Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

METODE PERBANDINGAN
1. Pendahuluan
Sarjana bahasa abad XIX telah mengembangkan teknik-teknik untuk
mengadakan perbandingan antarbahasa guna menemukan kesamaan-kesamaan
antarbahasa kerabat. Metode tersebut biasanya disebut metode klasik. Metode
perbandingan klasik itu meliputi Hukum Bunyi, rekonstruksi fonemis, dan
rekonstruksi morfemis. Hukum Bunyi yang kemudian diganti dengan istilah
korespondensi bunyi pada abad XX pada hakikatnya adalah suatu metode untuk
menemukan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi bahasa.
2. Hukum Bunyi
Persoalan mengenai bahasa berkisar pada pertanyaan: apakah lahirnya (bunyi)
bahasa itu karena sesuatu hubungan alamiah dengan barangnya yang ada di alam atau
tidak. Socrates yang terlibat dalam percakapan tersebut mengatakan bahwa tidak
mungkin menunjukkan hubungan antara pemberian nama (= nama) dengan sifat dari
barangnya. Bila teori-teori yang menjelaskan proses lahirnya bahasa itu benar, yaitu
bahasa timbul dari bunyi-bunyi tertentu (call) yang mengalami perkembangan tertentu
(pra-morfem) pada sekelompok hominid, maka dapat dimengerti bahwa warisan dari
kelompok tersebut akan diturunkan dan dipantulkan kembali melalui kata-kata
kerabat dewasa ini.
Terlepas dari persoalan bahasa itu, pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan
kemiripan bentuk-makna biasanya diwujudkan dalam hubungan bunyi antar bahasa
yang terdapat dalam kata-kata yang mirip. Sesudah itu, pengelompokan berdasarkan
kaidah-kaidah gramatikal dan akhirnya berdasarkan kaidah kaidah sintaksis.
Hubungan yang teratur mengenai bunyi-bunyi bahasa yang didasarkan pada kata-kata
dengan makna yang mirip mula-mula dirumuskan dengan nama Hukum Bunyi. Jakob
Grimm menemukan kenyataan kenyataan bahwa ada pergeseran bunyi yang teratur
antara bahasa-bahasa German di satu pihak dan bahasa Yunani-Latin di pihak lain.
Pergeseran bunyi yang dikemukakan Grimm secara singkat dirumuskan dalam tabel
berikut.

Pertukaran Bunyi Bahasa Contoh


Indo-Eropa

Non-German German

b p Lat.: labium
Sak.Kuno: lepor; Bel.: lip

bh b Sans.: bibharmi; Yunani: phero; Latin: fero;


Gothik: bairan; Bel.: geboren

d t Yunani: deka; latin: decem


Sak.Kuno: tehan; Bel.: Tien; Inggris: ten

dh d Sans: vidhava; Yunani: etheos; Latin: vidua


Gothik: widuwo; Bel.: weduwe

g k Yunani: gonu; Latin: genu


Gothik: kniu; Bel.: knie

gh g Yunani: okheo; Latin: vehere


Gothik: ga-wigan

p f Sans: pitar; Yunani: peter; Latin: pater


Gothik: fadar; Bel.: fader; Inggris: father

ph θ Sans: dan; Yunani: odon; Latin: dens


Gothik: tunpus; Bel.: tand
t

th

k x Yunani: kardia; Latin: cordis


Gothik: hairto; Bel.: hart
kh
Ahli-ahli Junggramatiker memberi status yang kuat bagi hukum bunyi dan
mengatakan bahwa hukum ini berlaku tanpa kecuali karena hukum itu berlangsung
secara buta. Hukum-hukum itu berlaku dalam batas-batas geografis tertentu. Bila ada
penyimpangan, maka penyimpangan itu akan dirumuskan kembali dalam hukum
tertentu yang lain. Bila tidak dapat dijelaskan, maka hal itu merupakan akibat dari
analogi. Apa yang ditegaskan oleh Junggramatiker tersebut seolah-olah
dikonfirmasikan oleh penemuan Karl Verner yang kemudian terkenal dengan nama
Hukum Verner: frikatif yang bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif
bersuara dalam lingkungan bersuara bila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal
sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa.

