Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH KAPITALISME ATAU KOMUNISME

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidikan Pancasila

Disusun Oleh:

Nurul Azmi ( 223515516008 )

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR...........................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................iv

A. Latar Belakang..........................................................................................iv

B. Rumusan Masalah......................................................................................iv

C. Tujuan Pembahasan....................................................................................v

BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................................1

2.1 Ideologi Kapitalisme................................................................................1

2.1.1 Syarat- Syarat Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka...........................1

2.1.2 Dimensi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.....................................1

2.1.3 Ciri-Ciri Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka....................................2

2.1.4 Faktor Pendorong Pemikiran Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka.. . .2

2.1.5 Arti Ideologi Pancasila.....................................................................3

2.2 Ideologi Komunis....................................................................................7

2.2.1 Pengertian Ideologi Komunisme.......................................................7

2.2.2 Ciri-ciri Ideologi Komunisme...........................................................8

2.3 Ideologi Sosialisme..................................................................................9

2.3.1 Pengertian sosialisme........................................................................9

2.3.2 Prinsip Dasar Sosialisme.................................................................11

2.3.3 Konsep Tokoh Sosialisme...............................................................11

2.4 Ideologi Liberalisme..............................................................................17

2.4.1 Sejarah ideologi Liberal.................................................................17

2.4.2 Prinsip Ideologi Liberalis................................................................19

2.5 Ideologi Fasisme....................................................................................21

2.5.1 Sejarah Ideologi Fasisme................................................................21

i
2.5.2 Fasisme di Abad Ke-20...................................................................23

2.6 Ideologi Pancasila dan Agama...............................................................26

2.6.1 Pengertian Ideologi pancasila dan Agama.......................................26

2.6.2 Perkembangan Paham Agama Pasca Kemerdekaan........................29

2.7 Perbedaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain...................................34

2.7.1 Bidang Politik Hukum....................................................................34

2.7.2 Bidang Ekonomi.............................................................................35

2.7.3 Agama...........................................................................................35

2.7.4 Pandangan Terhadap Individu Dan Masyarakat.............................35

2.7.5 Ciri Khas Ideologi................................................................................36

2.8 Persamaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain..................................36

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37

ii
BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara, Pancasila diangkat dari nilai-
nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam
pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara. Dengan kata
lain, unsur-unsur yang merupakan materi Pancasila diangkat dari pandangan
hidup masyarakat Indonesia sendiri. Ideologi pancasila pada hakikatnya bukan
hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok
seperti ideologi-ideologi lain di dunia. Pancasila diambil dari nilai-nilai luhur
budaya dan nilai religius bangsa Indonesia. Pancasila berkedudukan sebagai
ideologi bangsa dan negara. Dengan demikian, pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa dan
bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari negara lain.
Ideologi erat sekali hubungannya dengan filsafat. Karena filsafat
merupakan dasar dari gagasan yang berupa ideology. Filsafat memberikan dasar
renungan atas ideologi itu sehingga dapat dijelmakan menjadi suatu gagasan
untuk pedoman bertindak. Dari sudut etimologinya, filsafat berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari dua buah kata, yaitu (filos) berarti cinta dan (Sophia)
berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Jadifilsafat berarti cinta akan kebenaran
atau kebijaksanaan. Arti kata inilah yang kemudian dirangkumkan menjadi suatu
makna bahwa filsafat adalah suatu renungan atau pemikiran yang sedalam-
dalamnya untuk mencari kebenaran.
Karena filsafat itu tersusun dalam suatu keseluruhan, kebulatan, dan
sistematis maka pemikiran filsafat harus berdasarkan kejujuran dalam penemuan
hakikat dari suatu obyek yang menjadi titik sentral pemikiran. Terdapat banyak
ideologi yang berkembang di dunia seperti Ideologi Pancasila, Komunisme,
Liberalisme, Sosialisme, Fasisme dan Faham Agama, dan tentunya masing-
masing ideology memiliki pandangan yang berbeda-beda. Persamaan dan
perbedaan masing – masing ideology ini menarik untuk di pelajari lebih lanjut.

iii
B. Rumusan Masalah
Beberapa Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep dari Ideologi Kapistalisme dan Komunisme?
2. Bagaimanakah persamaan dana perbedaan Ideologi Kapitalisme dan
Komunisme?
3. Apa saja kelemahan dan kelebihan dari Ideologi Kapitalisme dan
Komunisme?
4. Bagaimanakah kaitan Ideologi Kapitalisme dan Komunisme dengan
sila-sila yang terdapat pada Pancasila?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dari Ideologi Kapitalisme dan Komunisme.
2. Untuk mengetahui persamaan dana perbedaan Ideologi Kapitalisme dan
Komunisme.
3. Untuk mengetahui apa saja kelemahan dan kelebihan dari Ideologi
Kapitalisme dan Komunisme.
4. Untuk mengetahui kaitan Ideologi Kapitalisme dan Komunisme dengan
sila-sila yang terdapat pada Pancasila.

iv
BAB II.

PEMBAHASAN

4.1 Ideologi Kapitalisme


Pancasila sebagai ideologi terbuka karena  pancasila dapat menyesuaikan
dan diterapkan dari dinamika di Indonesia dan didunia. Tetapi tidak merubah
nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri. Sehinga pancasila dapat digunakan dan
diterapkan dalam berbagai zaman.

4.1.1 Syarat- Syarat Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Pancasila dikatakan sebagai ideologi terbuka, karena telah memenuhi
syarat-syarat sebagai Ideologi terbuka antara lain sebagai berikut...    

 Nilai Dasar, adalah nilai dasar yang terdapat dalam pembukaan UUD


1945 yang tidak berubah 
 Nilai Instrumen, ialah nila-nilai dari nilai dasar yang dijabarkan lebih
kreatif dan dinamis ke bentuk UUD 1945, ketetapan MPR, dan
peraturan perundang-undangan lainnya 
 Nilai Praktis, adalah nilai-nilai yang dilaksanakan di kehidupan sehari-
hari, baik di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai praktif bersifat
abstrak, seperti mengormati, kerja sama, dan kerukunan. Hal ini dapat
dioperasionalkan ke bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-
hari.

4.1.2 Dimensi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Ideologi Pancasila memiliki 3 dimensi penting yaitu sebagai berikut... 

 Dimensi Realitas  adalah mencerminkan kemampuan ideologi untuk


mengadaptasika nilai-nilai hidup dan berkembang dalam masyarakat
 Dimensi Idealisme adalah idealisme yang ada dalam ideologi mampu
menggugah harapan para pendukugnya 

1
 Dimensi Pendukung adalah mencerminkan atau menggambarkan
kemampuan suatu ideologi untuk memengaruhi dan menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat. 

4.1.3 Ciri-Ciri Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Dalam fungsinya sebagai Ideologi, pancasila menjadi dasar seluruh
aktivitas bangsa Indonesia. Sehingga pancasila tercermin dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ciri-ciri pancasila sebagai Ideologi terbuka adalah
sebagai berikut;

 Pancasila mempunyai pandangan hidup, tujuan dan cita-cita masyarakat


Indonesia yang berasal dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri. 
 Pancasila memiliki tekat dalam mengembangkan kreatifitas dan dinamis
untuk mencapai tujuan nasional 
 Pengalaman sejarah bangsa Indonesia Terjadi atas dasar keinginan
bangsa (masyarakat) Indonesia sendiri tanpa dengan campur tangan atau
paksaan dari sekelompok orang. 
 Isinya tidak operasional 
 Dapat menginspirasi masyarakat untuk bertanggung jawab sesuai nilai-
nilai Pancasila 
 Menghargai pluralitas, sehingga diterima oleh semua masyarakat yang
berlatakng belakang dan budaya yang berbeda. 

4.1.4 Faktor Pendorong Pemikiran Pancasila Sebagai Ideologi


Terbuka.
Menurut Moerdiono bahwa terdapat faktor-faktor atau bukti yang
mendorong pemikiran Pancasila sebagai ideologi terbuka antara lain sebagai
berikut;

 Proses pembagunan nasional berencana, dinamika mayarakat indonesia


yang berkembang sangat cepat. Sehingga tidak semua permasalahan
kehidupan dapat ditemukan jawabannya secara ideologis.  
 Runtuhnya Ideologi tertutup, seperti marxisme-leninisme/komunisme. 

2
 Pengalaman sejarah politik terhadap pengaruh komunisme sangat
penting, karena dari pengaruh ideologi komunisme yang bersifat
tertutup, Pancasila pernah merosot dan kaku. Pancasila tidak tampil
sebagai pedoman, tetapi sebagai senjata konseptual untuk menyerang
lawan-lawan politik. Kebijaksanaan pemerintah disaat itu menjadi
absolute. Akibatnya, perbedaan-perbedaan menjadi alasan untuk secara
langsung dicap sebagai anti Pancasila. 
 Tekad untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. 

