Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

KERAJAAN MARITIM DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Maritim

Dosen Pengampu: Syarifin, S.Pd.M.Pd

Ahmad Zainuri 211I10106

Wakhidatul Mu’alifah 221I10093

Aulia Nurmahmudah 221I10025

Moh. Faqih Hasbullah 211I10099

Baihaqi Nur Mifta 211I10090

Wafi Zulfikar 211I10091

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI ARGOPURO JEMBER

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayah,
taufiq, dan inayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW oleh kita sampai akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa
Kolonial yang berjudul “KERAJAAN MARITIM DI INDONESIA”. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Namun penyusun
menyadari masih banyak kekurangan dari isi makalah ini. Untuk itu kami
berterimakasih atas saran dan kritik yang membangun guna kebaikan bagi kami.

Jember, 11 November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................

DAFTAR ISI...........................................................................................................

BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................
C. Tujuan dan Manfaat ...................................................................................
BAB 2. PEMBAHASAN
A. Kerajaan Maritim di Indonesia...................................................................
B.  Kerajaan Samudra dan Majapahit..............................................................
C. Kerajaan Majapahit.....................................................................................

BAB 3. PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................
DAFTR PUSTAKA .........................................................................................
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan maritim di Indonesia

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim pertama di Indonesia.


Seluruh kegiatan masyarakatnya lebih mengarah ke arah perdagangan,
pelayaran, dan perikanan. Letaknya yang strategis yaitu di tepi Sungai Musi,
menjadikannya sebagai kerajaan yang menguasai perdagangan di Asia
Tenggara. Keberhasilannya itu membuat ekonomi dan sosial masyarakat
menjadi jauh lebih meningkat.

Iklim di Nusantara yang berbeda-beda, membuat setiap daerah di


Nusantara maupun di luar Nusantara menghasilkan rempah-rempah yang
berbeda pula. Dari perbedaan rempah-rempah tersebut, muncul keinginan
untuk memiliki rempah-rempah agar bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Hal itu, menimbulkan keinginan untuk melakukan kontak dagang, baik


itu antardaerah di Nusantara, maupun di luar Nusantara. Tak menutup
kemungkinan, Kerajaan Sriwijaya juga melakukan kontak dagang dengan
Kerajaan-Kerajaan di Asia Tenggara, seperti Kerajaan di Kamboja, Thailand,
Myanmar, dan lain-lain.

Keberhasilan Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka, menjadikan


tambang emas bagi Kerajaan tersebut, pasalnya jalur perdagangan
internasional juga melewati Selat Malaka. Dengan dijadikannya Kerajaan
Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang selalu berhubungan dengan laut,
maka dibentuklah armada laut yang besar di Kerajaan Sriwijaya. Armada laut
Kerajaan Sriwijaya bertugas untuk menjaga keamanan di sekitar perairan.
1. Hubungan Perdagangan, Ekspansi, dan Konflik

Politik ekspansi untuk mengembangkan sayap dan menaklukkan


kerajaan lain di Sumatra dilakukan Sriwijaya secara intensif pada abad ke-7,
yaitu pada tahun 690 M. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya prasasti dari
kerajaan Sriwijaya, yang semuanya ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa
Melayu kuno.

Prasasti Kedukan Bukit (dekat Palembang), berangka tahun 680 M


menceritakan tentang kemenangan penaklukkan beberapa daerah dan
kemakmuran Sriwijaya. 7 Menurut Boechori, prasasti ini digunakan untuk
memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang oleh Dapunta
Hyang dan pendirian ibu kota baru yang kedua di tempat ini. Dari beberapa
prasasti yang ditemukan menunjukkan, Sriwijaya telah meluaskan daerah
kekuasaannya mulai dari daerah Melayu di sekitar Jambi sekarang sampai di
pulau Bangka dan daerah Lampung Selatan dalam tahun 686, serta usaha
menaklukkan pulau Jawa yang menjadi saingannya dalam bidang Pelayaran
dan perdagangan.

Penaklukkan Pulau Bangka diduga erat berhubungan dengan


penguasaan perdagangan dan Pelayaran Internasional di Selat Malaka. Dengan
dikuasainya negara-negara di sekitar pulau Bangka, maka Sriwijaya
sepenuhnya dapat menguasai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari
negara-negara Barat ke China. Sebaliknya, perahu-perahu asing terpaksa harus
berlayar melalui Selat Malaka dan Selat Bangka yang dikuasai oleh Sriwijaya.
Keuntungan Sriwijaya dari perahu asing berlimpah-limpah. Kecuali
keuntungan dari penarikan bea-cukai, Sriwijaya masih memperoleh
keuntungan lain dari perdagangan.

Dari pernyataan I-Tsing terlihat bahwa kapal asing itu datang di Kedah
dan Melayu pada waktu-waktu tertentu. Mereka tinggal di kedua tempat itu
selama beberapa lamanya sambil menunggu datangnya angin baik, baru
melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya masing-masing. Selama tinggal
di Pelabuhan, kapal dagang itu berkesempatan membongkar dan memuat
barang dagangan. Sementara itu dari daerah Sriwijaya sendiri dihasilkan
penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar, lada, dan lain-
lain. Barang dagangan tadi dibeli oleh pedagang asing atau ditukar dengan
porselin, kain katun, dan kain sutera. Sriwijaya berusaha memonopoli dan
menguasai daerah pesisir di kedua belah pantai Selat Malaka.

Usaha yang dilakukan Sriwijaya adalah menaklukkan beberapa daerah


seperti Jambi, Lampung, Semenanjung Malaka, tanah genting Kra, dan pulau
Sailanpun diduduki oleh Sriwijaya setelah berperang dengan raja Cola (India)
dalam abad ke-11. Sebelumnya yaitu pada tahun 767 Sriwijaya berhasil
menundukkan Tonkin ( Indochina, di Hindia Belakang ), dan diperkirakan
penguasaan Sriwijaya sampai ke Malagasi.

Sebagai kerajaan Maritim, Sriwijaya menggunakan politik laut yaitu


dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di pelabuhannya. Politik
Sriwijaya ini dikenal dengan menggunakan model “paksaan menimbun
barang”. Disamping itu raja Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri.
Dengan demikian harta benda raja serta kaum bangsawan berasal dari
perdagangan sendiri, bea-bea yang dipungut dari perdagangan yang melalui
kerajaan, dari rampasan hasil peperangan, dan pembajakan laut. Pada abad ke-
13 posisi Sriwijaya sebagai kerajaan Maritim masih cukup kuat.

Hal ini dibuktikan dengan adanya buku“Chu-fan-chi“ yang ditulis


tahun 1225 oleh Chau-ju-kua. Buku itu menceritakan bahwa di Asia Tenggara
ada dua kerajaan yang terkemuka dan kaya, pertama ialah Jawa dan yang
kedua ialah Sriwijaya.

Tentang Sriwijaya dikatakan oleh Chou-ju-kua, bahwa Kien-pi


( Kampe di Sumatra Utara) dengan kekuatan senjata telah melepaskan diri dari
Criwijaya, dan telah pula mengangkat rajanya sendiri, termasuk sebagian dari
Jazirah Malaka. Meskipun demikian Sriwijaya masih merupakan kerajaan
yang menguasai bagian Barat kepulauan Indonesia dan tidak kurang dari lima
belas negeri fasal San-fo-tsi (Sriwijaya). Wilayahnya meliputi Pong-fong
(Pahang), Tong-ya-nong (Trengganau), Ling-ya-ssi-ka (Lengkasuka), Kilan-
tan (Kelantan), Fo-lo-an ( ? ), Ji-lu-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai ( ? ), Pa-ta’
(Batak),Tan-ma-ling (Tamralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi di Utara
Semenanjung Malaka), Pa-lin- fong (Palembang), Sin- t’o (Sunda), La-wu-li
(Lamuri, Aceh), Si-lan (Sailan ?), termasuk negara Sunda di Jawa Barat,
Nilakant.

demikian pada permulaan abad ke-13 Sriwijaya masih merupakan


kekuatan besar. Chau-ju-kua tidak memasukkan Melayu dan Jambi ke dalam
daftarnya. Dari daftar ini jelaslah, bahwa Sriwijaya dalam permulaan abad ke-
13 masih tetap menguasai sebagian besar Sumatra, Jazirah Malaka dan bagian
barat pulau Jawa (Sunda).

Pada abad ke-13 ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa Sriwijaya
masih mengawasi kedua Selat Malaka dan Sunda. Belum sampai putus
pengawasannya, kekuasaan Sriwijaya telah musnah. Catatan Chou-ju-kua
tentang ibu kota Sriwijaya merupakan semacam tipe kota air penuh anak
sungai, penduduk bertempat tinggal di kapal atau rumah-rumah yang dibangun
di atas rakit seperti Mrohaung, kota tua Arakan, Bangkok sekarang dan
banyak kota-kota tua yang lain yang sama dengan zaman Funan.

Tetapi berdasarkan catatan Cina menyebutkan bahwa Palembang tidak


lama menjalankan pengawasan ketat atas daerah-daerah yang ada dibawah
kekuasaannya seperti pernah dilakukan dulu. Kampar di pantai timur Sumatra
telah mengangkat rajanya sendiri dan bahkan Jambi telah mengirim utusannya
sendiri ke Cina. Chou-ju-kua tidak memasukan Jambi ke dalam daftar daerah-
daerah yang ada dibawah kekuasaan San-fot-si. Cukup aneh, Palembang
sendiri termasuk dalam daftar itu. Karena itu timbul masalah apakah pada
waktu itu pusat kekuasaan Sriwijaya bukan lagi di Palembang melainkan di
Jambi.

