Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

MAKALAH MANAJEMEN PERUBAHAN DAN KOMPETENSI

Oleh :

PUJIONO

NPM : 1911322025391

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PANCASETIA

BANJARMASIN

TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Telah terjadi perubahan lingkungan bisnis di era millenium 4.0 ditandai dengan
perkembangan teknologi, khususnya kemajuan luar biasa dibidang teknologi
komputerisasi dan internet yang membawa pada era revolusi industri 4.0.
Era revolusi industri 4.0 ini ditandai dengan kemunculan teknologi digitalisasi,
otomatisasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang membawa pada
perubahan cara hidup, perilaku, cara bekerja,sifat kerja dan hubungan antar manusia
yang tentunya berdampak pula pada perubahan SDM organisasi dan bahkan
organisasi itu sendiri.
Sejak akhir Maret 2020 Virus Corona yang kemudian disebut pandemi COVID
19 telah masuk ke Indonesia, secara pasti menjangkiti penduduk dihampir 34 provinsi
dan 416 Kabupaten/ Kota diseluruh Indonesia. Pandemi COVId 19 ini memberikan
dampak luar biasa pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, keagamaan,
ketatanegaraan dan teknologi serta bisnis, sehingga negara menetapkan status
darurat non alam. Dampaknya bisa terlihat dalam melakukan pekerjaan, belajar,
beraktivitas di rumah saja, dan lain sebagainya. Kondisi menuntut perlunya melakukan
perubahan dalam pola hidup dan berkehidupan dan ini membutuhkan kesiapan serta
kompetensi sebagaimana dijelaskan di atas, agar survive melanjutkan kehidupan
dalam tatanan kehidupan baru yang disebut Normal baru (New Normal). Tatanan
kehidupan normal baru menuntut penyesuaian dalam berbagai aspek kehidupan agar
kehidupan terus berjalan. Kita tidak punya pilihan menghadapi covid 19 ini kecuali
beradaptasi dengan lingkungan normal baru (Mata Najwa, 10 Juni 2020).
Perubahan tatanan kehidupan normal baru menuntut kesiapan semua pihak
dan stakeholders, utamanya SDM dan kepemimpinan organisasi, terutama kebutuhan
untuk dimilikinya kompetensi perubahan. Kompetensi digambarkan sebagai
kemampuan untuk melaksanakan tugas/pekerjaan dengan mengembangkan
kemampuan yang diwarnai oleh Knowledge, Skill dan Ability (KSA) dengan hasil baik
bahkan baik sekali. Dan hasil pekerjaan itulah yang kemudian disebut kinerja.
Perubahan adalah keniscayaan sebagai respon untuk menyesuaikan diri
terhadap timbulnya perubahan lingkungan, baik bisnis maupun lingkungan kehidupan
manusia, apakah bersifat internal maupun eksternal. Perubahan juga adalah upaya
untuk mempermudah mencapai tujuan organisasi melalui pencapaian kinerja
organisasi.
Dinas Pendidikan ialah dinas yang menjadi pusat dalam dunia pendidikan,
tugas Dinas Pendidikan ialah perumusan kebijakan teknis di bidang pendidikan,
pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pendidikan, pelaksanaan evaluasi dan
pelaporan di bidang pendidikan, pelaksanaan administrasi Dinas Pendidikan, dengan
adanya pandemic covid kini, dunia pendidikan tidak dapat melakukan peningkatan
pendidikan dengan baik, hal tersebut dikarenakan diliburkannya sekolah – sekolah di
daerah tamiyang laying kabupaten barito timur, saat ini anak – anak bersekolah
menggunakan sistem daring, dimana aktivitas dan ujian dilakukan secara online,
secara harfiah kami sebagai penunjang atau pendukung sekolah – sekolah juga
melakukan pekerjaan kami secara daring, segala sesuatu yang seharusnya dilakukan
dengan tatap muka kini berubah menjadi via online, mungkin anak-anak didunia
pendidikan kini mulai bosan dikarenakan tidak dapat bersekolah sebagaimana
mestinya, namun covid 19 semakin meningkat mengharuskan kami untuk melakukan
aktivitas dirumah saja.
Latar belakang dibuatnya Makalah ini ialah dikarenakan saya sebagai penulis
ingin mengetahui faktor apa saja yang yang dapat mempengaruhi seseorang dimasa
perubahan seperti ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah tantangan dalam perubahan itu sendiri jika dilihat di dalam sebuah
organisasi ?
2. Bagaimana cara mengatasi tantangan dalam perubahan dalam lingkup
organisasi?

1.3. Tujuan Masalah


1. Menggambarkan bagaimanakah tantangan dalam perubahan itu sendiri dilingkup
organisasi seperti;
2. Mengetahui bagaimana cara mengatasi tantangan dalam perubahan di
lingkungan organisasi.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori


A. Pengertian Perubahan
Berubah merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu ata
seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya (Atkinson,1987). Merupakan
proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi
(Brooten,1978).
Perubahan adalah hal yang pasti terjadi, termasuk di dalam konteks
organisasi. Perubahan terjadi karena yang menjalankan organisasi adalah
manusia, dan manusia terus berubah. Sering dikatakan satu hal yang pasti terjadi
di dunia adalah perubahan.
Jadi Perubahan adalah suatu proses dimana terjadinya peralihan atau
perpindahan dari status tetap (statis) menjadi status yang bersifat dinamis. Artinya
dapat menyesuaikan diri dari lingkungan.menurut hersey dan Blanchard ada 4
tingkat perubahan yaitu :yaitu perubahan pengetahuan,sikap, prilaku individual,
dan prilaku kelompok.
B. Berikut Faktor Pendorong Perubahan
1. Lingkungan Eksternal: tingkat persaingan, politik, ekonomi, kekuatan global,
demografik, sosial, teknologi, konsumen ;
2. Lingkungan Internal: silus kehidupan produk, pergantian pimpinan,
ketersediaan sumber daya internal, konflik.
C. Proses Perubahan.
1. Mencairkan:melibatkan penghancuran cara normal orang yang melakukan
sesuatu-mmemutuskan pola,kebiasaan,dan rutinitas sehingga orang siap
untuk menerima alternatifbaru(hersey, Blanchard) atau mengurangi
kekuatan untuk mengurangi status quo, menciptakan kebutuhan akan
perubahan, meminimalisasi tantangan terhadap perubahan seperti
memberikan masalah proaktif.Contoh :Refresing,kegiatan_kegiatan baru.
2. Memindahkan: mengembangkan perilaku, nilai dan sikap yang baru.
3. Membekukan kembali:akan terjadi jika prilaku baru sudah menjadi bagian
dari kepribadian seseorang.dengan cara memperkuat, mengevaluasi, dan
membuat modifikasi konstruktif.
D. Konsep Perubahan.
1. First order change : berlangsung terus menerus & bukan perubahan besar
bagi keseluruhan organisasi.
2. Second order change: perubahan radikal semua organisasi
E. Karakteristik Agen Perubahan
1. Keteguhan hati – mengakui apa yang terjadi di masa lalu & mampu melihat
perbedaannya.
2. Visibilitas – kemampuan untuk melihat & memberikan dukungan terhadap
ide & tindakan seseorang.
3. Ketekunan – kesabaran & kamantapan usaha yang dibutuhkan untuk
mencapai hasil.
4. Dorongan motivasi – tidak pernah mundur & menyerah apa yang telah
dilakukan & selalu mendorong pada peluang ke depan
F. Ketrampilan Yang Diperlukan Untuk Beerubah
1. Kemampuan mendengarkan.
2. Kemampuan meningkatkan pendidikan.
3. Mengerti akan kebutuhan & bisa memotivasi orang lain.
G. Kegagalan Perubahan
1. Manajer tidak menguasai prinsip manajemen perubahan.
2. Manajer tergoda pada “solusi mudah” dan “perbaikan cepat”.
3. Manajer tidak menganggap penting aspek budaya dan kepemimpinan dalam
perubahan.
4. Manajer mengabaikan aspek manusia dalam mengelola perubahan.
H. Resistensi Pada Perubahan.
Resistensi Terhadap Perubahan
Pada dasarnya, melakukan perubahan merupakan usaha untuk
memanfaatkan peluang untuk mencapai keberhasilan. Karena itu melakukan
perubahan mengandung resiko, yaitu adanya resistensi atau penolakan
terhadap perubahan. Dalam konteks ini Ahmed, Lim & Loh di dalam Learning
Through Knowledge Management (2002) secara tegas menyatakan bahwa
resistensi terhadap perubahan adalah tindakan yang berbahaya dalam
lingkungan yang penuh dengan persaingan ketat. Resistensi terhadap
perubahan dapat dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu resistensi individu
dan resistensi organisasi. Pengertian resistensi individu adalah penolakan
anggota organisasi terhadap perubahan yang diajukan oleh pimpinan organisasi.
Beberapa faktor resistensi yang lazim terjadi dalam perubahan organisasi adalah
sebagai berikut:
1. Kebiasaan kerja. Orang sering resisten terhadap perubahan karena
menganggap kebiasaan yang baru dianggap merepotkan atau mengganggu.
2. Keamanan. Seperti takut dipecat, atau kehilangan jabatan
3. Ekonomi. Faktor ekonomi seperti gaji paling sering dipertanyakan, karena
orang sangat tidak megharapkan gajinya turun.
4. Sesuatu yang tidak diketahui. Istilah lain yang sering dipakai mengenai
resistensi terhadap perubahan adalah karena setiap perubahan akan
mengganggu comfort zone (zona nyaman), yaitu kebiasaan-kebiasaan kerja
yang selama ini dirasakan nyaman, Sonnenberg dalam kaitannya dengan hal
