Badaruddin
Abstract: Medan City development is rapidly grown not only need larger space,
but take some of social consequences, government administration, and urbanism.
Theoretically, each model of city growth which are adopted by city government
(horizontal model or vertical model), twice needs space. Of course, the first model
(horizontal) need larger space than the second (vertical). The need of urban society
for space, location for settlement, education, tourism, industry, marketplace, etc.,
makes what Hans Dieter Evers say “the effect of frog jump”. In this context, the
development program together with regions that direct lines with Deli Serdang and
Binjai regencies are one of alternative solution.
2
Badaruddin, Perkembangan Medan ….
menengah ke atas yang mulai risih dengan masih berada di pusat kota. Dalam hal ini,
kesesakan pusat kota satu persatu mulai pusat kota benar-benar dibangun semarak,
pindah ke daerah pinggiran sehingga mulai sesibuk mungkin, dan bahkan sampai malam
tumbuh kantong-kantong permukiman baru hari pun pusat kota bagaikan tidak pernah
yang dihuni warga baru. Bagi warga kelas tidur. Sementara itu untuk wilayah pinggiran,
bawah yang menjadi korban “pembangunan” acapkali menjadi daerah mati, sepi aktivitas,
di pusat-pusat kota juga terpaksa mencari kecuali sebagai tempat beristirahat. Dalam
lahan-lahan baru di pinggiran, sehingga jangka waktu yang tidak terlalu lama, akibat
pemadatan baru di daerah pinggiran menjadi yang terjadi adalah lalu lintas kota seringkali
sesuatu yang tak terelakkan. macet karena arus mobilitas penduduk
Dari sudut pandang sosiologis, akhirnya hanya berpola konsentrik dan
masyarakat di daerah pinggiran (hinterland) seragam. Pada pagi hari kebanyakan
akan berbenturan dengan pendatang baru penduduk daerah pinggiran menuju pusat
sehingga penghuni lama seringkali secara kota, sementara pada sore hari, semua kembali
sukarela atau terpaksa tergusur dan harus menuju wilayah pinggiran. Keadaan ini bisa
bersedia menjual lahan mereka bagi tempat kita saksikan pada pagi dan sore hari di pintu-
pemukiman penghuni baru tersebut. pintu masuk menuju Kota Medan
Meningkatnya harga tanah dan biaya hidup (Badaruddin, 1998).
rata-rata akibat invasi pendatang dan Terlalu mengumpulnya pusat kegiatan
perkembangan wilayah pinggiran pada di tengah kota (central place) acapkali juga
gilirannya sering juga menyebabkan penghuni memancing meluasnya wilayah kumuh (slum
asli yang masih bertahan lambat laun area) di tengah kota. Bagi warga kelas bawah
menyingkir ke wilayah lain yang dipandang yang banyak mencari nafkah di wilayah pusat
kondisinya lebih sesuai dan lebih ramah bagi kota, seperti sektor informal, guna menghemat
mereka. Singkatnya, penduduk asli yang ongkos transportasi, mereka akan cenderung
seharusnya lebih berhak tinggal dan bisa ikut mencari tempat tinggal yang dekat dengan
mencicipi hasil pembangunan terlihat makin tempat kerja di pusat kota. Tetapi karena
tersisih. Karena itu, problem yang harus dicari harga tanah di pusat kota melonjak dan
penyelesaiannya adalah bagaimana wilayah pemukiman makin berkurang,
pertumbuhan dan perkembangan kota ke sementara tingkat penghasilan mereka pas-
daerah pinggiran membawa efek bagi pening- pasan, maka pilihan yang biasanya diambil
katan kesejahteraan tidak hanya bagi warga adalah mengontrak rumah di kampung-
pendatang, tetapi juga bagi warga setempat kampung kumuh di pusat kota atau mendiami
(penduduk asli). daerah sepanjang pinggiran sungai dan rel
kereta api sebagai pemukim liar. Dalam
b) Pembangunan Terpadu Antar-daerah: konteks seperti ini, tidak mengherankan jika
Alternatif Solusi kehidupan mereka menjadi rawan dan
Dalam rangka menuju kota seringkali terancam penggusuran.