Demikian jelasnya Sriwijaya, sehingga mempunyai kekuasaan yang


cukup luas mulai ke arah Selat Malaka hingga Selat Sunda. Sriwijaya
berusaha mempertahankan hegemoni perdagangan atas Indonesia, dengan
mengawasi dan menguasai kedua Selat itu, yang harus dilalui oleh semua
perjalanan laut antara India dan Cina. Perkembangan navigasi Arab, dan
perdagangan antara India dan Cina, bersama-sama memberikan arti penting
baru bagi selat itu. Di sini, Sriwijaya menjadi pelabuhan yang wajar bila
disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada musim timur laut. Rupanya pada
waktu inilah, berkembang perdagangan lautan sekaligus dalam
mempertahankan hubungan teraturnya dengan India dan Cina. I-sting
mengatakan bahwa berlayar dari Cina ke Sriwijaya dengan kapal saudagar
Persia, maka pelayaran lanjutannya ke India dengan kapal Raja Sriwijaya.

Untuk itu rupanya beralasan hipotesa yang mengatakan bahwa


prasasti tahun 683 dan 686 menunjukan pada babakan penting tertentu dalam
usaha Raja Jayanasa (atau Jayanaga ), menaklukan Melayu dan mungkin juga
Taruma, dan pencipta politik yang membuat Palembang sampai abad XIII
menjadi pusat kekuatan kerajaan maritim di pulau-pulau itu. Banyak utusan
yang dikirim dari Sriwijaya dan Jawa ke Tiongkok, misalnya dalam abad ke-7
dari Sriwijaya dan dalam abad ke-8 dari Jawa. Utusan-utusan ini membawa
barang-barang yang berharga ke Tiongkok sebagai tanda kebaktian atau upeti.
Kaisar Tiongkok juga sebaliknya memberi barang-barang yang cukup mewah.
Selain itu utusan-utusan dari Indonesia diberi kesempatan berniaga. Kemudian
utusan-utusan tadi diikuti oleh saudagar-saudagar swasta. Penulis sejarah
bangsa Tionghoa mengerti, bahwa penyampaian upeti itu berlangsung karena
ada keuntungan. Pada tahun 1443 Gubernur Canton melaporkan, bahwa
utusan Indonesia memakan biaya negara terlalu banyak, sehingga Kaisar
Tiongkok memberi toleransi kepada Sriwijaya untuk menyampaikan upeti
cukup satu kali dalam setahun.

Kelangsungan kerajaan Sriwijaya lebih tergantung dari pola perdagangan


yang berkembang, sedangkan pola-pola tertentu tidak sepenuhnya dapat
dikuasinya. Terbukti ketika orang Cina mulai ikut berdagang di kawasan
Selatan, peranan Sriwijaya berkurang sebagai pangkalan utama perdagangan
antara Asia Tenggara dengan Cina. Peranan ini semakin berkurang hingga
Cina membawa sendiri keperluan mereka ke negerinya. Tempat-tempat
penghasil barang dagangan yang semula mengumpulkan barang dagangan
mereka ke pelabuhan di daerah kekuasaan Sriwijaya, tidak perlu lagi berbuat
demikian karena para pedagang Cina menyinggahi pelabuhan-pelabuhan
mereka. Pada Abad XII daerah-daerah taklukan Sriwijaya di sepanjang pesisir
selat Malaka, mulai bertindak sebagai negeri yang langsung memberikan upeti
kepada negeri Cina. Kemunduran Sriwijaya juga disebabkan oleh timbulnya
bentrokan dengan kerajaan Mataram Jawa Timur pada abad X. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa posisi Sriwijaya tidaklah sama kedudukannya
di Asia Tenggara dengan satu dua abad sebelumnya. Kerajaan lain di
Indonesia mulai berusaha memperoleh hegemoni yang berada di tangan
Sriwijaya.

Meskipun demikian pad abad XIII Sriwijaya masih dapat berkembang


sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang besar dan kuat, serta
menguasai bagian besar Sumatera, Semenanjung tanah Melayu, dan sebagian
Jawa Barat. Bahkan kerajaan ini menguasai laut dan mengawasi lalu lintas
pelayaran asing di Selat Malaka. Jika ada kapal melalui Selat Malaka tanpa
singgah, lalu diserang dan semua penumpangnya dibunuh .

Kerja sama dengan Cola pada awalnya berjalan dengan baik. Sebagai
contoh Raja Balaputra dari Sriwijaya membangun di Negapatam di pantai
Coromandel, sebuah candi Bhudda yang diberi nama Vihara
Chulamaniwarmadewa. Raja Chola menghadiahkan hasil pajak tahunan
sebuah desa besar untuk memeliharanya. Seperti pemberian Nalanda
sebelumnya yang di Negapatam dibangun untuk melengkapi sebuah tempat
bagi saudagar Sriwijaya yang berdiam dan memuja menurut kepercayaan
agama mereka sendiri. Ini membuktikan pentingnya hubungan dagang antara
Palembang dan Pantai Coromandel, yang membawa perkembangan
perdagangan barang kelontong India di Asia Tenggara.

Dalam memberikan hadiah yang berupa uang, raja-raja Negapatam


menyatakam bahwa Raja Sriwijaya itu termasuk keluarga Sailendra.
Sayangnya tidak ada sebuah catatan pun yang tersisa pada masa
pemerintahannya meskipun kerajaan tersebut berada dalam puncak kekuasaan
dan prestise. Justru informasi yang berkaitan dengan nama raja-raja diketahui
dari sumber. Jadi orang Cina mencatat utusan yang diterima tahun 1008 dari
putera Chulamaniwarmadewa, Maravijayottunggawarman, tetapi tidak
menyebut tahun kematian ayahnya. Dari sumber luar lain juga datang
informasi yang menarik bahwa Sriwijaya masih tetap pusat Budha yang
terkenal Atisa. Riwayat hidup Atisa di Tibet menyebut Sumatra menjadi pusat
terbesar agama Budha dan Dharmakirti merupakan sarjana terbesar masa itu.

1. Sriwijaya dan Jawa

Usaha Sriwijaya untuk menaklukkan bumi Jawa dapat pula ditafsirkan


sebagai usaha memasukkan Selat Sunda, ke dalam kekuasaan Sriwijaya.
Dalam hubungannya dengan Jawa, Sriwijaya berusaha untuk menundukkan
‘Bhumi Jawa’. Diperkirakan Bhumi Jawa yang akan ditundukkannya adalah
Tarumanegara. Meskipun dari Jawa Barat sendiri tidak ada keterangan dari
abad ke-7 ini. Namun, menurut berita Tionghoa, To-lo-mo (Taruma Negara)
dalam tahun 669 masih mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Saingan antara
kedua negara itu sudah wajar terjadi, mengingat masing-masing ingin
menguasai laut sekitar pulau Bangka yang menjadi simpang tiga jalan
pelayaran antara Indonesia- Tiongkok-India. Alasan inilah yang membuat
Sriwijaya terdorong untuk merebut Palembang dan Jambi, dua pelabuhan laut
penting yang terletak di sisi barat jalan pelayaran. Di samping itu Sriwijaya
merebut Bangka yang juga merupakan kunci simpang tiga.

Penaklukkan terhadap Bhumi Jawa termuat dalam prasasti Kota kapur


yang berangka tahun 686 Masehi. Salah satu isinya adalah mengenai usaha
Sriwijaya untuk menaklukkan Bhumi Jawa yang tidak tunduk kepada
Sriwijaya. Menurut G. Coedes, prasasti ini dibuat pada saat tentara Sriwijaya
baru saja berangkat untuk berperang melawan Jawa yaitu kerajaan Taruma.
Tetapi Bochari berpendapat lain bahwa prasasti kota Kapur dikeluarkan
setelah

Tentara Sriwijaya kembali dari usahanya menaklukkan daerah Lampung


Selatan. Sulaeman mendukung pendapat Coedes, dia menduga bahwa melihat
persaingan yang terus-menerus antara Sriwijaya dan Jawa, maka prasasti itu
merupakan bukti usaha Sriwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa
yang sudah ada sejak abad V.Perebutan peran antara Sriwjaya dan Jawa juga
terjadi pada masa Marawijayotunggawarman. Dia tidak mau mengakui
kekuasaan Dharmawangsa, dan ia mengikuti jejak Balaputradewa dengan
mencari persahabatan dengan Kerajaan Colamandala (India).

Pada tahun 1275 “Pamaluyu“ dimulai, yaitu suatu ekspedisi perang dari
Jawa Timur ke Sumatra dengan membawa panji-panji merah dan putih.
Angkatan perang ini bertolak dari Tuban. Sebagai hasil dari ekspedisi ini,
maka kita dapati dalam tahun 1286 sebuah negara Melayu yang takluk kepada
kerajaan Jawa, yang lambat laun mengalahkan Sriwijaya. Pada tahun 1300
Sriwijaya kehilangan tanah genting Kra yang direbut oleh raja Siam. Konflik
Sriwijaya dan Jawa pada abad ke-10 pernah menempatkan Sriwijaya dalam
bahaya besar hingga tahun 1006.

Dharmawangsa memandang Sriwijaya perlu diwaspadai dan diserang.


Ancaman ini tidak membuat gentar Sriwjaya, bahkan dia juga membalas
serangan dengan menghancurkan keratonnya dan mengakibatkan kematian
Dharmawangsa. Kerajaan Jawa Timur laut sementara lenyap. Tempatnya
diambil oleh sejumlah para pemimpin perang, yang masing-masing menjadi
unggul di daerahnya sendiri.