ini mengidentifikasi tujuh alasan mengapa orang resisten terhadap
perubahan, yaitu:
a. Procastination. Kecenderungan menunda perubahan, karena merasa
masih banyak waktu untuk melakukan perubahan.
b. Lack of motivation. Orang berpendapat bahwa perubahan tersebut tidak
memberikan manfaat sehingga enggan berubah
c. Fear of failure. Perubahan menimbulkan pembelajaran baru. Orang takut
kalau nantinya ia tidak memiliki kemampuan yang baik tentang sesuatu
yang baru tersebut sehingga ia akan gagal.
d. Fear of the unkown. Orang cenderung merasa lebih nyaman dengan hal
yang diketahuinya dibandingkan dengan hal yang belum diketahui.
Perubahan berarti mengarah kepada sesuatu yang belum diketahui.
e. Fear of loss. Orang takut kalau perubahan akan menurunkan job
security, power, t atau status.
f. Dislike the innitiator of change. Orang sering sulit menerima perubahan
jika mereka raterhadap kepiawaian inisiator perubahan atau tidak
menyukai anggota agen perubahan.
g. Lack of communication. Salah pengertian akan apa yang diharapkan
dari perubahan, informasi yang disampaikan tidak utuh dan
komprehensif.
I. Penanggulangan Resistensi
Kotter dan Schlesinger, dalam ‘Choosing Strategies for Change’ (Harvard
Business Review-Juli – Agustus, 2008), merumuskan enam cara untuk
menanggulangi resistensi terhadap perubahan. Robbins (2005), mengkaji
berbagai taktik untuk menanggulangi resistensi terhadap perubahan, namun
kemudian memutuskan untuk merangkum keenam taktik yang dirumuskan oleh
Kotter & Schlesinger (2008) sebagaimana rangkuman berikut.
1. Pendidikan dan Komunikasi. Menerapkan komunikasi terbuka kepada
seluruh anggota. Komunikasi dapat dilakukan dalam bentuk lisan, tulisan,
atau lisan dan tulisan. Dengan demikian seluruh anggota organisasi dapat
menerima informasi dari satu sumber. Informasi yang disampaikan harus
jelas, baik alasan mengapa dilakukan perubahan, tujuan melakukan
perubahan, dan manfaat perubahan bagi seluruh organisasi.
2. Partisipasi. Sebelum mengaplikasikan rancangan perubahan yang telah
diformulasikan, pimpinan puncak dan agen perubahan harus dapat
mengidentifikasi siapa-siapa yang resisten terhadap perubahan. Orang
orang yang resisten kemudian dilibatkan dalam membahas faktor faktor yang
menimbulan perubahan.
3. Fasilitas dan dukungan. Agen perubahan harus dilatih sedemikian rupa agar
dapat memfasilitasi dan membantu anggota organisasi yang menghadapi
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan yang telah dirancang.
Jika perlu agen perubahan dapat menyelenggarakan pelatiha atau seminar
seminar untuk meningkatkan pemahaman tentang perubahan tersebut.
4. Negoisasi. Dilakukan jika agen perubahan menemui resistensi perubahan
dari orang tertentu. Orang tersebut diundang untuk berdiskusi dan negosiasi.
5. Manipulasi dan kooptasi. Yang dimaksud dengan manipulasi adalah
menonjolkan suatu realita sehingga terlihat dan terasa akan sangat menarik.
Sedangkan kooptasi adalah kombinasi dari manipulasi dan partisipasi.
Dengan menonjolkan suatu realita sehingga terlihat menarik orang yang
resisten diajak berdiskusi dan membuat keputusan tentang faktor faktor yang
mempengaruhi pentingnya melakukan perubahan.
6. Paksaan. Taktik ini adalah penerapan ancaman atau pemaksaan terhadap
orang yang resisten terhadap perubahan. Pemindahan atau rotasi, tidak
promosi, pemecatan, adalah beberapa bentuk paksaan. Dalam rumusan
cara-cara penanggulangan resistensi terhadap perubahan, Kotter dan
Schlesinger (2008) menggabungkan pendidikan dan komunikasi sebagai
satu cara. Dalam praktiknya, pendidikan dapat juga dijadikan sebagai satu
taktik tersendiri. Orang orang yang resisten terhadap perubahan dapat juga
ditanggulangi dengan menyekolahkan mereka untuk memperoleh
pendidikan yang lebih tinggi. Diharapkan, selama mereka mengikuti
pendidikan, pola pikir mereka akan berubah dan akan lebih memahami
perubahan yang akan dilakukan.
J. Strategi Rasional Empirik
1. StrateLingkungan Eksternal: tingkat persaingan, politik, ekonomi, kekuatan
global, demografik, sosial, teknologi, konsumen.
2. Lingkungan Internal: silus kehidupan produk, pergantian pimpinan,
ketersediaan sumber daya internal, konflik.
3. Lingkungan Eksternal: tingkat persaingan, politik, ekonomi, kekuatan
global, demografik, sosial, teknologi, konsumen.
