DISUSUN OLEH :
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam. Atas rahmat, taufik
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyusun makalah ini yang sekarang sudah ada
ditangan pembaca yang berjudul “Pretend Play”.
Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih kepada teman
teman yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini,
khususnya kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Psikologi Anak Usia Dini yang
senantiasa dengan sabar dan ikhlas membimibing kami.
Di luar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat
maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku penyusun
menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga para pembaca dapat mendapat manfaat
dan inspirasi dari makalah ini
Jambi,
Maret 2021
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4
3
BAB I
PENDAHULUAN
Bermain merupakan salah satu hak asasi manusia pada anak usia dini.
Banyak manfaat yang diperoleh dari bermain, salah satunya adalah pengembangan
kreativitas. Bermain selama masa kanak-kanak memiliki peran paling efektif dalam
belajar dan juga memberi kesempatan secara tidak langsung untuk
mengembangkan kreativitas. Di usia 0-6 tahun anak sudah dapat masuk ke lembaga
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), selama pembelajaran di lembaga guru dapat
menggunakan beragam metode yang menarik untuk menyampaikan materi seperti
metode bercerita, bercakap-cakap, sosio drama, atau bermain peran.
Bermain peran atau role play berbeda dengan pretend play. Role play lebih
menekankan pada peran yang dilakukan anak, sedangkan pretend play lebih
menekankan pada penyediaan alat-alat bermain untuk menunjang permainan anak
(Kusna, 2018). Pretend play adalah bentuk permainan yang didalamnya
mengandung unsur berpura-pura. Dalam pretend play selain terdapat sejumlah
aturan, digunakan sejumlah peralatan tertentu yang menunjang permainan. Dengan
4
demikian, kalau dalam role play penekanannya lebih pada peran yang dimainkan,
maka dalam pretend play lebih pada peralatan yang dipakai dan yang menunjang
unsur “pura-pura” yang ada dalam permainan.
Pada mulanya permainan ini mengambil bentuk permainan sosio drama yang
lebih memberi manfaat pada anak dalam mengekspresikan ketakutan dan
kecemasannya. Sebaliknya dalam perkembangannya, permainan tersebut ternyata
tidak hanya bermanfaat untuk terapi, tetapi juga untuk perkembangan anak.
Hakekat permainan ini di Indonesia dulu sebenarnya sering dimainkan oleh anak-
anak. Namun demikian setelah menjamurnya jenis permainan individual, maka
permainan tersebut jarang ditemukan. Adapun fungsi pretend play yaitu membantu
anak mengembangkan berpikir secara fleksibel dalam memahami peran yang
dimainkan olehnya maupun temannya. Disamping itu juga akan mengembangkan
perbendaharaan kata maupun kalimat anak yang sedang berperan dalam pretend
play tersebut (Suminar, 2009). Bermain pura-pura (pretend play) dapat
mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh anak usia dini, termasuk
kreativitas (Murdianti dan Kaloeti, 2019).
5
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami pengelompokan yang terdapat dalam pretend play
2. Mengetahui dan memahami tahapan perkembangan dalam pretend play
3. Mengetahui dan memahami dinamika pretend play
4. Mengetahui dan memahami pretend play dan budaya
6
BAB II
PEMBAHASAN
a. Permainan rumah
Bentuk permainan ini dapat dilakukan dengan jalan membentuk dua kardus
besar seperti layaknya sebuah rumah. Diharapkan dalam situasi ini anak
akan melakukan interaksi sosial di antara dua kelompok anak.
b. Permainan pasar
Anak menawarkan sesuatu, makanan, sayuran tiruan, bermain uang, dan
menggunakan tas kosong, dengan demikian, anak akan menikmati sebagai
penjual dan pembeli. Anak berjual beli makanan atau sayuran tiruan dengan
bermain uang tiruan dan menggunakan tas kosong. Permainan ini dapat puls
dimainkan bersamaan dengan permainan rumah.
c. Berkemah
Permainan ini menggunakan tenda atau kain penutup yang diatus seperti
tenda dan juga peralatan-peralatan berkemah seperti tempat minum, kayu
bakar, kayu bakar, ataupun kantung tidur yang secara keseluruhan akan
menyebabkan anak bergembira. Apabila ditambah senter, akan menjadikan
anak lebih senang karena cahaya yang dikeluarkan.
