DHF
Oleh:
dr. Mia Audina
Pembimbing:
Dr. Ketut Rutin Pastadita M.Sc.,Sp.A
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DHF
Disusun oleh:
Hari/tanggal : ………………………
Tempat : ………………………
Mengetahui,
Dokter pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, penulis dapat Laporan Kasus DHF dengan tepat waktu. memenuhi
tugas Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Malinau
Dalam penyusunan evaluasi program ini, penulis tidak dapat
menyelesaikannya tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ni Putu Ria Citrawati Sp. Perio selaku Direktur Utama RS Umum
Daerah Malinau
Penulis menyadari bahwa evaluasi proyek ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun. Akhir kata,
penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat berguna bagi para pembaca
3
BAB I
DATA PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : An. F
Umur : 9 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kelapis
B. Anamnesa Pasien
sejak ± 3 hari SMRS anak demam, demam mendadak tinggi, demam terus
menerus, demam turun bila diberi paracetamol, tetapi tidak sampai suhu
normal. lalu demam kebali naik lagi. Anak mengeluhkan nyeri kepala (+),
nyeri sendi (+) dan nyeri otot (+), anak tampak lemah (+), menggigil (-),
kejang (-). Selain demam pasien tidak mengalami mata merah (-), batuk
(-), pilek (-), mual (+), muntah (+) kurang lebih 5x, keluar cairan dari
telinga (-), mimisan (-), gusi mudah berdarah (-), muncul ruam-ruam
merah pada muka (-), tampak pucat (-), keluar bintik-bintik merah seperti
digigit nyamuk (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), nafsu makan
menurun (+), BAK nyeri (-), BAK merah atau keruh (-), nyeri pinggang
4
(-), BAK sedikit (-), BAB cair (-), BAB sulit (-), BAB berwarna hitam (-),
diberikan inf asering 1 cc/kgbb/jam 26 cc /jam, psidii 3x1 cth, pct syr
12,5 cc/4 jam, sucralfat syr 3 x II cth, zinc 1x20 mg, domperidone syr 3xII
C. Pemeriksaan Fisik
GCS :456
Vital Sign :
Nadi : 128x/menit
TD : - mmHg
Suhu : 38, 3 °C
RR : 24 x/menit
5
Thorax : Cor : S1S2 tunggal regular
Perkusi : Timpani
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (9/2/22)
Eosinofil 0
6
Basofil 1
Limfosit 18
Monosit 5
E. Diagnosis
F. Diagnosis Banding
b. ISK
G. Penatalaksanaan
A. Planning terapi :
PO Psidli 5ml/8jam
Cek UR
B. Planning monitoring
a. TTV
b. Klinis
7
c. DL serial
H. Follow Up
S: S: S:
Panas hari ke 4, bintik- Panas hari ke-5, bintik- Panas hari ke-6, bintik-
bintik merah seperti digigit bintik merah seperti digigit bintik merah seperti digigit
nyamuk (-), nyeri kepala nyamuk (-), nyeri kepala nyamuk (-), nyeri kepala (+),
(+), nyeri sendi (+), nyeri (+), nyeri sendi (+), nyeri nyeri sendi (+), nyeri otot
otot (+), nafsu makan otot (+), nafsu makan (+), nafsu makan membaik
menurun (+). lemah (+), menurun (+). lemah (+), (+). lemah (+), mual (-),
mual (+), muntah (+) 1x, mual (+), muntah (-),BAB muntah (-), BAK dbn BAB
BAB (-) kurang lebih 2 hari, (-) kurang lebih 3 hari , (+) dbn
BAK (+) dbn BAK (+) dbn
O:
O:
KU: Lemah
KU: Lemah O: Vital Sign:
Vital Sign: TD: - mmHg
KU: Lemah
8
TD: - Vital Sign: RR : 22 x/mnt
RR : 24 x/mnt TD: - mmHg Nadi : 100 x/menit
Nadi : 118x/menit RR : 24 x/mnt Suhu : 37,8 °C
Suhu : 38,2 °C Nadi : 100 x/menit K/L : A - /I -/C -/D-
K/L : A -/I -/C -/D- Suhu : 36,2 °C
Thorax
K/L : A -/I -/C -/D-
Thorax
- Cor : S1S2 TR
Thorax
Cor : S1S2 TR g (-) m (-)
g (-) m (-) Cor : S1S2 TR - Pulmo:
Pulmo: g (-) m (-) ves (+/+)
ves (+/+) Pulmo: rho (-/-)
rho (-/-) ves (+/+) whe (-/-)
whe (-/-) rho (-/-) Abd : BU (+) N,
Abd : nyeri tekan whe (-/-) nyeri tekan
pada epigastrium Abd : nyeri tekan epigastrium(+),Hepar
(+), BU (+) N, Hepar pada epigastrium teraba 1cm tepi licin.
