Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1


1.2 Tujuan ............................................................................................. 2
1.3 Manfaat .............................................................................................. 2

BAB II TINJAU PUSTAKA ........................................................ 3

2.1 Perbedaan Balance dan Un balance ..................................................... 3

2.2 Indonesia Menganut Sistem Hukum Common Low atau Civil Law ..... 4

2.3 Topik Pemisah dan Pembagi Kekuasaan............................................... 6

BAB III PENUTUP .......................................................................... 11

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 12
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Balance dan Un balance merupakan hal yang penting dalam mengatasi sulitnya
sebuah masalah. Sebagai cara untuk keluar dari lingkaran permasalahan yang terjadi.
Perbedaan antara balance dan unbalance adalah balance merupakan sebuah upaya
yang dilakukan untuk mengatasi sulitnya dengan cara membagi proses, sedangkan un
balance adalah sebuah dorongan besar dalam sebuah praktik yang sulit dilakukan dan
berorientasi pada sektor-sektor tertentu.

Sistem hukum yang berlaku disuatu negara tidak terlepas daripada sistem hukum di
dunia. Secara umum, sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua yaitu sistem hukum
common law dan sistem hukum civil law. Kedua sistem hukum tersebut memiliki
perbedaan dan ciri tersendiri yaitu, jika pada sistem hukum common law didominasi
dengan hukum tidak tertulis (asas stare decisis) melalui putusan hakim, sedangkan
pada sistem hukum Eropa Kontinental didominasi oleh hukum tertulis (kodifikasi).
Lebih lanjut pada sistem hukum common law tidak terdapat pemisahan yang jelas dan
tegas antara hukum publik dan hukum privat, sedangkan pada sistem hukum civil law
ada pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum privat.

Dalam sebuah praktik ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada
satu orang saja, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan
secara absolut atau otoriter. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan
diantara lembaga pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan
legislatif,eksekutif maupun yudikatif tidak dipegang oleh satu orang saja.

Berdasarkan latar belakang diatas maka makalah ini akan menjelaskan tentang
perbedaan balance dan un balance serta hukum apa yang di terapkan di Indonesia dan
bagaimana cara pembagian dan pemisahan kekuasaan di Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Mencari perbedaan Distribusi Subjek balance dan un balance
2. Indonesia menganut sistem Hukum seperti apa
3. Jelaskan topik Pemisah dan Pembagi Keskuasaan
1.3 Tujuan
1. Memahami perbedaan Distribusi Subjek balance dan un balance
2. Mengetahui Indonesia menganut sistem Hukum seperti apa
3. Mengetahui topik Pemisah dan Pembagi Keskuasaan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perbedaan Balance dan Un Balance

1. Berimbang (Balanced)
“The synchronised application of capital to a wide range of different industries” -
Nafziger (1990, p. 85) Sebagai cara utk keluar dari lingkaran-setan kemiskinan,
teori ini mengandaikan perlunya pengerahan modal secara serentak di dalam
berbagai industri.
Dua Versi :
- Sebuah upaya minimun diperlukan untuk mengatasi sulitnya membagi-bagi
proses produksi, dari permintaan atau penawaran. Perlu suatu Big Push atau
“Dorongan Besar” (Rosenstein-Rodan and Nurkse).
- Jalur pembangunan dan pola investasi harus diseimbangkan (balanced) agar
semua sektor ekonomi dapat berfungsi. (Nurkse and Lewis).
2. Tak Berimbang (Unbalanced)
- Dorongan besar (Big Push) dalam praktik sulit dilakukan.
- Perencana harus berkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja.
- Prioritas dapat dilakukan berdasarkan kaitan-kaitan antar industri (linkages)
- Kaitan antar industri itu yang sering tidak jelas di negara-negara berkembang
- Pergeseran ke industrialisasi tetap bisa membantu.

Perbedaan antara balance dan unbalance adalah balance merupakan sebuah upaya
yang dilakukan untuk mengatasi sulitnya dengan cara membagi proses,
sedangkan un balance adalah sebuah dorongan besar dalam sebuah praktik yang
sulit dilakukan dan berorientasi pada sektor-sektor tertentu.

