Anda di halaman 1dari 12

PEREMPUAN MADURA SEBAGAI SIMBOL PRESTISE

DAN PELAKU TRADISI PERJODOHAN

Masyithah Mardhatillah
Aktivis Madura Migrant Care dan alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Abstract
Maduranesse women are generally considered as prestige symbol of society, family, even a man. By this reason,
they are treated as well as possible to keep the prestige stable even higher. However in some degree, the treatment
seems not totally advantageous for women in the sense that they have limited access to make various important
decisions for their lives especially in choosing the spouse. Maduranesse society still tend to choose arranged
marriage for their daughters that the daughters don’t have significant role in making any decision related with
arranged marriage, engagement, even marriadge itself. As the prestige maintainer, Maduraness female teenagers
are also supposed to be in an engagement or marriadge relationship as soon as they get the first menstruation.
They all are the common tradition of Maduranesse people which is also strengthened by some local wisdom
well-alive in the society. In the other hand, this common ryhtm of arranged marriadge is in fact able to create
a long-lasting marriage which is good for both, especially for women.
Keyword: Perempuan Madura, simbil prestise dan tradisi perjodohan.

Pendahuluan umum yang mengawali terjadinya carok.1Terlepas


Dibandingkan hal-hal lain, kekerasan atau praktik dari benar tidaknya anggapan tersebut, perempuan
carok barangkali merupakan hal yang paling dalam masyarakat Madura sebenarnya merupakan
sering diidentikkan dengan masyarakat Madura. antitesis dari nilai kekerasan carok sebab ia
Ini merupakan suatu keniscayaan bukan hanya merupakan simbol keindahan, kelembutan
karena praktik semacam carok tidak dapat dengan sekaligus ketangguhan dalam menjalankan peran
mudah ditemui di wilayah-wilayah lain, akan tetapi sebagai seorang perempuan, istri, ibu, nenek
karena carok sendiri memiliki berbagai kekhasan hingga peran-peran dan atau berbagai profesi lain.
yang membuatnya berbeda, semisal bentuknya Perempuan juga merupakan bagian penting
yang beragam dan evolutif namun khas, ikon dalam struktur masyarakat Madura karena
celurit serta motif-motif yang melatarbelakanginya. menjadi simbol prestise dan kehormatan sebuah
Saking identiknya Madura dengan carok dan keluarga. Tak heran jika kemudian ia begitu
nilai-nilai kekerasan, hal-hal lain tentang Madura banyak dilekatkan dengan berbagai kearifan
menjadi tidak banyak diketahui atau kurang lokal masyarakat setempat yang tumbuh berakar
diminati, termasuk tentang perempuan Madura dari generasi ke generasi. Seperti halnya kearifan-
yang ditengarai tidak jarang menjadi sebab kearifan lokal lain, kearifan lokal pada Masyarakat
terjadinya praktik carok. Persoalan tahta, harta Madura sedikitnya memiliki fungsi dan atau ciri
(utamanya tanah dan ternak) dan wanita hingga sebagai penanda identitas sebuah komunitas,
hari ini masih dipercaya sebagai sebab paling perekat kohesi sosial, unsur budaya yang tumbuh
1
Abdul Hadi MW “Madura: Sejarah, Sastra dan Perempuan
Seni” dalam http://www.lontarmadura.com/madura-sejarah-sastra-
dan-perempuan-seni-2/ Diakses pada 7 Desember 2014.
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014

secara natural serta pengarah pola pikir dan sesuai dengan kriteria yang didambakan. Namun
tingkah laku.2 Pada masyarakat Madura, kearifan demikian, uniknya, kearifan-kearifan lokal yang
lokal yang hidup di tengah-tengah masyarakat bermain di balik perjodohan Madura semacam
utamanya begitu kuat mengarahkan pola pikir dan itu kadangkala menempatkan perempuan
tingkah laku sehingga eksistensinya tetap bertahan Madura justru pada posisi terhormat, mulya serta
kendati masyarakat bukan tak mengenal berbagai menguntungkan dalam hal fisik maupun non-fisik.
pola pikir hingga gaya hidup yang terbilang baru. Lagi-lagi, ini kembali berkait erat dengan posisi
Keadaan yang demikian menempatkan perempuan Madura yang menjadi simbol prestise
perempuan Madura pada posisi yang dalam baik bagi sebuah keluarga atau individu secara
sebagian hal tampak cukup dilematis. Di satu pribadi—yakni suami atau calon suami—sehingga
sisi mereka diharapkan untuk bisa menjaga perempuan akan diperlakukan dan dijaga sebaik
bahkan mengangkat martabat keluarga dan atau mungkin.
masyarakat secara luas, akan tetapi di sisi lain Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi
kebebasan dan ruang ekspresi mereka justru berbagai kearifan lokal masyarakat Madura dalam
diarahkan sedemikian rupa, khususnya agar hubungannya dengan status perempuan Madura
mengikuti arus utama dalam menjalankan dan sebagai simbol prestise serta posisinya sebagai
melestarikan berbagai tradisi dan norma yang telah pelaku tradisi perjodohan dengan berbagai serba-
lama dianut masyarakat. Dalam beberapa hal, serbi di dalamnya. Netralitas dan keberimbangan
perempuan Madura tampak ingin diseragamkan data serta analisis dalam tulisan ini diupayakan
dalam pola-pola proses maupun hasil yang diakui dapat menyajikan persoalan seapa adanya serta
dan diterima masyarakat. Karena itu, dominasi sekritis mungkin.
keluarga dan atau tokoh masyarakat menjadi
cukup besar dalam menentukan pilihan-pilihan
Perempuan Madura sebagai Simbol
yang berdampak besar bagi kehidupan mereka
Prestise (dalam Pernikahan)
mulai dari persoalan pendidikan, pekerjaan hingga
perjodohan dengan anggapan bahwa perempuan Kekhawatiran seorang gadis akan menjadi
Madura sebaiknya dikawal dalam membuat perawan tua dan ta’ paju lake (tidak ada lelaki
keputusan-keputusan penting agar tidak salah yang melamar atau mau menikahi) bisa dibilang
memilih jalan. Dengan skenario semacam itu, merupakan faktor utama tingginya angka
perempuan Madura seakan-akan tidak memiliki pernikahan dini bagi perempuan Madura.3 Ini
kekuasaan penuh untuk menciptakan dan utamanya dirasakan orangtua dan keluarga,
menentukan alur hidup dan masa depan mereka sehingga keputusan-keputusan berkait dengan
sendiri. sang gadis, mulai dari persoalan pendidikan
hingga perjodohan dipengaruhi oleh pola pikir
Hal yang demikian utamanya begitu tampak
yang demikian. Apalagi, sebagian masyarakat
dalam tradisi perjodohan di mana perempuan
Madura masih memercayai bahwa lamaran
Madura umumnya ‘diharuskan’ menerima,
pertama terhadap si gadis akan menjadi pamali
menjalani sekaligus melestarikan berbagai tradisi
jika ditolak. Tak heran, perjodohan dan atau
yang telah mengakar di masyarakat. Mereka tidak
pertunangan perempuan Madura tidak hanya
sepenuhnya bebas memilih kapan dan dengan
dimulai ketika sang gadis memasuki usia remaja,
siapa mereka menikah serta cenderung menunggu
akan tetapi sejak masa kanak-kanak bahkan ketika
lamaran dari pihak laki-laki atau inisiatif orang
masih dalam kandungan, meski secara umum
tua perihal perjodohan dengan calon yang
perjodohan biasanya diselenggarakan setelah si
bukan tak mungkin belum dikenal dan atau tak
2
Fungsi yang demikian dikemukakan oleh John Haba 3
Miftahol Birri, “Otonomi Perempuan Madura dalam
dalam Reviltalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Perkawinan” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm.
Barat. Irwan Abdullah, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan 49. Bandingkan dengan A. Latif Wiyata, Carok; Konflik Kekerasan
Global (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). 9. dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2002), 52.

