Anda di halaman 1dari 24

ILMU PATOLOGI KLINIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2022


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM PADA


INKOMPATIBILITAS ABO

DISUSUN OLEH :
Dely Sugianto (C11116374)

Vicka Urenza Talebong (C014212169)

A.Muh. Rias Pratama B.P (C014212019)

SUPERVISOR :

dr. Raehana Samad, M.Kes, Sp.PK(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Dely Sugianto (C11116374)


Vicka Urenza Talebong (C014212169)
A. Muh. Rias Pratama B. Parawansa (C014212019)

Judul Referat : Aspek Laboratorium Pada Inkompatibilitas ABO

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2022

Supervisor Pembimbing

dr. Raehana Samad, M.Kes, Sp.PK(K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang
berjudul “Aspek Laboratorium pada Inkompatibilitas ABO”. Referat ini penulis
susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2022.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Tuti Alawiyah selaku


Residen Pembimbing dan dr. Raehana Samad, M.Kes, Sp.PK(K) selaku Supervisor
Pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis dalam melaksanakan
kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca.

Akhir kata penulis berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui tentang “Aspek Laboratorium pada
Inkompatibilitas ABO”.

Makassar, Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN..............................................................................................1
II. EPIDEMIOLOGI ...............................................................................................3
III. ETIOLOGI .........................................................................................................5
IV. PATOFISIOLOGI ..............................................................................................8
V. MANIFESTASI KLINIS .................................................................................10
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ............................................................11
VII. TATALAKSANA ............................................................................................15
VIII. PENCEGAHAN ...............................................................................................16
IX. PENUTUP ........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................19

iv
ASPEK LABORATORIUM PADA INKOMPATIBILITAS ABO

I. PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi dan ilmu biologi molekuler sangat membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupannya, khususnya pada bidang kesehatan. Dampak yang bisa
diihat dari kemajuan tersebut adalah munculnya berbagai sistem pemeriksaan yang
menunjang para klinisi untuk mendapatkan hasil pemeriksaan fisiologi tubuh maupun
menentukan diagnosis yang tepat terhadap suatu kelainan patologis pada tubuh
manusia. Salah satu sistem pemeriksaan yang bernilai vital bagi keberlagsungan hidup
pasien adalah sistem penggolongan darah ABO. Sistem ABO adalah sistem
penggolongan darah yang didasarkan pada keberadaan antigen dan antibodi pada tubuh
manusia. Antigen adalah suatu substansi yang ada di permukaan eritrosit yang menjadi
penentu golongan darah.
Sistem ABO dikenal ada dua antigen yang dapat menentukan golongan darah,
yaitu antigen A dan antigen B. Antibodi dapat ditemukan pada serum darah manusia
yang mana pada penggolongan darah secara ABO tidak mungkin pada suatu tubuh
seseorang terdapat antigen dan antibodi yang sejenis karena dapat berakibat fatal.
Sistem penggolongan darah ABO ini diharapkan dapat memudahkan para klinisi untuk
menentukan darah yang cocok pada pasien jika terjadi suatu keadaan yang
mengharuskan pasien mendapat donor darah dari orang lain.
Inkompatibilitas ABO merupakan hasil reaksi karena adanya ikatan antibodi
plasma dengan eritrosit. Reaksi ini dapat terjadi pada kasus transfusi darah, kehamilan
dan transplantasi organ. Etiologi inkompatibilitas ABO secara garis besar adalah
munculnya reaksi ikatan antibodi dan antigen karena golongan darah yang tidak
kompatibel (Poole 2001).
Haemolytic disease of newborn (HDN) merupakan kondisi yang paling sering
terjadi akibat inkompatibilitas ABO. Inkompatibilitas ABO juga dapat muncul sebagai
reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik akut yang merupakan kondisi yang fatal dan
dapat menyebabkan kematian. Bentuk inkompatibilitas ABO yang lainnya yaitu dalam
proses transplantasi organ, dimana penyebab terjadinya sedikit berbeda yaitu
merupakan reaksi hiperakut karena adanya antibodi yang telah terbentuk sebelum

1
proses transplantasi pada penerima donor, mengikat antigen sel-sel donor (Gerald
Sandler 2021; Kimball 2019; Subramanian et al. 2012).
Inkompatibilitas golongan darah ini disebabkan oleh pengikatan antibodi plasma
dengan antigen eritrosit, sehingga menyebabkan reaksi. Dalam tes laboratorium reaksi
ini adalah yang paling umumnya divisualisasikan dengan aglutinasi dari eritrosit.
Reaksi antigen-antibodi dapat terjadi sebagai konsekuensi yang merugikan dari
transfusi darah atau kehamilan yang mengakibatkan kerusakan eritrosit dipercepat.
Penting untuk mendeteksi ketidaksesuaian antara plasma pasien dan eritrosit dari donor
darah potensial sebelum transfusi, untuk menghindari reaksi transfusi.

