Anda di halaman 1dari 6

Hadist adalah sumber hukum islam kedua, setelah alQuran.

Meskipun berkedudukan di peringkat kedua


sebagai sumber hukum otentik, tetapi materi hukum yang tersedia dalam hadist sangat melimpah,
sampai tidak terkira banyaknya. Hal itu mudah dimaklumi, karena hadist adalah praktek kehidupan
Muhammad sehari-hari, ketika beliau sebagai nabi, maupun tidak. Sedangkan alQuran adalah wahyu
dari Tuhan yang diturunkan, sesuai dengan keperluan Muhammad sebagai nabi.

Pengertian hadist sebagai sumber hukum islam, memberikan satu pemahaman penting. Yakni, hadist,
seperti juga alQuran, bukanlah kitab hukum. AlQuran dan hadist bukanlah aturan bagi perbuatan
muslim yang bersifat praktis. Dan, tidak ada satupun para ahli hukum yang mengatakan, hadist dan atau
alQuran sebagai kitab hukum. Semua ahli hukum islam menyepakati bahwa, keduanya adalah sumber,
yang darinya hukum islam diciptakan atau ditemukan.

Ada proses khusus yang harus dilalui, untuk terjadinya pembentukan hukum praktis dari sumbernya.
Proses tersebut merupakan langkah-langkah dinamis penggalian hukum, yang diistilahkan dengan
istinbath. Dan, untuk melaksanakan istinbath hukum, dibutuhkan banyak disiplin keilmuan dan
pengetahuan.

Khusus untuk hadist, agar dapat diterima sebagai sumber hukum islam, memiliki tingkat kerumitan dan
kesulitan lebih tinggi. Berbeda dengan alQuran, yang dengan mudah langsung dapat diterima
keberadaannya sebagai sumber hukum.

Para ahli hukum tidak mudah percaya dan sulit untuk menerima hadist sebagai sumber hukum
disebabkan oleh hadist itu sendiri. Yakni, ada sejarah panjang yang terjadi pada hadist, sebelum
dibukukan.

Lebih satu abad sebelum dibukukan, hadist tidak diperhatikan, bahkan cenderung disalahgunakan,
untuk berbagai kepentingan, khususnya politik dan ekonomi. Baru di masa peralihan abad ke-2 H, para
pengumpul hadist telah menampakkan hasil kerjanya.

Kondisi hadist sebelum dikodifikasi inilah yang menyebabkan sulitnya ia diterima sebagai sumber hukum.
Perlu diteliti dahulu kebenarannya. Para ahli hukum memberi istilah takhrij untuk penelitian hadist
tersebut.

Dan setelah dilakukan takhrij, ternyata hasilnya tetap sama. Sebagian besar hadist, tetap tidak mampu
meyakinkan para ahli hukum untuk dapat diterima.

Alhamdulillah, melewati proses berliku, akhirnya hadist diterima. Namun diterimanya, hanya
berdasarkan dugaan atau perkiraan bahwa, ia dari nabi. Dugaan terhadap status hadist nabi tersebut
diistilahkan dengan zhanniy, meskipun matan atau isisnya shahih/benar.

Dengan kata lain, hadist shahih itu adalah kebenaran yang belum dapat dipastikan dari nabi. Mengapa
belum pasti? Karena yang meriwayatkan hanya sedikit orang, tidak sampai kepada jumlah yang memberi
kepastian, atau qath'i menurut istilah para ahli hukum.
Berbeda dengan alQuran yang pasti atau qath'iy, karena ia diriwayatkan oleh semua umat islam dalam
setiap generasi. Tidak ada sedikitpun keraguan terhadap sumber hukum yang bersumber dari wahyu
alQuran ini.

Penerimaan hadist yang hanya berdasarkan sangkaan atau tidak pasti, harus benar-benar diingat dan
dijadikan pegangan. Umat islam tidak boleh terkecoh dan memberi penilaian melampaui yang
semestinya terhadap hadist.

Hadist memiliki kebenaran yang tidak mutlak atau pasti. Dan, menganggap sesuatu yang zhaniy sebagai
qath'i adalah sebuah kesalahan. Jika berpijak kepada anggapan yang salah, maka konsekwensi terhadap
hukum atau peraturan yang diciptakan atau ditemukan dari hadist, juga akan salah, setidaknya keliru.

Kesalahan membuat kesimpulan hukum, karena kesalahan mendudukkan dalil, akan sangat berbahaya.
Baik bagi penemu atau pencipta hukum, maupun bagi masyarakat islam yang menjadikan pendapat
hukumnya sebuah aturan hukum.

Bagi yang berpendapat tanpa ilmu, tentulah akan mempertanggung-jawabkan pemikirannya di hadapan
Tuhan. Sedangkan bagi masyarakat luas, akan berdampak langsung bagi kehidupan bersama. Andaikan
dampak yang ditimbulkan banyak mudlaratnya, tentulah yang memberi keputusan hukum ikut
menanggung dosanya.

