Filsafat
Filsafat
SUMBER PENGETAHUAN
Pada pembicaraan bab I kita telah memperoleh penjelasan bahwa ilmu
adalah salah satu bentuk pengetahuan (knowledge). Dalam hal ini ilmu
adalah bagian dari pengetahuan dan ia disebut pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge). Karena itu, pembicaraan mengenai sumber
pengetahuan dalam bab ini termasuk di dalamnya sumber pengetahuan
ilmiah. IL.I. Sumber Pengetahuan menurut Filsafat Science Moderen.
Filsafat moderen atau lebih khusus lagi filsafat science moderent
memandang bahwa dalam berpengetahuan sebenarnya selalu ada dua
hal yang berhubungan, yaitu obyek-obyek yang diketahui dan subyek
yang mengetahui. Karena itu, harus ada pembedaan antara sumber-
sumber eksternal dan sumber-sumber internal pengetahuan. Obyek-obyek
yang ingin diketahui pada dasarnya adalah sumber pengetahuan, yakni
sumber eksternal pengetahuan. Sedangkan pada subyek yang
mengetahui, yaitu manusia, terdapat potensi-potensi yang dengannya
pengetahuan menjadi mungkin diaktualkan. Dalam hal ini para filsuf
science moderen berpendapat bahwa potensi-potensi itu adalah sumber-
sumber pengetahuan. Rasionalisme adalah salah-satu aliran filsafat yang
secara umum menekankan rasio (dari kata Latin : ratio) sebagai sumber
utama pengetahuan. Bahkan dalam penekanan kata "isme" pada kata
rasional menegaskan mutlaknya rasio sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang niscaya. Artinya, menurut penganut rasionalisme, satu-
satunya sumber pengetahuan yang mungkin adalah rasio. la merupakan
sumber pengetahuan yang pada hakikatnya tidak tergantung atau bebas
dari pengamatan inderawi. Ilmu pengetahuan sebagai suatu perolehan
hasil upaya pencapaian manusia pada dasarnya adalah sistem deduktif
rasional yang hanya secara tidak internal langsung berhubungan dengan
pengalaman inderawi. Dalam filsafat Barat (moderen) tokoh aliran ini ialah
Rene Descartes (1596-1650) yang bahkan disebut sebagai peletak dasar
aliran rasionalisme Barat. dan beberapa tokoh pasca Descartes, antara
lain : Nicolas Malerbranche (1638-1775), De Spinoza (1632-1677),
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).
Selanjutnya, pada pihak lain empirisme adalah juga salah-satu aliran
filsafat yang meletakkan doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan
harus dicari dan karena ia hanya bersumber dari pengalaman. Empirisme
yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah empiricism, dalam
bahasa Latin dikenal dengan istilah experientia yang artinya pengalaman.
Dalam bahasa Yunani ia dikenal dengan istilah emperia, atau empeiros
yang mengandung pengertian : berpengalaman dalam, berkenalan
dengan atau terampil untuk. Dalam memberi arti terhadap kata
pengalaman, empirisme meletakkannya pada pengamatan inderawi.