2
I. EPIDEMIOLOGI

Inkompatibilitas ABO seluruh dunia memiliki frekuensi yang berbeda di setiap


negara, dikarenakan golongan darah ABO memiliki jumlah populasi yang berbeda
disetiap negara. Golongan darah O merupakan yang paling umum dijumpai mengalami
inkompatibilitas di dunia, namun di Afrika dan Eropa golongan darah A memiliki
angka kejadian inkompatibilitas yang cukup luas, sedangkan golongan darah B tercatat
tinggi di populasi negara Asia.
Angka kejadian inkompatibilitas ABO pada kehamilan yaitu 12–15 % dari setiap
kehamilan, dengan angka 3- 4% yang mensensitisasi janin dan < 1% yang
mengakibatkan hemolisis berat pada neonatus tetapi menyumbang ⅔ dari kasus
hemolitik yang diamati pada neonatus (Kimball 2019; Lady Gomella, G. Eyal, and E.
Zenk 2004; Simmons and Savage 2015). Epidemiologi global inkompatibilitas ABO
pada ibu dan bayi terjadi pada 1 dari setiap 5 kehamilan pada orang kaukasia. Insiden
HDN karena inkompatibilitas ABO di Inggris yaitu 2% pada setiap kelahiran dengan
0,03% yang mengalami hemolisis berat.
Insiden HDN karena inkompatibilitas ABO pada orang kulit hitam tercatat lebih
tinggi dibanding ras kaukasia yang disebabkan oleh prevalensi dan titer yang lebih
tinggi dari antibodi anti-A dan anti-B pada orang kulit hitam. Kasus akut hemolitik
karena transfusi yang dimediasi oleh imun yang dapat berakibat fatal di Amerika
Serikat didapatkan frekuensi 1 kasus per 250.000 – 600.000 populasi, sedangkan untuk
akut hemolitik yang tidak fatal memiliki frekuensi kejadian 1 kasus pe 6.000–33.000
populasi (Akanmu et al. 2015; Gerald Sandler 2021). Data epidemiologi nasional
mengenai inkompatibilitas ABO di Indonesia belum tersedia.
Inkompatibilitas ABO pada transfusi dapat menyebabkan reaksi hemolitik akut
yang merupakan reaksi transfusi akut yang berat dan fatal. Individu yang selamat dari
reaksi akut ini, berpotensi mengalami gagal ginjal dan disseminated intravascular
coagulation (DIC) serta risiko kematian ikut meningkat bersamaan dengan jumlah
volume darah yang tidak kompatibel yang ditransfusikan.
HDN secara klinis terjadi ikterus yang signifikan (kadar total bilirubin >12
mg/dl) terjadi pada 4% dari kehamilan. Sebagian besar kasus bermanifestasi sebagai
hiperbilirubinemia neonatal pada 24 jam pertama kelahiran. Therapeutic plasma
exchange diperlukan pada 1 kasus per 1.000–4.000 kehamilan.
Sebelum diperkenalkannya intervensi berupa therapeutic plasma exchange pada
3
tahun 1945 oleh Wallerstain, angka kematian perinatal mencapai 50% dan setelah ada
intervensi menjadi 25% dan setelah dikenalkannya transfusi intraperitoneal oleh
William Liley pada tahun 1963 dan intravaskuler transfusi oleh Rodeck pada tahun
1981, mengurangi angka morbiditas dan mortalitas sampai pada angka 16% (Gerald
Sandler 2021; Nagashree et al. 2019; Wagle 2017).