7
d. Permainan rumah sakit
Anak sering kali tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Alat yang
digunakan stetoskop, obat-obatan imitasi, baju dokter, tas dokter dan
peralatannya. Anak akan senang memainkannya berulang-ulang.
e. Permainan kantor
Peralatan yang digunakan dalam permainan ini misalnya kalkulator, prangko
bekas, amplop, map, telepon, dan penjepit kertas serta peralatan lain yang
berhubungan dengan aktivitas di dalam kantor.
f. Memandikan bayi
Permainan memandikan bayi dilakukan bersamaan dengan bermain air.
Permainan ini sangat disenangi anak-anak, khususnya anak laki-laki yang
begitu tertarik dengan kegiatan ini. dalam permainan ini terdapat nilai-nilai
yang berasal dari pengalaman mengembangkan peran pengasuhan. Peralatan
yang digunakan yaitu handuk, sabun, bedak, dan ditambah popok agar
mendekati kenyataan.
g. Permainan pesta ulang tahun
Peralatan yang dipakai yaitu kartu undangan, kado yang disertai isi maupun
tidak di dalamnya, kemudian roti tar ulang tahun pura-pura. Anak dapat bebas
memainkan permainan dalam pesta ulang tahun buatan itu, dan ketika anak
bebas mengekspresikan keinginan itu. Hal ini disebabkan karena apabila ada
ulang tahun sungguhan, justru yang banyak berperan orang tua dan sering
kali anak-anak dimintauntuk menjadi anak “manis” dan sopan.
h. Permainan melakukan perjalanan
Anak bebas membenahi koper kecil. Permainan ini meliputi penjualan tiket
pesawat, peta, majalah, kacang untuk makanan, serta sebuah topi kecil
yang digunakan pilot, kopilot, dan awak pesawat. di antara anak-anak akan
terjadi suatu diskusi tentang tujuan dan kemungkinan yang akan terjadi.
8
Dengan demikian, anak belajar, berpikir, dan merencanakan suatu perjalanan.
Setting yang digunakan dalam permainan tersebut adalah tiket pesawat dan
yang berkaitan dengan perjalanan dengan pesawat. Atau Setting yang mungkin
dapat dimodifikasi dari permainan tersebut misalnya perjalanan dengan kereta
api. Pada permainan ini akan dibuat peralatan bagi kebutuhan bagi masinis,
karcis, orang yang sedang berjualan, dan lain sebagainya.
Menurut Indrijati, 2017, pada saat melakukan pretend play alat alat yang
dapat menunjang kebutuhan bermain bisa disesuaikan dengan apa yang tersedia di
sekitar, tidak harus dipaksakan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun yang
terpenting adalah menggunakan setting yang telah dikemukakan oleh Hendrick.
Misalnya, ketika bermain permainan pasar, jika alat yang ada hanya keranjang, itu
boleh saja menggantikan tas kosong sebagai wadah berbelanja.
9
d. Tahap 3 (Permainan simbolis kombinasi)
Anak memainkan satu pretend play yang berhubungan dengan beberapa peran
e. Tahap 4 (Permainan simbolis terencana)
Anak menunjukkan pola perilaku verbal dan non verbal, berinteraksi dengan
peran dan aktivitas bersama anak lain.
1. Pertama, pretend play untuk diri sendiri yaitu anak melakukan permainan
yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Misalnya anak berperan sebagai
guru, berbicara sendiri seolah- olah sebagai guru tanpa lawan bicaranya.
2. Kedua, pretend play dengan orang lain yaitu anak melakukan permainan
bersama temannya, yang merupakan lawan bicara ataupun sebagai objek
tingkah lakunya. Misalnya, apabila berperan sebagai guru, maka temannya
akan berperan sebagai muridnya.
3. Ketiga, pretend play berangkaian yaitu permainan yang sudah meliputi
beberapa peran yang saling berangkaian. Misalnya ada peran sebagai guru,
murid, orangtua murid, dan penjual.
10
a. Tidak menggunakan suara yang tinggi tetapi menemani anak dengan
kelembutan, sehingga anak akan senang bertanya dan memperbaiki sikapnya
kalau sikapnya dirasakan salah
b. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh yang sesuai sehingga anak akan tahu
kata-kata yang dikeluarkan dalam bermain salah atau tidak. Anak sedang
belajar berbicara, maka dalam melakukan bermain yang didalamnya ada unsur
berpura-pura, anak akan banyak mengucapkan kata- kata. Dalam hal ini
pembetulan kata yang diucapkan anak saat bermain akan lebih efektif.
c. Memahami keunikan anak. Anak akan mengeksplorasi diri dengan kelebihan
dan keterbatasan yang ada. Ketika anak bermain akan nampak keunikan
masing-masing anak, sehingga perlu dipahami potensi yang ada.