168
Masyithah Mardhatillah: Perempuan Madura sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan

gadis mengalami datang bulan (haid) pertama.4 harga diri laki-laki atau suami.7 Beberapa bulan
Kendati pernikahan dilaksanakan belakangan lalu, misalnya, warga Madura digemparkan
dan kesadaran akan pentingnya pendidikan mulai dengan penyerangan terhadap seorang sopir
dirasakan sebagian besar masyarakat, anggapan angkutan umum di keramaian kota hingga korban
bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi bersimbah darah tanpa ada seorangpun yang segera
akan membuatnya justru dijauhi para lelaki— berinisiatif menolong. Berita menyebutkan bahwa
yang kurang percaya diri untuk melamar—tetap persoalan perempuan menjadi sebab dalam kasus
membuat para orang tua buru-buru menikahkan tersebut sebab si korban ditengarai menggoda (dan
anak gadisnya.5 Setelah menikah, orang tua pada atau berhubungan dekat dengan) istri pelaku yang
umumnya akan merasa sebagian besar tugasnya tengah ditinggal berlayar selama beberapa bulan.8
telah selesai betapapun pada saat yang sama ia Konflik Sunni-Syi’ah di Sampang juga ditengarai
masih memiliki beberapa anak laki-laki lajang. bermotif perebutan seorang perempuan yang
Minimal, orangtua akan merasa tenang kemudian bercampur dengan konflik agama.9 Jika
jika anak gadisnya telah bertunangan. Tradisi anggapan adanya motif perempuan di balik dua
pertunangan dalam masyarakat Madura sedikit kasus tersebut benar adanya, ini lebih dari cukup
berbeda dengan masyaraka Jawa yang umumnya menunjukkan bahwa perempuan Madura masih
mengenal istilah lamaran untuk menggambarkan benar-benar menjadi simbol dari prestise laki-laki
prosesi khitbah dan terjadi beberapa bulan yang akan dijaga dan dipertahankan sedemikian
sebelum pernikahan. Dengan jarak waktu yang rupa dengan berbagai cara.
begitu dekat tersebut, sangat kecil kemungkinan Selain itu, jika benar dmikian, keduanya
rencana pernikahan mengalami kegagalan. juga menandakan bahwa peribahasa yang begitu
Namun demikian dalam masyarakat Madura, terkenal di kalangan masyarakat Madura, yakni
pertunangan yang terjadi umumnya bukan untuk lebbih begus pote tolang ebending pote mata yang
menandai telah dekatnya waktu pernikahan, akan kurang lebih berarti lebih baik putih tulang
tetapi lebih pada menandai ikatan antara seorang (meninggal dunia) dibanding putih mata (tidak
gadis dan lelaki.6 Hubungannya dengan prestise, bisa melihat atau kehormatannya terlepas)
lembaga pertunangan kemudian pernikahan masih tetap hidup dalam masyarakat. Nilai yang
dalam masyarakat Madura tidak hanya akan demikian berlaku tidak hanya pada pasangan
menyelamatkan dan menentukan prestise keluarga, yang telah atau masih hidup bersama, akan tetapi
akan tetapi juga prestise seorang lelaki sebagai juga pada pasangan yang telah memutuskan
tunangan ataupun suami, khususnya jika si (calon) untuk bercerai atau masih bertunangan. Untuk
istri juga merupakan masyarakat Madura. mendekati dan atau menikahi seorang janda,
Konsep prestise sebagai seorang lelaki inilah seorang lelaki harus meminta idzin dulu dari
yang diduga melatarbelakangi terjadinya beberapa bekas suami janda yang bersangkutan agar tidak
kasus kekerasan di Madura sebab hingga hari dianggap menodai hak dan prestise-nya sebagai
ini, masyarakat Madura secara umum masih seorang lelaki Madura, kendatipun tersebut
memandang setiap bentuk gangguan terhadap
tunangan atau istri sebagai pelecehan terhadap A. Latif Wiyata, Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri…,
7

58.
8
h t t p : / / w w w . t e m p o . c o / r e a d /
4
Miftahol Birri, “Otonomi Perempuan Madura dalam news/2014/10/27/058617407/Goda-Istri-Orang-Sopir-Angkot-
Perkawinan”…, hlm. 44-49. Birri bahkan mengatakan bahwa Dibacok-di-Jalan Diakses pada 07 Desember 2014.
pertimbangan hanya dilakukan oleh keluarga si jejaka dan tak 9
http://www.surabayapagi.com/index.php?read~-Tragedi-
ada pertimbangan apapun (khususnya untuk menerima lamaran) Sampang-Rebutan-Cewek;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962
dalam keluarga si gadis. f6733ce081884f319ff9175b83e78441 Diakses pada 07 Desember
5
Miftahol Birri, “Otonomi Perempuan Madura dalam 2014. Analisis mendalam serta tawaran solusi yang representatif
Perkawinan”…, 45 dan 58. mengenai hal ini dikemukakan dalam Haryo Ksatrio Utomo,
6
Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Pembawaan, Perilaku, “Persamaan, Perbedaan dan Feminisme: Studi Kasus Konflik
Etos Kerja, Penampilan dan Pandangan Hidupnya Seperti Diceritakan Sampang-Madura”, dalam Makara, Sosial Humaniora, Universitas
Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007). 89. Indonesia Jakarta vol. 16 no. 2, Desember 2012. 123-134.