4.1.5 Arti Ideologi Pancasila


Arti rumusan akhir Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945, dalam sidang PPKI merumuskan sebagai berikut :

 Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagai hasil refleksi terhadap hidup manusia Indonesia sejak zaman kumo,
khususnya dalam hidup masyarakat desa, para pendiri negara kita sampai pada
kesimpulan: manusia Indonesia mengakui Tuhan yang satu adanya, entah dengan
adanya, entah dengan sebutan Tuhan, Widi, Widi, Wasa, Sang Hyang Hana, Gusti
atau Allah. Adanya dunia dengan segala isinya mendorong manusia ke dalam
keyakinan: ada suatu realitas, yang tertinggi, yang menjadi sumber adanya seluruh
realitas di dunia sebagai sebab yang pertama, sebagai causa prima. Bagaimana
orang-orang menghayati keyakinannya, bagaimana mereka bertaqwa, mengabdi
kepada Tuhan, tergantung pada pribadi masing-masing. Maka di Indonesia ada
kebebasan beragama. Indonesia bukan negara “teokratis”, bukan negara agama
yaitu negara yang dalam penyelenggaraan kehidupan berpemerintahan
berdasarkan kekuasaan (kratia) Tuhan (Theos) menurut ajaran agama tertentu.
Para pemeluk agama dan para penganut kepercayaan bebas dalam menghayati dan
melaksanakan keyakinan mereka, saling menerima serta saling menghargai
dengan penuh toleransi dan dengan semangat kerjasama yang serasi.

 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3
Bangsa Indonesia mempunyai gambaran atau citra manusia sendiri. Setiap
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi budi dan karsa
merdeka, dihargai dan dihormati sesuai dengan martabatnya. Semua manusia
adalah sama derajatnya sebagai manusia. Semua manusia sama hak dan
kewajibannya. Pada dasarnya manusia dibedakan atas dasar ras, agama, adat atau
keturunan atau jenis kelamin. Manusia adalah makhluk rohani sekaligus makhluk
jasmani, adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial. Hal ini disebut untuk
mempergunakan istilah Prof. Notonagoro: monodualitas. Setiap manusia
diharapkan mendapat apa yang menjadi haknya. Maka dirumuskan:
“Kemanusiaan yang adil”.124 Di sini kita menemukan dasar hak-hak asasi
manusia dalam pandangan hidup bangsa Indonesia. Disadari pula bahwa dunia
dengan isinya itu merupakan obyek bagi manusia. Dunia ini merupakan obyek
bagi pancaindera manusia: bagi mata, untuk dinikmati keindahan alamnya; bagi
telinga, dinikmati bermacam-macam suaranya. Manusia dapat menangkap itu
semua sehingga timbul getaran-getaran dalam jiwanya, dengan bermacam-macam
perasaan. Apa yang dialami dalam jiwanya dapat diekspresikan dan
dimanifestasikan dalam bermacam-macam bentuk kesenian; umpamanya dalam
bentuk lagu, tari-tarian, atau lukisan. Tetapi dunia ini terutama merupakan obyek
untuk budinya dan karsanya. Manusia dengan jiwanya yang rohani bersifat
transenden, mengatasi struktur dan kondisi alam jasmani. Manusia dapat
mengenal hukum-hukum alam dapat menemukan potensi yang terkandung dalam
alam; manusia mampu mengolah dan mengubah alam dalam batas-batas tertentu.
Transendensinya relatif dan terbatas. Dengan demikian manusia mampu
menciptakan kebudayaan. Ia mengolah tanah, air, api dan logam yang didapatnya
dalam alam. Hal ini dirumuskan dalam istilah “yang beradab”.

 Persatuan Indonesia

Ketika Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tampil pada sidang paripurna
BPUPKI atas permintaan ketuanya, dr. Radjiman Wedyodiningrat, ia
menegaskan:

“Saya mengerti apakah Paduka Tuan Ketua kehendaki Paduka Tuan minta dasar,
minta philosophisce grondslag... Dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat

4
negara Indonesia, ialah dasar KEBANGSAAN. Kita mendirikan satu negara
Kebangsaan Indonesia. Tetapi saya minta kepada saudarasaudara, janganlah
saudara-saudara salah faham, jikalau saya katakan, bahwa dasar pertama buat
Indonesia ialah dasar KEBANGSAAN. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam
arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat. Bangsa Indonesia,
natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le
désir d’ètre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau
Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah
seluruh manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah tinggal
di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke
Irian!”

Persatuan Indonesia atau kebangsaan Indonesia diilhami oleh kata-kata


pujangga Empu Tantular pada jaya-jayanya Majapahit dahulu, yang sekarang
tercantum dalam lambang negara; “Bhineka Tunggal Ika”: walaupun beraneka
ragam adalah satu! Indonesia memang terdiri atas bermacam-macam suku atau
kelompok etnik: orang Jawa, Timor, Madura, Batak, Aceh, Bali, Bugis dan
seterusnya, masing-masing dengan bahasa daerah, adat, kesenian, dan watak
kebiasaan mereka masing-masing. Terdapat bermacam-macam agama dan
kepercayaan. Tetapi sukusuku atau kelompok-kelompok etnik, yang selama
berabad-abad telah mengalami nasib yang sama, bertekad hendak bersatu.
Bersama-sama sudah menderita dijajah oleh kaum kolonialis; hasrat keinginannya
hanya satu; tetap bersatu. Nasionalisme ini tidak boleh menjadi satu
chauvinisme.127 Oleh karena itu sila II ini tidak boleh lepas dari sila III. Artinya,
sila Kebangsaan atau Persatuan Indonesia dijiwai oleh sila Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab; kebangsaan yang ingin berhubungan secara serasi dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.

 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam


permusyawaratan /perwakilan

Sejak dahulu, bahkan pada zaman Majapahit (1293-1517) orang mengenal


adat kebiasaan cara khusus mengadakan perundingan, yang disebut “musyawarah
untuk mufakat”. Cara melakukan segala sesuatu bersama di desa-desa Indonesia

5
juga terungkap dalam prosedur, yang ditempuh oleh para sesepuh dalam
mengambil keputusan. Pada umumnya di Nusantara orang mengenal musyawarah.
Setiap anggota sidang dapat berbicara, setiap orang berhak agar gagasannya
didengarkan dan bahwa orang lain juga harus memperhitungkannya. Setelah
mengadakan pembicaraan, timbang-menimbang maka akhirnya diambil
keputusan. Dalam keputusan itu tak tercantumkan keinginan siapa saja dan tak
seorang pun boleh memaksakan kehendak pribadinya. Dalam musyawarah dan
memutuskan secara bersama - sama, kepala desa memegang pimpinan. Keputusan
terakhir disebut mufakat yaitu konsensus, kesepakatan bersama.128 Jadi
keputusan mufakat adalah langkah terakhir dari musyawarah yang berlangsung
lama. Pada waktu mempertimbangkan dan bersepakat kepala desa tidak
dibenarkan bertindak selaku pembesar dalam arti selaku orang yang mendikte,
akan tetapi sebagai kepala sosial suatu keluarag besar, seorang bapak bagi seluruh
persekutuan.

Cara berunding musyawarah untuk mufakat ini dilaksanakan bukan hanya


dalam rapat dan rembug desa, tetapi juga dalam forum sidang MPR, DPR pusat
sampai dengan DPRD tingkat II. Musyawarah untuk mufakat merupakan suatu
bentuk dan proses berunding yang tidak mengenal adanya usaha untuk saling
menghantam atau saling menjebak dengan akal muslihat supaya akhirnya dapat
tampil sebagai pemenang yang unggul dalam perdebatan. Musyawarah untuk
mufakat merupakan suatu metode dengan tukar pikiran, menyumbangkan
gagasan-gagasan berusaha untuk bersama-sama dapat menemukan kebenaran dan
kebaikan.

Dalam musyawarah orang boleh saja adu argumentasi dan berdiskusi. Hal ini
oleh Sukarno dikemukakan juga ketika ia berbicara tentang asas musyawarah
mufakat dalam sidang paripurna BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang dikenal
dengan sebutan “Lahirnya Pancasila”:

“Dalam perwakilan, nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada suatu staat
yang hidup betul-betul jikalau dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan
bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di
dalamnya.”

6
Demokrasi Indonesia memang tidak mengenal oposisi, dalam arti kelompok
atau partai yang a priori menentang pendirian orang yang sedang berkuasa. Tetapi
perbedaan pendapat mempunyai tempat dalam demokrasi Pancasila.129 Orang
boleh saja mengemukakan pendapat dan pendiriannya yang berbeda dengan
pendapat orang yang berkuasa, asal caranya menurut aturan permainan yang
benar. Dalam perundingan orang jangan menuruti emosinya atau jangan
memaksakan kehendaknya sendiri, melainkan supaya berbicara dengan bijaksana.
Kebebasan memang dijunjung tinggi, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.

 Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Di dekat kota Palembang ada sebuah batu dengan prasasti “Kedukan Bukit”
(683). Menurut Prof. Muhammad Yamin batu itu merupakan peninggalan
Gründungsakt kerajaan Sriwijaya. Tulisannya berbunyi: “Marwuat wanua
Sriwijaya jaya siddhayatra subbiksa”. Oleh M. Yamin diterjemahkan: “Mereka
mendirikan negara Sriwijaya agar jaya sejahtera sentosa”. Jadi negara Sriwijaya
didirikan bukan untuk keagungan dinasti Syailendra, melainkan untuk
kesejahteraan rakyatnya.130 Kata siddhayatra adalah “sejahtera” dalam bahasa
Indonesia. Ideologi Pancasila jelas bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya
kesejahteraan rakyat. Prof. Djojodiguno menulis:

“Kita ini rakyat yang terikat secara sosial dan tradisional; kita masing-masing
bertindak atau bertingkah laku seperti semua orang lain, tiap orang bersifat
komunal.”