Sedangkan menurut Kusna, 2018, beberapa hal yang perlu diperhatikan guru
selama pelaksanaan pretend play adalah sebagai berikut :
11
Pretense dapat di analisis dalam dua model besar (Goncu,1989, dalam
Indrijati, dkk, 2015: 91), yaitu affective model mempunyai prinsip bahwa dalam
proses pretense terdapat dua mind dari fungsi psikologis yang berdiri sendiri dan
tidak saling terkait. Fungsi psikologis tersebut yaitu:
a. Intuitive mind, yaitu reaksi dari pengalaman anak yang secara emosional
memiliki makna dalam bentuk ekspresi, interpretasi dan rekontruksi. Sifatnya
diatur dalam diri, subjektif, meliputi kehidupan afeksi yang tidak dapat
diprediksi namun mampu mengubah kualitas emosional.
b. Logical mind. Dalam fungsi kategori logical mind, proses pretense akan diatur
dari luar, sifatnya lebih objektif yang meliputi hubungan dengan orang lain
atau benda.
12
satu mind yang tidak dapat dipisahkan, inilah yang menjadi dasar awal teori
pretend play terutama teori event representation model.
a. Cultural Artifact, yang meliputi alat alat permainan baru yang memiliki ciri
khas dan digunakan oleh budaya tersebut, misalnya kompor listrik, kompor
tungku, atau budaya lain menggunakan jenis kompor lain.
b. Norm, diartikan sebagai tata cara atau norma yang ada dalam suatu budaya
sebagai bentuk dari sosialisasi.
c. Roles, adalah bagaimana peran sosial dalam suatu budaya yang akan berbeda
dengan budaya lainnya.
d. Behavioral script, yaitu aturan dalam berperilaku yang berbeda antar satu
budaya dengan budaya lainnya. Misalnya, bagaimana cara makan atau tidur,
dan sebagainya.
13
Apabila budaya akan dapat memengaruhi bagaimana seorang anak
memainkan alat mainannya, maka tentunya alat mainan yang diberikan harusnya
telah berbasis pada budaya dimana anak memainkan mainan tersebut. Contohnya
ketika anak memainkan mainan rumah-rumahan, maka alat mainan memasak
harus disediakan sesuai dengan budaya anak setempat. Kompor model kompor gas
tidak akan direspon dengan baik oleh ank yang tidak pernah melihat kompot gas,
justru ia akann merespon ketika melihat tungku, kayu bakar, ataupun kompor
minyak tanah. Jadi, studi terhadap budaya setempat akan membantu dalam
menyiapkan alat mainan sesuai dengan budaya yang ada (Prafitri, 2018).
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
15
dapat memengaruhi bagaimana seorang anak memainkan alat mainannya, maka
tentunya alat mainan yang diberikan harusnya telah berbasis pada budaya dimana
anak memainkan mainan tersebut. budaya akan mempengaruhi seorang anak
dalam memberikan arti terhadap alat alat permainannya
16
DAFTAR PUSTAKA
Indrijati, Herdina, dkk. 2015. Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia
Dini. Jakarta : Kencana.
Prafitri, Dianing. 2018. Membangun Softskill Anak Usia Dini melalui Pretend Play.
ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal. 6(2) : 351-373.
Suminar, Dewi Retno. 2009. Membangun Karakter Anak Melalui Pretend Play
(Building Child Character Through Pretend Play). Jurnal Psikologi Indonesia.
6(1) : 1-11.
Amri dan Intisari. 2019. Pretend Play sebagai Dasar Pengembangan Karakter Anak
Usia Dini. Pembelajar : Jurnal Ilmu Pendidikan, Keguruan, dan Pembelajaran.
3(1) : 36-42.
Kusna, Siti Labiba. 2018. Permainan Pretend Play Menggunakan Gadget dalam
Mengembangkan Aspek Kognitif dan Budaya Anak Usia Dini. Indonesian
Journal of Islamic Early Childhood Education. 3(2) : 207-214.
Murdianti dan Kaloeti. 2019. Pengaruh Metode Bermain Pura-Pura (Pretend Play)
Terhadap Perkembangan Kreativitas Anak Usia Dini. Jurnal Empati. 8(1) :
221-227.
17