Anda di halaman 1dari 6

Badaruddin, Perkembangan Medan ….

PERKEMBANGAN MEDAN MENUJU KOTA METROPOLITAN


(Perspektif Sosiologi Perkotaan)

Badaruddin

Abstract: Medan City development is rapidly grown not only need larger space,
but take some of social consequences, government administration, and urbanism.
Theoretically, each model of city growth which are adopted by city government
(horizontal model or vertical model), twice needs space. Of course, the first model
(horizontal) need larger space than the second (vertical). The need of urban society
for space, location for settlement, education, tourism, industry, marketplace, etc.,
makes what Hans Dieter Evers say “the effect of frog jump”. In this context, the
development program together with regions that direct lines with Deli Serdang and
Binjai regencies are one of alternative solution.

Keywords: city, development, urbanism

PENDAHULUAN tetapi juga menimbulkan berbagai


konsekuensi sosial kemasyarakatan dan
Sebagaimana halnya di beberapa administratif pemerintahan. Gejala urbanisme
negara Asia, maka Indonesia pun telah merupakan bagian yang tak terhindarkan dari
memilih perencanaan dan pembangunan setiap pertumbuhan kota, termasuk Kota
wilayah (region) sebagai jalan yang akan Medan. Bahkan McAuslan (1986)
ditempuh bagi peningkatan pembangunan mengemukakan bahwa akibat obsesi yang
nasional. Hal ini jelas terlihat dengan adanya terlalu menggebu untuk membangun kota
kebijaksanaan regionalisasi yang menjadi metropolis, tidak cuma menimbulkan
dikemukakan dalam awal Repelita II, di mana “urbanisasi berlebih” dan pemekaran
Indonesia telah disederhanakan dalam empat horizontal fisik kota yang kurang terkendali,
Wilayah Pembangunan Utama dengan tetapi juga melahirkan persaingan dan konflik
masing-masing mempunyai sebuah Pusat yang makin intensif untuk mendapatkan
Utama (Hariri Hadi, Prisma No. 2, Th. III, spasial atau tanah.
April 1974). Pusat-pusat perkembangan utama
tersebut telah ditentukan, yaitu: Medan, PEMBAHASAN
Jakarta, Surabaya, dan Ujung Pandang
(sekarang Makassar). a) Perkembangan Kota dalam Perspektif
Dijadikannya Medan sebagai salah Sosiologi Perkotaan
satu pusat utama perkembangan di Indonesia, Dalam perspektif sosiologi perkotaan,
berimplikasi pada keharusan Kota Medan perkembangan Kota Medan menjadi metropo-
(baca: pemerintah) berbenah diri dalam litan, senantiasa membawa akibat. Seperti
menyiapkan berbagai aspek pendukung bagi kota-kota besar lain di negara sedang
terealisasinya kebijaksanaan tersebut. Kota berkembang, akibat yang muncul adalah
Medan yang sekaligus juga menjadi Ibukota meningkatnya jumlah migran yang ingin
Provinsi Sumatera Utara terus berbenah, mengadu nasib di Kota Medan. Kehadiran
sehingga Medan mengalami pertumbuhan migran ke Kota Medan tentu membutuhkan
kota yang begitu pesat. Pertumbuhan Kota berbagai fasilitas perkotaan seperti lahan,
Medan yang begitu pesat dan menjadi pusat perumahan, pendidikan, air, listrik, pekerjaan,
berbagai kegiatan (pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya. Untuk memenuhi berbagai
industri, perdagangan, perumahan, kebutuhan tersebut, pemerintah berupaya
perkantoran, transportasi, komunikasi, hiburan membuat berbagai kebijaksanaan dan program
dan rekreasi), membuat Kota Medan pembangunan, baik itu dilaksanakan sendiri
mendapat predikat sebagai Kota Metropolitan. oleh pemerintah, atau dengan jalan menarik
Konsekuensi dari pembangunan para investor untuk mau menanamkan
berbagai pusat kegiatan tersebut tidak hanya modalnya di Kota Medan. Untuk mewujudkan
memerlukan lahan (space) yang lebih luas, program pembangunan dalam rangka

Badaruddin adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU 1


Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1

memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat hubungan sosial yang merenggang, sejumlah


