Anda di halaman 1dari 51

HUBUNGAN SECURE ATTACHMENT DENGAN KEMAMPUAN

SOSIALISASI DAN KEMANDIRIAN ANAK PRASEKOLAH DI TAMAN


KANAK-KANAK TUNAS TANJUNG KENCANA KECAMATAN
KARANGKANCANA
TAHUN 2021

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan

Oleh :
FITRI DWI ALDIANTI
NIM. CKR0170132

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi mengenai
Hubungan Secure Attachment Dengan Kemampuan Sosialisasi Dan
Kemandirian Anak Prasekolah Di Taman Kanak - Kanak Tunas Tanjung
Kencana Kecamatan Karangkancana Tahun 2021.
Dalam penyusunan proposal skripsi ini tentunya tidak lepas dari kekurangan
penulis diantaranya, pengetahuan, pengalaman, kemampuan menganalisis masalah
dan penulisan. Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya laporan
proposal penelitian ini dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang
terhormat :
1. Prof. Dr. Hj. Dewi Lailatul Badriah, M.Kes, AIFO selaku Ketua Yayasan
Pendidikan Bhakti Husada Kuningan (YPBHK) beserta segenap
jajarannya.
2. Bapak H. Abdal Rohim, S.Kp., MH selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kuningan (STIKKU).
3. Bapak Nanang Saprudin, S.Kep., M.Kep selaku Ketua Prodi S1 Ilmu
Keperwatan STIKes Kuningan.
4. Bapak/Ibu selaku Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran dan telah
bersedia meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan proposal
skripsi ini.
5. Bapak/Ibu selaku Dosen Pembimbing II yang penuh kesabaran dan telah
bersedia meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan proposal
skripsi ini.
6. Bapak/Ibu selaku Dosen Penguji Sidang Proposal.
7. Bapak/Ibu selaku guru TK Tunas Tanjung Kencana.
8. Orang tua, keluarga dan teman terdekat yang telah memberikan dukungan
moral maupun material serta doa.

i
Penulis menyadari bahwa laporan ini memiliki berbagai kekurangan, baik
isi maupun penyajiannya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya
bagi seluruh mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan.

Kuningan, Juli 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................
1.1.1. Tujuan Umum..............................................................................
1.1.2. Tujuan Khusus.............................................................................
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................
1.1.1. Manfaat Teoritis..........................................................................
1.1.2. Manfaat Praktis............................................................................
1.5 Keaslian Penelitian................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORITIS......................................................................
2.1 Kelekatan (Attachment)........................................................................
2.1.1. Pengertian Kelekatan (Attachment)............................................
2.1.2. Aspek – aspek Kelekatan (Attachment)......................................
2.1.3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kelekatan..........................
2.2 Sosialisasi...............................................................................................
2.2.1. Pengertian Sosialisasi..................................................................
2.2.2. Proses Sosialisasi.........................................................................
2.2.3. Tahap – tahap Sosialisasi.............................................................
2.2.4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Sosialisasi.........................
2.3 Kemandirian..........................................................................................
2.3.1. Pengertian Kemandirian..............................................................
2.3.2. Aspek – aspek Kemandirian........................................................
2.3.3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kemandirian.....................
2.4 Anak Prasekolah...................................................................................
2.5 Kerangka Teori.....................................................................................
BAB III KERANGKA, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS....

iii
3.1 Kerangka Konsep..................................................................................
3.2 Definisi Operasional..............................................................................
3.3 Hipotesis.................................................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN..................................................................
4.1 Jenis Penelitian......................................................................................
4.2 Variabel Penelitian................................................................................
4.2.1. Variabel Independent (Bebas).....................................................
4.2.2. Variabel Dependent (Terikat)......................................................
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian...........................................................
4.3.1. Populasi Penelitian......................................................................
4.3.2. Sampel Penelitian........................................................................
4.3.3. Kriteria Inklusi.............................................................................
4.3.4. Kriteria Eksklusi..........................................................................
4.4 Instrumen Penelitian.............................................................................
4.4.1. Uji Validitas.................................................................................
4.4.2. Uji Reliabilitas.............................................................................
4.5 Tekhnik Pengumpulan Data................................................................
4.5.1. Sifat dan Sumber Data.................................................................
4.5.2. Tekhnik Pengumpulan Data........................................................
4.6 Tekhnik Pengolaan dan Analisis Data................................................
4.6.1. Tekhnik Pengolaan Data..............................................................
4.6.2. Analisis Data...............................................................................
4.7 Etika Penelitian.....................................................................................
4.8 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................
4.9 Jadwal Penelitian..................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Attachment merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali
oleh seorang psikolog dari Inggris John Bowlby pada tahun 1958
mengenai gambaran ikatan antara ibu dan anak yang dijelaskan lebih
lanjut oleh Kuper, dkk (dalam Desmita, 2005) bahwa attachment sebagai
ikatan emosional antara individu dengan figur terdekatnya. Selain itu
Ainsworth dan Dearing (dalam Upton, 2012) beranggapan serupa bahwa
attachment membentuk ikatan emosional antara individu dan pengasuh
yang memiliki arti khusus bagi kehidupannya serta bersifat kekal. Namun,
lain halnya dengan Bowlby (1973) yang menganggap attachment sebagai
bentuk ikatan psikologis antara anak dan pengasuh (ibu) dengan kelekatan
yang berlangsung sepanjang hidup. Ada juga anggapan berbeda dari Freud
(dalam Upton, 2012) yang mengungkapkan attachment hanya sebagai
pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti memberi makan dan minum oleh
pengasuh untuk anak dan bukan sebagai suatu ikatan emosional yang
terbangun antara anak dengan figur pengasuh atau ibu. Pemberian
perhatian dan kasih sayang dari figure lekat (ibu) serta lamanya waktu
anak bersama dengan ibu dalam melakukan kegiatannya sehari-hari,
(Baradja, 2005).
Bowlby (1973, hlm. 261) menganggap attachment penting dalam
tahun pertama kehidupan anak karena sangat mempengaruhi
perkembangan anak. Riset menunjukkan bahwa dari usia yang sangat dini
sampai usia dua tahun, perkembangan anak yang normal sangat
dipengaruhi oleh faktor kelekatan ini. Attachment dengan ibu merupakan
suatu langkah awal dalam proses perkembangan dan sosialisasi, (Allen,
2003). Matas (dalam Hatherington & Parke, 1999) juga mengemukakan
kelekatan bagi kehidupan anak yang awalnya mempengaruhi
perkembangan kognitif anak lalu dapat berhubungan dengan kemampuan

1
berinteraksi dengan kelompoknya dan secara kemandirian, empati akan
lebih menonjol. Begitu juga secara kepribadian, akan lebih berkembang
baik dalam hal hal yang berpengaruh positif, kemandirian, empati, dan
kemampuan kemampuan dalam situasi sosial. Dengan demikian hubungan
kelekatan (attachment) ini merupakan dasar penting bagi tingkah laku
selanjutnya (Matas, dalam Hetherington & Parke, 1999).
Anak dengan secure attachment akan lebih positif serta bersifat
sosial terhadap kelompoknya. Studi terhadap anak-anak prasekolah
menunjukkan dengan jelas bahwa anak yang mendapatkan secure
attachment lebih mampu menjalin relasi dengan anak lain daripada yang
mengalami insecure attachment (Hetherington & Parke, 1999). Bowly,
Ainsworth, Parke dan Allen (1973, 1978, 1999, 2003) menjelaskan harus
diperhatikan oleh orang tua adalah anak membutuhkan keleluasaan untuk
bereksplorasi, anak juga harus diberikan keseimbangan antara kelekatan
attachment dengan eksplorasi. Kelekatan berbeda dengan perlindungan
yang berlebihan terhadap anak.
Saat ini banyak orang tua yang bekerja dan menitipkan anak
kepada pengasuh atau ke tempat penitipan anak. Anak dengan ibu yang
bekerja akan diasuh oleh pengasuh pengganti baik itu pengasuh anak,
keluarga di rumah atau pengasuh pengganti di tempat penitipan anak.
Fenomena yang terjadi di masyarakat, seorang anak memiliki kelekatan
dengan ibunya walaupun ibu bekerja. Kebutuhan akan kelekatan pada ibu
menjadi hal yang penting dalam kehidupan seorang anak. Selain itu,
kelekatan pada ibu merupakan suatu langkah awal dalam proses
perkembangan dan sosialisasi.
Peneliti menentukan topik tersebut selain berdasarkan pemaparan
teori, penelitian sebelumnya serta asumsi pribadi yang menyatakan bahwa
attachment anak dengan ibu merupakan hal yang sangat penting bagi
perkembangan anak. Banyak ibu yang menjadi wanita karir, serta masih
kurangnya penelitian mengenai attachment ibu dan anak lebih banyak
dilakukan di negara-negara barat dan masih jarang dilakukan di Indonesia

2
(Wiwik, 2010). Sehingga peneliti memiliki keinginan untuk meneliti
mengenai “Hubungan Secure Attachment Dengan Kemampuan Sosialisasi
Dan Kemandirian Anak Prasekolah Di Taman Kanak-Kanak Tunas
Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancana”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang diatas maka pertanyaan
pokok yang diajukan adalah “Bagaimana Hubungan Secure Attachment
dengan Kemampuan Sosialisasi dan Kemandirian Anak Prasekolah Di
Taman Kanak - kanak Tunas Tanjung Kencana Kecamatan
Karangkancana” :
1. Bagaimana tingkat secure attachment anak pada orangtua di TK
Tunas Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancana?
2. Bagaimana tingkat kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak
prasekolah di TK Tunas Tanjung Kencana Kecamatan
Karangkancana?
3. Bagaimana hubungan antara secure attachment dengan kemandirian
anak prasekolah di TK Tunas Tanjung Kencana Kecamatan
Karangkancana?