metropolitan, adanya “efek lompat katak” atau Agar pertumbuhan kota menjadi kota
perpindahan penduduk ke daerah pinggiran yang besar (metropolitan) tidak menimbulkan
sesungguhnya merupakan hal wajar. Karena berbagai permasalahan seperti tersebut di atas,
bagaimanapun untuk kota yang akan maka perlu digagas dan direalisasikan
membesar, daerah pusatnya pasti tidak lagi program pembangunan terpadu antar-daerah,
bisa diharapkan untuk menampung yang melibatkan pemerintahan kota dengan
pertumbuhan penduduk yang kian padat. pemerintahan kabupaten yang berbatasan
Persoalannya adalah bila “efek lompat katak” langsung. Program pembangunan terpadu
hanya terjadi di bidang pemukiman saja. tersebut perlu dilakukan karena masing-
Dalam keadaan seperti itu, daerah pinggiran masing pihak saling membutuhkan dan akan
hanya berfungsi sebagai “tempat tidur” saja, saling mendapat keuntungan.
sedangkan semua aktivitas kerja, belanja, Di satu sisi, bagi pemerintah kota
ataupun mencari hiburan, sebagian besar yang sedang mengalami pertumbuhan yang
penduduk wilayah pinggiran tetap harus pergi pesat, maka kebutuhan akan lahan (tanah)
ke pusat kota. bagi para investor menjadi sesuatu yang tak
Untuk kasus Kota Medan misalnya, terelakkan. Tetapi di sisi lain, pemerintah kota
hampir semua fasilitas pusat perbelanjaan sebagai suatu daerah administratif memiliki
3
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
keterbatasan dalam hal penguasaan dan diantisipasi dengan mempersiapkan diri untuk
pengelolaan lahan (tanah). Sementara itu, mampu bersaing dengan kekuatan global
bagi pemerintah kabupaten/kota yang masih tersebut. Tanpa persiapan diri yang baik dan
memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam perencanaan yang matang, maka globalisasi
mengembangkan daerahnya, tetapi memiliki akan menyingkirkan kita dari percaturan
keunggulan di bidang yang lain yaitu, global, bahkan akan “menelan” kita. Dengan
penguasaan atas tanah secara administratif, kata lain, tanpa persiapan yang matang, maka
memerlukan para investor untuk membangun proses globalisasi bukannya mendatangkan
daerahnya. Dalam konteks seperti itulah, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat,
program pembangunan terpadu antar-daerah, tetapi sebaliknya, akan menghasilkan
khususnya pada daerah-daerah pinggiran kota pemiskinan dan marginalisasi rakyat.
yang menjadi daerah ekspansi pertumbuhan Medan Metropolitan sebagai salah
kota-kota besar (metropolitan) menjadi salah satu kota andalan Indonesia dalam
satu alternatif solusi yang dapat diambil. menghadapi era globalisasi juga harus
Pembangunan terpadu antar-daerah perlu mempersiapkan diri dan harus mampu
dilakukan sehingga daerah-daerah pinggiran memilih kebijakan pembangunan yang
kota dapat menjalani proses kehidupan kota berkeadilan sosial. Singkatnya, pembangunan
yang sesungguhnya. Yang terjadi selama ini, yang dipilih harus mampu meningkatkan
untuk sebagian daerah pinggiran Kota Medan, kesejahteraan, terutama bagi golongan kelas
kehidupan mereka secara sosiologis sudah bawah yang memang sudah cukup lama
menjalani proses kehidupan kota, namun menderita kemiskinan dan termarginalisasikan
secara administratif mereka tetap dianggap dari pembangunan. Karena itu diperlukan
desa. dukungan dari semua pihak, termasuk di
Dalam konteks pertumbuhan Kota antaranya pada perlunya kerja sama
Medan Metropolitan, program pembangunan pembangunan kawasan pertumbuhan Medan –
terpadu dengan daerah-daerah yang Binjai – Deli Serdang, sehingga pembangunan
berbatasan langsung, seperti dengan Deli dapat menyentuh tidak hanya bagi
Serdang dan Binjai merupakan salah satu kepentingan masyarakat kota besar (baca:
alternatif solusi, sehingga kawasan Medan), tetapi juga bagi warga asli di daerah
pertumbuhan Medan – Binjai – Deli Serdang pinggiran (hinterland).