Atas dasar itulah, maka nabi mengatakan bahwa, seorang hakim telah menempatkan kakinya, satu di
surga dan sebelahnya lagi di neraka. Hakim yang dimaksud dalam hadist adalah siapapun orangnya yang
memberi pendapat hukum untuk orang lain, maupun diri sendiri. Karena nabi berpesan agar, jangan
membuat kemudlaratan. Baik untuk diri sendiri, lebih lagi untuk orang lain. Dalam kaitan dengan hukum,
maka kemudlaratan yang ditimbulkan adalah buah dari pendapat. Berhati-hatilah

Sebagai sumber otentik yang darinya hukum islam dibentuk, hadist memiliki materi pembentuk hukum
terbanyak, nomor satu. Hampir seluruh amal keseharian umat telah ada materinya dalam hadist.

Banyaknya materi hadist yang tersedia, mestinya diambil hikmahnya dengan kemudahan untuk memilih
yang beragam. Sayang, yang terjadi sebaliknya. Hadist menjadi faktor yang selalu memicu lahirnya
perdebatan sengit karena perbedaan. Umat islam belum dewasa untuk memilih satu dari yang beragam
dan banyak. Akibat dari itu, hadist juga menjadi pemicu timbulnya ketegangan, bahkan konflik antar
sesama muslim.

Berhadapan dengan hadist sebagai sumber materi hukum dalam kehidupan beragama, tidaklah mudah
dan tidak pula sederhana. Kedalaman ilmu dan kedewasaan sikap sangat dipentingkan. Tanpa ilmu yang
memadai dan tanpa kedewasaan sikap, maka yang akan terjadi adalah sikap merasa paling benar.
Bahkan akan menjadi sebab terjadinya ketegangan yang mematikan.

Perbedaan pendapat dan pandangan, adalah sesuatu yang manusiawi dan alamiyah. Begitupun
perbedaan pendapat hukum islam yang disebabkan oleh hadist. Ada baiknya, umat islam memiliki ilmu
dan pengetahuan terhadap sebab timbulnya perbedaan pendapat hukum karena hadist.
Hanya dengan ilmu dan pengetahuanlah, kedewasaan dalam beragama dapat menjadi dasar pergaulan.
Juga untuk menghindari suasana keagamaan yang kurang kondusif. Syukur-syukur, dengan memiliki
sedikit pengetahuan, perbedaan menjadi kemudahan. Seperti sabda nabi: "perbedaan adalah bentuk
kasih sayang".

Seperti sudah disebutkan di atas, untuk menjadikan hadist nabi saw. sebagai sumber dan dasar hukum,
harus dilakukan penelitian, atau takhrij. Melalui takhrij, akan terungkap dengan jelas bahwa, perbedaan
pendapat disebabkan oleh dua sebab: (1) penerimaan dan (2) pemahaman.

Sebab pertama, penerimaan. Diterima atau tidaknya hadist disebabkan atau didasarkan kepada: 1)
kwantitas (sanad/transmisi), yakni jumlah orang yang meriwayatkan di setiap generasi: sahabat, tabi'in,
tabi' tabi'in, dst. sampai kepada penulis kitab hadist. Penelitian transmisi ini akan melahirkan status
hadist: mutawatir yang qath'iy dan ahad yang zhanniy.

Hadist mutawatir adalah hadist yang perawinya dari generasi ke genarasi jumlahnya sangat banyak,
sehingga tidak mungkin salah. Contohnya hadist tentang ibadah, semuanya mutawatir. Umat islam dari
generasi pertama sampai seterusnya adalah periwayat yang sah, karena mereka mengamalkan.

Sedangkan hadist ahad adalah hadist yang diriwayatkan oleh jumlah yang sedikit, tidak sampai ke
jumlah yang memenuhi syarat hadist mutawatir. Ada beragam pendapat ahli tentang banyaknya jumlah
perawi yang harus ada dan memenuhi syarat mutawatir untuk setiap tingkatan atau thabaqat. Para ahli
tidak sepakat dari segi jumlahnya. Dan tidak pernah akan sepakat sampai kiamat. Maka tidak ada
perlunya kita membicarakan jumlah yang diperdebatkan tersebut. Yang pasti, semua hadist nabi yang
bukan persoalan ibadah, semuanya ahad, atau tidak pasti datangnya dari nabi saw., kecuali satu. Dan
hanya satu itulah yang disepakati, yaitu hadist: "sesungguhnya (nilai) perbuatan mengikut kepada niat."