teraba 1cm tepi licin. (+), BU (+) normal, Acites (+)
Acites (+) Hepar teraba 1cm Ektremitas
Ektremitas tepi licin. Acites (+)
- Akral hangat (+)
Ektremitas
Akral hangat (+) - CRT < 2dtk
9
DR 13.50 DR 14.03 A:
- Drip Paracetamol
S. paratyphi A-0 : 1/160 DHF Grade I atau Dengue
dengan Warning Sign dan 380mg/iv
S. paratyphi B-O 1/160
sekunder infeksi + Susp - Inj.Ceftriaxone
DR jam 22.23 Demam Tifoid
300mg/24jam/iv (H3)
Leukosit 4.700 P:
- Inj Ondancetron
Trombosit 34.000 - Inf. Asering 52cc/jam/IP 5mg/8jam/iv
- PO Psidli 1tab/12jam
Hct 43 cairan diturunkan 10
- PO paracetamol syrp
Hb 14.9 tpm jam 17.00
12,5cc/4jam
- IV drip Paracetamol
A:
- PO sucralfat syrp
380mg/iv
Dengue tanpa warning
10ml/8jam
sign berubah diagnosa - Inj. Ceftriaxone
10
- Inf. Asering 26cc/jam/IP 12,5cc/4jam
SOAP
(13 Februari 2022)
11
S:
O:
KU: Baik
Vital Sign:
TD: -
RR : 24 x/mnt
Nadi : 100x/menit
Suhu : 36,4 °C
K/L : A -/I -/C -/D-
Thorax
Cor : S1S2 TR
g (-) m (-)
Pulmo:
ves (+/+)
rho (-/-)
whe (-/-)
Abd : nyeri tekan pada epigastrium
(+) berkurang, BU (+) N, hepar
tidak teraba. Acites (-)
Ektremitas
12
Pemeriksaan penunjang :
DR Jam 06.20
Leukosit : 4000
Hb : 11.0
Hct : 32
Trombosit : 82000
A:
P:
- Venflon
13
- PO zinc syrp 5ml/24jam
I. Diagnosa akhir
J. Prognosa
Dubia ad bonam
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
16
dengan transovarial (melalui telur) transmisi, tetapi peran penularan virus ke
manusia belum didefinisikan.
17
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa
itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan
yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit
ini menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari
35 tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun
daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah
ditemukan di seluruh profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari
0,005 per 100.00 penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000
pendududuk pada akhir tahun 2005.
18
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu :
Pertumbuhan penduduk yang tinggi
Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis
Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk
transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi
geografis setempat. Pola berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan
kelembaban udara. Pada suhu panas (28-32oC) dengan kelembaban tinggi,
nyamuk aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang
lama. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pada
anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah
dengue tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat
antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan
Januari.
19
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi
dengan konsentrasi tinggi.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antbodi dependent enchancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemik dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan
pada tiap pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Replikasi virus dengue
terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi yang akan mengaktifkan sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien yang syok berat volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada rongga serosa (efusi
pleura,ascites). Syok yang tidak ditangani secara adekuat akan menyebabkan
asidosis dan anoksia.
Selain aktifkan komplemen, reaksi ini pun menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi melalui kerusakan endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP,
20
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit
dihancurkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit
ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III sehingga terjadi koagulopati
konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation
product) sehinnga ada penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hageman sehinga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan
permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi
perdarahan pada DBD akibat trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
akibat KID, kelainan fungsi trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan memperberat syok yang terjadi.
2. Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat,
hati-hati karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari
22
ke 3-7 adalah fase kritis. Dimana kebocoran plasma bisa terjadi
kurang dari 24-48 jam.
Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak
mengalami kebocoran plasma akan membaik keadaannya, sedangkan
yang mengalami kebocoran plasma sebaliknya karena kehilangan
volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi tergantung
dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
3. Fase resolusi
bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis,
keadaan umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.
1. Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa
mencapai 40oC dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat
muka yang merah, eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada
beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi pada
konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga dikeluhkan.
Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket
meningkatkan kemungkinan demam dengue. (5)
2. Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan
tanda perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada
hari pertama tetapi dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan
lain seperti epistaksis, perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
Kadang terdapat juga hematuria.
23
3. Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran
hepar bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus
kosta.
4. Syok
Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh
mulai menurun hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada
tahap awal syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah normal sistolik juga menyebabkan takikardi dan
vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi pada kulit
menyababkan akral menjadi dingin dan lambatnya cappilary reffill.
Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi
dan tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari
perembesan plasma yang dapat bersifat ringan atau sementara.
Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut, pasien
menjadi gelisah, nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba.
Sesaat sebelum syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal
ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral
Tekanan nadi menurun (20mmhg atau kurang)
Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80
mmHg atau kurang
Kulit dingin dan sembab
Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis
24
Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal
dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian
cairan yang memadai.
WHO mempunyai kriteria diagnosis DBD yang semuanya harus
terpenuhi, yaitu:
1. Demam tinggi atau kontinyu selama 2- 7 hari
2. Adanya perdarahan spontan atau uji torniket positif
3. Trombositopenia (≤ 100.000/ul)
4. Hemokonsentrasi atau adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura,
ascites)
Saat ini telah terdapat klasifikasi terbaru menurut WHO 2009 adalah sebagai
berikut:
25
Manifestasi perdarahan Arthalgia
Leukopenia Nyeri Retro-orbital
DAN Anoreksia
Pemeriksaan serologi pada
pemeriksaan IgG dan IgM Mual
Muntah
Diare
Rash (ptekie)
Tabel 2. Klasifikasi terbaru demam berdarah dengue dan sindrom syok dengue.9
Klasifikasi Lama Klasifikasi Baru
Didefiniskan sebagai Demam Berdarah Didefinisikan sebagai Dengue dengan
Dengue (DBD) sesuai dengan kriteria: Tanda Alarm:
Demam atau riwayat demam 2-7 Menetap atau berkunjung ke daerah
hari yang terjadi secara bifasik endemic dengue, dengan demam selama
2-7 hari, disertai dengan salah satu dari
Adanya tanda-tanda perdarahan: kriteria:
a. Tes Torrniquet (+), b. Ptekie, Nyeri abdominal
ekimosis Purpura, c. Perdarahan
pada mukosa, GIT, d. Muntah persisten
hematemesis atau melena Tanda klinis adanya akumulasi
Trombositopenia (<100.000 mm3) cairan
27
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat ini
adalah pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue (NS-1 dengue
antigen), yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua
flavivirus yang penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini
dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama
demam dan menghilang setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2 hari
demam dan kemudian makin menurun setelahnya2.
Gambar 5. Kinetik NS-1 antigen dengue dan IgM serta IgG anti
dengue pada infeksi primer dan sekunder
d. Deteksi serum respons imun/uji serologi serum imun
Pemeriksaan respon imun serium berupa Haemaglution Inhibition test
(uji HI), Complement Fixation Test (CFT), Neutralization Test (Uji
neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue2.
Haemaglutination Inhibtion Test (Uji H)
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan
pemeriksaan ini. Uji H.I. walau sensitive namun kurang spesifik dan
memerlukan dua sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dini.
Compement Fixation Test (Uji CFT)
Tidak banyak dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis,
sulit untuk dilakukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih.
Uji Neutralisasi
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode
yang paling sering dipakai adalah plaque reduction test (PRNT).