169
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014

sudah berakhir.10 Hal yang sama juga berlaku bagi menjadi simbol prestise kadangkala membebaskan
perempuan yang telah bertunangan di mana ia perempuan Madura dari tugas breadwinning
harus benar-benar menjaga diri utamanya dalam atau mencari nafkah sehingga mereka memiliki
pergaulan dengan lawan jenis. Herannya, dua hal kesempatan lebih untuk mengembangkan
ini bisa dibilang tidak berlaku bagi laki-laki yang diri, melakukan hobi, memaksimalkan potensi
berstatus duda atau tunangan orang. maupun mengoptimalkan peran yang dimiliki
Memegang posisi sebagai simbol prestise sebab urusan breadwinning hampir sepenuhnya
bagi keluarga maupun laki-laki yang demikian, ditangani suami. Ini misalnya tampak dari kisah
perempuan Madura secara cultural dituntut untuk perempuan Madura yang belajar membatik
mematuhi berbagai aturan kesopanan hingga ketika suami mereka tengah berlayar13 ataupun
keutamaan mulai dari dari cara berpakaian, membantu menyiapkan peralatan dan distribusi
bertingkah laku, berbicara hingga bergaul dengan hasil tangkapan ikan menjelang kepulangan suami.
lawan jenis atau orang yang lebih tua. Dari situ, Selain menyalurkan hobbi dan mengembangkan
banyak orang tua yang mengirim putrinya untuk diri, hal yang demikian tentu juga bisa mendukung
bersekolah di pesantren dengan harapan dapat pertumbuhan ekonomi keluarga. Mengenai
memimba ilmu dan mengarahkan perilaku. peran perempuan dalam tugas breadwinning, lelaki
Dalam sebagian hal, pilihan yang demikian cukup Madura umumnya akan merasa lebih bangga jika
sukses membatasi ruang gerak perempuan Madura sang bebas tangan dari urusan mencari nafkah,
sehingga mereka memiliki kesempatan yang relatif meski sebagian lain ada yang justru senang jika
lebih kecil untuk tampil di muka publik dalam dibantu sang istri.14
event-event kesenian, penyaluran bakat dan minat Menjadi simbol prestise kadangkala juga
atau pergelaran budaya lain utamnya yang seforum memfasilitasi perempuan Madura untuk tampil
dengan para lelaki. 11 secantik dan semenarik mungkin sebab baik
Hal di atas barangkali terkesan merugikan keluarga maupun tunangan (atau suami) akan
perempuan Madura dalam beberapa hal, akan merasa malu jika anak, tunangan atau istri mereka
tetapi menjadi simbol prestise sebenarnya juga berpenampilan terlalu sederhana atau tidak sama
menempatkan perempuan Madura pada posisi dengan orang kebanyakan. Karenanya, untuk
strategis. Ini misalnya tampak dari pendidikan momen-momen tertentu, mereka kerap disilakan
seks sejak dini yang konon telah diajarkan pada berbelanja keperluan kecantikan mulai dari
perempuan Madura diiringi dengan perlindungan baju, aksesoris, kosmetik hingga perhiasan emas.
dan penjagaan yang ketat terhadap pergaulan Ini pulalah yang melahirkan anggapan bahwa
mereka. Dengan setting yang demikian, ketika perempuan Madura adalah toko emas berjalan
beranjak remaja, perempuan Madura dikenal sebab banyaknya perhiasan emas yang dipakai
memiliki pesona yang khas sebagai perempuan ketika mereka bepergian atau menghadiri sebuah
yang ‘terjaga’ dan ‘suci’ sedang sebagai seorang acara. 15 Meski pemandangan demikian tidak
istri, mereka dikenal begitu ‘perkasa’ dalam ditemukan di semua kalangan, pandangan bahwa
hal seksualitas termasuk memastikan kesetiaan penampilan seorang perempuan mencerminkan
pasangan.12 Hal tersebut tentu merupakan nilai kesejahteraan ekonomi suami atau orangtua
plus tersendiri yang tak banyak ditemukan dari tetap hidup dalam masyarakat Madura. Dari
perempuan dengan kultur yang berbeda. Selain itu, situ, bentuk pengukuhan prestise tersebut bisa

http://rona.metrotvnews.com/read/2014/11/03/313423/
13

10
Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Pembawaan…, 337. iwet-gambarkan-perempuan-madura-lewat-batik Diakses pada 7
11
Abdul Hadi MW “Madura: Sejarah, Sastra dan Perempuan Desember 2014
Seni” dalam http://www.lontarmadura.com/madura-sejarah-sastra- 14
Achmad Mulyadi, “Perempuan Madura Pesisir Meretas
dan-perempuan-seni-2/ Diakses pada 7 Desember 2014. Budaya Mode Produksi Patriarkat”, Jurnal Karsa STAIN Pamekasan
12
Abdul Hadi MW “Madura: Sejarah, Sastra dan Perempuan Vol. 19 No. 2 tahun 2011, 2-4.
Seni” dalam http://www.lontarmadura.com/madura-sejarah-sastra- 15
http://www.warungbebas.com/2010/01/inilah-sifat-
dan-perempuan-seni-2/ Diakses pada 7 Desember 2014 umum-etnis-orang-madura.html Diakses pada 7 Desember 2014.