Kota Medan yang terus bertambah jumlahnya, warga kota dan suburban kehilangan ataupun
maka keperluan akan lahan (tanah) alih pekerjaan, dan kesemrawutan lalu lintas
merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar- ke dan dari pusat-pusat kegiatan baru tersebut.
tawar lagi. Dengan kata lain, lahan merupakan Dibutuhkannya lahan (space) bagi
komponen dominan dalam rangka pertum- pertumbuhan dan perkembangan kota
buhan kota di manapun, termasuk tentunya sebagaimana disebutkan di atas sejalan pula
pertumbuhan Kota Medan. Secara teoretis, dengan apa yang dikemukakan oleh Hans
model pertumbuhan kota apapun yang Dieter Evers (1982) yang menyebutkan
diadopsi oleh pengambil kebijakan bahwa kecenderungan kota-kota besar negara
pembangunan kota (model horizontal atau sedang berkembang adalah kota meluas ke
model vertikal), kedua-duanya memerlukan arah pinggiran, selanjutnya hal pertama kali
lahan. Hanya saja, model yang pertama yang terjadi adalah pembagian tanah-tanah
(horizontal) memerlukan lahan yang jauh yang luas.
lebih luas dibandingkan dengan model yang Dalam konteks pertumbuhan dan
kedua (vertikal). Pilihan terhadap salah satu pengembangan kota, Ramlan Surbakti (1996)
model pertumbuhan kota tersebut juga sangat menyebutkan bahwa salah satu fenomena
terkait dengan kesiapan teknologi yang menonjol di kota-kota besar ialah konflik
dimiliki. tentang tanah yang pada dasarnya
Kalau disepakati bahwa model memperebutkan ruang. Lebih lanjut ia
pertumbuhan kota apapun yang dipilih menyebutkan bahwa berbagai konflik yang
memerlukan lahan (tanah), berarti perluasan menyangkut tanah di kota besar dapat
lahan ke wilayah sekitar (suburban) dalam dikelompokkan menjadi berbagai kategori
rangka pengembangan kota memerlukan umum, yaitu: pertama, konflik Pemda dengan
kajian yang mendalam. Dalam perspektif warga; kedua, konflik Pemda dengan
sosiologi, khususnya Mazhab Chicago, perusahaan swasta; ketiga; konflik warga
pertumbuhan kota tidak hanya dipandang dengan investor swasta; keempat, konflik
sebagai seperangkat pusat kegiatan eksekutif dengan DPRD; dan kelima, konflik
(concentric spatial zone) yang menjadi lokasi berdimensi tiga antara warga, investor, dan
berbagai kegiatan penduduk perkotaan, juga Pemda.
menganjurkan agar kesemrawutan dan Di samping apa yang telah
keteraturan yang muncul di kota lebih dikemukakan oleh Surbakti tersebut,
dijelaskan dengan metafora biologi. persoalan tanah (lahan) yang juga
Pertumbuhan kota dilihat sebagai resultante mengemuka, khususnya setelah adanya UU
organisasi dan disorganisasi yang analog No. 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU
dengan proses metabolisme yang anabolik dan No. 32 Tahun 2004 adalah antara
katabolik di dalam tubuh. Artinya, hubungan Pemkab/Pemko dengan Pemkab/Pemko. Hal
spasial antar-manusia di daerah perkotaan ini terjadi karena pemerintah kabupaten dan
merupakan produk persaingan dan seleksi, kota menjadi otonom, sehingga agak
dan secara terus-menerus berada dalam proses menyulitkan dalam melakukan koordinasi.
perubahan karena kehadiran faktor-faktor Fenomena konflik tanah dalam
baru, baik yang mengganggu hubungan memperebutkan ruang (space) sebagaimana
kompetisi maupun yang justru mendorong dikemukakan Surbakti di atas tidak hanya
mobilitas (R.E Park, E.W. Burgess, 1925). berdimensi kota dalam pengertian internal
Perspektif ini ingin menjelaskan perkotaan semata, tetapi juga dapat merambat
bahwa pertumbuhan kota memerlukan lahan dalam dimensi kota dengan daerah-daerah
(space) yang lebih luas bagi pusat-pusat perbatasan administratif kota. Hal ini terjadi
kegitan dan akan menimbulkan sejumlah karena kebutuhan warga kota yang terus
persoalan baru dalam masyarakat. bertambah akan lahan, baik bagi peruntukan
Konkretnya, ketika pusat-pusat industri, perumahan, pendidikan, wisata, industri, dan
perdagangan, pemukiman, pendidikan, wisata berbagai peruntukan lainnya. Dalam konteks
dan sebagainya bermunculan di daerah seperti ini apa yang dikemukakan oleh Hans
pinggiran (suburban) maka di kawasan itu Dieter Evers sebagai “efek lompat katak”
akan terjadi sejumlah fenomena berikut: sebagai bagian dari pertumbuhan kota
konflik dalam pemilikan dan transaksi tanah, menjadi relevan. Golongan warga kota