Rumusan inilah yang kemudian dijadikan dasar negara, hingga sekarang


bahkan hingga akhir perjalanan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertekad
bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat dirubah oleh siapapun, termasuk
oleh MPR hasil pemilu. Jika merubah dasar negara Pancasila sama dengan
membubarkan negara hasil proklamasi (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).

7
4.2 Ideologi Komunis
4.2.1 Pengertian Ideologi Komunisme
Ideologi komunis atau komunisme merupakan perlawanan besar pertama
dalam abad ke-20 terhadap sistem ekomomi yang kapitalis dan liberal.
Komunisme adalah sebuah paham yang menekankan kepemilikan bersama atas
alat-alat priduksi (tanah, tenaga kerja, modal) yang bertujuan untuk tercapainya
masyarakat yang makmur, masyarakat komunis tanpa kelas dan semua orang
sama. Komunisme ditandai dengan prinsip sama rata sama rasa dalam bidang
ekomomi dan sekularisme yang radikal tatkala agama digantikan dengan ideologi
komunias yang berseifat doktriner. Jadi, menurut ideologi komunis, kepentingan-
kepentingan individu tunduk kepada kehendak partai, negara dan bangsa
(kolektivisme).

4.2.2 Ciri-ciri Ideologi Komunisme


 Ajaran komunisme adalah sifatnya yang ateis, tidak mengimani Allah.
Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, kalau ia berpikir Tuhan
tidak ada. Akan tetapi, kalau ia berpikir Tuhan ada, jadilah Tuhan ada.
Maka, keberadaan Tuhan terserah kepada manusia.
 Sifatnya yang kurang menghargai manusia sebagai individu. terbukti dari
ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi.
 Komunisme mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas, misalnya
proletariat melawan tuan tanah dan kapitalis.
 Salah satu doktrin komunis adalah the permanent atau continuous
revolution (revolusi terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh
dunia. Maka, komunisme sering disebut go international.
 Komunisme memang memprogramkan tercapainya masyarakat yang
makmur, masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama. Namun,
untuk menuju ke sana, ada fase diktator proletariat yang bertugas
membersihkan kelas-kelas lawan komunisme, khususnya tuan-tuan tanah
yang bertentangan dengan demokrasi.
 Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu partai, yaitu
partai komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis

8
Cina, PKI, dan Partai Komunis Vietnam, yang merupakan satu-satunya
partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis tidak ada partai
oposisi. Jadi, komunisme itu pada dasarnya tidak menghormati HAM.

No Komunisme Pancasila Liberalisme

1. Atheis Monotheisme Sekuler

HAM dilindungi
HAM dijunjung
2. HAM diabaikan tanpa melupakan
secara mutlak
kewajiban asasi

Nasionalisme Nasionalisme Nasionalisme


3.
ditolak dijunjung tinggi diabaikan

Keputusan melalui Keputusan melalui


Keputusan
musyawarah mufakat voting
4. ditangan pimpinan
dan voting (pemungutan
partai
(pemungutan suara) suara)

Dominsi
5. Dominasi partai Tidak ada dominasi
mayoritas

Ada oposisi dengan


6. Tidak ada oposisi Ada oposisi
alasan

Tidak ada Ada perbedaan Ada perbedaan


7.
perbedaan pendapat-pendapat pendapat

Kepentingan Kepentingan seluruh Kepentingan


8.
negara-negara rakyat mayoritas

9
4.3 Ideologi Sosialisme
4.3.1 Pengertian sosialisme
Istilah sosialisme pertama kali muncul di Perancis sekitar tahun 1830,
yakni adanya keinginan agar alat-alat produksi dimiliki secara bersama untuk
melayani semua kebutuhan masyarakat, bukan monopoli atas kaum kapitalis.
Sosialisme atau sosialism (Inggris) secara etimologi berasal dari bahasa Perancis,
yaitu berarti kemasyarakatan. Dalam arti di atas ada empat macam aliran yang
dinamakan sosialisme: pertama, sosial demokrasi; kedua, komunisme; ketiga
anarkhisme; dan keempat sindikalisme (Elisa,2009).

Sosial Demokrat : Sosial demokrat merupakan gerakan sosialisme yang semula


berdasarkan Marxisme. Sejak timbulnya revisionisme yang dikemukan oleh
Edward Bernstein (1850-1932) dan dipertahankan oleh Karl J. Kautsky (1854-
1938), kemudian gerakan ini semakin melepaskan ajaran Marx yang bercorak
revolusioner. Sosial demokrat berpegang teguh pada asas demokrasi dan
menentang diktatur kaum proletariat yang ada pada komunisme. Menurut
penganut sosial demokrat, masyarakat harus dikepalai oleh satu pemerintah yang
dipilih bersama-sama secara demokratis, tidak hanya pada lingkup politik tetapi
termasuk di bidang ekonomi karena semua proses dalam sebuah negara tidak
dapat dilepaskan dari diperlukannya ketertiban ekonomi.

Menurut asas sosial demokrat klasik, assosiasi-assosiasi sukarelawan di


luar negara cenderung dicurigai dan dianggap keburukannya lebih banyak
dibandingkan kebaikannya. Asosiasi-asosiasi sukarelawan cenderung tidak
professional, serampangan, serta merendahkan pihak yang berhubungan
dengannya. Dalam perkembangannya, sosial demokrat klasik direvisi oleh
Anthony Giddens dengan "Jalan Ketiga" (demokrasi sosial), berusaha
mempertahankan inti kepedulian pada keadilan sosial dan lepas dari sekedar
perbedaan antara aliran "kiri" maupun "kanan". Persamaan dan kebebasan
individual bagi Giddens memang bertentangan, namun langkah-langkah egaliter
dapat memperluas serta membuka rentang kebebasan setiap individu. Kebebasan
dalam aliran ini berarti adanya otonomi atas tindakan yang dilakukan manusia
disertai tuntutan keterlibatan komunitas sosial yang lebih luas. Lebih jelasnya

10
dapat dilihat dari mottonya: tak ada hak tanpa tanggung jawab dan tak ada otoritas
tanpa demokrasi.

 Perbedaaan sosialisme dgn komunisme (Marx) :

Sosialisme merupakan sebuah masyarakat yang langsung timbul dari


kapitalisme sebagai bentuk pertama dari masyarakat baru dan dalam kerjanya
tidak menerima bantuan dari kapitalisme, termasuk hal yang bersifat sosial.
Sedangkan komunisme adalah masyarakat yang lebih tinggi, di mana hanya dapat
berkembang jika sosialisme mempunyai kedudukan yang kuat. Apabila dalam
masyarakat sosialis penghisapan manusia atas manusia lainnya sudah berakhir,
alat-alat produksi dimiliki sepenuhnya oleh kaum buruh, serta setiap manusia
memberi menurut kemampuaannya dan menerima sesuai dengan bobot
pekerjaannya sebagi wujud usahanya untuk menwujudkan masyarakat tanpa
kelas; tidak ada kelas yang menghisap dan dihisap. Sedangkan pada masyarakat
komunis, setia manusia memberi menurut kemampuannya dan menerima sesuai
dengan kebutuhannya.

4.3.2 Prinsip Dasar Sosialisme


Menurut Elisa (2009), Walaupun banyak terdapat aliran atau pengertian
sosialisme, tetapi ada sejumlah prinsip dasar dari sosialisme itu sendiri, yaitu :

1. Semua bentuk Marxisme dapat diketegorikan sosialisme, tetapi tidak


sebaliknya.
2. Meskipun tidak mudah merumuskan dengan persis apa itu sosialisme,
paling tidak ada dua hal yang mempersatukan segala macam aliran
revolusioner, egalitarian, anarkis, utopis, reformis, teknokrat, religius, dan
sebagainya itu yang dinamakan dirinya sosialis.
3. Keyakinan etis bahwa perekonomian harus diarahkan pada kesejahteraan
segenap orang, bukan untuk keuntungan segelintir orang.
4. Sumber ketidakadilan sosial adalah hak milik pribadi (atas alat-alat
produksi).
5. . Sosialisme adalah cita-cita etis tentang masyarakat yang solider dan
tuntutan penghapusan hak milik pribadi .

11
4.3.3 Konsep Tokoh Sosialisme
Sosialisme Karl Marx.

Cita-cita kolektivitas, kepemilikan bersama, atau apa yang dikenal saat ini
dengan nama sosialisme kurang lebih di abad ke-5 SM sebenarnya sudah ada
sebagaimana dideskripsikan oleh Jambulos, yakni adanya sebuah "negeri
matahari" di mana disana segala-galanya dimiliki bersama, tak terkecuali para
istri. Secara historis, pelbagai aliran sosialis sering dikaitkan ke era sebelum Karl
Marx (18181883), bahkan kepada filosof yunani kuno, Plato (427-347).

Jauh sebelum Marx mengembangkan dan menjadikan sebagai cita-cita


perjuangan menuju revolusi proletariat. Tokoh yang dapat dianggap pioneer dari
cita-cita sosialisme secara sistematis dapat dirujukkan kepada Francois-Noel
Babeuf (1760-1797). Kemudian Saint Simon (1760), Auguste Blanqui (1805-
1881), Weitling (1808-1871) Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), Louis Blane
(1811-1882), Moses Hess (1812-1875).