Karena itu, pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan,
menurut paham empirisme, tergantung pada dan hanya pada data
inderawi. Dalam sejarah filsafat Barat, tokoh aliran ini antara lain Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1665-
1753) dan David Hume (171 1-1776). Demikian secara sangat singkat
dikemukakan pandangan mengenai sumber pengetahuan dalam
rasionalisme dan empirisme yang sangat besar peranannya dalam teori
pengetahuan atau epistemologi. Di sini ia hanya dikemukakan secara
sangat singkat melalui pengertian dan doktrin utamanya mengenai
sumber pengetahuan, karena lebih jauh keduanya akan dibicarakan
dalam epistemologi. Sebenarnya terdapat aliran ketiga yang diletakkan
oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang sekaligus menjadi kritik atas
rasionalisme dan empirisme. Aliran itu dikenal dengan Kritisisme
(Kant), yang pada dasarnya bertujuan mengeliminir kecenderungan
ekstrim rasionalisme dan empirisme. Kant berpandangan bahwa baik
rasionalisme maupun empirisme, berat sebelah. Dikatakan, pengetahuan
manusia terjadi dari sintesa unsur-unsur apriori (sebelum pengalaman)
dan unsur-unsur aposteriori( sesudah pengalaman). Karena itu, untuk
mencapai obyektivitas menghindarkan diri dari sikap sepihak rasionalisme
atau empirisme. Dalam buku Living Issues in Philosophy, Harold H. Titus,
Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan mengemukakan bahwa dalam
pembahasan moderen dewasa ini ada empat sumber pengetahuan yang
mungkin. ilmu pengetahuan, orang harus Kata : yang mungkin dalam
pandangan Titus et al di atas cukup penting untuk digaris bawahi untuk
menekankan bahwa dalam realitas pembicaraan filsafat moderen,
khususnya filsafat science moderen, pertentangan filosofis untuk saling
menegasikan antara rasionalisme dan empirisme tidak lagi dibahas
secara dari berlarut-larut. Kedua-duanya dinilai sebagai bagian sumber-
sumber pengetahuan yang mungkin. Karena itu menurut filsafat science
moderen, empat sumber pengetahuan yang dimaksudkan di atas adalah:
1. Orang yang Memiliki Otoritas. Titus et al (1984) mengawali penjelasan
mengenai hal ini dengan ilustrasi pertanyaan, bagaimana kita mengetahui
bahwa Socrates dan Julius Caesar pernah hidup di dunia ? Apakah
mereka itu orang-orang khayalan seperti nama-nama lain yang kita baca
dalam mitologia dan novel-novel moderen ? Jawaabnya, kita punya
pengetahuan tentang Socrates dan Julius Caesar sebagai orang-orang
yang pernah ada dan hidup di dunia, yakni dari kesaksian orang-orang
yang pernah ada serta hidup sezaman dan setempat dengan mereka,
serta juga ahli-ahli sejarah. Artinya, ada orang yang ditempatkan sebagai
yang memiliki otoritas sebagai sumber pengetahuan mengenai hal yang
ingin diketahui, yaitu mereka yang punya kesaksian dan pengalaman dan
pengetahuan berkenaan dengan itu. Demikian filsafat science moderen
memberi alasan unbul menempatkan adanya orang yang mempunyai
otoritas sebagai sumber pengetahuan, yaitu mereka yang karena
otoritasnya, tepat dan relevan dijadikan sebagai sumber pengetahuan
tentang suatu hal. Otoritas tersebut didasarkan pada kesaksian yang bisa
diberikannya. Pada zaman moderen ini, orang yang ditempatkan memiliki
otoritas, misalnya, dengan pengakuan melalui gelar, diploma/ijazah.
Termasuk juga dalam hal ini. misalnya, hasil publikasi resmi mengenai
kesaksian otoritas tersebut, seperti buku-buku atau publikasi resmi
pengetahuan lainnya. Namun, penempatan otoritas sebagai sumber
pengetahuan tidaklah dilakukan dengan panyandaran pendapat
sepenuhnya, dalam arti tidak dilakukan secara kritis untuk tetap bisa
menilai kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, otoritas hanya
ditempatkan sebagai sumber kedua, yang berkedudukan sebagai sumber
eksternal, sedangkan sumber-sumber internal pada diri sendiri tetap
sebagai sumber pertama. 2. Indra. Dalam pandangan filsafat science
moderen, indra aflalah peralatan pada diri manusia sebagai salah-satu
sumber internal pengetahuan. Untuk memahami posisi indra sebagai
sumber pengetahuan biasanya diajukan pertanyaan misalnya, bagaimana
mengetahui bahwa besi memuai bila dipanaskan atau air membeku bila
didinginkan hingga mencapai derajat kedinginan tertentu ? Terhadap
pengetahuan semacam itu, filsafat science moderen berpandangan
bahwa indra lah yang menjadi sumbernya. Bahkan padangan empirisme
yang diterapkan dalam filsafat science moderen menyatakan bahwa
pengetahuan pada dasarnya adalah dan hanyalah pengalaman-
pengalaman konkrit kita yang terbentuk karena persepsi indra, seperti
persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencicipan
dengan lidah. Sains moderen mengembangkan prinsip tersebut secara
metodis melalui pengamatan terarah dan eksperimen untuk mendapatkan
data dari fakta empirik Untuk mewujudkan hal itu, science moderen
menggunakan peralatan teknologis untuk menjalankan prinsip persepsi
indra dalam mempersepsi secara terarah terhadap data fakta yang
relevan, dan sekaligus memberikan ukurannya. Yang dilakukan sesudah
itu adalah inferensi induktif, yaitu penarikan simpulan (inferensi) yang
bersifat umum sebagai sebuah pengetahuan,dari pemahaman akan
gejala-gejala individual yang telah diamati. Dalam menuju simpulan yang
dipandang benar, biasanya terlebih dahulu dirumuskan hipotesis sebagai
pengetahuan sementara, untuk kemudian diuji kebenarannya. Namun
dalam menempatkan indra sebagai sumber pengetahuan, filsafat science
moderen juga menekankan pentingnya kehati-hatian, utamanya terhadap
kemungkinan pengaruh prasangka dan emosi yang akan merusak
obyektifitas. Dalam hal ini diingatkan akan kecenderungan kodrati dimana
orang dipengaruhi oleh keinginan hanya melihat apa yang ingin dilihatnya
dan/atau melihat apa yang ia telah terlatih untuk melihatnya. Padahal
yang diharapkan dari sini (dengan persepsi indra ini), sebenarnya adalah
penampakan (appearance) sesuatu menurut kenyataannya (realitasnya).