28
Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu secara teknik cukup rumit, oleh
karena itu jarang dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna
untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin.
Pemeriksaan Serologi IgM dan IgG anti dengue
Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada
umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi
setelah Sembilan puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti
dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti dengue
bertahan lama dalam serum. Kinetik NS-1 antigen virus dengue dan
IgG serta IgM antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan
jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer
dengan infeksi sekunder.
29
Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrophil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit
dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara neutrofil
dan limfosit (neutrofil < limfosit) berguna dalam memprediksi masa
kritis perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif
dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat
masuk fase konvalesens. Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD.
Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia dibawah 100.000/uL dapat
ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang mendadak dibawah
100.000/uL terjadi pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau
saat penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan
antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului
peningkatan hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan
derajat penyakit DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi
trombosit (trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan
kembali normal selama fase penyembuhan
Pada awal fase demam nilai hematokrit masih normal. Peningkatan
ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksi dan
muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari
adanya kebocoran plasma. Trombositopeni di bawah 100.000/uL dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit
dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya perdarahan.
30
2.10 Penatalaksanaan
Tata laksana Grup A, B, dan C
a. Grup A – Rawat jalan
Pasien yang dipulangkan ke rumah untuk tata laksana rawat
jalan.Pasien yang masuk grup A adalah mereka yang masih bisa minum
dengan jumlah cukup dan buang air kecil setidaknya 6 jam sekali serta
tidak memiliki warning signs terutama ketika demam turun
(defervescense).
Pasien rawat jalan harus kontrol ke poliklinik setiap hari untuk dipantau
perkembangan klinisnya (asupan minum, diuresis, dan aktivitas) sampai
mereka melewati fase kritis. Pasien dengan kadar hematokrit stabil dapat
dipulangkan ke rumah dengan mengikuti anjuran perawatan di rumah
sebagai berikut:
1) Ingatkan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit bila dijumpai
warning signs.
2) Meningkatkan asupan cairan dengan memberi larutan rehidrasi oral
(ORS), jus buah, dan cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula
untuk menggantikan cairan yang hilang karena demam dan muntah.
3) Berikan parasetamol untuk demam tinggi dengan interval pemberian 4–
6 jam. Berikan kompres hangat apabila pasien masih mengalami demam
tinggi. Jangan berikan asam asetil salisilat (aspirin), ibuprofen, atau obat
31
anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) karena obat-obatan ini dapat
menyebabkan gastritis atau perdarahan. Asam asetil salisilat dapat
berhubungan dengan terjadinya sindrom Reye. Nasehati orang
tua/pengasuh bahwa pasien harus dibawa ke rumah sakit segera apabila
terdapat kondisi klinis yang tidak membaik, saat suhu turun
(defervescense), nyeri perut hebat, muntah terus-menerus, ekstremitas
lembab dan dingin, letargi atau rewel/gelisah, perdarahan (mis.: tinja
berwarna hitam atau muntah berwarna coklat kehitaman), serta tidak
buang air kecil selama lebih dari 4–6 jam.
Pasien rawat jalan harus dipantau setiap hari oleh tenaga kesehatan untuk
mengetahui pola suhu, cairan yang masuk dan keluar (intake dan output),
diuresis (jumlah urin yang keluar), warning signs, tanda perembesan
plasma dan perdarahan, kadar hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit.
Pasien diberikan kartu perawatan di rumah.
Pasien membutuhkan perawatan darurat dan rujukan segera jika pada fase
kritis dijumpai keadaan berikut:
2) Perdarahan hebat.
Tatalaksana Syok
a. Manajemen Syok : DBD derajat III
34
DSS adalah syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik, dengan
gejala tekanan nadi menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan
peningkatan tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg). Ketika terdapat
hipotensi, kita harus menduga bahwa pendarahan terjadi parah, dan sering
tersembunyi perdarahan gastrointestinal, kemungkinan terjadi kebocoran
plasma yang lain. Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari DSS berbeda
dari jenis lain syok seperti syok septik. Sebagian besar kasus DSS akan
merespon 10 ml / kg pada anak-anak atau 300-500 ml pada orang dewasa
lebih dari satu jam atau bolus, jika perlu. Selanjutnya, pemberian cairan
harus mengikuti grafik seperti pada Gambar 7. Namun, sebelum
mengurangi tingkat penggantian IV, keadaan klinis, tanda-tanda vital,
produksi urin dan kadar hematokrit harus diperiksa untuk memastikan
perbaikan klinis1.
