Anda di halaman 1dari 84

HUBUNGAN KONTAK ERAT PENDERITA TBC DENGAN ANGKA

KEJADIAN TBC ANAK DI WILAYAH PUSKESMAS TANJUNGKERTA

TAHUN 2021

PROPOSAL

Disusun oleh:

NAMA : Siti Fathonah

NIM : 19142012058

PRODI S1 KEPERAWATAN MAJALENGKA

STIKes YPIB MAJALENGKA

TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN KONTAK ERAT PENDERITA TBC DENGAN ANGKA

KEJADIAN TBC ANAK DI WILAYAH PUSKESMAS TANJUNGKERTA

TAHUN 2021

Proposal Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim

Penguji Proposal Skripsi Program Sarjana Keperawatan STIKes YPIB

Majalengka

Majalengka, Agustus 2021

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Hera Hijriani, S.Kep, Ners, M. Kes Ayu Idaningsih, S.Si.T, M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang

berjudul “HUBUNGAN KONTAK ERAT PENDERITA TBC DENGAN

ANGKA KEJADIAN TBC ANAK DI WILAYAH PUSKESMAS

TANJUNGKERTA TAHUN 2021” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan telah memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga

proposal penelitian ini dapat selesai. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan

kepada:

1. Yang terhormat Bapak H. Jejen Nurbayan, SE, selaku Ketua Yayasan

Yayasan Pangeran Imam Bonjol Majalengka

2. Yang terhormat Bapak H. Wawan Kurniawan, SKM. M.Kes, selaku Ketua

STIKes YPIB Majalengka.

3. Yang terhormat Ibu Hera Hijriani, S.Kep, Ners, M.Kep selaku Kepala

Prodi Keperawatan sekaligus Pembimbing Utama

4. Yang terhormat Ibu Ayu Idaningsih, S.Si.T, M.Kes selaku pembimbing

Meskipun telah berusaha menyelesaikan proposal peelitian ini sebaik

mungkin, penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih ada

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari para pembaca guna menyempurnakan segala kekurangan

dalam penyusunan proposal penelitian ini.


Akhir kata, penulis berharap semoga proposal penelitian ini berguna bagi

para pembaca dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Majalengka, Agustus 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

iii

LEMBAR PERSETUJUAN....................................................................................

iv

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................

LEMBAR PERNYATAAN..................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..............................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................

1.3 Tujuan Penelitian...........................................................................................

1.4 Manfaat Penelitian.........................................................................................

6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsef TBC Paru .........................................................................................

2.1.1 Definisi TBC....................................................................................

2.1.2 Etiologi ............................................................................................

2.1.3 Patogenesis ......................................................................................

2.1.4 Sumber dan Cara penularan ............................................................

12

2.1.5 Perjalanan Alamiah TBC Pada Manusia..........................................

13

2.1.6 Klasifikasi TBC................................................................................

15

2.1.7 Resiko penularan TBC.....................................................................

18

2.1.8 Penemuan TBC Pada Anak..............................................................

19

2.1.9 Gejala Tuberkulosis Pada anak.........................................................

20

2.1.10 Pemeriksaan Untuk Diagnostik TB Anak. .....................................


22

2.1.11 Penatalaksanaan TB paru Anak.......................................................

24

2.1.12 Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi TB......................................

28

2.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru anak...........................

30

2.2.1 Agent atau kuman.................................................................................

31

2.2.2 Pejamu atau Penderita (Host)................................................................

32

2.2.3 Lingkungan...........................................................................................

39

2.3 Kerangka Teori...............................................................................................

46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3. 1 Rancangan Penelitian........................................................................................

47

3.2 Kerangka Konsep 46

3.3 Hipotesis Penelitian............................................................................................

48

3.4 Variabel Penelitian...............................................................................................

49
3.5 Definisi Operasional.............................................................................................

49

3.6 Populasi dan Sampel...........................................................................................

51

3.7 Pengumpulan Data..............................................................................................

52

3.8 Tekhnik Pengumpulan dan Pengolahan Data ....................................................

55

3.9 Analisa Data .......................................................................................................

56

3.10 Etika Penelitian.................................................................................................

59

3.11 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................................

60
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis serta Mycobacterium

avium, tetapi lebih sering disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa

(Hockenberry & Wilson, 2009). Diperkirakan pada tahun 2011 insiden kasus

TBC mencapai 8,7 juta, 990 orang meninggal karena TBC, secara global

diperkirakan insiden TBC Resisten obat adalah 3,7 %, kasus baru 20 %,

sekiatar 95 % kasus TBC dan 98% kematian akibat TBC di dunia terjadi di

Negara berkembang( KemenKes ,RI.2016). Di Negara-negara berkembang,

kematian akibat tuberculosis merupakan 25% dari seluruh kematian yang

sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan bahwa 95% penderita tuberculosis di

Negara berkembang, termasuk Indonesia (Depkes RI, 2010).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TBC anak

terjadi pada anak usia 0-14 tahun (Kemenkes RI,2016).

Usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan

penyakit tuberculosis Samallo mendapatkan angka tertinggi penularaan dan

bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan
umur 7-14 tahun, usia anak sangat rawan tertular tuberculosis, bila terinfeksi

mereka sudah terkena penyakit tuberculosis dan cenderung menderita

tuberculosis berat seperti tuberculosis meningitis, milier atau penyakit paru

berat. (Eisenhut & Fidler, 2014). ( Rosmayudi 2007).

Angka kejadian tuberculosis pada anak di Indonesia belum diketahui

secara pasti, namun bila angka kejadian Tuberkulosis dewasa tinggi, maka

dapat diperkirakan tuberculosis pada anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi

karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan

menularkan pada 10-15 orang di lingkungannya, terutama anak-anak

( Kartasasmita 2009)

Penyakit tuberculosis pada anak didapat dari penularan orang dewasa.

Penularan ini biasanya melalui inhalasi sputum penderita yang mengandung

kuman tuberculosis ketika penderita dewasa batuk, bersin dan berbicara

(Mangtani et al 2014).

Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit tuberculosis adalah

faktor genetic, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan, dan kepadatan penduduk.

Tuberkulosis terutama banyak terjadi di populasi yang mengalami stress,

nutrisi jelek, sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan kesehatan

yang tidak cukup, dan perpindahan tempat. Lingkungan rumah yang buruk

juga akan mendukung seorang anak terkena penyakit TBC, misalnya

kepadatan penduduk dan perumahan di sekitar tempat tinggal anak,

pencahayaan yang kurang, suasana yang lembab akan mendukung kuman


TBC untuk tetap hidup, dan hal ini akan meningkatkan resiko anak terkena

penyakit TBC ( Menurut Berti et al 2014),

Penyakit TBC pada anak bila tidak segera ditangani dan diobati

dengan baik akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan dan

biasanya akan berkembang ke arah yang lebih buruk misalnya TBC milier

dan meningitis, serta tentu saja akan menghambat pertumbuhan anak

(Marquez et al, 2014).

Screening tuberculosis juga sangat penting karena jika seorang anak

terlambat terdeteksi maka kemungkinan perjalan penyakit tuberculosis akan

lebih buruk. Tuberkulosis jika tidak diobati segera bisa menyebar ke seluruh

organ lain, dan biasanya lebih berbahaya. Oleh karena itu, screening dan

deteksi dini tuberculosis harus digalakkan di masyarakat. Selama ini seorang

anak akan diketahui dan terdiagnosis TBC jika orang tua membawa anaknya

ke Puskesmas, sehingga lebih bersifat pasif. Hal inilah yang menjadi

penyebab keterlambatan dalam penanganan tuberculosis pada anak.

Penelitian Sengai et al (2019), sebanyak 39.065 orang disaring, di

antaranya 663 (1,7%) didiagnosis dengan TBC; 126/663 (19,0%) yang

dikonfirmasi karena bakteri. Tertinggi TBC hasil diagnostik berada pada

orang dengan gejala CXRs sugestif TBC (19,4%), orang tanpa gejala dengan

CXRs sugestif TBC (8,4%) dan orang-orang di highrisk TBC (3,2%).

Penelitian Hendrawati (2018) menunjukkan bahwa rata-rata skor

pengetahuan guru sekolah dan kader kesehatan sebelum dilakukan kegiatan

pemberdayaan adalah 63,33 (SD = 20,90); rata-rata skor pengetahuan guru


sekolah dan kader kesehatan setelah dilakukan kegiatan adalah 81,00 (SD =

12,96) dengan rata-rata peningkatan skor 17,67 (SD = 20,96) dan nilai p

0,000; dan kemampuan psikomotor peserta 100% lulus dalam kegiatan

praktikum. Melalui kegiatan ini pengetahuan dan kemampuan guru sekolah

dan kader kesehatan dapat meningkat dalam melakukan deteksi dini dan

screening awal tuberkulosis pada anak sekolah.

Studi pendahuluan di wilayah Puskesmas Tanjungkerta Sumedang,

pada tahun 2018-2020 terdapat 112 kasus yang terdiri dari kasus TBC anak,

dewasa, BTA positif, TBC ekstra paru dan BTA negatif. Angka TBC anak ini

melebihi target. Perhitungan seharusnya 15% dari kasus BTA+. Sementara

kasus BTA+ pada tahun 2018 berjumlah 17 orang dan TBC anaknya terdapat

6 orang. Pada tahun 2019 BTA+ berjumlah 12 orang dan TBC anaknya

terdapat 17 orang. Lalu pada tahun 2020 BTA+ berjumlah 6 orang dan TBC

anaknya terdapat 5 orang Seharusnya target TBC Anak <15 % dari BTA+.