Duta Sriwijaya yang muncul di Istana Kaisar tahun 988 dan kembali
tahun 990, mendengar ketika tiba di Canton bahwa negrinya sedang diserang
oleh orang-orang Jawa. Setelah menunggu satu tahun di Canton, ia berlayar
pulang. Tetapi ketika tiba di Champa mendengar kabar buruk dan ia kembali
lagi ke Cina minta dikeluarkannya pernyataan atau dekrit yang menempatkan
negrinya dibawah pengawasan kaisar. Pada tahun 992 pasukan Jawa muncul
sebelum kaisar mengeluh tentang perang yang berkelanjutan di San-fo-tsi.
Perang itu dikobarkan oleh Dharmawangsa pada abad ke-11.

Raja Jawa Timur mempunyai tujuan menghancurkan Sriwijaya dan


membuat Jawa berkuasa di pulau itu. Sedikit sekali diketahui tentang
peperangan tersebut, meskipun mungkin nampak untuk beberapa tahun
serangan orang Jawa itu membuat Palembang dalam keadaan bahaya maut.
Tetapi mereka dapat dipukul mundur. Kemudian diduga, Sriwijaya dibantu
raja-raja bawahannya dari Semenanjung Melayu, menyusun serangan balasan
besar-besaran dan membakar keraton Dharmawangsa. Ia sendiri terbunuh dan
kerajaannya hancur.18 Keberhasilan Sriwijaya dalam peperangan yang
panjang dengan Dharmawangsa karena hubungan baik bersahabat dengan
Cina disatu pihak dan dengan Chola di India dipihak lain. Jika tidak ada
bantuan, maka serangan Jawa hasilnya tentu akan berbeda. Dalam
mengirimkan upeti ke Cina tahun 1003 Raja Criwijaya mengumumkan bahwa
beliau telah mendirikan candi Budha untuk mendoakan kehidupan Kaisar.

Dari peninggalan budaya Sriwijaya menunjukkan ada hubungan yang erat


antara Sriwijaya dengan Kerajaan Sailendra. Diperkirakan kesenian Sailendra
sejak balaputradewa telah dibawa dan dikembangkan di Sriwijaya. Selain itu,
di gunung tua (Padang Sidempuan ) ditemukan arca perunggu yang
langgamnya sesuai benar dengan langgam Jawa Tengah. Pada lapiknya ada
tulisan yang menyatakan bahwa arca itu dibuat oleh Mpu Surya pada tahun
1024.19 Tentang Sunda diceritakan lebih lanjut, bahwa bandarnya baik sekali,
ladanya dari jenis yang paling baik, rakyatnya bertani dan rumahnya
bertonggak. Sayang bahwa di sana banyak perampok, sehingga perdagangan
tidak lancar.

Chau-ju-kua mengatakan bahwa Sunda pemerintahannya tidak teratur dan


banyak penduduk yang menjadi bajak laut, sehingga menyebabkan tidak ada
kapal dagang yang berani berlabuh di sana. Semua perdagangan antara
Tiongkok dan India harus melalui San-fo-tsi, negeri penguasa selat Malaka
yang tidak ada saingannya. Sebagai akibat penguasaan selat Malaka yang
menghubungkan tidak saja India dan Tiongkok, tetapi juga negeri-negeri
barat, maka San-fo-tsi memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Chau-ju-
kua juga menyebut Sho-po dan Su- ki-tan yang oleh Hirth dan Rockhill
diidentifikasikan dengan Jawa dan Jawa Tengah. Di antara negeri-negeri yang
tunduk pada Su-ki-tan ialah Huang-ma-chu dan Niu-lun yang ditempatkannya
di Maluku. Di samping itu mereka menafsirkan Si-lung sebagai Seran, Ji-li-hu
sebagai Jailolo dan Tan-yu sebagai Ternate. Alasan mereka menempatkan
nama-nama itu di Maluku, ialah berita yan menyebutkan bahwa makanan
penduduknya ialah “sha-hu” yang berupa tepung, yang diambil dari bagian
dalam dari pohon tua. Ucapan Cina sha-hu tidak disukai untuk
diidentifikasikan dengan sagu yang memang digemari oleh orang-orang
Indonesia bagian timur.Berita Tionghoa dari buku Tao-i-chi-lio yang ditulis
oleh Wang-ta- yuan.

Menurut berita dalam bahasa Tionghoa pada tahun 1200 Masehi


menyebutkan bahwa negeri-negeri di luar Tiongkok yang paling kaya adalah
adalah negeri Arab, Jawa dan Sumatra. Jadi, rupanya kerajaan Kediri pada
waktu itu telah mengalahkan kerajaan Sriwijaya.

2. Tradisi Diplomasi dan Pola Pengamanan

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sriwijaya sebagai sebuah negara


maritim yang besar telah mengembangkan ciri-ciri yang khas, yaitu
mengembangkan suatu tradisi diplomasi yang menyebabkan kerajaan
tersebut lebih metropolitan sifatnya. Dalam upaya mempertahankan
peranannya sebagai negara berdagang, Sriwijaya lebih memerlukan
kekuatan militer yang dapat melakukan gerakan ekspedisioner dari pada
negar agraris. 22 Hal ini didukung dengan letaknya yang strategis, yaitu
pada jalan perhubungan laut India–Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa
posisi Sriwijaya jauh lebih lebih baik dari pada kedudukan pulau Jawa
yang agak memojok. Berita-berita dari Tiongkok yang paling tua
menceritakan hal Sumatra, akan tetapi tak memuat apa-apa tentang pulau
Jawa.

Sebelum kerajaan Jawa mengembangkan kekuasaannya, maka


Sriwijaya adalah negara yang utama di Indonesia. Adapun pola
perdagangan Kerajaan Sriwijaya mempunyai sifat yang sama dengan
perdagangan kuno di negeri yang lain. Dalam bentuk hubungan luar
negeri, terlihat bahwa hubungan dengan Cina cukup dominan dan
int`ensif. Dari data yang ada menunjukkan pada abad V Sriwijaya yang
dulu ditafsirkan Kan-t-o-li telah mengirimkan utusan ke Cina sejak abad V
hingga pertengahan abad VI. Pada abad berikutnya Sriwijaya juga sering
mengirimkan utusan ke negeri Cina. Selain dengan Cina, Sriwijaya juga
menjalin persahabatan dengan Bengala dan Cola pada abad IX hingga
abad XI. Bentuk hubungan Sriwijaya dilakukan secara aktif, sehingga
dampak dari hubungan ini adalah menjadikan Sriwijaya sebagai pusat
pengajaran agama Budha. 24 Pada abad ke-11 dengan bantuan raja Cola,
Sriwijaya berhasil mengembalikan kewibawaan Sriwijaya atas jazirah
Malaka, sehingga ia disebut “raja Kataha, yaitu raja Kedah di Malaya dan
Sriwijaya“.

Setelah jalan pelayaran ke negeri Tiongkok semakin dikenal dan


dikembangkan, maka letak geografis pantai timur pulau Sumatra menjadi
bertambah penting. Hegemoni di bagian barat kepulauan Indonesia, mulai
menjadi incaran para raja dan para penguasa setempat yang ingin
menguasai kedudukan yang amat strategis itu. Di dalam sejarah Indonesia,
kekuatan pertama yang berhasil menguasai daerah selat Malaka yang
memegang kunci pelayaran perdagangan baik ke negeri Tiongkok maupun
ke negeri– negeri barat, adalah kerajaan Sriwijaya. Penguasaannya atas
daerah Tanah Genting Kra di Semenanjung Melayu bukan hanya
dimaksudkan untuk mengendalikan lalu lintas laut yang keluar masuk selat
Malaka saja, tetapi juga ditujukan untuk menguasai penyeberangan darat
yang melintas melalui Tanah Genting Kra.

Sriwijaya mengandalkan pada sektor perdagangan dan pelayaran.


Dengan demikian jika suatu negara hidup dari perdagangan, berarti
penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan
tempat barang ditimbun untuk diperdagangkan. Penguasan jalur
perdagangan dan pelabuhan ini dengan sendirinya memerlukan
pengawasan langsung dari penguasa. Sriwijaya tumbuh karena memang di
sekitar area itu tidak ada alternatif lain. Berkat armadanya yang kuat ia
berhasil menguasai daerah yang potensial dapat menjadi saingannya.
Dengan cara ini ia menyalurkan barang dagangannya ke pelabuhan yang
dikuasainya. Perdagangan dengan Cina dan India telah memberikan
keuntungan besar kepada Sriwijaya. Kerajaan ini telah berhasil
mengumpulkan kekayaan yang besar. Raja Sriwijaya termashur karena
kekayaannya, sehingga kekayaan kerajaan itu suatu hal yang banyak
dipercakapkan banyak orang. Selain itu untuk menjamin perdagangan di
wilayahnya juga memenuhi kewajibannya kepada mereka yang berdagang
dengannya, yaitu memastikan jalur pelayarannya aman dari bajak laut.
Sampai abad ke-10, Sriwijaya mampu mengatasi gangguan keamanan
sehingga tidak ada keluhan berkaitan dengan bajak laut.

Pola pengamanan yang dilakukan adalah memasukkan kepala bajak


laut dalam ikatan dengan kerajaan. Mereka mendapatkan bagian yang
ditentukan oleh raja dari hasil perdagangan. Dengan demikian mereka
menjadi bagian dari organisasi perdagangan kerajaan. Cara ini menjadikan
bajak laut sebagai pengaman jalur-jalur pelayaran. Metode ini efektif bila
raja mempunyai kewibawaan riil, dan ini dimiliki oleh Sriwijaya.
Kewibawan yang dimiliki antara lain adalah hasil diplomasinya dengan
Cina (halaman 78). Sriwijaya merupakan sebuah negara yang mengirim
upeti ke negara Cina, sehingga Cina berkewajiban memberi perlindungan
jika diperlukan. Hubungan dengan Cina tersebut tentu disebarluaskan dan
menjadi suatu faktor pencegah keinginan merugikan Sriwijaya oleh
negara-negar lain, khususnya di Asia Tenggara. Walaupun hal ini tidak
dapat mencegah serangan dari raja Cola.