Dalam Sosialisme Karl Marx, paling tidak ada 3 (tiga) pemikiran yang
mempengaruhi Karl Marx, yaitu ajaran Hegel, filsafat materialisme Feuerbach,
dan teori revolusioner Perancis (terutama gagasan-gagasan para sosialisme utopis)

Ajaran G.W.F Hegel (1770-1831) : Metode untuk mendekati,


memahami, dan mempelajari gejala alam, Marx mengambil dari materialisme,
dialektika Hegel. Materialisme dialeketika Hegel menjadi inspirasi materialisme
dialektika Marx yang dikembangkan menjadi materialisme historis sebagai
puncak prestasi ilmiahnya. Bagi Hegel, alam adalah proses mengelar pikiran-
pikiran yang menimbulkan proses alam, sejarah manusia, organisme, dan
kelembagaan masyarakat. Materi baginya kurang rill dibandingkan jiwa. Pikiran
atau jiwa menurut Hegel esensi alam. Marx menolak idealisme Hegel tersebut
dengan membalikkan filsafatnya dan mengatakan materi pokok dari alam, bukan
jiwa atau pikiran. Pada organisasi ekonomi masyarakat misalnya, disini jelas
menurut Marx bahwa cara-cara produksi (materi) menentukan kelembagaan
politik dan sosial yang ada.

12
Dalam dialektika Hegel, dunia berada pada sebuah proses perkembangan
atau perubahan yang bersifat dialektika. Perubahan-perubahan tersebut
berlangsung melalui tahap afirmasi (tesis), pengingkaran (anti tesis), dan akhirnya
sampai pada tahap integrasi (sintesis). Marx kemudian menggagas materialis
dialektikanya berdasarkan materi dari materialisme dialektika Hegel. Jika bagi
Hegel dan kaum idealis pada umumnya alam merupakan buah hasil dari roh,
sedangkan bagi Marx dan Engels semua yang bersifat rohani merupakan hasil dari
materi.

Bagi Marx, kekuatan material (modal) menentukan dalam masyarakat,


termasuk perkembangan evolusi serta fenomena lain, onorganik, organic atau
manusia; kebiasaan dan tradisi politik, sosial dan agama. Yang menentukan
sejarah menurut Marx adalah produksi dan kelahiran manusia. Keterpesonaan
terhadap filsafat Hegel, Marx kemudian mencari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang mengerakkan bagaimana membebaskan manusia dari penindasan
sistem politik reaksioner.

Secara filosofis, rakitan dari materialisme dialektika Hegel tersebut


ditemukan persepsi yang sama pada literatur kaum Marxist, yaitu ada tiga dalil (1)
dalil perubahan pada kuantitas dapat menimbulkan perubahan kualitas, (2) dalil
kesatuan dan pertentangan dari lawannya, atau hukum kontradiksi yang lazim
disebut dengan hukum "interpenetration of opposities", kelanjutan bagian dari
dalil pertama sebelumnya, dan (3) pengingkaran terhadap pengingkaran (the law
of the negation of negation).

Ludwig Feuerbach : Pemikiran Marx semakin berkembang setelah


berkenatan dengan filsafat klasik Jerman, yaitu materialisme Ludwig Feuerbach.
Menurut Feuerbach, manusia merupakan sesuatu yang abstrak. Adapun gagasan
menurut Feuerbach adalah "renungan" dari "kenyataan material" yang
menentukan kegiatan manusia.

Menurut Marx, dengan memposisikan manusia sebagai yang abstrak,


Feuerbach tidak hanya menurunkan manusia menjadi orang saleh tetapi juga gagal
melihat bahwa hal itu sendiri merupakan produk sosial. Filsafat Feuerbach

13
berhenti pada menempatkan gagasan sebagai renungan dari kenyataan material,
padahal antara kesadaran dan praksis manusia terdapat suatu hubungan timbal
batik. Ketika Feuerbach memperlakukan "kenyataan materil" sebagai yang
menentukan kegiatan manusia, Feurbach menurut Marx tidak melakukan analisis
modifikasi dunia "obyektif dan subyektif yaitu terhadap kegiatan manusia.

Revolusi Perancis : Kendatipun Marx banyak mengkritik materialisme


Feuerbach, namun dipertahankannya (juga Engels) dan dijadikan teori filsafatnya.
Ketika menjelaskan hal-hal yang rohani dari jasmani serta mencurahkan segala
perhatian kepada pembebasan manusia dari keterasingan dirinya sendiri, antara
Marx dengan Feuerbach tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi Marx tidak hanya
sampai di situ ia kemudian melacak asal keterasingan tersebut hingga
menemukannya setelah berjumpa dengan kaum sosialis radikal di Paris, yaitu
berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Menurut Marx, masyarakat sosialis
akan segera terwujud dalam masyarakat yang menganut sistem Kapitalisme. Sejak
abad ke-19, ideologi kapitalismeliberalisme sebenarnya telah popular
sebagaimana pertama tumbuh dan berkembang di Amerika dan hampir di semua
negara Eropa Barat.

Kapitalisme sendiri memiliki karakteristik antara lain pekerjaan yang


seharusnya sebagai wujud perealisasian diri menjadi de-realisasi diri, manusia
tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pekerjaannya, sehingga "kehilangan
dirinya sendiri", dan manusia berada di bawah kekuasaan kekuatan obyektif asing
(kekuasaan, sosial, dan politik), Oleh karena itu, menurut Marx, manusia hanya
dapat dibebaskan dari jerat kapitalisme, bila hak milik pribadi atas alat-alat
produksi dihapus melalui revolusi kaum buruh. Inilah yang merupakan substansi
dari sosialisme klasik.

Dalam sosialisme klasik ini, Karl Marx mengemukakan bahwa untuk


mencapai masyarakat komunis tanpa klas, dapat dicapai melalui 5 (lima) tahap
dalam Sistem Produksi, yaitu :

14
1. Sistem komunisme primitive sebagai tingkatan ekonomi awal yang
bercirikan, kepemilikan secara kolektif. Pada tahap ini teknologi belum
ada dan masyarakat hidup damai.
2. Sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan serta bercirikan
telah lahirnya hak milik pribadi. Disinilah sistem pertanian dan
pengembalaan menggantikan perburuan sebagai sarana hidup. Akibatnya,
ketika kelompok minoritas mengusasi sarana hidup, maka pertarungan
kepentinganpun mulai timbul.
3. Tahap dimana kelompok-kelompok feodal sudah menguasai penduduk.
Seluruh kelebihan hasil yang dimiliki penduduk dikuasai oleh para feudal.
Masyarakat hanya dapat hidup secara sangat sederhana.
4. Lahir sistem borjuis/kapitalis dengan ciri meningkatnya perdagangan,
produksi, dan pembagian kerja. Sistem pabrik ini akhirnya melahirkan
industrialis kapitalis yang menjadi sebagai pemilik modal sekaligus
pengontrol alat-alat produksi.
5. Sistem sosialisme.

Argumen yang diajukan Karl Marx terhadap tahap-tahap tersebut yang


dilalui melalui revolusi sosial adalah :

1. Berdasarkan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat, pilihan


revolusi kaum buruh merupakan kesimpulan yang tidak terelakkan
(sosilisme ilmiah: tidak hanya bersandar dan didorong oleh cita-cita moral,
tetapi juga berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum
perkembangan masyarakat.
2. Manusia tidak akan dapat mengembangkan dirinya secara utuh karena
terpecah ke dalam kelas-kelas sosial. Penyebab keterpecahan tersebut
adalah sistem struktur, bukan sekadar masalah kehendak buruk
sekelompok orang yang membeku dalam modal dengan hukum-hukum
yang menguasainya. (sistem kapitalis).
3. Bukan kesadaran sosial yang menentukan keadaan sosial, tapi sebaliknya.
Adapun factor determinannya adalah produksi, sebab keadaan ekonomi

15
seseorang sangat menentukan cara pandangnya terhadap persoalan-
persoalan hidupnya.

Menurut Karl Marx, ada 2 (dua) tingkatan revolusi dalam masyarakat yang
terdiri dari :

1. Tingkatan peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Di


masa ini orang mengadakan perubahan yang revolusioner. Kelas - kelas
di dalam masyarakat hilang dengan sendirinya seiring dihilangkannya
hak milik pribadi atas sarana produksi, distribusi, dan pertukaran.
2. Tingkat kedua adalah tingkat kelima atau tipe terakhir dari sistem
produksi, yaitu terciptanya "masyarakat tanpa kelas" atau komunisme
murni. Alat-alat produksi telah manjadi milik masyarakat, yaitu negara,
di mana sejarah umat manusia telah ditutup dengan suatu negara
bahagia, sintesa dari dua zaman sebelumnya yaitu sosilisme (tesa) dan
kapitalisme (antitesa).