Sebelumnya telah dilakukan screening kepada keluarga yang mempunyai

riwayat TBC.

Untuk pengobatan TBC pada anak ini perhitungan dosisnya

berdasarkan kilogram berat badan. Anak usia 0-14 tahun pengobatannya

dengan OAT Kategori anak, sedangkan anak usia 14 tahun keatas

pengoobatannya dengan OAT Kategori Dewasa dengan perhitungan berat

badan.

Dari jumlah 17 anak yang menderita TBC di Tahun 2019 terdapat

anak usia 18 bulan.


Hasil dari wawancara dari 10 keluarga yang mempunya anak yang

menderita penyakit TBC, 7 keluarga diantaranya mengatakan anaknya pernah

kontak dengan penderita TB dan 3 keluarga mengatakan tidak pernah kontak

anaknya dengan penderita TBC,

Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul “Hubungan Kontak Erat penderita TBC Dengan

Angka Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta”

1.2 Rumusan Masalah

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TBC anak

terjadi pada anak usia 0-14 tahun (Kemenkes RI,2016).

Angka kejadian tuberculosis pada anak di Indonesia belum diketahui

secara pasti, namun bila angka kejadian Tuberkulosis dewasa tinggi, maka

dapat diperkirakan tuberculosis pada anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi

karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan

menularkan pada 10-15 orang di lingkungannya, terutama anak-anak

( Kartasasmita 2009).

1. Berapa angka kejadian TBC pada anak di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjungkerta pada Tahun 2018 sampai 2020 ?

2. Adakah hubungan kontak erat penderita TBC dewasa , baik TBC

dengan BTA positip rongent positp, BTA negatip Rongent positip


maupun TB Ekstra Paru dengan angka kejadian TBC pada anak di

Wilayah kerja Puskesmas Tanjungkerta ?

Angka kejadian TBC pada anak di Wilayah kerja Puskesmas

Tanjungkerta dari tahun 2018 sampai 2020 sebanyak 30 orang menderita

penyakit TBC, dan beberapa anak yang menderita TBC terdapat kontak erat

serumah dengan penderita TBC dewasa, baik TBC dengan BTA Positip

maupun Rongent positip Rongent Negatip maupun TB Eksra Paru

Di wilayah kerja Puskesmas Tanjungkertaangka kejadian TBC pada

anak dari tahun 2018 sampai tahun 2020 sebanyak 30 orang dari 120 orang

Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah dalam

penelitian ini yaitu adalah adakah Hubungan Kontak Erat penderita TBC

Dengan Angka Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta

tahun 2021.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran Kontak Erat penderita TBC Dengan Angka

Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta Tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menggambarkanKontak Erat penderita TBC Dengan Angka

Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta

2. Mengidentifikasi Hubungan Kontak Erat penderita TBC Dengan

3. Angka Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta.


1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan memberikan

informasi tentang penuluaran TBC pada anak dengan cara kontak erat pada

penderita TBC Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai kontak erat TBC dengan kejadian TBC pada

anak, serta diharapkan sebagai sarana pengembangan ilmu

pengetahuan yang secara teoritis pada teori Keperawatan Anak di

bangku perkuliahan

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Penelitian diharapkan dapat menjadi sarana yang bermanfaat dalam

mengimplementasikan pengetahuan penulis tentang hubungan kontak erat

penderita TBC dengan angka kejadian TBC pada anak.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan

teori mengenai hubungan kontak erat penderita TBC dengan angka

kejadian TBC pada anak.

c. Bagi instansi tempat penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan berbagai macam

hal yang berkaitan dengan masalah keehatan dalam pelayanan dalam

pencegahan penularan TBC.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep TB Paru

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium

Tuberculosis ( Kemenkes RI,2014). Tuberkulosis adalah penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya. TB anak terjadi pada anak usia 0-

14 tahun (Kemenkes RI,2016).

2.1.2 Etiologi

Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium Tuberculsis. Ada

beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. Tuberculosis, M.

Africanum, M. Bovis, M. Leprae dan sebagainya. Yang juga dikenal

sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok mikobakterium selain

Mycobacterium Tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada

saluran nafas dikenal sebagai MOTT (mycobacterium Other Than

Tuberculosis) yang terkadang mengganggu penegakan diagnosis dan

pengobatan TB (Menkes RI, 2017).

Sifat kuman Mycobacterium Tuberculosis menurut Peraturan Mentri

Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016adalah sebagai berikut:


1. Berbentuk batang , panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.

2. Bersifat tahan asam

3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein

Jensen, Ogawa.

4. Tahan terhadap suhu 4 0 C – 70 0 C.

5. Sangat peka terhadap panas , sinar matahari dan sinar ultra violet.

Dalam dahak pada suhu 30-37 derajad celcius akan mati dalam

waktu lebih kurang 1 minggu.

6. Kuman dapat bersifat dorman (Kemenkes, 2016).

3.2.3 Patogenesis

Kuman pada percik renik akan terhirup dan mencapai alveolus.

Sebagian kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis

spesifik. Sebagian lainya tidak dapat dihancurkan. Makrofag alveolus

akan memfagosit kuman TB yang dihancurkan. Kuman TB yang tidak

dapat dihancurkan akan berkembang biak di dalam makrofag dan

menyebabkan lisis makrofag. Kemudian kuman TB membentuk lesi di

tempat tersebut , yang dinamakan fokus primer ghon.

Kuman TB menyebar dari fokus primer ghon menuju kelenjar limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) .Jika fokus

primer terletak di lobus bawah atau tengah maka kelenjar limfe yang

akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),sedangkan jika


fokus primer terletak di apeks paru maka yang akan terlibat adalah

kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadingitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga

terbentuknya kompleks primer secara lengkap (masa inkubasi)

bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8

minggu. Pada masa ini kuman berkembang biak hingga mencapai

jumlah 10.000- 100.000, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang

respon imunitas selular.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer , imunitas selular tubuh

terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.

Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif pada sebagian

individu dengan sistem imun yang berfungsi baik , pada saat sistem

imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi

sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

sistem imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke

dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik

(cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk , fokus primer di jaringan paru akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi


penyembuhanya tidak sempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman

TB tetap dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam

kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Fokus primer di

paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis

fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat , bagian tengah lesi

akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan

rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar hilus yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi akan

membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus

dapat terganggu. Obstruksi parsial pada distal paru melalui mekanisme

ventil. Obstruksi total dapat mengakibatkan atelektasis. Kelenjar yang

mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan

menimbulkan erosi di dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endotrakheal atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menyebabkan

obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan

pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental

kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran

limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk

kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.

Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung , yaitu kuman

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.


Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut

sebagai penyakit sistemik.

2.1.4 Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB yang mengandung kuman TB dalam

dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin , pasien menyebarkan kuman ke

udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percikan renik).

Infeksi terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung

percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar

3000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500

M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak

4500-1.000.000 M. Tuberculosis (Menkes RI,2016).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman

yang di keluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajad positif hasil

pemeriksaan dahak, maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil

pemeriksaan dahak negatif maka penderita tersebut dianggap tidak

menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh

konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut

(Depkes RI, 2003). Ahli lain mengatakan bahwa transmisi dari bakteri

penyebab TB tersebut adalah dari manusia ke manusia ( kecuali pada M.

Bovis). Bentuk kontaminasi lain yang lebih jarang terjadi adalah

kontaminasi pada petugaslaboratorium yang menangani biakan bakteri

dari sputum penderita, selain itu pada beberapa kasus juga dilaporkan
adanya kotaminasi lewat makanan untuk jenis M. bovis

(Varaine,dkk,2010).

Selain menginfeksi orang dewasa, infeksi tuberkulosis dapat menginfeksi

bayi dan anak (TB milier ). TB anak adalah Penyakit TB yang terjadi

pada umur 0-14 tahun (Kemenkes, 2013). TB pada anak merupakan

transmisi terbaru dan berkelanjutan bakteri TB. Anak-anak paling sering

terinfeksi TB oleh kontak terdekat, seperti anggota keluarga. Anak-anak

dapat menularkan penyakit TB pada semua tingkat usia. Usia yang

paling sering terjangkit penyakit TB adalah antara 1 sampai 4 tahun.

Anak bisa mengalami sakit TB segera setelah terinfeksi bakteri TB atau

di kemudian hari ketika terjadi pelemahan sistem imunitas sehingga

bakteri TB kembali aktif dan berkembangbiak di dalam tuuh. Jika tidak

iobati kuman TB akan terus menetap di dalam tubuh seumur hidu dan

memungkinkan untuk menginfeksi anak-anak mereka kelak (CDC: TB in

Children, 2013).

2.1.5 Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2016 bahwa terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit TB

Paru. Tahapan tersebut meliputi:

1. Paparan

Peluang peningkatan paparan terkait dengan:

1) Jumlah kasus di masyarakat.


2) Peluang kontak dengan kasus menular.

3) Tingkat daya tular dahak sumber penularan.

4) Intensitas batuk sumber penularan.

5) Kedenkatan kontak dengan sumber penularan.

6) Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.

2. Infeksi

Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah

infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun ada kemungkinan kuman

tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant)dan suatu saat bisa aktif

kembali tergantung dari daya tahan tubuh manusia.Penyebaran

melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum

penyembuhan lesi.

3. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:

1) Konsentrasi jumlah/ kuman yang terhirup.

2) Lamanya waktu sejak terinfeksi.

3) Tingkat daya tahan tubuh seseorang.

4) Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%

diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seseorang

dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang

dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibanding

dengan orang yang tidak terinfeksi, dengan demikian penularan

TB di masyarakat akan meningkt pula.


4. Meninggal dunia

Faktor risiko kematian karena TB:

1) Akibat dari keterlambatan diagnosis.

2) Pengobatan tidak adekuat.

3) Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit

penyerta.

4) Pada pasien TB tanpa pengobatan , 50% diantaranya akan

meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV

positif dan ODHA, 25% kematian disebabkan oleh TB

(Permenkes,2016).

2.1.6 Klasifikasi TB

Klasifikasi TB berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis tahun 2014 adalah sebagai berikut:

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

1) Tuberkulosis Paru

Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB

dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Limfadenitis TB di rongga dada (hilus atau mediastinum) atau

efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung

TB pada paru, dinyatakan TB ekstra paru. Pasien yang menderita

TB paru dan sekaligus menderita TB ekstra paru di klasifikasikan

sebagai pasien TB paru.

2) Tuberkulosis ekstra paru


Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misal: pleura,

kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak

dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan

hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra

paru harus diupayakan berdasarkan penemuan mycobacterium

tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada

bebrapa organ , diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru

pada organ menunjukan gambaran TB yang terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

1) Pasien baru TB

Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari

1 bulan (< dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB.

Adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1

bulan atau lebih (≥dari 28 hari). Pasien iini selanjutnya

diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:

 Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis ( baik karena kambuh

atau reinfeksi).

 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB

yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan


terakhir.

 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat ( lost to

follow-up ): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan

lost to follow up ( klasifikasi ini sebelumnya disebut sebagai

pengobatan pasien setelah putus berobat/ default).

 Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil

akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

 Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.

Pengelompokan pasien berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

1) Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT

lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB MR) : resistant terhadap lebih dari 1 jenis OAT

lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB XDR) : resistan terhadap Isoniazid (H)

dan rifampisin secsrs bersamaan.

4) Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan ( Kanamisin, Kapreomisin,dan Amikasin ).


5) Resistan Rifampisin ( TB PR ) : resistan terhadap Rifampisin

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain .

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIIV.

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV):

adalah pasien TB dengan :

 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan

ART.

 Hasil tes HIV positif pada saat didiagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif : adalah pasien TB dengan :

 Hasil tes HIV negatif sebelumnya.

 Hasil tes HIV negatif pada saat didiagnosis TB.

 Apabila pada pemeriksaan selanjutnya tes HIV menjadi positif,

pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien

TB dengan HIV positif.

3) Pasien TB dengan status HIV diketahui: adalah pasien TB tanpa

ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

4) Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes

HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya

berdasarkan hasil tes HIV terakhir (Kemenkes RI,2014).

2.1.7 Resiko Penularan TB

Risiko penularan TB tergantung pada jumah basil dalam

percikan,virulensi dar hasil TB , terpajanya basil TB dengan sinar

ultraviolet, terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau


pada saat bernyanyi, tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada

waktu otopsi, intubasi, atau pada waktu melakukan bronkoskopi. Anak-

anak dengan TB primer biasanya tidak menular (Chin,2009).

Seseorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan TB di dalam

sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak

sempurna, dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun-

tahun (Chin,2009).

Diperkirakan pasien TB BTA positif yang belum terdiagnosis dan

belum diobati, dapat mengkontaminasi 10 hingga 20 orang tiap tahun

(variasi tergantung gaya hidup dan lingkungan dari si penderita dan

orang yang tertular) (Varaine,dkk, 2010). Semua orang yang berada di

ruangan yang sama dengan orang yang batuk dan menghirup udara

yang sama, berisiko menghirup kuman tuberkulosis . Risikonya paling

tinggi bagi mereka yang berada paling dekat dengan orang yang batuk

(Crofton, 2002).

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB

adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS

dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling

kuat bagi yang terinfeksi TB dan menjadi sakit TB. HIV mengakibatkan

kerusakan yang luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga jika

terjadi infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis maka yang

bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan

kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah


pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di

masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes,2010).

2.1.8 Penemuan Pasien TB Anak

TB pada anak merupakan spectrum TB yang unik dan mempunyai

permasalahan khusus yang beda dengan TB pada dewasa ( KemenKes,

RI.2016)

Pasien TB pada anak dapat ditemukan melalui upaya berikut:

1. Penemuan secara pasif

Upaya ini dilakukan pada anak yang mempunyai gejala dan atau

tanda klinis TB yang datang ke FasYankes. Pada anak tersebut

dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sesuai

dengan fasilitas yang tersedia. Penemuan yang intensif dilakukan

melalui kolaborasi dengan program HIV, penyakit tidak menular

(diabetes melitus, keganasan, penyakit kronis lain) program gizi

dan KIA (manajemen terpadu balita sakit) dan sebagainya.

2. Penemuan secara aktif

Upaya ini dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat melalui

kegiatan investigasi kontak pada anak yang kontak erat dengan

pasien TB menular. Yang dimaksud kontak erat adalah anak yang

tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular.

Pasien TB menular terutama pasien TB dengan BTA positif dan

umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.

2.1.9 Gejala Tuberkulosis Pada Anak


Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau

sesuai organ terkait.

1. Gejala sistemik/umum

1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan .

2) Demam lama (≥2 minggu).

3) Batuk lama ≥ 2 minggu.

4) Lesu atau malaise.

2. Gejala spesifik terkait organ

1) TB kelenjar

 Biasanya di area leher

 Pembesaran kelenjar getah bening tidak nyeri,

konsistensin kenyal, multipe dan kadang saling melekat.

 Ukuran besar (lebih dari 2×2 cm). Biasanya kelenjar

getah bening terlihat jelas.

 Tidak berespon terhadap pemberian antibiotik. Bisa

berbentuk rongga discharge.

2) TB sistem saraf pusat

 Meningitis TB

 Tuberkuloma otak: gejala ada lesi desak ruang.

3) TB sistem skeletal

 Tulang belakang (spondilosis): penonjolan tulang belakang

(gibbus).

 Tulang panggul (koksitis) : pincang, gangguan berjalan


tanda peradangan di daerah panggul.

 Tulang lutut (gonitis) : pincang dan/atau bengkak pada

lutut.

 Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4) TB mata

 Konjungtivitis fliktenularis

 Tuberkel koroid

5) TB kulit (skrofuloderma)

Ditandai adanya ulkus dengan jembatan kulit antar tepi ulkus.

6) TB organ-organ lain , misal peritonitis TB, TB ginjal

2.1.10 Pemeriksaan Untuk Diagnostik TB Anak

1. Pemeriksaan bakteriologis

1) Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan

tubuh atau jaringan biopsi).

2) Tes cepat molekuler (TCM) TB

3) Pemeriksaan biakan

Baku emas pemeriksaan diagnosis TB adalah menemukan kuman

penyebab TB. Media pemeriksaan biakan adalah media padat

(hasil biakan 4-8 minggu), media cair (hasil diketahui 1-2

minggu).

2. Pemeriksaan penunjang

1) Uji tuberkulin
2) Foto toraks

3) Pemeriksaan histopatologi (PA)

3. Alur diagnosis TB

1) Konfirmasi bakteriologis TB.

2) Gejala klinis khas TB.

3) Bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat

dengan pasien TB)

4) Gambaran foto toraks sugestif TB.

4. Sistem skoring TB anak di Fasilitas pelayanan kesehatan

( KemenKes,RI.2016)

Tabel 2.1
Sistem skoring TB paru anak

Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak - Laporan kelurga BTA (+)
jelas BTA (-)/tidak
jelas/tidak
tahu
Uji tuberkulin Negati - - Positif(≥10m
(Mantoux) f m atau ≥pada
imunokompro
mais
Berat - BB/TB<90% Klinis gizi -
badan/Keadaa atau buruk atau
n gizi BB/U<80% BB/TB:70%
atau
BB/U<60%
Demam yang - ≥2 minggu - -
tidak di
ketahui
Batuk kronik - ≥2 minggu - -
Pembesaran - ≥1cm,>1KG B, - -
kelenjar tidak nyeri
kolli,aksila,in
g
uinal
Pembengkaka - Ada - -
n pembengkak
tulang/sendi an
panggul/lutut
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kela sugestif
inan
tidak
Skor total

Parameter sistem skoring:

1) Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis

hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari

TB 01 atau dari hasil laboratorium.

2) Penentuan status gizi.

 Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang.

 Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi

untuk anak usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 2016 ,

sedangkan untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standarWHO 2005
yaitu grafik IMT/U.

 Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama

1-2 bulan.

2.1.11 Penatalaksanaan TB Paru Anak ( KemenKes,RI.2016)

Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, yaitu:

1. Menyembuhkan pasien.

2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya.

3. Mencegah TB relaps.

4. Mencegah terjadinnya dan tranmisi resistensi obat.

5. Menurunkan transmisi TB.

6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas

seminimal mungkin.