4. Lingkungan Internal: silus kehidupan produk, pergantian pimpinan,
ketersediaan sumber daya internal, konflik .
Strategi ini didasarkan karena manusia sebagai komponen dalam
perubahan memiliki sifat rasional untuk kepentingan diri dalam berperilaku.
Untuk mengadakan suatu perubahan strategi rasional dan empirik yang
didasarkan dari hasil penemuan atau riset untuk diaplikasikan dalam perubahan
manusia yang memiliki sifat rasional akan menggunakan rasionalnya dalam
menerima sebuah perubahan. Langkah dalam perubahan atau kegiatan yang
diinginkan dalam strategi rasional empirik ini dapat melalui penelitian atau
adanyadesiminasi melalui pendidikan secara umum sehingga melalui
desiminasi akan diketahui secara rasional bahwa perubahan yang akan
dilakukan benar-benar sesuai dengan rasional.Strategi ini juga dilakukan pada
penempatan sasaran yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimiliki sehingga semua perubahan akan menjadi efektif dan efisien, selain itu
juga menggunakan sistem analisis dalam pemecahan masalah yang ada.
K. Strategi Reedukatif Normatif.
Strategi ini dilaksanakan berdasarkan standar norma yang ada di
masyarakat. Perubahan yang akan dilaksanakan melihat nilai nilai normatif yang
ada di masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan permasalahan baru di
masyarakat. Standar norma yang ada di masyarakat ini di dukung dengan sikap
dan sistem nilai individu yang ada di masyarakat. Pendekatan ini dilaksanakan
dengan mengadakan intervensi secara langsung dalam penerapan teori-teori
yang ada.Strategi ini dilaksanakan dengan cara melibatkan individu, kelompok
atau masyarakat dan proses penyusunan rancangan untuk perubahan. Pelaku
dalam perubahan harus memiliki kemampuan dalam berkolaborasi dengan
masyarakat. Kemampuan ilmu perilaku harus dimiliki dalam pembaharu.
L. Strategi Paksaan- Kekuatan.
Dikatakan strategi paksaan-kekuatan karena adanya penggunaan
kekuatan atau kekuasaan yang dilaksanakan secara paksa dengan
menggunakan kekuatan moral dan kekuatan politik.Strategi ini dapat
dilaksanakan dalam perubahan sistem kenegaraan, penerapan sistem
pendidikan dan lain-lain.
M. Menurut Tiffany Dan Lutjens (1989) Telah Mengidentifikasi Tujuh Strategi
Berubah Yang Cocok Dengan Kontinum Dari Yang Paling Netral Sampai Yang
Paling Koersif.
1. Edukasi
Strategi ini memberikan suatu presentasi fakta yang relatif tidak bisa yang
dimaksudkan untuk berfungsi sebagai justifikasi rasional atas tindakan yang
terencana.
2. Fasilitatif
Strategi ini memberikan sumber penting untuk berubah.Strategi ini
mengasumsikan bahwa orang ingin berubah, tetapi membutuhkan sumber-
sumber untuk membuat perubahan tersebut.
3. Teknostruktural
Strategi ini mengubah teknologi untuk mengakses struktur sosial dalam
kelompok atau mengubah srtuktur sosial untuk mendapatkan
teknologi.Strategi ini memengaruhi hubungan antara teknologi, ruang dan
struktur. Penggunaan ruang dapat diubah untuk memengaruhi struktur
sosial.
4. Data-based
Strategi ini mengumpulkan dan menggunakan data untuk membuat
perubahan sosial. Data digunakan untuk menemukan inovasi yang paling
baik guna memecahkan masalah yang dihadapi.
5. Komunikasi
Strategi komunikasi menyebarkan informasi sepanjang waktu melalui
saluran dalam sistem sosial.
6. Persuasif
Pemakaian penalaran, debat,dan bujukan dilakukan untuk menyebabkan
perubahan.
7. Koersif
Terdapat hubungan wajib antara perencan dan pengadopsi. Kekuasaan
digunakan untuk menyebabkan perubahan.
N. Tahap-tahap dalam perubahan
Secara umum tahap tahap perubahan akan meliputi tiga tahap: persiapan,
penerimaan, dan komitmen.
1. Pada tahap persiapan dilakukan berbagai kontak melalui ceramah,
pertemuan, maupun komunikasi tertulis. Tujuannya agar tercapai kesadaran
akan pentingnya perubahan (change awareness). Ketidakjelasan tentang
pentingnya oerubahanakan menjadi penghambat upaya-upaya dalam
pembentukan komitmen. Sebaliknya kejelasan akan menimbulkan
pemahaman yang baik terhadap pentingnya perubahan, yang mendukung
upaya-upaya dalampembentukan komitmen.
2. Dalam penerimaan, pemahaman yang terbentuk akan bermuara ke dalam
dua kutub, yaitu persepsi yang positif di satu sisi atau persepsi negatif di sisi
yang lain. Persepsi yang negatif akan melahirkan keputusan untuk tidak