1.3 Tujuan Penelitian


1.1.1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah mengetahui hubungan secure attachment dengan
kemampuan dan tingkat kemandirian anak prasekolah.
1.1.2. Tujuan Khusus
Secara Khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui tingkat secure attachment anak pada orangtua di
TK Tunas Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancana.

3
2. Mengetahui tingkat kemampuan sosialisasi dan kemandirian
anak prasekolah di TK Tunas Tanjung Kencana Kecamatan
Karangkancana.
3. Mengetahui hubungan antara secure attachment dengan
kemandirian anak prasekolah di TK Tunas Tanjung Kencana
Kecamatan Karangkancana.

1.4 Manfaat Penelitin


1.1.1. Manfaat Teoritis
1. Dapat dijadikan tambahan pengetahuan atau wawasan
mengenai kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak.
2. Dapat dijadikan tambahan referensi bagi para peneliti
selanjutnya mengenai hubungan secure attachment dengan
kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak prasekolah.
1.1.2. Manfaat Praktis
1. Bagi Orangtua
a. Dapat dijadikan sebagai acuan pola asuh orangtua untuk
melatih kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak.
b. Dapat dijadikan sebagai pedoman bagi orangtua untuk
menerapkan teori Secure attachment dalam mengatasi
masalah-masalah yang berhubungan dengan kemampuan
sosialisasi dan kemandirian anak.
2. Bagi Guru
a. Dapat dijadikan sebagai acuan guru untuk memberikan
pengetahuan dan latihan tentang kemampuan sosialisasi
dan kemandirian anak,
b. Dapat dijadikan sebagai tambahan pengalaman bagi guru
untuk meningkatkan kemampuan professional sebagai
pendidik.
3. Bagi Peneliti

4
Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan,
ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti sendiri serta
dapat dijadikan data dasar dan pendoman atau sebagai
masukan peneliti selanjutnya.
4. Bagi Program Studi Keperawatan STIKes Kuningan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber referensi perpustakaan tentang hubungan Secure
Attachment dengan kemampuan sosialisasi dan kemandirian
Anak Prasekolah sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan
untuk penelitian lanjutan yang sejenis namun mempunyai
kompleksitas yang lebih baik.

1.5 Keaslian Penelitian


Tabel 1.1 Keaslian Peneliti
No Penelitian
1. Judul Hubungan Kelekatan Aman (Secure Attachment)
Anak Pada Orangtua Dengan Kemandirian Anak
Kelompok B TK PKK 37 Dodogan Jatimulyo
Dlongo Bantul
Peneliti Hani Nurhayati
Subyek 32 Anak Kelompok B1 Dan B2 TK PKK 32
Dodogan Beserta 32 Orangtua Atau Wali Murid
Metode Kuantitatif Korelasional
Hasil Dari hasil perhitungan uji korelasi pearson product
moment diperoleh nilai koefisien korelasi (r) untuk
hubungan kelekatan aman dengan kemandirian
anak menunjukan angka 0,416 berarti hasil korelasi
pada penelitian ini Ha diterima sedangkan Ho
ditolak. Maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang positif antara kelekatan aman
dengan kemandirian anak di TK PKK 37 Dodogan,
Jatimulyo, Dlingo, Bantul, ditunjukan dengan

5
tingkat penerapan kelekatan aman anak pada
orangtua yang tinggi dan kemandirian anak yang
juga tinggi.
2. Judul Pengaruh Secure Attachment Terhadap
Kemandirian Anak Usia Dini Di RA Muslimat NU
1 Belung Poncokusumo Malang
Peneliti Fauzul Mutmainah
Subyek Siswa RA yang masih kategori usia dini (kelas A)
Metode Kuantitatif dengan teknik analisis regresi linier
sederhana
Hasil Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat secure
attachment anak sebanyak 8% pada kategori tinggi,
86% pada kategori sedang dan 6% pada kategori
rendah. Sedangkan tingkat kemandirian anak
sebanyak 48% pada kategori tinggi dan 52% pada
kategori sedang. Hasil analisis regresi sederhana
menunjukan nilai F sebesar 8,705 dengan signifikan
0,005 berarti ada pengaruh secure attachment
terhadap kemandirian anak usia dini.
3. Judul Secure Attachment Orangtua Terhadap
Kemandirian Anak Usia Dini Di TK As-Salam
Kota Jambi
Peneliti Miari Edlin Kuswardani
Subyek Anak-anak murid TK kelompok A dengan rentang
usia 4-5 tahun di semester 2
Metode Kualitatif deskriptif yang dengan teknik
pengambilan dilakukan secara Purposive Sampling.
Hasil Hasil penelitian ini menemukan bahwa pertama,
persepsi orangtua tentang urgensi secure
attachment (kelekatan aman) menunjukan terdapat
kurangnya pemahaman dan kesadaran mengenai
pentingnya dari secure attachment (kelekatan
aman) terhadap kemandirian anak usia dini. Kedua,
faktor yang menentukan secure attachment

6
orangtua ialah melibatkan adanya komunikasi,
kepercayaan, pengasingan antara orangtua dan anak
dan figur orangtua terhadap anak. Ketiga
bagaimana menentukan secure attachment yaitu
dengan adanya sistem pola asuh yang baik dan
terarah yang terjalin secara kontinyu sejak dini oleh
orangtua terhadap anak.
4. Judul Pola Attachment Anak Usia Dini Dengan Ibu Di
Kota Cirebon
Peneliti Fiqih Rachmalia Astrini Vina Adriany dan Aan
Listina
Subyek 3 orang anak yang berusia 2 tahun dan 3 orang ibu
Metode Kualitatif
Hasil Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiga subjek
memiliki pola secure Attachment dengan ibu
sebagai figur utamanya. Pola secure attachment
ketiga subjek dan ibu terbentuk bukan hanya karena
ibu sebagai figur attachment utama melainkan
adanya dukungan dalam pengasuhan diri figur
attachment pengganti. Baik figur utama maupun
figur pengganti ketiganya mampu memenuhi
kebutuhan subjek, serta responsif terhadap tingkah
laku yang subjek tunjukan.
5. Judul Hubungan Kelekatan Ibu Dan Anak Dengan
Kemampuan Sosial Anak Usia Dini Di Kelas B TK
Pertiwi Karangsari Kembaran Banyumas
Peneliti Wigati Ning Asih
Subyek Anak Usia Dini (TK)
Metode Kuantitatif
Hasil Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kelekatan ibu dan
anak dengan kemampuan sosial anak usia dini di
kelas B TK Pertiwi Karangsari Kembaran
Banyumas dengan dibuktikan dengan memperoleh

7
nilai r = 0,527 (kolerasi kuat).

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Kelekatan (Attachment)


2.1.1. Pengertian Kelekatan (Attachment)
Bowlby (dalam Upton, 2012: 82) menjelaskan bahwa
kelekatan (attachment) memberikan keterhubungan psikologis
yang abadi di antara sesama manusia. Ikatan-ikatan paling awal
yang terbentuk antara anak-anak dengan orang-orang yang

8
mengasuh mereka. Ikatan-ikatan tersebut berdampak pada
pembentukan hubungan yang berlanjut sepanjang hidup.
Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth (dalam Eka Ervika,
2005: 4) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional
yang dibentuk seorang individu dengan orang lain. Ikatan
emosional bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu
kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu.
Cartney dan Dearing (dalam Eki Dwi Maretawati H,
Makmuroch, & Agustin, R.W., 2009: 48) menambahkan bahwa
kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang
dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orangtua.
Selain itu Durkin (dalam Eka Ervika, 2005: 4) berpendapat bahwa
kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah
laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara
hubungan tersebut.
Kelekatan adalah hubungan emosional yang kuat antara
anak dengan orangtua pada masa-masa awal kehidupannya
sehingga menjadi sebuah ikatan yang kekal sepanjang hidup
(Papalia & Feldman, 2013A: 278). Kelekatan ini mengacu pada
tingkah laku antara anak dengan orangtua yang memiliki perasaan
yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk
memperkuat ikatan tersebut. Anak yang mendapatkan kelekatan
yang cukup pada masa awal perkembangannya akan merasa
dirinya aman (secure).
Kelekatan mengacu pada aspek hubungan antara orangtua
yang memberikan anak perasaan aman, terjamin, dan terlindung
serta memberikan dasar yang aman untuk mengeksplorasi dunia.
Dalam masa kanak-kanak, ikatan kelekatan tersebut membuat anak
mendapatkan rasa aman dari orangtua. Di masa dewasa, kelekatan

9
mencakup hubungan timbal balik dan saling menguntungkan di
mana pasangan memberikan tempat dan rasa aman satu sama lain
(Santrock, 2011: 307).
Lebih lanjut Upton (2012: 88) membagi kelekatan menjadi:
1. Secure attachment, anak-anak dalam kelekatan aman (secure
attachment) menggunakan orangtua mereka sebagai basis
aman untuk menjelajah lingkungan baru. Masuknya orang
asing menghambat penjelajahan anak, menyebabkan anak
bergeser sedikit lebih dekat ke orangtua. Anak akan cemas
dengan kepergian orangtuanya dan berusaha membuat
orangtua kembali dengan perilaku menangis atau mencari.
Anak semestinya berusaha untuk kembali terlibat dalam
interaksi ketika orangtua kembali. Jika merasa cemas ia
mungkin juga ingin dipeluk dan ditenangkan.
2. Insecure avoidant, pada kelekatan ini anak menunjukkan
sedikit kepedulian atas kepergian ibunya. Alih-alih menyambut
orangtuanya ketika bertemu kembali, mereka secara aktif
menghindari interaksi dan mengabaikan ajakan-ajakan
orangtua untuk berinteraksi.
3. Insecure ambivalent, pada kelekatan ini anak cemas dengan
kepergian orangtuanya dan berperilaku secara ambivalen
ketika bertemu kembali. Anak berusaha melakukan kontak dan
interaksi namun sekaligus menolak dengan marah ketika diajak
berinteraksi.
4. Insecure disorganized, anak menunjukkan pola-pola perilaku
yang bertentangan dan tampaknya merasa bingung atau takut
untuk mendekati orangtuanya. Perilaku ini berkaitan dengan
anak-anak yang mengalami penganiayaan atau memiliki
orangtua yang mengalami kecemasan berat.
Dengan mengacu pada pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kelekatan adalah hubungan yang sangat kuat

10
antara orangtua dengan anak mereka yang menguntungkan satu
sama lain. Kelekatan dapat dibagi menjadi empat macam yaitu
secure attachment, insecure avoidant, insecure ambivalent, dan
insecure disorganized.
2.1.2. Aspek-aspek Kelekatan (Attachment)
Ainsworth menciptakan strange situation, sebuah ukuran
pengamatan kelekatan pada bayi ketika bayi mengalami
serangkaian perkenalan, perpisahan, dan pertemuan kembali
dengan pengasuh dan orang-orang asing dalam urutan tertentu.
Dalam prosedur yang dikemukakan oleh Ainsworth (dalam Crain,
2007: 81) terdapat tiga pola dasar tersebut yaitu :
1. Secure Attachment (Kelekatan Aman) : Anak yakin pada
orangtua karena orangtua sensitif dan responsive sehingga
anak merasa tenang. Anak merasa senang ditunggui orangtua.
Anak menunjukkan kebahagiaan ketika orangtua kembali.
2. Ambivalent Attachment (Kelekatan Melawan) : Anak merasa
tidak pasti bahwa orangtuanya selalu ada dan responsive
sehingga anak mudah cemas untuk berpisah. Anak tampak
sedih ketika ditinggal orangtua dan sulit untuk tenang kembali
meskipun orangtua telah kembali. Anak mampu
mengekspresikan emosi negatif namun dengan reaksi yang
berlebihan.
3. Avoidant Attachment (Kelekatan Menghindar) : Anak merasa
orangtua tidak merespon interaksinya sehingga anak kurang
mampu untuk bersosialisasi. Anak tidak peduli jika orangtua
pergi dan menolak orangtua ketika kembali. Anak kurang
mampu mengekspresikan emosi negatif.
Banyak anak lebih memilih kelekatan aman untuk
menumbuhkan kemandiriannya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
penelitian di mana kelekatan aman anak baik di lingkungan

11
keluarga maupun di lingkungan sekolah pada orangtua lebih
banyak mempengaruhi kemandirian anak (Upton, 2012: 85).
Mengacu pada aspek-aspek kelekatan menurut Ainsworth
maka yang ditekankan pada penelitian ini adalah kelekatan aman.
Menurut Bowlby (1969: 395) kelekatan aman terbentuk dari
interaksi antara orangtua dan anak, di mana anak memiliki rasa
percaya pada orangtua sebagai figur yang siap mendampingi anak-
anak. Orangtua adalah orang yang responsif, sensitif, dan penuh
dengan kasih sayang ketika anak mencari perlindungan atau
mencari kenyamanan dan selalu menolong anak dalam menghadapi
situasi yang mengancam atau menakutkan. Anak yang mempunyai
pola ini percaya adanya responsifitas dan kesediaan orangtua bagi
mereka.
Anak dengan kelekatan aman (secure attachment)
menggunakan orangtua mereka sebagai dasar rasa aman mereka.
Pada saat orangtua mereka hadir, anak akan meninggalkan
orangtua mereka untuk menjelajah lingkungan mereka dengan
terkadang kembali kepada orangtua mereka untuk memastikan
orangtua mereka masih ada. Anak-anak ini biasanya kooperatif dan
relatif bebas dari rasa marah (Papalia, Wendkos, &Feldman,
2013B: 279). Selain itu, anak-anak dengan kelekatan aman
menganggap bahwa orang asing dapat menghambat penjelajahan
mereka sehingga menyebabkan anak bergeser sedikit lebih dekat
dengan orangtua. Anak akan cemas dengan kepergian orangtuanya
dan berusaha membuat orangtua kembali dengan perilaku
menangis atau mencari. Jika merasa cemas, anak mungkin juga
ingin dipeluk dan ditenangkan (Upton, 2012: 88).
Dari teori Bowlby (dalam Upton, 2012:82) diperoleh fakta
bahwa hubungan-hubungan awal memberikan suatu purwarupa
bagi hubungan selanjutnya di masa remaja dan dewasa melalui
pembentukan model kerja internal (IWM-Internal Working

12
Model). IWM dapat dimodifikasi seiring anak mengembangkan
jenis-jenis hubungan baru, karena itu kontak dengan beragam
orang dengan siapa anak dapat membentuk kelekatan dapat
menghasilkan IWM yang berkembang lebih penuh, sehingga
mempersiapkan anak dengan lebih baik untuk membentuk
hubungan dengan orang-orang yang lebih beragam dikemudian
hari dalam hidupnya. IWM diduga mempengaruhi reaksi anak
kepada orang lain bahkan di masa dewasanya. Karena itu, anak
dengan IWM yang didasarkan pada hubungan yang tidak adaptif
kemungkinan mengulangi perilaku ini sepanjang hidup.
Bowlby (dalam Eka Ervika, 2005: 7) menjelaskan bahwa
IWM dan figur lekat saling melengkapi serta saling
menggambarkan dua sisi hubungan tersebut. Anak yang diasuh
dengan kehangatan, sensitivitas, dan responsivitas akan
mengembangkan IWM yang positif pada orangtua dan diri sendiri.
IWM merupakan hasil interpretasi pengalaman secara terus-
menerus dan interaksinya dengan figur lekat.
Upton (2012: 82) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang
dapat meningkatkan kestabilan IWM, yaitu :
1. Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan
menjadi kebiasaan yang terjadi secara otomatis ; dan
2. Dyadic Pattern, pola yang timbal balik cenderung akan
mengubah pola individual karena harapan yang timbal balik
memerintahkan masing-masing pasangan untuk mengartikan
perilaku pihak lainnya.
Cartney dan Dearing (dalam Eka Ervika, 2005: 7)
menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggiring dan
menentukan perilaku dan perasaan melalui IWM (Internal Working
Model). Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah,
1. Internal : karena disimpan dalam pikiran
2. Working : karena membimbing persepsi dan perilaku dan

13
3. Model : karena mencerminkan representasi kognitif dari
pengalaman dalam membina hubungan.
Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu
hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan
bahaya.
IMW selanjutnya akan menggiring anak dalam interaksi di
masa yang akan datang. Anak yang memiliki orangtua yang
mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan
mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan
pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara terus-menerus anak
akan mengembangkan model yang paralel dalam dirinya. Model ini
selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orangtua pada orang
lain, misalnya pada guru dan teman sebaya.
Pada model ini anak berpendapat bahwa guru dan teman
adalah orang yang dapat dipercaya. Sehingga dapat melakukan
aktivitasnya sendiri dengan mandiri dan percaya diri. Sejalan
dengan pendapat Santrock (2007: 19) bahwa pada masa anak usia
dini, anak belajar mandiri, merawat diri sendiri, mengembangkan
keterampilan kesiapan sekolah, dan menghabiskan waktu berjam-
jam untuk bermain dengan teman sebaya. Namun, sebaliknya anak
yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan
mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak
yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial.
Konsep Working Model selanjutnya dikembangkan oleh
Collins dan Read (dalam Eka Ervika, 2005: 7) yang terdiri dari
empat komponen yang saling berhubungan, yaitu :
1. Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan
pengalaman
2. Kepercayaan, sikap, dan harapan mengenai diri dan orang lain
yang dihubungkan dengan kelekatan

14
3. Kelekatan dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal
and needs); dan
4. Strategi dan rencana yang diwujudkan dengan pencapaian
tujuan kelekatan.
Dengan mengacu pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kelekatan aman, kelekatan melawan, dan kelekatan menghindar
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemandirian anak.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelekatan (Attachment)
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif
dapat disebut kelekatan (Ainsworth dalam Eka Ervika, 2005: 4).
Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah hubungan
yang bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat
tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur
digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figur lekat akan
menimbulkan rasa aman.
Maccoby (dalam Eka Ervika, 2005: 4) menjelaskan bahwa
seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki
ciri-ciri antara lain mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang,
menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat, menjadi
gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali, orientasinya tetap
pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak
memperhatikan gerakan, mendengarkan suara, dan sebisa mungkin
berusaha mencari perhatian figur lekatnya.
Kelekatan tidak muncul secara tiba-tiba, ada faktor-faktor
yang menjadi penyebab munculnya kelekatan. Menurut Baradja
(dalam Eka Ervika, 2000: 14) faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya kelekatan antara seorang anak dan
orangtua adalah sebagai berikut :
1. Adanya kepuasan anak terhadap pemberian objek lekat,
misalnya setiap kali seorang anak membutuhkan sesuatu maka

15
objek lekat mampu dan siap untuk memenuhinya. Dan objek
lekat di sini adalah orangtua mereka.
2. Terjadi reaksi atau merespon setiap tingkah laku yang
menunjukkan perhatian. Misalnya, saat seorang anak
bertingkah laku dengan mencari perhatian pada orangtua, maka
orangtua meresponnya. Maka anak memberikan kelekatannya.
3. Seringnya bertemu dengan anak, maka anak akan memberikan
kelekatannya. Misalnya orangtua yang lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah memudahkan anak untuk
berkomunikasi dengan mereka.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada faktor-
faktor yang menyebabkan munculnya kelekatan anak pada
orangtua yaitu adanya kepuasan anak, adanya respon dan intensitas
pertemuan anak dengan orangtua.

2.2 Sosialisasi
2.2.1. Pengertian Sosialisasi
Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998)
adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang
dilahirkan dengan perilaku aktual yang jauh lebih sempit
jangkauan-jangkauan mengenai yang biasa dan yang diterima
menurut norma kelompoknya. Sosialisasi adalah “proses yang
digunakan anak untuk mempelajari standar, nilai, perilaku yang
diharapkan kebudayaan atau lingkungan masyarakat mereka”
(Mussen, dkk, 1994). Chaplin (2002), mengemukakan bahwa
sosialisasi adalah proses mempelajari kebiasaan, cara hidup dan
adat istiadat masyarakat tertentu.
Perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh keluarga,
teman bermain dan sekolah. Lingkungan pertama serta utama
dikenal sejak lahir yaitu keluarga. Ayah, ibu dan anggota keluarga
lainnya merupakan lingkungan sosial yang berasal dari keluarga,

16
besar perannya bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian
individu. Kebiasaan yang ditanamkan keluarga baik itu positif
maupun negatif secara tidak langsung akan terbentuk dalam
kepribadian anak.
Kemampuan sosialisasi menjadi suatu aspek penting dalam
perkembangan anak, karena masa anak Taman Kanak-kanak
(Prasekolah) merupakan masa peralihan dari lingkungan keluarga
kedalam lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Didalam
lingkungan sekolah, anak tidak hanya memasuki dunia sosialisasi
yang lebih luas melainkan anak juga akan menemukan suasana
kehidupan yang berbeda, teman, guru atau aturan-aturan yang
berbeda dengan lingkungan keluarga (Chaplin, 2002).
Melihat dari definisi - definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud sosialisasi adalah proses dimana anak-anak belajar
mengenai standar, nilai dan sikap yang diharapkan kebudayaan
atau lingkungan masyarakat mereka.
2.2.2. Proses Sosialisasi
Proses sosial pada hakekatnya adalah proses belajar sosial
mengenai tingkah laku yang diharapkan oleh masyarakatnya.
Proses sosialisasi berawal dari keluarga, melalui keluargalah anak
belajar beradaptasi ditengah kehidupan masyarakat (Satiadarma,
2001).
Hurlock (1997), proses sosialisasi diperoleh dari
kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial.
Sosialisasi ini memerlukan beberapa proses, yaitu :
1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya
untuk dapat diterima, dan harus mampu menyesuaikan perilaku
dengan patokan yang dapat diterima pula.
2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima

17
Setiap kelompok mempunyai pola kebiasaan yang telah
ditentukan oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipenuhi.
3. Perkembangan sikap sosial
Untuk bermasyarakat atau bergaul dengan baik diperlukan
adanya minat untuk melihat anak yang lain dan berusaha
mengadakan kontak sosial dengan mereka, mencoba untuk
bergabung dan bekerja sama dalam bermain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses
sosialisasi adalah proses belajar sosial untuk mempelajari tingkah
laku yang diharapkan oleh masyarakatnya, selain itu perlu juga
diperhatikan tentang tahap - tahap sosialisasi.
2.2.3. Tahap – tahap Sosialisasi
Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk
belajar bersosialisasi. “Melalui keluargalah anak belajar merespon
terhadap masyarakat dan beradaptasi ditengah kehidupan
masyarakatnya yang lebih luas nantinya. Melalui proses sosialisasi
didalam keluarga, seorang anak secara bertahap belajar
mengembangkan kemampuan nalar serta imajinasinya”
(Satiadarma, 2001). Perhatian terhadap hal-hal disekelilingnya
banyak dipengaruhi oleh nilai - nilai yang mereka anut, keluargalah
yang menanamkan nilai - nilai tersebut.
Setelah anak belajar bersosialisasi didalam keluarga,
kemudian anak belajar bersosialisasi diluar rumah yang diperoleh
dari teman sebaya, sekolah, guru dan lingkungan diluar yang lebih
luas (Mussen, dkk, 1994).
Yusuf, (2008), mengemukakan bahwa tahap perkembangan
sosial pada usia prasekolah yaitu, anak mulai mengetahui aturan–
aturan baik dilingkungan keluarga maupun lingkungan bermain,
sedikit demi sedikit anak mulai tunduk pada peraturan, anak mulai
menyadari hak dan kewajiban orang lain, anak mulai dapat
bermain bersama anak - anak lain atau teman sebaya.

18
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap
– tahap sosialisasi berawal dari lingkungan di dalam keluarga dan
selanjutnya anak akan belajar bersosialisasi diluar lingkungan
keluarga, yaitu di sekolah maupun di masyarakat.
2.2.4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Sosialisasi
Hurlock (1997), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi sosialisasi, terutama anak yaitu adanya sikap anak-
anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial dan seberapa baik
mereka dapat bergaul dengan orang lain. Anak - anak akan
tergantung pada pengalaman belajar selama bertahun-tahun awal
kehidupan yang merupakan masa pembentukan kepribadian, tetapi
kelompok sosial juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial
anak. Namun pada akhirnya, kemampuan anak untuk
menyesuaikan diri dengan tuntunan sosial dan menjadi pribadi
yang dapat bermasyarakat, tergantung pada empat faktor menurut
Sujiono, (2005) yaitu, kesempatan yang penuh untuk belajar
sosialisasi/bermasyarakat, mampu berkomunikasi pembicaraan
yang bersifat sosial merupakan penunjang yang penting bagi
sosialisasi, anak hanya akan belajar bersosialisasi apabila mereka
memiliki motivasi untuk melakukannya, metode belajar yang
efektif dengan bimbingan adalah penting. Empat faktor tersebut
akan menjadi daya dorong tersendiri bagi anak untuk
mengembangkan kemampuan sosialisasi.
Jadi dapat disimpulkan faktor - faktor yang mempengaruhi
sosialisasi yaitu adanya sikap anak - anak terhadap orang lain dan
pengalaman sosial dan seberapa baik mereka dapat bergaul dengan
orang lain.

2.3 Kemandirian
2.3.1. Pengertian Kemandirian

19
Tim Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini (2009: 50)
menjelaskan bahwa definisi kemandirian adalah sifat yang
termasuk pembiasaan positif yang merupakan salah satu
pembentuk keterampilan sosial yaitu kemampuan dasar yang harus
dimiliki anak agar mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Sedangkan menurut Desmita (2009: 185)
kemandirian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan
mengatur pikiran, perasaan, dan tindakan sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan
keragu-raguan.
Kemandirian adalah kemampuan berdiri sendiri di atas kaki
sendiri dengan kebenaran dan tanggung jawab sendiri (Kartini
Kartono, 1995: 243). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
kemandirian adalah kemampuan anak untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya melalui proses belajar untuk tidak
bergantung pada orang lain sehingga mempunyai rasa percaya diri
dan akhirnya mampu mengambil keputusan dan bertanggung
jawab sendiri atas segala sesuatu yang telah dilakukannya.
Kemandirian pada anak diperoleh secara bertahap seiring
dengan perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka
(Hurlock, 2004: 14). Dimana anak akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi dilingkungan.
Sehingga pada akhirnya anak akan mampu berpikir dan bertindak
sendiri.
Seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan, dan
dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat
mencapai keberhasilan atas diri sendiri (Tim Pusat Studi PAUD,
2009: 67). Pada saat ini peran orangtua dan reaksi dari lingkungan
sangat diperlukan bagi anak sebagai penguat untuk perilaku-
perilaku yang dilakukannya. Kemandirian semakin berkembang

20
dengan baik jika diberikan kesempatan melalui latihan yang
dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini.
Orangtua perlu mengetahui latihan-latihan kemandirian
agar anak dapat mandiri seperti berikut ini yaitu anak dapat makan
minum sendiri, memakai sepatu sendiri, menyisir rambut sendiri,
sikat gigi sendiri, menggunakan kamar mandi sendiri, dan anak
bertanggungjawab dengan apa yang ia sukai seperti menari,
melukis, dan lain sebagainya (Sri Rumini & Siti Sundari, 2004:
27). Dengan demikian, kemandirian anak dapat ditumbuhkan
dengan membiarkan anak memiliki pilihan dan berani
mengungkapkannya sejak dini (Hurlock, 2004: 43).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan anak untuk
tidak tergantung pada orang lain dan mempunyai rasa percaya diri
yang kuat sehingga mampu mengambil keputusan dan
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kemandirian anak dapat
dilihat dari latihan-latihan kemandirian yang dilakukannya.
2.3.2. Aspek-aspek Kemandirian
Kemandirian menuntut suatu kesiapan individu, baik
kesiapan fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus, dan
melakukan aktivitas tanggungjawabnya sendiri tanpa banyak
menggantungkan diri pada orang lain. Havighurst (dalam Enung
Fatimah, 2006: 143) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari
atas :
1. Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol
emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orangtua.
2. Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur
ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada
orangtua.
3. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

21
4. Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk
mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung
atau menunggu aksi dari orang lain.
Dalam teori Erikson (dalam Santrock, 2007: 46) terdapat
delapan tahap perkembangan berkembang sepanjang kehidupan.
Tiap tahap terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang
menghadapkan seseorang pada suatu krisis yang harus dipecahkan.
Tahap-tahap perkembangan tersebut adalah :
1. Kepercayaan versus Ketidakpercayaan (Trust vs Mistrust)
Tahap psikososial yang pertama yang dialami pada
tahun pertama kehidupan (0-1 tahun). Rasa percaya melibatkan
rasa nyaman secara fisik dan tidak ada rasa takut atau
kecemasan akan masa depan. Rasa percaya yang dirasakan
bayi akan menjadi fondasi kepercayaan sepanjang hidup
bahwa dunia akan menjadi tempat yang baik dan
menyenangkan untuk ditinggali. Sejalan dengan hal diatas
pada anak usia 5-6 tahun apabila mempunyai rasa kepercayaan
(trust) maka dia akan merasa bahagia berada di dekat
orangtuanya sehingga dapat mengembangkan kelekatan aman.
Hal ini bisa menyebabkan anak menjadi lebih mandiri.
2. Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu-ragu (Autonomy versus
Doubt and Shame)
Pada tahap ini terjadi pada masa bayi akhir dan masak
kanak-kanak awal (1-3 tahun). Setelah mendapatkan rasa
percaya pengasuh bayi mulai mengetahui bahwa perilaku
mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai
menyatakan kemandirian mereka atau disebut otonomi.
Mereka menyadari keinginan mereka. Jika anak terlalu dibatasi
atau dihukum dengan keras mereka mungkin memunculkan
rasa malu dan ragu-ragu.
3. Inisiatif versus Rasa Bersalah (Initiative versus Guilt)

22
Tahap perkembangan ini terjadi selama tahun
prasekolah (3-5 tahun). Begitu anak prasekolah memasuki
dunia sosial yang lebih luas, mereka menghadapi lebih banyak
tantangan dari pada ketika mereka bayi. Perilaku yang aktif
dan bertujuan diperlukan untuk menghadapi tantangan. Anak
diminta untuk memikirkan tanggung jawab terhadap tubuh,
perilaku, mainan, dan hewan peliharaan mereka.
Mengembangkan rasa tanggung jawab meningkatkan inisiatif.
Meskipun demikian rasa bersalah yang tidak nyaman dapat
muncul, jika anak tidak bertanggungjawab dan dibuat merasa
sangat cemas. Anak percaya bahwa sebagian besar rasa
bersalah dengan cepat digantikan oleh rasa ingin berprestasi.
Dengan demikian anak yang sudah bertanggungjawab terhadap
perilakunya maka akan menjadi lebih mandiri.
Erikson (dalam Santrock, 2007: 46) mengatakan bahwa
manusia berkembang dalam tahap psikososial, motivasi utama
manusia bersifat sosial, dan mencerminkan suatu keinginan
untuk berhubungan dengan orang lain. Pada anak usia dini,
ketika memasuki sekolah Taman Kanak-kanak begitu banyak
tantangan dari pada usia sebelumnya. Anak diminta untuk
memikirkan tanggung jawab terhad ap tubuh, perilaku, mainan,
dan hewan peliharaan. Mengembangkan rasa tanggung jawab
meningkatkan inisiatif.Meskipun rasa bersalah yang tidak
nyaman dapat muncul, jika anak tidak bertanggungjawab dan
dibuat merasa sangat cemas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-
aspek dari kemandirian pada anak usia dini adalah anak
bertangggungjawab dengan beragam aktivitas yang dapat
dilihat daribeberapa aspek yaitu aspek emosi, aspek ekonomi,
aspek intelektual,dan aspek sosial.
2.3.3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

23
Hurlock (1996: 23) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kemandirian adalah :
1. Hubungan Anak dengan Orangtua
Orangtua dengan hubungan pengasuhan demokratis
sangat merangsang kemandirian anak, dimana orangtua
memiliki peran sebagai pembimbing yang memperhatikan
terhadap setiap aktivitas dan kebutuhan anak. Terutama yang
berhubungan dengan pendidikan dan pergaulannya baik di
lingkungan keluarga maupun sekolah. Pengasuhan orangtua
berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Pengaruh ini ditentukan oleh keyakinan dan sikap
hubungan pengasuhan yang dimiliki orangtua. Penelitian Chen
(dalam Rasdi Ekosiswoyo, Tri Joko, & Tri Suminar, 2011: 5)
menunjukkan bahwa keyakinan dan sikap autoritatif orangtua
berkorelasi secara positif dengan rendahnya penggunaan
kekuasaan. Termasuk pertukaran informasi dan argumentasi
dan secara negatif berhubungan dengan tingginya penggunaan
kekuasaan.
Hubungan anak dengan orangtua sebagaimana dikutip
dari Shochib dan Baumrind (dalam Rasdi Ekosiswoyo dkk.,
2011: 5) menunjukkan bahwa pengasuhan orangtua memiliki
hubungan terhadap perkembangan sosial dan akademik anak.
Hubungan pengasuhan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Autoritarian : orangtua cenderung membentuk,
mengontrol, dan mengevaluasi sikap dan perilaku anak
dengan menggunakan standar yang absolut dan kaku,
menekankan pada kepatuhan, penghormatan kekuasaan,
tradisi, menjaga keteraturan, dan kurang menjalin
komunikasi lisan. Kadang-kadang orangtua menolak
kehadiran anak

24
2. Autoritatif : orangtua cenderung mengarahkan anak
berpikir secara rasional, berorientasi pada tindakan atau
perbuatan, mendorong komunikasi lisan, memberi
penjelasan atas keinginan dan tuntutan yang diberikan
kepada anak tetapi juga menggunakan kekuasaan jika
diperlukan, mengharapkan anak untuk menyesuaikan
dengan harapan orangtua, tetapi juga mendorong anak
untuk mandiri, menetapkan standar perilaku anak yang
fleksibel
3. Permisif : orangtua cenderung bersikap positif terhadap
keinginan, sikap dan perilaku anak, sedikit menggunakan
hukuman, tidak banyak menuntut anak terlibat dalam
pekerjaan rumah dan tanggung jawab, membiarkan anak
mengatur perilakunya sendiri, menghindari pengontrolan,
dan menggunakan rasional dalam mencapai suatu tujuan.
4. Jenis Kelamin
Anak yang berkembang dengan tingkah laku maskulin
lebih mandiri dibandingkan dengan anak yang
mengembangkan tingkah laku yang feminis. Karena hal
tersebut, laki-laki memiliki sifat yang agresif dari pada anak
perempuan yang sifatnya lemah lembut dan pasif.
5. Urutan Posisi Anak
Anak pertama sangat diharapkan untuk menjadi contoh
dan menjaga adiknya lebih berpeluang untuk mandiri
dibandingkan dengan anak bungsu yang mendapatkan
perhatian berlebihan dari orangtua dan saudara-saudaranya dan
berpeluang kecil untuk mandiri. Urutan posisi anak
berpengaruh terhadap tingkat kemandiriannya. Hal ini dapat
dilihat dari beban yang harus dipikul oleh seorang anak. Beban
anak sulung lebih berat bila dibandingkan dengan anak
bungsu. Anak pertama lebih mandiri.

25
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pola
pengasuhan orangtua terhadap anak sangat mempengaruhi
perkembangan anak termasuk tingkat kemandiriannya, di
samping itu juga perbedaan jenis kelamin anak antara laki-laki
dengan perempuan juga mempunyai perbedaan pada tingkat
kemandiriannya. Urutan posisi anak antara yang sulung dengan
bungsu juga mempengaruhi tingkat kemandiriannya.

2.4 Anak Prasekolah


Prasekolah dapat diartikan sebagai pendidikan sebelum sekolah.
Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai enam
tahun (Riyanto, dkk, 2004). Anak prasekolah adalah pribadi yang
mempunyai berbagai macam potensi. Potensi - potensi itu dirangsang dan
dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal,
anak dapat berkembang kepribadiannya lewat sosialisasi di sekolah.
Taman kanak-kanak (TK) adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah
yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai
6 tahun atau memasuki pendidikan dasar, hal ini sesuai dengan UU No.20
Tahun 2003 tentang pendidikan prasekolah. Patmonodewo (2003),
mengemukakan bahwa program prasekolah di Indonesia dibedakan
menjadi beberapa kelompok, diantaranya program tempat penitipan anak
(3 bulan - 5 tahun), kelompok bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia
4 - 6 tahun biasanya mengikuti program Taman Kanak - Kanak (TK).
Usia prasekolah diantara 4 (empat) sampai 6 (enam) tahun
bertujuan membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap,
pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta yang diperlukan untuk anak
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan
serta perkembangan selanjutnya.
Langeveld dalam Riyanto (2004), mengemukakan tentang
kemampuan - kemampuan yang seharusnya dicapai anak prasekolah antara
lain, berbahasa lisan dan bercerita, mengenal pola kehidupan sosial (aku,

26
keluarga, dan sekolah), mengerti dan menguasai ketrampilan untuk
kepentingan kebutuhan sehari-hari, mulai berkhayal, dan belum dapat
membedakan secara tegas antara kenyataan dan imajinasi belaka. Anak
Taman kanak - kanak termasuk dalam kelompok umur prasekolah. Pada
umur 2-4 tahun, anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok,
melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan dan mencipta sesuatu. Masa
ini anak mengalami kemajuan pesat dalam ketrampilan menolong dirinya
sendiri dan dalam ketrampilan bermain.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial (sosialisasi) anak
prasekolah:
1. Kondisi kesehatan anak
Kesehatan anak mempengaruhi kemampuan anak mengenal
lingkungan diluar lingkungan keluarga. Anak dengan kondisi sehat
akan cepat bisa menyesuaikan dengan lingkungan diluar lingkungan
keluarga. (Effendy, 1998)
2. Umur anak
Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin
bertambah umur akan semakin bertambah pengetahuan yang dimiliki,
serta bertambah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan
diluar lingkungan keluarga. (Notoatmodjo, 2003)
3. Memiliki motivasi untuk sosialisasi
Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka karena mendapat
pengalaman baru ketika bergabung dengan kelompok dibandingkan
jika mereka bermain sendiri. (Sujiyono, 2005)
4. Adanya kesempatan untuk bersosialisasi
Sikap orang tua yang demokratis memberikan kesempatan anak untuk
bergabung dengan teman seusianya. (Sujiyono, 2005)
Riyanto (2004), menemukan ciri - ciri anak prasekolah atau
TK, diantaranya :
1. Ciri-ciri fisik

27
Anak prasekolah mempergunakan ketrampilan gerak dasar (berlari,
berjalan, memanjat, melompat) sebagai bagian dari permainan
mereka. Mereka aktif, tetapi lebih bertujuan dan tidak terlalu
mementingkan untuk bisa beraktivitas sendiri.
2. Ciri Sosial
Pada umumnya anak dalam tahapan ini memiliki satu atau dua
sahabat, tetapi dua sahabat ini cepat berganti. Perasaan empati dan
simpati terhadap teman juga berkembang, mampu berbagi dengan
inisiatif mereka sendiri, anak menjadi sosialis.
3. Ciri Emosional
Anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas. Sikap
marah sering diperlihatkan dan iri hati pada anak prasekolah sering
terjadi. Mereka seringkali memperebutkan perhatian guru.
4. Ciri Kognitif
Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa, sebagian besar
mereka senang berbicara dan sebagian lagi menjadi pendengar yang
baik. Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi minat,
kesempatan mengagumi dan kasih sayang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak
prasekolah adalah anak-anak yang berusia antara 3-6 tahun serta pada
masa prasekolah anak mengalami kemajuan pesat dalam ketrampilan
menolong dirinya sendiri dan dalam ketrampilan bermain.

2.5 Kerangka Teori

Faktor
1. Kepuasan anak terhadap objek lekat
2. Respon yang menunjukan perhatian
3. Seringnya bertemu dengan anak

Secure (Kelekatan) SECURE ATTACHMENT


(Kelekatan Aman)
1. Anak yakin pada orangtua karena
orangtua sensitif dan responsif.
282. Anak merasa tenang saat ditinggal
orangtua meski tidak ditunggui.
3. Anak menunjukan kebahagiaan ketika
orangtua kembali.
Kemandirian
1. Anak mampu mengontrol emosi
2. Anak tidak tergantung kebutuhan emosi
dari orangtua
3. Anak mampu mengatur ekonomi
4. Anak mampu mengatasi berbagai
Kemandirian
masalah yang dihadapi
5. Anak mampu mengadakan interaksi
dengan orang lain
6. Anak tidak tergantung atau menunggu
aksi dari orang lain

Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah


Menurut Langeveld (Dalam Riyanto, 2004) :
1. Berbahasa lisan dan bercerita
2. Mengenal pola kehidupan sosial
Kemampuan 3. Mengerti dan menguasai keterampilan

Sosialisasi untuk kepentingan kebutuhan sehari-hari


4. Mulai berkhayal

Gambar 2.1 Kerangka Teori


BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Menurut Notoatmodjo (2018), konsep adalah suatu abstraksi yang
dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu pengertian. Sedangkan
kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antara

29
variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin
diteliti.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti dibawah ini:

Variabel Independent Variabel Dependent

- Secure Attachment - Kemandirian anak


- Kemampuan sosialisasi prasekolah

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Definisi Operasional


Definisi operasional dalah suatu definisi mengenai variabel yang
dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang
dapat diamati dan benar-benar dilakukan oleh peneliti sesuai dengan
variabel yang terlibat dalam penelitian (Badriah, 2012).
Definisi operasional yang dimaksud dalam penelitian ini
memeberikan batasan kepada variabel-variabel sehingga dapat diukur
sesuai dengan parameter sebagai berikut:

Table 3.1 Definisi Operasional


No Variabel Pengertian Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel Bebas (Independen)
1. Secure Pola kelekatan Lembar Wawancara 1. Baik Ordinal
Attachment yang ditunjukan Kuesioner 2. Kurang
dengan adanya Baik
hubungan yang

30
baik dan
menyenangkan
antara anak
orangtuanya
2. Kemampuan Salah satu Kuesioner Wawancara 1. Baik Nominal
Sosialisasi kemampuan lain 2. Kurang
yang harus Baik
dikuasai anak
karena anak
akan
berinteraksi
dengan orang
lain
Variabel Terikat (Dependen)
3. Kemandirian Kemampuan anak Lembar Wawancara 1. Skor Nominal
Anak prasekolah untuk Kuesioner tertinggi 15
Prasekolah melakukan yang terdiri 2. Terendah 0
kegiatan atau dari 15
tugas sehari-hari pertanyaan Untuk
sesuai dengan yang meliputi kepentingan
tahapan 10 deskripsi
perkembangannya pertanyaan digunakan
positif kategori : anak
(favourable) mandiri, jika
dengan skor 8-15 dan
kategori 1 : anak tidak
ya dan 0 : mandiri, jika
perlu bantuan skor < 8.
dan 5
pertanyaan
negative
(unfavourabl

31
e) dengan
kategori 0 :
ya dan 1 :
tidak.

3.3 Hipotesis
Hipotesis asosiatif adalah jawaban sementara terhadap rumusan
masalah asosiatif, yaitu menanyakan hubungan antara dua variabel atau
lebih (Sugiyono, 2010: 103)
Berdasarkan asumsi diatas, maka diajukan hipotesis penelitian
sebagai berikut: Hipotesis alternative (Ha) terdapat hubungan yang
signifikan antara kelekatan aman (secure attachment) dengan kemampuan
sosialisasi dan kemandirian anak prasekolah. Kedua hipotesis akan diuji
pada α = 0,05, atau ditulis dengan rumus Ha: ρ ≠ 0.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Dalam suatu penelitian, metode penelitian diartikan sebagai cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu
(Sugiyono, 2011:3). Pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian ini dikatakan
kuantitatif karena hasil penelitian ini banyak menggunakan angka – angka.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Sugiyono (2007:13) bahwa data

32
penelitian pada pendekatan kuantitatif berupa angka - angka dan analisis
menggunakan statistik. Desain penelitian yang akan digunakan adalah
desain korelasional.
Penelitian korelasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk
menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan
variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien
korelasional (Saifuddin Azwar, 2010: 8). Penelitian korelasional bisa
memperoleh informasi mengenai taraf hubungan yang terjadi antara
variabel X dan variabel Y. Dalam penelitian Hubungan Secure Attachment
Dengan Kemampuan Sosialisasi Dan Kemandirian Anak Prasekolah Di
Taman Kanak-Kanak Tunas Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancana
ini mengandung tiga variabel, yaitu kelekatan aman (secure attachment),
kemampuan sosialisasi sebagai varibel bebas (independent) dan
kemandirian anak prasekolah sebagai variabel terikat (dependent).

4.2 Variabel Penelitian


Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 60). Hal
ini ditambahkan oleh Restu Kartiko Widi (2009: 159) variabel adalah
konsep yang mempunyai nilai dan dapat diukur. Jika peneliti hendak
menggunakan konsep dalam penelitiannya, maka terlebih dahulu harus
dipertimbangkan untuk dioperasionalkan menjadi suatu variabel agar
dapat ditentukan dan diukur.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Suharsimi Arikunto (2006:
161) menyatakan bahwa variabel adalah objek penelitian atau yang
menjadi titik perhatian penelitian. Adapun variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.2.1. Variabel Independent (Bebas)
Variabel bebas adalah suatu penyebab yang bertanggung
jawab membawa perubahan dalam suatu fenomena. Selain itu juga

33
perubahan dalam suatu situasi (Restu Kartiko Widi, 2009: 164).
Hal ini ditambahkan oleh Sugiyono (2010: 61) variabel bebas
adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel terikat (dependent
variables).
Sejalan dengan pemikiran dua ahli di atas, Deni Darmawan
(2013: 94) menyatakan variabel bebas adalah masukan yang
mempunyai pengaruh terhadap keluaran atau hasil. Variabel ini
diukur dengan maksud untuk mengetahui hubungannya dengan
keluarannya atau hasilnya. Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel bebas adalah kelekatan aman (secure attachment) dan
kemampuan sosialisasi.
4.2.2. Variabel Dependent (Terikat)
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010: 61).
Lalu Restu Kartiko Widi (2009: 164) menambahkan variabel
terikat adalah dampak atau hasil yang diperoleh akibat adanya
perubahan dari variabel bebas. Senada dengan pendapat dua ahli
diatas, Deni Darmawan (2013: 95) menyatakan variabel terikat
adalah keluaran atau hasil yang terjadi karena pengaruh variabel
bebas. Pengukuran terhadap variabel terikat dimaksudkan untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah
kemandirian anak prasekolah.

4.3 Populasi Dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi Penelitian
Menurut Restu Kartiko Widi (2009: 197) populasi adalah
tiap grup atau kumpulan yang merupakan subjek yang hendak
diteliti oleh peneliti. Senada dengan pendapat tersebut, Deni
Darmawan (2013: 137) menyatakan bahwa populasi adalah sumber

34
data dalam penelitian tertentu yang memiliki jumlah banyak dan
luas. Hal ini ditambahkan oleh Sugiyono (2010: 117) bahwa
populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak
prasekolah di TK Tunas Tanjung Kencana dan orangtuanya
berjumlah 32 anak dan 32 orangtua.
4.3.2. Sampel Penelitian
Dalam banyak penelitian sangat diperlukan untuk membuat
temuan secara umum berdasar pada hanya sebagian populasi yang
disebut dengan sampel (Restu Kartiko Widi, 2009: 198). Senada
dengan pendapat tersebut, Saifuddin Azwar (2009: 79) menyatakan
bahwa sampel adalah sebagian dari populasi. Deni Darmawan
(2013: 138) menambahkan bahwa sampel terdiri atas subjek
penelitian atau responden yang menjadi sumber data yang terpilih
dari hasil pekerjaan teknik penyampelan atau teknik sampling.
Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah
simple random sampling. Sugiyono (2010: 120) mendefinisikan
bahwa simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari
populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang
ada dalam populasi itu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Deni
Darmawan (2013: 146) menyatakan bahwa simple random
sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan
kesempatan yang sama kepada populasi untuk dijadikan sampel.
Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah seluruh murid TK Tunas
Tanjung Kencana yang berjumlah 32 anak untuk variabel
kemampuan sosialisasi dan kemandirian dengan persepsi guru
terhadap anak didiknya dan 32 orangtuanya untuk variabel
kelekatan aman dengan persepsi orangtua terhadap anaknya.
4.3.3. Kriteria Inklusi

35
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum yang harus
dipenuhi oleh subjek, sehingga dapat diikutsertakan dalam
penelitian (Nursalam, 2003), dalam penelitian ini kriteria
inklusinya adalah anak prasekolah dan orangtua/wali murid di TK
Tunas Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancana, dapat
membaca dan menulis, siswa (anak usia 5 tahun) sehat, dan
bersedia menjadi responden.
4.3.4. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel
yang memenuhi kriteria tidak diikutsertakan dalam penelitian
(Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini kriteria eksklusinya adalah
anak dan orangtua/wali murid yang tidak berada di tempat saat
pengambilan data.

4.4 Instrumen Penelitian


Menurut Badriah (2012) instrumen penelitian dapat didefinisikan
sebagai alat pengumpulan data yang telah baku atau alat pengumpul data
yang memiliki standar validitas dan reliabilitas. Instrumen yang valid dan
reliabel akan sangat menentukan kualitas data yang dikumpulkan. Suatu
instrumen selain memiliki norma validitas dan reliabilitas juga harus
memiliki nilai objektivitas dan prosedur baku untuk penggunaannya.
Menurut Swarjana (2015) kuesioner yaitu sebuah form yang berisikan
pernyataan-pernyataan yang telah ditentukan yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan informasi (data) dari dan tentang orang-orang sebagai
bagian dari sebuah survey.
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu Kuesioner A yang berisi pertanyaan tentang komunikasi orangtua,
dan Kuesioner B yang berisi tentang kemampuan sosialisasi dan
kemandirian anak usia prasekolah.
4.4.1. Uji Validitas

36
Saifuddin Azwar (2003: 5) memberikan definisi mengenai
validitas yaitu sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur
dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat
tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur
yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.
Sedangkan menurut Sugiyono (2012: 168) instrumen yang valid
berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur. Suatu alat ukur yang valid tidak sekedar
mampu mengungkapkan data dengan tepat akan tetapi juga harus
memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut. Untuk
mengukur validitas instrumen dalam penelitian ini digunakan
rumus korelasi Product Moment dari Karl Pearson sebagai berikut:
N ( ∑ XY )−( ∑ X ∑ Y
r= 2 2
[
V N ∑ X 2 −( ∑ X ) ][ N ∑ Y −(∑ Y ) ]
2

Keterangan:
r = Korelasi Perason Product Moment
N = Banyak Subjek
X = Nilai rata-rata soal tes pertama perorangan
Y = Nilai rata-rata soal tes kedua perorangan

∑X = Jumlah nilai X

∑Y = Jumlah nilai Y
Hasil perhitungan tersebut kemudian dikorelasikan dengan
tabel harga kritik r product moment pada taraf signifikansi 5%.
Apabila r hitung > r tabel berarti instrumen dapat dikatakan valid
dan dapat digunakan sebagai alat pengumpul data. Sebaliknya bila
r hitung < r tabel berarti instrumen tidak valid. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diujicobakan pada
subjek yang telah ditentukan, dengan tujuan mengetahui nilai beda
item instrumen penelitian. Pengujian nilai beda item instrumen

37
penelitian menggunakan bantuan program komputer yaitu
Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 20.0. Item
dinyatakan valid apabila derajat signifikansi beda item lebih dari
0,05 atau lebih besar dari taraf signifikansi 5%, dan sebaliknya
item dinyatakan tidak valid apabila memiliki derajat signifikansi
beda item kurang dari 0,05 atau lebih kecil dari taraf signifikansi
5% dan selanjutnya item tidak valid ini dinyatakan gugur.
4.4.2. Uji Reliabilitas
Sedangkan reliabilitas diartikan sebagai sejauh mana hasil
suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat
dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran
terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif
sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum
berubah (Saifuddin Azwar, 2003: 4). Pengukuran yang memiliki
reliabilitas tinggi adalah pengukuran yang dapat menghasilkan data
yang reliabel. Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran
dapat dipercaya. Hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam
beberapa kali pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama
diperoleh hasil yang rela tif sama, kalau aspek yang diukur dalam
diri subjek memang belum berubah (Saifuddin Azwar 2007: 180).
Reliabilitas alat ukur pada penelitian ini diuji dengan
menggunakan teknik Alpha Cronbach. Adapun rumusnya adalah
sebagai berikut:
+ 21¿ s22
α =2 1−s ¿
sx2

Keterangan :
α = Koefisien reliabilitas Alpha
s21 = Varians skor belahan 1

s22 = Varians skor belahan 2


sx 2 = Varians skor skala

38
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas dengan
rentang angka 0 sampai 1,00. Koefisien reliabilitas yang mendekati
angka 1,00 berarti alat ukur yang digunakan memiliki reliabilitas
yang tinggi, dan sebaliknya angka yang mendekati 0 berarti
memiiki reliabilitas alat ukur yang rendah.
Setelah uji coba instrumen penelitian diperoleh gambaran
mengenai reliabilitas skala yaitu dengan pengolahan program
computer Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 20.0.
Uji reliabilitas menggunakan teknik statistik dengan rumus Alpha
Cronbach,

4.5 Tekhnik Pengumpulan Data


4.5.1. Sifat Dan Sumber Data
Menurut Badriah (2012) sumber data penelitian
digolongkan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder,
sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer atau data tangan pertama adalah data yang
diperoleh langsung dan subyek penelitian dengan
menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
langsung pada subyek sebagai informasi yang dicari. Data
primer pada penelitian ini diperoleh langsung dari kuesioner
oleh peneliti dari hasil penyebaran kuesioner kepada murid TK
Tunas Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancana.
2. Data Sekunder
Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang
diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh
peneliti dari subyek penelitiannya. Data sekunder biasanya
berbentuk data dokumentasi atau data laporan yang tersedia.
Data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari pihak sekolah.
4.5.2. Tekhnik Pengumpulan Data

39
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan metode kuesioner. Tahapan dalam pengumpulan
data terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Tahap awal yaitu melakukan proposal penelitian,
peneliti menentukan masalah dan lahan penelitian terlebih
dahulu. Selanjutnya melakukan studi pendahuluan terkait
hubungan secure attachment dengan kemampuan sosialisasi
dan kemandirian anak prasekolah di taman kanak-kanak Tunas
Tanjung Kencana di Kecamatan Karangkancana.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan pada penelitian ini dilaksanakan di
TK Tunas Tanjung Kencana Kecamatan Karangkancan setelah
mendapatkan izin penelitian dari pihak yang bersangkutan.
Sebelum mulai penelitian dan memberikan kuesioner kepada
responden, peneliti melakukan terlebih dahulu apa yang akan
dilakukan mengenai tujuan dan tata cara pelaksanaan dari
pemberian kuesioner tersebut kepada responden. Apabila
responden setuju, maka peneliti memberikan kuesioner kepada
responden dengan melakukan observasi dan wawancara
berdasarkan pertanyaan dari kuesioner yang sudah disiapkan.
Setelah mendapatkan data yang berasal dari kuesioner
responden selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data dan
analisis data.
3. Tahap Akhir
Tahap akhir penelitian yaitu melakukan penyusunan
laporan hasil dari penelitian, kemudian peneliti melakukan
sidang skripsi untuk mempertanggungjawabkan hasil dari
penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti. Setelah itu
peneliti mendokumentasikan hasil dari penilaian yang
sebelumnya telah dinilai oleh dosen pembimbing dan penguji.

40
4.6 Tekhnik Pengolaan Dan Analisis Data
4.6.1. Tekhnik Pengolaan Data
Menurut Heriana (2015) pengolahan data dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Editing, merupakan kegiatan untuk mengecek isian formulir
atau kuesioner. Tujuannya yaitu memastikan instrumen
penelitian sudah lengkap, jelas, relevan dan konsisten.
2. Coding, merupakan tahapan untuk mengubah data huruf
menjadi angka atau bilangan. Angka atau bilangan untuk
masing-masing variabel diperoleh dari sumber data yang telah
diperiksa kelengkapannya. Setelah dilakukan pengecekan hasil
jawaban kuesioner dari responden yang meliputi data identitas
diri, data kuesioner dan data resiko selanjutnya adalah
melakukan tahapan pemindahan dan rekapitulasi data dari hasil
jawaban responden ke microsoft excel.
3. Processing, yaitu tahapan untuk memasukan data dari
kuesioner ke paket program komputer. Setelah dilakukan
pemindahan data dan coding dari hasil rekapitulasi data
jawaban kuesioner ke microsoft excel maka selanjutnya adalah
menyiapkan aplikasi pengolahan data statistik komputer yaitu
aplikasi SPSS versi 20.
4. Cleaning, yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dimasukan apakah ada kesalahan data atau tidak (pembersihan
data). Pada tahapan ini dilakukan kembali pengecekan
terhadap data-data yang telah direkap dan di input baik di
microsoft excel maupun di aplikasi pengolahan data statistik
SPSS itu sendiri untuk meminimalisir kesalahan/error pada
saat proses coding dan pengolahan data.
4.6.2. Analisis Data
1. Analisis Univariat

41
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel yang diteliti. Dengan
menggunakan analisis univariat dapat diketahui distribusi
frekuensi dan presentase dari setiap variabel penelitian, baik
variabel independen maupun dependen (Notoatmodjo, 2012).
Dalam penelitian ini dapat diketahui distribusi frekuensi dan
presentase dari karakteristik hubungan secure attachment
dengan kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak
prsekolah. Adapun analisis univariat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Budiarto, 2016):
F
P= × 100 %
N
Keterangan:
P : Besar presentase jawaban
F : Frekuensi
N : Jumlah soal
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan
terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi (Notoatmodjo, 2002). Analisis ini berfungsi untuk
mengetahui hubungan secure attachment dengan kemampuan
sosialisasi dan kemandirian anak usia prasekolah. Dalam
penelitian ini variabel penelitian dalam skala nominal
(dikotomi kontinyu) dan skala nominal (dikotomi kontinyu),
sehingga untuk melakukan uji statistik menggunakan uji chi
square, dengan keputusan uji : x 2 hitung > x 2 tabel berarti Ho
ditolak dan Ha diterima, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara secure attachment dengan
kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak prasekolah, atau
jika p < 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan antara
secure attachment dengan kemampuan sosialisasi dan

42
kemandirian anak prasekolah, besarnya hubungan dapat dilihat
dari nilai C (Coefisien contingency) (Riwidikdo, 2007).

4.7 Etika Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2018), etika penelitian adalah suatu
pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang
melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek peneliti) dan
masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian. Dalam
melaksanakan sebuah penelitian peneliti harus memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Informed Consent (Informasi untuk responden)
Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti
dengan informan dengan memberikan lembar persetujuan melalui
informed consent, kepada responden sebelum penelitian dilaksanakan.
Setelah calon responden memahami penjelasan peneliti terkait
penelitian ini, selanjutnya peneliti memberikan lembar informed
consent untuk ditanda tangani oleh sampel penelitian.
2. Anonymity (Tanpa nama)
Anonymity merupakan menjaga kerahasiaan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan data responden. Pada aspek ini peneliti tidak
mencantumkan nama responden, melainkan inisial nama responden
dan nomor responden pada kuisioner.
3. Confidentiality (Kerahasiaan informasi)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Pada aspek ini, data yang sudah
terkumpul dari responden bersifat rahasia dan penyimpanan dilakukan
di file khusus milik pribadi sehingga hanya peneliti dan responden
yang mengetahuinya.

4.8 Lokasi Dan Waktu Penelitian

43
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Tanjungkerta Kecamatan
Karangkancan Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada bulan Mei 2021.

4.9 Jadwal Penelitian


Adapun jadwal penelitian ini terdapat dalam lampiran

DAFTAR PUSTAKA

Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss: Volume 1. Harmondsworth: Penguin


Books.
Cholid Narbuko & Abu Achmadi. (2013). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Crain, W. (2007). Teori Perkembangan (Konsep dan Aplikasi). (Alih Bahasa:
Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danang Sunyoto. (2011). Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Jakarta: Caps.

44
Deni Darmawan. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Eka Ervika. (2000). Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak.
Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Eki Dwi Maretawati H, Makmuroch, & Agustin, R.W. (2009). Hubungan antara
Pola Pengasuhan dan Pola Kelekatan dengan Penyesuaian Sosial pada
Remaja Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Sragen. Wacana. 1 (2). Halaman 32.
Enung Fatimah. (2006). Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik).
Bandung: CV Pustaka Setia.
Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan Edisi 5. (Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo).
Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. (2004). Psikologi Perkembangan. (Alih Bahasa: Istiwidayanti &
Soedjarwo). Jakarta: Erlangga.
Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. (2006). Pengantar Statistika. Jakarta:
PT. Bumi Aksara.
Ibnu Hadjar. (1999). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam
Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kartini Kartono. (1995). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung:
Mandar Maju.
Mar’atun Shalihah. (2010). Mengelola PAUD. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mussen, P.H. (1989). Perkembangan dan Kepribadian Anak. (Alih Bahasa:
Meitasari T). Jakarta: Arcan.
Peraturan Pemerintah Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 Tanggal 17
September 2009.
Purbayu Budi Santosa & Ashari. (2005). Analisis Statistik dengan Microsoft
Excel dan SPSS. Yogyakarta: Andi Ofset.

45
Rasdi Ekosiswoyo, Tri Joko, & Tri Suminar. (2011). Potensi Keluarga dalam
Pendidikan Holistik Berbasis Karakter pada Anak Usia Dini. EDUKASI. 2
(2). 1-19.
Saifuddin Azwar. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saifuddin Azwar. (2009). Metode Penelitian. Yogjakarta: Pustaka Affset.
Saifuddin Azwar. (2010). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. (Alih Bahasa: Mila Rachmawati &
Asna Kuswanti). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2011). Masa Perkembangan Anak: Children. Buku 1, Eds: 11.
(Alih Bahasa: Verawaty Pakpahan). Jakarta: Salemba Humanika.
Sri Rumini & Siti Sundari. (2004). Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Sugiyono. (2005). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Tim Pusat Studi PAUD. (2009). Program Pembelajaran untuk Menstimulasi
Keterampilan Sosial Anak bagi Pendidik Taman Kanak-kanak. Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Upton, P. (2012). Psikologi Perkembangan. (Alih Bahasa: Noermalasari Fajar
Widuri). Jakarta: Erlangga.
Yuliani Nuraini & Sujiono. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini.
Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang.

46

Anda mungkin juga menyukai