2
Badaruddin, Perkembangan Medan ….

menengah ke atas yang mulai risih dengan masih berada di pusat kota. Dalam hal ini,
kesesakan pusat kota satu persatu mulai pusat kota benar-benar dibangun semarak,
pindah ke daerah pinggiran sehingga mulai sesibuk mungkin, dan bahkan sampai malam
tumbuh kantong-kantong permukiman baru hari pun pusat kota bagaikan tidak pernah
yang dihuni warga baru. Bagi warga kelas tidur. Sementara itu untuk wilayah pinggiran,
bawah yang menjadi korban “pembangunan” acapkali menjadi daerah mati, sepi aktivitas,
di pusat-pusat kota juga terpaksa mencari kecuali sebagai tempat beristirahat. Dalam
lahan-lahan baru di pinggiran, sehingga jangka waktu yang tidak terlalu lama, akibat
pemadatan baru di daerah pinggiran menjadi yang terjadi adalah lalu lintas kota seringkali
sesuatu yang tak terelakkan. macet karena arus mobilitas penduduk
Dari sudut pandang sosiologis, akhirnya hanya berpola konsentrik dan
masyarakat di daerah pinggiran (hinterland) seragam. Pada pagi hari kebanyakan
akan berbenturan dengan pendatang baru penduduk daerah pinggiran menuju pusat
sehingga penghuni lama seringkali secara kota, sementara pada sore hari, semua kembali
sukarela atau terpaksa tergusur dan harus menuju wilayah pinggiran. Keadaan ini bisa
bersedia menjual lahan mereka bagi tempat kita saksikan pada pagi dan sore hari di pintu-
pemukiman penghuni baru tersebut. pintu masuk menuju Kota Medan
Meningkatnya harga tanah dan biaya hidup (Badaruddin, 1998).
rata-rata akibat invasi pendatang dan Terlalu mengumpulnya pusat kegiatan
perkembangan wilayah pinggiran pada di tengah kota (central place) acapkali juga
gilirannya sering juga menyebabkan penghuni memancing meluasnya wilayah kumuh (slum
asli yang masih bertahan lambat laun area) di tengah kota. Bagi warga kelas bawah
menyingkir ke wilayah lain yang dipandang yang banyak mencari nafkah di wilayah pusat
kondisinya lebih sesuai dan lebih ramah bagi kota, seperti sektor informal, guna menghemat
mereka. Singkatnya, penduduk asli yang ongkos transportasi, mereka akan cenderung
seharusnya lebih berhak tinggal dan bisa ikut mencari tempat tinggal yang dekat dengan
mencicipi hasil pembangunan terlihat makin tempat kerja di pusat kota. Tetapi karena
tersisih. Karena itu, problem yang harus dicari harga tanah di pusat kota melonjak dan
penyelesaiannya adalah bagaimana wilayah pemukiman makin berkurang,
pertumbuhan dan perkembangan kota ke sementara tingkat penghasilan mereka pas-
daerah pinggiran membawa efek bagi pening- pasan, maka pilihan yang biasanya diambil
katan kesejahteraan tidak hanya bagi warga adalah mengontrak rumah di kampung-
pendatang, tetapi juga bagi warga setempat kampung kumuh di pusat kota atau mendiami
(penduduk asli). daerah sepanjang pinggiran sungai dan rel
kereta api sebagai pemukim liar. Dalam
b) Pembangunan Terpadu Antar-daerah: konteks seperti ini, tidak mengherankan jika
Alternatif Solusi kehidupan mereka menjadi rawan dan
Dalam rangka menuju kota seringkali terancam penggusuran.
metropolitan, adanya “efek lompat katak” atau Agar pertumbuhan kota menjadi kota
perpindahan penduduk ke daerah pinggiran yang besar (metropolitan) tidak menimbulkan
sesungguhnya merupakan hal wajar. Karena berbagai permasalahan seperti tersebut di atas,
bagaimanapun untuk kota yang akan maka perlu digagas dan direalisasikan
membesar, daerah pusatnya pasti tidak lagi program pembangunan terpadu antar-daerah,
bisa diharapkan untuk menampung yang melibatkan pemerintahan kota dengan
pertumbuhan penduduk yang kian padat. pemerintahan kabupaten yang berbatasan
Persoalannya adalah bila “efek lompat katak” langsung. Program pembangunan terpadu
hanya terjadi di bidang pemukiman saja. tersebut perlu dilakukan karena masing-
Dalam keadaan seperti itu, daerah pinggiran masing pihak saling membutuhkan dan akan
hanya berfungsi sebagai “tempat tidur” saja, saling mendapat keuntungan.
sedangkan semua aktivitas kerja, belanja, Di satu sisi, bagi pemerintah kota
ataupun mencari hiburan, sebagian besar yang sedang mengalami pertumbuhan yang
penduduk wilayah pinggiran tetap harus pergi pesat, maka kebutuhan akan lahan (tanah)
ke pusat kota. bagi para investor menjadi sesuatu yang tak
Untuk kasus Kota Medan misalnya, terelakkan. Tetapi di sisi lain, pemerintah kota
hampir semua fasilitas pusat perbelanjaan sebagai suatu daerah administratif memiliki

