A. PENGERTIAN AL – SUNNAH
Ada tiga istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut “al-Hadis” yaitu “al-Sunnah”,
“al-Akbar” dan “ al-Atsar”. Secara umum, ahli Hadis berpendapat bahwa istilah tersebut
merupaka kata yang bersinonim ( muradif ).
Memang ada ulama yang membedakannya, namun hanya menyangkut hal prinsipil. Ada
satu pendapat yang mengatakan bahwa al-Hadis itu hanya terbatas pada apa yang datang dari
Nabi Muhammad s.a.w. saja, sedangkan al-Sunnah merupakan amalan yang dilakukan
secara serempak oleh para sahabat.
Al-Sunnah secara Bahasa adalah cara atau kebiasaan. Secara definitive, al-Sunnah adalah
apa yang diucapkan, dikerjakan, dan diputuskan oleh Rasulullah s.a.w. sebagai penjabaran
dan pelaksanaan dari Al-Qur’an.
B. SEJARAH AL – SUNNAH
Seratus tahun setelah hijrah (abad ke-1), ketika para ahli hadis mengumpulkan dan
menuliskan hadis-hadis Nabi, terdapat banyak sekali hadis. Untuk menguji validitas dan
kebenaran suatu hadis, para muhadisin (pengumpul dan periwayat hadis) menyeleksi
berbagai riwayat tentang hadis dengan memperhatikan jumlah dan kualitas jaringan
periwayat hadis tersebut yang dikenal dengan sanad.
Bila periwayat hadis itu dalam jaringan pertama (yang menyaksikan kejadian suatu hadis,
umpamanya menyangkut cara Nabi shalat adalah orang banyak, kemudian menceritakannya
kepada orang banyak pula, dan seterusnya hingga sampai ke pencatat hadis sehingga tidak
dimungkinkan orang-orang itu berbohong, maka hadis yang serupa ini disebut mutawatir.
Jika perawinya sedikit (penyampaian riwayat dengan jumlah terbatas) dan seterusnya sampai
pada pencatat hadis (perawi), maka jalur periwayatan serupa ini disebut ahad.
C. KLASIFIKASI AL – SUNNAH
Ditinjau berdasarkan jumlah perawinya (dari segi jumlah orang yang menyampaikan hadis,
atau sanadnya), hadis dapat diklasifikasikan kepada:
1) Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak
mungkin mereka bersepakat dusta.
2) Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak pula,
tetapi jumlahnya tidak sampai kepada derajat mutawatir.
3) Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai pada
tingkat masyhur maupun mutawatir. Ada ulama yang memasukkan hadis masyhur
kepada golongan hadis ahad.
Para ulama sepakat bahwa al-Sunnah menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur’an
dalam hirarki sumber hukum islam. Posisi selanjutnya ditempati oleh Ijma’, kemudian Qiyas.
Ketentuan seperti ini dijelaskan dalam sebuah dialog yang terjadi antara Mu’adz bin Jabal
dengan Nabi Muhammad s.a.w. . Menurut Imam Syafi’I , al-Sunnah tidak dapat dipisahkan
darin Al-Qur’an. Karena al-Sunnah merupakan bayan (penjelasan) terhadap Al-Qur’an.
Argumen lain yang dipakai al-Syafi’i untuk menunjukan bahwa al-Sunnah itu setara
dengan Al-Qur’an dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurut Imam Syafi’I yang
dimaksud al- hikmah dalam (QS.Al-Jumu’ah, 62:2) adalah Sunnah Nabi Muhammad
s.a.w. .Hal ini sekaligus memperkuat pendirian beliau bahwa Al-Sunnah memiliki tingkat
setara dengan Al-Qur’an dalam hal menjadi dalil agama Islam, seperti halnya Al-Qur’an
menjadi dalil agama Islam, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.
E. FUNGSI AL - SUNNAH
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits
“Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat)
adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu “Aqimush-shalah”
(Kerjakan shalat) demikian pula hadits "Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku
perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” (Dan sempurnakanlah
hajimu).
2. Bayan Taqrir
Yaitu Al-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an
seperti hadits yang berbunyi “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an
dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surah At-Taubah :34,
yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian
tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat melaksankan
perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits
tersebut.
Daftar Pustaka:
1. Menjadi Cendikiawan Muslim_Pengertian Al-Sunnah (Dr. KH. Zakky Mubarak MA, 2010,
halaman 106-107)
2. Buku Ajar MPK Agama Islam UI (Dr. KH. Zakky Mubarak MA Sejarah Al-Sunnah, halaman 53)
3. Buku Ajar MPK Agama Islam (Dr. KH. Zakky Mubarak MA Klasifikasi Al-Sunnah, halaman 54)