7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tata laksana TB anak

adalah:

1. Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan

sebagai monoterapi

2. Pengobatan diberikan setiap hari

3. Pemberian gizi yang adekuat

4. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata lakssana secara

bersama. Obat Yang Digunakan Pada TB anak adalah:

1) Obat anti tuberkulosis (OAT)


Pada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa

pemberian obat dengan 4 macam. Untuk BTA negatif

menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada

fase inisial (2 bulan pertama) diikuti rifampisin dan INH pada 4

bulan fase lanjutan.

Tabel 2.2

Dosis OAT untuk anak

Nam Dosis Dosis Efek samping


a harian maksim
obat (mg/kg/ha al
ri (mg/
) hari
Isoniazid 10 (7- 300 Hepaitiitis,neuritis
(H) 15) perifer,hipersensitivitas
Rifampisi 15(10- 600 Gastrointestinal,reaksi
n (R) 20) kulit,hepatitis,trombositopeni,peningkat
an enzim hati,cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan.
Pirazina 35(30- - Toksisitas hepar, arthralgia
mi 40) gastrointestinal.
d (Z)
Etambut 20(15- - Neuritis optik, ketajaman mata
ol (E) 25) berkurang, buta warna merah, hijau,
hipersensitivitas gastrointestinal.

2) Kombinasi dosis tetap (KDT) atau fixed Dose Combination

(FDC) Untuk mempermudah pemberian OAT dan

meningkatkan keteraturan minum obat , panduan OAT

disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC. Satu paket dibuat

untuk 1 pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT berisi

obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH 50 mg,dan

pirazinamid (Z) 150 mg , serta obat fase lanjutan, yaitu R 75


mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan

dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3

Dosis OAT KDT pada TB paru anak

Berat badan Fase intensif (2 bulan) Fase lanjutan

(kg) RHZ (75/50/150) (4 bulan) RH

(75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

>30 OAT

dewasa

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian dosis KDT adalah:

1) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah , tidak dalam

bentuk KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS.

2) Apabila ada kenaikan BB maka dosis disesuaikan dengan keadaan

saat itu.

3) Untuk anak obesitas kadar KDT berdasarkan BB ideal (sesuai

umur).

4) OAT KDT harus diberikan secara utuh tidak boleh di belah atau
digerus.

5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum

atau dimasukkan air dalan sendok.

6) Obat diberikan pada saat perut kosong atau paling cepat 1 jam

setelah makan.

7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh

melebihi 10 mg/kgBB/hari.

8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua

obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

Pada kasus TB anak yang berat biasanya juga diberikan obat berikut:

1) Kortikosteroid

Kortikosteroid biasanya diberikan pada pasien dengan kondisi:

 TB meningitis

 Sumbatan jalan nafas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)

 Perikarditis TB

 TB miliar dengan gangguan nafas yang berat

 Efusi pleura TB

 TB abdomen dengan asites.

2) Piridoksin

Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik,

terutama pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV

yang mendapatkan anti retroviral theraphy (ART). Suplementasi

piridoksin (5-10 mg/hari)


3) Nutrisi

Status gizi anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan

pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian

pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara

rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan

mengukur berat badan , tinggi badan, lingkar lengan atas

pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle

wasting.

Pemberian makan tambahan sebaiknya diberikan selama

pengobatan. Jika tidak memungkinkan bisa diberikan suplemen

nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat diatasi.air susu ibu tetap

diberikan jika anak masih dalam masa menyusui

(Kemenkes,2016).

2.1.12 Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi TB

Upaya pencegahan merupakan upaya kesehatan upaya yang diharapkan

agar setiap orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat

mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Tujuannya adalah untuk

mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit

yaitu penyebab penyakit (agent), manusia (host), dan faktor lingkungan

(environment) (Notoatmodjo,2007).

Upaya pencegahan dan pemberantasan tuberkulosis secara efektif yaitu

dengan menemukan penderita sedini mungkin, isolasi penderita selama


masa penularan, segera melakukan pengobatan secara rutin dan

teratur,memutuskan mata rantai penularan di masyarakat, memberikan

penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang

penyakit tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008)

Pada daerah endemik TB ,selain risiko tinggal di lingkungan dengan

kasus TB menular yang relatif tinggi , terdapat risiko penularan TB

pada anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Anak

dengan TB sering dianggap tidak menular. Namun beberapa anak

dengan BTA positif dapat menularkan TB oleh karena itu pengendalian

infeksi juga penting di klinik anak (Kemenkes RI,2016).

Menurut Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak (2013) Pencegahan

penularan TB pada anak dapat dilakukan dengan memvaksinasi BCG

bayi berumur 0-2 bulan,melakukan skrinng dan manajemen kontak

pada anak yang mengalami paparan pasien TB BTA positif dan pada

orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang

didiagnosis TB, memberikan obat isoniazid (INH) pada anak yang

tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA positf.

Menurut Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak (2016), ada beberapa

lokasi yang perlu penguatan pengendalian infeksi TB di fasilitas

pelayanan kesehatan, yaitu perawatan bayi baru lahir, fasilitas

pelayanan kesehatan yang melayani pasien TB dewasa, TB anak, klinik

HIV, dan fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat anak dengan gizi

buruk.
2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Anak

Epidemiologi merupakan ilmu yangmemepelajari tentang distribusi

penyakit, masalah kesehatan, dan faktor- faktor yang mempengaruhinya

dengan tujuan untuk melakukan pencegahan dan perencanaan kesehatan.

Sebagai pengendali distribusi penyakit dan masalah kesehatan populasi ,

epidemiologi memerlukan sebuah konsep penyebab dan proses terjadinya suatu

penyakit. Seiring dengan perkembangan tersebut para ahli kesehatan

masyarakat juga mengalami perkembangan pandangan terhadap proses

terjadinya penyakit, salah satu diantaranya adalah John Gordon. Pada tahun

1970, ia mengemukakan bahwa proses terjadinya penyakit dipengaruhi oleh

tiga interaksi, yaitu:Host, Agent dan Environment. (Amelia,dkk,2016)

2.2.1 Agent atau kuman

Agent (A) adalah penyebab esensial yang harus ada agar penyakit dapat

terjadi.Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi ,sesuatu

yang abstrak, suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau

kurang merupakan penyebab utama/ esensial dalam terjadinya penyakit.

Untuk menimbulkan penyakit agent membutuhkan dukungan faktor

penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengruhi

penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman mycobacterium

tuberkulosis.Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

patogenitas, infesivitas dan virulensi. Patogenitas adalah daya suatu

mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Patogenitas


kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas

adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan

berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama

infektfitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah.

Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan

sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tiggi.

Jadi kuman Tb tidak dapat dianggap remeh begitu saja.

2.2.2 Pejamu atau Penderita (Host)

Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung

dan arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi

alam. Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman

mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menyebar melalui

droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada

10- 15 (Depkes RI,2002).

Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit

tuberkulosis paru adalah:

1. Umur dan jenis kelamin

Umur termasuk variabel penting dalam mempelajari suatu masalah

kese hatan karena berkaitan dengan daya tahan tubuh, ancaman

kehidupan dan kebiasaan hidup (Azwar,1998). Insiden tertinggi

tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka

pada pria selalu tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita

cenderung menurun sesudah melampaui usia subur. Prevalensi pada


wanita mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun. Sedangkan

prevalensi pada pria terus meningkat sampai sekurang-kurangnya

mencapai usia 60 tahun (Crofton,2002 ).

Penelitian yang dilakukan di UPT Kesmas Sukowati I,

menunjukkan bahwa karakteristik pasien TB paru terbanyak pada

rentang usia 51-60 tahun. Dan sebagian besar terjadi pada laki-laki

(Hartini,dkk,2014). Sedangkan infeksi pada anak tidak mengenal

usia (0-14 tahun), tetapi sebagian besar kasus terjadi pada usia

antara 1-4 tahun (WHO,2006). Hal ini disebabkan oleh usia yang

sangat muda, awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama

kehidupan sistem pertahanan tubuh yang sangat lemah (Crofton,

2002).

2. Kekebalan

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja

memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga

terhindar dari penyakit. Imunisasi juga merupakan upaya

pencegahan primer yang sangat efektif untuk menghindari

terjangkitnya penyakit infeksi. Dngan demikian, angka kejadian

penyakit infeksi akan menurun , kecacatan serta kematian yang

ditimbulkanya pun akan berkurang (Sri Lanka Medical

Association, 2011).

Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin tertua, yang mulai

dikembangkan sejak tahun 1921 (WHO,2006). Setelah ditemukan


vaksin ini dunia merasa optimis bahwa penyakit TB akan dapat

dieliminasi dengan segera. Kasus TB mengalami penurunan.

Namun, 50 tahun kemudian, TB meningkat lagi (disamping karena

munculnya penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan

peningkatan jumlah penderita TB seperti HIV/AIDS, serta

banyaknya kasusu TB yang resisten terhadap obat-obatan),

sehingga timbul pertanyaan apakah kasus TB bisa dikurangi hanya

dengan vaksin BCG saja (Achmadi, 2006).

Pemberian vaksin BCG masih mengalami kontroversi, terutama

dalam hal kemampuan perlindungan terhadap serangan TB , namun

ada kesepakatan bahwa pemberian BCG dapat mencegah

timbulnya komplikasi seperti radang atau meningitis yang

diakibatkan oleh TB pada anak. Dengan demikian BCG masih

bermanfaat khususnya dalam mencegah timbulnya cacat

pascameningitis (Achmadi,2006). Dengan alasan tersebut The

WHO Expanded Programme on Immunization tetap

merekomendasikan vaksinasi BCG pada bayi segera setelah lahir

terutama pada negara dengan prevalensi TB tinggi (WHO,2006).