Untuk kepentingan perdagangan, Sriwijaya tidak keberatan mengakui


Cina sebagai negara yang berhak menerima upeti. Ini adalah sebagian
usaha diplomatiknya untuk menjamin agar Cina tidak membuka
perdagangan lain dengan negara lain di Asia Tenggara, sehingga akan
merugikan perdagangan Asia Tenggara. Demikian baiknya kedudukan
Sriwijaya dalam perdagangan dengan Cina hingga melalui perutusannya ia
dapat mengusulkan beberapa perubahan terhadap perlakuan para pejabat
perdagangan Cina di Kanton terhadap barang- barang Sriwijaya yang
dirasakan merugikan. 26

Sementara itu Sriwijaya tetap menjadi pusat agama Budha yang


mempunyai nilai Internasional. Dari tahun 1011 M hingga tahun 1023 M
di Sriwijaya telah tinggal seorang bhiksu dari Tibet bernama Atica, untuk
menimba ilmu. Dari raja Sriwijaya ia diberi hadiah sebuah kitab agama
Budha. 27 Di ibu kota Sriwijaya terdapat lebih dari seribu pendeta Budha,
dimana aturan dan upacara mereka sama dengan yang ada di India.

Pelayaran teratur antara Sriwijaya dengan pulau-pulau Indonesia


dilakukan antara Malaka dan Anam. Di samping itu Sriwijaya juga
menyelenggarakan pelayaran ke India. Pada masa itu, pelayaran hanya
dilakukan di dalam wilayah Indonesia saja, yaitu dari Maluku ke Malaka,
suatu prestasi yang besar, karena jaraknya cukup panjang yaitu
seperdelapan dari lingkaran bumi.

Hingga permulaan abad XI kerajaan Sriwijaya masih merupakan


pusat pengajaran agama Budha yang bertaraf internasional. Raja Sri
Cudamaniwarman yang masih keturunan raja Sailendra dalam
menghadapi ancaman di Asia Tenggara menjalin persahabatan
dengan Cina dan Cola. Pada tahun 1003, raja tersebut mengirim dua
utusan ke Cina untuk membawa upeti. Adapun hubungan persahabatan
antara Sriwijaya dengan Cola tidak berlangsung lama, terbukti pada tahun
1017 raja Cola menyerang Sriwijaya. Pada serangan yang kedua, raja
Rajendracola pada tahun 1825 raja Sriwijaya dapat ditawan oleh tentara
Cola. Meskipun demikian Sriwijaya tidak menjadi daerah jajahan kerajaan
Cola. Serangan dari raja Cola tidak membuat Sriwijaya jatuh, bahkan
sebaliknya, mampu membangun kembali negara agar menjadi besar.
Kebesaran Sriwijaya dibuktikan dengan adanya bangunan suci di Jambi
yang mungkin lebih besar dari Borobudur, tetapi yang tinggal hanyalah
sebuah stupa dan makara-makaranya saja, salah satu diantaranya memuat
angka tahun 1064. Menilik corak dan bentuk stupa dan makaranya,
cenderung serupa dengan apa yang terdapat di Jawa Tengah Selatan.

3. Masa keruntuhan sriwijaya

Pada masa kepemimpinan Balaputradewa sebagai raja kesepuluh,


Sriwijaya mencapai titik kejayaannya. Akan tetapi, saat periode itu juga
Sriwijaya kehilangan kekuasannya di Jawa, tercatat di Prasasti Nalanda
yang ditemukan di India. Setelah itu, Kerajaa n Medang dari Jawa
menyerang Sriwijaya pada 990-an. Munoz (2006) menerangkan, serangan
ini terjadi pada 988 hingga 992, tepat ketika Sri Cudamani Warmadewa
memimpin. Akan tetapi, Sriwijaya berhasil memukul mundur musuhnya
saat itu. Memasuki abad ke-11, Sriwijaya mendapatkan serangan lagi oleh
pihak Kerajaan Chola dari India Selatan. Tepatnya, pada 1017 dan 1025,
Raja Rajendra Chola I mengirim pasukan dan berhasil menduduki
beberapa daerah kekuasaan Sriwijaya. Penyerangan ini terjadi ketika
Sangrama-Vijayottunggawarman memimpin Sriwijaya. Secara perlahan,
Chola berhasil mempengaruhi kekuasaan raja baru. Menurut Sastri K. A.
N dalam The Cholas (1935), beberapa kerajaan bawahan Sriwijaya yang
telah ditaklukan boleh memerintah, namun tetap harus tunduk pada pihak
Chola. Akibatnya, kekuatan Sriwijaya berkurang.

Dalam tulisan Pengaruh Geohistori pada Kerajaan Sriwijaya, I


Nyoman Bayu Pramartha menerangkan, Sriwijaya telah berusaha
mendapatkan kembali pamornya sebagai penguasa Sumatera, namun tidak
bisa seperti sebelumnya. Selain diserang kerajaan lain, kondisi alam juga
mempengaruhi runtuhnya Sriwijaya. Menurut Daljoeni dalam Geografi
Kesejarahan II (1982), Sumatera adalah daerah dengan curah hujan tinggi
melebihi kemampuan penguapan. Air meresap terlalu dalam hingga
kesuburan tanah berkurang. Bahkan, terdapat juga air yang tidak terserap
hingga membawa material daratan ke Sungai Musi, Palembang.
Akibatnya, sungai menjadi dangkal dan daratan kurang produktif. Selain
tidak bisa menghasilkan produk untuk konsumsi, Sriwijaya perlahan
kehilangan akses perdagangannya di Sungai Musi. Jalan yang sebelumnya
menjadi ladang emas terhambat hingga akhirnya berhenti. Turunnya
kekuatan Sriwijaya dalam bertahan hidup lebih diperparah ketika
masuknya Islam di Aceh. Pada abad ke-13, Kerajaan Samudera Pasai hadir
di bagian Sumatera bagian utara dan menjadi pusat perdagangan. Menurut
catatan Cina, Sriwijaya menyisakan kekuasaan di sekitar Palembang yang
saat itu bernama Kerajaan Palembang. Kabar terakhir dari kerajaan ini ke
pihak luar ketika mengirim utusan ke Cina pada 1374 dan 1375. Faktanya,
kerajaan di Palembang ini akhirnya hancur pada 1377 karena diserang oleh
Kerajaan Majapahit.

A. Kerajaan melayu di sumatra


Dari kitab sejarah dinasti Tang kita menjumpai untuk pertama
kalinya pemberitaan tentang datangnya utusan dari daerah Mo-lo-yeu di
Cina pada tahun 644 dan 645. Nama Mo-lo-yeu ini mungkin dapat
dihubungkan dengan kerajaan Melayu, yang letaknya di Pantai Timur
Sumatra dengan pusatnya di sekitar Jambi. Sekitar tahun 672 Masehi I-
tsing seorang pendeta Budha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton
menuju India, singgah di She-li-fo-she (Sriwijaya) selama enam bulan
untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Dari She-li-fo-she It- sing berlayar
ke Melayu dengan menggunakan kapal raja. Ia tinggal di Melayu selama
dua bulan. Selanjutnya ia berlayar ke Kedah selama lima belas hari. Pada
bulan ke-12 ia meninggalkan Kedah menuju ke Nalanda, ia berlayar
selama dua bulan.
Ketika kembali dari Nalanda pada tahun 685, It-sing singgah lagi
di Kedah. Kemudian pada musim dingin ia berlayar ke Mo-la-cu yang
sekarang telah menjadi Fo-she-to dan tinggal di sini selama pertengahan
musim panas, lalu ia berlayar selama satu bulan menuju Kanton. Dari
keterangan tadi dapat disimpulkan bahwa sekitar tahun 685 kerajaan
Sriwijaya telah mengembangkan kekuasaannya , dan salah satu negara
yang ditaklukkannya adalah Melayu. Dari studi tentang pelayaran
menyusuri pantai Champa dan Annam menunjukkan adanya beberapa
toponim pada pantai-pantai itu yang berasal dari bahasa Melayu. Pendapat
ini memperkuat dugaan kita bahwa pelayaran ke negeri Tiongkok
dilakukan oleh kapal-kapal dari pelaut-pelaut Melayu. I-Tsing dalam salah
satu bukunya yang ia selesaikan antara tahun 690 ada keterangan yang
menyatakan bahwa sementara itu Melayu telah menjadi kerajaan
Sriwijaya. 31 . Sementara itu perdagangan berpindah tempat. Mula-mula
kedudukan Sriwijaya diganti oleh Malayu (Jambi ), yang juga berkuasa di
semenanjung Malaka dan mengirimkan utusan-utusan ke Tiongkok. Akan
tetapi Malayu lalu memindahkan pusat kekuasaannya ke daerah
pedalaman, yaitu ke Minangkabau, sehingga pengawasan terhadap Selat
Malaka berkurang.