Menurut Septyo (2008), kapitalisme dan sosialisme dibentuk di atas


landasan nilai (value) yang samayaitu matrealisme-hedonisme yaitu segala
kegiatan manusia dilatar belakangi dan dipresentasikan kepada sesuatu yang
bersifat duniawi, dan dibangun di atas pandangandunia yang sekuler yaitu
memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material (agamadengan dunia).
Sosialisme bahkan memiliki pandangan yang negatif terhadap agama.Menurut
meraka agama adalah sesuatu yang tidak realistis, berwujud material.
Bahkanagama sesungguhnya adalah rekayasa kelompok yang berkuasa untuk
memperkokohkepentingan mereka sendiri. Salah satu ungkapan Marx yang
popular adalah ;”Kritikterhadap agama adalah syarat yang pertama atas segala
kritik” (Hendrie Anto, 2003: 356)dan Marx sendiri memandang agama adalah
sebagai candu bagi rakyat, jika terhadapTuhan saja mereka berpendirian begitu
kejamnya apalagi terhadap agama. (AbdullahZakiy, 2002: 51).

Seiring dengan perkembangan kapitalisme di Eropa barat dan Amerika,


dibelahan dunia lain (Rusia, China dan Eropa Timur) juga berkembang
sosialisme, padaabad ke-19, di mana orang-orang sosialis mati-matian memerangi

16
pandangan alirankapitalis yang memakai sistem liberalis. Aliran ini disebut sistem
Ekonomi Sosialis.Munculnya sosialisme ini adalah akibat kezaliman yang diderita
oleh masyarakat karenasistem ekonomi kapitalis serta berbagai kekeliruan yang
terjadi didalamnya. Merekamelihat bahwa kezaliman ini terjadi karena tidak
meratanya kepemilikan individu diantara manusia. Oleh karena itu, mereka
berpendapat perlunya persamaan secara riildalam kepemilikan.

Mazhab sosialis ini berpendapat bahwa terjadinya kezaliman akibat


adanya (hak)kepemilikan, sehingga hak kepemilikan harus dihapus, baik secara
mutlak (sosialismekomunis) atau hanya penghapusan kepemilikan terhadap
kekayaan produktif, yang biasadisebut kapital, seperti tanah, pabrik, lintasan
kereta api, pertambangan, dan lainnya.Artinya, seseorang dilarang memiliki
secara individu setiap barang yang mengahasilkansesuatu. Tidak boleh memiliki
rumah untuk disewakan, begitu juga dengan pabrik, tanahdan sebagainya. Namun
mereka memberikan kepemilikan kepada individu terkait denganbarang-barang
konsumsi (consumer goods) seperti mobil untuk dipakai sendiri, tidakboleh
disewakan. Tanah boleh dimiliki jika hasil pertanian tersebut untuk
dikonsumsisendiri. Ini adalah doktrin sosialis kapitalis. Doktrin ini diterapkan di
Rusia menurutkonsep Karl Marx (1818-1883) dalam bukunya ‘Das Capital’ tahun
1848, yangditerapkan kemudian oleh Nikolai Lenin dan Joseph Stalin lalu Nikita
Khrushchev.Mengenai kapitalis dan sosialisme ini, Nabhani mengatkan :
“Sosialisme ini semuanyarusak, dan telah ditinggalkan Negara-negara
penganutnya, Rusia telah runtuh, Jerman Timur (sekarang Jerman) akan kembali
menerapkan sistem kapitalis, meninggalkansistem sosialis. Sistem ekonomi
sosialis, termasuk di antarnya komunisme, mempunyaipandangan yang bertolak
belakang dengan sistem ekonomi kapitalis” (Gus Fahmi, 2002:47-48 dalam
Septyo 2008).

Sosialisme sebagai falsafah hidup yang mendahulukan kepentingan umum


daripada kepentingan individu, sama tuanya dengan aliran klasik bahkan lebih tua
lagi.Tetapi kalau yang dimaksudkan sosialisme yang mendasarkan suatu doktrin
ekonomiserta politik tertentu maka tidak lain yang dimaksudkan ialah sistem
ekonomi sosialis.Seperti dikemukakan oleh Jakob Oser bahwa aliran ini adalah

17
aliran yang menentangprinsip-prinsip ekonomi klasik yaitu: menolak ide laissef
dan menolak adanya pernyataanbahwa akan terjadi kepentingan yang harmonis di
antara kelas-kelas yang berbeda. Disamping itu aliran ini menjadi pembela dan
pelopor tindakan-tindakan yang mengarahpada kepemilikan perusahaan yang
bersifat publik untuk memperbaiki kondisimasnyarakat, pemilikan ini bisa
diselenggarakan oleh pemerintah pusat ataupunpemerintah daerah atau perusahaan
yang bersifat koperatif.

2.4 Ideologi Liberalisme


2.4.1 Sejarah ideologi Liberal
Paradigma Liberalisme merupakan salah satu paradigma dalam studi Ilmu
Hubungan Internasional selain realisme. Pada awal perkembangannya, banyak
pemikir yang mengidentifikasi liberalisme cenderung kepada sebuah ideologi
politik dan ekonomi dengan prinsip penting yaitu akan pentingnya kebebasan
individu dan hubungan yang damai serta teratur antar individu.25 Beberapa tokoh
yang mengemukakan ide mengenai konsep-konsep liberalisme klasik pada abad
ke-17 dan 18 adalah Imamnuel Kant, John Locke, Adam Smith dan Thomas
Jefferson.26 Akan tetapi, salah satu tokoh yang menjadi dasar dalam pemikiran
mengenai liberalisme dalam segi politik adalah Immanuel Kant. Pada tahun 1795,
ia menulis essay yang berjudul ‗Perpetual Peace‟. Dari essay tersebut, pemikiran
Kant kemudian berkembang dan mempengaruhi perkembangan apa yang disebut
dengan liberalisme dalam ilmu Hubungan Internasional saat ini (Avianto,2013).

Inti dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan
bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian
tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum
internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant
menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi.
Pemikiran-pemikiran Kant tersebut kemudian berkembang dan dipakai oleh
Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia Pertama. Hal tersebut kemudian
menjadi salah satu pemikiran liberal yang pertama kali dalam dalam studi Ilmu
Hubungan Internasional. Wilson berpendapat bahwa penyebab terjadinya

18
ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international
politics‖.

Inti dari pemikiran Kant adalah dunia yang menghormati konstitusi dan
bisa membangun 'perdamaian abadi' di dunia. Untuk mencapai perdamaian
tersebut, dibutuhkan perwakilan demokrasi dari semua negara, adanya hukum
internasional, dan pergerakan manusia dan perdagangan yang bebas. Kant
menekankan liberalisme pada kemajuan, perkembangan dan perdamaian abadi.
Pemikiran-pemikiran Kant tersebut kemudian berkembang dan dipakai oleh
Woodrow Wilson pada pasca Perang Dunia Pertama. Hal tersebut kemudian
menjadi salah satu pemikiran liberal yang pertama kali dalam dalam studi Ilmu
Hubungan Internasional. Wilson berpendapat bahwa penyebab terjadinya
ketidakstabilan dan konflik adalah ―undemocratic nature of international
politics‖.28 Ide tentang bagaimana dunia harus berkembang yang tampaknya telah
terinspirasi oleh Immanuel Kant ‘Perpetual Peace‘. Kant menyarankan bahwa
ketika negara menjadi republik dan warga negara mereka diberi kesempatan untuk
membuat keputusan, mereka cenderung memilih untuk tidak berperang, karena itu
adalah mungkin untuk berpendapat bahwa sebagai negara lebih menjadi republik
dan demokrasi menyebar maka kemungkinan perang antara negara menjadi lebih
kecil sampai akhirnya semua bangsa melihat perang sebagai kemenangan tidak
rasional dan perdamaian atas konflik.

2.4.2 Prinsip Ideologi Liberalis


Menurut Avianto (2013), liberalisme memiliki pandangan positif terhadap
sifat dasar manusia. Individu bisa mengendalikan dirinya, sehingga untuk
mencapai kepentingannya individu akan saling bekerja sama tanpa perlu terlibat
dalam konflik. Kerja sama yang dilakukan akan memberikan kemajuan bagi
kualitas individu itu sendiri. Kaum liberalis sangat percaya bahwa konflik dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dapat disatukan dengan cara saling
berkomunikasi atau adanya pertukaran informasi yang jelas. Dengan saling
berkomunikasi tersebut, dapat menciptakan tatanan sosial, politik, dan ekonomi
untuk menguntungkan semua orang dan menjamin kebebasan individu dan
material economic prosperity. Sehingga dapat dikatakan bahwa liberalisme

19
memandang hubungan internasional lebih bersifat kooperatif yang memungkinkan
adanya kerjasama, bukanlah cenderung konfliktual.

Menurut Hosang (2011), liberalisme memandang kooperasi sebagai suatu


hal yang penting dandiperlukan. Hal ini bila dipadukan dengan pendekatan pilhan
rasional akanmembentuk sebuah premis ‘tujuan akan lebih mudah dan lebih baik
dicapaibersama-sama daripada dilakukan sendiri’. Pendekatan seperti itulah
yangkemudian mendasari analisis APSC melalui teori neoliberal
institusionalismedengan pendekatan pilihan rasional. Jadi, pertama-tama akan
dikaji apakah benarbahwa APSC merupakan pilihan rasional bila dibandingkan
dengan usaha soliter masing-masing negara atau entitas collective defense.