Ke-2, kwalitas (matan/isi). Dari segi kwalitas, akan diketahui statusnya: sahih, hasan, dhaif dan maudlu'.
Untuk mengetahui status matan hadist ditentukanlah beberapa kriteria, di antaranya: tidak
bertentangan dengan alQuran, tidak bertentangan dengan akal sehat, tidak berbeda dengan matan
hadist lain yang secara kwantitas statusnya sama, atau lebih tinggi. Dst...

Kumpulan kitab hadist yang ada, seperti Bukhari, Muslim, dlsb., adalah kumpulan hadist yang berstatus
shahih dari segi kwalitasnya. Semua penulis menuliskan hadist, yang berdasarkan kriterianya shahih,
dalam kumpulan kitab hadistnya. Meskipun ada juga yang tidak membuat kriteria khusus. Melainkan
mereka menuliskan semua hadist yang secara riwayat diyakininya sendiri bahwa, itu dari nabi.

Hadist-hadist yang matan atau isinya shahih, juga tidak serta merta dapat menjadi sumber atau dasar
hukum.mkarena yang lebih menentukan penerimaan terhadapnya adalah jalur transmisi atau sanad.
Dan untuk jalur sanad, hanya diterima secara pasti yang mutawatir saja. Sedangkan yang ahad? Sangat
ramai perdebatan ahli hukum di wilayah hadist ahad yang jumlahnya sangat melimpah ini. Sulit dan
tidak semestinya kita mengambil yang kita senangi, dengan menyisihkan yang lain, tanpa ada bukti kuat
yang argumentatif berdasarkan fakta dan data.
Perkembangan teknologi informasi yang dapat terhubung dimanapun, telah menjadikan kerja penelitian
hadist mudah dan murah. Kita tidak perlu lagi berkutat dengan kitab-kitab yang puluhan, bahkan
ratusan jilid jumlahnya. Semua kelengkapan untuk itu sudah tersedia perangkatnya dalam format digital.
Perpustakaan hadist -in sya Allah- sudah semuanya terpublikasi dalam format digital dan dapat diakses
oleh siapapun melalui internet.

Meskipun demikian, perbedaan penerimaan hadist tetap saja tidak bisa dihindari. Karena masing-masing
ulama hadist telah menentukan kriteria perawi yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sulit,
bahkan boleh dibilang tidak ada, rawi yang dapat selamat dari cacat, atau jarh dalam istilah ilmuwan
hadist. Ya. Seperti mustahil untuk mendapatkan seorang manusia yang diakui kebaikannya oleh semua
golongan, semua mazhab dan semua orang.

Imam hadist yang terpercaya seperti Bukhari akan menentukan kriteria penerimaan hadist sahihnya
berbeda dengan kriteria yang dibuat oleh Muslim, Tarmizi, Abu Daud dan imam-imam hadist yang lain.
Akibatnya hadist sahih menurut imam Muslim, bisa dianggap dlaif (lemah) oleh imam hadist yang lain.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan digolongkan hadist maudlu'.

====================

Begitu pula cara memahami hadist. Banyak faktor yang melatarbelakangi perbedaan pemahaman
terhadap hadist. Di antaranya adalah latar belakang seorang mujtahid (pembaca pertama). Baik latar
belakang sejarah, budaya, maupun praktek keagamaan. Semua latar belakang itu akan mempengaruhi
pemahaman seseorang. Begitu juga latar belakang kebahasaan dan latarbelakang keilmuan, akan ikut
sangat berpengaruh terhadap pendapat seseorang ketika membuat kesimpulan hukum.

Dengan itu, hadist yang memiliki kwantitas dan kwalitas yang sama dapat melahirkan pendapat hukum
dan amaliyah yang tetap juga berbeda.

Berdasarkan penerimaan dan pemahaman terhadap hadist, masyarakat mengimplementasikan dalam


kehidupan sehari-hari. Hadist-hadist hukum dan amaliyah tersebut sudah sangat bersebati dalam
kehidupan keagamaan masyarakat. Sampai batas yang bisa dicari jejaknya, amaliyah kehidupan
keagamaan masyarakat, pastilah bersumber dari hadist-hadist yang telah diterima dan telah dipahami
oleh ulamanya, sebelum diamalkan oleh masyarakat.

Begitulah hadist berproses menjadi dasar keagamaan dalam kehidupan. Masyarakat luas tentunya tidak
sepenuhnya memahami proses yang terjadi. Masyarakat luas hanya beramal mencontoh para ulama
yang telah membimbingnya tanpa perlu mempelajari proses pembentukannya. Namun, mereka tetap
meyakini bahwa amal perbuatan keagamaan mereka mempunyai dasar dalam hadist.