170
Masyithah Mardhatillah: Perempuan Madura sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan

bermacam-macam dan berbeda bentuk sesuai daerah lain yang mayoritas didiami suku Madura
selera dan kapasitas keluarga maupun suami, seperti daerah-daerah Banyuwangi, Bondowoso,
semisal fasilitas kendaraan, pendidikan, rumah, Situbondo, Jember, Probolinggo, Lumajang dan
tempat usaha dan lain sebagainya. Pasuruan.18 Meski belakangan proses pertunangan
Tentu saja, fasilitas yang demikian setara tak jarang dilewati atau dimodifikasi demi alasan
dengan tantangan dan ‘beban’ yang dipikul efektivitas waktu maupun biaya atau dengan
seorang perempuan sebagai simbol prestise. Ia pertimbangan salah satu atau kedua mempelai
diharuskan dapat menjaga kepercayaan dan nama dipandang telah cukup umur dan siap menikah,
baik keluarga maupun suaminya sebaik mungkin tahapan yang demikian tetap menjadi mainstream
dengan cara menjaga perilaku, perkataan maupun dan begitu populer di kalangan masyarakat
sikap ketika bertemu dan berinteraksi dengan Madura.
orang lain. 16 Ini utamanya berlaku ketika si Mayoritas masyarakat Madura masih
perempuan tengah menjalani masa studi atau kerja mencarikan atau menentukan calon pasangan
dan tidak bersama dengan keluarga ataupun pada hidup untuk anak gadis mereka sehingga dalam
saat iat telah menikah dan ditinggal sang suami kasus-kasus demikian, hampir bisa dipastikan
berlayar atau merantau yang merupakan dua perjodohan terjadi tanpa persetujuan si perempuan
pekerjaan yang cukup dominan pada masyarakat yang bersangkutan dan hanya bermodal
Madura. Lain dari itu, perempuan Madura persetujuan keluarga dari dua belah pihak. Meski
yang telah berstatus sebagai istri umumnya praktik yang demikian mulai ditinggalkan seiring
diharuskan mengabdi pada suaminya sebaik dengan berubahnya pola pikir masyarakat, ini
mungkin kendatipun aplikasi dari kearifan lokal tak berarti bahwa perjodohan dalam masyarakat
ini bisa bermacam-macam di setiap keluarga. Madura benar-benar hilang. Begitu seorang anak
gadis beranjak dewasa, orang tua atau bahkan
keluarga besarnya akan mulai merasa gelisah jika
Fenomena Perjodohan dan Tahapan-
belum ada keluarga atau oknum tertentu dari
Tahapannya
calon pasangan laki-laki yang melamar secara
Dalam masyarakat Madura, sebuah pernikahan langsung atau sekadar menanyakan keberadaan
biasanya diawali dengan proses perjodohan si perempuan seperti yang lumrah dikenal dengan
kemudian pertunangan. Perjodohan berarti istilah ngin-ngangin.19 Faktor inilah yang kemudian
upaya menjodohkan seorang laki-laki dan
perempuan dengan inisiatif pihak selain kedua 18 Daerah-daerah ini konon menjadi tujuan migrasi
calon mempelai,17 sedangkan pertunangan adalah masyarakat Madura karena faktor lahan yang subur dan
peresmian pertama ikatan tersebut. Selanjutnya, menjanjikan kesejahteraan ekonomi. Belakangan suku Madura
yang tinggal di wilayah tersebut disebut Masyarakat Pandalungan.
jika tak ada aral melintang, pertunangan kemudian Ayu Sutarto, “Sekilas Tentang Masyarakat Pendalungan”, dalam
dilanjutkan dengan pernikahan yang merupakan http://www.lontarmadura.com/sekilas-masyarakat-pandalungan/.
proses akhir menyatukan dua orang dalam Diakses19pada 07 Desember 2014.
Masyarakat Madura umumnya memiliki rambu-rambu
sebuah lembaga perkawinan. Tahapan-tahapan tersendiri dalam hal ini, semisal mencaritahu berita dan informasi
ini utamanya terjadi jika kedua calon mempelai mengenai seorang anak gadis melalui tetangga atau kerabatnya
sama-sama berasal dari suku Madura, baik mereka terlebih dahulu. Jika informasi mengenai perilaku, pendidikan,
silsilah keturunan dan faktor-faktor lain dari si gadis dipandang
yang tinggal di wilayah Madura maupun di baik, barulah pihak keluarga si calon laki-laki atau seorang oknum
memberikan sinyalemen lamaran yang dikenal dengan istilah ngin-
ngangin dan jika respon dari pihak perempuan dianggap positif,
16
Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai pihak laki-laki kemudian mengunjungi rumah si gadis dan secara
Remeh Seputar Kebudayaan Madura (Surabaya: Andhap Asor dan resmi menyatakan maksud baik untuk menginisiasi perjodohan.
Al-Afkar Press, 2013), 48. Pihak keluarga si gadis dalam hal ini ada yang memberikan
17
Perjodohan yang demikian pada praktiknya lebih dikenal respon pada kunjungan pertama tersebut—baik positif maupun
dengan istilah nyabha’ oca’ yang kurang lebih berarti dicapainya negatif—atau adakalanya masih meminta tenggang waktu untuk
kesepakatan awal untuk menuju pada tahap peresmian dalam bermusyawarah dengan keluarga dan mempertimbangkan segala
lembaga pertunangan. Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; halnya. Jika kesepatakan berhasil dicapai, direncanakanlah sebuah
Pembawaan…, 89. upacara pertunagan dan atau pernikahan dalam waktu dekat.

171
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014

memunculkan inisiatif untuk segera mencarikan hubungan darah atau pertemanan tidak jarang
jodoh bagi si anak gadis dari kalangan saudara diwujudkan dalam sebuah perjodohan sehingga
atau sahabat dekat. Jika sudah ada lamaran untuk hubungan antaranggota keluarga dan atau sahabat
meminang sang gadis dalam sebuah pertunangan, diharapkan tetap dan akan semakin terjaga dengan
kemungkinan diterimanya lamaran tersebut baik dari generasi ke generasi. Meski beberapa kasus
sangatlah besar. Lagi-lagi ini berkait erat dengan menunjukkan bahwa perjodohan dengan motif
kedudukan perempuan sebagai simbol prestise semacam ini rentan konflik dan perpecahan—
keluarga di mana keberadaan perempuan yang khususnya jika pertunangan yang diresmikan
sudah cukup usia untuk menikah tapi masih kemudian tidak berlanjut pada pernikahan—,
melajang atau belum bertunangan dianggap tidak sedikit masyarakat Madura yang masih
menjadi noda tersendiri bagi sebuah keluarga. memraktikkannya. Adapun pertimbangan sosial
Perjodohan yang demikian adakalanya murni dan ekonomi umumnya berkait erat dengan
merupakan inisiatif dari pihak keluarga laki-laki konsep bibit bebet dan bobot serta keinginan
atau merupakan hasil perundingan antara dua untuk menyambung keluarga dengan pihak lain
keluarga. Hanya saja, karena masyarakat Madura yang status sosial dan ekonominya tidak jauh
dalam sebagian hal masih patriarkis, pihak laki- berbeda atau bahkan lebih tinggi. Masyarakat
laki hampir bisa dipastikan masih selalu menjadi Madura secara umum masih menganggap bahwa
subjek yang terlebih dahulu mengunjungi rumah memiliki calon menantu yang latar belakang
si perempuan untuk menyampaikan niat baik keluarga menengah ke atas, misalnya, akan sangat
secara resmi. Setelah mendapatkan respon mendongkrak martabat kelarga si perempuan.
positif, diresmikanlah sebuah pertunangan yang Sementara itu, inisiatif seorang kiai terhadap
merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. sebuah perjodohan bisa jadi muncul dari sang
Dalam proses-proses tersebut, peran dan atau kiai sendiri atau dari inisiasi orang lain yang
campur tangan anggota keluarga besar hingga (berkepentingan, dalam hal ini keluarga calon
tokoh masyarakat—kiai—hampir tak terhindarkan, mempelai laki-laki) meminta bantuan sang kiai
mulai dari memberi saran dan arahan, memediasi untuk menyampaikan maksud baik mengawali
kesepakatan antardua keluarga hingga meresmikan sebuah perjodohan. Karena posisi kiai yang begitu
sebuah ikatan pertunangan. dihormati dalam masyarakat Madura,22 hampir
Campur tangan yang demikian sebenarnya bisa dipastikan bahwa tingginya probabilitas
juga dialami lelaki (pemuda) Madura, hanya saja kesuksesan sebuah rencana perjodohan berbanding
perempuan terbilang lebih sering mengalami hal lurus dengan level prestise kiai yang bersangkutan.
tersebut.20 Inisiatif keluarga mencarikan calon Orang tua dan keluarga si perempuan akan merasa
jodoh banyak dilatarbelakangi oleh pertimbangan sungkan atau rikuh jika kebaikan hati sang kiai
menyambung kekerabatan21 hingga motif sosial tidak disambut dengan respon positif, sehingga
dan ekonomi. Keinginan untuk tetap menjaga perjodohan yang demikian hampir selalu berakhir
sukses.
Adapun oknum yang dimaksud dikenal dengan istilah pangada’. Praktik ini sebenarnya berkait erat dengan
Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Pembawaan…, 91. relasi kekuasaan dalam masyarakat Madura di
20
Dalam hal ini, Ahmad Rifa’i menggambarkan gadis mana kiai atau tokoh agama dianggap memiliki
Madura sebagai pereng bhelling (piring pecah belaha) yang tidak
akan kembali utuh setelah pecah, sedang perjaka Madura sebagai pengaruh yang sangat besar.23 Tak heran, saran
pereng seng (piring seng) yang bisa tetap dikembalikan bentuknya
seperti semula setelah pecah. Karena itulah, dalam urusan jodoh, 22
http://www.lontarmadura.com/kepemimpinan-informal-
masyarakat Madura tidak ingin sembarangan memilihkan jodoh di-madura/ Diakses pada 7 Desember 2014 Bandingkan dengan
untuk anak perempuannya. Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Latif A. Wiyata, Madura yang Patuh? Kajian Antropologi mengenai
Pembawaan…, 307. Budaya Madura (Jakarta: FISIP UI, 2003), 13.
21
Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Pembawaan…, hlm. 23
Menurut Kuntowijoyo, seperti yang dikutip Abdul Hadi
306. Praktik tersebut dianggap berkait erat dengan peribahasa WM, kekuatan kyai semakin memperoleh legitimasinya dari
mapolong tolang yang begitu terkenal di masyarakat Madura. Miftahol pemimpin ritual keagamaan menjadi pemimpin sosial-politik
Birri, “Otonomi Perempuan Madura dalam Perkawinan”…, 47. menjelang abad ke-20 dan inilah yang barangkali turut mendukung