Negara bukanlah satu-satunya aktor dalam hubungan internasional

Dalam liberalisme, aktor non-negara merupakan aktor yang juga ikut


diperhitungkan dalam hubungan internasional. Aktor non-negara tersebut bisa
berupa individu, kelompok kepentingan, perusahaan multinasional, ataupun
organisasi baik itu bersifat kepemerintahan maupun non-pemerintah. Hal ini
tentunya berawal dari asumsi liberal secara umum bahwa terdapat hak-hak
tertentu dalam tiap individu. Aktor negara maupun aktor non-negara bisa saling
melengkapi dan mendukung satu dengan yang lainnya. Selain itu, liberalis juga
tidak menganggap bahwa negara sebagai satu entitas yang satu utuh. Maksudnya
disini adalah terdapat level domestik yang juga ikut berpengaruh dalam proses
pengambilan kebijakan suatu negara. Hal ini tentu bertolak belakang dengan
asumsi realisme yang hanya menganggap adanya satu suara saja (yaitu suara
pemerintah) yang mewakili suara negara. Dengan demikian aktor non-negara
dalam suatu negara juga turut berperan di sini.

Liberalisme menginginkan perubahan ke arah yang positif

Asumsi ini didasari oleh kepercayaan bahwa setiap manusia itu pada
dasarnya mempunyai pandangan yang positif atau progresif. Pandangan progresif
tersebut dalam artian bahwa ada kemungkinan untuk mencapai perubahan yang
positif dalam hubungan internasional. Dengan kondisi seperti ini, maka secara
rasional, manusia atau yang dalam hal ini negara akan memikirkan kebijakan yang

20
rasional dengan cost yang paling minim. Karena perang dan konflik bukanlah
kondisi yang ideal dan akan memakan biaya yang sangat besar, maka tentunya
kaum liberal akan menghindari hal ini. Sebagai gantinya, kaum liberal
memandang bahwa dengan adanya kerjasama maka akan lebih menguntungkan
satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‗ideal‘ di sini
bukanlah kondis ideal yang sesempurna kaum utopis yang terdapat perdamaian
abadi dan tidak adanya konflik.

Adanya ketergantungan dan keterkaitan antar-negara

Liberalis tidak menganggap adanya perbedaan antara High Politics dan


Low Politics dalam isu hubungan internasional. Hal ini bertentangan dengan
pandangan realis yang menganggap bahwa hanya isu keamanan saja yang penting
dalam hubungan internasional. Isu ekonomi merupakan salah satu isu yang
penting. Kaum liberal percaya bahwa meskipun kondisi dunia internasional itu
anarki, akan tetapi sebenarnya setiap negara itu saling membutuhkan satu sama
lain terutama kebutuhan komoditas perekonomian masyarakat tiap negara.
Konsekuensi dari keadaan ini adalah adanya ketergantungan. Untuk mengatasi
adanya ketergantungan tersebut, maka kerjasama merupakan pilihan yang paling
rasional.

2.5 Ideologi Fasisme


2.5.1 Sejarah Ideologi Fasisme
Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali
berkembang di Italia setelah tahun 1919 dan kemudian di berbagai negara di
Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama
fasisme berasal dari kata Latin ‘fasces’, artinya kumpulan tangkai yang diikatkan
kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno.

Istilah “fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang


berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini dan gambar tangkai-
tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang partai fasis pertama. Setelah
Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945,
dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah Perang Dunia II, rezim-rezim

21
diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan negara-negara belum berkembang
lain umumnya digambarkan sebagai fasis.

Untuk memahami falsafah fasisme, kita dapat cermati deskripsi yang


ditulis Mussolini untuk Ensiklopedi Italia pada tahun 1932:

“Fasisme, semakin ia mempertimbangkan dan mengamati masa depan dan


perkembangan kemanusiaan secara terpisah dari berbagai pertimbangan politis
saat ini, semakin ia tidak mempercayai kemungkinan ataupun manfaat dari
perdamaian yang abadi. Dengan begitu ia tak mengakui doktrin Pasifisme – yang
lahir dari penolakan atas perjuangan dan suatu tindakan pengecut di hadapan
pengorbanan. Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi
manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan
kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Semua percobaan lain adalah
cadangan, yang tidak akan pernah benar-benar menempatkan manusia ke dalam
posisi di mana mereka harus membuat keputusan besar–pilihan antara hidup
atau mati…. (Kaum Fasis) memahami hidup sebagai tugas dan perjuangan dan
penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain–mereka yang bersama dan
mereka yang jauh, yang sejaman, dan mereka yang akan datang setelahnya.”

Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, yang


dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis, dan pendukung hak radikal
Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam pernyataannya pada tahun
1930-an:

“Sangatlah bodoh orang yang mempercayai tetangganya, sebaik dan sepenuh


kasih apa pun tetangga itu. Keadilan hanya ada bagi orang-orang yang
memungkinkannya terwujud dengan kepalan tangan dan sikap keras kepala
mereka…. Jangan mempercayai siapa pun, senantiasa berhati-hatilah, bawalah
selalu tongkatmu—inilah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam
pertarungan bagai serigala antara semua melawan semua ini.”

Ciri lainnya untuk diingat adalah bahwa fasisme merupakan ideologi


nasionalistik dan agresif yang didasarkan pada rasisme. Nasionalisme semacam
ini sama sekali berbeda dari sekadar kecintaan pada negara. Dalam nasionalisme

22
agresif pada fasisme, seseorang mencita-citakan bangsanya menguasai bangsa-
bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali timbulnya penderitaan
hebat terhadap rakyatnya sendiri dalam prosesnya. Selain itu, nasionalisme
fasistik menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan
darah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.

Sebagaimana halnya yang mereka lakukan untuk menguasai bangsa-


bangsa lain, rezim fasis juga menggunakan kekuatan dan penindasan terhadap
bangsa mereka sendiri. Dasar kebijakan sosial fasisme adalah pemaksaan gagasan,
dan keharusan rakyat menerimanya. Fasisme bertujuan membuat individu dan
masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Untuk mencapai tujuan ini, fasisme
menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda.
Fasisme menyatakan siapa pun yang tidak mengikuti gagasan-gagasannya sebagai
musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap
suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi Jerman.

Prinsip mendasar di balik fasisme masa kini adalah Darwinisme, yang


dimunculkan seakan-akan suatu teori ilmiah meski tidaklah demikian adanya.
Namun, Darwinisme, yang menyatakan klaim-klaim seperti “manusia adalah
hewan yang telah berkembang sempurna”, “beberapa ras telah tertinggal dalam
proses evolusi”, dan “melalui seleksi alam, yang kuat akan bertahan dan yang
lemah tersingkir”, telah menjadi sumber bagi banyak ideologi berbahaya
sepanjang abad ke-20, terutama fasisme.

2.5.2 Fasisme di Abad Ke-20


Segera setelah akhir Perang Dunia I, rezim fasis pertama di abad ke-20
dibangun di Italia oleh Benito Mussolini. Ia diikuti oleh Hitler di Jerman dan
Franco di Spanyol. Pada tahun 1930-an, fasisme menjadi sebuah ideologi politik
yang populer, partai-partai fasis baik besar ataupun kecil didirikan di banyak
negara, dan kaum fasis berkuasa di Austria dan Polandia, sehingga seluruh Eropa
dipengaruhi oleh fasisme.

Ada banyak kesamaan antara fasisme di Eropa, di mana contoh fasisme


yang paling jelas terlihat, dengan fasisme di Amerika Latin dan Jepang, yang

23
gerakannya juga mengakar dan tumbuh subur. Secara umum, fasisme
memanfaatkan kondisi kekacauan dan ketidakstabilan dalam sebuah negara untuk
menunjukkan diri kepada rakyat sebagai ideologi penyelamat. Begitu
pemerintahan fasis terbentuk, rakyat dikendalikan dengan kombinasi ketakutan,
penindasan, dan teknik-teknik cuci otak.

Krisis Sosial: Lahan Subur bagi Fasisme

Pada dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor


terpenting dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang
Italia tewas akibat perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat.
Bagian terbesar dari populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu
tertekan oleh resesi ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa
Italia menderita kerugian besar dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian
kecil dari tujuan mereka. Seperti halnya negara-negara lain yang lelah akibat
perang, bangsa Italia merindukan untuk memiliki kembali kehormatan dan
keagungan mereka sebelumnya.

Sebenarnya, ini adalah sentimen yang telah membangun kekuatan sejak


akhir abad ke-19. Italia modern bernostalgia dengan kebesaran Kekaisaran
Romawi, dan merasa berhak atas wilayah Romawi dahulu. Lagi pula, Italia
merasa bersaing dengan kekuatan-kekuatan utama di dunia dan berharap untuk
mengangkat dirinya ke kedudukan mereka, atau, ke "posisi yang selayaknya".
Karena pengaruh cita-cita ini, bangsa Italia berharap untuk menjadi sekuat Inggris
Raya, Prancis dan Jerman.

Krisis sosial, politik, dan ekonomi juga berperan penting dalam


pembentukan Nazisme di Jerman, yang telah kalah dalam Perang Dunia I.
Pengangguran dan krisis keuangan menambah kekecewaan akibat kekalahan itu.
Inflasi meningkat hingga tingkat yang jarang dapat disamai. Anak-anak kecil
bermain dengan uang kertas bernilai jutaan mark, karena uang, yang merosot
nilainya dalam hitungan jam, menjadi tak lebih dari selembar kertas nilainya.
Bangsa Jerman ingin memulihkan harga diri mereka yang hilang dan kembali ke

24
taraf hidup yang lebih baik. Dengan janji untuk memenuhi harapan-harapan
seperti ini, Nazisme muncul dan memperoleh dukungan.