1. Hubungan Kerajaan Melayu dengan yang Lain

Setelah ditaklukkan Sriwijaya pada tahun 685, nama Melayu


menjadi hilang, dan baru muncul pada pertengahan terakhir abad ke-13. Di
dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama disebutkan bahwa pada tahun
1275 Raja Kertanagera mengirimkan tentaranya ke Melayu. Pengiriman
pasukan ini dikenal dengan sebutan Pamalayu. Letak Malayu yang sangat
strategis di pantai Timur Sumatera dekat Selat Malaka, memegang peranan
penting dalam dunia pelayaran dan perdagangan melalui Selat Malaka
yaitu antara India dan Cina dengan beberapa daerah di Indonesia bagian
Timur. Sementara itu pengaruh kerajaan Mongol sudah tidak terbendung
lagi. Pada tahun 1280, 1281, 1286 dan terakhir tahun 1289 Kubhilai Khan
mengirimkan utusan ke Singasari minta agar raja Kertanegara mau
mengakui kekuasaannya. Tetapi semua perutusan tadi diusir kembali
setelah mukanya dirusak. Negarakertagama mengatakan bahwa expedisi
tahun 1292 itu bukan saja menuju Melayu tetapi juga ke pantai barat
Kalimantan dan Semenanjung Malayu. Disebutkan bahwa, Kertanegara
telah mendapat Bakulapura yaitu Tanjungpuri di Kalimantan dan Pahang,
nama yang dipakai untuk seluruh bagian selatan Malaya pada jaman
Prapanca..34 Ekspedisi Pamalayu mempunyai hubungan erat dengan
ekspansi kerajaan Mongol yang sedang giat dilancarkan oleh Kubhilai
Khan untuk menguasai daerah Asia Tenggara dan juga dalam rangka
politik perluasan kekuasaan kerajaan Singasari.

Ekspedisi ini berhasil menjalin hubungan persahabatan antara


Singasari dan Melayu. Untuk mempererat hubungan ini pada tahun 1208 S
atau 1286 Masehi raja Sri Kertanegara, mengirimkan sebuah arca Buddha
Amoghapasalokeswara beserta empat belas pengiringnya ke Melayu
(suvarnabhumi) sebagai hadiah. 35 Penempatan arca ini di Dharmasraya
dipimpin oleh 4 orang pejabat tinggi dari Jawa. Pemberian hadiah ini
membuat seluruh rakyat Malayu sangat bergirang hati terutama rajanya
yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa. Keterangan
mengenai hadiah dari raja Kertanegara ini tertulis pada lapik (alas)arca
Amoghpasa itu sendiri. Arca ini diketemukan kembali di daerah sungai
Langsat dekat Sijunjung, di daerah hulu sungai Batanghari. Menurut
Krom, tahun 1275 ia mengirim ekspedisi besar yang dikenal sebagai
Pamalayu, untuk memulai menaklukan pulau itu, dan ekspedisi itu belum
kembali sampai tahun 1293 yaitu tahun kematiannya. Tahun 1286
penaklukan itu berhasil baik sehingga ia mengirim tiruan patung ayahnya
Visnhu vardhana di Candi Jago untuk ditempatkan dengan hikmat di
Dharmasraya di kerajaan Melayu untuk menjamin hubungan antara
kerajaan itu sebagai kerajaan bawahannya, dan dinastinya melalui
pemujaan nenek-moyang.

Dalam menggambarkan delapan kerajaan Sumatra itu Marco Polo


memberikan kesan bahwa itu adalah reruntuhan sebuah kerajaan. Dan
meskipun Kertanegara dan Singhasari tiba-tiba berakhir tahun 1292, ketika
diserbu oleh ekspedisi besar dari Cina yang bertujuan untuk memberikan
hukuman, yang dikirim oleh Kubilai Khan, baik Melayu maupun
Palembang tidak dalam keadaan mampu melaksanakan oprasi yang
bertujuan mempertahankan miliknya. Melayu adalah satu-satunya negara
Sumatra yang amat penting dalam abad XIV, dan beberapa tulisan
menunjukan bahwa Melayu masih merupakan tempat pengungsian
kebudayaan “ Hindu “.
Tetapi tidak lagi sebagai kerajaan internasional yang besar.Setelah
peristiwa ini, kita tidak memperoleh keterangan lainnya mengenai keadaan
di Sumatera, baru kemudian pada masa pemerintahan
Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350) kita
memperoleh sedikit keterangan tentang daerah Melayu. Rupa-rupanya
kerajaan Malayu ini muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera,
sedangkan Sriwijaya setelah adanya ekspedisi Pamalayu dari raja
Kertanegara, tidak terdengar lagi beritanya. Adityawarman yang kemudian
memerintah sebagian besar Sumatra dan dengan kebajikan perkawinan
ganda ibunya dianggap sebagai anak tertua dari ayahnya yang orang
Sumatra itu pada waktu itu dan “anak bungsu” dari Kertarajasa. Ia
dibesarkan di Keraton Majapahit dan bertugas sebagai Komandan tentara
Jawa yang mengalahkan Bali.

Tahun 1343 ia mengabdikan di Candi Jago sebuah patung


Manjusri, yaitu Bodhisattwa yang berjuang melawan kebodohan.
Stutterheim menginterprestasikan ini sebagai suatu gambaran pembinaan
dimasa mudanya di istana. Segera setelah itu ia memerintah di Melayu, di
sana mungkin ia menggantikan ayahnya. Beliau tidak berusaha
menghidupkan lagi kekuasaan di laut yang dulu pernah dipegang oleh
Sriwijaya, tetapi memusatkan dirinya terutama pada perluasan
kekuasaannya di beberapa bagian daratan Sumatra. Untuk mengekalkan
kekuasan Majapahit di Bali, maka perlu ada pemerintahan yang lebih
langsung. Atas dasar ini Gajah Mada memutuskan untuk menempatkan
Adityawarman di Melayu. Pada mulanya di Majapahit Adityawarman
menjabat sebagai wrddhamantri dengan gelar arrya dewaraja pu Aditya..
Segera setelah Adityawarman tiba di Sumatra, ia menyusun kembali
pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal dari tahun 1286. Ia
memperluas kekuasaannya sampaai daerah Pagarruyung (Minangkabau),
dan mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun
terhadap Rajapatni ia masih tetap mengaku dirinya sang mantri yang
masih terkemuka dan masih sedarah dengan raja putri itu.
Berkaitan dengan hubungan kerjasama antara Sumatra dengan
Majapahit, hanya sedikit saja yang diketahui kembalinya ekspedisi
Pamalayu Kertanegara itu. Tetapi dari apa yang telah diketahui, rupanya
menentukan pencantuman nama pulau itu dalam Negarakertagama sebagai
tanda berada dalam kekuasaan Majapahit tahun 1365. Abad sebelumnya
telah diketahui munculnya Melayu di Palembang. Kepada Kepala Negara
yang terdahululah Kertanegara mengirimkan patung Amoghaphasa yang
banyak dibicarakan itu. Pada Tahun 1286, ketika persiapan pendirian
“persekutuan suci“ untuk menentang ancaman Mongol, Raja
Mauliwarnadewa yang bertakhta waktu itu mengirim dua orang putri ke
Majapahit bersama kembalinya armada Pamalayu. Salah seorang
diantaranya bernama Dara Perak, yang kawin dengan Kertarajasa
Jayawardhana dan menjadi ibu dari Jayanegara. Yang lain bernama Dara
Jingga menurut Stutterheim, kawin dengan salah seorang keluarga keraton
dan melahirkan seorang putera yang menggantikan Mauliwardhana
melalui upacara.Adapun Hubungan antara Melayu dengan Sriwijaya dapat
diketahui melalui Prasasti yang ditinggalkan. Menurut J.L Moens prasasti
Kedukan Bukit dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Sriwijaya
terhadap Melayu. Karena ibukota Melayu itu di Palembang, maka
kemenangan Sriwijaya atas Melayu dapat juga dikatakan sebagai
penguasaan daerah Palembang atas Sriwijaya.

B. Kerajaan Samudra dan Majapahit

Tekad Gajah Mada menguasai Nusantara menjadikannya mencoba


melebarkan kekuasan melalui deklarasi Sumpah Palapa. Hal ini
dilakukannya demi membesarkan nama Kerajaan Majapahit. Tetapi ada
beberapa wilayah yang mencoba dikuasai kendati tak disebutkan Gajah
Mada di Sumpah Palapa-nya.Pada Sumpah Palapa yang diucapkannya,
Gajah Mada menyebut target wilayah seperti Gurun, Seran (Seram),
Tanjungpura, Kalimantan, Haru (Sumatera Utara), Pahang Malaysia,
Dompo Sumbawa, Bali, Sunda, Palembang Sriwijaya, Tumasik Singapura.
Di luar wilayah tersebut ada wilayah yang seharusnya tidak masuk target
Sumpah Palapa tetapi mencoba dikuasai oleh pasukan Kerajaan
Majapahit.Salah satu yang dikuasai Majapahit adalah wilayah Kerajaan
Samudera Pasai di Lhokseumawe, Aceh. Sebagaimana dikutip dari buku
"Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada" tulisan Sri Wintala Achmad,
Kerajaan Samudra Pasai pernah mendapat serangan dari Majapahit yang
diperkirakan pada 1345 atau 1350. Saat itu pemerintahan Majapahit tengah
dipimpin raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi yang memerintah pada
1328 - 1350. Sementara raja Hayam Wuruk naik tahta pada 1350,
sehingga amat dimungkinkan serangan yang coba dibangun Majapahit ke
Aceh juga saat awal - awal pemerintahan Hayam Wuruk.

Di mana saat itu Sumpah Palapa Gajah Mada telah diwujudkan


dengan jalan peperangan.Saat itu Kesultanan Samudra Pasai yang tengah
dipimpin Sultan Ahmad Malik az-Zahir mendapat serangan dari Kerajaan
Majapahit yang membuat sang raja meninggalkan ibu kota kesultanan.
Sejak saat itu pula, Samudra Pasai mengalami keterpurukan. Kebangkitan
Samudra baru muncul saat dipimpin oleh Sultan Zain al-Abidin Malik az-
Zahir pada 1383 - 1405. Keberadaan Kesultanan Samudra Pasai ini
dikisahkan pula melalui kitab Rihlah ila I-Masyirq karya Abu Abdullah
ibn Batuthah pada 1304 - 1368. Meski demikian belum banyak bukti
sejarah yang dapat digunakan para sejarawan dalam menelusuri jejak
sejarah Kesultanan Samudra Pasai. Para sejarawan banyak menggali
tentang sejarah Samudra Pasai melalui naskah di Hikayat Raja - Raja
Pasai.