mendukung perubahan, sebaliknya persepsi positif yang melahirkan
keputusan untuk memulai perubahan dan merupakan suatu bentuk
komitmen untuk berubah.
3. Tahap komitmen melalui beberapa langkah yaitu instalasi, adopsi,
instusionalisasi, dan internalisasi. Langkah instalasi merupakan periode
percobaan terhada perubahan yang merupakan preliminary testing terdapat
dua konsekuensi dari langkah ini. Konsekuensi pertama, perubahan dapat
diadopsi untuk pengujian jangka panjang. Kedua, perubahan gugur setelah
implementasi pendahuluan yang mungkin disebabkan oleh masalah
ekonomi-finansial –politik,perubahan dalam tujuan strategis, dan
tingginya vested interest.
Kompetensi
Pada tahun 1960 dan awal 1970, gerakan tentang kompetensi telah
dimulai. Hasil dari studi yang menunjukkan hasil tes sikap dan pengetahuan,
prestasi belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi kinerja atau
keberhasilan dalam kehidupan. Hal ini mendorong untuk melskuksn penelitian
terhadap variable kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu. Oleh
sebab itu, beberapa prinsip yang perlu diperhatikan:
a. Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam pekerjaannya
Kdengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini perlu diidentifikasi apa
sebab yang berkaitan dengan keberhasilan.
b. Mengiidentifikasi pola pikir dan perilaku individu yang berhasil. Pengukuran
kompetensi harus menyakut reaksi individu terhadap situasi yang terbuka
ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden.
Secara harfiah (terjemahan) berasal dari kata competence yang artinya
kecakapan, kemampuan, dan wewenang. Adapun secara etimologi (asal-usul
kata), kompetensi diartikan sebagai dimensi perilaku keahlian atau keunggulan
seorang pemimpin atau staf yang mempunyai keterampilan, pengetahuan , dan
perilaku yang baik.
Kompeten adalah keterampilan yang diperlukan seseorang yang
ditunjukkan oleh kemampuannya untuk dengan konsisten memberikan tingkat
kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan spesifik. Kompeten
harus dibedakan dengan kompetensi, walaupun dalam pemakaian umum istilah ini
digunakan dapat dipertukarkan. Pendapat yang hampir sama dengan konsep
Inggris dikemukakan oleh Kravetz (2004), bahwa kompetensi adalah sesuatu yang
seseorang tunjukkan dalam kerja setiap hari. Fokusnya adalah pada perilaku di
tempat kerja, bukan sifat-sifat kepribadian atau keterampilan dasar yang ada di
luar tempat kerja ataupun di dalam tempat kerja.
Kompetensi mencakup melakukan sesuatu, tidak hanya pengetahuan
yang pasif. Seorang karyawan mungkin pandai, tetapi jika mereka tidak
menterjemahkan kepandaiannya ke dalam perilaku di tempat kerja yang efektif,
kepandaian tidak berguna. Jadi kompetensi tidak hanya mengetahui apa yang
harus dilakukan.
Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk
melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan
pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan
kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan
pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan. Pengertian ini sebagai
kecakapan atau kemampuan yang dikemukakan oleh Robert A. Roe (2001:73).
Menurut Spencer and Spencer (1993) Kompetensi didefinisikan sebagai
Underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion-
referenced effective and or superior performance in a job or situation. Kompetensi
merupakan karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan
efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya.
Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah
kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan
(knowledge) yang tercermin melalui
perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi.
Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft
competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk
mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi
dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication,
interpersonal relation, dan lain-lain. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut
hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan
fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan
dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh
hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial
analysis, manpower planning.
BAB III
HASIL PENELITIAN

