan metafisis sama
sekali tidak mengandung makna, tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak ada gunanya. Pada dasarnya,
satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui
kenyataan adalah apa yang disebut sebagai keadaan dapat
diverifikasi (creterion of verifiability), demikian ancangan dasar
positivisme. Misalnya, pernyataan metafisis yang mengatakan
bahwa "ada substansi terdalam dari segenap hal yang menampak",
jelas adalah pernyataan yang tidak ada gunanya karena tidak
bermakna, karena tak satupun pengamatan inderawi yang bisa
dilakukan untuk mengambil keputusan terhadap kebenaran bisa
tersebut, dan karenanya ia tak pernyataan dipertanggungjawabkan.
pernyataan-pernyataan metafisik lain.
III.3. Implikasi Pandangan Ontologis
Pada Filsafat Science Moderen Betapapun di atas telah
ditunjukkan bahwa terdapat beberapa pandangan filsafati yang
secara berbeda berbicara mengenai hakikat kenyataan, namun
dalam filsafat science moderen secara bersama ia menunjukkan
cara pandang mengenai obyek materi ilmu dengan karakteristik : 1.
Memandang obyek materi ilmu tidak dalam kerangka pandangan
adanya Pencipta yang memandang segala sesuatu selain Pencipta
adalah ciptaan. 2. Memandang sesuatu sebagai suatu obyek materi
ilmu sejauh ia berada dalam jangkauan indra dan/atau rasio
manusia untuk bisa memahaminya, dan pemahaman atasnya
merupakan fungsi dari indra dan/atau rasio itu. 3. Memandang
keberadaan obyek materi ilmu hanya dalam kerangka ruang dan
waktu dunia belaka. 4. Memandang obyek materi ilmu di atur oleh
hukum-hukum keberadaan, namun tidak mempersoalkan asal
hukum-hukum keberadaan itu.

III.4. Obyek Materi Ilmu Pengetahuan


Menurut Filsafat Science Moderen Dengan karakteristik
pandangan ontologis sebagaimana dikemukakan di atas, filsafat
science moderen akhirnya memandang bahwa pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge atau science atau ilmu) adalah pengetahuan
mengenai obyek-obyek materi yang dapat dijangkau oleh indra
lahiriah dan/atau pemahaman rasional manusia melalui penalaran.
Dengan perkataan lain, segala sesuatu yang tidak masuk dalam
wilayah jangkauan indra dan/atau pemahaman rasional manusia
dianggap di luar wilayah obyek materi ilmu Bahkan secara sempit,
diantara filsuf science dan scientist ada yang hanya mengakui
keberadaan obyek-obyek inderawi sebagai obyek materi ilmu,
dengan implikasi bahwa yang disebut pengetahuan ilmiah (science)
hanyalah pengetahuan mengenai obyek-obyek tersebut yang telah
diperoleh melalui metode ilmiah ilmu-ilmu kealaman. Pandangan
demikian itu, terutama ditunjukkan oleh penganut empirisme,
positivisme, naturalisme dan materialisme. Dalam menegaskan
wilayah obyek materi ilmu Jujun S. Suriasumantri (1990)
menyatakan bahwa yang menjadi karakteristik obyek ontologis
ilmu, yang membedakannya sebagai pengetahuan ilmiah dengan
pengetahuan lain, ialah bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia.
Untuk lebih menjelaskan apa yang pernyataan mengajukan sebuah
pertanyaan "apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan
neraka ?" yang kemudian dijawabnya sendiri, "tidak; sebab
kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita". Menurut
Suriasumantri (1990) lebih jauh, "ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia disebabkan
metode yang dipergunakan dalam pengetahuan yang telah teruji
kebenarannya secara empiris.
III.5. Pandangan Ontologis Berdasarkan Al Quran
Sebelum kita mengemukakan sejumlah pandangan ontologis
berdasarkan AI Quran, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ayat
Al Quran sebagai landasannya, sebagai berikut :

Artinya : Dia lah (Allah) Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir
dan Yang Batin. Dan Dia Mengetahui segala sesuatu.

Artinya: Allah lah Maha Pencipta segala sesuatu dan Dia


memelihara seg sesuatu.

Demikian beberapa ayat Al Quran dikemukakan di atas yang pada


hakikatnya dapat menjadi landasan untuk membangun suatu
pandangan ontologis bagi filsafat pengetahuan dalam pandangan
yang Islami.