C. Kerajaan Majapahit

Politik Ekspansi Majapahit Politik ekspansi merupakan usaha


untuk memperluas wilayah kekuasaan atau membentuk jaringan kerajaan
vasal untuk memperoleh upeti dari komoditas daerah tertentu. Selain itu,
ada alasan yang tidak kalah penting dalam politik ekspansi ini, yaitu untuk
memperoleh kontrol atas pelabuhan-pelabuhan dagang di Asia Tenggara.
Adapun bentuk dari ekspansi ini adalah dengan perang atau menjadikan
seorang putri dari pempimpin suatu daerah untuk dijadikan selir.
Sehingga, hal ini dapat membuat suatu daerah tunduk atau mengakui
kekuasaan kerajaan Majapahit.Setiap kerajaan pastinya akan melakukan
politik ekspansi dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan. Hal ini juga
berlaku pada kerajaan Majapahit. Politik ekspansi yang terjadi di
Majapahit berawal ketika masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi.
Pada saat itu, ada seorang yang bernama Gajah Mada. Dia membuat
sumpah yang terkenal sampai saat ini yaitu Sumpah Palapa yang berbunyi
“Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan istirahat. Jika
Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, telah tunduk, saya baru akan istirahat.” (Muljana,
2005: 249). Gajah Mada mengucapkan sumpah tersebut dihadapan raja
dan para pembesar Majapahit.

Diplomasi Era Majapahit Kerajaan Majapahit terletak di daerah


Trowulan (mojokerto), kerajaan ini merupakan kerajaan terbesar di
Indonesia. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan kepulauan yang luas.
Sebelum Majapahit berdiri, kerajaan yang berpengaruh pada saat itu
adalah Singasari. Pengaruh kerajaan Singasari membuatnya menjadi
kerajaan yang dapat diperhitungkan. Majapahit mencapai masa
keemasannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Ini juga terjaid
berkat bantuan patih agung Majapahit, Gajah Mada. Hayam Wuruk
bergelar Sri Rajasanegara. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan
bahwa Majapahit memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, hampir
seluruh wilayah Nusantar berhasil dipersatukan kecuali Pajajaran.
Pajajaran berusaha ditaklukan dengan cara perkawinan politik antara
Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka. Tetapi mengalami kegagalan karena
terjadi Peristiwa Bubat (1357). Gajah Mada melakukan penakluakan di
berbagai wilayah nusantara. Penaklukan dilakukan baik melalui militer
maupun dengan cara diplomatik. Selain itu pernikahan antar keluarga raja
juga menjadi jalan untuk beraliansi dengan kerajaan-kerajaan kecil.Pada
tahun 1364 Gajah Mada meninggal dunia, kemudian tahun 1389 Hayam
Wuruk juga meninggal duni. Meninggalnya kedua tokoh penting ini
mengakibatkan Majapahit mengalami kemunduran. Sepeninggal mereka,
di dalam Majapahit sendiri juga terjadi perebutan kekuasaan yang
membuat semakin melemahnya kerajaan dan juga Majapahit mulai
tersaingi dengan adanya kesultanan Malaka.

2. POlA PENGAMANAN LAUT


Beberapa faktor yang menyebabkan Majapahit mengembangkan
kekuatan Maritim: - Perhubungan di laut Asia Selatan dan Timur yang
makin meningkat. Jalur tersebut ramai dilalui para pedagang yang
melakukan transaksi jual beli di jalur-jalur internasional. - Di kawasan
Asia Tenggara perdagangan laut juga meningkat. Sebabnya adalah di
kawasan ini terdapat beberapa kerajaan besar yang punya wilayah
kekuasaan yang luas. - Makin banyaknya kapal-kapal dari Nusantara
ataupun luar Nusantara yang singgah di kota-kota pelabuhan Majapahit
seperti Tuban, Lasem, dan Gresik. Ini memunculkan kesadaran tentang
adanya wilayah-wilayah lain di luar pulau Jawa yang harus mereka kuasai.

Dalam menjamin keamanan laut, Kerajaan Majapahit


menyinergikan tradisi pelayaran-perniagaan sungai dan tradisi agraris
dengan potensi kemaritiman yang telah dikuasai melalui tradisi
kemaritiman Kediri yaitu dengan mengirim wali negeri, adipati atau
menteri ke daerah takluk untuk mempertegas kekuasaan dan memungut
pajak serta membangun bandar2 militer untuk melindungi jalur2
perdagangannya. Kerajaaan Majapahit menguasai wilayahnya melalui
kebiasaan persuasif, namun apabila cara tersebut tidak berhasil maka
kekuatan militer yang digunakan. kebiasaan tsb melahirkan hukum adat
penguasaan wilayah yang memberikan kebebasan pada daerah taklukan
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, namun harus tetap
menunjukkan kepatuhan pada pemerintah pusat majapahit dengan
membayar upeti atau uang takluk dan mengirimkan utusan pada waktu2
tertentu sbg tanda takluk dibawah kekuasaan majapahit. majapahit juga
memiliki pengaruh keras terhadap pengaruh asing, dibuktikan dengan
kuatnya angkatan laut kerajaan untuk melakukan ekpedisi, pengawasan,
dan bertindak thd negara asing yg hendak mencampuri keadaan dalam
negeri kerajaan majapahit.
3. MASA KELABU MAJAPAHIT

Sejak kepemimpinan Wikramawardhana, makin lama Majapahit


menjadi memudar apalagi terjadi :

a.perang saudara

b.Hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar Ibu Kota Majapahit

c.Penyebaran agama Islam ± 1400 berpusat di Malaka

d.Munculnya beberapa Kerajaan Islam yang menentang kedaulatan


Majapahit

4. SEKTOR PERDAGANGAN

Jawa dan Nusantara pada umumnya terletak di jalur pelayaran dan


perdagangan yang strategis. Nusantara tidak menjadi bagian tak
terpisahkan dari jalur perdagangan yang dikenal dengan jalur sutera. Jadi,
tidak heran bila wilayah-wilayah Nusantara sudah memiliki hubungan
dengan daerah luar Nusantara terutama India dan Cina.Berdasarkan data
temuan, hubungan dagang antara Nusantara dengan Cina baru berlangsung
sejak abad 9-10 Masehi.
Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan keramik Cina yang
berasal dari dinasti Tang yang tersebar di daerah Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi. Pelabuhan Hujung Galuh menjadi pelabuhan perniagaan antar
pulau.Letaknya diperkirakan di Surabaya. Kalau Hujung Galuh sebagai
pelabuhan antar pulau maka pelabuhan antar Negara terdapat di Kambang
Putih yaitu di atau dekat Tuban sekarang.Pada masa pemerintahan
Airlangga untuk memajukan perdagangan dilakukan dengan penghapusan
berbagai jenis pajak. Orang- orang asing yang berdagang berasal dari
India, Burma, Sailan, Kamboja, Campa.
Kota-kota maritim dipantai Utara Jawa
1. Ketika Kerajaan Majapahit jatuh, salah satu harta kekayaan yang
dibawa ke Demak adalah pusaka kerajaan yang berbentuk seperti batu.
Pemindahan batu itu dipercayakan pada burung Bangau. Sampai di
suatu daerah, burung Bangau diolok-olok oleh anak-anak
penggembala. Burung Bangau marah, akhirnya jatuhlah batu pusaka
Kerajaan Majapahit. Dalam sejarah Tuban tahun 1400 saka, yaitu
tentang Watu Tiban. Ada sebuah watu yang jatuh dari angkasa
(meteor) berupa gumpalan watu. Oleh orang Hindu dan Buddha, batu
diukir menjadi persembahan/pemujaan. Dengan demikian, Tuban
berasal dari "Wa (Tu) Ti (ban)". Tuban juga berasal dari istilah "Metu
Banyune". Raden Dandang Wacana, Bupati Pertama Tuban, menerima
petunjuk membuka hutan Papringan untuk dijadikan pusat
pemerintahan (sekarang Bektiharjo).

Keberadaan Tuban telah disebut-sebut dalam prasasti sekitar 1050


hingga abad XIII. Tuban merupakan pelabuhan utama kerajaan Hindu
Buddha di pedalaman Jawa Timur. Raja Airlangga (1019-1041)
mendirikan sebuah pelabuhan samudra di Kembang Putih, suatu
tempat yang menjadi cikal bakal Kota Tuban. Pelabuhan ini
berkembang menjadi pemukiman. Pada masa Kerajaan Majapahit,
Tuban adalah kota bawahan kerajaan tersebut dan telah menjadi kota
bandar pelabuhan terkenal. Pada masa itu, hubungan dengan dunia
internasional telah terjadi. Para pedagang dan saudagar dari
mancanegara datang dengan kapal-kapal laut membawa barang
dagangan. Beberapa diantaranya merupakan saudagar muslim dan para
mubaligh untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa.Hingga sekitar abad
XV, Tuban merupakan pelabuhan utama Majapahit. Sekitar
pertengahan abad XV, keberadaan Tuban disaingi Surabaya dan
Gresik Keberadaan Tuban sebagai satu-satunya pelabuhan yang
mempertahankan monopoli perdagangan di Jawa berlangsung sampai
sekitar 1400. Setelah masa tersebut, Tuban bersama-sama dengan kota-
kota pelabuhan di Jawa menjalin jaringan antara satu dengan yang lain.
Pada masa penyebaran agama Islam, Tuban menjadi pintu dan
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, baik
pedalaman maupun pesisir.