4
II. ETIOLOGI

A. Penyebab reaksi hemolitik akut karena ABO transfusi darah yang tidak
kompatibel:
1. Kesalahan identifikasi (nursing error)
Pada kasus ini pasien mendapatkan darah yang keliru oleh karena
perawat tidak mencocokkan label pada darah dengan identitas pasien pada
gelang yang digunakan oleh pasien, selain itu menanyakan ke pasien apakah
nama pasien benar atau tidak, dimana seharusnya tidak boleh dilakukan, jadi
seharusnya biarkan pasien yang menyebutkan namanya sendiri.
2. Label sampel darah tertukar (phlebotomist error)
Label sampel dapat tertukar akibat banyaknya pasien yang memerlukan
komponen darah. Akibatnya adalah pasien mendapatkan sample darah keliru
dan dampak yang ditimbulkan juga sangat fatal
3. Kesalahan saat mengambil sample (phlebotomist error)
Darah yang diambil oleh petugas kesehatan adalah darah orang lain
sehingga akan menimbulkan dampak yang fatal. Contoh kasus di klinik adalah
petugas kesehatan mengambil darah penunggu pasien akibat penunggu pasien
tidur di bangsal dan petugas kesehatan tidak menanyakan siapa nama
seseorang yang tidur di bangsal tersebut untuk memastikan apakah dia pasien
atau penunggu pasien.
4. Kekeliruan saat uji pretransfusi (laboratory error)
Contoh kasus di klinik adalah kesalahan identitas sampel pasien,
sehingga sampel yang digunakan tidak sesuai identitas. Semua kesalahan
diatas akan memberikan dampak yang sangat fatal dimana pada akhirnya
pasien akan mendapatkan komponen darah yang tidak pas sehingga akan
menimbulkan reaksi transfusi hemolitik yang sangat berat.

B. Reaksi Hemolitik Transfusi


Reaksi hemolitik akibat transfusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu
reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) yang
terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR)
dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR) dan
non-imun (non- immunemediated hemolysis) (Strobel 2008).

5
Reaksi hemolitik akut atau AHTR umumnya disebabkan oleh kesalahan
dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah
resipien dan donor (crossmatch). Proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah
(intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang
mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major incompatability) yang
berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM)
anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Reaksi hemolitik lambat atau DHTR
diawali dengan reaksi antigen berupa eritrosit donor dan respons antibodi yang
terjadi di intravaskuler dan berlanjut ke ekstravaskuler. Plasma donor yang
mengandung eritrosit berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien.
Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh
makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1atau IgG3) tanpa
melibatkan komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut akan dibawa oleh
sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa (Akbar, Ritchie, and Sari 2019).

C. Reaksi Imunitas Antigen dan Antibodi


Sistem penggolongan darah secara ABO merupakan sistem penggolongan
terpenting karena menyebabkan beberapa reaksi hemolitik saat transfusi darah
serta dapat menyebabkan HDN. Sistem penggolongan ABO merupakan satu-
satunya yang memiliki antigen dan antibodi sekaligus. Setiap individu mempunyai
antibodi (isohemagglutinins) dalam plasma darahnya dan antigen eritrosit.
Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi anti-B, golongan
darah B memiliki antigen B dan antibodi anti-A. Golongan darah AB memiliki
antigen A dan antigen B tetapi tidak memiliki antibodi pada serumnya. Golongan
darah O tidah memiliki antigen pada permukaan eritrositnya tapi memiliki
antibodies anti-A dan antibodi anti-B (Strobel 2008)
Pengecekan golongan darah berfungsi untuk mencegah reaksi transfusi
yang dapat menyebabkan inkompatibilitas ABO antara pasien dan pendonor.
Inkompatibilitas ABO dapat disebabkan karena interaksi antara antigen dan
antibodi yang menimbulkan aglutinasi. Aglutinasi berupa perlekatan antara antigen
yang terdapat pada permukaan RBCs dan antibodi pada plasma sehingga
menyebabkan suatu anyaman yang menyebabkan sel-sel darah terjerat dan
mengelompok. Aglutinasi ini terjadi melalui 2 tahap yaitu perlekatan antigen dan
antibodi saat pertama bertemu. Pada tahap ini aglutinasi belum terjadi, tetapi hanya
6
menyelubungi sel. Tahap kedua berupa terbentuknya anyaman menimbulkan
gumpalan (aglutinasi) (Mulyantari and Yasa 2016).