3.1. Hasil Penelitian


A. PERMASALAHAN DALAM PERUBAHAN
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang
paling sering dan menonjol adalah “Penolakan atas Perubahan itu sendiri”. Istilah
yang sangat populer dalam manajemen adalah Resistensi Perubahan (Resistance
To Change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif, justru karena adanya
penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang
standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (Eksplisit) dan segera, misalnya
mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa
juga tersirat (Implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi
berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi
meningkat, dan lain sebagainya.
Mengapa Perubahan Ditolak ?
Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan bahwa sumber penolakan atas
perubahan, ada 2 (dua), yaitu penolakan yang dilakukan oleh Individual dan yang
dilakukan oleh kelompok atau Organisasional.
1. RESISTENSI INDIVIDUAL
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya
potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.
a. Kebiasaan :
Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara
berulang-ulang sepanjang hidup kita, sehingga terbentuk satu pola
kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola
kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.
b. Rasa Aman :
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki
kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan
pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan
rasa tidak aman bagi para pegawai.
c. Faktor Ekonomi :
Faktor lain sebagai sumber penolakan adalah soal menurunnya
pendapatan.
d. Takut Akan Sesuatu Yang Tidak Diketahui :
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu
muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah
pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan
cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan.
e. Persepsi :
Cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini
mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak
ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini
bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.
a) Faktor internal Faktor internal adalah faktor-faktor yang bersumber dalam
masyarakat itu sendiri Faktor ini merasakan adanya kebutuhan akan
perubahan yang dirasakan. oleh karena itu, setiap organisasi mengahadapi
pilihan antara berubah atau mati tertekan oleh kekuatan perubahan. Faktor
internal di dalam organisasi dapat pula menjadi pendorong untuk perlunya
perubahan. Adapun yang termasuk dalam faktor internal adalah sebagai
berikut:
1) Perubahan ukuran dan struktur organisasi Perubahan yang terjadi
menyebabkan banyak organisasi melakukan restrukturisasi, dan biasanya
diikuti dengan downsizing dan outsourcing. Restrukturisasi cenderung
membentuk organisasi yang lebih datar dan berbasis team. Outsourcing
dimaksudkan untuk menarik tenaga professional guna meningkatkan
kinerja organisasi. Perubahan ukuran dan struktur organisasi ini di
maksudkan untuk memperoleh SDM yang sesuai dengan tugas atau Job
description yang diberikan, sehingga organisasi itu memperoleh orang
yang ahli di bidangnya dan manajemen sekolah berjalan dengan baik.
2) Perubahan dalam sistem administrasi Perubahan sistem administrasi
dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi, merubah citra sekolah, atau
untuk mendapatkan kekuasaan dalam organisasi. Perubahan sistem
administrasi dimaksudkan agar organisasi menjadi lebih kompetetif.
3) Introduksi teknologi baru Perubahan teknologi baru berlangsung secara
cepat dan mempengaruhi cara bekerja orang-orang dalam organisasi.
Teknologi baru diharapkan membuat organisasi semakin kompetitif.
Teknologi telah merubah pekerjaan dan organisasi. Penggantian
pegawasan dengan menggunakan komputer menyebabkan rentang
kendali manejer semakin luas dan organisasi semakin yang lebih datar. b)
Faktor eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar
lembaga/organisasi, yaitu keseluruhan faktor yang berasal dari luar
organisasi yang dapat mempengaruhi organisasi dan kegiatan organisasi,
seperti : ekonomi, politik, hukum, teknologi, kebudayaan, sumber alam,
demografi, sosiologi dan sebagainya.
Faktor eksternal lainnya antara lain :
1) Lingkungan Alam Fisik yang Ada di Sekitar Manusia Perubahan dapat
disebabkan oleh lingkungan fisik, seperti terjadinya gempa bumi, taufan, banjir
besar, dan lain-lain mungkin menyebabkan bahwa masyarakat yang mendiami
daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggalnya yang baru, maka
mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersebut.
2) Peperangan. Peperangan dengan negara lain dapat menyebabkan terjadinya
perubahanperubahan yang sangat besar baik pada lembaga/organisasi
kemasyarakatan maupun struktur masyarakat.
3) Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain Adanya pengaruh kebudayaan
masyarakat lain dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan budaya.
Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua masyarakat, mempunyai
kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbalbalik, artinya masing-
masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima
pengaruh dari masyarakat yang lain itu. Menurut Wibowo (2006:53)
Tahapan Dalam Manajemen Perubahan Hampir semua perubahan terjadi
melalui tahap-tahap. Demikian juga dalam manajemen perubahan. Tahap-tahap
manajemen perubahan ada empat, yaitu:
a) Tahap identifikasi perubahan. Pada tahap ini diharapkan seseorang dapat
mengenal perubahan apa yang akan dilakukan /terjadi. Dalam tahap ini
seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan
mengidentifikasi tipe perubahan.
b) Tahap perencanaan perubahan. Pada tahap ini harus dianalisis mengenai
diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihan. Dalam
proses ini perlu dipertimbangkan adanya factor pendukung sehingga
perubahan dapat terjadi dengan baik.
c) Tahap implementasi perubahan. Pada tahap ini terjadi proses pencairan,
perubahan dan pembekuan yang diharapkan. Apabila suatu perubahan
sedang terjadi kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan
monitoring perubahan.
d) Tahap evaluasi dan umpan balik. Pada tahap ini dilakukan evaluasi dan
memerlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilaku-kan pengumpulan
data dan evaluasi data tersebut. Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada
tahap pertama sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan
berikutnya.
RESISTENSI ORGANISASIONAL
Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka
menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenalkan
doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga
yang paling sulit berubah.
Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis. Terdapat enam sumber
penolakan atas perubahan :
a. Inersia Struktural :
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur,
aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasilkan stabilitas.
Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.
b. Fokus Perubahan Berdampak Luas :
Perubahan organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian
saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka
bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja
dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka
perubahan sulit berjalan lancar.
c. Inersia Kelompok Kerja :
Ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi
untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, sebagai pribadi kita
setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan
norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.
d. Ancaman Terhadap Keakhlian :
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok
kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain,
mengancam kedudukan para juru gambar.
e. Ancaman Terhadap Hubungan Kekuasaan Yang Telah Mapan :
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa
dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat
menengah.
MENGATASI PENOLAKAN ATAS PERUBAHAN
Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior mengusulkan 6
(enam) strategi yang bisa dipakai untuk mengatasi Resistensi perubahan :
1. Pendidikan dan Komunikasi :
Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari
diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai
macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk
lainnya.
2. Partisipasi :
Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak
sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil
keputusan.
3. Memberikan kemudahan dan dukungan :
Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri
pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat
penolakan.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan

The story about change yang bercerita tentang sekelompok penguin tadi
menjadi sebuah refleksi bahwa perubahan akan selalu ada dalam setiap kondisi.
Perubahan menjadi sebuah proses yang terus akan dilalui. Dalam bukunya yang
berjudul “Leading Change” Kotter juga mengemukakan bahwa untuk memulai proses
perubahan ada beberapa langkah yang harus dibangun. Berikut delapan langkah yang
dijelaskan Kotter dalam bukunya demi menuju perubahan yang diinginkan.
Langkah #1: Menciptakan Sense of Urgency
Sense of urgency adalah motivasi yang menginisiasi hasrat untuk berubah.
Untuk membuat perubahan benar-benar terjadi, rasa keinginan untuk berubah yang
tinggi dari seluruh elemen di dalam organisasi akan membantu organisasi memulai
perubahan.
Membangun sense of urgency¸bukan hanya sekedar menunjukkan data
statistik penjualan yang rendah atau berbicara tentang semakin tingginya tingkat
persaingan di luar sana. Dalam bukunya, Kotter menyarankan untuk membangun
dialog yang jujur dan meyakinkan bagaimana kondisi yang terjadi di pasar dan juga
bagaimana dengan para kompetitor yang ada. Jika banyak orang mulai membicarakan
tentang perubahan yang Anda usulkan, sense of urgency dari seluruh elemen
organisasi akan timbul dengan sendirinya.
Di banyak kasus, urgensi yang paling memotivasi didorong oleh sosok
pemimpin. Jika transformasi meliputi seluruh sendi perusahaan, maka di tangan CEO-
lah keberhasilan fase pertama dalam proses transformasi ini berada. Ketika level
urgensi tidak terpompa sepenuhnya, transformasi tidak bisa membuahkan
kesuksesan dan masa depan perusahaan tak ubahnya seperti telur di ujung tanduk.
Lalu bagaimana kita mengetahui level urgensi cukup tinggi? Menurut
pengamatan Kotter, level urgensi telah cukup untuk melakukan perubahan ketika 75%
manajemen menyatakan akan adanya kebutuhan yang mendesak untuk berubah,
agar perubahan bisa berhasil.
Langkah #2: Menciptakan Koalisi Kepemimpinan yang Kuat
Walaupun inisiatif perbaikan seringkali dimulai oleh satu atau dua orang saja,
namun inisiatif yang sukses mampu menghimpun lebih banyak massa dan
membentuk koalisi kepemimpinan yang kuat.
Kepemimpinan yang kuat dan dukungan dari para karyawan kunci sangat
penting dalam tahap kedua ini. Orang-orang perlu diyakinkan bahwa perubahan itu
perlu. Mengelola perubahan saja bukan menjadi satu-satunya jalan keluar, karena
betapapun bagusnya ide perubahan, keberhasilannya bergantung dari eksekusi para
individunya.
Dalam usaha transformasi yang sukses, chairman, presiden, atau manajer
umum, ditambah lima hingga lima puluh orang lainnya, bersatu dan mengembangkan
komitmen bersama untuk meningkatkan keunggulan kinerja perusahaan melalui
perubahan. Koalisi semacam ini, dalam banyak kasus yang diamati Kotter, sangat
powerful untuk memastikan kesuksesan –dalam hal titel, ekspertis, informasi, reputasi
dan hubungan kerja.
Langkah #3: Memiliki Visi untuk Perubahan
Di banyak perusahaan yang sukses menjalankan perubahan, koalisi
kepemimpinan mengembangkan gambaran kondisi di masa depan yang begitu ideal
dan menarik, khususnya bagi pelanggan, stakeholder dan karyawan. Sebuah visi
biasanya melampaui apa yang dapat dicapai perusahaan dalam lima tahun. Sebuah
visi secara jelas berbicara tentang arah yang seharusnya dituju oleh perusahaan.
Visi yang dibutuhkan perusahaan adalah visi yang bijak dan logis. Tanpa
adanya visi yang bijak (sensible vision) dan dipahami bersama, usaha transformasi
hanya akan menjadi serangkaian proyek yang tidak saling berhubungan dan tidak
kompatibel, yang hanya akan mengaburkan arah gerak perusahaan. Tanpa adanya
visi yang logis (sound vision), proyek reengineering di divisi akunting, quality
program di pabrik, tinjauan kinerja 360 o oleh departemen SDM, dan proyek cultural
change di departemen penjualan tidak akan memberi nilai tambah yang berarti bagi
kemajuan perusahaan.
Sedikit tips dari Kotter: jika Anda tidak bisa mengkomunikasikan visi dalam
waktu kurang dari lima menit kepada seseorang dan mendapatkan reaksi yang
menyiratkan pemahaman dan ketertarikan, artinya Anda belum melalui tahap ini
dengan sukses dalam rangkaian proses transformasi perusahaan.
Langkah #4: Mengkomunikasikan Visi dengan Jelas
Apa yang Anda lakukan dengan visi Anda setelah Anda membuatnya akan
menentukan keberhasilan Anda dalam memimpin perubahan. Pesan yang mungkin
Anda sampaikan dalam visi Anda adalah tentang keadaan ‘di luar ‘ yang makin sulit
diprediksi namun menuntut perusahaan untuk tetap dalam keadaan yang siap
menghadapi persaingan. Sehingga dengan keadaan seperti itu, Anda perlu
berkomunikasi cukup sering dan menunjukkan effort Anda dalam setiap upaya yang
Anda lakukan (walk the talk).
Tanpa adanya kemampuan komunikasi yang kredibel, hati dan pikiran
karyawan tidak akan bisa dimenangkan. Eksekutif yang memiliki kemampuan
komunikasi yang baik menanamkan pesan-pesan yang tersirat dalam aktivitas sehari-
harinya. Mereka mendiskusikan dan berbicara tentang peranan masing-masing level
karyawan untuk mendukung transformasi.
Langkah #5: Menyingkirkan Hambatan dalam Proses
Perubahan dimulai ketika sejumlah besar individu dalam perusahaan telah
teryakinkan untuk mencoba pendekatan baru, mengembangkan ide-ide baru, dan
memberikan peran kepemimpinan. Seiring dengan prosesnya, semakin besar massa
yang memiliki visi bersama dan sepakat untuk memulai proses transformasi. Hingga
titik tertentu, komunikasi yang efektif mengenai arah tujuan perusahaan yang baru.
Jika Anda berhasil mengikuti langkah-langkah perubahan dan menjalankan
proses perubahan sampai di tahap ini, maka Anda telah berbicara tentang visi dan
membangun dukungan dari semua tingkatan organisasi.
Namun, pertanyaannya adakah pihak atau individu yang menolak perubahan?
Atau apakah ada proses atau struktur yang mengambat proses Anda melakukan
perubahan?
Dalam paruh pertama proses transformasi, tidak ada organisasi yang memiliki
cukup momentum, waktu dan kekuatan untuk menyingkirkan semua hambatan
