Sel pneumosit yang terinfeksi rusak sehingga akan memicu respon inflamasi salah
satunya muncul interferon alfa dan beta, interleukin.
Interferon alfa dan beta akan memberi sinyal ke sel lain, dan juga memicu rilisnya sitokin.
Proses rilisnya interleukin, saat sels rusak akan muncul DAMP(Damage Associated
Molecular Pattern) sitokin” yg menjadi tanda adanya rusak) sitokin menstimulasi makrofag
sehingga rilis TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, interferon gamma yang dikenal badai sitokin.
Obat-obat :
Antivirus
1. Protease inhibitor
(Lopinavir, Rotinavir) → udah ga dipake di COVID dan HIV sampai sekarang karena
struktur proteasenya berbeda dengan COVID jadi ga bisa berikatan, klo HIV masih bisa
berikatan
Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid) dikombinasi karena ritonavir merupakan inhibitor
enzim CYP P450, sedangkan nirmatrlvir dan lopinavir dimetabolisme dengan CYP P450
(sub tipe CYP 3A4) akibatnya nirmatrelvir lebih lama kerjanya. Sampai sekarang dipakai
2. Analog Nucleoside, Enzim Rdrp inhibitor kerjanya (sbenarnya bukan inhibitor enzim
rdrp tapi prosesnya diganggu) mirip NRTI
Favipiravir(Avigan), pura” jadi guanin /G
Remdesivir, akan pura pura jadi basa A
Molnupiravir akan pura” jadi C dan U
Ketika sudah salah ambil maka akibatnya proses translasi tidak berlanjut, ga
sebenarnya masih bisa lanjut sampai 3 basa berikutnya → oleh karena itu disebut
terminasi prematur
3. Blocking entry dan Fusion inhibitor
Dulu ada obat yg ktnya bisa, hidroksiklorokuin yang fusi inhibitor dengan main” di pH
supaya virus tidak bisa uncoating. Kalo klorokuin kerjanya di blocking entry.
4. Blocking Neurimidasse untuk eksositosis
Oseltamivir sudah ga dipake lagi, karena ga efektif
Interferon ga bisa dipake gatau kenapa, klo liat cara kerjanya harusnya bisa” ae,
mungkin karena risknya lebih besar drpd benefit
Nirmatrelvir 2 tablet
per 12 jam,
Ritonavir 1 tablet
per 12 jam,
diberikan selama 5
hari.
Pemberian
Molnupiravir dan
Nirmatrelvir/Riton
avir hanya untuk
pasien yang
berisiko tinggi
menjadi
perburukan atau
berat (DM,
keganasan,
penyakit
serebrovaskular,
gagal ginjal kronik,
hati kronik spt
sirosis,
hepatitis,autoimun,
paru kronik,
jantung, obese
Antikoagulan
- Pada fase akut, direkomendasikan untuk menggunakan antikoagulan parenteral
yang bekerja cepat, seperti UFH, LMWH atau fondaparinuks. Penggunaan
LMWH dan fondaparinuks lebih diutamakan karena memiliki risiko
perdarahan yang lebih rendah dibandingkan UFH.
-
Direct acting oral anticoagulant (DOAC), seperti rivaroksaban, juga
direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang di atas 10 hari.
- Pemberian antikoagulan profilaksis berupa LMWH, atau UFH bisa
dipertimbangkan bila : Jika tidak terdapat kontraindikasi absolut atau relatif pada
pasien COVID-19 derajat sedang hingga berat yang dirawat inap (misalnya
perdarahan aktif, riwayat alergi heparin atau heparin-induced thrombocytopenia,
riwayat perdarahan sebelumnya dan gangguan hati berat) serta jumlah trombosit
>25.000/mm3
ANTIKOAGULAN DIBERIKAN BRSASARKAN PETIMBANGAN DPJP, D-dimernya
6. Sebutkan dan jelaskan rekomendasi terapi untuk infeksi SARS-CoV 2 yang
diberikan oleh panduan terapi tatalaksana COVID-19 di Indonesia edisi 4! (hal 12-26)
Pada pasien ringan diberikan n asetil sistein sebagai antioksidan, artinya ada oksidan,
oksidannya ROS
7. Sebutkan parameter monitoring efektivitas dan keamanan penggunaan obat
yang digunakan untuk infeksi SARS-CoV 2!
- Frekuensi napas normal (18-20 )
- Sp02 meningkat
- RT-PCR negatif PADA HARI ke 11 setelah terinfeksi atau 10 hari setelah infeksi
- Viral load menurun
- CRP, LED, feritin, TSH,
- Vit D, Vit B12
- Trombosit, Fibrin, fibrinogen, D-dimer (kalo pake antikoagulan brrti klo berat)
karena infeksi COVID-19 berakitan dengan inflamsi dan keadaan protombotik
shhga tjd peningkatan fibrin, fibrinogen dan D-dimer
- Kalo pasien ada infeksi bakteri → leukosit dan neutrofil
MONITORING :
-