7
III. PATOFISIOLOGI

Antigen dari grup A dan B yang tidak sesuai akan berinteraksi dengan Antibodi
IgM pada resipien. Kedua antibodi tersebut akan mengaktivasi komplemen melalui
jalur klasik. Komplemen C5 dan C9 yang teraktivasi akan mengaktifkan membran
attack complex yang akan melubangi eritrosit. Lubang tersebut akan memudahkan ion
masuk ke eritrosit yang akan menyebabkan pembengkakan dan lisis dari sel. Akibatnya
adalah terjadinya hemolisis yang akan meningkatkan kadar hemoglobin bebas dalam
pembuluh darah. Hemoglobin akan bergabung dengan plasma protein haptoglobin yang
membentuk kompleks yang akan dibersihkan oleh mononuklear. Dampak dari
hemoglobin bebas ini akan mengakibatkan vasokonstriksi ginjal melalui jalur nitrit
oksida. Akibatnya dapat terjadi nekrosis tubular akut dan gagal ginjal(Poole 2001; R.
Panch, Montemayor-Gracia, and G. Klein 2019).
Aktivasi komplemen yang inkomplit menghasilkan anafilotoksin C3a dan C5a,
yang akan mengaktivasi sel mast dan akan mengeluarkan histamin dan serotonin. Sel
darah yang hemolisis bersama sel mast, anafilotoksin serta monosit dan leukosit yang
teraktivasi akan mengeluarkan sitokin proinflamasi dan kemokin (TNF Alfa dan IL-8).
Akibatnya adalah meningkatkan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, hipotensi, demam
dan DIC. Pada kasus yang lebih berat dapat mengakibatkan syok, kegagalan multi
organ, dan kematian.

Gambar 1. Patofisiologi Hemolisis Intravaskular

8
Aktivasi komplemen jalur inkomplit juga akan menghancurkan eritrosit yang
tidak sesuai melalui opsonisasi C3b dan eritrofagositosis oleh makrofag pada hati dan
limpa. Eritrosit yang telah dilapisi IgM dan komplemen C3b akan difagositosis oleh
makrofag. Fagositosis dapat terjadi secara komplit atau sebagian. Apabila fagositosis
terjadi secara sebagian maka akan melepaskan membran eritrosit dan menghasilkan
sferosit dan mikrosferosit. Sferosit lebih kaku dibandingkan sel biasanya karena
kehilangan protein dan lipid sehingga mudah untuk hancur. Destruksi ekstravaskular
ini akan menghasilkan pemecahan hemoglobin berupa bilirubin dan urobilinogen.
Reaksi hemolisis ini dapat terjadi 3 sampai 30 hari pasca transfusi, tetapi juga dapat
terjadi lebih cepat (Poole 2001; R. Panch et al. 2019)

Gambar 2. Patofisiologi Hemolisis Ekstravaskular

9
IV. MANIFESTASI KLINIS

Transfusi darah merupakan terapi yang umum dilakukan di rumah sakit, akan
tetapi juga memiliki beberapa masalah. Reaksi yang tidak diharapkan dapat terjadi, dan
yang paling serius adalah kerusakan eritrosit karena sensitisasi eritrosit oleh antibodi.
Efek samping yang paling parah adalah hemolisis intravaskular yang dapat terjadi
sangat cepat dan sangat fatal. Hal ini dapat terjadi karena inkompatibilitas ABO. Hal
ini dapat terjadi karena transfusi golongan darah A, B, dan AB ke resipien golongan
darah O; golongan darah A atau AB ke resipien golongan darah B; golongan darah B
atau AB ke resipien golongan darah A (Poole 2001).
Gejala paling sering pasien dengan inkompatibilitas ABO adalah demam,
menggigil, nyeri punggung, kulit memerah dan hematuria. Selain itu, pada kasus yang
berat dapat menyebabkan agitasi, dispneu, takikardi, hipotensi, hipertensi, gagal ginjal,
dan kejang. Gejala dapat bervariasi tergantung jumlah darah yang ditransfusi. Pada
pasien yang mendapatkan darah lebih dari 50 mL dikaitkan dengan reaksi yang lebih
berat, termasuk kematian (Poole 2001; R. Panch et al. 2019).

10
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A. Uji Crossmatch
Uji Crossmatch atau uji silang serasi merupakan pemeriksaan utama sebelum
transfusi darah. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencocokkan darah resipien dengan
pendonor. Pemeriksaan ini merupakan reaksi silang in vitro dan mampu menunjukkan
inkompatibilitas ABO dan adanya antibodi yang signifikan terhadap antigen eritrosit.
Tes ini dapat mencegah reaksi transfusi yang tidak diinginkan akibat inkompatibilitas
ABO. Reaksi transfusi yang dapat terjadi apabila terjadi kesalahan transfusi adalah
anemia hemolitik yang berat hingga kematian.
Pemeriksaan crossmatch secara serologis dibagi atas immediate spin
crossmatch dan antiglobulin crossmatch. Antiglobulin crossmatch dapat dilakukan
dengan cara tube test ataupun dengan column agglutination test. Pemeriksaan dengan
immediate spin crossmatch harus dilakukan skrining antibodi sebelumnya karena
pemeriksaan ini kurang adekuat untuk mendeteksi jenis IgG antibodi yang bermakna
secara klinis.
Uji crossmatch dengan metode tabung atau tube test memiliki 3 jenis
pemeriksaan, yaitu Major crossmatch, dan minor crossmatch, dan autocontrol.
1. Major Crossmatch, merupakan pemeriksaan paling penting untuk mencari
antibodi pada resipien terhadap antigen eritrosit yang akan ditransfusi.
Pemeriksaan ini membutuhkan serum dari resipien dan eritrosit dari pendonor
2. Minor Crossmatch, merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi pada
serum pendonor terhadap eritrosit resipien. Pemeriksaan ini membutuhkan
serum dari donor dan eritrosit dari resipien.
3. Autocontrol menggunakan serum dari resipien terhadap eritrosit resipien
(Nanda 2017; Putri Wirawati 2018; Zhabrina 2017).

11
Gambar 3. Uji Crossmatch
Prinsip dasar pemeriksaan metode tabung adanya reaksi antigen antibodi
pada fase dan medium yang berbeda. Antibodi golongan darah memiliki berbagai jenis
dengan karakter yang berbeda. Pemeriksaan ini memiliki 3 fase yang bertujuan untuk
mendeteksi antibodi sesuai dengan karakteristiknya. Kasus inkompatibilitas ABO
terdeteksi pada fase I pemeriksaan ini.
Fase I pemeriksaan ini dilakukan pada suhu kamar dengan medium salin.
Fase ini akan mendeteksi adanya antibodi yang komplit berupa IgM apabila terjadi
inkompatibilitas ABO. Fase ini juga dapat mendeteksi aloantibodi berupa anti M, Anti
Lewis, anti N, anti P1, anti A1 dan autoantibodi seperti anti-H, dan anti-I.
Fase II merupakan inkubasi pada suhu 37˚C pada medium bovin albumin.
Suhu 37˚C bertujuan untuk memberi kesempatan untuk antibodi melapisi sel. Fase ini
dapat mendeteksi antibodi sistem Rhesus seperti anti D, anti E, anti c. pemeriksaan ini
juga memeriksa antibodi inkomplit seperti anti-K, Fya, Fyb, Jka, S, Lea , Leb.
Fase III yaitu fase antiglobulin atau dikenal juga sebagai Indirect
antiglobulin test (IAT), atau Anti Human Globulin (AHG). Antibodi inkomplit yang
telah diikat eritrosit pada fase II akan beraglutinasi baik setelah penambahan Coombs
serum. Fase ini akan terdeteksi aglutinasi antibodi inkomplit seperti anti D, anti E, anti
C, anti Duffy, anti Kell, anti Kidd, anti S dan lain-lain.
Interpretasi hasil adalah apabila crossmatch mayor dan minor tidak
menunjukkan aglutinasi atau aglutinasi negatif adalah hasil diinterpretasikan sebagai
kompatibel atau cocok. Aglutinasi positif menunjukkan bahwa terjadi inkompatibilitas
antara donor dan resipien. Hasil positif berarti darah tidak dapat ditransfusikan (Putri
Wirawati 2018).
12
B. Pemeriksaan Darah Rutin
Dalam setiap kasus reaksi transfusi akut, hemolisis harus dikecualikan
(atau dibuktikan) segera. Cara termudah adalah dengan sentrifugasi sampel darah
EDTA pasien, lalu periksa lapisan supernatan. Lapisan supernatan bening dan
kemerahan, dicurigai bahwa terdapat hemoglobin bebas dalam jumlah besar dan harus
dites menggunakan strip. Untuk menghindari hemolisis palsu, pengambilan sampel
darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati serta hindari menghisap sampel dengan
kuat.. Hemoglobin bebas > 50 mg/dl biasanya dapat dikenali dengan warna plasma
yang kemerahan. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, hemoglobin bebas dalam plasma
pasien dapat diukur secara kuantitatif di laboratorium (Strobel 2008).
Pemeriksaan darah rutin bertujuan untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, eritrosit, leukosit, dan platelet dalam darah. Hasil yang abnormal
menunjukkan kemungkinan hemolisis, kelainan darah, atau infeksi. Inkompatibilitas
ABO akan mengakibatkan hemoglobinemia, penurunan kadar hematokrit, penurunan
kadar retikulosit. Pemeriksaan darah rutin juga dilakukan untuk melihat Mean
Corpuscular Volume (MCV) atau rata-rata ukuran eritrosit sebagai data penunjang
dalam menentukan kemungkinan penyebab anemia (R. Panch et al. 2019; Simmons
and Savage 2015).
C. Bilirubin
Bilirubin merupakan hasil katabolisme dari hemoglobin. Bilirubin
merupakan penanda hemolisis ekstravaskular dan intravaskular. Peningkatan bilirubin
terjadi 1 jam setelah hemolisis akut, dengan kadar punvak pada plasma 5 – 7 jam dan
akan normal 1 hari setelah kejadian. Kasus hemolisis akan meningkatkan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah (Barcellini and Fattizzo 2015; Strobel 2008).
D. Haptoglobin
Haptoglobin diproduksi secara primer pada hepar dan berfungsi untuk
mengikat hemoglobin yang bebas akibat lisis eritrosit. Akibatnya, apabila terjadi
hemolisis akibat inkompatibilitas abo, kadar hemoglobin bebas dalam darah akan
meningkat. Kadar hemoglobin bebas yang meningkat akan menurunkan kadar
haptoglobin, sehingga haptoglobin dapat digunakan sebagai penanda hemolisis (Shih,
Mcfarlane, and Verhovsek 2014).

13
E. Faktor Koagulasi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan salah satu
komplikasi dari inkompatibilitas ABO. DIC diakibatkan aktivasi kaskade koagulasi,
sehingga akan mengakibatkan konsumsi berlebihan faktor koagulasi dan penurunan
kadar trombosit. Pemeriksaan yang dianjurkan juga untuk mengetahui terjadinya DIC
adalah PT dan APTT. Kadar Fibrinogen akan meningkat disertai dengan pemanjangan
PT dan APTT. Pasien dengan komplikasi DIC harus ditangani dengan transfusi
komponen darah (Barcellini and Fattizzo 2015; Rutter, Tormey, and Gokhale 2018).
F. Lactate Dehydrogenase
Lactate Dehydrogenase (LDH) adalah enzim yang mengkatalisasi
perubahan laktat menjadi asam piruvat. Enzim ini terletak pada berbagai organ, seperti
jantung, otot hepar, dan otak. LDH dapat diperiksa pada serum karena turnover dari
selular. Eritrosit memiliki isoenzim LDH-1 dan LDH-2. Kondisi hemolisis akan
meningkatkan kadar enzim LDH-1 dan LDH-2. LDH merupakan penanda untuk
respon terapi pasien, karena kadarnya menurun seiring dengan pengurangan kadar
hemolisis. Peningkatan LDH juga dapat terjadi pada beberapa kondisi, seperti infark
miokard akut, gagal jantung, hepatitis, dan keganasan darah (Barcellini and Fattizzo
2015).
G. Hemoglobinuria
Reaksi inkompatibilitas ABO secara intavaskular akan melisiskan eritrosit
dan melepaskan hemoglobin pada intravaskular. Hemoglobin yang berlebihan dalam
darah akan difiltrasi dalam ginjal dan akan dieksresikan melalui urin. Kadar
hemoglobin dalam urin akan meningkat yang akan memberikan tampakan urine
berwarna merah. Hemoglobinuria harus dibedakan dengan hematuria dengan cara
sentrifugasi dari sampel urin yang segar (Barcellini and Fattizzo 2015; Strobel 2008).

14
VI. TATALAKSANA

1. Tatalaksana Umum
Tatalaksana umum yang dapat dilakukan pada kasus inkompatibilitas
ABO secara umum adalah pemberian obat yang bersifat meredakan reaksi alergi
(antihistamin), obat yang menurunkan reaksi inflamasi (steroid), pemberian obat yang
menaikkan tekanan darah, seperti epinefrin apabila penurunan tekanan darah terjadi
secara drastis, serta pemberian cairan fisiologis secara intravena (Akbar et al. 2019).
2. Tatalaksana Inkompatibilitas ABO pada Transfusi
Tatalaksana Inkompatibilitas ABO yang terjadi akibat transfusi darah,
yang harus dilakukan pertama kali adalah menghentikan transfusi darah secepatnya,
kemudian dapat memberikan infus cairan saline yang bertujuan mencegah kegagalan
ginjal pada penderita, pembekuan darah yang berkepanjangan, dan penurunan tekanan
darah yang drastis. Pemberian bikarbonat melalui cairan iv direkomendasikan untuk
mengatasi asidosis dan penggunaan diuresis untuk menstimulasi pengeluaran urin.
Apabila penderita memiliki kecenderungan untuk mengalami DIC, pertimbangkan
transfusi plasma atau trombosit (Akbar et al. 2019; Simmons and Savage 2015).

15
VII. PENCEGAHAN

Inkompatibilitas ABO dapat dicegah oleh dokter atau perawat yang menjalankan
proses transfusi darah. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
inkompatibilitas ABO adalah:
1. Mengidentifikasi golongan darah pendonor organ atau pendonor
darah sesuai dengan golongan darah resipien sebelum transfusi atau
transplantasi menggunakan crossmatch
2. Memberi label golongan darah dengan tepat pada kantong darah
yang disimpan.
3. Memeriksa kembali golongan darah pasien dan kantong darah
sebelum transfusi dilakukan (Simmons and Savage 2015)

16
VIII. PENUTUP

Sistem golongan darah ABO merupakan sistem golongan darah yang terpenting
dalam transfusi. Sistem penggolongan darah ini adalah yang paling imunogenik dari
semua antigen golongan darah. Ketidakcocokan atau inkompatibilitas dalam konteks
golongan darah ini disebabkan oleh pengikatan antibodi plasma dengan antigen
eritrosit, sehingga menyebabkan reaksi. Dalam tes laboratorium reaksi ini adalah yang
paling umumnya divisualisasikan dengan aglutinasi dari eritrosit. Di tubuh, reaksi
antigen-antibodi dapat terjadi sebagai konsekuensi yang merugikan dari transfusi darah
atau kehamilan, mengakibatkan kerusakan eritrosit dipercepat. Oleh karena itu penting
untuk mendeteksi ketidaksesuaian antara plasma pasien dan eritrosit dari donor darah
potensial sebelum transfusi, untuk menghindari reaksi transfusi.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya inkompatibilitas pada sistem
ABO. Yang pertama karena adanya reaksi hemolitik fatal karena ABO transfusi darah
yang tidak kompatibel yang disebabkan karena adanya kesalahan identifikasi (nursing
error), label sample darah tertukar (phlebotomist error), adanya kesalahan saat
mengambil sample (phlebotomist error), adanya kekeliruan saat uji pre-transfusi
(laboratory error). Selain itu, dapat terjadi karena adanya reaksi hemolitik akibat
transfusi dan adanya reaksi imunitas antigen antibodi.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kasus inkompatibilitas ABO adalah
pemberian obat yang bersifat meredakan reaksi alergi (antihistamin), obat yang
menurunkan reaksi inflamasi (steroid), pemberian obat yang menaikkan tekanan darah,
seperti epinefrin apabila penurunan tekanan darah terjadi secara drastis, serta
pemberian cairan fisiologis secara intravena.
Adanya sistem penggolongan darah ABO ini diharapkan dapat memudahkan para
klinisi untuk menentukan darah yang cocok pada pasien jika terjadi suatu keadaan yang
mengharuskan pasien mendapat donor darah dari orang lain. Kenyataannya sistem
penggolongan darah ABO tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Masalah yang
kerap timbul dalam sisem ABO adalah inkompatibilitas sistem ABO atau
ketidakcocokan sistem ABO. Inkompatibilitas ABO dapat dicegah oleh dokter atau
perawat yang menjalankan proses transfusi darah. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk mencegah inkompatibilitas ABO adalah memastikan golongan darah
pendonor organ atau pendonor darah sesuai dengan golongan darah resipien sebelum
17
transfusi atau transplantasi, memberi label golongan darah dengan tepat pada kantong
darah yang disimpan, memeriksa kembali golongan darah pasien dan kantong darah
sebelum transfusi dilakukan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Akanmu, Alani Sulaimon, Olufemi Abiola Oyedeji, Titilope Adenike Adeyemo, and Ann
Abiola Ogbenna. 2015. “Estimating the Risk of ABO Hemolytic Disease of the Newborn
in Lagos.” Journal of Blood Transfusion 2015:1–5. doi: 10.1155/2015/560738.

Akbar, Teuku Ilhami Surya, Ni Ken Ritchie, and Nurmala Sari. 2019. “Inkompatibilitas Abo
Pada Neonatus Di Utd Pmi Kota Banda Aceh Tahun 2018.” Jurnal Averrous 5(2):59. doi:
10.29103/averrous.v5i2.2081.

Barcellini, W., and B. Fattizzo. 2015. “Clinical Applications of Hemolytic Markers in the
Differential Diagnosis and Management of Hemolytic Anemia.” Disease Markers 2015.
doi: 10.1155/2015/635670.

Fasano, Ross, Naomi L.C, and Luban. 2008. “Blood Component Therapy.” Pediatric Clinics
of North America 55(2):421–45. doi: 10.1016/j.pcl.2008.01.006.

Gerald Sandler, S. 2021. “Transfusion Reactions.” La Revue Du Praticien 68(9):1029–33.

Kimball, Chelsey. 2019. “ABO Incompatibility in the Newborn.” Journal of Neonatology


33(1–4):22–25. doi: 10.1177/0973217919908368.

Lady Gomella, Tricia, Fabien G. Eyal, and Karin E. Zenk. 2004. Neonatology: Management,
Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs. Vol. 27.

Mulyantari, Ni Kadek, and I. Wayan Putu Sutirta Yasa. 2016. Laboratorium Pratransfusi Up
Date. 1st ed. Denpasar: Udayana University Press.

Nagashree, U., Swetha P., Sumana Manohar, and Latha Kanchi Parthasarathy. 2019. “ABO
Incompatibility: Its Impact on Pregnancy and Neonate.” International Journal of
Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology 8(2):766. doi: 10.18203/2320-
1770.ijrcog20190321.

Nanda, Maheshwari. 2017. “Pretransfusion or Compatibility Testing.” Pp. 110–16 in Clinical


Pathology, Hematology and Blood Banking.

Poole, Joyce. 2001. “Blood Group Incompability.” International Blood Group Reference
Laboratory, Bristol, UK 50:69–77.

Putri Wirawati, Ida Ayu. 2018. Pemeriksaan Crossmatch. Denpasar.


19
R. Panch, Sandhya, Celina Montemayor-Gracia, and Harvey G. Klein. 2019. “Hemolytic
Transfusion Reactions.” Blood Safety and Surveillance 47–70. doi:
10.1056/NEJMra1802338.

Rutter, Sara, Christopher A. Tormey, and Amit Gokhale. 2018. Noninfectious Complications
of Transfusion: Adverse Events. Elsevier Inc.

Shih, Andrew W. Y., Andrew Mcfarlane, and Madeleine Verhovsek. 2014. “Haptoglobin
Testing in Hemolysis: Measurement and Interpretation.” American Journal of
Hematology 89(4):443–47. doi: 10.1002/ajh.23623.

Simmons, Daimon P., and William J. Savage. 2015. “Hemolysis from ABO Incompatibility.”
Hematology/Oncology Clinics of North America 29(3):429–43. doi:
10.1016/j.hoc.2015.01.003.

Strobel, Erwin. 2008. “Hemolytic Transfusion Reactions.” Transfusion Medicine and


Hemotherapy 35(5):346–53. doi: 10.1159/000154811.

Subramanian, V., S. Ramachandran, C. Klein, J. Wellen, S. Shenoy, W. Chapman, and T.


Mohanakumar. 2012. “ABO-Incompatible Organ Transplantation.”

Wagle, Sameer. 2017. “Hemolytic Disease of the Newborn.” Handbook of Pediatric


Transfusion Medicine 191–208. doi: 10.1016/B978-012348776-6/50021-2.

Zhabrina, Arina. 2017. “Inkompabilitas ABO.” FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


YARSI RSUD. DR. SLAMET GARUT.

20

Anda mungkin juga menyukai