2. Sejak zaman Majapahit, Gresik telah menjadi pelabuhan dagang dan


pelabuhan nelayan. Pada abad ke-16 M, Gresik berkembang menjadi
pelabuhan dagang besar yang ramai didatangi saudagar asing.
Kedudukan pelabuhan Gresik yang berada di tengah jalur pelayaran
dari selat Malaka menuju Maluku, membuatnya menjadi bandar
transit, yang berperan penting sebagai pintu perputaran komoditas,
sehingga para pedagang tidak perlu singgah ke pelabuhan lain untuk
menukar barang dagangan yang dibawa dari wilayah asalnya. Pesatnya
perkembangan perdagangan maritim tersebut tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh kejayaan Kerajaan Giri yang mencapai puncaknya pada
tahun 1548-1605 M di bawah kekuasaan Sunan Prapen. Seiring
meluasnya pengaruh Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran Islam
pada saat itu, pelabuhan Gresik semakin ramai didatangi para
pedagang dari berbagai wilayah, khususnya Nusantara bagian Timur,
yang juga ingin mempelajari Islam ke Giri. Penelitian ini berusaha
menjawab permasalahan bagaimana bentuk kegiatan perdagangan
maritim dan faktor-faktor yang menjadikan pelabuhan Gresik sebagai
bandar dagang terbesar pada masa itu. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan menggunakan metode sejarah, yang
meliputi heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan). Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan ekonomi-politik, adapun teori yang
dipakai adalah teori keunggulan mutlak (absolute advantage) dari
Adam Smith atau sering disebut sebagai teori murni perdagangan
internasional. Dari hasil penelitian ini, dapat dijelaskan bahwa
perdagangan maritim berkembang pesat karena pelabuhan Gresik
memperoleh kesempatan yang baik karena letaknya yang tepat berada
di tepi jalur besar perdagangan laut sangat menguntungkan. Di
samping itu, Gresik merupakan salah satu titik pertemuan jalur-jalur
laut yang menyusuri pantai utara dan selatan pulau Madura. Komoditas
yang ditawarkan pada pelabuhan ini mayoritas bukan merupakan
komoditas asli yang dihasilkan dari kota Gresik. Besarnya daya beli
masyarakat, ditambah beragamnya komoditas dagang yang terdapat di
Pelabuhan Gresik, membuat para pedagang tidak perlu singgah di
pelabuhan lain untuk menukar barang dagangan yang dibawa dari
wilayah asalnya. Perdagangan dengan sistem resiprokal, redistribusi,
dan pasar merupakan bentuk perdagangan yang dilakukan di
Pelabuhan Gresik. Sumber-sumber pendapatan perdagangan Pelabuhan
Gresik diperoleh dari komoditas yang diperjual-belikan, seperti beras,
rempah-rempah, bahan makanan, logam, besi, binatang ternak, tekstil,
dan keramik. Selain itu, industri perkapalan yang berkembang pesat
juga merupakan sumber pendapatan yang penting.

3. Letak Demak yang tidak terlalu jauh dari pantai menjadikan kota ini
banyak dikunjungi oleh para pedagang, diperkirakan sudah sejak abad
ke-14. Namun hingga sekarang pengetahuan kita tentang kota Demak
hanya terbatas pada kedudukannya sebagai pusat politik kerajaan Islam
pertama di Jawa. Dan belum banyak hal yang diungkapkan tentang
perannya dalam jalur rempah.

Catatan dari Tomé Pires juga memperlihatkan bahwa kota ini


ramai disambangi orang-orang asing. Orang Persia, Arab, Gujarat,
Melayu, dan Cina. Selain itu, banyak sekali orang Muslim yang ada di
kota Demak kala Pires berkunjung ke sana. Demak tumbuh besar dan
menjadi salah satu kota terkaya di pesisir utara Pulau Jawa (Cortesao
1967).Orang-orang asing yang datang umumnya adalah para saudagar.
Sebagian dari mereka memutuskan menetap dan kawin-mawin dengan
orang sekitar. Sarana peribadatan, terutama masjid, semakin banyak
ditemui di Demak.

Tak heran bila Walisongo menjadikan kota ini sebagai pusat


penyebaran agama Islam.Apalagi, menurut sejarahnya, Islam dan
pedagang Islam adalah hasil peradaban kota. Oleh karena itu dapat
dimengerti mengapa orang-orang Islam yang datang ke Demak dan kota-
kota pantai di Jawa umumnya adalah pedagang, atau menjalankan dua
aktivitas sekaligus, yaitu menyebarkan agama dan berniaga.Sebagai satu-
satunya ibukota kerajaan di Jawa Tengah yang terletak di pesisir, Demak
sudah unggul secara geografis. Inilah yang menarik orang-orang
berdatangan, terutama orang-orang Islam. Di samping itu menarik untuk
diketahui bahwa ketika Demak runtuh, raja-raja Mataram tidak lagi
memilih pusat pemerintahannya di wilayah pesisir, melainkan di
pedalaman. Demak jelas menjadi semakin kuat di pesisir.Memang belum
banyak literatur yang memaparkan sejak kapan Demak telah menduduki
tempat penting di aspek perdagangan. Sumber cukup kuat mengenai
Demak di kancah perdagangan internasinoal barangkali berasal dari
prasasti zaman Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.

Disebutkan bahwa nama Demak (Dmak) menjadi salah satu dari 33


pangkalan dari jaringan Iintas air pada masa itu.Sebuah peta kuno juga
memperlihatkan bahwa Demak menjadi simpul penting dalam lalu lintas
perdagangan di jalur rempah. Terdapat kota-kota dengan menara berwarna
merah. Kota itu adalah banten, Daramayo (Indramayu), Dama (Demak),
dan Iapara (Jepara). Peta ini berbahasa Latin dan sepertinya menjadi peta
yang digunakan oleh pelayar-pelayar asing dalam menapaktilasi kota-kota
pelabuhan besar, di mana Demak menjadi salah satunya.Kemudian, pada
abad ke-16 Demak juga menjadi tempat penimbunan komoditi
perdagangan padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sekitarnya.
Peranan Demak sebagai pusat kegiatan ekonomi pertanian menjadi
semakin penting, terutama ketika kota Juwana yang terletak di sebelah
timurnya dihancurkan oleh penguasa Majapahit terakhir sekitar tahun
1513. Juwana semula merupakan kota Pelabuhan dengan Pati sebagai
ibukotanya. Sama seperti halnya kota pelabuhan Jepara dengan Demak
sebagai ibukotanya.Menurut cerita, kota Juwana dan Pati merupakan
wilayah Sandang Garba, yang berarti “raja kaum pedagang”. Sebutan ini
mengindikasikan bahwa kota tersebut dulunya merupakan kota pelabuhan
yang cukup penting.

Oleh karena itu keruntuhan Juwana mengakibatkan Demak secara


penuh mendominasi perekonomian di pesisir utara Jawa, khususnya di
selat sebelah selatan Pegunungan Muria.Keterangan secara umum
mengenai komoditi yang diperdagangkan di Demak sebagian dapat
diketahui dari catatan Pires. Dikatakan bahwa komoditi utama yang
menjadi ekspor kerajaan Demak adalah beras dan bahan-bahan makanan
yang lain. Tempat tujuan ekspor komoditas tersebut terutama adalah
Malaka. Tidak ada penjelasan lebih detail mengenai bahan-bahan makanan
yang lain. Juga tidak disebutkan jenis barang-barang yang didatangkan
dari negeri asing. Meskipun begitu, secara umum dikatakan bahwa barang
dagangan dikonsumsi dalam jumlah yang besar di negeri ini. Barang-
barang tersebut berasal dari Gujarat, Keling, Cina, dan Bengala (Cortesao
1967:186).Pires menyebutkan bahwa surplus hasil panen kerajaan Demak
diangkut ke Malaka dengan kapal jung dan pangajava (Cortesao
1967:186). Dengan demikian cukup jelas bahwa kedua jenis angkutan air
tersebut mempunyai ukuran yang cukup besar dan kedua-keduanya dapat
masuk kategori perahu-muatan-barang (kargo).Tentang wilayah dan
penduduk Demak pada awal abad ke-16 terdapat sedikit keterangan dari
Pires. Disebutkan bahwa wilayah Demak tergolong lebih besar daripada
kota-kota pantai lain di sekitarnya. Kotanya memiliki delapan sampai
sepuluh ribu rumah (Cortesao 1967:184). Berdasarkan keterangan ini,
tentu tidak dapat segera diperkirakan jumlah penduduknya, tetapi jika
diandaikan setiap rumah terdiri dari 5 orang, maka penduduk Demak pada
waktu itu berkisar antara 40.000 hingga 50.000 orang, suatu jumlah yang
cukup masuk akal untuk kota Demak pada waktu itu (Rahardjo &
Ramelan, 1997).Lebih lanjut, Schrieke menelusuri sejumlah keterangan
menyangkut kondisi wilayah dan sistem jalan darat maupun air di daerah
Jawa (1959:97-129).

Dikemukakannya, bahwa pada masa Mataram Islam, daerah pesisir


terbagi menjadi dua oleh sungai Serang (Tedung) yang mengalir ke laut.
Sungai ini terletak antara Demak dan Jepara sehingga wilayah pesisir ini
terbagi dua menjadi wilayah timur dan wilayah barat. lni berarti ada jalan
air yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lalu lintas dari wilayah
pedalaman ke wilayah hilir dan sebaiknya. Sementara itu sejumlah
wilayah pemukiman dihubungkan satu dengan yang lain dengan jalan-
jalan darat. Dari daerah pedalaman (wilayah Mataram) terdapat jalan
menuju ke pantai utara, yaitu ke pelabuhan Semarang (sebelumnya adalah
Demak).Sementara untuk melakukan transaksi, mata uang Cina
merupakan media tukar-menukar yang penting bagi standar nilai barang-
barang yang dipertukarkan. Memang nilai tukar mata uang tersebut
terhadap barang yang tertukar tidak selalu sama dari tempat ke tempat,
tetapi mata uang tersebut diterima secara umum sebagai alat bayar di dunia
internasional.