3. Akal Dalam kenyataannya ada pengetahuan tertentu yang bisa
dibangun oleh manusia tanpa harus atau tidak bisa mempersepsinya
dengan indra terlebih dahulu. Manusia bisa membangun pengetahuan,
misalnya, dari anggapan masing-masing sama besarnya dengan entitas
ketiga adalah entitas sama besar. Pengetahuan semacam itu jelas
dengan sendirinya (tanpa persepsi indra) karena ada akal yang
memungkinkannya. Demikian argumentasi yang dibangun para filsuf
science untuk dua entitas yang melandasi pemikiran mereka mengenai
akal sebagai sumber pengetahuan. Bertitik-tolak dari kenyataan tersebut,
maka filsafat science moderen menempatkan akal adalah salah-satu
sumber pengetahuan yang mungkin untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah. Pandangan ini merupakan representasi dari pandangan filsafat
Rasionalisme, yang dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa
manusia memiliki potensi mengetahui dengan pasti dengan sendirinya,
tentang beberapa hal yang relevan. Misalnya, kenyataan-kenyataan
keseluruhan adalah lebih besar dari bagian-bagiannya; satu adalah
separuh dari dua; keliling lingkaran lebih besar dari garis tengahnya,
adalah pengetahuan yang dapat diketahui dengan pasti dan dengan
sendirinya karena potensi akal. Istilah bahasa Indonesia yang biasanya
digunakan dalam filsafat untuk akal ialah akal budi, yang dalam bahasa
Inggris disebut reason dan bahasa Latin disebut ratio dan intellectus.
Mengenai akal budi ini, Aristoteles berpandangan bahwa akal budi
mempunyai potensi untuk memahami bentuk atau representasi suatu
obyek terindra. Potensi ini dilakukan oleh akal budi pasif. Akan tetapi
potensialitas akal budi pasif dimungkinkan oleh akal budi aktif dengan
cara membuat representasi eksplisit untuk menyadari obyek tersebut
melalui pengabstraksian dari pengalaman indra. Selanjutnya, Aristoteles
menempatkan apa yang dinamakannya sebagai akal budi praktis sebagai
potensi akal budi dalam bentuk : (1) kemampuan yang memungkinkan
manusia mengetahui cara-cara bagaimana yang tersedia untuk mencapai
pengetahuan, dan kemudian memilih cara yang paling tepat serta relevan
untuk itu, (2) kemampuan memberi pertimbangan sehingga akal
melakukan penalaran atau pemikiran untuk menghasilkan keputusan
dalam bentuk pilihan, tindakan atau resolusi. Pada pihak lain, Aristoteles
menamakan akal budi teoritis yang memiliki potensi kontemplasi dalam
arti : (1) penalaran atau pemikiran untuk mencapal pengetahuan, dan (2)
kemampuan yang dengannya penalaran atau pemikiran untuk mencapai
pengetahuan itu dilakukan. 4. Intuisi
Dalam mengawali pembicaraan mengenai intuisi sebagai salah-satu
sumber pengetahuan yang mungkin, dalam Living Issues in Philosophy,
Titus, Smith dan Nolan mengantarnya dengan sebuah pertanyaan,
bagaimana kita mengetahui, misalnya, jika kita kebetulan bertemu dengan
seseorang untuk pertama kali, kemudian kita mengetahui bahwa oran
tersebut dapat dipercaya ? Apakah kita mempunyai rasa (sense) atau
intuisi yang kadang-kadang memberi kita pengetahuan yang langsung
tentang situasi kita ? Pertanyaan tersebut dikemukakan oleh penulis untuk
membicarakan bahwa suatu sumber pengetahuan yang mungkin adalah
intuisi atau pemahaman yang langsung tentang pengetahuan yang tidak
merupakan hasil pemikiran yang sadar atau persepsi rasa yang langsung.