3
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1

keterbatasan dalam hal penguasaan dan diantisipasi dengan mempersiapkan diri untuk
pengelolaan lahan (tanah). Sementara itu, mampu bersaing dengan kekuatan global
bagi pemerintah kabupaten/kota yang masih tersebut. Tanpa persiapan diri yang baik dan
memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam perencanaan yang matang, maka globalisasi
mengembangkan daerahnya, tetapi memiliki akan menyingkirkan kita dari percaturan
keunggulan di bidang yang lain yaitu, global, bahkan akan “menelan” kita. Dengan
penguasaan atas tanah secara administratif, kata lain, tanpa persiapan yang matang, maka
memerlukan para investor untuk membangun proses globalisasi bukannya mendatangkan
daerahnya. Dalam konteks seperti itulah, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat,
program pembangunan terpadu antar-daerah, tetapi sebaliknya, akan menghasilkan
khususnya pada daerah-daerah pinggiran kota pemiskinan dan marginalisasi rakyat.
yang menjadi daerah ekspansi pertumbuhan Medan Metropolitan sebagai salah
kota-kota besar (metropolitan) menjadi salah satu kota andalan Indonesia dalam
satu alternatif solusi yang dapat diambil. menghadapi era globalisasi juga harus
Pembangunan terpadu antar-daerah perlu mempersiapkan diri dan harus mampu
dilakukan sehingga daerah-daerah pinggiran memilih kebijakan pembangunan yang
kota dapat menjalani proses kehidupan kota berkeadilan sosial. Singkatnya, pembangunan
yang sesungguhnya. Yang terjadi selama ini, yang dipilih harus mampu meningkatkan
untuk sebagian daerah pinggiran Kota Medan, kesejahteraan, terutama bagi golongan kelas
kehidupan mereka secara sosiologis sudah bawah yang memang sudah cukup lama
menjalani proses kehidupan kota, namun menderita kemiskinan dan termarginalisasikan
secara administratif mereka tetap dianggap dari pembangunan. Karena itu diperlukan
desa. dukungan dari semua pihak, termasuk di
Dalam konteks pertumbuhan Kota antaranya pada perlunya kerja sama
Medan Metropolitan, program pembangunan pembangunan kawasan pertumbuhan Medan –
terpadu dengan daerah-daerah yang Binjai – Deli Serdang, sehingga pembangunan
berbatasan langsung, seperti dengan Deli dapat menyentuh tidak hanya bagi
Serdang dan Binjai merupakan salah satu kepentingan masyarakat kota besar (baca:
alternatif solusi, sehingga kawasan Medan), tetapi juga bagi warga asli di daerah
pertumbuhan Medan – Binjai – Deli Serdang pinggiran (hinterland).
dapat segera terwujud. Kawasan pertumbuhan Secara sosiologis, pembangunan
Medan – Binjai – Deli Serdang tersebut kawasan pertumbuhan terpadu merupakan
sebenarnya tidak hanya mendukung Medan alternatif solusi yang mampu mengeliminir
Metropolitan, tetapi merupakan bagian dari munculnya berbagi konflik kepentingan antar-
perwujudan pembangunan nasional yang daerah. Selama ini, pertumbuhan kota-kota
memilih kebijakan pembangunan wilayah besar seperti Surabaya dan Medan di
(regional), dalam perencanaan pembangunan Indonesia, dan pada sebagian besar negara-
nasional. Pembangunan kawasan negara berkembang (Ramlan Subakti, 1996),
pertumbuhan pada daerah-daerah pinggiran selalu diikuti oleh kebijakan perluasan
juga akan membawa dampak positif bagi wilayah administrasi kota ke wilayah sekitar.
daerah-daerah pinggiran karena sumber daya Semua kota besar di Indonesia pernah
daerah pinggiran tidak terkuras oleh melakukan aneksasi atas wilayah di
pertumbuhan kota yang hanya terpusat di sekitarnya. Tetapi pada perkembangannya
tengah-tengah kota. kemudian, ketika kota besar memerlukan
Pembangunan kawasan pertumbuhan perluasan wilayah lagi, maka daerah sekitar
tersebut harus dilihat tidak hanya dalam menjadi enggan untuk melepasnya.
perspektif kebutuhan regional (daerah/kota) Pertumbuhan fisik kota yang
semata, tetapi harus dilihat dalam perspektif merembes ke daerah sekitar melewati batas
yang lebih luas yaitu sebagai kebutuhan administratif wilayah kota secara sosiologis
provinsi dan nasional dalam rangka potensial melahirkan konflik antara kota besar
menghadapi era globalisasi. Proses globalisasi dengan daerah sekitar untuk memperebutkan
yang ditandai dengan kian terbuka dan pajak dan retribusi dari kegiatan ekonomi di
mengglobalnya peran pasar, investasi, dan wilayah sekitar tersebut. Pemerintah kota
proses produksi dari perusahaan-perusahaan besar menganggap memiliki hak untuk
transnasional (Mansour Fakih, 2002), harus mendapatkan pajak dan retribusi karena para

4
Badaruddin, Perkembangan Medan ….

wajib pajak bekerja di kota dan sarana


pendukung bagi kegiatan ekonomi tersebut
berasal dari kota besar. Sedangkan daerah
sekitar mengklaim pajak karena kegiatan
ekonomi itu berlokasi pada wilayah
kewenangannya, dan mendapat pelayanan
publik dari Pemda daerah sekitar. Konflik
juga tidak hanya sebatas antar pemerintah
kota dan daerah, tetapi dapat meluas kepada
warga, pihak investor, dan pelaku-pelaku
lainnya. Masyarakat akan menjadi gamang
dalam melakukan aktivitas dan membayar
kewajiban-kewajibannya kepada pemerintah,
karena seolah-olah terjadi dualisme
pemerintahan di daerah tersebut.
Untuk menghindari persoalan seperti
tersebut di atas, maka pembangunan kawasan
terpadu antar-daerah merupakan salah satu
alternatif solusi yang dapat diambil sekaligus
mewujudkan pemerataan pembangunan antar-
daerah.

5
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1

DAFTAR PUSTAKA

Badaruddin. 1998. Diversifikasi Okupasi dan Mobilitas Status Petani pada Masyarakat Desa
Pinggiran Kota (Studi di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara), Tesis S-2, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.

Evers, Hans Dieter. 1982. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia
dan Malaysia. Jakarta, LP3ES.

Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta, Insist
Press dan Pustaka Pelajar.

McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan Rakyat Jelata. Jakarta, Gramedia.

Mumford, Lewis. 1938. The Culture of Cities. New York, Hartcourt, Brace and Company.

Park, RE., dan Ernest W. Burgess (ed.). 1925. The City. Chicago, University of Chicago Press.

Riawanti, Selly. 2002. Kehidupan Orang Pinggiran Kota di Cipaheut Kaler. Bandung Utara,
Disertasi, Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.

Spates, James L. & John J. Macionis. 1987. The Sociology of City. Belmont, California,
Wadsworth Publishing Company.

Surbakti, Ramlan. 1996. ”Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya”. Prisma No. 9
Tahun XXV, Jakarta, LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai