Biofarmasetika Nasal
Biofarmasetika Nasal
MAKALAH
Disusun Oleh:
Kelompok II
Anggota Kelompok:
Mustakim Masnur
Kathleen Apriana Kristiningrum Jahamou
A. Latar Belakang
Dewasa ini, berbagai macam turunan obat telah dibuat untuk
meningkatkan efektifitas obat. Selain memodifiksi senyawa obat, upaya yang
banyak dilakukan adalah memodifikasi bentuk sediaan dan sistem
penghantaran obat. Upaya ini tidak terlepas dari peran farmasi yang
memanfaatkan ilmu sains dan tehnologi untuk mengatasi ragam penyakit yang
muncul.
a. Hidung
Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung.
Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai
vestibulum. Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat
kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan
dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam
rongga hidung. Septum nasi memisahkan kedua cavum nasi. Struktur ini
tipis terdiri dari tulang dan tulang rawan, sering membengkok kesatu sisi
atau sisi yang lain, dan dilapisi oleh kedua sisinya dengan membran
mukosa. Dinding lateral cavum nasi dibentuk oleh sebagian maxilla,
palatinus, dan os. Sphenoidale. Tulang lengkung yang halus dan melekat
pada dinding lateral dan menonjol ke cavum nasi adalah: conchae superior,
media, dan inferior. Tulang-tulang ini dilapisi oleh membrane mukosa.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale dan os palatinus
sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os
frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian
atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf
khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina
cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I
olfaktorius.
Sinus paranasalis adalah ruang dalam tengkorak yang berhubungan
melalui lubang kedalam cavum nasi, sinus ini dilapisi oleh membrana
mukosa yang bersambungan dengan cavum nasi (Paulsen, Waschke.
2012).
Gambar 1: Anatomi hidung
b. Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesopagus dan larynx. Faring dibagi menjadi 3
bagian yaitu nasofarinx (faring yang mengarah ke cavum nasalis),
orofarinx (faring yang mengarah ke cavum oralis) dan laryngofarinx
(faring yang mengarah larynx)
Gambar 2: Anatomi faring
d. Trachea
Adalah tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan
lebar 2,5 cm. trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada
bagian depan leher dan dibelakang manubrium sterni, berakhir setinggi
angulus sternalis (taut manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira-
kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang
mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 – 20 lingkaran
tak- lengkap yang berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh
jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang
trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
e. Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian
kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan
ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih
pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih
tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat
di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang
dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri
pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke
lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi
bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan
ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai
akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang
tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis
memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh
cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya
dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah
sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru. Alveolus
yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan
respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli
pada dindingnya.
Gambar 4: Anatomi trakea dan bronkus
2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi
untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3)
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi
statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007).
Perkembangan obat akhir-akhir ini diarahkan pada bentuk sediaan obat alternatif
dari parenteral dimana obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik melalui rute bukal,
sublingual, nasal, pulmunory dan vaginal. Rute ini juga digunakan untuk
pengobatan lokal dimana dosis obat dapat dikurangi dan juga mengurangi efek
samping sistemik. Untuk memahami teknologi penghantar obat terdapat beberapa
hal yang harus dimengerti, antara lain :
- Konsep Bioavaibilitas
- Proses Absorpsi obat
- Proses Farmakokinetik
- Waktu untuk terapi yang optimal
- Penghantaran obat yang cocok untuk “ New Biotherapeutis “
- Keterbatasan dari terapi konvensional
Seperti halnya obat yang diberikan secara intranasal adalah untuk efek
lokal seperti obat tetes hidung atau dalam bentuk spray yang biasa digunakan
penderita untuk menghentikan serangan sebagai tindakan pencegahan dengan
cara pemberian obat secara langsung kedalam saluran nafas melalui
penghisapan yang memungkinkan obat langsung mencapai sistemik sehingga
memberikan efek lebih cepat untuk mengatasi serangan. Selain itu dosis yang
diperlukan lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama efek samping
obat minimal karena konsentrasi obat di dalam rendah. Lain halnya jika
pemberian obat secara parenteral atau oral sering menimbulkan efek samping
seperti gangguan gastrointestinal atau efek samping lainnya.
Kelebihan:
Dosis yang diperlukan untuk efek farmakologinya dapat dikurangi
Konsentrasi rendah dalam sirkulasi sistemik dapat mengurangi efek
samping sistemik
Area permukaan untuk absorpsi luas ( 160 cm3 )
Onset of action yang cepat
Aktivitas metabolisme yang rendah dibandingkan peroral, menghindari
reaksi saluran cerna metabolisme hati
Bentuk sediaan alternative, jika tidak dapat digunakan obat saluran cerna
Mudah diakses untuk penghantaran obat
Kekurangan :
Biasanya penbawa obat intranasal berupa spray dengan menggunakan motered dosis
spraymisalnya berupa aerosol yaitu system koloid bahan padat atau cair dalam gas,
sedangkan drop menggunakan penetes.
c. Ukuran molekul
Penyerapan obat melalui rute hidung dipengaruhi oleh ukuran molekul. Obat
lipofilik memiliki hubungan langsung antara MW dan permeasi obat sedangkan
senyawa yang larut dalam air menggambarkan hubungan terbalik. Tingkat
permeasi sangat sensitif terhadap ukuran molekul untuk senyawa dengan MW ≥
300 Dalton.
2. Karakteristik sediaan Obat Intranasal
a. Formulasi (Osmolaritas, pH, Konsentrasi)
Osmolaritas bentuk sediaan mempengaruhi penyerapan obatdi hidung.