III.6. Obyek Materi Ilmu Menurut Pandangan Ontologis Qurani


Dapat dipahami, bahwa memang bisa timbul kebingungan bagi
sementara kalangan terhadap pandangan ontologis Qurani yang
telah dikemukakan, khususnya bagi mereka yang berpijak pada
cara pandang ontologis filsafat science moderen dewasa ini.
Betapa mungkin alam gaib juga dinyatakan sebagai obyek materi
ilmu sementara secara epsitemologis, atau lebih khusus lagi secara
metodologis tidak dimungkinkan adanya suatu alat verifikasi yang
dapat digunakan secara bersama oleh semua orang. Misalnya,
bagaimana menggunakan verifikasi untuk menguji kebenaran
pernyataan mengenai hal-hal yang bersifat gaib. Sebenarnya hal itu
tidak perlu terjadi sebab dalam rangka verifikasi, dunia science
moderen sendiri telah mengakui salah-satu acuan verifikasi adalah
pernyataan-pernyataan otoritas. Verifikasi terhadap pernyataan-
pernyataan yang berkenaan dengan obyek alam gaib, dapat
dilakukan melalui melalui verifikasi rasional terhadappernyaan-
pernyataan doktrinal yang berkenaan dengannya, yang bersumber
dari Allah sebagai Sumber Ilmu itu sendiri. Jawaban, tersebut
memang masih dapat menimbulkan pertanyaan selanjutnya, yaitu
bagaimana mungkin itu dilakukan oleh mereka yang tidak
mengakui adanya Allah ? Jawabnya adalah, dengan melihat pada
substansi pernyataannya sendiri. Apakah ia memenuhi syarat untuk
menjadi acuan ? apakah ia dapat memberi penjelasan secara
konsisten dan dapat diterima'secara rasional ? Demikianlah,
sesungguhnya pandangan ontologis Qurani sebagaimana
dikemukakan di atas, dapat dibuktikan meniscayakan lahirnya
sebuah proses ilmiah yang konsisten melahirkan sebuah
pengetahuan ilmiah yang dapat diverifikasi. Pandangan ontologis
tersebut melahirkan pandangan mengenai obyek materi ilmu
dengan pernyataan singkat sebagai berikut : 1. Obyek ilmu adalah
alam syahadah maupun alam gaib. 2. Membangun pengetahuan
ilmiah mengenai alam tersebut dilakukan dengan acuan petunjuk
Allah. Bagaimana hal tersebut dipahami lebih jauh ? Betapa
mungkin petunjuk Allah dapat digunakan sebagai acuan untuk
membangun pengetahuan ilmiah ? Hal ini akan dijawab dalam bab
mengenai epistemologi.

IV. PANDANGAN EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU


IV. 1. Pengertian Epistemologi Dalam khazanah filsafat, secara
singkat epistemologi diartikan sebagai teori ilmu pengetahuan,
yang membicarakan watak satu bentuk pengetahuan manusia yang
disebut pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) atau secara
singkat disebut ilmu (science). Pembahasan watak pengetahuan
tersebut dilakukan melalui penjelasan tentang apa dan bagaimana
suatu pengetahuan disifati sebagai pengetahuan ilmiah (ilmu).
Epistemologi merupakan bentukan dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
juga berarti pengetahuan atau informasi. Jadi epistemologi adalah
pengetahuan tentang pengetahuan. Pembicaraan dalam
epistemologi pada pokoknya berhubungan dengan upaya untuk
menjawab bagaimana karakteristik pengetahuan ilmiah, bagaimana
metodologi memperolehnya dan apa kriteria keabsahan dan
kebenarannya serta bagaimana mengujinya. Kecenderungan
mutakhir pembicaraan filsafat ilmu, khususnya ditunjukkan oleh
beberapa penulis buku filsafat science moderen, memperlihatkan
"pengidentikan" antara filsafat science dengan epistemologi.
Padahal seharusnya, epistemologi hanyalah salah satu bagian dari
pembahasan filsafat ilmu. untuk IV.2. Beberapa Pandangan
Epistemologi Pandangan epistemologi dalam filsafat science
moderen tetap erat kaitannya dengan sejumlah aliran filsafat yang
mendasarinya Karena itu, beberapa pandangan epistemologis yang

Anda mungkin juga menyukai