172
Masyithah Mardhatillah: Perempuan Madura sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan

seorang kiai (dan atau istrinya yang biasa disebut baru mengetahui perjodohannya telah diresmikan
nyai) begitu dianggap legitimate termasuk dalam dalam sebuah lembaga pertunangan setelah
hal perjodohan. 24 Masyarakat Madura kerap pertunangan tersebut terjadi. Kendati begitu,
meminta saran atau pertimbangan seorang kiai belakangan, perempuan Madura kerap kali
untuk menginisiasi atau melanjutkan rencana dilibatkan dalam pengambilan keputusan meski
perjodohan. Jika dengan berbagai cara—mulai seringkali mereka tidak benar-benar merdeka dalam
dari yang halus hingga yang kasar—seorang kiai menyuarakan keinginan. Mereka cenderung hanya
menyarankan agar rencana perjodohan tidak diberi informasi tanpa benar-benar diberi ruang
dilanjutkan, tak sedikit masyarakat Madura yang untuk berunding dan menyatakan pendapat. Ini
benar-benar melaksanakan usul tersebut bahkan utamanya terjadi ketika perjodohan yang dialami
tanpa pertimbangan-pertimbangan lain. Mereka berawal dari inisiasi seorang kiai atau jika keluarga
juga tidak segan-segan sowan secara khusus pada yang hendak melamar adalah keluarga, sahabat
satu atau beberapa kiai untuk berkonsultasi dan dekat atau memiliki status sosial dan ekonomi
mencari solusi jika pernikahan sang anak tidak yang lebih tinggi. Dalam kasus pertama, mereka
sarmo (harmonis) di awal-awal pernikahan. Rasa dituntut untuk menghindarkan orangtua dan
hormat dan respect yang demikian besar tersebut keluarga besarnya dari rasa sungkan karena tidak
salah satunya dilatarbelakangi anggapan bahwa mengikuti saran kiai, sedang dalam kasus kedua,
kalangan kiai merupakan golongan yang dekat mereka umumnya berusaha menghindarkan
dengan Tuhan sehingga dipercaya memiliki daya diri dari anggapan ‘jual mahal’ dan atau ‘terlalu
kasyaf untuk membaca dan atau memprediksikan pemilih’. Ada juga pertimbangan lain, seperti
hal-hal yang tidak bisa ‘diakses’ kebanyakan keinginan untuk berbakti dan patuh pada orang
orang. Dari situ, dapat dibayangkan bagaimana tua serta tidak neko-neko seperti yang dialami
‘tersanjung’nya masyarakat Madura jika seorang Fitriana Utami Dewi ketika ia tidak punya pilihan
kiai justru berinisiatif memilihkan jodoh untuk lain selain manut terhadap keputusan yang telah
sang anak. Kurang lebih, ketundukan terhadap kiai dicapai keluarganya dan keluarga (mantan) calon
juga merupakan salah satu wujud relijiusitas orang suaminya. 25
Madura yang ditopang oleh anggapan bahwa kiai Pertunangan semacam ini tetap menjadi
adalah orang yang lebih relijius sehingga saran dan pilihan utama masyarakat Madura hampir di
masukannya patut untuk sangat dipertimbangkan. semua kalangan dengan berbagai pertimbangan
Perempuan Madura sebagai pihak yang akan utamanya untuk menemukan kecocokan
menjalani pertunangan kemudian pernikahan antarcalon mempelai sebelum melangkah pada
tersebut, di sisi lain, justru hampir tidak pernah jenjang yang lebih serius. Namun demikian,
dilibatkan dalam pengambilan keputusan. karena pertunangan bukanlah jaminan terjadinya
Pertimbangan-pertimbangan dari dua keluarga sebuah pernikahan mengingat masyarakat Madura
dan atau saran dan masukan dari kiai dianggap juga mengenal tradisi gagalnya pertunangan, tidak
telah cukup sehingga persetujuan si perempuan sedikit perempuan Madura yang segera dinikahkan
dirasa tidak terlalu diperhitungkan. Karenanya, tak lama setelah kesepakatan dua keluarga tercapai
tidak sedikit perempuan Madura yang mengaku atau diresmikannya pertunangan, utamanya
mereka yang dipandang telah cukup umur. Kasus-
fenomena ini. Abdul Hadi MW “Madura: Sejarah, Sastra dan
kasus yang demikian kerap terjadi bahkan ketika
Perempuan Seni” dalam http://www.lontarmadura.com/madura- si perempuan belum mengetahui bahwa hari-H
sejarah-sastra-dan-perempuan-seni-2/ Diakses pada 7 Desember pernikahannya telah ditentukan.26
2014. Bandingkan dengan Abdur Rozaki, “Kepemimpinan
Informal di Madura”, dalam http://www.lontarmadura.com/
kepemimpinan-informal-di-madura/ Diakses pada 7 Desember 25
Fitriani Utami Dewi, “Perempuan Madura”, dalam http://
2014. fitrianautamidewi.blogspot.com/2012/06/perempuan-madura.html
24
Jamal D. Rahman, “Sesisir Pisang Kiai: Sedikit Diakses pada 7 Desember 2014.
tentang Kosmologi Madura”, dalam http://www.lontarmadura. 26
Miftahol Birri, “Otonomi Perempuan Madura dalam
com/?s=sisir&x=0&y=0Diakses pada 7 Desember 2014. Perkawinan”..., 58.