35
Pemeriksaan laboratorium (ABCS) sebaiknya dilakukan pada kasus syok
dan non-syok pada keadaan dimana tidak terjadi perbaikan setelah
dilakukan rehidrasi yang adekuat1.
Tabel Pemeriksaan Laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan syok atau dengan
komplikasi, dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski telah diberi
terapi cairan yang adekuat
36
hematokrit ) dan ditindak lanjuti dengan monitoring lebih dekat, misalnya
kateterisasi kandung kemih terus menerus.
Perlu dicatat bahwa memulihkan tekanan darah sangat penting untuk
kelangsungan hidup dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka
prognosis sangat serius. Cairan inotropik dapat digunakan untuk mendukung
memperbaiki tekanan darah, rehidrasi telah dianggap memadai seperti
tekanan vena central tinggi (CVP), atau kardiomegali serta, kontraktilitas
jantung yang buruk. Apabila tekanan darah telah kembali normal setelah
resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah dan dengan adanya
gangguan organ maka pasien harus dikelola dengan terapi khusus. Contoh
terapi khusus untuk organ tersebut diantaranya dialisis peritoneal, terapi
renal replacement terus menerus dan ventilasi mekanis.
Jika akses intravena tidak dapat diperoleh dengan segera, maka lakukan
terapi oral jika pasien sadar atau dilakukan melalui jalur intraosseous. Akses
intraosseous dapat menyelamatkan hidup dan sebaiknya dilakukan setelah
2-5 menit setelah dua kali usaha pemasangan akses vena perifer atau terapi
oral gagal1.
2.11 KOMPLIKASI
1. Ensefalopati dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa
syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3 -,
dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer
dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) =
3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak
diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60
mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan
mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi
asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian
37
oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah
terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan
antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100mg/kgbb/hari +
kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-
obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk
mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati1.
2. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi
gagal ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan
baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan
cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya
furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan
untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila
diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum
dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous
pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya1.
3. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari
sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya
tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma
masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi
bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress
pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran edema paru pada foto rontgen dada. Gambaran edema paru
harus dibedakan dengan perdarahan paru1.
4. Efusi Pleura
38
Efusi Pleura terjadi karena kebocoran plasma yang mengakibatkan
ekstrasi cairan intravaskuler sel, hal ini tersebut dibuktikan dengan
adanya cairan didalam rongga pleura dan adanya dispnea1.
5. Hipereaktivitas Hepar
Pada pasien yang terinfeksi virus dengue sering juga ditemukan
adanya keterlibatan organ salah satunya adalah hepar, yang juga
merupakan organ target virus dengue. Serotipe virus dengue 1,2 dan 3
telah diisolasi dari pasien yang meninggal karena gagal hati, dengan
infeksi dengue primer maupun sekunder.7
Hati merupakan salah satu target organ virus dengue. Saat
hepatosit terinfeksi oleh virus dengue, virus akan menganggu sintesa.
RNA dan protein sel, yang kemudian akan mengakibatkan cidera
secara langsung pada hepatosit. Virus Dengue merupakan
microorganisma intraseluler yang memerlukan asam nukleat untuk
bereplikasi, sehingga mengganggu sintesa protein sel target dan
mengakibatkan kerusakan serta kematian sel. Virus dengue juga dapat
mengakibatkan cidera sel secara tidak langsung melalui gen virus itu
sendiri, reaksi inflamasi dan respon imun host.7
Selain hepatosit, dengue juga menyerang sel lain seperti sel darah
merah, sel otot, sel otot jantung, ginjal dan otak. Respon imun yang
terjadi pada infeksi virus dengue yang dapat menyebabkan cidera sel
adalah respon imun seluler dan humoral. Reaksi pertahanan tubuh non
spesifik juga dapat mengakibatkan cidera pada hepatosit. Virus
dengue yang ganas berpotensi menyerang sel retikuloendotelial
system termasuk organ hepar dan sel endotel, akibatnya hati
meradang, membengkak, dan faal hati terganggu dan berlanjut dengan
kejadian perdarahan yang hebat disertai kesadaran menurun dan
menunjukan manifestasi ensefalopati7
2.12 DEMAM TIFOID
2.12.1 Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik
disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), namun dapat pula disebabkan
39
oleh S. paratyphi A, S. para-typhii B (Schottmuelleri ), dan S. paratyphi C
(Hirscheldii).