3
2.2 Indonesia Menganut Sistem Hukum Common Law atau Civil Law

Sistem hukum yang berlaku disuatu negara tidak terlepas daripada sistem hukum di dunia. Secara
umum, sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua yaitu sistem hukum common law dan sistem
hukum civil law. Kedua sistem hukum tersebut memiliki perbedaan dan ciri tersendiri yaitu, jika
pada sistem hukum common law didominasi dengan hukum tidak tertulis (asas stare decisis)
melalui putusan hakim, sedangkan pada sistem hukum Eropa Kontinental didominasi oleh
hukum tertulis (kodifikasi). Lebih lanjut pada sistem hukum common law tidak terdapat
pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum privat, sedangkan pada sistem
hukum civil law ada pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum privat.

Indonesia sendiri pada mulanya menganut sistem hukum civil law, hal ini tidak lain dikarenakan
adanya asas konkordansi dimana secara historis Indonesia pernah dijajah oleh Belanda kurang
lebih selama 350 tahun sehingga harus mengikuti sistem hukum yang dibawanya. Akan tetapi
dalam perkembangannya, Indonesia tidak lagi terikat sepenuhnya dengan sistem 2 Lawrence M.
Friedman. 1977. Law and Society an Introduction. New Jersey. Prentice Hall. Hlm 11-12. 3 Ibid.
Hlm. 125 3 hukum tersebut, karena saat ini beberapa komponen sistem hukum Anglo Saxon
diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia, baik pada subsistem peraturan maupun subsistem
peradilan.

Sistem peradilan sebagai suatu sub sistem hukum, ia bergantung pada kekuatan sistem hukum
yang dianut oleh masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa keutuhan sistem hukum sangat
menentukan sistem peradilannya agar berfungsi dengan baik. Begitu pula sistem hukum yang
dianut oleh suatu negara senantiasa diikuti oleh sistem peradilannya.

Salah satu bentuk adopsi dari sistem hukum Anglo Saxon yang dilakukan oleh Indonesia adalah
adanya sistem jalur khusus yang tercantum pada pasal 199 Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan RUU KUHAP) yang
mengadopsi plea bargaining system yang pada umumnya berlaku di lingkup peradilan pidana di
negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat, Spanyol, Inggris, dll.
Pengadopsian tersebut tidak mutlak, namun disertai dengan beberapa penyesuaian karena tim
perumus RUU KUHAP tidak menghendaki sistem adversarial yang murni untuk diterapkan
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Tidak ada definisi baku mengenai Plea Bargaining System, namun dari beberapa sumber dapat
dirumuskan bahwa Plea Bargaining System adalah 4 Marwan Mas. 2014. Pengantar Ilmu
Hukum. Bogor. Ghalia Indonesia. Hlm. 124. 4 proses dimana penuntut umum dan tertuduh5

4
dalam suatu proses peradilan pidana melakukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah
pihak untuk kemudian dimintakan persetujuan pengadilan, biasanya didalamnya termasuk
pengakuan bersalah (plea guilty) tertuduh untuk mendapatkan keringanan tuntutan atau untuk
mendapatkan beberapa keuntungan lain yang memungkinkan untuk memperoleh keringanan
hukuman. Jadi, yang menjadi titik tekan dari sistem ini adalah adanya negosiasi atau perundingan
antara penuntut umum dan terdakwa mengenai tuntutan yang dijatuhkan kepada terdakwa diluar
agenda persidangan.

Negara negara penganut sistem hukum Eropa Koninental atau civil law antara lain
negara negara Perancis, Jerman, Belanda dan bekas jajahan Belanda antara lain
Indonesia, Jepang dan Thailand. Pada sistem ini, putusan pengadilan berdasarkan pada
peraturan perundang undangan yang berlaku, contohnya bisa UUD 45, Tap MPR,
UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Perpres/Kep Pres, MA., Keputusan Menteri dan lain
lain. jadi, keputusan pengadilan bersifat fleksibel (berubah ubah) tergantung hakim yang
memutuskan berdasarkan fakta/bukti yang ada.

Tidak menganut sistem juri karena negara negara tersebut menganut faham bahwa orang
awam yang tidak tahu hukum tidak bisa ikut andil/menentukan nasib seseorang, tetapi
putusan Hakim yang menentukan berdasarkan fakta sumber sumber dan saksi saksi yang
mendukung.

Adanya sistem perjanjian “the receipt rule” yakni perjanjian terbentuk ketika penerimaan
terhadap suatu penawaran sampai ke pemberi tawaran. Jadi, ketika seseorang
membatalkan suatu kontrak perjanjian dengan cara mengirimkan email atau surat fax ke
perusahaan tertentu, maka perjanjian pembatalan terlaksana ketika surat tersebut dibaca
oleh manajer atau pemilik perusahaan yang bersangkutan. jika karena masalah (belum
sampai membaca surat) maka perjanjian masih belum terlaksana.22 Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa system hukum Indonesia menganut system Hukum Eropa Koninental
atau Civil Law System.