173
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014

Hal yang menjadi unik di sini adalah diresmikan menjadi problem tersendiri yang
fenomena belakangan di mana tidak sedikit para seakan memperburuk keadaan ketika perempuan
putra maupun putri kiai dan atau tokoh masyarakat hampir tidak bisa mengatakan ‘tidak”.
yang justru menginisiasi pernikahannya sendiri. Dalam masyarakat Madura yang masih
Tingkat pendidikan anggota keluarga serta suasana memegang kuat tradisi perjodohan, perempuan
keluarga yang demokratis adalah dua hal yang secara individu memiliki kekuatan yang lebih
sedikit banyak melahirkan fenomena tersebut. minim untuk menyatakan penolakan baik sebelum
Di sisi lain, tradisi semacam ini juga mulai pertunangan diresmikan atau di tengah masa
banyak ditemukan di kalangan luar pesantren, pertunangan. Pihak perempuan dan keluarganya
khususnya masyarakat perkotaan. Ditopang oleh harus memiliki alasan yang benar-benar kuat
modernisme kemudian berubahnya pola pikir untuk menggagalkan sebuah pertunangan,
masyarakat dan kemajuan teknologi informasi dan semisal karena si calon mempelai lelaki diketahui
komunikasi, pola yang demikian tumbuh subur memiliki hubungan dengan perempuan lain
bak jamur di musim hujan. Namun demikian, atau melakukan hal-hal yang tidak diterima
tradisi perjodohan tetap bertahan pada masyarakat norma-norma etis masyarakat.28 Jika penolakan
pedesaan khususnya masyarakat agraris yang secara tanpa alasan semacam itu terjadi, maka yang
geografis maupun kultural dekat dengan tokoh bersangkutan tidak hanya akan dikenai sanksi
agama dan merupakan masyarakat sosial-ekonomi sosial, akan tetapi juga sanksi moral karena
menengah ke bawah. Selain ditopang oleh tetap dianggap tidak mematuhi orangtua, kiai dan
kuatnya pengaruh kiai dalam masyarakat, berbagai atau tokoh masyarakat, agama serta merusak
cerita pernikahan atas inisiasi dari pihak mempelai tradisi yang telah mengakar kuat di masyarakat.29
yang belakangan kandas di tengah jalan juga Tidak jarang dampak tersebut melebar hingga di
turut memperkuat tradisi tersebut. Beberapa hal tingkat keluarga besar sehingga seluruh anggota
tersebut kemudian turut melanggengkan kearifan keluarga seolah-olah merasa ikut menanggung
lokal masyarakat Madura yang tunduk patuh pada malu atas kejadian tersebut. Hal yang cukup
kiai dalam sebagian besar aspek dalam kehidupan mengherankan di sini adalah karena keadaan
mereka. yang sama tidak terjadi pada calon mempelai
Betapapun tampak kurang fair, tradisi laki-laki yang berinisiatif menyudahi sebuah
perjodohan yang diinisiasi kiai atau orang tua pertunangan. Keadaan ini menjadi semacam sisa-
yang masih dialami sebagian besar perempuan sisa dari sistem patriarki yang meski belakangan
Madura tidak jarang membawa kebaikan bagi mulai menyurut, tetap meninggalkan bekas-
si perempuan. Tidak sedikit perempuan yang bekas pengaruhnya dalam masyarakat Madura.
mendapatkan suami idaman dari pernikahan yang Meski demikian, ada banyak kearifan lokal yang
diawaliu prejodohan dan menjalani kehidupan unik dalam tradisi pertunangan di Madura yang
berkeluarga dengan kebahagiaan berlimpah.27 sekaligus menunjukkan benih-benih semangat
Apalagi, konsep tabarruk (mengambil barokah) egalitarianism bagi perempuan.
dari kiai dan atau orang tua juga turut membentuk
pola pikir dan perilaku masing-masing pasangan
dalam mengisi pernikahan. Hanya saja, tidak ada
28
I ni antara lain dialami oleh Fitriana Utami Dewi
atau minimnya kesempatan untuk menentukan berdasarkan penurutannya sendiri. Fitriana Utami Dewi,
sikap atas rencana perjodohan hingga mengenal “Perempuan Madura”, dalam http://fitrianautamidewi.blogspot.
sang calon pendamping sebelum pertunangan com/2012/06/perempuan-madura.html Diakses pada 7 Desember
2014.
29
Miftahol Birri, “Otonomi Perempuan Madura…, hlm. 48.
27
Perempuan Madura digambarkan malu-malu dan pura- Lebih lanjut, inisiatif mengandaskan sebuah ikatan pertunangan
pura tidak mau pada awal pernikahan akan tetapi akhirnya dari pihak perempuan juga akan berdampak negatif pada
membina keluarga yang harmonis, seperti kata pepatah lokal, bibir perempuan yang bersangkutan di kemudian hari karena anggapan
nola’ ate mella’ (bibir menolak akan tetapi hati mengiyakan). Mien cacat moral sehingga masyarakat akan berpikir dua kali untuk
Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Pembawaan…, 309. memulai perjodohan dengan perempuan tersebut.