George Santayana (dalam Titus et al, 1984) memakai istilah intuisi dalam
arti kesadaran tentang data-data yang langsung dirasakan. Misalnya
sewaktu kita mendengar bunyi, maka selain kita mendengar, kita juga
sadar tentang pendengaran kita dan sadar tentang diri kita sebagai yang
mendengar. Jadi menurut Titus, Smith dan Nolan (1984) intuisi terdapat
dalam pengetahuan tentang diri sendiri, kehidupan diri sendiri dan dalam
aksioma matematika. Intuisi ada dalam pemahaman kita tentag hubungan
antara kata-kata (proposition) yang membentuk bermacam-macam
langkah dari argumen. Unsur intuisi adalah dasar dari pengakuan kita
terhadap keindahan, ukuran moral yang kita terima dari nilai-nilai agama.
Pandangan lain mengenai intuisi ialah bahwa intuisi sebenarnya hanya
merupakan hasil tumpukan pengalaman dan pengetahuan seseorang
pada masa lalu. Intuisi hanya berperanan memendekkan proses
pengetahuan yang scharusnya semula diungkapkan oleh indra dan
pemikiran reklektif. Pandangan ini mengartikan bahwa intuisi adalah hasil
induksi dan deduksi yang terjadi di bawah sadar. Itulah sebabnya,
menurut pendpat ini mereka yang mempunyai banyak pengalaman dalam
berfikir de bekerja lebih mudah mempunyai intuisi yang baik dalam
bidangnya Misalnya, pandangan ilmiah lebih mudah muncul pada mereka
yang bergelut terus dengan problema ilmiah; inspirasi puitik banyak
dialami oleh-penyair; intuisi filsafat atau agama muncul pada mereka yang
banyak mengarahkan perhatiannya pada dua dunia itu. Henri Bergson
(1859-1941) adalah salah-seorang tokoh filsafat moderen yang
memandang intuisi sesederhana pandangan di atas. Bahkan ia
berpendapat bahwa intuisi dan akal mempunyai arah yang bertentangan.
Menurutnya, intuisi yang sesungguhnya adalah naluri (instinct) yang
menjadi kesadaran diri sendiri dan bekerja ke dalam diri. Jika ia meluas,
maka ia memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Intuisi bekerja dari
dalam dan langsung, memberi elan vital dan bukannya oleh intelek, yang
dari luar. Pengertian intuisi yang berbeda dengan ketiga pengertian di atas
adalah pandangan tentang intuisi mistik. Menurut pandangan ini praktik-
praktik mendapatkan pengetahuan langsung dan mengatasi (transcend)
atas pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Hal itu terjadi
secara intuitif, dan intuisinya disebut intuisi mistik. Hal ini dimungkinkan
karena seorang mistikus adalah orang yang memiliki kondisi teramat
sadar terhadap kehadiran Yang Maha Riil (presence of the ultimately real).
Demikian beberapa pandangan singkat mengenai intuisi, yang
walaupun antara satu dengan yang lain menunjukkan perbedaan, namun
dalam pandangan filsafat science moderen, sekurang-kurangnya dalam
perkembangannya yang telah melewati masa saling menegasikan
pandangan tentang sumber-sumber pengetahuan yang paling niscaya,
berpendapat bahwa ada yang bernama intuisi, sebagai salah-satu sumber
pengetahuan yang mungkin.
2. Materialisme
Hakikat kenyataan adalah materi. Demikian doktrin pandangan filsafat
materialisme. Doktrin tersebut didasarkan pada argumen filosofis bahwa
segala sesuatu yang hendak dikatakan nyata (1) pada hakikatnya berawal
dari materi, atau (2) terjadi karena gejala-gejala yang bersangkutan
dengan materi. Karena itu, materialisme menyatakan bahwa tidak ada
entitas nonmaterial dan kenyataan supra natural. Pikiran dan aksi mental
lain yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak bersubstansi material,
pada dasarnya adalah perwujudan dari gejala-gejala yang bersangkut
paut dengan materi. Dari penjelasan singkat di atas terlihat bahwa jika
naturalisme mendasarkan ajarannya pada alam sebagai kenyataan
terdalam, maka materialisme mendasarkannya pada materi. Dengan kata
materi, yang dimaksudkannya adalah yang bersifat material, baik yang
bersifat makroskopis maupun mikroskopis. Karena itulah maka materi
dikatakan bersifat abadi, dalam arti yang abadi adalah serial material.
4. Idealis me Bertolak belakang dengan materialisme dan
naturalisme, idealisme merupakan satu corak kefilsafatan yang
berpandanganbahwa hakikat terdalam dari kenyataan tidaklah
bersifat materi, melainkan bersifat rohani atau spiritual (kejiwaan).
Karena itu istilah idealisme terkadang dikenal juga dengan istilah
immaterialisme atau mentalisme. Penganut idealisme
berpandangan bahwa pada hakikatnya kenyataan terdalam yang
dikenal oleh naturalisme sebagai bersifat alam, atau oleh
materialisme sebagai bersifat materi, sebenarnya bersifat rohani.
Jika benar apa yang dikatakan oleh naturalisme dan materialisme,
tentu segala hal dan gejala pasti dapat diterangkan dengan
penjelasan yang bersifat alam atau materi dan tidak ada misteri.
Akan tetapi demikian banyak terdapat hal atau gejala yang tidak
dapat diterangkan dengan cara itu, seperti nilai, makna,
pengalaman spiritual dan lain-lain sejenisnya. Bahkan adanya nilai,
pada hakikanya mengandung makna adanya jiwa atau roh yang
dapat menangkap maknanya. Istilah roh dalam hal ini dimaknai
sebagai sesuatu dalam diri yang bukan berupa alat-alat inderawi,
yang menangkap dan memberi penghargaan kepada nilai-nilai.
Karena itu, idealisme menempatkan pahamnya pada sisi ekstrim
sebaliknya, yang sebagaimana pendapat G. Watts Cunningham
(dalam Titus al, 1987) bahwa agar materi atau tatanan kejadian
yang terjadi dalam ruang dan waktu dapat dipahami , hakikatnya
yang terdalam maka, harus ada jiwa atau roh yang menyertainya
dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal
tersebut. Dengan pandangan seperti ini, idealisme menyatakan
bahwa seluruh realitas (ontologis) bersifat spiritual dan materi (yang
fisik) pada hakikatnya (epistemologis) ialah bahwa pengetahuan
mengenai realitas hanya mungkin melalui proses-proses mental.
5. Hilomorfisme
Hilomorfisme merupakan istilah yang dalam bahasa Yunani
merupakan bentukan dari dua kata yaitu hyle (materi) dan morphe
(bentuk, rupa). Hilomorfisme meletakkan pandangannya dengan
doktrin bahwa tidak satupun hal yang bersifat fisis yang bukan
merupakan kesatuan dari esensi dan eksistensi. Artinya, ia selalu
memiliki sifat fisis dan hakikat tertentu. Eksistensi dapat dipersepsi
secara inderawi dan esensi dapat dipahami sebuah kursi (sebagai
sesuatu yang bereksistensi). Kursi itu adalah sesuatu yang ada,
berada dalam kenyataan, dan menampak dalam ruang dan waktu.
Karena itu ia berkesistensi dan potensial dipersepsi secara
inderawi Apa sesungguhnya hakikatnya sebagai sesuatu yang
bereksistensi ? Tidak lain adalah kursi. Ke"kursi"an adalah esensi
dari kursi itu dan merupakan keapaan (whatness) kursi yang dapat
dipahami secara akali. Dalam hal ini, upaya memahami
keberadaan (isness) kursi yang bereksistensi tidak dapat dipahami
tanpa adanya dirinya dengan keapaan (whatness) sebagai kursi.