2.12.2 Cara penularan
Penularan demam tifoid terjadi melalui mulut, kuman Salmonella typhi
masuk kedalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar ke
dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus kecil kemudian masuk kedalam
peredaran darah. Menurut penelitian Evanson pada tahun 2008
menjelaskan bahwa penyebab terbesar dari penyakit typhus abdominalis
adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah serta kebersihan pribadi yang
buruk. Kuman dalam peredaran darah yang pertama berlangsung singkat,
terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum menimbulkan
gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa,
sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5–9 hari kuman
kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan
endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam
tifoid
2.12.3 Gejala klinis demam tifoid
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata–rata 10–20 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak
besemangat.5,22 Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi
yang ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu
terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun
selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas
adalah kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga
(step ladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan
(anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan
sebaliknya dapat terjadi diare derita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada
kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu stepladder temperatur
chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara
bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
40
pertama. Dalam minggu ke-2 penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ke-3 suhu badan berangsur–angsur turun kecuali
apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap.7 Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap.
Bibir kering dan pecah–pecah(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor
( coated tongue ), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.
Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meterorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai
gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau
obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
2.12.4 Penegakan diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastroentestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan
kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat
diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.
typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu
berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan
keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada
90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk
membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka titer
O aglutinin ≥1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination
menunjukkan nilai ramal positif 96 %. Artinya apabila hasil tes positif, 96
% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidk
menyingkirkan. Banyak senter berpendapat apabila titer O aglutinin sekali
diperiksa ≥1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
41
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran klinik
dan laboratorium (jumlah leukosit menurun dan titer widal yang
meningkat). Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya bakteri pada
salah satu biakan. Adapun beberapa kriteria diagnosis demam tifoid adalah
sebagai berikut: (1) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari).
Demam naik secara bertahap lalu menetap selama beberapa hari, demam
terutama pada sore atau malam hari. (2) Gejala gastrointestinal; dapat
berupa obstipasi, diare, mual, muntah,hilang nafsu makan dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi. (3) Gangguan
susunan saraf pusat atau kesadaran; sakit kepala, kesadaran berkabut,
bradikardia relatif.
2.12.5 Tatalaksana demam tifoid
Tatalaksana yang dilakukan sebagian besar pasien demam tifoid dapat
diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan
kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk
kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi di samping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama.
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan anak dengan
demam tifoid diterapi dengan fluoroquinolone (Ciprofloxacin,
Gatifloxacin, Ofloxacin, and Perfloxacin) sebagai pengobatan lini pertama
selama 7-10 hari. Dosis ciprofloxacin oral adalah 2x15 mg/kgBB/hari.
selama 7–10 hari. Jika respon terhadap pengobatan menunjukkan hasil
yang jelek, maka diberikan antibiotik lini kedua, seperti cephalosporin
generasi ke-3 atau azithromycin. Dosis ceftriaxone (IV) adalah 80
mg/kgB/hari selama 5–7 hari, atau Azithromycin: 20 mg/kgBB/hari
selama 5–7 hari (WHO, 2003).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih menggunakan kloramfenikol
sebagai pilihan pertama pada demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah
42
100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10–14 hari atau
sampai 5–7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan
malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari,
4–6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis.
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200
mg/kgBB/ hari diabagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 kali
pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol
walaupun penurunan demam lebih lama.