174
Masyithah Mardhatillah: Perempuan Madura sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan

Perempuan Madura dalam Lembaga keluarga perempuan umumnya segera mengadakan


Pertunangan kunjungan balasan, meskipun peresmian ikatan
Peresmian pertunangan pada masyarakat Madura pertunangan hanya terjadi pada kunjungan
umumnya dikemas secara seremonial sesuai dengan pertama. Dalam dua kunjugan tersebut, pihak
kesepakatan dan disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah menyediakan makanan ringan hingga
ekonomi masing-masing. Dalam banyak hal, makanan berat dan sesuguhan lain sedangkan
upacara pertunangan yang demikian hampir sama pihak yang berkunjung membawa berbagai macam
dengan tradisi lamaran pada masyarakat Jawa yang oleh-oleh mulai dari makanan hingga pakaian
berintikan acara penyematan dan penukaran bagi calon mempelai perempuan. Uniknya, tradisi
cincin serta ramah-tamah dan perkenalan awal membawa pakaian yang demikian hanya dilakukan
dua keluarga besar. 30 Pada momen tersebut, pihak keluarga laki-laki dan dilengkapi dengan
calon mempelai biasanya menyalami satu persatu kosmetik serta peralatan kecantikan lain.31
rombongan yang berkunjung sebagai tanda Pertunangan dalam masyarakat Madura
perkenalan dan ramah tamah ataupun untuk tidak hanya dimaksudkan untuk meresmikan
menyambut kedatangan dan atau mengantar sebuah perjodohan dan sebagai jembatan menuju
pulang. Perempuan Madura yang menjalani lembaga pernikahan, akan tetapi juga sebagai
tradisi ini umumnya tidak mengikuti seluruh space bagi kedua calon mempelai untuk mengenal
bagian acara dan lebih memilih berdiam diri di satu sama lain. Karena itu, tidak sedikit pasangan
kamar selain pada acara penyematan cincin yang yang menjalani masa pertunangan dengan
biasanya dilakukan calon mertua perempuannya. durasi waktu yang cukup lama utamanya jika
Busana yang dikenakan si perempuan dalam kedua calon mempelai masih belia ketika resmi
acara ini seringkali merupakan pemberian (calon) terikat dalam sebuah pertunangan. Ini juga
tunangannya yang sengaja diberikan sebelum berkait erat dengan tradisi perjodohan yang
hari H-pertunangan untuk dipakai pada momen menempatkan kedua calon mempelai pada posisi
istimewa tersebut. belum mengenal satu sama lain. Di sisi lain, hal
Meski sekilas tampak sama, masyarakat demikian juga menjadi semacam kompromi dari
Madura dalam hal ini memiliki karakteristik ketidakterlibatan perempuan dalam perjodohan
tersendiri yang cukup membuatnya berbeda dengan hingga proses peresmian pertunangan. Dengan
masyarakat Jawa atau masyarakat lain. Pertama alasan dan legitimasi tersebut, dua orang yang
adalah perihal cincin tanda pertunangan yang telah terikat dalam suatu pertunangan umumnya
hanya disematkan pada jari si perempuan. Selain memiliki privilege untuk melakukan kebiasaan-
berangkat dari kebiasaan, ini juga dipengaruhi kebiasaan yang secara umum tidak diterima oleh
doktrin agama perihal haramnya seorang laki- norma moral-etik masyarakat Madura, semisal
laki menggunakan perhiasan emas. Masyarakat bepergian berdua, rekreasi dan belanja berdua,
Madura yang secara umum relijius dan taat patuh saling mengunjungi rumah masing-masing pada
pada hukum-hukum semacam itu umumnya tidak hari raya dan lain sebagainya. Hubungan dekat
mau neko-neko bahkan emoh untuk menyiasatinya dan pergaulan yang terlalu intens antara dua orang
dengan mengganti jenis cincin untuk laki-laki lajang semacam itu umumnya belum bisa diterima
(bukan dari emas) ataupun memberi cincin pada si masyarakat Madura, akan tetapi mereka akan
laki-laki untuk disimpan dan bukan untuk dipakai. memberi idzin khusus bagi pasangan yang telah
Kedua adalah mengenai kunjungan dua arah. terikat dalam sebuah pertunangan.32 Sebagian
Jika masyarakat Jawa mengenal lamaran hanya 31
http://www.lontarmadura.com/pernikahan-adat-
dilakukan dengan kunjungan pihak keluarga laki- madura-2/ Diakses pada 07 Desember 2014. Bandingkan
laki, maka masyarakat Madura tidak demikian. dengan http://abdulmuhidzakia.blogspot.com/2014/05/adat-
perkawinansuku-madura.html Diakses pada 07 Desember 2014.
Setelah kunjungan dari pihak laki-laki, pihak 32
Muhammad Tanzil, “Dampak Negatif Tradisi Pertunangan
bagi Perempuan Madura dalam Perspektif Budaya Madura, dalam
Mien Ahmad Rifa’i, Manusia Madura; Pembawaan…, 90.
30
http://tanziltc.wordpress.com/2010/03/21/dampak-negatif-tradisi-

175
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014

masyarakat Madura belakangan melakukan dengan kebiasaan seorang laki-laki memberi


otokritik terhadap kebiasaan memaklumi paradoks uang saku atau tunjangan kepada tunangannya.
legalized dating tersebut sehingga perubahan- Tunjangan yang demikian umumnya diberikan
perubahan kecil mulai muncul dalam lembaga secara suka rela dan tergantung kemampuan si
pertunangan meski jumlahnya belum seberapa calon mempelai laki-laki serta tidak ada timbal
dibanding kebiasaan mainstream. balik dari pihak perempuan.
Di satu sisi, kebiasaan tersebut Perempuan Madura dalam hal ini bisa
menguntungkan perempuan Madura sebab yang dibilang diuntungkan secara fisik sebab begitu
bersangkutan memiliki ruang dan kesempatan ia resmi menjadi tunangan dan atau calon istri
untuk mengenal calon laki-laki yang kelak akan seseorang, si calon laki-laki akan memberinya
menjadi suaminya. Kesempatan demikian juga tunjangan dalam bentuk uang dan atau barang.
berarti ruang untuk komunikasi, saling memahami Meski jumlah, jenis dan frekuensinya berbeda
karakter masing-masing, mengetahui mimpi antarindividu, tunjangan yang demikian hampir
dan cita-cita pasangan sekaligus menceritakan menjadi kewajiban rutin menjelang hari raya
keinginan-keinginan pribadi, mengetahui dan Idul Fitri. Calon mempelai laki-laki dan atau
belajar berkompromi dengan kekurangan masing- keluarga biasanya memberi sejumlah uang
masing hingga membicarakan keberlanjutan bagi si perempuan untuk membeli baju baru
pertunangan dan atau rencana pernikahan. dan keperluan hari raya lain. Atau jika tidak,
Namun demikian di sisi lain, kesempatan tersebut si perempuan biasanya akan diajak ke sebuah
baru didapat seorang perempuan ketika dirinya pusat perbelanjaan dan dipersilakan membeli
telah terikat dalam sebuah pertunangan sehingga baju dengan model, ukuran dan warna yang
ini tampak seperti hadiah yang terlambat karena ia inginkan. Baju tersebut umumnya dipakai
tak member banyak pilihan. Kendatipun misalnya ketika kunjungan rutin hari raya dalam rangka
si perempuan menemukan hal-hal yang kurang silaturrahmi antar kedua calon mempelai. Selain
menyenangkan dari si calon suami yang tidak sesuai dalam momen hari raya Idul Fitri, kunjungan
dengan kriteria sosok suami dambaannya dan tidak yang demikian juga terjadi ketika salah satu dari
bisa ditolerir, mereka tidak bisa berbuat banyak dua keluarga calon mempelai tengah menggelar
untuk mengandaskan sebuah pertunangan sebab acara, hajatan atau tasyakuran yang melibatkan
pertunangan bagi masyarakat Madura hampir tetangga atau keluarga besar semisal pernikahan,
selalu menandai suksesnya sebuah perjodohan aqiqah, maulid nabi, walimah safar ibadah
dan atau pintu gerbang yang begitu dekat dengan haji, peringatan kematian dan lain sebagainya.
pernikahan. Pertimbangan ketidakcocokan yang Dalam momen-momen yang demikian, hampir
demikian dianggap bukan masalah serius—dengan bisa dipastikan sang tunangan akan datang
anggapan bahwa kecocokan akan timbul seiring berkunjung dan diperkenalkan pada keluarga
kebersamaan—sehingga belum bisa menjadi alasan besar. Kunjungan dan kehadiran tersebut kurang
untuk mengandaskan sebuah pertunangan. lebih dimaksudkan untuk semakin mengenal
Sementara itu bagi pasangan yang bertunangan (kebiasaan) keluarga masing-masing setelah
lewat inisiatif sendiri atau perjodohan dan telah mengenal figur calon pendamping secara pribadi
mengenal satu sama lain, lembaga pertunangan dan utamanya dimaksudkan untuk mempererat
berfungsi semakin mempererat hubungan dan ikatan pertunangan serta memantapkan langkah
memastikan bahwa rencana menuju pernikahan semua pihak untuk menuju pernikahan.
berjalan mulus dan lancar. Karena itulah, berbagai
upaya dilakukan untuk memanfaatkan sebaik Simpulan
mungkin masa-masa pertunangan termasuk
Posisi perempuan Madura sebagai prestise sebuah
keluarga sekaligus seorang laki-laki yang menjadi
pertunangan-bagi-perempuan-madura-dalam-persfektif-budaya- tunangan atau suaminya serta tradisi perjodohan
madura/ Diakses pada 07 Desember 2014.