Keruntuhan Kerajaan Demak Kematian Adipati Unus ternyata


menjadi awal dari perselisihan keluarga kerajaan. Berdasarkan catatan
Alik Al Adhim dalam Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Sultan Trenggana
dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin dinobatkan menjadi pemimpin
Demak setelah kematian Pangeran Sabrang Lor pada 1521. Akan tetapi,
diceritakan juga bahwa Sultan Trenggana membunuh Pangeran Sekar
menjadi kandidat kedua raja Demak sebelum pelantikan tersebut. Pangeran
Sekar ini belakangan disebut sebagai Pangeran Sekar Seda Ing Lepen,
karena ia meninggal di tepi sungai. Dalam jurnal Konflik Politik Kerajaan
Demak Setelah Wafatnya Sultan Trenggono Tahun 1546-1549,
Muhammad Yusuf, Sumarno, dan Sri Handayani, menyebutkan, Pangeran
Sekar dibunuh melalui tangan Sultan Prawoto, anak Sultan Trenggana,
yang menitahkan seorang utusan. Kendati Sultan Trenggana berhasil
menjadi Sultan Demak yang ketiga, dendam dari anak Pangeran Sekar
tidak dapat dihapuskan. Masih dalam jurnal tersebut, diungkapkan Arya
Panangsang, putra dari Pangeran Sekar, berusaha menuntut balas kematian
orangtuanya dengan dibantu Sunan Kudus sebagai gurunya.

Berita kematian Sultan Trenggana tersiar pada 1546 M. Menurut


H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa
(2001:89), Trenggana meninggal karena ditusuk anak umur 10 tahun.
Kejadian sebenarnya, bocah tersebut sedang menguping rapat perang dan
mendapat teguran dari Raja Demak. Akan tetapi, bocah itu malah menusuk
dada Trenggana dengan pisau hingga tewas. Sultan Prawoto sebagai ahli
waris raja ketiga, kini menempati posisinya sebagai pemimpin keempat
Kesultanan Demak. Melalui catatannya, Manuel Pinto yang berasal dari
Portugis mengungkapkan, kepala Demak baru ini berniat menyebarkan
agama Islam ke seluruh Jawa. Dari cita-citanya ini, akhirnya ia lebih
terlihat seperti seorang pemuka agama dibanding pemimpin sebuah
kerajaan. Bahkan, hal tersebut menyebabkan beberapa wilayah kuasa
Demak melepaskan diri dan menjalankan pemerintahan secara
independen. Krina Bayu Adji dalam Ensiklopedia Raja-Raja Jawa Dari
Klinga Hingga Kasultanan Yogyakarta: Mendedah Kisah dan Biografi
Para Raja Berdasar Fakta Sejarah, mengungkapkan, Arya Panangsang
diperintah Sunan Kudus untuk membunuh Sultan Prawoto dan
mendapatkan kembali tahta Raja Demak. Dalam menjalankan aksinya,
Sunan Kudus merekomendasikan Rangkud kepada Arya Panangsang. Pada
1547, Rangkud berhasil membunuh Prawoto beserta istrinya. Akan tetapi,
pembunuh tersebut juga mati di tempat kejadian perkara.

Kerajaan Banten Sebelum periode Islam, Banten adalah kota


penting yang masih dalam kekuasaan Pajajaran. Pada awalnya, penguasa
Pajajaran bermaksud menjalin kerjasama dengan Portugis untuk
membantunya dalam menghadapi orang Islam di Jawa Tengah yang telah
mengambil alih kekuasaan dari tangan raja-raja bawahan Majapahit.
Namun, sebelum Portugis sempat mengambil manfaat dari perjanjian
dengan mendirikan pos perdagangan, pelabuhan Banten telah diduduki
oleh orang-orang Islam. Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten
pada 1525-1526 M. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten adalah
bagian dari misi Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak untuk mengusir
Portugis dari nusantara. Setelah berhasil menguasai Banten, Sunan
Gunung Jati segera mengambil alih pemerintahan, tetapi tidak mengangkat
dirinya sebagai raja. Pada 1552 M, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon
dan menyerahkan Banten kepada putra keduanya, Sultan Maulana
Hasanuddin.

Sejak saat itu, Sultan Maulana Hasanuddin resmi diangkat sebagai


raja pertama Kerajaan Banten.Setelah menjadi raja, Sultan Maulana
Hasanuddin melanjutkan cita-cita ayahnya untuk meluaskan pengaruh
Islam di tanah Banten. Bahkan Banten mempunyai peranan penting dalam
penyebaran Islam di nusantara, khususnya di wilayah Jawa Barat, Jakarta,
Lampung, dan Sumatera Selatan. Menurut catatan sejarah Banten, sultan
yang berkuasa masih keturunan Nabi Muhammad, sehingga agama Islam
benar-benar menjadi pedoman rakyatnya. Meski ajaran Islam
memengaruhi sebagian besar aspek kehidupan, masyarakatnya telah
menjalankan praktik toleransi terhadap pemeluk agama lain. Terlebih lagi,
banyak orang India, Arab, Cina, Melayu, dan Jawa yang menetap di
Banten. Salah satu bukti toleransi beragama pada masa pemerintahan
Kesultanan Banten adalah dibangunnya sebuah klenteng di pelabuhan
Banten pada 1673 M. Kehidupan sosial masyarakat Banten semakin
makmur pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, sultan
sangat memerhatikan kesejahteraan rakyatnya, salah satu caranya dengan
menerapkan sistem perdagangan bebas.

SEJARAH KERAJAAN CIREBON

Kerajaan Cirebon merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam


ternama yang berasal dari Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada
abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan Cirebon juga merupakan pangkalan
penting yang menghubungkan jalur perdagangan antar pulau. Kesultanan
Cirebon berlokasi di pantai utara pulau Jawa yang menjadi perbatasan
antara wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, ini membuat Kesultanan
Cirebon menjadi pelabuhan sekaligus “jembatan” antara 2 kebudayaan,
yaitu budaya Jawa dan Sunda.Sehingga Kesultanan Cirebon memiliki
suatu kebudayaan yang khas tersendiri, yaitu kebudayaan Cirebon yang
tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah
Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon
mulanya adalah sebuah dukuh kecil yang awalnya didirkan oleh Ki
Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah
perkampungan ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran).Dinamakan Caruban karena di sana ada percampuran para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat,
latar belakang dan mata pencaharian yang berbeda.

Mereka datang dengan tujuan ingin menetap atau hanya


berdagang.Karena awalnya hampir sebagian besar pekerjaan masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan lainnya, seperti
menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai yang bisa
digunakan untuk pembuatan terasi. Lalu ada juga pembuatan petis dan
garam.Air bekas pembuatan terasi inilah akhirnya tercipta nama “Cirebon”
yang berasal dari Cai(air) dan Rebon (udang rebon) yang berkembang
menjadi Cirebon yang kita kenal sekarang ini.Karena memiliki pelabuhan
yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon akhirnya
menjadi sebuah kota besar yang memiliki salah satu pelabuhan penting di
pesisir utara Jawa.Pelabuhan sangat berguna dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan seluruh Nusantara maupun dengan negara
lainnya. Selain itu, Cirebon juga tumbuh menjadi salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat .Pangeran Cakrabuana (1430 –
1479) merupakan keturunan dari kerajaan Pajajaran. Ia adalah putera
pertama dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan istri pertamanya
yang bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden
Walangsungsang(pangeran Cakra Buana) meiliki dua orang saudara
kandung, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.Sebagai anak
laki-laki tertua, seharusnya ia berhak atas tahta kerajaan Pajajaran.

Namun karena ia memeluk agama Islam yang diturunkan oleh


ibunya, posisi sebagai putra mahkota akhirnya digantikan oleh adiknya,
Prabu Surawisesa (anak laki-laki dari prabu Siliwangi dan Istri keduanya
yang bernama Nyai Cantring Manikmayang).Ini dikarenakan pada saat itu
(abad 16) ajaran agama mayoritas di Kerajaan Pajajaran adalah Sunda
Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha.Pangeran
Walangsungsang akhirnya membuat sebuah pedukuhan di daerah Kebon
Pesisir, mendirikan Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi)
membuat Dalem Agung Pakungwati serta membentuk pemerintahan di
Cirebon pada tahun 1430 M.Dengan demikian, Pangeran Walangsungsang
dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon.\Pangeran
Walangsungsang, yang telah selesai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman. Ia lalu tampil sebagai “raja” Cirebon pertama
yang memerintah kerajaan dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.Pendirian
kesultanan Cirebon memiliki hubungan sangat erat dengan keberadaan
Kesultanan Demak.
DAFTAR PUSTAKA

https://123dok.com/article/hubungan-perdagangan-ekspansi-dan-konflik.z3e847eq

https://nasional.okezone.com/read/2021/12/27/337/2522977/misteri-serangan-
majapahit-ke-kesultanan-samudra-pasai-dan-pengkhianatan-sumpah-palapa

https://brainly.co.id/tugas/23676587

https://www.gogle.com/search?
source=univ&tbm=isch&q=masa+kelabu+majapahit&client=firefox-b-

https://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit

https://123dok.com/article/kota-kota-maritim-di-pantai-utara-jawa-
tuban.z3e847eq

https://tirto.id/sejarah-daftar-kerajaan-kerajaan-maritim-islam-di-indonesia-f7Kx

https://tirto.id/sejarah-keruntuhan-kerajaan-demak-penyebab-dan-latar-belakang-
f9LR
https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20210716151215-574-668658/sejarah-
kerajaan-banten-masa-ja

https://www.cirebonkota.go.id/profil/sejarah/sejarah-kerato

Anda mungkin juga menyukai