Pengadopsian plea bargaining system kedalam sistem jalur khusus pada RUU KUHAP
diharapkan dapat memecahkan permasalahan penumpukan perkara yang ada pada lingkup
peradilan pidana di Indonesia yang belum mampu terselesaikan meskipun dalam sistem peradilan
pidana terdapat asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Ketentuan asas cepat,

5
sederhana dan biaya ringan terdapat pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Adapun penjelasan dari ayat tersebut yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara dan efektif, lebih lanjut dalam proses peradilan yaitu
konteks acara haruslah jelas dan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Asas cepat yaitu
bahwa proses keseluruhan peradilan dari tahap awal sampai akhir haruslah cepat dimana dapat
dimaknai sebagai efisiensi dan efektivitas dalam hal waktu dan tidak melebihi batas waktu yang
telah ditentukan. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang
dapat dijangkau oleh masyarakat, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa masyarakat yang
dimaksud adalah masyarakat dari segala lapisan sehingga hukum dan keadilan dapat dicapai oleh
semua orang. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan
penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam
mencari kebenaran dan keadilan.

2.3 Topik Pemisah dan Pembagi Kekuasaan


Dalam sebuah praktik ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
orang saja, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara
absolut atau otoriter. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pemisahan atau
pembagian kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga
pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan legislatif,eksekutif maupun yudikatif
tidak dipegang oleh satu orang saja.
Apa sebenarnya konsep pemisahan kekuasaan itu? Mohammad Kusnardi dan Hermaily
Ibrahim dalam bukunnya yang berjudul Pengantar Hukum Tata Negara (1983: 140)
menyatakan bahwa istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian
kekuasaan (divisions of power) merupakan dua istilah yang memiliki pengertian berbeda
satu sama lainnya.
1. Pemisahan Kekuasaan

Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa


bagian, baik mengenai organnya maupun fungsinya. Dengan kata lain, lembaga
pemegang kekuasaan negara yang meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama lainnya., berdiri sendiri tanpa

6
memerlukan koordinasi dan kerjasama. Setiap lembaga menjalankan fungsinya
masing-masing. Contoh negara yang menganut mekanisme pemisahan kekuasaan
adalah Amerika Serikat.

2. Pembagian Kekuasaan

Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian


kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau
kerjasama. Mekanisme pembagian ini banyak sekali dilakukan oleh banyak negara
di dunia, termasuk Indonesia. Berikut ini merupakan contoh dari pembagian
kekuasaan di Indonesia menurut UUD 1945.

Pembagian kekuasaan secara horizontal

Pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsi


lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Berdasarkan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, secara horizontal pembagian kekuasaan negara di
lakukan pada tingkatan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian
kekuasaan pada tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara lembaga-lembaga
negara yang sederajat. Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintahan pusat
mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran klasifikasi kekuasaan negara
yang umumnya terdiri atas tiga jenis kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)
menjadi enam kekuasaan negara, yaitu kekuasaan konstitutif, kekuasaan esekutif,
kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif , kekuasaan eksaminatif dan kekuasaan
moneter.
Pembagian Kekuasaan Secara Vertikal

Pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan pembagian kekuasaan menurut


tingkatnya, yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan. Pasal
18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan
ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal di negara Indonesia
7
berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi
dan pemerintahan kabupaten/kota). Pada pemerintahan daerah berlangsung pula
pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan oleh pemerintahan pusat.
Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota terjalin
dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam bidang
administrasi dan kewilayahan.

Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang demokratis, ialah negara yang
melembagakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sekaligus prinsip prinsip negara hukum
dalam segala aspek kehidupan kenegaraan. Negara demokrasi berprinsipkan bahwa
sumber legitimasi kekuasaan dalam Negara yang dijalankan oleh organ-organnya berasal
dari rakyat, seingga dengan demikian pemerintahan sejatinnya berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Secara garis besar perwujudan kedaulatan rakyat dalam
kehidupan bernegara dapat ditunjukkan dalam dua hal, yaitu dalam lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen, dan dalam bentuk konstitusi sebagai wujud perjanjian masyarakat.

Lembaga Eksekutif Dalam Pembagian Kekuasaan Pemerintahan

Eksekutif berasal dari kata eksekusi (execution) yang berarti pelaksana.


Lembagaeksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana dari
peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pihak legislatif. Kekuasaan
eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif. Eksekutif merupakan pemerintahan
dalam arti sempit yang melaksanakan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan haluan negara, untuk mencapai tujuan
negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Organisasinya adalah kabinet atau dewan
menteri dimana masing-masing menteri memimpin departemen dalam melaksanakan
tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.

Menurut tafsiran tradisional azas Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquieu, tugas


badan eksekutif hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh
badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan
legislatif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya badan eksekutif leluasa sekali ruang-
geraknya. Zaman modern telah menimbulkan paradoks, bahwa lebih banyak undamg-
undang yang diterima oleh badan legislatif dan yang harus dilaksanakan oleh badan
eksekutif, lebih luas pula ruang lingkup kekuasaan badan eskekutifnya.

8
Secara umum arti lembaga eksekutif adalah pelaksanaan pemerintah yang dikepalai oleh
presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Sedangkan
wewenang menurut Meriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang:  Diplomatik:
menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya.  Administratif:
melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara. Militer:
mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila di
dalam keadaan yang mendukung.  Legislatif: membuat undang-undang bersama dewan
perwakilan. Yudikatif:memberikan grasi dan amnesti. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif
ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander
in chief, Dispenser of appointments, dan Chief legislators. 
a) Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana
Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana
Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan
seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang
bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan
memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar,
penyelesaian konflik, dan sejenisnya. 
b) Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana
Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat
menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam
keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan
pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara,
terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala
pemerintahan.
c) Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari
suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih
mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di
dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri
yang berasal dari partai yang menang pemilu. 
d) Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden
atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang
presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer
memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer

9
jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan
militer. 
e) Dispenser of Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani
perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini,
penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-
anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri. 
f) Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya
suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di
tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif
mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil
dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang
sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Tipe Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:
1. Hareditary Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih
berdasarkan keturunan. Contohnya adalah Inggris dengan dipilihnya kepala
negara dari keluarga kerajaan.
2. Elected Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan
legislatif ataupun lembaga pemilihan.
Sistem Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:
1. Sistem Pemerintahan Parlementer Kepala negara dan kepala pemerintahan
terpisah. Kepala   pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala
negara dipimpin oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi
sebagai simbol suatu negara yang berdaulat.
2.  Sistem Pemerintahan Presidensial    Kepala pemerintahan dan kepala negara,
keduanya dipengang oleh presiden.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Balance dan Un balance merupakan hal yang penting dalam mengatasi sulitnya
sebuah masalah. Sebagai cara untuk keluar dari lingkaran permasalahan yang
terjadi. Perbedaan antara balance dan unbalance adalah balance merupakan
sebuah upaya yang dilakukan untuk mengatasi sulitnya dengan cara membagi
proses, sedangkan un balance adalah sebuah dorongan besar dalam sebuah
praktik yang sulit dilakukan dan berorientasi pada sektor-sektor tertentu.

Sistem hukum yang berlaku disuatu negara tidak terlepas daripada sistem hukum
di dunia. Secara umum, sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua yaitu sistem
hukum common law dan sistem hukum civil law. Kedua sistem hukum tersebut
memiliki perbedaan dan ciri tersendiri yaitu, jika pada sistem hukum common
law didominasi dengan hukum tidak tertulis (asas stare decisis) melalui putusan
hakim, sedangkan pada sistem hukum Eropa Kontinental didominasi oleh hukum
tertulis (kodifikasi). Lebih lanjut pada sistem hukum common law tidak terdapat
pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum privat,
sedangkan pada sistem hukum civil law ada pemisahan yang jelas dan tegas
antara hukum publik dan hukum privat.

Dalam sebuah praktik ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan


pada satu orang saja, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang
dilakukan secara absolut atau otoriter. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu
adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan
keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Dengan kata lain,
kekuasaan legislatif,eksekutif maupun yudikatif tidak dipegang oleh satu orang
saja.

11
DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul.1992. Regional and Central Government in Indonesian Politics: West


Sumatera and South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press,
Jogjakarta.
Bagir Manan, menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum UII Yogyakarta, Cet. III, 2009
Feith, Herbert.1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,Cornell
University Press, Ithaca
Gaffar, Afan, Ryaas Rasyid dan Syaukani HR.2002. Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan, Pustaka Pelajar Yogyakarta
Gie, The Liang. 1993. Petumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik
Indonesia, Liberty Yogya, Jilid I

12

Anda mungkin juga menyukai