176
Masyithah Mardhatillah: Perempuan Madura sebagai Simbol Prestise dan Pelaku Tradisi Perjodohan

yang masih hidup di masyarakat setempat adalah secara umum. Perihal pernikahan dini tanpa
dua hal yang berkait demikian erat. Yang pertama pertimbangan masalah kesehatan, iming-iming
meligitimasi yang kedua sedang yang kedua melanjutkan pendidikan setelah menikah yang
menopang yang pertama. Keunikan-keunikan tidak banyak terealisasi, ruang bagi perempuan
dalam berbagai pandangan hingga kebiasaan untuk menyatakan sikap dan menentukan
masyarakat Madura dalam dua hal tersebut tidak pilihan—perihal perjodohan, pertunangan hingga
hanya bertalian dengan sikap keagamaan mereka pernikahan—dengan bertanggungjawab serta
sebagai masyarakat yang relijius, akan tetapi juga anggapan negatif terhadap perempuan yang
dipengaruhi oleh kemauan menjaga bahkan terlalu asyik mengejar karier perlu ditinjau ulang.
mengangat derajat sosial dan ekonomi. Seperti Selain melalui advokasi hingga penyuluhan,
halnya kearifan-kearifan lokal di daerah lain, komunikasi yang intens dengan pihak keluarga
hal-hal tersebut tidak dapat dilihat dari kacamata atau orang-orang yang bersangkutan dengan tradisi
benar-salah, sebab kearifan yang demikian— perjodohan juga perlu digalakkan agar didapatkan
dengan berbagai modifikasi dan evolusi—tetap win-win solution demi kebaikan bersama. []
tumbuh subur dari berbagai generasi ke generasi
selanjutnya dan semakin memiliki nilai legitimasi
Daftar Pustaka
bagaimanapun bentuknya.
Ini utamanya berkait dengan adanya nilai Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal
tukar yang pantas bagi perempuan Madura setelah dalam Tantangan Global Yogyakarta: Pustaka
diharuskan menjalani berbagai kebiasaan dan Pelajar.
tradisi dalam masyarakat yang menempatkan Birri, Miftahol. 2009. “Otonomi Perempuan
mereka sebagai symbol preside. Kearifan-kearifan Madura dalam Perkawinan” Skripsi Yogyakarta:
lokal yang pada perkembangannya melahirkan UIN Sunan Kalijaga.
sikap dan tindakan serta kebiasan masyarakat Hadi MW, Abdul. “Madura: Sejarah, Sastra
Madura seperti yang disebutkan pada bagian- dan Perempuan Seni” dalam http://www.
bagian sebelumnya pada kenyataanya tidak selalu lontarmadura.com/madura-sejarah-sastra-
menempatkan perempuan Madura pada posisi dan-perempuan-seni-2/
subordinat atau dirugikan secara fisik maupun Mulyadi, Achmad. “Perempuan Madura Pesisir
non-fisik. Berbagai perubahan dan cara pandang Meretas Budaya Mode Produksi Patriarkat”,
masyarakat belakangan juga turut mempertinggi Jurnal Karsa STAIN Pamekasan Vol. 19 No.
daya tawar perempuan Madura baik dalam 2 tahun 2011
statusnya sebagai simbol prestise maupun sebagai
Sutarto, Ayu “Sekilas Tentang Masyarakat
pelaku tradisi perjodohan. Ruang berkespresi
Pe n d a l u n g a n ” , d a l a m h t t p : / / w w w.
dan mengembangkan diri bagi perempuan
lontarmadura.com/sekilas-masyarakat-
Madura perlahan diperlebar dengan kesadaran
pandalungan/.
untuk mendongkrak prestise keluarga begitu
Rifa’i, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura;
juga dengan tradisi perjodohan. Modifikasi dan
Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan
langkah-langkah untuk lebih melantangkan suara
dan Pandangan Hidupnya Seperti Diceritakan
dan aspirasi perempuan dalam perjodohan juga
Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
mulai tampak sebab alur hingga ending sebuah
perjodohan hingga pertunangan atau pernikahan Rozaki, Abdur. “Kepemimpinan Informal di
juga banyak ditentukan oleh perempuan yang Madura”, dalam http://www.lontarmadura.
menjalaninya. com/kepemimpinan-informal-di-madura/
Terlepas dari berbagai hal tersebut, beberapa Tanzil, Muhammad. “Dampak Negatif Tradisi
PR memang masih tersisa bagi perempuan Madura Pertunangan bagi Perempuan Madura dalam
secara khusus maupun masyarakat Madura Perspektif Budaya Madura, dalam http://
tanziltc.wordpress.com/2010/03/21/dampak-

177
Musâwa, Vol. 13, No. 2, Desemer 2014

negatif-tradisi-pertunangan-bagi-perempuan- http://www.tempo.co/read/
madura-dalam-persfektif-budaya-madura/ news/2014/10/27/058617407/Goda-Istri-
Rahman, Jamal D. “Sesisir Pisang Kiai: Sedikit Orang-Sopir-Angkot-Dibacok-di-Jalan
tentang Kosmologi Madura”, dalam http:// http://www.surabayapagi.com/index.php?read~-
www.lontarmadura.com/?s=sisir&x=0&y=0 Tragedi-Sampang-Rebutan-Cewek;3b1ca0a4
Utomo, Haryo Ksatrio “Persamaan, Perbedaan 3b79bdfd9f9305b812982962f6733ce081884
dan Feminisme: Studi Kasus Konflik f319ff9175b83e78441
Sampang-Madura”, Jurnal Makara, Sosial http://rona.metrotvnews.com/
Humaniora, Universitas Indonesia Jakarta read/2014/11/03/313423/iwet-gambarkan-
vol. 16 no. 2, Desember 2012 perempuan-madura-lewat-batik .
Wiyata, A. Latif. 2002. Carok; Konflik Kekerasan http://www.warungbebas.com/2010/01/inilah-
dan Harga Diri Orang Madura Yogyakarta: LKiS. sifat-umum-etnis-orang-madura.html
Wiyata, Latif A. 2003. Madura yang Patuh? Kajian http://www.lontarmadura.com/pernikahan-adat-
Antropologi mengenai Budaya Madura Jakarta: madura-2/
FISIP UI http://abdulmuhidzakia.blogspot.com/2014/05/
Zubairi, Dardiri. 2013. Rahasia Perempuan Madura; adat-perkawinansuku-madura.html
Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura.
Surabaya: Andhap Asor dan Al-Afkar Press.
http://www.lontarmadura.com/kepemimpinan-
informal-di-madura/ .

178

Anda mungkin juga menyukai