3. Penerapan Hukum Bunyi Pada Bahasa-Bahasa Austronesia

Brandes, Van Der Tuuk, dan Brandstetter telah mencoba menerapkan metode-metode
perbandingan yang dikembangkan di Eropa pada Abad 19 pada bahasa-bahasa austronesia.
Beberapa kesimpulan mengenai hubungan bunyi antara bahasa-bahasa Austronesia yaitu
sebagai berikut.
a. Umum

Korespondensi fonemis antara bahasa-bahasa kerabat Austronesia atau hubungan


fonem-fonem bahasa kerabat dengan bahasa protonya atau disebut Austronesia Purba. Dapat
dilihat pada penjelasan berikut ini.
1) Fonem / ǝ /
Fonem / ǝ / Austronesia purba dapat dipantulkan dalam fonem-fonem kerabat
berikut:
- Bahasa Jawa Kuno dan Karo menjadi /ǝ /
- Bahasa Makassar dan Minangkabau menjadi / a /
- Bahasa Dayak menjadi menjadi / e /
- Bahasa Toba dan Bisaya menjadi /o /
Contoh untuk memperkuat korespondensi bunyi
Kata Austronesia Purba /kǝsah / (bernapas)
- Bahasa Karo, menjadi /kǝsah/
- Bahasa Toba menjadi /hosah/
Kata Austronesia /lawǝed/ (laut)
- Bahasa Karo menjadi /lawǝd /
- Bahasa Bisaya menjadi /lawod /
Kata /bǝras / dalam bahasa Melayu, menjadi /bigas / dalam bahasa Tagalog

2) Fonem Triil

Dalam bahasa Austronesia Purba dikenal 2 macam fonem triil yaitu triil apikal /r/
dan triil uvular /R /. Triil apikal dan uvular berkonvergensi menjadi satu triil
apikal /r /.
Fonem triil uvular /R / tumbuh menjadi
- /g / dalam bahasa Bisaya
- /h/ dalam bahasa Dayak
Dalam bahasa Jawa Kuno awalnya menjadi /h / kemudian hilang /Ø /
Triil apikal berkembang menjadi lebih jauh memantulkan fonem /r/, /d/, /i/ dalam
bahasa-bahasa Austronesia kontemporer. Contoh
/pari / Jawa, Lampung
/pare/ Sunda, Makassar
/padi/ Melayu, Madura, Bali, Alor
/pade/ Aceh, Aru
/pale/ Gorontalo
/palay/ Tagalog
/page/ Batak
/faghe/ Nias

3) Fonem /k/ dan /h/


Fonem Austronesia Purba /k/ dipantulkan secara lincar /licin, dalam bahasa Karo,
Melayu, dan Gayo. Dalam bahasa Toba berubah menjadi /h/. Contoh sebagai
berikut

Kata Austronesia Purba /kǝsa/ menjadi /kǝsah/ dalam bahasa Karo dan menjadi
/hosa/ dalam bahasa Toba.

4) Diftong /uy/ dan /ay/

Diftong /uy/ dalam bahasa Austronesia Purba bertahan dalam bahasa Jawa kuno,
Formosa, tetapi berubah menjadi /i/ dalam bahasa Karo, dan /e/ dalam bahasa
Lamalera. Contoh

Kata Austronesia Purba /apuy/ menurunkan kata /apuy/ dalam bahasa Jawa kuno,
Formosa, dan bahasa Batan. Menjadi /api/ dalam bahasa Karom dan Melayu.
Menjadi /ape/ dalam bahasa Lamalera.

Diftong /ay / dalam bahasa Austronesia Purba menurunkan /i/ dalam bahasa
Melayu. Contoh kata /hatay/ menjadi /hati/ dan /binay/ menjadi /bini/.
Padanannya dalam bahasa Lamalera adalah adalah /bine/ ‘saudari’. /ate/ ‘hati’.

5) Penghilangan Konsonan Antar Vokal


Contoh penghilangan konsonan dalam bahasa Bugis pada fonem /h/ antar vokal ,
dan dalam bahasa Malagasi pada fonem /s/ antar vokal. Contoh :
- Kata /poη/ dalam bahasa Bugis diturunkan dari /pohon/.
- Kata /fu/ (jantung) dalam bahasa Malagasi diturunkan dari /pusu/.

b. Perubahan Fonem pada Bahasa Bugis dan Makassar.

Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa fonem /ǝ / Austronesia Purba dalam bahasa
Makassar berubah menjadi /a/. Bila fonem /ǝ / yang berubah menjadi /a / itu terdapat pada
suku kedua dari akhir maka konsonan yang mengikutinya digandakan (digeminasi).
Khususnya jika fonem /ǝ / itu mendahului fonem /s/ yang terletak sebelum konsonan /l /, /r /,
atau /s /, maka konsonan /s / itu disamping mengalami geminasi memperoleh lagi konsonan
glotal. Contoh pada kata ‘sesal’, dala bahasa bali menjadi /sǝlsǝl/, bahasa Jawa Kuno /sǝsǝl/,
Melayu /sǝsal/, Bisaya /basol/, dan bahasa Makassar menjadi /sassalaʔ/

Beberapa korespondensi khusus antara bahasa-bahasa Austronesia lain dengan bahasa Bugis
dapat disebut antara lain:
(1) Semua konsonan eksplosif pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan berubah
menjadi konsonan glotal dalam bahasa Bugis. Misalnya pada kata /apit/
Melayu akan menjadi /pipiʔ/ dalam bahasa Bugis.
(2) Semua konsonan sengau dalam bahasa-bahasa lain akan menjadi /η/ dalam
bahasa bugis. /pohon/ dalam bahasa Melayu akan menjadi poη/ dalam
bahasa Bugis.
(3) Konsonan pada suku kedua akhir yang mengikuti /ǝ/ akan mengalami
geminasi, misalnya kata /sǝsal/ dalam bahasa Melayu, /basol/ dalam bahasa
Bisaya, menjadi /sǝssǝʔ/ dalam bahasa Bugis.
(4) Konsonan / I/ pada akhir kata dalam bahasa Bugis berubah menjadi
konsonan glotal, tetapi akan menjadi /rr/ ˗ geminasi, kalau diikuti akhiran,
misalnya /sǝssǝʔ/ ‘sesal’ tetapi akan menjadi /pasǝssǝrrǝη/.
(5) Konsonan /s / pada akhir kata dalam bahasa Bugis akan berubah menjadi
konsonan glotal, tetapi / s / itu akan kembali apabila mendapat akhiran.
Misalnya /nipiʔ/ ‘tipis’, tetapi karena akhiran -i, konsonan / s / akan kembali
/nipisi/.

c. Bahasa Malagasi
Bahasa Malagasi yang letaknya jauh ke sebelah barat, masih menunjukkan korespondensi
fonemis yang teratur dengan bahasa-bahasa Austronesia. Berikut akan dikemukakan beberapa
korespondens tersebut, sehingga bentuk kata bahasa Malagasi akan tampak lebih jelas :
(1) Pada bahasa Austronesia terdapat konsonan /h/, maka dalam bahasa
Malagasi akan hilang. Contoh; Kata /lebih/ dalam bahasa melayu akan
menjadi /ambi/ dalam bahasa Malagasi.
(2) Bunyi nasal pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan menjadi /na/ dalam
bahasa Malagasi. Contoh : Kata /iliη/ dalam bahasa Karo akan menjadi
/idina/ dalam bahasa Malagasi.
(3) Bunyi /I/ yang didahului vokal /i/ dalam bahasa Austronesia lainnya akan
menjadi /d/ dalam bahasa Malagsi. Perubahan /I/ menjadi /d/ sejalan dengan
korespondensi /r-d-l/ pada bagian umum.
(4) Konsonan /t/ akhir pada bahasa Austronesia Purba dan Kontemporer akan
menjadi /tră / dalam bahasa Malagasi. Contoh Kata /pǝpat/ ‘melicinkan’
dalam bahasa Karo. Dalam bahasa Malagasi menjadi /ampatră/.
(5) Fonem /j/ yang mengikuti bunyi nasal dalam bahasa Austronesia Purba
menjadi /dz/. Contoh kata /tanjak/ dalam bahasa Jawa Kuno ‘meloncat’.
Dalam bahasa Karo menjadi /hindzaka/.
(6) Bunyi /k/ pada akhir kata menjadi /ka/ dalam bahasa Karo /anjak/, menjadi
/hindzaka/ dalam bahasa Malagasi.
(7) Konsonan /p/ Austronesia Purba menjadi /f/ kecuali jika /p/ mengikuti nasal.
/lefa/ Malagasi, /lipas/ Tagalog, /lǝpas/ Melayu.

4. Kritik atas Hukum Bunyi


Aliran Neo-Linguistica menyerang Junggramatiker dengan alasan idealisme.
Menurut mereka, setiap manusia memiliki kebebasan untuk mencipta sendiri tanpa
terikat oleh hukum-hukum atau peraturan-peraturan tertentu. Artinya, bahasa tidak
dapat diatur atau diredusir dalam rumus-rumus atau hukum-hukum tertentu.
Sebaliknya, Aliran Rusia menolak hukum bunyi dari segi materialisme. Mereka
mengatakan bahwa rumus-rumus yang dikemukakan oleh Junggramatiker terlalu
abstrak sifatnya dan tidak mengindahkan soal-soal sosial dalam masyarakat.
Terlepas dari kritik hukum bunyi yang dikemukakan Junggramatiker, ahli-ahli
linguistik abad ini terutama di Amerika menerima rumusan Junggramatiker sebagai
dasar, dengan menambahkan perbaikan-perbaikan tertentu agar hasil yang dicapai
lebih dapat dipertanggungjawabkan. Mereka tetap menggunakan prosedur
perbandingan sesuai yang sudah dilakukan, bertolak dari bidang fonologi dengan
membandingkan pasangan-pasangan kata yang tercatat: apakah pasangan itu
mengandung kesamaan fonologis (bentuk) dan makna atau tidak.

5. Korespondensi Bunyi
Istilah “hukum bunyi” dianggap cenderung memiliki ikatan yang kuat
sehingga diganti dengan istilah “korespondensi fonemis”. Segmen-segmen yang
berkorespondensi dibandingkan satu sama lain dalam berbagai bahasa. Setelah
mendata kata-kata dari sejumlah bahasa, dilakukan perbandingan fonem dengan
fonem lain dari tiap segmen.
Untuk memperjelas bagaimana prinsip perbandingan tersebut, terdapat contoh
dari bahasa Indo-Eropa. Perbandingan tersebut menggunakan sepuluh bilangan utama
karena adanya kemiripan antara satu sama lain. Penggunaan bilangan utama ini
terbilang menguntungkan karena tidak adanya makna tambahan atau konotasi lain.
Dari tabel-tabel di atas, delapan bahasa tersebut dikelompokkan menjadi tiga
satuan: kelompok Yunani-Latin-Sanskerta-Gotik (Indo-Eropa), kelompok
Akkadia-Ibrani-Arab (Semit), dan Jepang yang berada di luar kelompok-kelompok
tersebut.
Dari data-data di atas, dapat ditarik beberapa korespondensi fonemik pada
bahasa Indo-Eropa sebagai berikut:
a. / d - d - d - t / : perangkat korespondensi yang terdapat dalam glos “dua” dan
“sepuluh”
b. / h - s - s - s / : perangkat korespondensi pada awal “enam” dan “tujuh”
c. / e - e - a - i,e / : perangkat korespondensi pada vokal awal “sepuluh” dan
“tujuh”
Pada bahasa Semit, ditemukan korespondensi fonemik sebagai berikut:
a. / s - s - s / : perangkat korespondensi pada “enam” dan “tujuh”
b. / e - ‘a -’a / : perangkat korespondensi pada “empat” dan “sepuluh”
Bahasa Austronesia juga dapat dibandingkan dengan cara seperti di atas.
Misalnya untuk kata “hidung” seperti berikut:
Melayu: hidung
Ma’anyan: urung
Banjar: hidung
Malagasi: uruns
Lamalera: irung
Jawa: irung
Batak: igung
Tagalog: ilung
Dari data-data di atas, didapatkan perangkat korespondensi sebagai berikut:
/h-Ø-h-Ø-Ø-Ø-Ø-Ø/
/i- u -i- u- i - i - i - i/
/d-r - d-r- r - r - g- l/
/u-u -u-u-u - u -u- u/
/ŋ-ŋ- ŋ-ŋ- ŋ- ŋ -ŋ- ŋ/
/ Ø - Ø -Ø- ∆ - Ø - Ø - Ø - Ø /
Suatu perangkat korespondensi fonemis tidak hanya diperoleh dari satu pasang
kata saja, melainkan harus diturunkan dari seluruh kemungkinan yang dapat diperoleh
dari bahasa-bahasa yang dibandingkan.
(garnish sudah selesai :D)
6. Pembentukan Korespondensi Fonemis
Sesudah mencatat indikator korespondensi, maka harus diadakan pengujian
supaya korespondensi tersebut memiliki status kuat, dan jangan sampai ada
korespondensi yang seharusnya ada ternyata diabaikan, dan sebaliknya. Prosedurnya
adalah sebagai berikut.
a. Rekurensi Fonemis
tindakan pertama setelah menemukan perangkat korespondensi
fonemis adalah menemukan pasangan-pasangan lain yang mengandung
pasangan tersebut. Misalnya glos ‘rumah’ dibawah ini yang berasal dari
bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Denmark, dan Swedia berikut.