Sebagai contoh ialahnatrium klorida yang mempengaruhi penyerapan
hidung. Penyerapan maksimum dicapai dengan konsentrasi natrium
klorida 0.462 M, konsentrasi yang lebih tinggi tidak hanya menyebabkan
bioavailabilitas meningkat tetapi juga mengarah pada toksisitas pada epitel
hidung.
pH sediaan obat dan permukaan hidung dapat mempengaruhi permeasi
obat ini. Untuk menghindari iritasi hidung, pH sediaan obat harus
disesuaikan dengan pH 4,5 - 6,5 karena lisozim ditemukan di sekret
hidung, yang bertanggung jawab untuk menghancurkan bakteri tertentu
pada pH asam. Dalam kondisi basa, lisozim tidak aktif dan jaringan yang
rentan terhadap infeksi mikroba. Selain menghindari iritasi, itu
menghasilkan memperoleh permeasi obat efisien dan mencegah
pertumbuhan bakteri.
Gradien konsentrasi memainkan peran yang sangat penting dalam proses
penyerapan/permeasi obat melalui membran hidung karena kerusakan
mukosa hidung. Contoh untuk ini adalah penyerapan L-Tirosin, dimana
konsentrasi obat dalam percobaan perfusi hidung. Sedangkanpada absorpsi
asam salisilat konsentrasi obatnyamenurun. Penurunan ini kemungkinan
karena kerusakan mukosa hidung yang permanen.
c. Viskositas
Viskositas yang lebih tinggi dari formulasi meningkatkan waktu kontak
antara obat dan mukosa hidung sehingga meningkatkan waktu untuk
permeasi. namun, formulasi sangat kental akan mengganggu fungsi normal
seperti pergerakan silia atau clearance mukosiliar dan dengan demikian
mengubah permeabilitas obat.
c. Permeabilitas membrane
Permeabilitas membran hidung adalah faktor yang paling penting, yang
mempengaruhi penyerapan obat melalui rute hidung. Obat yang larut air
dengan berat molekul yang besar seperti peptida dan protein memiliki
permeabilitas membran yang rendah. Jadi senyawa seperti peptida dan
protein yang utama diserap melalui proses transportasi endocytotic dalam
jumlah rendah. Obat yang larut dalam air dengan berat molekul yang besar
melintasi mukosa hidung secara difusi pasif melalui pori-pori berair
(persimpangan ketat).
d. pH Lingkungan
pH lingkungan memainkan peran penting dalam efisiensi penyerapan obat
intranasal. Senyawa yang larut dalam air seperti asam benzoat, asam
salisilat, dan alkaloid menunjukkan bahwa penyerapan obat
bergantungkepada nilai-nilai pH dimana senyawa ini dalam bentuk tidak
terionisasi. Namun, pada nilai pH dimana senyawa ini sebagian terionisasi,
penyerapan substansial ditemukan.Ini berarti bahwa bentuk lipofilik tidak
terionisasi melintasi penghalang epitel hidung melalui rute transelular,
dimana bentuk terionisasi yang lebih lipofilik melewati rute para cellular
berair.
G. Contoh Sediaan Intranasal
1. Anatomi Paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut.
Selanjutnya pada Groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri
menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea.
Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung
bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal bronchi dan cabang-cabangnya.
Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli
baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga anak
berumur 8 tahun. Ukuran alveol bertambah besar sesuai dengan perkembangan
dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus
tanpa terputus sampai pertumbuhan somatic berhenti.
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,
trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui
paru-paru atau pernafasan external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut.
Pada waktu bernafas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli
dan dapat erat hubungan dengan darah didalam kapiler pulmunaris.
Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen dan
darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian
tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg dan
tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu
hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler
darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar
melalui hidung dan mulut.
2. Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti
yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama
inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga (Price,1994).
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi (Price,1994)
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 ìm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut
besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di
alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103
mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara
inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan
dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus.
Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir (Price,1994).
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama (Tabrani Rab,1996).
I. Mekanisme Absorpsi obat paru-paru
a. sedimentasi gravitasi,
b. impaksi,
c. difusi.
Sebagian besar partikel obat yang lebih besar dipindah-posisikan oleh dua
mekanisme pertama di saluran udara, sementara partikel yang lebih kecil
melewati jalan ke wilayah perifer dari paru-paru dengan cara difusi.
a. Sedimentasi Gravitasi
c. Difusi
Disebabkan oleh gerak Brown. Deposisi dapat terjadi dengan difusi jika
ukuran partikel kurang dari diameter 0,5 mikron. Difusi adalah mekanisme
deposisi untuk partikel kecil. Difusi meningkat dengan penurunan ukuran
partikel dan laju aliran. Deposisi lebih terjadi di wilayah alveoli karena
waktu tinggal lebih lama dan jalan nafas yang lebih kecil.
PENUTUP
A. Kesimpulan
University Press.
IJAP-Vol.5 Issue 3
Evelyn. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Tahun 1992, Hal 219
Paulsen, Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi-23. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Price, S.A., dan Wilson, L.M. (1994). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
376-378, 389-409
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Syaifuddin. 1996. Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat. Jakarta: Penerbit EGC.
Tabrani,rab. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates. Jakarta
WHO, 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja, Penerbit Buku Kedokteran
ECG. Jakarta.