Apa yang dikemukakan diatas adalah keniscayaan adanya esensi
pada setiap hal yang bereksistensi secara fisik. Pemahaman ini
sesungguhnya mengajak untuk bisa memilah antara eksistensi dan
esensi. Oleh karena tidak selalu yang bereksistensi harus
berbentuk fisik (fikiran misalnya), maka doktrin tersebut tidak harus
dipahami secara sebaliknya bahwa segala sesuatu yang beresensi
dengan sendirnya harus bereksistensi. Hilomorfisme lebih jauh
meletakkan doktrin bahwa semua benda fisis tersusun dari materi
dan berforma. Forma adalah prinsip aktualitas dan aktivitasnya,
sedangkan materi adalah prinsip potensialitas dan pasitivitasnya.
Sebagaimana halnya doktrin pertama, doktrin ini pada dasarnya
adalah doktrin Neo-Thomisme. Dalam penerapannya pada
manusia, misalnya, maka manusia dapat dipahami secara
eksistensial dan esensial. Esensi manusia adalah apa yang
menjadikan dirinya sebagai manusia. Kendatipun secara
eksistensial diri manusia bisa mengalami perubahan (tua, invalid,
operasi plastik dll) fisik, namun ia tetap manusia. Esensinya tetap
ada dan tidak berubah karena perubahan lahiriahnya Esensi
manusia sebagai manusia adalah tidak fisis. Sebagai pandangan
yang lebih meluas, hilomorfisme juga menyatakan bahwa alam
semesta tersusun atas materi dan bentuk dalam satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Ada materi berarti ada bentuk, ada
bentuk berarti juga ada materi. Pandangan ontologis hilomorfisme
adalah pandangan yang didasarkan atas hasil penerapan akal budi
terhadap dunia sekeliling yang berbentuk.
6. Positivisme Positivisme adalah aliran filsafat yang secara radikal
beranjak dari ketidakpercayaan terhadap pandangan-pandangan
dan pembicaraan-pembicraan aliran-filsafat sebelumnya. metafisis
yang dilakukan oleh Karena itu, para penganutnya menyatakan
bahwa positivisme adalah suatu filsafat non-metafisik. Dalam
pandangan positivisme, pertanyaan-pertanyaan metafisis sama
sekali tidak mengandung makna, tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak ada gunanya. Pada dasarnya,
satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui
kenyataan adalah apa yang disebut sebagai keadaan dapat
diverifikasi (creterion of verifiability), demikian ancangan dasar
positivisme. Misalnya, pernyataan metafisis yang mengatakan
bahwa "ada substansi terdalam dari segenap hal yang menampak",
jelas adalah pernyataan yang tidak ada gunanya karena tidak
bermakna, karena tak satupun pengamatan inderawi yang bisa
dilakukan untuk mengambil keputusan terhadap kebenaran bisa
tersebut, dan karenanya ia tak pernyataan dipertanggungjawabkan.
pernyataan-pernyataan metafisik lain.
III.3. Implikasi Pandangan Ontologis
Pada Filsafat Science Moderen Betapapun di atas telah
ditunjukkan bahwa terdapat beberapa pandangan filsafati yang
secara berbeda berbicara mengenai hakikat kenyataan, namun
dalam filsafat science moderen secara bersama ia menunjukkan
cara pandang mengenai obyek materi ilmu dengan karakteristik : 1.
Memandang obyek materi ilmu tidak dalam kerangka pandangan
adanya Pencipta yang memandang segala sesuatu selain Pencipta
adalah ciptaan. 2. Memandang sesuatu sebagai suatu obyek materi
ilmu sejauh ia berada dalam jangkauan indra dan/atau rasio
manusia untuk bisa memahaminya, dan pemahaman atasnya
merupakan fungsi dari indra dan/atau rasio itu. 3. Memandang
keberadaan obyek materi ilmu hanya dalam kerangka ruang dan
waktu dunia belaka. 4. Memandang obyek materi ilmu di atur oleh
hukum-hukum keberadaan, namun tidak mempersoalkan asal
hukum-hukum keberadaan itu.
Artinya : Dia lah (Allah) Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir
dan Yang Batin. Dan Dia Mengetahui segala sesuatu.