BCG tidak memberikan kekebalan seumur hidup. 85% daya

kekebalan yang telah ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG

semasa lahir akan menurun efektivitasnya ketika anak menjelang

dewasa. Penelitian lain mengatakan rata-rata kekebalan ketika

dewasa hanya tinggal 50% (Achmadi,2006). Analisis data statistik


kesehatan dari beberapa negara di Eropa menunjukkan bahwa

vaksin BCG menurunkan jumlah kasus TB pada subjek yang

divaksin dibanding dengan subjek yang tidak divaksin.namun

penurunan kasus ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap transmisi basil TB di populasi. Sehingga dapat diambil

kesimpulan bahwa dari sudut pandang epidemioogi , vaksin BCG

hanya terbukti memiliki efek proteksi terhadap TB berat pada anak,

tetapi tidak dapat dijadikan sebagai tool yang tepat untuk

mengurangi transmisi (Varaine,dkk,2010).

3. Status gizi

Gizi adalah suatu proses menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk memepertahankan kehidupan, pertumbuhan dan

fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi

(Supariasa,2012).

Berbicara mengenai penyakit TB , status gizi merupakan variabel

yang sangat berperan dalam timbulnya penyakit tersebut

(Achmadi,2005). TB dan kurang gizi seringkali ditemukan secara

bersamaan. Infeksi TB menimbulkan penurunan berat badan dan

penyusutan tubuh, sedangkan kekurangan makanan akan

meningkatkan

risiko infeksi dan penyebaran penyakit TB karena berkurangnya


daya tahan tubuh terhadap penyakit ini (Crofton,2002).

Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Kedua-duanya

dapat bermula dari hal yang sama, misalnya kemiskinan dan

lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Infeksi

dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara ,

misalnya dengan mempengaruhi nafsu makan, kehilangan bahan

makanan karena diare atau muntah, mempengaruhi metaboisme

makanan dan banyak cara lagi. Sebaliknya defisiensi gizi

meningkatkan risiko infeksi. Defidiensi gizi merupakan awal dari

gangguan defisiensi sistem kekebalan, hal ini menyebabkan

terhambatnya reaksi imunologis dan bertambah buruknya

kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi, sehingga

meningkatkan prevalensi dan keparahan penyakit infeksi

(Alisjahbana,1985). Status gizi buruk akan menyebabkan

kekebalan tubuh menurun sehingga memudahkan terkena infeksi

TB paru (Achmadi,2009). TB paru lebih banyak terjadi pada anak

yang memepunyai gizi buruk sehubungan dengan lemahnya daya

tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB paru juga memperburuk

status gizi anak (Febrian,2015). Oleh karenanya salah satu daya

tangkal yang baik terhadap penyakit atau infeksi adalah status gizi

yang baik, baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun

dewasa (Achmadi,2005).

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan antropometri, secara


klinis, penilaian biokimia dan secara biofisika. Penilaian

menggunakan antropometri melibatkan berat badan, tinggi badan

dan usia. Untuk penilaian biokimia yang dinilai adalah kandungan

zat besi, protein, vitamin dan mineral (Febrian,2015). Variabel

status gizi normal dan status gizi buruk berdasarkan indikator berat

badan berdasarkan umur (BB/U) yang telah ditetapkan oleh

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tentang Petunjuk

Teknis Manajemen Tuberculosis anak tahun 2013.

4. Kontak dengan penderita TB

Riwayat kontak adalah adanya hubunngan dengan penderita

(Notoatmodjo,1993). Timbulnya penyakit TB pada anak dapat

dipengaruhi juga oleh riwayat kontak dengan penderita TB dewasa

yang selalu berhubungan dengan anak baik langsung maupun tidak

langsung (Febrian,2015). Sumber penulara adalah pasien TB BTA

positif , pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman

ke udara dalam bentuk percikan dahak . penularan didefinisikan

identik sebagai strain TB, terjadi lebih sering pada individu yang

tinggal serumah, ditemukan 55% rumah tangga setidaknya ada satu

individu yang memiliki strain yang tidak dimiliki oleh anggota

rumah tangga lain, ini menunjukkan bahwa penularan dari luar

rumah. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki

nkontak dengan TB dewasa aktif memiliki risiko 42 kali lebih

besar untuk terinfeksi TB dibanding dengan yang tidak memiliki


riwayat kontak (Satrio,2015).

Penelitian lain juga menyatakan bahwa anak yang pernah kontak

dengan orang dewasa yang menderita TB BTA positif atau suspek

yang diduga menjadi sumber penular mempunyai risiko 3,91 kali

lebih besar menderita TB, dibandingkan dengan anak yang tidak

mempunyai riwayat kontak (Dudeng,dkk,2006). Anak-anak yang

tinggal dirumah di mana terdapat orang dewasa yang mengidap TB

aktif atau yang memiliki risiko TB, akan memiliki risiko sama

tingginya untuk mengidap TB. Menurut Rosmayudi (2010) sumber

penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan

orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (lubang

pada paru-paru). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat

menularkan penyakit melalui batuk, bersi dan percakapan.

Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan

terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang

disebut kontak erat adalah orang tuanya , orang serumah atau orang

yang sering berkunjunng dan sering berinteraksi lagsung

(Kemenkes RI,2013)

5. Keberadaan perokok di dalam rumah

Kebiasaan merokok dapat menyebabkan rusaknya pertahanan paru

serta melemahkan daya tahan tubuh yang meningkatkan risiko

terinfeksi TB paru. Orang yang merokok lebih berisiko terkena

tuberkulosis daripada dengan orang yang tidak merokok. Merokok


dalam rumah merupakan faktor risiko untuk terkena kejadian TB

paru BTA positif, polusi udara dalam ruangan dari asap rokok

dapat meningkatkan risiko terinfeksi bakteri Mycobacterium

tuberculosis (Sejati,2015)

Perilaku merokok pada orang dewasa atau keluarga anak sangat

berperan dalam menyumbangkan kejadian TB pada anak karena

anak secara tidak langsung telah menjadi perokok pasif . Hal

tersebut didukung oleh penelitian Azis (2009) bahwa anak yang

tinggal serumah dengan anggota keluarga yang mempunyai

kebiasaan merokok dalam rumah berarti terpapar asap rokok lebih

sering dan risiko terkena TB meningkat 2,463 kali lebih besar

dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah dengan anggota

keluarga yang tidak punya kebiasaan merokok dalam rumah.

6. Penyakit infeksi HIV

Infeksi HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang

terinfekasi TB menjadi sakit TB. Infeksi ini mengakibatkan

kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity),

sehingga jika terjadi infeksi penyerta , seperti tuberkulosis , maka

yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa

mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV

meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat. Dengan

demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula

(Depkes,2007).
2.2.3 Lingkungan

Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan,

perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Faktor yang paling besar

mempengaruhi derajat kesehatan adalah faktor lingkungan dan perilaku

masyarakat yang dapat merugikan kesehatan. Penyakit tuberkulosis

merupakan penyakit berbasis lingkungan. Faktor risiko penularan

tuberkulosis adalah faktor lingkungan dan faktor perilaku , faktor

lingkungan meliputi ventilasi, kepadatan hunian, suhu, pencahayaan

dan kelembaban (Achmadi,2005).

1) Ventilasi rumah

Kondisi rumah yang kurang sehat dapat meningkatkan risiko

terjadinya TB. Salah satu kondisi rumah yang kurang memenuhi

syarat kesehatan adalah kurangnya ventilasi menuru Heriyani F,

Sutomo AH dan Saleh YD (2013) bahwa ventilasi memiliki

hubungan yang signifikan dengan kejadian TB.

Ventilasi memiliki beberapa fungsi yang dihubungkan dengan

penurunan risiko kejadian tuberkulosis, yaitu: menjaga kelembaban

udara di dalam ruangan. Kondisi rumah yang lembab akan menjadi

media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Fungsi lain adalah

mengurangi polusi udara di dalam rumah. Sirkulasi udara yang

terjadi melalui ventilasi memungkinkan terjadinya penurunan zat-

zat toksik, serta kuman- kuman termasuk kuman Mycobacterium

Tuberculosis yang terkandung di udara di dalam rumah .Ventilasi


juga mempermudah masuknya sinar ultraviolet yang dapat

membunuh kuman-kuman TB. Hal ini akan semakin baik apabila

konstruksi rumah menggunakan genteng kaca, maka hal ini

merupakan kombinasi yang baik (Depkes,2002). Dengan adanya

ventilasi yang baik maka akan menjamin terjadinya pertukaran

udara sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi. Konsentrasi

droplet per volume udara dan lamanya waktu menghirup udara

tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru

(Depkes,2002).

Menurut Soedjajadi (2005) bahwa berdasarkan kejadianya , maka

ventilasi dibagi dalam dua jenis ,yaitu ventilasi alam dan ventilasi

buatan. Adapun persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai

berikut;

 luas ventilasi 5% dari luas lantai ruangan;

 udara yang masuk harus bersih;

 aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan

lubang ventilasi berhadapan antara dua dinding;

 luas ventilasi rumah yang< 10% dari luas lantai (tidak

memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan

berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya

konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya.

2) Kepadatan hunian rumah


Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan

penyakit. Semakin padat , maka perpindahan penyakit khususnya

penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab

itu kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel

yang berperan dalam kejadian TB. Untuk itu Departemen

Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan

rumus jumlah penghuni / luas bangunan. Syarat rumah sehat

adalah 10 m persegi per orang (Achmadi,2008) Semakin banyak

orang yang tinggal dalam satu ruangan , kelembaban semakin

tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun

keringat (Achmadi,2005).

Luas lantai bangunan tumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding

dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan over crowded, hal

ini tidak sehat sebab di samping mmenyebabkan kurang konsumsi

O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi penyakit

menular akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain

(Soedjajadi,2005).

3) Suhu rumah

Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan

satuan derajad tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi 2, yaitu: 1)

suhu kering, yaitu suhu yng ditunjukkan oleh termometer suhu


ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih 10 menit,

umumnya suhu kering antara 24-34 0C; 2) suhu basah, yaitu suhu

yang menunjukkan

bahwa udara telah jenuh oleh uap air , umumnya lebih rendah dari

suhu kering, yaitu antara 20-25 0C.

Suhu yang memenuhi syarat sehat berdasarkan indikator

pengawasan perumahan adalah antara 20-25 0C, dan suhu rumah

yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 200C atau >250C.

Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penghuninya.

Suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh , konsumsi

oksigen dan tekanan darah. Suhu rumah yang tidak memenuhi

syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan

tubuh akan berusaha menyeimbangkan denga suhu lingkungan

melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan

menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk

terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang

menular (Soedjajadi,2005).

4) Pencahayaan rumah

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang

dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam

ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang

nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup
dan berkembangnya bibit-bibit penyakit seperti Mycobacterium

Tuberculosis (Febrian,2015). Pencahayaan alam atau buatan

langsung maupun tidak langsung minimal intensitasnya 60 lux dan

tidak menyilaukan. Standar rumah sehat memerlukan cahaya yang

cukup khususnya cahaya alam yang mengandung ultraviolet

(Satrio,2015).

Mikobakterium tuberkulosis tidak tahan terhadap panas dan akan

mati pada pemanasan 60 ⸰C selama 15-20 menit. Ketahanan

mikobakterium sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Biakan

dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam.

Tetapi jika dalam sputum dapat bertahan 20-30 menit. Oleh karena

itu rumah yang sehat sebaiknya memiliki pencahayaan alami sinar

matahari yang mengandung sinar ultraviolet dan dapat menurunkan

kadar jasad renik. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat

memiliki peluang 16,9

kali menderita TB paru di banding dengan rumah dengan

pencahayaan yang memenuhi syarat (Halim,2015).

5) Kelembaban rumah

Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan

mikroorganisme termasuk kuman Tuberkulosis. Keputusan Menteri

Kesehatan tentang persyaratan kesehatan perumahan bahwa

kelembaban udara berkisar 40-70%. Kelembaban menjadi faktor


risiko terjadinya penularan TB paru pada anak yang tinggal pada

rumah dengan kelembaban tidak memenuihi syarat 1,20 kali

dibanding anak yang tinggal pada rumah dengan kelembaban

memenuhi syarat. Kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan

ventilasi. Untuk mencegah terjadinya penularan hasil turbekel

menurut Shulman et al (1994) untuk mengurangi ketidaknyamanan

ruangan yang disebabkan oleh kelembaban udara dengan

memberikan ventilasi yang cukup,karena jika pada rumah ada

anggota keluarga menderita penyakit TB, disertai dengan udara

yang lembab, maka orang-orang yang kontak dengan penderita 25-

50% akan mudah terinfeksi dan total 5-15% individu yang

berkembang menjadi TB paru (+). Kelembaban rumah tidak

memenuhi syarat berisiko 3,09 kali menderita TB dibandingkan

rumah dengan kelembaban memenuhi syarat (Satrio,dkk,2015).


2.3 Kerangka Teori

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KEJADIAN TB PADA ANAK

Agent/Kuman:
bacterium Tuberculosis

Pejamu atau penderita:


1. Umur dan jenis kelamin
2. Kekebalan Kejadian TBC
3. Gizi
4. Kontak dengan
penderita TB.
5. Keberadaan perokok di
dalam rumah.
6. Penyakit infeksi HIV

Lingkungan fisik rumah

1. Ventilasi rumah

2. Kepedatan
penghuni

3. Suhu rumah

4. Pencahayaan
rumah

5. Kelembaban
rumah
Sumber : John Gordon 1970
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan

cross sectional, yaitu mencari hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen dengan melakukan pengukuran sesaat pada waktu observasi

(Arikunto, 2012).

Pendekatan cross sectional digunakan karena relatif mudah dan

cepat, populasinya lebih luas sehingga generalisasinya memadai, dapat

digunakan untuk meneliti banyak variabel sekaligus, kemungkinan drop out

responden minimal dan hasilnya dapat digunakan sebagai dasar penelitian

selanjutnya untuk memastikan adanya hubungan sebab akibat (Arikunto,

2012).
3.2 Kerangka Konsep

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain

( Notoatmodjo, 2012).

1. Variabel bebas ( Independent variabel )

Variabel independen dalam penelitian adalah kontak erat penderita TBC.

2. Variabel terikat ( Dependent variable )

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah angka kejadian TBC anak.

Bagan 3.1

Kerangka Konsep

V.Independen V.Dependen

Kontak dengan Kejadian


penderita TB TBC anak

Sumber : Modipikasi John Gordon 1970

Keterangan : = diteliti

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara atas pertanyaan yang telah

dirumuskan dalam perencanaan masalah ( Notoatmojo, 2012).

Berdasarkan kerangka konsep yang ada, maka disusun hipotesis yang

merupakan jawaban sementara dari pertanyaan peneliti :

3. Ha = Ada hubungan hubungan Hubungan Kontak Erat penderita TBC

Dengan Angka Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas


Tanjungkerta Tahun 2020.

2. Ho = Tidak ada hubungan hubungan Hubungan Kontak Erat penderita

TBC

Dengan Angka Kejadian TBC Anak Di Wilayah Puskesmas

Tanjungkerta Tahun 2020.

3.5 Definisi Oprasional

Definisi oprasional merupakan uraian tentang batasan variabel

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2012).

Tabel 3.2

Definisi Oprasional

Skala
No Variabel Definisi Oprasional Alat ukur Hasil Ukur
Ukur
Variabel bebas

1. kontak erat adanya hubunngan Kuesioner Ordinal 1. Ada kontak

penderita dengan penderita TBC 2. Tidak ada

TBC BTA Positip Rongent kontak

Positip maupun TB 3. Di keluarga

Ekstra Paru terdapat

kontak erat

ada yang

menderita
TBC

Variabel terikat

2. kejadian TBC Terdiagnosanya anak Kuesioner Ordinal 1. Penderita

anak TBC atau dinyatakan kontak erat

anak menderita TBC BTA

penyakit TBC positip,

Rongent

Positip

maupun TB

Ekstra Paru

2. Tidak ada

kontak erat

yang

menderita

penyakit

TBC

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian

3.6.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan


oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi dapat bersifat terbatas dan tidak terbatas. Dikatakan terbatas

apabila jumlah individu atau objek dalam populasi tersebut dapat

dihitung, sedangkan tidak terbatas dalam arti tidak dapat ditentukan

jumlah individu atau objek dalam populasi tersebut (Hidayat, 2013).

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosa TBC

pada anak di Puskesmas Tanjungkerta sebanyak 30 penderita dari

tahun 2018 sampai dengan tahun 2020.

3.6.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi ( Notoatmojo,

2005 ). Dalam penelitian ini menggunakan metode total sampling

untuk menentukan sampelnya yaitu sebanyak 30 penderita TBC.

3.7 Pengumpulan Data

3.7.1 Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian ( Nursalam, 2011).

Adapun langkah – langkah pengumpulan data yang akan dilakukan :


1. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dilakukan penelitian,

serta meminta ijin kepada kepala puskesmas tanjungkerta.

2. Menentukan responden yang memenuhi kriteria inklusi.

3. Meminta kesediaan responden untuk menjadi sampel dengan

terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

4. Meminta dengan sukarela kepada responden untuk

menandatangani lembar informed consent.

5. Mencatat data responden sesuai dengan tujuan penelitian.

6. Melakukan pengisian kuesioner tentang kontak erat dengan

penderita TBC

7. Mengumpulkan hasil pengumpulan data untuk selanjutnya di olah

dan dianalisa.

3.7.2 Instrumen Penelitian

Menurut (Notoatmodjo, 2012) instrumen penelitian adalah suatu alat

yang digunakan dalam pengumpulan data dengan sesuatu metoda.

Untuk memperoleh data yang relevan dengan masalah yang diteliti,

maka diperlukan alat pengumpul data atau instrumen yang tepat.

Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner yang sudah di pakai

sebelumnya oleh Indah Purnamaningsih (2018) dengan 1 pernyataan

terkait dengan kontak erat dengan penderita TBC dukungan dan dapat

di nyatakan instumen ini valid.

3.7.3 Uji Validitas dan Reliabilitas


Untuk mengukur variabel yang akan diteliti, peneliti membuat sendiri

instrumen penelitian tersebut, sehingga harus diuji validitas dan uji

reliabilitas.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-

benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2012). Suatu

instrumen penelitian dikatakan valid apabila mampu mengukur apa

yang diinginkan atau dapat mengungkapkan data dari variabel yang

diteliti secara tepat. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan

adalah kuesioner menggunakan kategori jawaban dari positif ke

negatif atau sebaliknya ( selalu, sering, kadang-kadang dan tidak

pernah).

Instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah

menggunakan kuesioner yang sudah di pakai sebelumnya oleh

Indah Purnamaningsih (2018) dengan 1 pernyataan terkait dengan

kontak erat dengan penderita TBC dukungan dan dapat di nyatakan

instumen ini valid.

Dalam penelitian ini kuesioner tidak dilakukan Uji validitas karena

peneliti mengambil kuesioner dari hasil penelitian Indah

Purnamaningsih (2018) yg sebelumnya sudah dilakukan ujivaliditas

terhadap 20 respondententang kontak erat dengan penderita TBC.

pertanyaan dengan nilai r hasil lebih besar dari nilai r tabel yaitu

0.444.
2. Uji Reliabilitas

Realibilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu

alat ukur dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti

menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten

atau tetap asas, bila dilakukan dua kali atau lebih terhadap gejala

yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama

(Notoatmodjo, 2012).

Sedangkan untuk uji reliabilitas yg di lakukan oleh Indah

Purnamaningsih (2018) didapatkan nilai alpha 0,952. Sehingga

kuesioner bisa dipakai sebagai instrumen pengumpulan data dalam

penelitian ini.

3.8 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Menurut (Hidayat, 2013) dalam melakukan analisis, data terlebih

dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi.

Langkah – langkah pengolahan data adalah sebagai berikiut :

3.8.1 Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Dalam penelitian ini pada tahap

editing data yang telah diperoleh semuanya sudah lengkap dan

tidak ada data yang kosong.

3.8.2 Coding

Coding merupakan kegiatan memberikan kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode


ini sangat penting bila pengolahan data dan analisis data

menggunakan komputer.

3.8.3 Entry Data

Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel atau distabase komputer,

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan

membuat tabel kontingensi.

3.8.4 Cleaning

Cleaning (membersihkan data) merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah di entry ada kesalahan atau tidak. Pada

penelitian ini, saat cleaning tidak ada data yang salah saat di entry

data.

3.8.5 Tabulating

Membuat tabulasi dalam penelitian ini adalah dengan memasukan

data ke dalam tabel yang digunakan yaitu tabel distribusi frekuensi.

3.9 Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan analisis deskriptif yaitu analisis yang bertujuan untuk

menjelaskan atau mendeskriptifkan karakteristik setiap variabel penelitian.

Analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari

tiap variabel ( Notoatmodjo, 2012).

3.9.1 Analisa Univariat


Analisa univariat adalah bertujuan mendeskriptifkan masing-

masing variabel yang diteliti (Notoatmodjo, 2012). Bentuk analisis

univariat tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik

digunakan nilai mean, median, standar deviasi, nilai minimal dan

maksimal. Pada umumnya dalam analisis ini menghasilkan

distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Penyajian

data dari masing– masing variabel menggunakan tabel dan

diinterpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh. Analisis

univariat dilakukan tehadap variabel kontak erat dengan penderita

TBC. Digunakan rumus :

f
p= x 100 %
n

Keterangan :

P = Persentase

F = Jumlah pernyataan

n = Jumlah sampel

3.9.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,

2012). Analisis ini digunakan untuk mengetahui adanya hubungan

antara variabel bebas (kontak erat penderita TBC) dan variabel

terikat (kejadian TBC anak). Uji statistik yang digunakan yaitu uji

Chi-squre karena variabel bebas (independen) dan variabel terikat

(dependen) pada penelitian ini merupakan data kategorik.


Rumus uji Chi-squre :

x =∑ ¿ ¿ ¿
2

X2 = Statistik Chi Square

O = Frekuensi yang diambil (Observasi)

E = Frekuensi yang diharapkan (Expedted)

Untuk mengetahui p-value tergantung pada besarnya derajat

kebebasan (Degree off Freedom) yang dinyatakan dalam :

df = (b-1) (k-1)

keterangan :

b = jumlah baris di dalam tabel silang

k = jumlah kolom di dalam tabel silang

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel

independent dengan variabel dependeent, dapat disimpulkan :

Jika x 2 hitung x 2 tabel berarti Ho ditolak, Ha diterima atau ada

hubungan antara kontak erat penderita TBC dengan kejadian TB

anak di Puskesmas Tanjungkerta. Jika x 2 hitung x 2 tabel berarti Ho

diterima, Ha ditolak atau tidak ada hubungan antara kontak erat

penderita TBC dengan kejadian TB anak di Puskesmas

Tanjungkerta Derajat kepercayaan (Confidence Interval) yang

digunakan adalah 90%, sehingga :

1. Bila P-Value lebih kecil atau sama dengan alpha (P ≤ 0,05)

berarti hipotesis alternatif gagal tolak, artinya secara statistik


terdapat hubungan yang bermakna (Significant) antara kedua

variabel yang diteliti.

2. Bila nilai P-Value lebih besar dari alpha (P ≤ 0,05) berarti

hipotesis alternative ditolak, artinya secara statistik tidak

terdapat hubungan yang bermakna (Significant) antara kedua

variabel yang diteliti.

3.10 Etika Penelitian

Menurut (Notoatmodjo, 2012) mengungkapkan bahwa etika

membantu manusia untuk melihat atau menilai secara kritis mortilitas yang

dihayati dan dianut oleh masyarakat. Etika juga membantu dalam

merumuskan pedoman etis atau norma – norma yang diperlukan dalam

kelompok masyarakat, termasuk masyarakat professional. Pelaku

penelitian dalam melakukan penelitian hendaknya memegang teguh pada

etika penelitian.

Dalam melakukan penelitian perlu mendapat adanya rekomendasi

dari institusinya atau pihak lain dengan mengajukan permohonan ijin

kepada institusi/lembaga tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan

barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang

meliputi :

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti

disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subjek menolak

maka peneliti tidak memaksa dan menghormati hak – hak subjek.


2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden tetapi hanya inisial.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelomk data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

4. Privacy

Yang berarti bahwa identitas responden tidak akan diketahui oleh

orang lain, bahkan oleh peneliti itu sendiri, sehingga responden dapat

secara bebas untuk menentukan jawaban dari kuesioner tanpa takut

oleh intimidasi dari yang lain.

5. Maleficence

Bebas dari bahaya di mana penelitian ini tidak akan berdampak secara

langsung terhadap responden dan tidak membahayakan.

3.11 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Tanjungkerta

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2021


Lembar permohonan Persetujuan Menjadi Responden

Kepada Yth. Responden

di Tempat

Dengan Hormat,

Saya Mahasiswa Pogram Studi Ilmu Keperawatan (S1) STIKes YPIB

MAJALENGKA Tahun 2021

Nama : Siti Fathonah

NPM : 191420120058

Bermaksud akan melaksanakan penelitian tentang “ hubungan hubungan

Hubungan Kontak Erat penderita TBC Dengan Angka Kejadian TBC Anak Di

Wilayah Puskesmas Tanjungkerta Tahun 2021”. Adapun segala informasi, yang

Saudara/ i berikan akan dijamin kerahasiaan karena itu Saudara/ i bebas untuk

mencantumkan nama atau tidak. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti

meminta kesediaan Saudara/ i untuk mengisi kuisioner ini dengan


menandatangani kolom di bawah ini. Atas kesediaannya dan kerja sama nya saya

ucapkan terima kasih.

Peneliti

( )
PERNYATAAN KESEDIAAN
MENJADI RESPONDEN PENELITIAN
Dengan menandatangani lembar ini, saya:
Nama :
Usia :
Alamat :
Memberikan persetujuan untuk menjadi responden dalam penelitian yang
berjudul “Hubungan kontak erat penderita TBC dengan angka kejadian
TBC anak di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjungkerta” yang akan
dilakukan oleh Siti Fathonah mahasiswi ProgramStudi S1 Keperawatan
STIKes YPIB Majalengka.
Saya telah dijelaskan bahwa jawaban kuesioner ini hanya digunakan
untuk keperluan penelitian dan saya secara suka rela bersedia menjadi
responden penelitian ini.

Sumedang
Yang menyatakan

( )
KUISIONER

Pengantar

Terima kasih atas waktu yang telah diluangkan saudara/ i untuk mengisi kuisioner

ini.

Kuisioner ini diberikan dalam rangka untuk menganalisa adakah hubungan

hubungan Hubungan Kontak Erat penderita TBC Dengan Angka Kejadian TBC

Anak Di Wilayah Puskesmas Tanjungkerta Tahun 2020

Hasil kuisioner tidak akan mempengaruhi penilaian kinerja Saudara/ i

Saya sangat berterimakasih apabila jawaban yang diberikan sesuai dengan

kondisi yang sebenarnya.

2. Petunjuk pengisian kuisioner

Jawab dan isilah pertanyaan dengan benar dan jujur.

Berilah chek list pada jawaban yang menurut anda paling sesuai dan mengisi

kolom yang tersedia

Apabila ada yang tidak mengerti tanyakan langsung kepada peneliti.

Identitas

No. Responden :

Umur Penderita : ......Tahun

Hubungan dengan penderita : ............

Apakah penderita pernah kontak erat dengan penderita TBC?

YA

TIDAK
DRAFT KESEPAHAMAN BERSAMA
(MoU)
ANTARA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
YPIB MAJALENGKA
DENGAN
DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUMEDANG
TENTANG
PELAKSANAAN KEGIATAN TRI DHARMA
PERGURUAN TINGGI
Jl. Gerakan Koperasi No.003 Majalengka Provinsi Jawa
Barat

Telp./Fax. (0233) 284098

TAHUN 2021

DRAFT KESEPAHAMAN BERSAMA (MoU)


ANTARA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YPIB MAJALENGKA
DENGAN
DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUMEDANG
TENTANG
PELAKSANAAN KEGIATAN TRI DHARMA
PERGURUAN TINGGI

Nomor : A-87/LPPMSTIKesYPIB/VIII/2021

Nomor : ……………………….…………

Pada hari ini Senin tanggal Dua, bulan Agustus, tahun Dua ribu dua puluh satu (02-08-
2021), Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

1. Nama : Dr Wawan Kurniawan, SKM., S.Kep., Ners., M.Kes

Ketua STIKes YPIB majalengka yang berkedudukan di Jalan Gerakan


Koperasi No.003 Majalengka dalam hal ini bertindak secara sah
untuk dan atas nama STIKes YPIB Majalengka yang selanjutnya
dalam perjanjian ini disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

2. Nama : Dadang Sulaeman, S.Sos., M.Kes


Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang yang berkedudukan di Jalan
Kutamaya No. 21, Kotakulon, Kec. Sumedang Selatan, Sumedang
dalam hal ini bertindak secara sah untuk dan atas nama Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Sumedang yang selanjutnya dalam perjanjian
ini disebut sebagai PIHAK KEDUA.

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bersepakat untuk mengadakan kerjasama dalam
bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan ketentuan seperti dicantumkan pada pasal–
pasal berikut :

Pasal 1
KETENTUAN UMUM

1. STIKes YPIB Majalengka adalah STIKes YPIB Majalengka Jawa Barat sebagai unit
pelaksana teknis dibidang Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan
Program Studi DIII Kebidanan, Progran Studi S1 Farmasi, Program Studi S1
Keperawatan dan Profesi Ners yang berada dibawah tanggung jawab Departemen
Pendidikan Nasional dan secara teknis operasional berada dibawah pembinaan dan
bimbingan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV Jawa Barat Banten.
2. Ketua STIKes adalah Ketua STIKes YPIB Majalengka.
3. Pemerintah Kabupaten Majalengka sebagai unit pelaksana teknis dibidang Tri
Dharma Perguruan Tinggi yang berada dibawah tanggung jawab Departemen
Pemerintahan dalam negeri.
Pasal 2
MAKSUD DAN TUJUAN

Kerja sama ini bertujuan meningkatkan serta membina hubungan kelembagaan antara
kedua belah pihak yang saling menguntungkan dalam melaksanakan kegiatan Tri
Dharma Perguruan Tinggi antara STIKes YPIB Majalengka dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Sumedang.

Pasal 3
RUANG LINGKUP KERJA SAMA

Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA
sepakat untuk mewujudkan dalam bentuk :
1) Bekerjasama saling meningkatkan Kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi tentang
Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
2) Bekerjasama saling memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi tentang Pendidikan,
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.

Pasal 4
JANGKA WAKTU PERJANJIAN

1. Naskah kerja sama ini mulai berlaku sejak ditandatangani dan berlaku untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun.
2. Naskah kerja sama ini dapat diperpanjang dengan ketentuan 6 (enam) bulan sebelum
naskah kerja sama ini berakhir, sudah harus ada persetujuan tertulis antara kedua
belah pihak untuk memperpanjang kerja sama.
3. Naskah kerja sama ini dapat diubah atas kesepakatan PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA.

Pasal 5
PERSELISIHAN

Perselisihan yang mungkin timbul dalam perjanjian ini akan diselesaikan dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat dan apabila tidak tercapai kesepakatan maka
kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui badan arbitrase.

Pasal 6
SANKSI

1. Apabila PIHAK PERTAMA tidak mentaati naskah kerja sama, maka PIHAK KEDUA
dapat memutuskan kerja sama ini.
2. Apabila PIHAK KEDUA tidak mentaati naskah kerja sama, maka PIHAK PERTAMA
dapat memutuskan kerja sama ini.

Pasal 7
EVALUASI
Dalam rangka Evaluasi pelaksanaan kerja sama ini kedua belah pihak mengadakan rapat
sekurang–kurangnya dua kali setahun.

Pasal 8
KEADAAN MEMAKSA
(FORCE MAJEUR)

Apabila terjadi keadaan diluar kekuasaan kedua belah pihak atau sebab kahar (force
majeur) yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya isi surat perjanjian ini, maka
kedua belah pihak dengan itikad baik dan demi tercapainya maksud dan tujuan
perjanjian kerja sama ini sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat dan dengan tidak saling merugikan kedua belah pihak.

Pasal 9
PENUTUP

1. Hal–hal yang belum diatur dalam perjanjian kerja sama ini akan dibicarakan secara
musyawarah dan mufakat antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA yang akan
dituangkan dalam suatu Adendum atau Petunjuk pelaksanaan.
2. Perjanjian kerjasama ini dibuat daslam rangkap 2 (dua), bermaterai cukup dan
masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama serta masing-masing pihak
memiliki 1 (satu) berkas.
3. Demikian perjanjian kerjasama ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak
dengan ketentuan apabila terjadi kekeliruan dan ketidaksesuaian akan
dimusyawarahkan kemudian hari secara mufakat oleh kedua belah pihak.

DITETAPKAN DI PADA : Majalengka


TANGGAL
: 02 Agustus 2021

MENGETAHUI,

UNTUK DAN ATAS NAMA UNTUK DAN ATAS NAMA


KETUA STIKes YPIB KEPALA DINAS KESEHATAN KABUPATEN
MAJALENGKA SUMEDANG
SEBAGAI PIHAK PERTAMA SEBAGAI PIHAK KEDUA

Dr Wawan Kurniawan, SKM., S.Kep., Ners., M.Kes Dadang Sulaeman, S.Sos., M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


(STIKes)
YPIB MAJALENGKA
SK. Mendiknas RI Nomor : 06/D/O/2005
Terakreditasi “B” LAMPT-Kes
Jalan Gerakan Koperasi Nomor 003 Majalengka 45411, Telp./Faks.
(0233) 284098
Situs Web : www.stikesypib.ac.id Email : kampus@stikesypib.ac.id WhatsApp :
08112221913

Nomor : A-086/LPPMSTIKesYPIB/VIII/2021
Lamp. : 1 bundel
Perihal : Permohonan Kesepahaman Bersama

Kepada Yth,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang
Di
Tempat

Dengan Hormat,

Sehubungan dilaksanakannya Tri Dharma Perguruan Tinggi,


maka kami STIKes YPIB Majalengka bermaksud memohon
kerjasama meliputi Kegiatan Pendidikan, Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten Sumedang. Adapun berkas usulan naskah
Kesepahaman Bersama sebagaimana terlampir.

Demikian atas perhatian dan kerja samanya kami sampaikan


terima kasih.

Mengetahui, Majalengka, 02 Agustus2021


Ketua STIKes YPIB Majalengka Ketua LPPM

Dr Wawan Kurniawan, SKM.,S.Kep., Ners.,M.Kes Wini Fitrina Sofyan, M.Pd


Tembusan :
1. Ketua YPIB Majalengka (sebagai laporan)
2. Pertinggal

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SUMEDANG


DINAS KESEHATAN
Alamat : Jl. Kutamaya No,21, Kotakulon, Sumedang Sel., Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat, No.T1p: (0261) 202377,
Website : dinkes.sumedangkab.go.id E-mail : ,
45311
SURAT IJlN PENELITIAN
Nomor: 070 / 226 NIII / 2021 / SDK

TENT
ANG:
PENDIDIKAN PENELITIAN DAN PRAKTEK LAPANGAN
Dl LINGKUNGAN DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUMEDANG

Dasar Surat dari Ketua Sekolah Tinggi limu Kesehatan (STIKes) YPIB Majalengka
Nomor : 231/STIKes-S1.Kep/06-Penelitian/V1/2021 tanggal 07
Juni 2021 Perihal : Permohonan Ijin Penelitian.

MENGIZINKAN
Kepada:
Nama Siti Fathonah
Judul Hubungan Kontak Erat Penderita TBC Dengan Angka Kejadian TBC Anak di Wilayah
Puskesmas Tanjunkerta Tahun 2021
Waktu 9 Agustus s.d 9 September 2021
Untuk Melaksanakan Penelitian di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang.

Degan ketentuan 1. Selama melaksanakan penelitian yang bersangkutan harus mengikuti ketentuan
pelaksanaan penelitian yang berlaku di Kabupaten Sumedang.
2. Hasil penelitian tersebut diharapkan menjadi bahan masukan bagi
perencanaan program di Dinas Kesehatan.
3. Menyerahkan hasil Hard Copy penelitian melalui Bidang Sumber
Daya Kesehatan C.q Seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Dikeluarkan di Sumedang
Pada tanggal 2 Agustus 2021
Ditandatangani Secara Elektronik Oleh:
Bala
i EKKI RISWANDYAH SKM
NIP.
Sertifikasi
Elektronik

197211101995032004

Kepala Bidang Sumber Daya


Kesehatan
1. Ketua Prodi SI Keperawatan Sckolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) YPIB Majalengka
2. Kcpala UPTD Puskcsmas Tanjungkerta Kabupaten Sumedang
3, PertingaJ.

Dipindai dengan CamScanner

Anda mungkin juga menyukai