Dari data tersebut ditemukan korespondensi fonemis.


/h - h - h - h -h/
/aw-aw-ø-u:-u:/
/s - s - s - s - s/
Dari setiap korespondensi harus diperkuat dengan sejumlah rekurensi pada
pasangan-pasangan kata yang lain. Misalnya perangkat korespondensi /aw -
aw - ø - u: - u:/ dalam glos ‘rumah’ dijumpai kembali pada pasangan-pasangan
lain pada tabel berikut.

Dalam bahasa Nusantara kita dapat melihat contoh pada kata ‘batu’,
Melayu: batu, Jawa: watu, Batak: batu, Lamalera: fato. Dari pasangan ini
terdapat indikasi adanya perangkat korespondensi fonemis
/b - w - b - f/
/a - a - a - a/
/t - t - t - t /
/u - u - u - u/
Kalo hubungan antara fonem-fonem itu menjadi perangkat korespondensi
fonemis yang sesungguhnya maka harus diperoleh rekurensinya sebagaimana
contoh di atas. Semakin banyak data yang ditemukan maka semakin
meyakinkan korespondensi fonemis tersebut.
Namun, ada juga kemungkinan bahwa dari data-data yang ada
diperoleh korespondensi yang tidak sejalan dengan korespondensi yang telah
ditetapkan. Aliran Junggramatiker menerangkan bahwa hal itu mengikuti
hukum bunyi yg lain, jadi tidak selalu hanya ada satu korespondensi.
b. Ko-Okurensi
Sebuah perangkat korespondensi selalu diturunkan dari kata-kata yang
mirip bentuk dan maknanya. Karena prinsip ini terdapat bentuk-bentuk
tertentu yang diabaikan sebagai bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk yang
lain dalam bahasa kerabat. Padahal bentuk tersebut juga bentuk kerabat.
Ko-okurensi adalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada
kata-kata kerabat yang mirip bentuk dan maknanya, sehingga dapat
mengaburkan baik kemiripan bentuk maknanya maupun korespondensi
fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lain.
Contoh pada kata ‘baru’ pada bahasa Melayu; baru, Jawa: weru, Karo:
‘mbaru, dan Lamalera: fu. Melihat bentuk fu yang identik dengan fu yang
berarti ‘busur’, agaknya ada kecenderungan untuk menyingkirkan bentuk
tersebut, sehingga tidak perlu juga menambah /f/ pada perangkat
korespondensi /b-w-b-f/. Tetapi melihat dengan memperhatikan gejala-gejala
sejenis yang terdapat dalam bahasa-bahasa Nusantara lainnya, maka /f/ dalam
kata fu ‘baru’ tetap merupakan korespondensi tadi. Kata fu telah mengalami
kontraksi dari bentuk: baru - waru - weru (n) - wehu - weu - fu. Mula-mulai
fonem /r/ menjadi /h/ kemudian /h/ menghilang dari bentuk itu, dan akhirnya
kedua vokal tadinya mengapit /h/ mengalami proses sandi dalam menjadi /u/.
Gejala menghilangnya /r/ antara vokal merupakan peristiwa yang
umum dalam bahasa nusantara. Misalnya bahasa jawa beras - weras - wehas -
weas - wos.
c. Analogi
Menghilangnya /h/ antara vokal yang berasal dari /r/ antar vokal dalam
bahasa Bali dan Lamalera terjadi karena analogi, contoh yang lain asu - aho -
ao. Analogi sendiri merupakan suatu proses pembentukan kata mengikuti
contoh-contoh yang sudah ada.
Korespondensi fonemis biasanya mulai terjadi antar bahasa kerabat
ketika muncul perubahan-perubahan. Dan ini merupakan suatu proses yang
dapat dipahami. Tetapi ada juga analogi yang muncul dalam suatu situasi
peralihan yang lain, dalam hubungan dengan bahasa-bahasa non-kerabat. Pola
perubahan antara bahasa kerabat itu dapat dipakai sebagai dasar untuk
mengubah bentuk-bentuk dari bahasa non-kerabat sehingga dapat diterima
dalam bahasa sendiri. misal kata pikir yang dirasa asing tetapi bila menjumpai
kata fikir dalam bahasa Arab dapat saja timbul dugaan bahwa ada semacam
korespondensi.
Pembentukan kata baru berdasarkan analogi bisa terjadi juga dalam
bahasa-bahasa kerabat, atau malahan juga dalam bahasa sendiri sehingga
seolah-olah ada semacam kemiripan bentuk karena warisan. Misal kata
berniaga dan berjuang dalam bahasa Indonesia yang mengandung prefiks ber-
seperti yang terdapat dalam berjalan, berdiri, dan lain-lain. Padahal analogi
tersebut muncul karena prefiks ba- dalam bahasa Minang berubah menjadi
ber- dalam bahasa Indonesia. Padahal kata baniago berasal dari vanijjya
Sansekerta yang merupakan kata dasar dan baujuang: ba + ujuang.
Jadi perlu diperhatikan masalah analogi. Apakah kata-kata yang
dipakai dalam perbandingan itu tidak dibentuk berdasarkan prinsip analogi.

7. Kesimpulan
Teknik penetapan korespondensi fonemis antara bahasa-bahasa yang memiliki
kekerabatan telah dikembangkan oleh ahli tata bahasa abad XIX dengan nama Lautgesetz
atau dikenal pula dengan nama Hukum Bunyi. Sebagai metode perbandingan, korespondensi
fonemis tidak dapat berdiri sendiri, karena memiliki pertalian dengan korespondensi antara
kata-kata yang dianggap satu asal. Dalam menentukan masalah korespondensi fonemis antara
bahasa kerabat sejauh mungkin harus dihindari istilah menjadi, seperti contoh fonem /w/
bahasa Jawa menjadi fonem /b/ dalam bahasa Melayu. Tidak ada istilah menjadi dalam
bahasa kerabat, yang ada hanyalah kesepadanan atau korespondensi. Akan tetapi, istilah
menjadi bisa dipergunakan apabila dapat dihubungkan antara bahasa sekarang dengan bahasa
yang lebih tua, seperti bentuk ao dalam bahasa Lamalera dengan aho atau asu dalam bahasa
Jawa.
Akhirnya, perlu ditarik kesimpulan mengenai penetapan korespondensi fonemis
antara bahasa kerabat sebagai berikut.
1. Dalam sejarah bahasa, perubahan bunyi (fonem) terjadi secara teratur.
2. Apabila sudah diperoleh indikator mengenai korespondensi fonemis , maka indikator
tersebut harus diuji melalui rekurensi fonemis untuk mendapat korespondensi yang
teruji kebenarannya atau sahih.
3. Agar korespondensi fonemis itu tidak diabaikan dalam bentuk-bentuk kerabat
tertentu, maka harus dipersoalkan pula adanya ko-okurensi, yaitu korespondensi atau
gejala lain yang timbul di samping korespondensi yang ada.
4. Tetapi di pihak lain, agar suatu bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk kerabat lain
jangan dimasukkan dalam rangkaian kata yang menghasilkan suatu korespondensi
fonemis, maka hendaknya diperhatikan pula bentuk-bentuk yang mirip yang terjadi
karena analogi. Bentuk yang mirip, yang terjadi karena proses analogi bukanlah
kata-kata kerabat, sehingga harus ditolak.

Anda mungkin juga menyukai