Negara lain yang sangat dipengaruhi oleh fasisme adalah Jepang. Pada
masa Jepang pra-fasis, lapisan masyarakat yang lebih tinggi sangat kuatir dengan
perkembangan Marxisme di kalangan anak muda. Tetapi mereka tak mampu
menentukan bagaimana menyingkirkan ideologi yang merusak itu. Selain itu,
perubahan-perubahan sosial seperti itu sangat membingungkan bagi masyarakat
yang begitu terikat dengan tradisinya. Ikatan kekeluargaan melonggar, angka
perceraian meningkat, rasa hormat kepada kaum tua terkikis, adat dan tradisi
ditinggalkan, kecenderungan individualis mulai muncul, kemerosotan di kalangan
pemuda mencapai tingkat yang menyedihkan, dan angka bunuh diri mengalami
peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, stabilitas
masyarakat Jepang di masa depan dianggap dalam bahaya. Semua hal di atas
membawa mereka kepada kenangan masa lalu. Kerinduan akan masa-masa
kejayaan dahulu dan usaha-usaha untuk membangkitkannya, merupakan jebakan
awal bagi rakyat yang membawa mereka terjerat sepenuhnya oleh rezim fasis.

Mangsa Empuk bagi Fasisme: Kaum tidak Terpelajar

Faktor lain yang membuka jalan bagi fasisme adalah kebodohan dan
rendahnya pendidikan dalam banyak masyarakat. Pendidikan mengalami
kemunduran hebat selama kekacauan Perang Dunia I. Banyak sekali kaum muda
terpelajar yang tewas dalam medan perang. Pada umumnya, hal ini
mengakibatkan kemunduran tingkat kebudayaan dalam masyarakat. Sebagian
besar pendukung fasisme adalah kaum tak terpelajar, mereka berjuang atas nama
fasisme, dan menjadi pion bagi kebijakan-kebijakan chauvinistiknya. Karena, ide-
ide fundamental yang mendasari fasisme (yakni rasisme, nasionalisme romantik,
chauvinisme, dan fantasi) hanya dapat diterima luas oleh kalangan tak terpelajar,
yang mudah terbujuk oleh slogan-slogan mentah dan sederhana.

Orang-orang seperti itu, karena menganggap diri mereka terperangkap,


mencari jalan keluar yang mudah. Mereka merangkul para pemimpin fasis,

25
seakan-akan mereka adalah sabuk pengaman, sebagaimana diungkapkan Eric
Hoffer dalam bukunya The True Believer:

”Tentang orang-orang yang terjun tanpa pikir panjang ke dalam usaha


perubahan besar, mereka pastilah mengalami ketidakpuasan yang sangat selain
kemiskinan, dan mereka pastilah memiliki perasaan bahwa dengan memegang
suatu doktrin yang kuat, pemimpin yang sempurna, atau teknik-teknik baru,
mereka memiliki akses ke sumber kekuatan yang menarik. Mereka pastilah juga
mempunyai gambaran yang berlebih-lebihan tentang kemungkinan dan
kemampuan di masa depan. Akhirnya, mereka pastilah tidak mengetahui sama
sekali kesulitan-kesulitan yang tersimpan dalam usaha perubahan besar mereka.”

Teknik-Teknik Pencucian Otak

Ada sebuah kekhasan yang sangat buruk pada fasisme dan Nazi Jerman:
usaha untuk mencuci otak rakyatnya. Program ini dibangun dengan dua unsur
dasar, yakni edukasi dan propaganda.

Dalam Mein Kampf, Hitler menulis, "Propaganda adalah sebuah alat, dan
karenanya harus dinilai dengan melihat tujuannya… Propaganda dalam Perang ini
merupakan suatu alat untuk mencapai sebuah tujuan, dan tujuan itu adalah
perjuangan demi eksistensi rakyat Jerman; karenanya, propaganda hanya dapat
dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku untuk perjuangan ini. Dalam
hal ini, senjata-senjata yang paling kejam menjadi beradab bila mereka mampu
membawa kemenangan yang lebih cepat… Semua propaganda haruslah bersifat
umum dan tingkat intelektualnya harus disesuaikan dengan kecerdasan terendah di
antara sasaran propaganda. Maka dari itu, semakin besar massa yang ingin diraih,
harus semakin rendah tingkat intelektual."

Hitler memang sangat efektif dalam memanfaatkan propaganda. Sebagai


contoh, sutradara terkenal Leni Riefenstahl diminta untuk membuat sebuah film
propaganda Nazi, Olympia. Dalam Triumph of Will, film lain karya Riefenstahl,
Hitler digambarkan hampir seperti dewa. Ideologi pagan Nazi diagung-agungkan
dalam film-film ini, dan akhirnya memesona masyarakat. Olympia adalah salah

26
satu pusat dalam budaya pagan Yunani kuno. Kota Olympia, dengan patung Zeus-
nya yang terkenal, adalah simbol yang tepat bagi ideologi pagan Nazisme.

2.6 Ideologi Pancasila dan Agama


2.6.1 Pengertian Ideologi pancasila dan Agama
Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan
agama merupakan karya besar bangsa Indonesia melalui The Founding Fathers
Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara yang tertuang
dalam Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis merupakan local
genius bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012). Begitu pentingnya
memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun mengisyaratkan bahwa
kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan
menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi,
yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan
juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).

Menurut Notonegoro (dalam Kaelan, 2012: 47), asal mula Pancasila secara
langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan
bahwa “bangsa Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Panasila, …yang
digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta
nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”.
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia,
masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal,
(sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh
Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57). Dalam buku
Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal
Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap berbunyi
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda,
satu jua, sebab tak ada agama yang mempunyai tujuan berbeda (Hartono, 1992:
5).

Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat


arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan.
Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas

27
politik bersama, mengatasi komunitas cultural dari ragam etnis dan agama, ide
kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap
pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh founding fathers negara kita
dapat dibaca pada pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara
mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi
Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab kitab yang
ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni
dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara
yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012). Pernyataan ini mengandung dua arti pokok.
Pertama pengakuan akan eksistensi agama-agama di Indonesia yang, menurut Ir.
Soekarno, “mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap
agama, Ir. Soekarno menegaskan bahwa “negara kita akan ber- Tuhan”. Bahkan
dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku akan berpesta
raya, jikalau saudara saudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945
(Ali, 2009: 118).

Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa
sila pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu
(meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus
mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal
ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa
Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh
agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).

Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari - atau sekurang-


kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara

28
mendahului Ir. Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan
keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang terkenal ini menerangkan
bahwa dalam Badan Penyelidik itu Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir;
dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran para anggota
yang berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan
sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar Roem,
“Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63).

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia


Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan
mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bias mempersekutukannya.
Dalam bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa
sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di
mana pengertian arti kata Tuhan adalah sesuatu yang kita taati perintahnya dan
kehendaknya. Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh punya dua tuan, hanya
satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi utama
tugas para pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu
Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Kitab Ulangan 6:4-5, Matius 6:24, Lukas 16:
13, Quran surat: Al Mu’minun [23]: 23 dan 32) (Mulyantoro, 2012).

2.6.2 Perkembangan Paham Agama Pasca Kemerdekaan


Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara
didefinisikan melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak
memasukkan kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan
agama dan politik atau menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama.
Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui
satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan kedudukannya oleh negara
dan dari komitmennya terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun,
dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6 agama: Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara resmi, negara
Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh warga
negara.

29
Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama
tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini juga
memasukkan kalangan sekuler yang menganut agama tersebut, tapi tidak
memasukkan kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang telah
ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur
masyarakat di tingkat nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia
bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang
berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).

Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra selama tiga tahun
diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS dan
sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima asas tunggal yang diberi batas
akhir sampai tanggal 17 Juli 1987. Golongan yang kontra bukan menolak
Pancasila dan UUD 1945, melainkan ada kekhawatiran bahwa dengan
menghapuskan asas “Islam”, Pancasila akan menjadi“agama baru” (Moesa, 2007:
123-124).

Dalam perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi NU yang


pertama kali menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. KH. As’ad Syamsul
Arifin menegaskan bahwa sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia
berpendapat bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007: 124) .

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat


berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan
dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan
sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiyai Achamd
Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini
berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang
dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010: 79).

Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa semua golongan


beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus

30
dan bersamasama meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila (Soetarman, 1996: 64).
Dalam konteks pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara formal
sudah tidak berlaku tapi spirit hubungan agama dan pembangunan masih sesuai),
maka agama-agama harus mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka
menghadapi masalah-masalah yang dihadapi bersama (Soetarman, 1996: 65).

Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring sejalan dan saling


mendukung. Agama dapat mendorong aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula
Pancasila memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha
peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama (Eksan, 2000).
Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi
untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama
juga tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agamaagama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang akan
menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa
terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990: 167-168).

Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan universal dalam arti berlaku
bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena
nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya
bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai
Pancasila berasal dari agama-agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja
nilai-nilai yang hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi
memberikan bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177). Sejalan dengan
pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan
dalam Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2005.

Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung
tinggi, menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu,
setiap umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan
nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan

31
menempatkan falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan
sedalam-dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran
agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita
dapat menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai
falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed.),2010: 172).

Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa,


sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila
dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu
lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan
sengit yang telah menguras energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari
pergumulan panjang itu, sekarang secara teoretik dari kelima nilai Pancasila tidak
satu pun lagi yang dianggap berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci oleh sila kelima “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia,” dari sudut pemahaman saya sebagai seorang Muslim,
sejalan dan senyawa dengan doktrin tauhid yang menuntut tegaknya keadilan di
muka bumi (Maarif, 2012).

Kaelan (dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246) memetakan persoalan yang


menyangkut hubungan agama dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu:

 Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan Pancasila sebagai


dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri
negara dari kelompok nasionalis Islam dan nasionalis terlibat perdebatan
tentang dasar filsafat dan ideologi Negara Indonesia yang akan didirikan
kemudian.
 Kedua, respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978
pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 untuk disahkan. Dalam hubungan
ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun
kemudianmenerimanya. Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah
mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organsiasi politik
dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijakan ini banyak mendapatkan

32
tantangan dari umat Islam bahkan terdapat beberapa ormas yang
dibekukan karena asas tersebut. Namun untuk menengahi permasalahan
tersebut, Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed), 1990: 167-168)
secara gamblang menyatakan bahwa “agama tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan
eksistensi Pancasila sebagai “polisi lalu lintas” yang menjamin semua
pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali”.
Sejalan dengan pendapat tersebut, tokoh Masyumi, Muhammad Roem,
berpendapat bahwa kita sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan
Yang Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada Tuhan
menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan kesadaran bahwa bersama kita
dapat mendirikan Negara yang kuat sentosa karena esensi dari agama,
ialah hidup berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih saying terhadap
sesama makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).

Bilamana dirinci, maka hubungan negara dengan agama menurut NKRI


yang berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):

 Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.


 Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber- Ketuhanan yang
Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk
memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
 Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya
manusia berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
 Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan
inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
 Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan itu bukan
hasil peksaan bagi siapapun juga.
 Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama
dalam negara.

Segala aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara harus


sesuai dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum

33
positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara
negara.

Negara pda hakikatnya adalah merupakan “…berkatrahmat Allah yang Maha


Esa”.

Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58),


dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas
bangsa Indonesia ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang
meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar kerohanian bangsa
dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka
menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan
harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara
Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di Indonesia.

Rodee dkk (1995: 54) menyatakan bahwa homogenitas kebudayaan adalah


suatu kekuatan luar biasa yang bekerja atas nama identitas nasional. Pada paparan
selanjutnya, secara implisit Rodee menyatakan bahwa identitas nasional akan
berpengaruh terhadap kestabilan negara. Realitas negara dan bangsa Indonesia
teramat heterogen secara budaya, bahkan paling heterogen di dunia, lebih dari itu
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi tersebut mensyaratkan
hadirnya ideology negara yang dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen
bangsa.

Implikasinya, fungsi ideologi negara bagi bangsa Indonesia amat penting


dibandingkan dengan pentingnyaideologi bagi negara-negara lain terutama yang
bangsanya homogen. Bagi bangsa Indonesia, ideologi sebagai identitas nasional
merupakan prasyarat kestabilan negara, karena bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang heterogen. Hadirnya ideologi Pancasila tersebut, paling tidak akan
berfungsi untuk: 1) menggambarkan cita-cita bangsa, kearah mana bangsa ini
akan bergerak; 2) menciptakan rasa kebersamaan dalam keluarga besar bangsa
Indonesia sesuai dengan sesanti Bhinneka Tunggal Ika; dan 3) menggairahkan
seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara

34
Republik Indonesia. Ada ha-hal yang amat penting dalam melaksanakan ideologi
negara Pancasila, agar ideologi tidak disalahgunakan terutama dijadikan alat
untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan oleh elit politik. Maka untuk
itu, bangsa Indonesia harus melaksanakan nilai-nilai instrumental ideologi
Pancasila yaitu taat asas terhadap nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada
pada Pembukaan UUD 1945 dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.

2.7 Perbedaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain


Ideologi Pancasila mendasarkan pada hakikat sifat kodrat manusia sebagai
makhuk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu dalam ideologi Pancasila
mengakui atas kebebasan atas hak-hak masyarakat. Selain itu bahwa manusia
menurut Pancasila mempunyai kodrat sebagai makhluk pribadi dan sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai ketuhanan senantasa mnjiwai
kehidupan manusia dalam hidup Negara dan masyarakat. Dengan demikian
ideologi Pancasila mempunyai perbedaan-perbedaan dengan ideologi lainnya.
Berikut ini akan disampaikan perbedaan-perbedaanya dari berbagai aspek antara
lain sebagai berikut:

2.7.1 Bidang Politik Hukum


 Pancasila : Demokrasi Pancasila, Hukum untuk menjunjung tinggi
keadilan dan keberadaan individu dan masyarakat.
 Sosialisme: Demokrasi untuk kolektivitas, diutamakan kebersamaan,
masyarakat sama dengan Negara.
 Komunisme: Demokrasi rakyat, berkuasa mutlak satu parpol, hukum
untuk melanggengkan komunis.
 Liberalisme : Demokrasi Liberal, Hukum untuk melindungi
individu,dalam politik mementingkan individu.
 Fasisme : Hukum untuk melindungi penguasa.

2.7.2 Bidang Ekonomi


 Pancasila : Peran Negara ada untuk tidak terjadi monopoli dan lain-lain
yang merugikan rakyat.
 Sosialisme : Peran Negara kecil, kapitalisme, monopolisme.

35
 Komunisme : Peran Negara dominan, demi kolektivitas berarti demi
Negara, monopoli Negara.
 Liberalisme : Peran Negara kecil, swasta mendominasi, kapitalisme,
monopolisme, persaingan bebas.
 Fasisme : Peran Negara sangat kecil, Kapitalisme dan Monopolisme.

2.7.3 Agama
 Pancasila : Bebas memilih agama, Agama harus menjiwai dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
 Sosialisme : Agama harus mendorong berkembangnya kebersamaan,
diutamakan kebersamaan.
 Komunisme : Agama harus dijauhkan dari masyarakat, atheis.
 Liberalisme : Agama urusan pribadi, bebas beragama ( memilih
agama/atheis).
 Fasisme : Menolak konsep persamaan tradisi yahudi kristen (dan juga
Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan
ideologi yang mengedepankan kekuatan.

2.7.4 Pandangan Terhadap Individu Dan Masyarakat


 Pancasila : Individu diakui keberadaanya, hubungan individu dan
masyarakat dilandasi 3s ( selaras, serasi, dan seimbang).
 Sosialisme : Masyarakat lebih penting daripada individu.
 Komunisme : Individu tidak penting- masyarakat tidak penting,
kolektivitas yang dibentuk Negara lebih penting.
 Liberalisme : Individu lebih enting dariada masyarakat, masyarakat
diabdikan bagi individu
 Fasisme : Masyarakat tidak penting, sosial budaya ditentukan oleh
propaganda penguasa sehingga daya kritis masyarakat menjadi mundur.

2.7.5 Ciri Khas Ideologi


 Pancasila : Demokrasi Pancasila, bebas memilih agama.
 Sosilisme: Kebersamaan, Akomodasi.
 Komunisme : Atheisme, dogmatis, otoriter, ingkar HAM.

36
 Liberalisme : Penghargaan atas HAM, demokrasi, Negara hokum,
menolak dogmatis.
 Fasisme : Pemerintahan bersifat otoriter dan totaliter, Sistem pemerintahan
satu partai, negara dijadikan alat permanen untuk mencapai tujuan negara,
mempercayai adanya perbedaan antara orang yang memerintah dan yang
diperintah, antara elite dan massa, membenci kemerdekaan berbicara dan
berkumpul.

2.8 Persamaan Ideologi Pancasila Dengan Yang Lain


Pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide,
keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah
laku seseorang dalam berbagai bidang kehidupan seperti:

1. Bidang politik, termasuk bidang hokum, pertahanan, dan keamanan.


2. Bidang sosial.
3. Bidang kebudayaan.
4. Bidang keagamaan.

Dari kelima ideologi tersebut semuanya sama-sama dijadikan sebagai ideology


atau dasar sebuah negara

37
DAFTAR PUSTAKA

Avianto,Dicky . 2013 . Pandangan Realisme, Liberalisme Dan Konstruktivisme


Terhadap Mercosur Sebagai Institusi Perdagangan Regional Di
Amerika Selatan . Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Hubungan Internasional . Depok

Elisa,2009 . Teori Politik Sosialisme – Komunis . Fakultas Ilmu


Sosial dan Ilmu Politik . Jogjakarta .

Hosang,Christian . 2011 . Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme,Dan


Konstruktivisme Terhadap Asean Politicalsecurity Community
2015 Sebagai Kerjasamakeamanan Di Kawasan Asia Tenggara .
FISIP UI . Depok

Septyo, Boris . 2008 . Pemikiran Karl Marx Tentang Ekonomi Perspektif Islam .
Fakultas Agama Islam UMS . Surakarta.

Syarbani, H. Syahrial. 2012. Pancasila Dan Liberalisme, Komunisme Serta


Agama. Modul Ajar Pancasila.

Yahya, Harun. 2013. Fasisme:Ideologi Berdarah Darwinisme. Buku cetakan ke-


2.

38

Anda mungkin juga menyukai