sekaligus. Namun pilihlah salah satu hambatan terbesar dan singkirkanlah. Jika
penghambat tersebut adalah karyawan, perlakukanlah ia dengan adil dan sesuai
dengan visi baru perusahaan. Namun tindakan nyata menjadi sesuatu yang esensial,
baik untuk memotivasi karyawan dan menjaga kredibilitas usaha menuju perubahan
itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, perusahaan harus memikirkan cara-cara untuk
mengatasi hambatan yang muncul dalam proses menuju perubahan.
Langkah #6: Merencanakan dan Menciptakan Kemenangan Jangka
Pendek Secara Sistematis
Transformasi membutuhkan banyak waktu. Sebagian besar orang tidak mampu
menempuh perjalanan jauh jika mereka tidak melihat sedikit titik terang dalam 12 atau
24 bulan, yang akan menandakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah benar dan
makin mendekati tujuan akhir. Tanpa ada kemenangan-kemenangan kecil, akan ada
banyak orang yang menyerah dan kehilangan kesabaran. Inisiatif-pun menjadi basi.
Kemenangan kecil dalam jangka pendek tidak hanya membawa dampak positif
untuk moral karyawan. Perusahaan-pun akan merasakan keuntungannya, baik
peningkatan produktivitas, kualitas, bahkan revenue. Kemenangan-kemenangan kecil
ibaratnya cicilan yang akan melunasi target berupa kemenangan besar yang menjadi
bagian dari visi perusahaan.
Langkah #7: Menguatkan Perubahan
Kotter berpendapat bahwa banyak inisiatif perubahan gagal karena
kemenangan yang dinyatakan terlalu dini. Perubahan yang benar-benar nyata terjadi
tidak dalam waktu sekejap. Kemenangan yang dicapai dalam jangka pendek hanya
tahap awal dari apa yang perlu dilakukan untuk mencapai perubahan jangka panjang.
Alih-alih mendeklarasikan kemenangan, para pemimpin di organisasi yang
sukses melakukan transformasi memanfaatkan kredibilitas yang dihasilkan oleh
kemenangan-kemenangan kecil untuk mengatasi masalah yang lebih besar. Mereka
menangani sistem dan struktur yang tidak sesuai dengan visi transformasi, yang belum
pernah ditangani sebelumnya. Mereka mencurahkan perhatian kepada kualitas
sumber daya manusia; siapa yang direkrut, siapa yang harus dipromosikan, dan
bagaimana organisasi mengembangkan kualitas SDM-nya. Mereka memasukkan
setiap proyek reengineering kedalam lingkup yang lebih besar alih-alih hanya sekedar
inisiatif belaka. Mereka memahami bahwa transformasi tidak akan terjadi dalam
hitungan bulan, melainkan tahun.
Langkah #8: Menanamkan Perubahan Kedalam Budaya Perusahaan
Perubahan akan bertahan ketika telah menjadi “cara perusahaan melakukan
segala sesuatu,” ketika perubahan tersebut telah masuk kedalam urat nadi yang
mengalirkan darah ke seluruh sendi perusahaan. Hingga perubahan (perilaku yang
baru) telah berakar kuat dalam norma-norma sosial dan shared value di perusahaan,
perubahan tersebut rentan terhadap degradasi ketika tekanan untuk melakukan
perubahan telah melonggar.
Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan integrasi perubahan kedalam
budaya perusahaan:
Pertama: usaha untuk menunjukkan kepada setiap orang bahwa pendekatan,
perilaku, dan cara kerja yang baru memang memberikan dampak besar dalam
peningkatan kinerja yang terjadi.
Kedua:mendedikasikan waktu yang cukup untuk memastikan bahwa generasi
top management berikutnya telah berhasil menanamkan dan mewujudkan pendekatan
baru yang ada.Hal ini perlu dimasukkan dalam persyaratan promosi jabatan karena
jika tidak, hasil dari transformasi yang telah dilakukan terancam berumur pendek.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dalam kehidupan manusia, perubahan tidak dapat dihindari. Dimulai oleh
dunia usaha yang lebih dulu menyadari pentingnya perubahan bagi peningkatan
kualitas produksi yang dihasilkan, sampai ke administrasi pemerintahan. Berbagai
upaya dan pendekatan telah dilakukan untuk memecahkan masalah yang timbul
akibat adanya perubahan. Oleh karena perubahan memang selalu terjadi dan pasti
akan selalu terjadi, pimpinan organisasi baik organisasi pemerintah maupun non-
pemerintah disamping harus memiliki kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi diluar organisasi yang dipimpinnya dan mampu memperhitungkan dan
mengakomodasikan dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi itu, mutlak perlu
pula untuk mempunyai keterampilan dan keberanian untuk melakukan perubahan
didalam organisasi demi peningkatan kemampuan organisasional untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu untuk menghadapi perubahan
kita perlu melakukam manajemen perubahan yang berarti upaya yang dilakukan untuk
mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam
organisasi.
Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu
perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti
itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari
perubahan tersebut mengarah pada titik positif.

5.2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekuarangan. Untuk
kedepannya penulis akan menjelaskan makalah secara lebih fokus dan detail dengan
sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat dibutuhkan penulis.
DAFTAR PUSTAKA

 Kurt Lewin, Field Theory in Social Science, 1951


 Michael Hammer dan James Champy, Reengineering the Corporation :
 Manifesto for Business Revolution, 1994
 Stephen P. Robbins, Organizational Behavior, Concepts, Controversies, and Application,
1991
 Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 2, Oktober 2007 : 124 – 129
 Burnes, Bernard, 2000, Managing Change. Peorson Education Limited, Essex-England
 Kotter, J. P., 1990, A Force for Change: How Leadership Differs from Management, Free
Press, New York
 Maxwell, John C., 1995, Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda
(terjemahan), Binarupa Aksara, Jakarta
 Pott,Rebecca and Jeanne La Marsh, 2004, Managing Change for Success, Ducan Baird
Publishers, London
 Wibowo, 2005, Manajemen Perubahan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
 Winardi, 2004, Manajemen Perubahan, Kencana, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai