Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

DHF

Oleh:
dr. Mia Audina

Pembimbing:
Dr. Ketut Rutin Pastadita M.Sc.,Sp.A

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS UMUM DAERAH MALINAU
KABUPATEN MALINAU
2022

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

DHF

Laporan ini diajukan dalam rangka memenuhi


tugas internsip di Rumah Sakit

Disusun oleh:

dr. Mia Audina

telah dipresentasikan dan disetujui:

Hari/tanggal : ………………………

Tempat : ………………………

Mengetahui,
Dokter pembimbing

dr.Ketut Rutin Pastadita M.Sc.,Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, penulis dapat Laporan Kasus DHF dengan tepat waktu. memenuhi
tugas Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Malinau
Dalam penyusunan evaluasi program ini, penulis tidak dapat
menyelesaikannya tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ni Putu Ria Citrawati Sp. Perio selaku Direktur Utama RS Umum
Daerah Malinau

2. dr. Angraeni pangkey selaku Pembimbing Internship di RS Umum Daerah


Malinau

3. dr. Ketut Rutin Pastadita M.Sc.,Sp.A & dr. Wurry Ayuningtyas


Sp.A.,M.Ked Klin. Selaku dokter spesialis anak yang membimbing selama
penyusunan laporan kasus dan selama di RS.

4. Seluruh staf dan karyawan RS yang telah bersedia membantu pembuatan


evaluasi proyek ini.

5. Semua pihak terkait yang telah memberikan bantuan serta dukungan.

Penulis menyadari bahwa evaluasi proyek ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun. Akhir kata,
penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat berguna bagi para pembaca

Malinau, ………………… 2022


Penulis,

dr. Mia Audina

3
BAB I

DATA PASIEN

A. Identitas Pasien

 Nama : An. F

 Umur : 9 tahun

 Jenis kelamin : Laki-laki

 Agama : Islam

 Alamat : Kelapis

 Tanggal pemeriksaan : 9 Februari 2022

B. Anamnesa Pasien

1. Keluhan Utama : Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang kepoli anak dengan demam

sejak ± 3 hari SMRS anak demam, demam mendadak tinggi, demam terus

menerus, demam turun bila diberi paracetamol, tetapi tidak sampai suhu

normal. lalu demam kebali naik lagi. Anak mengeluhkan nyeri kepala (+),

nyeri sendi (+) dan nyeri otot (+), anak tampak lemah (+), menggigil (-),

kejang (-). Selain demam pasien tidak mengalami mata merah (-), batuk

(-), pilek (-), mual (+), muntah (+) kurang lebih 5x, keluar cairan dari

telinga (-), mimisan (-), gusi mudah berdarah (-), muncul ruam-ruam

merah pada muka (-), tampak pucat (-), keluar bintik-bintik merah seperti

digigit nyamuk (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), nafsu makan

menurun (+), BAK nyeri (-), BAK merah atau keruh (-), nyeri pinggang

4
(-), BAK sedikit (-), BAB cair (-), BAB sulit (-), BAB berwarna hitam (-),

riwayat tetangga disekitar rumah dirawat di RS karena sakit demam

berdarah (+). Dilakukan cek DR dipoli didapatkan Hb 11.4, Hematokrit

34, Leukosit 3.300, Trombosit 131.000 dan dikatakan curiga demam

berdarah. Kemudian anak dianjurkan ke IGD dirawat inapkan. Di IGD

diberikan inf asering 1 cc/kgbb/jam 26 cc /jam, psidii 3x1 cth, pct syr

12,5 cc/4 jam, sucralfat syr 3 x II cth, zinc 1x20 mg, domperidone syr 3xII

cth, cek DR/8 jam.

3. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak pernah seperti ini sebelumnya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga: Disangkal

5. Riwayat Pengobatan : Minum paracetamol

C. Pemeriksaan Fisik

 Kesadaran : Compos Mentis

 GCS :456

 Keadaan umum : Tampak lemah

 Berat Badan : 26,4 kg

 Tinggi Badan : 125 cm

 Vital Sign :

Nadi : 128x/menit

TD : - mmHg

Suhu : 38, 3 °C

RR : 24 x/menit

 Kepala Leher : a/i/c/d : -/-/-/-

Mata cowong (-)

5
 Thorax : Cor : S1S2 tunggal regular

Pulmo : Gerak napas simetris, retraksi dinding dada

(-), fremitus raba simetris (+/+), sonor

(+/+) ,ves +/+, Ronkhi -/-, whe -/-

 Abdomen : Inspeksi : flat, jejas (-), retraksi epigastrium (-)

Palpasi : nyeri tekan + pada daerah epigastrium,

hepar tidak teraba.

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+), kesan normal

 Ekstremitas : Inspeksi : Tidak terdapat edema, tidak tampak ptikae

Palpasi : Akral hangat , CRT < 2detik

D. Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium (9/2/22)

INDIKATOR HASIL NILAI NORMAL

Leukosit 3.300 4.50 - 13.50

Hemoglobin 11.4 11.8 – 15.0

Trombosit 131(L) 156 – 408

Hematokrit 34 (L) 40.0 - 52.0

Eosinofil 0

6
Basofil 1

Neutrofil 76 25.0 - 60.0

Limfosit 18

Monosit 5

Antigen Covid 19 Negatif -

E. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yang dilakukan pasien didiagnosis : Dengue Fever H ke 3 atau

Dengue tanpa warning sign

F. Diagnosis Banding

a. Dengue Hemoragik Fever

b. ISK

G. Penatalaksanaan

A. Planning terapi :

Inf. Asering 26cc/jam/IP (1cc/kgBB/jam)

PO Psidli 5ml/8jam

PO paracetamol syrp 12,5cc/4jam

PO sucralfat syrp 10ml/8jam

PO zinc syrp 5ml/24jam

PO dompe syrp 5ml/8jam

Cek UR

B. Planning monitoring

a. TTV

b. Klinis

7
c. DL serial

H. Follow Up

SOAP SOAP SOAP


(10 Februari 2022) (11 Februari 2022) (12 Februari 2022)

S: S: S:

Panas hari ke 4, bintik- Panas hari ke-5, bintik- Panas hari ke-6, bintik-
bintik merah seperti digigit bintik merah seperti digigit bintik merah seperti digigit
nyamuk (-), nyeri kepala nyamuk (-), nyeri kepala nyamuk (-), nyeri kepala (+),
(+), nyeri sendi (+), nyeri (+), nyeri sendi (+), nyeri nyeri sendi (+), nyeri otot
otot (+), nafsu makan otot (+), nafsu makan (+), nafsu makan membaik
menurun (+). lemah (+), menurun (+). lemah (+), (+). lemah (+), mual (-),
mual (+), muntah (+) 1x, mual (+), muntah (-),BAB muntah (-), BAK dbn BAB
BAB (-) kurang lebih 2 hari, (-) kurang lebih 3 hari , (+) dbn
BAK (+) dbn BAK (+) dbn
O:
O:
KU: Lemah
KU: Lemah O: Vital Sign:
Vital Sign: TD: - mmHg
KU: Lemah

8
TD: - Vital Sign: RR : 22 x/mnt
RR : 24 x/mnt TD: - mmHg Nadi : 100 x/menit
Nadi : 118x/menit RR : 24 x/mnt Suhu : 37,8 °C
Suhu : 38,2 °C Nadi : 100 x/menit K/L : A - /I -/C -/D-
K/L : A -/I -/C -/D- Suhu : 36,2 °C
Thorax
K/L : A -/I -/C -/D-
Thorax
- Cor : S1S2 TR
Thorax
 Cor : S1S2 TR g (-) m (-)
g (-) m (-)  Cor : S1S2 TR - Pulmo:
 Pulmo: g (-) m (-) ves (+/+)
ves (+/+)  Pulmo: rho (-/-)
rho (-/-) ves (+/+) whe (-/-)
whe (-/-) rho (-/-)  Abd : BU (+) N,
 Abd : nyeri tekan whe (-/-) nyeri tekan
pada epigastrium  Abd : nyeri tekan epigastrium(+),Hepar
(+), BU (+) N, Hepar pada epigastrium teraba 1cm tepi licin.
teraba 1cm tepi licin. (+), BU (+) normal, Acites (+)
Acites (+) Hepar teraba 1cm Ektremitas
Ektremitas tepi licin. Acites (+)
- Akral hangat (+)
Ektremitas
 Akral hangat (+) - CRT < 2dtk

 CRT < 2dtk  Akral hangat (+) - Ptikae (-)

 Ptikae (-)  CRT < 2dtk


Pemeriksaan penunjang :  Ptikae (-) Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Penunjang :
DR 06.40 DR Jam 06.56
DR 06.57
Leukosit : 3400 Leukosit : 3.000
Leukosit 5.400
Hb : 11.3 Hb : 13.6
Hb 14.8
Hct : 33 Hct : 38
Hct 42
Trombosit : 58000 Trombosit :42000
Trombosit 25.000

9
DR 13.50 DR 14.03 A:

Leukosit 3.900 Leukosit : 34000 DHF Grade I atau Dengue


dengan Warning Sign dan
Trombosit 44.000 Hb : 14,4
sekunder infeksi + Susp
Hct 38 Hct : 41 Demam Tifoid

Hb 12.9 Trombosit : 33000 P:

WIDAL : IgG + - Inf. Asering 52cc/jam/IP

S. typhi O 1/80 IgM + cairan turun menjadi 10

S. Typhi H 1/80 A: tpm  AFF .

- Drip Paracetamol
S. paratyphi A-0 : 1/160 DHF Grade I atau Dengue
dengan Warning Sign dan 380mg/iv
S. paratyphi B-O 1/160
sekunder infeksi + Susp - Inj.Ceftriaxone
DR jam 22.23 Demam Tifoid
300mg/24jam/iv (H3)
Leukosit 4.700 P:
- Inj Ondancetron
Trombosit 34.000 - Inf. Asering 52cc/jam/IP 5mg/8jam/iv
- PO Psidli 1tab/12jam
Hct 43 cairan diturunkan 10
- PO paracetamol syrp
Hb 14.9 tpm jam 17.00
12,5cc/4jam
- IV drip Paracetamol
A:
- PO sucralfat syrp
380mg/iv
Dengue tanpa warning
10ml/8jam
sign berubah diagnosa - Inj. Ceftriaxone

menjadi Dengue - PO zinc syrp 5ml/24jam


300mg/24jam/iv (H2)
Haemoragik Fever Grade - Jika trombosit <20.000
- Inj Ondancetron
I atau Dengue dengan siapkan tf trombosit
5mg/8jam/iv
Warning sign + Susp 6kolf
- PO Psidli 1tab/12jam
Demam Tifoid - Cek DR per 24 jam
- PO paracetamol syrp
P:

10
- Inf. Asering 26cc/jam/IP 12,5cc/4jam

- PO Psidli 1 tab /12 jam - PO sucralfat syrp

- PO paracetamol syrp 10ml/8jam

12,5cc/4jam - PO zinc syrp 5ml/24jam

- PO sucralfat syrp - Jika trombosit <20.000


siapkan tf trombosit 6
10ml/8jam
kolf
- PO zinc syrp 5ml/24jam
- Cek DR 8 jam
- PO dompe syrp - Lapor hasil lab terakhir
ada kenaikan
5ml/8jam
Cek DR menjadi /24
- Pemeriksaan DR/8jam
jam
- Cek IgG IgM dengue
- Cek widal
- Obat tambahan dari
Hasil DR dan widal jam
14.40 :
- Inf asering 2
cc/kgbb/jam  52
cc/j/IP (dinaiikkan)
Pasien demam jam
21.40 advis tambahan :
- Drip paracetamol 390
mg/iv
- Jus putel 3x200 cc
- Inj Ceftriaxone 1.300
mg/24 jam iv (H1)

SOAP
(13 Februari 2022)

11
S:

Panas hari ke-7, bintik-bintik merah (-)


nyeri kepala (+), nyeri sendi (+), nyeri otot
(+), nafsu makan menurun (+). lemah (+),
mual (-), muntah (-)Nafsu makan membaik,
BAK dbn BAB (+) dbn.

O:

KU: Baik
Vital Sign:
TD: -
RR : 24 x/mnt
Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,4 °C
K/L : A -/I -/C -/D-

Thorax

 Cor : S1S2 TR
g (-) m (-)
 Pulmo:
ves (+/+)
rho (-/-)
whe (-/-)
 Abd : nyeri tekan pada epigastrium
(+) berkurang, BU (+) N, hepar
tidak teraba. Acites (-)
Ektremitas

 Akral hangat (+)


 CRT < 2dtk
 Ptikae (-)

12
Pemeriksaan penunjang :

DR Jam 06.20

Leukosit : 4000

Hb : 11.0

Hct : 32

Trombosit : 82000

A:

DHF Grade I atau Dengue dengan


Warning Sign + Infeksi Sekunder +
Susp. Demam Tifoid

P:

- Venflon

- Drip Paracetamol 380mg/ iv

- Inj. Ceftriaxone 300mg/24jam/iv (H4)

- Inj Ondancetron 5mg/8jam/iv


- Jika trombosit <20.000 siapkan tf
trombosit 6 kolf
- Cek DR 24 jam
Setelah dilakukan evaluasi DR hari ini
tampak kenaikan jumlah trombosit dan
Pasien dibolehkan KRS hari ini jam
10.00, diberikan obat pulang sebagai
berikut :
- PO Psidli 1tab/12jam

- PO paracetamol syrp 12,5cc/4jam

- PO sucralfat syrp 10ml/8jam

13
- PO zinc syrp 5ml/24jam

I. Diagnosa akhir

Diagnosa : Dengue Hemoragik Fever Grade I atau Dengue Fever dengan


Warning Sign Overcome + Infeksi Sekunder + Susp Demam Tifoid

J. Prognosa

Dubia ad bonam

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah


dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk
aedes aegypti dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi
yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik (Suhendro, 2006). Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok.

2.2 ETIOLOGI (2,4,5)


Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili
Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3,
Den-4.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sehingga tidak memberikan perlindungan
memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi 3-4 serotipe selama hidupnya. Keempat
serotipe virus dengue ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan
versirkulasi sepanjang tahun di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe
yang dominan dan diasumsikan banyak menimbulkan manifestasi klinis yang
berat.
15
Virus dengue

2.3 VEKTOR (4,6)


Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradarah.
Nyamuk ini merupakan nyamuk yang berada di daerah tropis dan subtropis.
Nyamuk dewasa biasanya berada di ruangan tertutup dan menggigit pada
siang hari. Mereka beradaptasi dan berkembang biak di sekitar tempat tinggal
manusia, dalam kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.
Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari sebelum timbul demam. (2)

2.4 TRANSMISI (4,5,7)


Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes
aegypti betina yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah
manusia yang terinfeksi virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang
terinfeksi dapat menularkan virus selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk
betina yang terinfeksi juga dapat menularkan virus kepada anak-anak mereka

16
dengan transovarial (melalui telur) transmisi, tetapi peran penularan virus ke
manusia belum didefinisikan.

Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda


virus, karena sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus
beredar dalam darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari,
sekitar waktu yang sama mereka mengalami demam, nyamuk Aedes bisa
mendapatkan virus saat periode ini.

2.5 EPIDEMIOLOGI (3,4,5,7)


Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue
secara simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia
tropik, dimana suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah
menyebabkan populasi Aedes aegypti besar dan permanen. Pada keadaan ini
infeksi dengan virus dengue dari semua semua tipe sering ada, dan infeksi
kedua dengan tipe heterolog sering terjadi. Sesudah umur 1 tahun hampir
semua penderita dengan sindrom syok dengue mempunyai kenaikan sekunder
antibodi terhadap virus dengue, yang menunjukkan infeksi sebelumnya
dengan virus yang terkait erat.

17
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa
itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan
yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit
ini menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari
35 tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun
daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah
ditemukan di seluruh profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari
0,005 per 100.00 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000
pendududuk pada akhir tahun 2005.

18
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu :
 Pertumbuhan penduduk yang tinggi
 Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
 Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis
 Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk
transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi
geografis setempat. Pola berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu panas (28-32oC) dengan kelembaban tinggi,
nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang
lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pada
anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah
dengue tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat
antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan
Januari.

2.6 PATOGENESIS (2,3,5)


Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna; penelitian
epidemiologi memberi kesan bahwa biasanya diserti dengan infeksi dengue
tipe 2,3, dan 4 sekunder. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala
sebagai demam dengue. Reaksi tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika
seseorang mendapat infeksi yang berulang masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberikan reaksi yang
berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan serotipe
virus dengue yang berbeda. Hal ini merupakan dasar teori yang disebut the
secondary heterologous infection atau the sequential infection
hypothesis.Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu reaksi

19
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi
dengan konsentrasi tinggi.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antbodi dependent enchancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemik dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada tiap pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue
terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi yang akan mengaktifkan sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada rongga serosa (efusi
pleura,ascites). Syok yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan
asidosis dan anoksia.
Selain aktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP,
20
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit
dihancurkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit
ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati
konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation
product) sehinnga ada penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hageman sehinga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi
perdarahan pada DBD akibat trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
akibat KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan memperberat syok yang terjadi.

2.7 MANIFESTASI KLINIK


 CLINICAL SPECTRUM OF DENGUE INFECTION

Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini


memiliki spektrum klinis yang. Setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3
fase yaitu fase demam, kritis dan resolusi/pemulihan.
Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise,
mual, muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat
ekstremitas dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak,
gelisah, iritabel, nyeri mid epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi
21
dan tungkai. Pernafasan cepat dan sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan
suara jantung halus. Hati mungkin membesar dibawah tepi kosta dan
biasanya keras dan agak nyeri. Kurang dari 10% penderita menderita
ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata, biasanya pasca masa syok
yang tidak terkoreksi.
1. Fase demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa
mencapai 40oC dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat
muka yang merah, eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada
beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga dikeluhkan.
Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan demam dengue.

2. Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat,
hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari

22
ke 3-7 adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi
kurang dari 24-48 jam.
Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak
mengalami kebocoran plasma akan membaik keadaannya, sedangkan
yang mengalami kebocoran plasma sebaliknya karena kehilangan
volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi tergantung
dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
3. Fase resolusi
bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis,
keadaan umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.

1. Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa
mencapai 40oC dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat
muka yang merah, eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada
beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga dikeluhkan.
Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan demam dengue. (5)
2. Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan
tanda perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada
hari pertama tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan
lain seperti epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
Kadang terdapat juga hematuria.

23
3. Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran
hepar bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus
kosta.
4. Syok
Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh
mulai menurun hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada
tahap awal syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah normal sistolik juga menyebabkan takikardi dan
vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi pada kulit
menyababkan akral menjadi dingin dan lambatnya cappilary reffill.
Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi
dan tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari
perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara.
Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut, pasien
menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
 Denyut nadi cepat dan lemah
 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal
ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral
 Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
 Hipotensi  Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80
mmHg atau kurang
 Kulit dingin dan sembab
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis
24
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal
dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian
cairan yang memadai.
WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus
terpenuhi, yaitu:
1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
2. Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
3. Trombositopenia (≤ 100.000/ul)
4. Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura,
ascites)

2.8 Klasifikasi Dengue

Saat ini telah terdapat klasifikasi terbaru menurut WHO 2009 adalah sebagai
berikut:

Tabel 1. Klasifikasi terbaru demam dengue.9


Klasifikasi Lama Klasifikasi Baru
Didefinisikan sebagai Demam Dengue Didefinisikan sebagai Dengue tanpa
Tanda Alarm
Demam akut yang disertai dua atau lebih
kriteria: Menetap atau berkunjung ke daerah
 Sakit Kepala endemic, dengan demam dan disertai dua
ari kriteria:
 Nyeri Retro-orbital  Sakit kepala
 Arthralgia  Malaise
 Rash
 Myalgia

25
 Manifestasi perdarahan  Arthalgia
 Leukopenia  Nyeri Retro-orbital
DAN  Anoreksia
 Pemeriksaan serologi pada
pemeriksaan IgG dan IgM  Mual

 Muntah

 Diare

 Rash (ptekie)

 Tes laboratorium (Darah lengkap


menunjukan leukopeni dengan
atau tanpa tromboitopenia),
dan/atau tes NS1 atau tes antibody
IgM

Tabel 2. Klasifikasi terbaru demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue.9
Klasifikasi Lama Klasifikasi Baru
Didefiniskan sebagai Demam Berdarah Didefinisikan sebagai Dengue dengan
Dengue (DBD) sesuai dengan kriteria: Tanda Alarm:
 Demam atau riwayat demam 2-7 Menetap atau berkunjung ke daerah
hari yang terjadi secara bifasik endemic dengue, dengan demam selama
2-7 hari, disertai dengan salah satu dari
 Adanya tanda-tanda perdarahan: kriteria:
a. Tes Torrniquet (+), b. Ptekie,  Nyeri abdominal
ekimosis Purpura, c. Perdarahan
pada mukosa, GIT, d.  Muntah persisten
hematemesis atau melena  Tanda klinis adanya akumulasi
 Trombositopenia (<100.000 mm3) cairan

 Adanya bukti kebocoran plasma  Perdarahan mukosa


dengan meningkatnya  Letargi
permeabilitas vaskuler dengan
manifetasi: a. peningkatan HT  Hepatomegaly
>20%, b. penurunan HT <20%
setelah pemberian cairan, c. tanda-  Laboratorium: peningkatan HT
tanda kebocoran plasma seperti
efusi pleura, asites, Didefinisikan sebagai Dengue Berat:
hipoproteinemia Menetap atau berkujung ke daerah
endemic dengue dengan demam selama
2-7 hari disertai manifestasi klinis dengue
Didefinisikan sebagai Sindrom Syok dengan atau tanpa tanda alarm, ditambah
Dengue (SSD) sesuai dengan kriteria: dengan kriteria:
Adanya semua 4 kriteria pada DBD
 Kebocoran Plasma berat yang
ditambah dengan kegagalan manifestasi
berujung pada: a. Syok, b.
kompensasi:
Akumulasi cairan dengan
26
 Nadi cepat dan lemah, DAN Respiratory Distress

 Narrow pulse pressure  Perdarahan massif


(<20mmHg)
 Kelainan massif pada organ
ATAU besar: a. Hati: SGOT/SGPT >
Terdapat manifestasi: 1000; b. SSP: kejang, penurunan
 Hipotensi DAN kesadaran; c. Jantung:
myocarditis; d. Ginjal: Gagal
 Akral dingin dan kelemahan
ginjal

Dengan terbaginya derajat menjadi empat


(I, II, III, IV)
Tabel 2. Klasifikasi terbaru demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue.9

2.9. Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat


dan akurat sangat penting dalam tatalaksana klinis, surveilans, penelitian dan
uji klinis vaksin. Pemeriksaan Laboratorium untuk infeksi virus dengue
adalah:
a. Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk
kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vera cell LLCMK2 dan
BHK2). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan
hanya tersedia di beberapa laboratorium besar terutama dilakukan
untuk tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium
komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari
pertama demam2.
b. Deteksi asam nukleat virus
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerasi chain reaction (RT-PCR), real-time RT-PCR, dan
isothermal amplification method. Pemeriksaan ini hanya tersedia di
laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas
yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada enam
hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal2.
c. Deteksi antigen virus

27
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue
antigen), yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua
flavivirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini
dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama
demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2 hari
demam dan kemudian makin menurun setelahnya2.

Gambar 5. Kinetik NS-1 antigen dengue dan IgM serta IgG anti
dengue pada infeksi primer dan sekunder
d. Deteksi serum respons imun/uji serologi serum imun
Pemeriksaan respon imun serium berupa Haemaglution Inhibition test
(uji HI), Complement Fixation Test (CFT), Neutralization Test (Uji
neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue2.
 Haemaglutination Inhibtion Test (Uji H)
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan
pemeriksaan ini. Uji H.I. walau sensitive namun kurang spesifik dan
memerlukan dua sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dini.
 Compement Fixation Test (Uji CFT)
Tidak banyak dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis,
sulit untuk dilakukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih.
 Uji Neutralisasi
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode
yang paling sering dipakai adalah plaque reduction test (PRNT).

28
Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu secara teknik cukup rumit, oleh
karena itu jarang dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna
untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin.
 Pemeriksaan Serologi IgM dan IgG anti dengue
Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada
umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi
setelah Sembilan puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti
dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti dengue
bertahan lama dalam serum. Kinetik NS-1 antigen virus dengue dan
IgG serta IgM antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan
jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer
dengan infeksi sekunder.

Gambar 6. Metode diagnostic deteksi antigen dengue dan pemeriksaan


serologi anti dengue
e. Analisis parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai
hematokrit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan
bagian dari diagnosis klinis demam berdarah dengue2.

29
 Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrophil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit
dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara neutrofil
dan limfosit (neutrofil < limfosit) berguna dalam memprediksi masa
kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif
dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat
masuk fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD.
 Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia dibawah 100.000/uL dapat
ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak dibawah
100.000/uL terjadi pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau
saat penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan
antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului
peningkatan hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan
derajat penyakit DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi
trombosit (trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan
kembali normal selama fase penyembuhan
 Pada awal fase demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan
ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksi dan
muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari
adanya kebocoran plasma. Trombositopeni di bawah 100.000/uL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit
dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan.

30
2.10 Penatalaksanaan
Tata laksana Grup A, B, dan C
a. Grup A – Rawat jalan
Pasien yang dipulangkan ke rumah untuk tata laksana rawat
jalan.Pasien yang masuk grup A adalah mereka yang masih bisa minum
dengan jumlah cukup dan buang air kecil setidaknya 6 jam sekali serta
tidak memiliki warning signs terutama ketika demam turun
(defervescense).
Pasien rawat jalan harus kontrol ke poliklinik setiap hari untuk dipantau
perkembangan klinisnya (asupan minum, diuresis, dan aktivitas) sampai
mereka melewati fase kritis. Pasien dengan kadar hematokrit stabil dapat
dipulangkan ke rumah dengan mengikuti anjuran perawatan di rumah
sebagai berikut:
1) Ingatkan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit bila dijumpai
warning signs.
2) Meningkatkan asupan cairan dengan memberi larutan rehidrasi oral
(ORS), jus buah, dan cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula
untuk menggantikan cairan yang hilang karena demam dan muntah.
3) Berikan parasetamol untuk demam tinggi dengan interval pemberian 4–
6 jam. Berikan kompres hangat apabila pasien masih mengalami demam
tinggi. Jangan berikan asam asetil salisilat (aspirin), ibuprofen, atau obat
31
anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) karena obat-obatan ini dapat
menyebabkan gastritis atau perdarahan. Asam asetil salisilat dapat
berhubungan dengan terjadinya sindrom Reye. Nasehati orang
tua/pengasuh bahwa pasien harus dibawa ke rumah sakit segera apabila
terdapat kondisi klinis yang tidak membaik, saat suhu turun
(defervescense), nyeri perut hebat, muntah terus-menerus, ekstremitas
lembab dan dingin, letargi atau rewel/gelisah, perdarahan (mis.: tinja
berwarna hitam atau muntah berwarna coklat kehitaman), serta tidak
buang air kecil selama lebih dari 4–6 jam.
Pasien rawat jalan harus dipantau setiap hari oleh tenaga kesehatan untuk
mengetahui pola suhu, cairan yang masuk dan keluar (intake dan output),
diuresis (jumlah urin yang keluar), warning signs, tanda perembesan
plasma dan perdarahan, kadar hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit.
Pasien diberikan kartu perawatan di rumah.

b. Grup B – Pasien yang harus dirujuk untuk perawatan di rumah sakit


Pasien perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder (rumah
sakit) untuk pemantauan yang lebih ketat utamanya ketika memasuki fase
32
kritis. Selama pemantauan rawat inap pasien dengue di rumah sakit, (28%)
dari 185 demam dengue dapat berkembang mejadi sindrom syok dengue
(severe dengue), maka pemantauan tanda vital, warning signs, dan
pemeriksaan hematologi perlu dilakukan secara berkala. Tata laksana grup
B adalah untuk pasien dengan warning signs atau dengan penyakit
penyerta (faktor risiko) yang akan membuat tata laksana menjadi lebih
kompleks, contohnya bayi, obesitas, komorbiditas (diabetes melitus,
penyakit hemolitik, gagal ginjal), atau jika dijumpai kondisi sosial khusus
misalnya tempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan dengan keterbatasan
akses transportasi, hidup sendiri (tanpa keluarga) walaupun tidak dijumpai
warning signs. Jika pada pasien tidak dijumpai warning signs, rencana
tindakan yang harus dilakukan sebagai berikut. Anjurkan pasien untuk
minum lebih banyak. Jika tidak terpenuhi, mulai terapi cairan intravena
dengan NaCl 0,9% (normal saline) atau ringer laktat dengan atau tanpa
dekstrose dengan tetesan rumatan. Untuk pasien dengan obesitas atau
kelebihan berat badan (overweight), gunakan berat badan ideal untuk
menghitung jumlah cairan yang diberikan. Berikan cairan intravena
secukupnya untuk mempertahankan perfusi yang baik dan diuresis cukup.
Cairan intravena pada umumnya hanya diperlukan selama 24–48 jam.

c.Grup C – Pasien yang membutuhkan rujukan segera dan perawatan darurat


(severe dengue)

Pasien membutuhkan perawatan darurat dan rujukan segera jika pada fase
kritis dijumpai keadaan berikut:

1) Perembesan plasma hebat yang menyebabkan syok dan/atau akumulasi


cairan yang disertai distres napas.

2) Perdarahan hebat.

3) Kerusakan organ yang berat (gagal hati, gangguan fungsi ginjal,


kardiomiopati, ensefalopati atau ensefalitis).

Pasien severe dengue memerlukan rawat inap di rumah sakit yang


memiliki fasilitas perawatan intensif dan unit transfusi darah. Pemberian
33
cairan intravena yang adekuat dan tepat waktu menjadi sangat penting dan
merupakan satu-satunya terapi yang diperlukan. Cairan kristaloid isotonik
merupakan pilihan dan harus diberikan dalam jumlah yang memadai untuk
menjaga sirkulasi jaringan tetap baik selama fase perembesan plasma.
Volume plasma yang hilang harus segera digantikan dengan cairan kristaloid
isotonik, atau pada syok hipotensifmenggunakan cairan koloid, namun cairan
koloid tidak terbukti lebih baik daripada cairan kristaloid. Apabila
memungkinkan, lakukan pemeriksaan hematokrit sebelum dan sesudah
pemberian cairan. Pemberian cairan harus dilanjutkan untuk mengganti
plasma yang hilang dan mempertahankan agar sirkulasi tetap baik dalam 24–
48 jam berikutnya. Untuk pasien dengan berat badan lebih atau obesitas,
digunakan berat badan ideal untuk menghitung jumlah tetesan cairan yang
diberikan.Pemeriksaan golongan darah dan cross matched test harus
dilakukan untuk semua pasien yang mengalami syok. Transfusi darah hanya
diberikan untuk kasus dengan dugaan perdarahan hebat, misalnya pada
perdarahan saluran cerna. Resusitasi cairan adalah langkah pemberian cairan
intravena dalam jumlah besar (misal 10–20 ml/kg/bolus) dalam waktu yang
singkat dengan pengawasan ketat untuk mengetahui respons terhadap
tindakan dan mencegah kemungkinan edema paru karena kelebihan cairan.
Derajat defisit volume intravaskular pada saat syok dengue bervariasi.
Pemasukan cairan (input) pada umumnya lebih besar dari pengeluaran
(output), namun demikian, penghitungan rasio input/output tidak penting
untuk menilai kebutuhan cairan pada fase ini. Tujuan resusitasi cairan adalah
untuk memperbaiki sirkulasi darah sentral dan perifer (frekuensi nadi
turun/takikardia berkurang, tekanan darah membaik, volume denyut nadi
meningkat, ekstremitas hangat, dan waktu pengisian kapiler <2 etik) dan
meningkatkan perfusi organ (end-organ) – contoh: kesadaran stabil (lebih
sabar/gelisah/rewel berkurang), diuresis ≥1 ml/KgBB/jam, asidosis metabolik
membaik.

Tatalaksana Syok
a. Manajemen Syok : DBD derajat III

34
DSS adalah syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik, dengan
gejala tekanan nadi menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg). Ketika terdapat
hipotensi, kita harus menduga bahwa pendarahan terjadi parah, dan sering
tersembunyi perdarahan gastrointestinal, kemungkinan terjadi kebocoran
plasma yang lain. Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari DSS berbeda
dari jenis lain syok seperti syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan
merespon 10 ml / kg pada anak-anak atau 300-500 ml pada orang dewasa
lebih dari satu jam atau bolus, jika perlu. Selanjutnya, pemberian cairan
harus mengikuti grafik seperti pada Gambar 7. Namun, sebelum
mengurangi tingkat penggantian IV, keadaan klinis, tanda-tanda vital,
produksi urin dan kadar hematokrit harus diperiksa untuk memastikan
perbaikan klinis1.

Gambar Algoritme Pemberian Cairan pada pasien SSD

35
Pemeriksaan laboratorium (ABCS) sebaiknya dilakukan pada kasus syok
dan non-syok pada keadaan dimana tidak terjadi perbaikan setelah
dilakukan rehidrasi yang adekuat1.

Tabel Pemeriksaan Laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan syok atau dengan
komplikasi, dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski telah diberi
terapi cairan yang adekuat

Cairan yang berlebihan akan menyebabkan efusi besar karena permeabilitas


kapiler meningkat. Aliran pengganti volume untuk pasien dengan DSS
diilustrasikan di bawah ini

b. Manajemen Syok : DBD derajat IV


Resusitasi cairan awal di DBD kelas 4 lebih kuat agar cepat
mengembalikan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus
dilakukan sesegera mungkin untuk pemeriksaan ABCS serta adanya
gangguan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi ringan harus ditangani
secara agresif. Sepuluh ml / kg cairan bolus harus diberikan secepat
mungkin, idealnya dalam waktu 10 sampai 15 menit. Ketika tekanan darah
kembali normal, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan seperti
manajemen DBD kelas 3. Jika syok tidak reversibel setelah pemberian
pertama 10 ml / kg, bolus ulangi 10 ml / kg dan hasil laboratorium harus
dikejar dan diperbaiki secepat mungkin. Transfusi darah yang mendesak
harus dianggap sebagai langkah berikutnya (setelah meninjau hasil

36
hematokrit ) dan ditindak lanjuti dengan monitoring lebih dekat, misalnya
kateterisasi kandung kemih terus menerus.
Perlu dicatat bahwa memulihkan tekanan darah sangat penting untuk
kelangsungan hidup dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka
prognosis sangat serius. Cairan inotropik dapat digunakan untuk mendukung
memperbaiki tekanan darah, rehidrasi telah dianggap memadai seperti
tekanan vena central tinggi (CVP), atau kardiomegali serta, kontraktilitas
jantung yang buruk. Apabila tekanan darah telah kembali normal setelah
resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah dan dengan adanya
gangguan organ maka pasien harus dikelola dengan terapi khusus. Contoh
terapi khusus untuk organ tersebut diantaranya dialisis peritoneal, terapi
renal replacement terus menerus dan ventilasi mekanis.
Jika akses intravena tidak dapat diperoleh dengan segera, maka lakukan
terapi oral jika pasien sadar atau dilakukan melalui jalur intraosseous. Akses
intraosseous dapat menyelamatkan hidup dan sebaiknya dilakukan setelah
2-5 menit setelah dua kali usaha pemasangan akses vena perifer atau terapi
oral gagal1.

2.11 KOMPLIKASI
1. Ensefalopati dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa
syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3 -,
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer
dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) =
3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak
diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60
mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan
mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi
asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian

37
oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah
terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan
antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100mg/kgbb/hari +
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-
obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati1.
2. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi
gagal ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan
baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan
cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya
furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan
untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum
dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous
pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya1.

3. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari
sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya
tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma
masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi
bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress
pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran edema paru pada foto rontgen dada. Gambaran edema paru
harus dibedakan dengan perdarahan paru1.
4. Efusi Pleura

38
Efusi Pleura terjadi karena kebocoran plasma yang mengakibatkan
ekstrasi cairan intravaskuler sel, hal ini tersebut dibuktikan dengan
adanya cairan didalam rongga pleura dan adanya dispnea1.
5. Hipereaktivitas Hepar
Pada pasien yang terinfeksi virus dengue sering juga ditemukan
adanya keterlibatan organ salah satunya adalah hepar, yang juga
merupakan organ target virus dengue. Serotipe virus dengue 1,2 dan 3
telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan
infeksi dengue primer maupun sekunder.7
Hati merupakan salah satu target organ virus dengue. Saat
hepatosit terinfeksi oleh virus dengue, virus akan menganggu sintesa.
RNA dan protein sel, yang kemudian akan mengakibatkan cidera
secara langsung pada hepatosit. Virus Dengue merupakan
microorganisma intraseluler yang memerlukan asam nukleat untuk
bereplikasi, sehingga mengganggu sintesa protein sel target dan
mengakibatkan kerusakan serta kematian sel. Virus dengue juga dapat
mengakibatkan cidera sel secara tidak langsung melalui gen virus itu
sendiri, reaksi inflamasi dan respon imun host.7
Selain hepatosit, dengue juga menyerang sel lain seperti sel darah
merah, sel otot, sel otot jantung, ginjal dan otak. Respon imun yang
terjadi pada infeksi virus dengue yang dapat menyebabkan cidera sel
adalah respon imun seluler dan humoral. Reaksi pertahanan tubuh non
spesifik juga dapat mengakibatkan cidera pada hepatosit. Virus
dengue yang ganas berpotensi menyerang sel retikuloendotelial
system termasuk organ hepar dan sel endotel, akibatnya hati
meradang, membengkak, dan faal hati terganggu dan berlanjut dengan
kejadian perdarahan yang hebat disertai kesadaran menurun dan
menunjukan manifestasi ensefalopati7
2.12 DEMAM TIFOID
2.12.1 Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik
disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), namun dapat pula disebabkan

39
oleh S. paratyphi A, S. para-typhii B (Schottmuelleri ), dan S. paratyphi C
(Hirscheldii).
2.12.2 Cara penularan
Penularan demam tifoid terjadi melalui mulut, kuman Salmonella typhi
masuk kedalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar ke
dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus kecil kemudian masuk kedalam
peredaran darah. Menurut penelitian Evanson pada tahun 2008
menjelaskan bahwa penyebab terbesar dari penyakit typhus abdominalis
adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah serta kebersihan pribadi yang
buruk. Kuman dalam peredaran darah yang pertama berlangsung singkat,
terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum menimbulkan
gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa,
sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5–9 hari kuman
kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan
endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam
tifoid
2.12.3 Gejala klinis demam tifoid
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata–rata 10–20 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak
besemangat.5,22 Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi
yang ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu
terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun
selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas
adalah kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga
(step ladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan
(anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan
sebaliknya dapat terjadi diare derita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada
kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu stepladder temperatur
chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara
bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
40
pertama. Dalam minggu ke-2 penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ke-3 suhu badan berangsur–angsur turun kecuali
apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap.7 Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap.
Bibir kering dan pecah–pecah(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor
( coated tongue ), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meterorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai
gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau
obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
2.12.4 Penegakan diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastroentestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan
kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat
diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.
typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu
berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan
keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada
90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk
membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka titer
O aglutinin ≥1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination
menunjukkan nilai ramal positif 96 %. Artinya apabila hasil tes positif, 96
% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidk
menyingkirkan. Banyak senter berpendapat apabila titer O aglutinin sekali
diperiksa ≥1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
41
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran klinik
dan laboratorium (jumlah leukosit menurun dan titer widal yang
meningkat). Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya bakteri pada
salah satu biakan. Adapun beberapa kriteria diagnosis demam tifoid adalah
sebagai berikut: (1) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari).
Demam naik secara bertahap lalu menetap selama beberapa hari, demam
terutama pada sore atau malam hari. (2) Gejala gastrointestinal; dapat
berupa obstipasi, diare, mual, muntah,hilang nafsu makan dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi. (3) Gangguan
susunan saraf pusat atau kesadaran; sakit kepala, kesadaran berkabut,
bradikardia relatif.
2.12.5 Tatalaksana demam tifoid
Tatalaksana yang dilakukan sebagian besar pasien demam tifoid dapat
diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan
kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk
kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi di samping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama.
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan anak dengan
demam tifoid diterapi dengan fluoroquinolone (Ciprofloxacin,
Gatifloxacin, Ofloxacin, and Perfloxacin) sebagai pengobatan lini pertama
selama 7-10 hari. Dosis ciprofloxacin oral adalah 2x15 mg/kgBB/hari.
selama 7–10 hari. Jika respon terhadap pengobatan menunjukkan hasil
yang jelek, maka diberikan antibiotik lini kedua, seperti cephalosporin
generasi ke-3 atau azithromycin. Dosis ceftriaxone (IV) adalah 80
mg/kgB/hari selama 5–7 hari, atau Azithromycin: 20 mg/kgBB/hari
selama 5–7 hari (WHO, 2003).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih menggunakan kloramfenikol
sebagai pilihan pertama pada demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah
42
100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10–14 hari atau
sampai 5–7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan
malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari,
4–6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis.
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200
mg/kgBB/ hari diabagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 kali
pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol
walaupun penurunan demam lebih lama.
Kombinasi trimethoprim sulfametokzasol (TMP-SMZ) memberikan hasil
yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah
TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap
sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga
seperti ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis
(maksimal 4g/hari) selama 5–7 hari atau cefotaxime 150– 200
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan.
Akhir–akhir ini cefixime oral 10–15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit.

BAB III

KESIMPULAN

Pada tanggal 9 Februari. Pasien datang kepoli anak dengan demam sejak ± 3 hari
SMRS anak demam, demam mendadak tinggi, demam terus menerus, demam
turun bila diberi paracetamol, tetapi tidak sampai suhu normal. lalu demam
kembali naik lagi. Anak mengeluhkan nyeri kepala (+), nyeri sendi (+) dan nyeri
otot (+), anak tampak lemah (+), menggigil (-), kejang (-). Selain demam pasien
tidak mengalami mata merah (-), batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah (+) kurang
lebih 5x, keluar cairan dari telinga (-), mimisan (-), gusi mudah berdarah (-),
43
muncul ruam-ruam merah pada muka (-), tampak pucat (-), keluar bintik-bintik
merah seperti digigit nyamuk (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), nafsu makan
menurun (+), BAK nyeri (-), BAK merah atau keruh (-), nyeri pinggang (-), BAK
sedikit (-), BAB cair (-), BAB sulit (-), BAB berwarna hitam (-), riwayat tetangga
disekitar rumah dirawat di RS karena sakit demam berdarah (+). Dilakukan cek
DR dipoli didapatkan Hb 11.4, Hematokrit 34, Leukosit 3.300, Trombosit 131.000
dan dikatakan curiga demam berdarah. Kemudian anak dianjurkan ke IGD dirawat
inapkan dengan diagnosis Dengue fever. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu
38,3 C, Nadi 128 dengan RR 24x/menit. Di IGD diberikan inf asering 1
cc/kgbb/jam 26 cc /jam, psidii 3x1 cth, pct syr 12,5 cc/4 jam, sucralfat syr 3 x II
cth, zinc 1x20 mg, domperidone syr 3xII cth, cek DR/8 jam. Gejala yang dialami
pasien ini sesuai dengan gejala yang biasa dialami pasien dengue fever dimana
didapatkan demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh dengan antipirektik. Kadang terdapat muka yang merah,
eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada
gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah
sering juga dikeluhkan.

Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 10 Februari didapatkan nyeri


pada ulu hati tampak pasien meringis kesakitan pemeriksaan fisik didapatkan
Suhu 38.1, HR 118,RR 24, nyeri tekan epigastrium (+) pembesaran hepar teraba
1cm dengan tepi licin dan acites (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
penurunan nilai trombosit dan haematokrit, widal didapatkan s. paratypi A-O dan
salmonella partyphi B-O 1/160 tanggal 11 Februari ditambahkan dx Susp Demam
tifoid karena sesuai dengan teori dikatakan diagnosa demam tifoid tegak bila
widal 1/320. Inf Asering dinaikkan menjadi 2 cc/kgbb/jam  52cc/jam,
ditambahkan antibiotik inj ceftriaxon 300mg/24 jam iv. kemudian meningkat
kembali pada tanggal 12 Februari cairan diturunkan menjadi 10 tpm dan cek
DR/24 jam dan Cek IgG (+) IgM (+) sehingga diagnosa bertambah menjadi
Infeksi Sekunder. Hingga pasien diperbolehkan pulang pada tanggal 13 Februari.
Pada saat dirawat inap terapi yang diberikan berupa Inf. Asering 52cc/jam/IP, drip
Paracetamol 380mg/iv, Inj. Ceftriaxone 300mg/24jam/iv, Inj Ondancetron
5mg/8jam/iv, PO Psidli 1 tab/12jam, PO paracetamol syrp 12,5cc/4jam, PO

44
sucralfat syrp 10ml/8jam, PO zinc syrp 5ml/24jam. Diagnosis akhir pasien adalah
Dengue Haemoragic Fever Grade I atau Dengue Fever dengan Warning Sign
overcome dan Susp Demam Tifoid, dimana didapatkan kesamaan dari teori yaitu
pasien menetap atau berkunjung ke daerah endemic dengue, dengan demam
selama 2-7 hari, disertai dengan salah satu dari kriteria nyeri abdominal, muntah
persisten, tanda klinis adanya akumulasi cairan, letargi, hepatomegaly dan hasil
laboratorium: peningkatan HT. pasien ini juga mengalami konstipasi serta titer
widal 1/160. Sementara dilihat dari aspek perilaku juga pasien memiliki kebiasaan
jajan sembarangan serta tidak membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum
makan sehingga terjadi penyebaran Salmonella typhi melalui jalur fekal-oral.
Sementara masalah konstipasi dumungkinkan akibat sifat bakteri yang menyerang
saluran cerna. Selain itu edukasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chairulfatah, A., dkk. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana


Infeksi Virus Dengue Pada Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia
2. Kadim, M., Rezeki, S., Devaera, Y. 2012. Update Management of
Disease and Gastrointestal Disorder. Jakarta : Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM

45
3. Kemenkes. 2017. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyebaran Lingkungan
4. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI.
2010. Buletin Jendela Epidemiologi Topik Utama: Demam Berdarah
Dengue. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
5. Rezeki, S., Moedjito, I., dkk. 2018. Buku Ajar Infeksi & Penyakit
Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
6. WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever
7. Soegeng Soegijanto, 2006, Demam Berdarah Edisi Ke-2, Airlangga,
Surabaya, 272 halaman
8. Rheisa Ghassani. 2014. Management Of Typhoid Fever In Infants
With Irregular Eating Patterns And Knowledge Phbs Of Mothers On
Scant. Jurnal Vol 3 No 1. Lampung.

46

Anda mungkin juga menyukai