Tentunya kurang tepat dan hanya akan melahirkan ketegangan berujung konflik, ketika dasar hadist
yang diamalkan masyarakat diteliti ulang oleh ulama berbeda dengan menggunakan kriteria yang
berbeda pula. Bisa dipastikan, hadist yang dijadikan pegangan masyarakat akan tergugat. Bahkan
dengan kriteria yang diperketat akan menjadikan hadist-hadist amaliyah masyarakat akan tertolak
dengan sebutan hadist palsu.
Penulis merupakan pihak yang tidak setuju ketika hadist yang hidup di masyarakat diteliti ulang dan
dipublikasikan tanpa melalui proses penelitian perbandingan terlebih dahulu.

Lebih-lebih proses penelitian hadist merupakan kerja intelektual yang membutuhkan beragam disiplin
ilmu, tentunya kesimpulan dadakan secara sepihak dan terus dipublikasikan akan sangat beresiko.

Begitupun dengan publikasi terjemahan matan hadist yang berbeda dengan amaliyah masyarakat. Juga
sangat berbahaya, karena masyarakat langsung mengambilnya untuk menjadi dasar hukum. Bahkan
menghakimi orang yang berbeda dengan terjamahan matan hadist tersebut.

Tentunya tidak mungkin menghalangi publikasi yang sudah begitu massif dan individualis. Karena,
siapapun dapat mempublikasikan hadist, tanpa ada halangan sedikitpun dan dari siapapun. Karena
itulah nabi mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati menyebarkan hadist. "Siapa berbohong atas
namaku, tempat duduknya di neraka," kata nabi saw.

Mungkin ada baiknya diingat lagi bahwa, semua hadist -selain hadist tentang ibadah- statusnya adalah
ahad, meskipun shahih. Ahli hukum tidak pernah sepakat menerimanya sebagai hadist hukum. Status
ahad berarti tidak pasti dari nabi saw.. Hanya diduga atau diperkirakan bahwa, itu dari nabi saw.

Hadist ahad ini menimbulkan perbedaan pendapat yang tidak dapat dihindari, sejak zaman sahabat.
Sehingga imam mujtahid menggunakan kriteria khusus untuk menerimanya. Imam Malik baru mahu
menerima, apabila penduduk Madinah mengamalkannya. Seperti hadist jilatan anjing dalam bejana,
Imam Malik tidak mahu mengakui bahwa itu benar. Apalagi menerimanya.

Sedangkan imam Hanafi menggunakan kriteria rasionalnya. Apabila tidak masuk akal, maka ditolaknya.
Seperti hadist tentang kebiasaan nabi saw. mengundi para isterinya yang akan ikut bepergian. Imam
Hanafi tidak percaya dengan hadist itu, apalagi menerimanya. Bahkan dia mengatakan: "itu judi. Andai
betul itu dari nabi, maka nabi harus bertanya kepada saya," katanya.

Imam Syafi'i dengan alasan penyelamatan terhadap hadist, maka hadist ahad diterimanya sebagai
sumber hukum. Tetapi untuk memahami kriteria penerimaan Syafi'i terhadap hadist ahad, juga tidak
mudah. Karena pemberlakuannya sangat kondisional dan kontekstual.

Bayangkan! Semasa hidupnya, Imam Syafi'i memiliki pendapat hukum yang berbeda-beda. Ada
pendapat lama (qaul qadim) dan pendapat baru (qaul jadid). Perbedaan pendapat itu terjadi di tempat
yang berbeda. Yang lama, ketika ia tinggal di bagdad, Iraq, dan yang baru, ketika ia tinggal di Kairo, Mesir.

Untuk membandingkan dua pendapat Imam Syafi'i yang berbeda itu, harus melalui penelitian yang tidak
mudah. Tidak sedikit desertasi yang dihasilkan dengan kesimpulan yang juga berbeda-beda. Sebanyak
peneliti, sebanyak itu pula kesimpulan. Memang tidak mudah.

Tidak dinafikan. Semua muslim ingin menjadi muslim yang baik dan benar. Dan semua yang baik dan
benar, ingin diberitahukan kepada semua orang, agar semua menjadi baik dan benar. Tetapi perlu
diketahui bahwa, keinginan menjadi baik dan benar, serta menyebarkan yang baik dan benar tidak
cukup hanya dengan semangat dan keberanian.
Ilmu pengetahuan adalah hal peinsip dalam agama. "Kebahagiaan di dunia diperoleh dengan ilmu,
kebahagiaan akhirat juga dengan ilmu, dan ingin keduanya, juga dengan ilmu," kata nabi saw.. Dan
beliau juga berpesan: "agama (diamalkan) dengan berfikir. Tidak (sempurna) agama, tanpa berfikir."

Dan kata nabi juga: Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu.
Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.

Mari kita sebarkan kedamaian dengan kejujuran, agar setiap jiwa merasakan ketenangan dan kedamaian.
Bukan sebaliknya, menyebarkan sesuatu yang membuat orang lain merasa gelisah dengan agamanya.

Allahu A'lam bi alShawwab.

Anda mungkin juga menyukai