Kombinasi trimethoprim sulfametokzasol (TMP-SMZ) memberikan hasil
yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah
TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap
sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga
seperti ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis
(maksimal 4g/hari) selama 5–7 hari atau cefotaxime 150– 200
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan.
Akhir–akhir ini cefixime oral 10–15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit.
BAB III
KESIMPULAN
Pada tanggal 9 Februari. Pasien datang kepoli anak dengan demam sejak ± 3 hari
SMRS anak demam, demam mendadak tinggi, demam terus menerus, demam
turun bila diberi paracetamol, tetapi tidak sampai suhu normal. lalu demam
kembali naik lagi. Anak mengeluhkan nyeri kepala (+), nyeri sendi (+) dan nyeri
otot (+), anak tampak lemah (+), menggigil (-), kejang (-). Selain demam pasien
tidak mengalami mata merah (-), batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah (+) kurang
lebih 5x, keluar cairan dari telinga (-), mimisan (-), gusi mudah berdarah (-),
43
muncul ruam-ruam merah pada muka (-), tampak pucat (-), keluar bintik-bintik
merah seperti digigit nyamuk (-), sesak nafas (-), nyeri ulu hati (+), nafsu makan
menurun (+), BAK nyeri (-), BAK merah atau keruh (-), nyeri pinggang (-), BAK
sedikit (-), BAB cair (-), BAB sulit (-), BAB berwarna hitam (-), riwayat tetangga
disekitar rumah dirawat di RS karena sakit demam berdarah (+). Dilakukan cek
DR dipoli didapatkan Hb 11.4, Hematokrit 34, Leukosit 3.300, Trombosit 131.000
dan dikatakan curiga demam berdarah. Kemudian anak dianjurkan ke IGD dirawat
inapkan dengan diagnosis Dengue fever. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu
38,3 C, Nadi 128 dengan RR 24x/menit. Di IGD diberikan inf asering 1
cc/kgbb/jam 26 cc /jam, psidii 3x1 cth, pct syr 12,5 cc/4 jam, sucralfat syr 3 x II
cth, zinc 1x20 mg, domperidone syr 3xII cth, cek DR/8 jam. Gejala yang dialami
pasien ini sesuai dengan gejala yang biasa dialami pasien dengue fever dimana
didapatkan demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik
turun tidak berpengaruh dengan antipirektik. Kadang terdapat muka yang merah,
eritema, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada
gejala nyeri tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah
sering juga dikeluhkan.
44
sucralfat syrp 10ml/8jam, PO zinc syrp 5ml/24jam. Diagnosis akhir pasien adalah
Dengue Haemoragic Fever Grade I atau Dengue Fever dengan Warning Sign
overcome dan Susp Demam Tifoid, dimana didapatkan kesamaan dari teori yaitu
pasien menetap atau berkunjung ke daerah endemic dengue, dengan demam
selama 2-7 hari, disertai dengan salah satu dari kriteria nyeri abdominal, muntah
persisten, tanda klinis adanya akumulasi cairan, letargi, hepatomegaly dan hasil
laboratorium: peningkatan HT. pasien ini juga mengalami konstipasi serta titer
widal 1/160. Sementara dilihat dari aspek perilaku juga pasien memiliki kebiasaan
jajan sembarangan serta tidak membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum
makan sehingga terjadi penyebaran Salmonella typhi melalui jalur fekal-oral.
Sementara masalah konstipasi dumungkinkan akibat sifat bakteri yang menyerang
saluran cerna. Selain itu edukasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
45
3. Kemenkes. 2017. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyebaran Lingkungan
4. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI.
2010. Buletin Jendela Epidemiologi Topik Utama: Demam Berdarah
Dengue. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
5. Rezeki, S., Moedjito, I., dkk. 2018. Buku Ajar Infeksi & Penyakit
Tropis. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
6. WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever
7. Soegeng Soegijanto, 2006, Demam Berdarah Edisi Ke-2, Airlangga,
Surabaya, 272 halaman
8. Rheisa Ghassani. 2014. Management Of Typhoid Fever In Infants
With Irregular Eating Patterns And Knowledge Phbs Of Mothers On
Scant. Jurnal Vol 3 No 1. Lampung.
46