dapat segera terwujud. Kawasan pertumbuhan Secara sosiologis, pembangunan
Medan – Binjai – Deli Serdang tersebut kawasan pertumbuhan terpadu merupakan
sebenarnya tidak hanya mendukung Medan alternatif solusi yang mampu mengeliminir
Metropolitan, tetapi merupakan bagian dari munculnya berbagi konflik kepentingan antar-
perwujudan pembangunan nasional yang daerah. Selama ini, pertumbuhan kota-kota
memilih kebijakan pembangunan wilayah besar seperti Surabaya dan Medan di
(regional), dalam perencanaan pembangunan Indonesia, dan pada sebagian besar negara-
nasional. Pembangunan kawasan negara berkembang (Ramlan Subakti, 1996),
pertumbuhan pada daerah-daerah pinggiran selalu diikuti oleh kebijakan perluasan
juga akan membawa dampak positif bagi wilayah administrasi kota ke wilayah sekitar.
daerah-daerah pinggiran karena sumber daya Semua kota besar di Indonesia pernah
daerah pinggiran tidak terkuras oleh melakukan aneksasi atas wilayah di
pertumbuhan kota yang hanya terpusat di sekitarnya. Tetapi pada perkembangannya
tengah-tengah kota. kemudian, ketika kota besar memerlukan
Pembangunan kawasan pertumbuhan perluasan wilayah lagi, maka daerah sekitar
tersebut harus dilihat tidak hanya dalam menjadi enggan untuk melepasnya.
perspektif kebutuhan regional (daerah/kota) Pertumbuhan fisik kota yang
semata, tetapi harus dilihat dalam perspektif merembes ke daerah sekitar melewati batas
yang lebih luas yaitu sebagai kebutuhan administratif wilayah kota secara sosiologis
provinsi dan nasional dalam rangka potensial melahirkan konflik antara kota besar
menghadapi era globalisasi. Proses globalisasi dengan daerah sekitar untuk memperebutkan
yang ditandai dengan kian terbuka dan pajak dan retribusi dari kegiatan ekonomi di
mengglobalnya peran pasar, investasi, dan wilayah sekitar tersebut. Pemerintah kota
proses produksi dari perusahaan-perusahaan besar menganggap memiliki hak untuk
transnasional (Mansour Fakih, 2002), harus mendapatkan pajak dan retribusi karena para
4
Badaruddin, Perkembangan Medan ….
5
Jurnal Harmoni Sosial, September 2006, Volume I, No. 1
DAFTAR PUSTAKA
Badaruddin. 1998. Diversifikasi Okupasi dan Mobilitas Status Petani pada Masyarakat Desa
Pinggiran Kota (Studi di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara), Tesis S-2, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Evers, Hans Dieter. 1982. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia
dan Malaysia. Jakarta, LP3ES.
Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta, Insist
Press dan Pustaka Pelajar.
McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan Rakyat Jelata. Jakarta, Gramedia.
Mumford, Lewis. 1938. The Culture of Cities. New York, Hartcourt, Brace and Company.
Park, RE., dan Ernest W. Burgess (ed.). 1925. The City. Chicago, University of Chicago Press.
Riawanti, Selly. 2002. Kehidupan Orang Pinggiran Kota di Cipaheut Kaler. Bandung Utara,
Disertasi, Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.
Spates, James L. & John J. Macionis. 1987. The Sociology of City. Belmont, California,
Wadsworth Publishing Company.
Surbakti, Ramlan. 1996. ”Perebutan Ruang di Perkotaan dan Pembenarannya”. Prisma No. 9
Tahun XXV, Jakarta, LP3ES.