Anda di halaman 1dari 62

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ethnomathematics

Menurut Barton (1996:196) ethnomathematics adalah sebuah bidang kajian

penelitian (field of study). Ethnomathematics bukanlah matematika dari kelompok

budaya tertentu, karena matematika bukanlah kumpulan bagian matematika yang

terpisah, masing-masing disumbangkan oleh kelompok yang berbeda. Melainkan

ethnomathematics adalah bidang kajian penelitian yang mempelajari ide-ide

matematika dalam konteks suatu budaya, yaitu konteks kelompok manapun dimana

ide-ide muncul. Ethnomathematics mencakup abstraksi atau konsepsi matematika.

Ethnomathematics dilakukan dengan cara menginvestigasi aktivitas-aktivitas

kelompok budaya tertentu yang dinilai bersifat matematis, yang kemudian menjadi

gagasan dan konsep matematika kelompok budaya tersebut. Jadi, definisi

ethnomathematics harus definisi dari bidang kajian penelitian, bukan definisi

bagian dari matematika atau praktik matematika. Dari definisi ini, istilah

ethnomathematicsdapat digunakan untuk maksud yang dihasilkan dari pekerjaan

dalam bidang ethnomathematics. Secara khusus ini akan menjelaskan asal usul

budaya dari konsep-konsep dan praktik-praktik dalam matematika.

Ethnomathematics adalah suatu kajian yang mempelajari cara orang pada

budaya tertentu dalam memahami, mengartikulasi, serta menggunakan konsep-

konsep dan praktik-praktik yang menggambarkan sesuatu yang matematis.

Sebagaimana diungkapkan oleh Barton (1996:196) berdasarkan pemikiran

11
12

D’Ambrosio (1992), Gerdes(1994), dan Ascher’s (1991) definisi ethnomathematics

sebagai berikut:

“Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from


other cultures understand, articulate and use concepts and practices which
are from their culture and which the researcher describes as
mathematical”.

Istilah field of study yang dimaksudkan dalam definisi tersebut dijelaskan

Barton (1996:197) sebagai sebuah bidang kajian penelitian akademis. Sedangkan

istilah mathematical digunakan untuk membedakan konsep tertentu dan praktik-

praktik dari orang lain yang jelas bagian dari matematika. Berdasarkan definisi

tersebut, terdapat dua subjek penting dalam ethnomathematics, yaitu the researcher

dan people from other culture. Menurut Barton (1996:199-200) the researches

dalam ethnomathematics adalah seseorang yang memiliki pemahaman khusus

tentang matematika. Mereka bisa jadi adalah seorang matematikawan atau

seseorang yang telah mendapatkan pengalaman matematika dalam riwayat

pendidikannya dan people from other culturedalam ethnomathematics adalah

orang-orang yang tidak memahami matematika dengan cara yang sama seperti

yang dialami oleh the researcher. Selain dua subjek tersebut, hal yang penting

dalam ranah/bidang kajian penelitian ethnomathematics adalah practices dan

concept. Istilah practices dan concept merujuk pada praktik-praktik dan konsep-

konsep yang dimiliki oleh orang-orang dari kelompok budaya lain (people from

another cultural group), meliputi berbagai aktivitas atau gagasan umum dari

kelompok budaya tersebut yang dapat dikatakan bersifat matematis oleh peneliti

(the researcher). Adapun practices tersebut merujuk pada sesuatu yang dilakukan

oleh people from another culture dan menjadi kebiasaan, yakni aktivitas yang

dilakukan secara berulang dan seragam oleh kelompok budaya yang bersangkutan .
13

Dalam hal ini, practices harus dapat dikenali secara umum dan dapat didiskusikan,

baik di dalam maupun di luar kelompok (budaya).

Menurut Gerdes (1996:909) ethnomathematics yang dapat didefinisikan

sebagai antropologi budaya matematika dan pendidikan matematika, merupakan

sebuah bidang menarik yang relatif baru, yang terletak diantara pertemuan

matematika dan antropologi budaya. Pandangan yang dominan terhadap

matematika adalah bahwa matematika terbebas dari budaya (culture-free), dan

sebuah fenomena yang universal. Ethnomathematics muncul paling lambat

dibandingkan dengan ethnosciences yang lain. Diantara matematikawan, ahli

etnografi, psikolog dan pendidik, yakni Wilder, White, Fettweis, Luquet, dan Raum

tercatat sebagai pelopor utama ethnomathematics.

Dalam pidato berjudul “The Cultural Basis of Mathematics”, disampaikan

pada tahun 1950 dalam sebuah kongres matematikawan internasional, Raymond L.

Wilder menyatakan bahwa bukan hal baru untuk melihat matematikawan dari

perspektif budaya, karena para antropolog telah melakukannya, tetapi pengetahuan

matematika mereka umumnya sangat terbatas, reaksi mereka biasanya terdiri dari

pernyataan mengenai jenis aritmatika yang ditemukan dalam budaya primitif

(Gerdes, 1996:910).

White (Gerdes, 1996:910) memulai penyelidikannya dengan mengajukan

sebuah pertanyaan “Apakah kebenaran matematika yang berada di dunia luar sana

untuk ditemukan oleh manusia, atau merupakan penemuan yang dibuat manusia?”.

Dalam mencari jawaban, ia menegaskan bahwa matematika secara keseluruhan

adalah bagian dari kebudayaan manusia, dan disimpulkan dengan pernyataan

bahwa kebenaran matematika ditemukan tetapi juga buatan manusia. Ia

melanjutkan untuk menegaskan bahwa meskipun kebenaran matematika adalah


14

produk dari pikiran manusia, matematika ditemui atau ditemukan oleh setiap

individu dalam budaya matematika dimana ia tumbuh. Bagi White (Gerdes,

1996:910) matematika tidak berasal dari Euclid dari Pythagoras atau bahkan dari

Mesir kuno atau Mesopotamia, tetapi matematika merupakan sebuah

pengembangan pemikiran yang berawal dari asal-usul manusia dan budaya jutaan

tahun yang lalu atau lebih.

Wilder dan White (Gerdes, 1996:911) tampaknya tidak menyadari

penelitian yang dilakukan oleh ahli matematika, seorang etnolog dan pendidik dari

Jerman, yaitu Fettweis (1881-1967). Di dalam penelitiannya membahas pemikiran

awal mengenai matematika dan budaya. Selain itu, terdapat juga penelitian yang

tidak dikenal di kalangan ahli matematika dan antropolog waktu itu, yakni refleksi

dari psikolog asal Prancis Luquet tentang asal-usul budaya matematika, danisi buku

Raum (1983) yang berjudul Arithmetic in Africa tentang pentingnya memahami

dan mengaitkan latar belakang budaya peserta didik dalam pembelajaran di

sekolah.

Gerdes (1996:911-912) mengatakan bahwa di akhir tahun 1970-an dan awal

1980-an, muncul kesadaran dari para matematikawan terhadap aspek-aspek budaya

dan sosial dari matematika dan pendidikan matematika. Bukti untuk mendukung

pernyataan ini dapat ditemukan dalam ringkasan pertemuan di berbagai pertemuan

matematikawan internasional, pendidik matematika, dan pembuat kebijakan

pendidikan dimana tujuan sosial dari pendidikan matematika benar-benar

dipertimbangkan. Misalnya, pada tahun 1976 diadakan International Congress on

Mathematical Education (ICME3, Karlsruhe, Jerman), 1978 diadakan Conference

on Developing Mathematics in Third World Countries (Khartoum, Sudan), 1978

diadakan Workshop on Mathematics and the Real World (Rosklide, Denmark),


15

pertemuan antara matematikawan dan masyarakat pada tahun 1978 dalam

International Congress of Mathematicians (Helsinki, Finlandia), 1981 diadakan

Symposium on Mathematics-in the-Community (HUaraz, Peru), dan 1982 diadakan

Caribbean Conference on Mathematics for the Benefit of the Peoples (Paramaribo,

Suriname).

Ubiratan D’Ambrosio (Gerdes, 1996:912) ahli matematika dan pendidik

matematika asal Brazil, memainkan peran yang dinamis dalam semua inisiatif ini.

Selama periode itu, ia meluncurkan “Program ethnomathematical”, dan di dalam

Fourth International Congress of Mathematics Education pada tahun 1984

(ICME4, diselenggarakan di Adelaide, Australia), ia mempresentasikan dalam

pembukaan kuliah pleno refleksinya pada “Basis Sosial-Budaya Pendidikan

Matematika”. D’Ambrosio (Gerdes, 1996:912) mengusulkan sebuah program

ethnomathematical sebagai metodologi untuk melacak dan menganalisis proses

dari generasi, transmisi, difusi dan institusionalisasi pengetahuan (matematis)

dalam sistem budaya yang beragam.

Menurut D’Ambrosio (Gerdes, 1996:913) kurikulum matematika di sekolah

harus selaras dengan budaya, tetapi bukan berarti ethnomathematics menggantikan

kurikulum. Artinya, kurikulum matematika di sekolah harus menggabungkan

ethnomathematics sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah mendapatkan

pengetahuan, mudah memahami dan menyelaraskan pengetahuan itu dengan

praktik-praktik (budaya) yang sudah mereka kenal sebelumnya.

Konsep ethnomathematics lahir dari konsep-konsep yang ada sebelumnya.

Kolonialis pendidikan menyajikan matematika sebagai sesuatu yang kebarat-

baratan, European, atau sebagai sebuah karya eksklusif dari orang-orang kult putih.

Pada konteks tersebut, banyak pihak yang menentang dengan menyajikan konsep-
16

konsep dalam penelitian-penelitiannya. Berbagai konsep diajukan untuk

memberikan sebuah perbedaan antara ethnomathematics dan matematika sekolah

yang ditransplantasikan ke dalam sistem sekolah negara berkembang. Beberapa

istilah yang diajukan, diantaranya indigenous mathematics, socio-mathematics,

informal mathematics, spontaneous mathematics, folk mathematics, people’s

mathematics, dan lain-lain. Berbagai aspek yang dijelaskan oleh konsep sementara

tersebut sedikit demi sedikit disatukan dalam sebuah sebutan yang lebih umum

oleh D’Ambrosio, yaitu ethnomathematics. Proses penyatuan tersebut

dideklarasikan dalam Internatinal Study Group on Mathematics (ISGEm) pada

tahun 1985 (Gerdes, 1996: 913-915).

Konsep ethnomathematics dihubungkan dengan matematika dari (sub)

budaya tertentu. Matematika akademik adalah contoh konkret dari

ethnomathematics. Jika semua ethnomathematics adalah matematika, maka

mengapa hal itu disebut ethnomathematics?. Gerdes (1996:915) menjawab

pertanyaan tersebut agar memungkinkan istilah ethnomathematics didefinisikan

pada level yang berbeda, yakni sebagai sebuah kajian penelitian yang

menggambarkan sebuah dukungan dan kesadaran dari adanya banyak bentuk dari

matematika, khususnya untuk (sub) budaya tertentu.

Sebagai sebuah kajian penelitian, ethnomathematics dapat didefinisikan

sebagai antropologi budaya dari matematika dan pendidikan matematika. Bahkan

lebih umumnya, konsep ethnosciences mungkin dikembangkan. D’Ambrosio

menggambarkan konsep ini sebagai studi ilmiah yang oleh karenanya fenomena

technological berkaitan langsung dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan

budaya mereka. Dalam pengertian ini, ethnomathematics dianalogikan sebagai


17

studi tentang ide-ide matematika dari sekelompok orang dan tidak tercantum dalam

literatur (Gerdes, 1996:915).

Jika ethnomathematics dianalogikan pada ethnolinguistics, dapat dianggap

sebagai sebuah studi matematika atau ide-ide matematika dalam hubungannya

dengan seluruh budaya (ide-ide matematika) dalam hubungannya dengan seluruh

budaya dan kehidupan sosial. Menurut Favrod, ethnolinguistics adalah studi bahasa

dalam hubungan dengan keseluruhan budaya dan kehidupan sosial (Gerdes,

1996:916).

Gerdes (1996:917-918) memaparkan perkembangan ethnomathematicsyang

dapat dicirikan sbagai berikut.

1. Para ethnomathematician (Bishop, 1997:1) mengadopsi konsep-konsep umum

dari matematika, yaitu counting, locating, measuring, designing, playing, dan

explaining.

2. Para ethnomathematician menggarisbawahi dan memperinci pengaruh dari

faktor-faktor sosial budaya ke dalam pengajaran, pembelajaran dan

perkembangan matematika.

3. Para ethnomathematician berpendapat bahwa teknik dan hakekat matematika

adalah sebuah produk budaya; serta menekankan bahwa semua orang (setiap

budaya dan sub budaya) mengembangkan bentuk matematikanya sendiri.

4. Para ethnomathematician menggarisbawahi bahwa hal-hal yang

ditransplantasikan dan dimasukkan ke dalam kurikulum matematika sekolah

saat ini berbeda dengan tradisi budaya yang terdapat di Afrika, Asia, dan

Amerika Selatan.

5. Para ethnomathematician mencoba berkontribusi terhadap pengetahuan

realisasi matematika dari orang-orang kolonialis terdahulu. Mereka mencoba


18

untuk merekonstruksi matematika original yang berkaitan dengan cara

berpikir, konsep, dan prinsip.

6. Para ethnomathematician di negara-negara “Third World” mencari matematika

yang terdapat dalam sebuah tradisi yang hidup lebih lama dari kolonialis,

terutama matematika dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Mereka mencoba

mengembangkan cara untuk menggabungkan tradisi dan aktivitas tersebut ke

dalam kurikulum.

7. Para ethnomathematician juga mencari faktor-faktor budaya dan aktivitas-

aktivitasnya yang berpotensi sebagai sebuah titik awal untu pembelajaran

matematika di dalam kelas.

8. Pada konteks pendidikan, para ethnomathematician umumnya menyukai suatu

pandangan sosial-kritikal dan penafsiran pendidikan matematika yang

memungkinkan siswa untuk merefleksikannya ke dalam kenyataan dimana

mereka tinggal, dan mendorong mereka untuk mengembangkan dan

menggunakan matematika dalam sebuah cara yang bebas.

Gerdes (1996:918) memaparkan tokoh lain yang berpengaruh dalam

perkembangan ethnomathematics adalah Paulo Freire. Ide-idenya, khususnya yang

tercantum dalam dua buah bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed

(1970) dan Education for Critical Consciousness (1973) memiliki pengaruh yang

terbesar pada ethnomathematics. Kutipan kalimat Freire yang terkenal adalah “If

knowledge is related to culture by the processes which constitute knowledge, this

must have some implication for how we treat knowledge in the didactic processes

of (mathematical) education”. Freire mengungkapkan bahwa jika pengetahuan

terkait dengan budaya oleh proses yang membentuk pengetahuan, maka ini akan
19

memiliki implikasi kepada bagaimana kita memperlakukan pengetahuan dalam

proses didaktik pada pendidikan (temasuk pendidikan matematika).

Selain itu, Frankenstein dan Powel (Gerdes, 1996:919) berpendapat bahwa

gerakan diantara para pendidik, yakni untuk meninjau kembali apa makna yang

diperoleh dari pengetahuan matematika, untuk mengenali pengaruh budaya pada

pengetahuan matematika, serta untuk mengungkap sejarah yang menyimpang dan

tersembunyi dari pengetahuan matematika merupakan kontribusi yang signifikan

dari Freirean (pendukung pendapat Freire). Hal tersebut merupakan perspektif

ethnomathematical menyerukan agar mengkonsep ulang disiplin ilmu matematika

dan praktik-praktik pedagogik pendidikan matematika. Penggunaan perspektif ini

dipandang penting dalam mengembangkan kurikulum dengan orang-orang dalam

budaya tersebut dan dengan menggali ethnomathematics dari budaya lain untuk

menciptakan kurikulum sehingga pengetahuan matematika masyarakat akan

menjadi lebih kaya.

Tampaknya bahwa sejauh ini sebagian besar penelitian ethnomathematical

telah diarahkan untuk mengidentifikasi dan mempelajari berbagai budaya bentuk-

bentuk matematika yang berbeda dari yang dominan, standar akademis, dan

matematika sekolah. Bishop (Gerdes, 1996:926-927) membedakan diantara tiga

pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ethnomathematical sebagai

berikut:

1. Menyelidiki pengetahuan matematika dalam budaya tradisional. Penelitian ini

telah diinformasikan oleh pendekatan antropologis yang menekankan keunikan

pengetahuan dan praktik-praktik tertentu. Pada akhirnya, faktor bahasa telah

dianggap sangat penting untuk dipelajari dalam penelitian ini, karena memiliki

nilai-nilai dan kebiasaan dari kelompok yang bersangkutan.


20

2. Menyelidiki pengetahuan matematika masyarakat non-Western. Pendekatan ini

lebih bersifat historis, dengan penekanan utama adalah pada analisis dokumen-

dokumen sejarah.

3. Menyelidiki pengetahuan matematika kelompok yang berbeda dalam

masyarakat yang sama. Penekanan dalam jenis penelitian adalah socio-

psychological, dengan focus mengelaborasi bagaimana pengetahuan

matematika tertentu yang terkait dengan praktik-praktik nyata dari kelompok

yang diteliti telah terbentuk secara sosial.

Menurut Gerdes (1996:927) berdasarkan hasil penelitian ethnomathematical

diperoleh temuan yang menunjukkan bahwa pendidik matematika perlu untuk

merefleksikan diri dan mengambil tindakan nyata sehubungan dengan beberapa

pertanyaan yang fundamental dalam pendidikan matematika, seperti: Mengapa

mengajarkan matematika? Apa yang harus diajarkan dari matematika? Oleh siapa

dan kepada siapa matematika diajarkan? Siapa yang berpartisipasi dalam

pengetahuan kurikulum?

Tujuan penelitian ethnomathematical, secara umum adalah untuk

mendapatkan perspektif lain terhadap matematika dan pelajaran matematika.

Tujuan lain dari penelitian ethnomathematical adalah untuk mengeksplorasi sifat

perbedaan budaya untuk tujuan sosial atau politik (Barton 1996:198).

Ide-ide matematika berkembang di mana-mana karena orang dapat hidup

dalam budaya yang berbeda, tetapi melakukan hal yang hampir sama. Beberapa

kegiatan yang dilakukan semua orang sangat penting dalam mengembangkan ide-

ide matematika. Bishop (1997:1) berpendapat bahwa ada enam aspek utama yang

perlu diperhatikan dalam suatu budaya untuk mengembangkan ide-ide matematika,

yaitu:
21

1. Counting (Perhitungan)

Aspek ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan “berapa banyak”. Hal itu

dilakukan dengan cara menggambarkan angka, catatan mereka, dan

menghitung bersama mereka. Beberapa objek yang digunakan sebagai alat

hitungan adalah jari, anggota tubuh, batu, tongkat, benang.

2. Locating (Lokasi)

Aspek itu berkaitan dengan pertanyaan “dimana”. Aspek ini menyangkut

penemuan jalan di sekitar, navigasi, orientasi diri sendiri, dan menjelaskan

dimana hal-hal yang berkaitan satu sama lain. Secara matematis, penentuan

suatu lokasi atau letak menggunakan sistem koordinat kartesius maupun

koordinat polar atau aturan-aturan pengulangan.

3. Measuring (Pengukuran)

“Berapa banyak” adalah sebuah pertanyaan yang ditanyakan dan dijawab di

mana-mana. Apakah itu adalah jumlah dari kain, makanan, tanah, atau uang

yang dinyatakan. Mengukur merupakan kegiatan yang biasa dilakukan dalam

proses jual-beli/barter, rancang bangun, menentukan tinggi-panjang-keliling-

luas-kedalaman, kecepatan, dan sebagainya. Bagian tubuh, pot, keranjang, tali,

manik-manik, koin, semuanya telah digunakan sebagai unit, seperti yang telah

ditulis dan digambar jumlah di atas kertas atau kain.

4. Designing (Merancang)

Bentuk sangat penting dalam geometri dan berasal dari merancang objek untuk

menyajikan tujuan yang berbeda. Objeknya dapat kecil dan biasa, seperti

sendok, atau bahkan simbolis penting seperti kuil. Secara matematis kita

tertarik pada bentuk dan desain yang digunakan dengan sifat yang berbeda.
22

5. Playing (Permainan)

Setiap orang bermain dan setiap orang mengambil bermain sangat serius.

Tidak semua permainan penting dari sudut pandang matematika, tetapi teka-

teki, paradoks logis, aturan permainan, strategi untuk menang, menebak,

kesemptan dan perjudian, semua menunjukkan bagaimana dengan bermain

dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan pemikiran matematika.

6. Explaining (Menjelaskan)

Memahami mengapa sesuatu terjadi seperti yang mereka lakukan adalah

sebuah pencarian manusia universal.Dalam matematika kita tertarik untuk

mengetahui mengapa pola angka terjadi, mengapa bentuk geometris berpola

sama, mengapa satu hasil mengarah ke hasil yang lain, mengapa beberapa dari

alam tampaknya mengikuti hukum matematika.

2.2 Pengungkapan Aspek-Aspek Matematis dalam Aktivitas Budaya

Melalui Ethnomatematics

Literatur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran pengungkapan

aspek-aspek matematis dalam aktivitas budaya melalui ethnomathematics adalah

sebuah Tesis yang ditulis oleh William David Barton dari University of Auckland

pada tahun 1996 dengan judul Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in

Mathematics. Pada bagian definisi ethnomathematics, disebutkan dua subjek

penting untuk mengungkap aspek-aspek matematis dalam aktivitas budaya melalui

ethnomathematics. Dua subjek penting tersebut adalah researcher dan people from

other cultures. Menurut Barton (1996:199-200) researcher dalam study

ethnomatematics adalah seseorang yang secara khusus memahami matematika.

Mereka bisa jadi adalah para matematikawan atau seorang lain yang telah
23

mendapatkan pengalaman tentang matematika dalam riwayat pendidikannya.

People from other cultures dalam ethnomathematics adalah orang-orang yang tidak

memahami matematika dengan cara yang sama yang dilakukan oleh researcher.

Dua istilah penting dalam pengungkapan aspek-aspek matematis

menggunkan ethnomathematics adalah practices dan concepts. Istilah practices

dan concepts merujuk kepada definisi yang diyakini oleh people from other

cultures. Kedua istilah itu bermakna luas dan merepresentasikan berbagai aktivitas

atau ide yang dimiliki oleh sekelompok people from other cultures tersebut yang

bisa dianggap bersifat matematis oleh researcher (Barton, 1996:200).

Practices merujuk kepada sesuatu yang dilakukan oleh people from other

cultures dan menjadi kebiasaan. Sesuatu tersebut membutuhkan pengulangan-

pengulangan aktivitas, dilakukan pula secara seragam oleh sebagian besar

kelompoknya. Practices harus dapat dikenali secara umum, dan bisa untuk

didiskusikan, baik bagi kelompok budaya yang bersangkutan ataupun bagi orang-

orang di luar kelompok tersebut. Ide matematis yang terdapat dalam practices atau

concepts tersebut bergantung kepada level abstraksi dari researcher. Level

abstraksi tersebut digunakan pula untuk memahami struktur practices yang sedang

dikaji (Barton, 1996:201).

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk pula pada kajian

ethnomathematics ini, banyak para ilmuwan juga para matematikawan yang

mengkritik disertasi Barton bahkan berujung kepada pengkritikan terhadap

metodologi penelitian yang digunakan pada domain ethnomathematics itu sendiri.

Kritik langsung terhadap hal tersebut pernah dikemukakan secara terbuka

oleh Vithal dan Skovsmose (Alangui, 2010:26-30) yang mempertanyakan apakah

bisa proses interpretasi aktivitas budaya menjadi konsep dan model-model


24

matematika yang didasarkan kepada kemampuan berpikir abstrak akan

menghasilkan struktur matematika yang baru dan merombak apa yang sudah

dipraktikkan (dalam struktur matematika) saat ini. Kritik lain dikemukakan pula

oleh Rowlands dan Carson (Alangui, 2010:36) mereka berpendapat bahwa ada

banyak aktivitas budaya yang bisa dengan mudah dideskripsikan secara matematis

namun sebenarnya secara matematika pendeskripsian itu tidaklah terlalu penting.

Oleh karena itu, para pengkritik ethnomathematics mempertanyakan

seberapa relevankah kemampuan mengabstraksi ide-ide matematika pada aktivitas

budaya itu? Lalu, apakah kemampuan abstraksi tersebut sudah secara langsung

menjamin bahwa ide-ide matematis tersebut memang benar-benar ada pada

aktivitas budaya yang diteliti?

Di tahun 2002 hingga tahun 2010, kritikan-kritikan tersebut telah dijawab

oleh para peneliti ethnomathematics. Wilfredo Vidal Alangui adalah salah satu

peneliti ethnomathematics yang menjawab kritikan-kritikan tersebut yang berasal

dari University of Auckland dan salah seorang mahasiswa bimbingan Bill Barton.

Alangui menjawab kritikan-kritikan tersebut melalui disertasinya yang berjudul

Stone Walls and Water Flows: Interrogating Culturak Practice and Mathematics.

Dalam disertasi Alangui (2010:11) diakui bahwa hasil disertai Barton

(1996) telah mengakibatkan problematis di dalam metodologi penelitian

ethnomathematics. Alangui (2010) menggarisbawahinya dengan istilah “dual

danger” sebagai gambaran atas problematis tersebut. Dual danger yang dimaksud

adalah penggunaan ideologi kolonialisme dan praktik dekontekstualisasi

pengetahuan.

Menurut Alangui (2010) jika menggunakan secara utuh hasil disertasi

Barton (1996) maka “…the unintentional perpetration of ideological colonialism


25

and knowledge decontextualisation ini ethnomathematical research”. Dengan kata

lain bahwa penelitian-penelitian ethnomathematics justru akan secara tidak sengaja

mempraktikkan ideologi kolonialisme, serta melakukan dekontekstualisasi

pengetahuan. Padahal semangat awal lahirnya ethnomathematics adalah sebagai

kritik terhadap ideologi kolonialisme dalam pendidikan matematika serta

memberikan ruang yang cukup untuk melakukan kontekstualisasi pengetahuan.

Alangui (2010:11) menjelaskan maksud dari ideologi kolonialisme atau

kolonialisasi yang dilakukan secara tidak sengaja disini adalah suatu pemaksaan

konsep-konsep dan struktur matematika ke dalam pengetahuan yang tertanam pada

praktik kebudayaan. Sebagaimana diungkapkan dengan “…the imposition of

concepts and structures of mathematics into the knowledge embedded in cultural

practice”. Kemudian, maksud dari dekontekstualisasi pengetahuan adalah

mencabut keluar pengetahuan serta praktiknya dari konteks kebudayaan dalam

rangka menyoroti makna matematika yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana

diungkapkannya dengan “…the taking of knowledge and practice out of their

cultural context in order to highlight their inherent mathematical value”.

Menyikapi kritikan yang muncul atas metodologi yang digunakan dalam

penelitian ethnomathematics, Alangui (2010) mengajukan istilah baru yaitu

“Mutual Interrogation”. Metodologi mutual

interrogationdalampenelitianethnomathematics sebenarnya adalah modifikasi dari

Barton (1996). Di beberapa bagan, perspektif yang digunakan Alangui (2010)

masih mengadopsi perspektif Barton (1996). Mutual interrogation boleh

dipandang sebagai upaya untuk melakukan Critical Dialogues (dialog kritis)

sehingga memungkinkan para peneliti (ethnomathematicians) mengemukakan


26

alasan kultural perlunya ethnomathematics seklaigus menepis kemungkinan

terjadinya dual danger.

Definisi mutual interrogation adalah suatu proses yang mengatur dua sistem

pengetahuan yang berkedudukan sama (tidak menjadi bagian dari yang satu dengan

yang lain) dalam rangka untuk menyoroti kesamaan dan perbedaan diantara

keduanya, serta untuk menggali potensi demi meningkatkan bahkan

mentransformasi bentuk keduanya. Sebagaimana diungkapkan bahwa mutual

interrogation adalah “…the process of setting up two systems of knowledge in

parallel to each other in order to illuminate their similiarities and differences, and

explore the potential of enhancing and transforming each other” (Alangui,

2010:86).

Maksud dari dua sistem pengetahuan di atasmerujuk kepada: (1)

pengetahuan yang tertanam pada aktivitas budaya, dan (2) pengetahuan lazim dari

matematika. Poin penegasannya ada pada matematika, ini karena dalam konteks

pembicaraanethnomathematics penegasan tersebut berarti menemukan atau

mengungkap perbedaan cara-cara mengetahui hal-hal yang dianggap sebagai

elemen-elemen matematika. Kemudian, proses interogasi (pemeriksaan, pengajuan

pertanyaan) terhadap dua sistem pengetahuan diselenggarakan dengan cara

melakukan dialog kritis antara pelaku budaya dan matematikawan melalui

perantara peneliti ethnomathematics.

Alangui (2010) meyakini bahwa untuk menghindari dual danger maka

sudah menjadi kebutuhan yang pokok untuk bersikap kritis dan melakukan dialog-

dialog yang bersifat interogatif secara konstan. Prinsipmutual interrogation adalah

mengakui posisi dan cara pandag dari para ahli di dua sistem pengetahuan (pelaku
27

budaya dan matematikawan). Penyelenggaraan dialog menjadi semacam mimbar

bagi pelaku budaya untuk menyuarakan opini dan pandangan mereka.

Dari literatur di atas, dapat dikaji bahwa melalui mutual interrogation,

peran para peneliti ethnomathematics menjadi sangat krusial (penting). Ini

dikarenakan melalui para penelitilah proses interogasi kepada dua ahli sistem

pengetahuan dapat diselenggarakan. Selain memfasilitasi terselenggaranya dialog

tersebut, para peneliti ethnomathematics juga diharapkan dapat melakukan refleksi

secara kritis terhadap asumsi dan keyakinan mereka sendiri tentang matematika dan

mampu menggali alternatif-alternatif konsep. Diharapkan melalui proses tersebut

para peneliti ethnomathematics pada akhirnya mendapatkan “perceptual shift”

(persepsi baru yang lebih tinggi) tentang matematika. Penggambaran mengenai

perceptual shift dapat disimak dari pernyataan Alangui (2010:45-46) berikut ini:

“This shift or change in conception of mathematics, when it finally happens,


is a critical moment in the ethnomathematical process, and is necessarily
influenced by the perspective that the ethnomathematician uses ih her/his
investigation and the way s/he conducts the investigation”.

2.3 Tata Upacara Adat Jambi

Beberapa jenis dan bentuk upacara tradisional biasanya dilakukan pada

saat-saat tertentu, misalnya pada waktu manusia memasuki suatu tingkatan atau

tahapan di dalam daur (lingkaran) hidup, pada saat manusia akan memulai suatu

kegiatan yang berkenaan dengan aktivitas hidup sehari-hari dan sebagainya.

Waktu-waktu serupa itu dirasakan sebagai saat-saat yang "genting" atau

berbahaya karena dianggap dapat menimbulkan malapetaka, membawa

kesengsaraan dan penyakit kepada manusia. Oleh sebab itu, meskipun hampir

seluruh masyarakat Jambi telah memeluk agama Islam, namun pada saat ini banyak

diantara mereka masih melakukan upacara-upacara tersebut yang dianggap sebagai


28

sisa warisan kepercayaan nenek moyang. Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi

Jambi (2001:6) menyatakan bahwa ada beberapa upacara adat yang ada di Jambi

antara lain 1) upacara pengukuhan pemberian gelar; 2) upacara kelahiran anak; 3)

upacara cukuran, pemberian nama, dan kekah; 4) upacara khitanan; 5) Upacara

adat perkawinan. Mengenai upacara adat perkawinan masyarakat jambi akan

dibahas lebih lanjut.

2.3.1 Upacara Adat Perkawinan

Upacara adat perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting bagi

setiap anggota masyarakat. Upacara yang suci ini akan menentukan masa depan

suatu keluarga baru dalam pergaulan antar warga dan antar keluarga, serta akan

mengubah struktur warga masyarakat lingkungan atas kehadiran keluarga baru ini.

Untuk itu perlu diawali dengan kehati-hatian dan perhatian yang penuh dari orang

tua agar pergaulan putra-putrinya yang sudah akil baligh dan sudah siap untuk

menjelang hidup berumah tangga. Pergaulan muda-mudi yang sudah siap berumah

tangga ini agar tetap dalam tatanan adat istiadat yang berlaku. Menurut Lembaga

Adat Melayu Propinsi Jambi (2001:9) ada beberapa tahapan dalam upacara adat

perkawinan antara lain sebagai berikut.

a. Masa Perkenalan

Suatu pernikahan diawali oleh perkenalan ataupun pergaulan bujang gadis

dengan waktu dan tempat yang bermacam-macam. Masa ini disebut juga masa

berusik sirih bergurau pinang. Perkenalan bujang gadis diawali dengan pertemuan

yang terjadi pada waktu gotong royong (berselang), merencam (menugal) padi

lading, menuai padi sawah dan lading (panen), dalam kunjungan berkunjung waktu

lebaran, berelek kawin perkenalan waktu bertandang dan sebagainya. Menurut


29

Lembaga Adat Provinsi Jambi(1993:66) tata cara pergaulan bujang gadis dapat

digolongkan dalam 5 cara, yaitu :

1) Berbalas pantun waktu bujang bertandang.

2) Bersimbat pantun waktu siang hari (dalam perjalanan berkayuh perahu, di

lading dan di sawah).

3) Pelarian/ganti hari mengerjakan (menyiang padi ladangdan merumput padi

sawah), mantau, karenok, dan bertale.

4) Berselang ketalang petang.

5) Perjodohan.

Menurut Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi (2001: 10-11) ada beberapa

ketentuan yang perlu diingatkan oleh para orang tua agar pergaulan bujang gadis

ini masih berada dalam batas-batas pergaulan yang sesuai dengan adat istiadat,

antara lain sebagai berikut:

1) Dalam rangka semata-mata mencari jodoh, maka putra dan putri dibolehkan

saling bertemu untuk berusik sirih bergurau pinang.

2) Pertemuan itu hanya sebatas sampai pada kesimpulan bahwa sang calon

memang sudah jodoh masing-masing, selanjutnya kalau sudah setuju maka

disampaikan kepada orang tua untuk ditindaklanjuti. Namun, bila kedua belah

pihak keluarga sudah saling bersepakat, maka perkawinan dapat saja

dilangsungkan tanpa adanya pertemuan.

3) Apabila anak ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius, maka

orang tua harus menjelaskan beberapa prinsip perkawinan yaitu:

a) Perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan bathin yang sakral (suci), yang

kokoh mengikat kedua belah pihak suami istri dalam kehidupan berumah-

tangga yang bahagia.


30

b) Perkawinan itu harus dilakukan dengan bersedikan syara’ supaya sah

menurut agama dan jangan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

c) Perkawinan boleh dilakukan dalam satu suku atau dengan suku lain.

4) Tidak dilarang perkawinan sepupu.

5) Perkawinan melibatkan tanggung jawab orang tua, nenek-mamak, dan tuo-

tengganai.

6) Bila terjadi lamaran di tolak, atau tidak mendapat restu dari salah satu pihak

orang tua, boleh kawin lari dengan syarat:

a) Bujang gadis tersebut larinya ke rumah Hakim Agama atau Ketua

Lembaga Adat.

b) Orang tua/wali bersedia menikahkan atau membayar denda.

c) Hakim/ketua lembaga adat bersedia menampung bujang gadis tersebut.

d) Umur bujang gadis tersebut sudah mencapai akil-baligh yaitu gadis telah

kena haid/mentruasi lebih kurang berusia 15 tahun dan bujang telah

mampu bekerja sebagaimana umumnya orang desa mencari nafkahnya.

b. Duduk Betanyo

Untuk melakukan pendekatan lebih lanjut hubungan muda mudi ke jenjang

yang lebih serius yaitu pernikahan, maka dari pihak laki-laki mengutus keluarga

untuk menanyakan kepada pihak perempuan, mengenai keadaan apakah yang

perempuan sudah ada yang punya atau belum dan sebagainya, yang dinamakan

duduk betuiktegakbetanyo. Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi

(2001:12-13) urutan dalam melakukan duduk betanyo adalah sebagai berikut.


31

1) Mengirim utusan kepada pihak sigadis untuk menanyakanapakah sigadis sudah

kundangan orang (tunangan orang) atau belum, sambil menjelaskan kepada

pihak orang tua sigadis antara sibujang dan sigadis hatinya sudah terpaut satu

sama lain. Kalau sudah ada kesesuaian maka utusan atau menti menyerahkan

bungo nan berangkat, buah nan betampuk berupa tepak sirih kepada pihak

orang tua sigadis

2) Bila ternyata sigadis sudah ditandai orang tidak boleh ditindaklanjuti dengan

melamar.Kalau sigadis belum ada yang melamarnya, maka pihak sibujang

boleh menindaklanjuti duduk betanyo dengan mengirim utusan resmi dengan

membawa sirih tanyo pinang tanyo sebagai tanda pengikat berupa: (a) Pakaian

perempuan sepelulusan (b) Sirih pinang senampan (c) Cincin emas belah rotan

3) Orang tua sigadis memusyawarahkannya terlebih dahulu kepada sanak-

saudara, sanak-meman sigadis, suku serta nenek-mamak dan tengganai dalam

keluarga.

4) Bila sudah duduk bertunangan, maka akan berlakulah ikat buik janjisemayo,

yaitu apabila pihak laki-laki mungkir janji dan memutuskan pertunangan

secara sepihak, maka sirih tanyo pinang tanyo dinyatakan hilang atau disebut

emas terlucir pulang mandi, apabila sigadis yang memutuskan pertunangan

secara sepihak, maka sirih tanyo pinang tanyo dikembalikan dua kali lipat atau

disebut so balik duo.

5) Tindak lanjut dari pertunangan, maka nenek-mamak kedua belah pihak akan

mengadakan pertemuan selanjutnya untuk membicarakan dan menentukan

a) Tingkat adat yang akan diisi dan lembago yang akan dituang.

b) Hari mengisi adat menuang lembago.

c) Hari pelaksanaan akad nikah atau ijab kabul.


32

d) Menentukan mas kawin/mahar, sesuai permintaan calon pengantin.

e) Hari ulur, antar serah terima pengantin atau hari labuh lek atau disebut

juga hari peresmian pernikahan.

c. Mengisi Adat Menuang Lembago

Pada hari telah ditetapkan bersama, maka dilaksanakan upacara mengisi

adat menuang lembago, atau disebut juga hari ulur antar serah terima adat.

Adapun adat dan lembago itu ado dua macam, yaitu adat lembago yang penuh dan

adat lembago yang minimal.

Menurut Lembaga Adat Melayu Propinsi Jambi (2001:14) adat lembago

yang penuh adalah sebagai berikut.

1) Yang berupa adat yaitu:

a) Emas murni seberat 3,5 tail.

b) Bedil selaras yang bermakna kecil kawan mencari, gedang kawan

menjemput.

c) Tombak sebatang yang bermakna titian jalan kejenang, tango jalan ke

rajo.

d) Timbangan emas bermakna rajo adil disembah, rajo zalim rajo sisanggah.

2) Yang berupo lembago yaitu :

a) Kerbau seekor, beras seratus, kelapa seratus tali (dua ratus butir) selemak

semanis.

b) Seasam segaramnya.

c) Ayam tujuh ekor bermakna anak elang beranak tujuh.

d) Sirih bergagang.
33

e) Pinang Bertandan.

f) Uang tunai.

g) Pakaian perempuan dua pelulusan.

h) Isi kamar berupa: tempat tidur, almari pakaian, bupet bercermin.

Akan tetapi isi kamar tidak termasuk lembago, hanya berupa harta bawaan

oleh pihak laki-laki, kalau terjadi perceraian harta bawaan dibawa kembali.

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:15) adat lembago

yang minimal terdiri dari tiga tingkatan.

1) Tingkat pertama dinamakan tingkat adat penuh keatas (lek balik ke negeri).

a) Adatnya berupa uang tunai dan pakaian perempuan sepelulusan.

b) Lembagonyo berupa kerbau seekor, beras seratus, kelapo seratus tali (dua

ratus butir) selemak semanisseasam segaram.

2) Tingkat kedua dinamakan tingkat adat menengah (lek balik ke nenek-mamak).

a) Adatnya sama dengan tingkat pertama.

b) Lembagonyo berupa kambing seekor, beras dua puluh, kelapa dua puluh

tali (empat puluh butir) selemak semanisseasam segaramnyo.

3) Tingkat ketiga dinamakan tingkat adat penuh kebawah (lek balik ke

tengganai).

a) Adatnya sama dengan tingkat pertama.

b) Lembagonyo adalah berupa ayam dua ekor (prinsipnya kaki empat), beras

dua gantang, kelapa dua tali, selemak semanisseasam segaramnya.

d. Hari pernikahan/ijab kabul

Hari pernikahan (hari labuh lek) telah disepakati pada saat perundingan

setelah lamaran diterima oleh nenek-mamak pihak perempuan. Ada yang


34

dilangsungkan pada hari mengisi adat menuang lembago, yaitu setelah upacara ulur

antar serah terimo adat dan lembago, ada pula yang menetapkan pada hari yang

lain.

Adakalanya hari pelaksanaan akad nikah atau ijab kabul ditangguhkan

mendekati hari peresmian pernikahan atau hari labuh lek. Pada hari yang sudah

disepakati bersama antara nenek-mamak pihak laki-laki dan perempuan, maka

dilaksanakan upacara akad nikah atau ijab kabul antara mempelai laki-laki dan

mempelai perempuan yang merupakan kewajiban hukum syara’.

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:17-18) persiapan dan

urutan pelaksanaan akad nikah adalah sebagai berikut.

1) Calon pengantin harus mengambil surat izin nikah yang dikeluarkan oleh

kepala desa/lurah.

2) Surat-surat tersebut didaftarkan ke kantor urusan agama (KUA).

3) Yang menjadi wali nikah, terutama sekali ayah kandung pengantin perempuan,

kalau tidak ada lagi maka urutannya akan ditentukan oleh kepala KUA.

4) Yang memimpin ijab kabul adalah wali nikah. Saksi ijab kabul, sebaiknya

seorang dari pihak laki-laki dan seorang dari pihak perempuan.

5) Kepala KUA memberikan petunjuk-petunjuk, mencatat dan menuntun calon

pengantin laki-laki mengucap syahadat, mengucap istigfar, mengajarkan

pengantin laki-laki untuk menerima ijab kabul, dan membacakan khotbah

nikah serta do’a khusus pengantin.

6) Nenek-mamak dari pihak pengantin perempuan menentukan dan mengatur:

a) Pakaian yang dipakai calon pengantin untuk pelaksanaan akad nikah.

b) Alas tempat duduk calon pengantin waktu pelaksanaan akad nikah.


35

c) Kehadiran calon pengantin perempuan untuk mendampingi pengantin

laki-laki walau pelaksanaan akad nikah.

d) Masing-masing pengantin saling memasangkan cincin.

e) Berjabat tangan dan sang istri mencium tangan suaminya.

f) Sujud kepada dua orang tua kedua belah pihak, menyalami para nenek-

mamak, tua-tengganai, dan alim ulama serta ibu-ibu yang hadir.

g) Menentukan siapa-siapa nenek-mamak, tengganai, dan alim ulama yang

harus hadir dalam pelaksanaan akad nikah.

7) Mahar/mas kawin boleh berupa emas, uang tunai, atau seperangkat alat sholat,

sesuai permintaan dan persetujuan pengantin perempuan dan diserahkan

langsung oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan, atau melalui

wali nikahnya segera setelah akad nikah.

8) Kain pelangkah, wujudnya berupa kain sarung perempuan yang kena langkah.

9) Setelah upacara akad nikah/ijab kabul, pengantin laki-laki serta arak dan

iringannya kembali ke rumah orang tuanya.Meskipun menurut syara’ kedua

pengantin sudah sah sebagai suami-istri, namun kepada keduanya diminta

untuk membatasi diri sampai pelaksanaan peresmian pernikahan atau labuh

lek.

e. Ulur antar serah terima pengantin (Labuh lek)

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (1993:88) beberapa tradisi

yang dilakukan oleh calon mempelai perempuan sebelum pelaksanaan perkawinan

antara lain sebagai berikut.

1) Bertanggas dengan ramuan serai wangi, umbut pandan, daun jerut purut.

2) Minum air rebusan yang bahannya terdiri dari akar-akar dan daun-daun.
36

3) Memantangkan memakan nasi berkuah.

4) Diberi bedak dalam jangka waktu beberapa waktu.

5) Memakai bedak beras yang sudah direndam beberapa hari lamanya dan

kemudian ditumbuk sampai halus bersama umbut pandan, umbut serai, pucuk

nilam, dan mato kunyit.

6) Berinai pada jari tangan dan jari kaki, telapak kaki dan telapak tangan pada

bagian tengah.

Adapun persiapan dan urutan pelaksanaan upacara ulur antar serah terima

pengantin adalah sebagai berikut.

1) Acara menjemput pengantin laki-laki

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:19-20) acara menjemput

pengantin laki-laki dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Nenek-mamak dan tuo-tengganai dari pihak pengantin perempuan datang

menjemput pengantin laki-laki.

b) Sesampainya dirumah pengantin laki-laki, maka nenek-mamak dan tuo

tengganai pengantin perempuan melalui juru bicaranya mengajukan maksud

kedatangannya sambil menyerahkan tepak-sirih mengajak makan sirih

c) Nenek-mamak tuo-tengganai dari pengantin laki-laki setelah menerima tepak

sirih dari nenek-mamak pengantin perempuan membalas memberikan tepak

sirih kepada nenek-mamak pihak pengantin perempuan, sambil minta dicicipi

pula sirihnya.

d) Selesai makan sirih, maka dimulai perundingan melalui juru bicara masing-

masing pihak mengenai rencana penjemputan pengantin laki-laki, setelah

terdapat kesepakatan kedua pihak, maka berangkatlah pengantin laki-laki


37

didampingi nenek-mamak penjemput dan nenek-mamak pengantar dengan

segala arak dengan iringannya ke rumah pengantin perempuan.

e) Pengantin laki-laki diarak diatas burunggaruda, dikawal oleh pasukan pencak

silat dan diiringi oleh tabuhan kompangan. Setelah sampai di halaman rumah

pengantin perempuan dilakukan pula acara menerima arakan pengantin oleh

pihak perempuan.

2) Acara yang dilakukan di halaman

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:19-23) acara yang

dilakukan di halaman di lakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut ini.

a) Sesampainya arak dan iring pengantin laki-laki di halaman rumah pengantin

perempuan, maka disambut dengan pencak silat.

b) Kemudian dilakukan kato berjawab dan gayung bersambut antara juru bicara

pihak pengantar dan juru bicara pihak penunggu.

c) Setelah selesai dilakukan kato berjawab gayung bersambut dan rombongan

nenek-mamak tua-tengganai serta arak dan iringannya dipersilahkan masuk,

maka dilakukan tabor beras kunyit oleh ibu-ibu dari pihak pengantin

perempuan.Selanjutnya nenek-mamak dari pihak pengantar dipersilahkan naik

ke pentas yang telah dipersiapkan yang disebut balairung sari.

3) Acara yang dilakukan di balairung sari

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:21) acara di balairung

sari dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Nenek-mamak pengantar melalui juru bicaranya mengadakan kato berjawab

gayung besambut lagi dengan nenek-mamak pihak penunggu.

b) Kemudian setelah selesai kedua pihak melaksanakan kato bejawab gayung

besambut, maka perundingan diangkat kepada nenek-mamak penengah.Nenek-


38

mamak penengah mengadakan penelitian terhadap perundingan kedua belah

pihak dan memberikan petuah-petuahnya. Setelah selesai petuah-petuah dari

pihak nenek-mamak penengah, maka kedua belah pihak nenek-mamak

pengantar dan penunggu berjabat tangan. Selanjutnya pengantin laki-laki

dibawa oleh nenek-mamak pihak pengantin perempuan ke dalam rumah

menuju bilik atau tempat pengantin perempuan. Sesampainya di depan bilik

atau kamar pengantin perempuan diadakan acara buka lanse(buka pintu).

4) Acara buka lanse

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:21) acara buka lanse

dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Sesampainya pengantin laki-laki di depan bilik atau kamar pengantin

perempuan juru syair pengantin laki-laki melantunkan syairnya yang

menyataan kedatangan pengantin laki-laki dan memohon dibukakan pintu

(lanse).

b) Kemudian dijawab oleh juru syair pengantin perempuan, dengan

mengemukakan syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengantin laki-laki

untuk membuka pintu atau lanse.

c) Setelah terdapat kesepakatan dari juru syair akan syarat untuk membuka lanse,

barulah dapat dipertemukan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan.

Setelah pengantin laki-laki masuk ke dalam bilik dan dipertemukan dengan

pengantin perempuan, maka keduanya dibawa nenek-mamak ke tempat

pertimbangan pengantin.

5) Acara di tempat timbangan


39

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22) acara di tempat

timbangan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

a) Pertama pengantin perempuan dinaiki keatas timbangan dan ditimbang dengan

anak timbangan berupa kebutuhan pangan, sebagai lambang kemakmuran.

b) Kedua pengantin laki-laki ditimbangan dengan anak timbangan dari bahan

yang sama. Setelah itu dibawa ke tempat ayunan, sebagai pelambang bahwa

kedua pengantin telah memasuki masa peralihan dari masa kanak-kanaknya,

dan diayun sebagai terakhir kalinya selama masa kanak-kanaknya.

6) Acara di tempat ayunan

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22) acara di tempat

ayunan dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

a) Kedua pengantin diayun oleh nenek-mamak dengan dinyanyikan pantun seloko

yang berisi peringatan, petunjuk, dan petuah bagi kebahagiaan hidup

keduanya.

b) Setelah diayun keduanya dibawah ke rumah nan bergonjong,sesampainya di

depan rumah nan begonjong kedua mempelai mengikuti acara menginjak

kepala kerbau.

7) Acara menginjak kepala kerbau

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22) acara menginjak

kepala kerbau dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Dihalaman atau di depan rumah nan begonjong kedua pengantin menginjak

kepala kerbau.
40

b) Setelah disiram dengan santan bemanis, lalu dibilas dengan air bersih dan

dikeringkan oleh petugas yang ditunjuk oleh nenek-mamak pengantin

perempuan. Selanjutnya kedua pengantin di bawa ke rumah nan begonjong.

8) Acara di rumah nan begonjong

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:22-23) acara di rumah

nan begonjong dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

a) Bahwa mereka berdua mengikuti ketentuan adat bersendi syara’, syara’

bersendi kitabullah.

b) Tunjuk ajar dari pemuka adat atau ketua lembaga adat setempat.

c) Rumah nan begonjong itu terdiri dari: halaman nan bersapu adat; bertangga

tanduk, yaitu kepala kerbau.

d) Struktur rumah nan begonjong terdiri dari: bangunan bersegi delapan,

perlambang undang nan delapan; beratap ijuk, perlambang adat tak luput

dihujan dan tak lekang dipanas; puncak atapnya bersanggul (gonjong),

perlambang perempuan yang sejati. Dari rumah nanbagonjong, kedua

mempelai dibawa ke putro ratno untuk mengikuti acara berikutnya.

9) Acara di putro ratno

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:23) acara di putro ratno

dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

a) Setelah sampai di putro ratno kedua mempelai didudukkan dengan posisi

pengantin laki-laki duduk di sebelah kanan dan pengantin perempuan duduk di

sebelah kiri.

b) Setelah itu disuapkan nasi sapat yaitu nasi kunyit panggang ayam atau nasi

senokono, oleh kedua belah pihak orang tua mempelai dan nenek-mamak

kedua pengantin. Suapan nasi sapat adalah perlambangan bahwa telah


41

berakhirnya masa anak-anak, dan dimulai saat itu berarti sang anak telah

menjadi dewasa

10) Pengumuman (Iwa)

Menurut Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi (2001:23) Iwa dilakukan

untuk mengumumkan bahwa telah terjadi persemendoan antara kedua pihak

keluarga dan semakin lebarnya kekeluargaan dan kekerabatan, oleh petugas yang

telah ditunjuk dan ahli dibidangnya.

11) Pembacaan doa

Seluruh rangkaian acara ditutup dengan doa sebagai ungkapan rasa syukur

atas telah terselenggaranya perhelatan dengan selamat dan mohon keselamatan

bagi kedua mempelai dan seluruh keluarga serta hadirin sekalian yang hadir.

2.4 Teori Belajar Konstruktivisme dan Kognitivisme Vygotsky

2.4.1 Teori Belajar Konstruktivisme

Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam

pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan,

termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Taylor (Haryanti, 2012:2)

mengemukakan bahwa pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup

sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa

internalisasi. Vygotsky menekankan pentingnya hubungan antara individu dan

lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan. Karena interaksi sosial

merupakan faktor penting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang.

Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif

apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan
42

lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih

mampu, guru atau orang dewasa.

Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada

pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak

antara interpsikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan

intrapsikologi (intrapsychological). Internalisasi dipandang sebagai transformasi

dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara

interpsikologi (antar orang) dan intrapsikologi (dalam diri individu)(Haryanti,

2012:2-3). Dalam pembelajaran matematika, konstruktivisme membantu siswa

membangun konsep/prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui

proses internalisasi (proses pemerolehan informasi) dan proses transformasi (proses

pengolahan informasi) (Endang,2009:253).

Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky

mengemukakan dua ide. Pertama, perkembangan intelektual siswa dapat dipahami

hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa. Kedua, Vygotsky

mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign

system) setiap individu selalu berkembang. Sistem tanda adalah simbol-simbol

yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi,

dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem

perhitungan (Slavin, 2005:44).

Vygotsky (Slavin, 2005:243-244) mengemukakan ada empat prinsip dalam

pembelajaran yaitu:

1. Pembelajaran sosial (social learning).


43

Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran

kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama

dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.

2. ZPD (zone of proximal development).

Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika

berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan

masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan

orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak

mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat

kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.

3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).

Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh

kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang

dewasa, atau teman yang lebih pandai.

4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning).

Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang

kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam

memecahkan masalah siswa.

Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan

eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial

pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari

interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga

yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang

belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan


44

kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development

mereka.

Fornot (Haryanti, 2012:5-6) mengemukakan aspek-aspek konstruktivisme,

yaitu adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of enviroment),

dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut

diadaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua proses yaitu

asimilasidan akomodasi.

1. Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan

persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah

ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang

menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema

yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan

menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.

Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan

mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.

2. Akomodasi

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat

mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.

Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang

telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.

Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan

yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan

rangsangan itu.Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan

adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan. Akibat


45

ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada

yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual

ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan

keadaan setimbang.Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada

pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Konstruktivisme Vygotsky memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi

secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh

setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam

konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian

pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal.

Dalam hubungan ini, para konstruktivisme Vygotsky lebih menekankan pada

penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual (Haryanti, 2012:7).

Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:

1. Mencari tahu dan mengahargai titik pandang/pendapat siswa.

2. Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa.

3. Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa.

4. Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa.

5. Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari.

6. Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses

pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengetahuan lama

yang mereka miliki.

7. Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk

menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi.


46

8. Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing.

Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat

pelajaran lebih lama.

9. Kontrol kecepatan, dan focus pembelajaran ada pada siswa.

10. Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas

dengan apa yang dialami langsung oleh siswa (Ayuni, 2014:7-8).

Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam

belajar mengajar adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya

dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.

3. Murid aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi

perubahan konsep ilmiah.

4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi

berjalan lancar.

5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.

6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

7. Mencari dan menilai pendapat siswa.

8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak

boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus

membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat

membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi

sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan

kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
47

mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri

untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu

nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang

lebih tinggi. Tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya

(Ayuni, 2014:8).

Teori konstruktivisme memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:

1. Dalam aspek berfikir yakni pada proses membina pengetahuan baru, murid

berpikir untuk menyelesaikan masalah, menggali ide, dan membuat keputusan.

2. Dalam aspek kepahaman seorang murid terlibat secara langsung dalm

membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu

mengaplikasikannya dalam senua situasi.

3. Dalam aspek mengingat yakni murid terlibat secara langsung dengan aktif,

mereka akan mengingat lebih lama konsep melalui pendektan ini murid dapat

meningkatkan kepahaman mereka.

4. Dalam aspek kemahiran sosial yakni kemahiran sosial diperoleh apabila

seorang murid berinteraksi dengan teman, kelompok kerja maupun dengan

guru dalam proses mendapatkan ilmu pengetahuan maupun wawasan baru

(Ayuni, 2014:10).

Teori konstruktivisme memiliki beberapa kekurangan atau kelemahan,

yakni:

1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil

konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah

ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.


48

2. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya

sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa

memerlukan penanganan yang berbeda-beda.

3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah

memiliki sarana dan prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas

siswa.

4. Meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalnnya proses

belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus

memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga

dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai

kemanusiaan.

5. Dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya

kurang begitu mendukung, siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya

(Ayuni, 2014:10-11).

2.4.2 Teori Belajar Kognitivisme Vygotsky

Dalam prespektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan

peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata

hampir dalam setiap peristiwa belajar. Perilaku individu bukan semata-mata respon

terhadap yang ada melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang

diatur oleh otaknya. Belajar adalah prases mental yang aktif untuk mencapai,

mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah

perseptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya

tentang situasi yang berhubungan dengan teori belajarnya. Belajar merupakan

perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah
49

laku yang tampak. Teori kognitif menekankan belajar sebagai proses internal.

Belajar adalah aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks

(Dewi, 2015:2).

Menurut Vygotsky, setiap individu berkembang dalam

kontekssosial.Semuaperkembanganintelektualyangmencakupmakna,ingatan,pikiran

, persepsi,dankesadaran bergerakdariwilayahinterpersonal ke wilayah intrapersonal.

Mekanisme yang mendasari kerja mental tingkat tinggi itu merupakan salinan dari

interaksi sosial (Confrey, 1995:38).DalampandanganVygotsky,semuakerjakognitif

tingkat tinggipadamanusiamempunyaiasal-usuldalam interaksisosial setiap

individudalamkonteksbudayatertentu atau denganmeminjam istilah Wilson

dkk.(1993:69), kognisi merupakan internalisasidariinteraksisosial.Teori

kognisisosial dariVygotskyini mendorongperlunyalandasan sosial yang baru

untukmemahamiproses pendidikan.

Vygotsky sangat menekankan pentingnya peranan

lingkungankebudayaan dan interaksisosial dalam perkembangansifat-sifatdan tipe-

tipemanusia. Menurut Vygotsky siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan

orangdewasadanteman sebaya yanglebih mampu.Interaksi sosial ini

memacuterbentuknyaidebaru danmemperkayaperkembangan

intelektualsiswa.Konsepinioleh Vygotskydinamakan pemagangan

kognitif(cognitiveapprenticeship).Pemagangan kognitif mengacu pada

prosesdimanaseseorangyangsedang belajartahapdemitahap memperoleh keahlian

melalui interaksinyadenganpakar.Pakaryang dimaksud di sini adalah orang yang

menguasai permasalahan

yangdipelajari.Jadi,dapatberupaorangdewasaataukawansebaya(Slavin,2005:244).
50

Setiap anakakan melewatidua tingkat(level)dalam proses belajar,

yaitupertamapadalevelsosial,yaituanakmelakukankolaborasi dengan

oranglaindankedua padalevelindividual, yaituanakmelakukanproses

internalisasi.Internalisasimerupakanproses transformasitindakan eksternal

(perilaku) menjadi kerjapsikologis internal(proses)(Taylor, 1992:13).

Dariuraian di atas,dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru

hendaknyamengorganisasisituasi kelasdan menerapkanstrategi

pembelajaranyangmemungkinkansiswasalingberinteraksi dengan

temannyadanguru, serta menstimulusketerlibatansiswamelalui

pemecahanmasalahyangmembutuhkankehadiranorang lain(guruatau

temansebayayanglebihmemahamimasalah)danmemberikanbantuan di saatmereka

mengalami kesulitan.

Vygotskyyakinbahwapembelajaranterjadiapabilasiswabekerjaatau

belajarmenangani tugas-tugas atau masalah kompleks yangmasih

beradapadajangkauankognitifsiswaatautugas-tugastersebutberadapada Daerah

Perkembangan Terdekat(ZoneofProximalDevelopment

(ZPD).Vygotsky(Taylor,1992:9-10)mendefinisikan bahwaZoneofProximal

Development

(ZPD)isthedistancebetweentheactualdevelopmentallevelasdeterminedthroughindep

endent problem solvingandthe levelofpotentialdevelopment asdeterminedthrough

problemsolving underadultguidanceorincollaborationwith more capable peers.Dari

definisi ini Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan kemampuan

seseorangdapatdibedakankedalamduatingkat,yaitu tingkat perkembanganaktual

dantingkatperkembanganpotensial.Tingkat perkembanganaktual tampakdari

kemampuanseseoranguntuk menyelesaikan tugas-tugas


51

ataumemecahkanberbagaimasalahsecara mandiri. Sedangkan tingkatperkembangan

potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan

memecahkan masalahketika dibawah bimbingan orangdewasa atau ketika

berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebihkompeten.

Gambar 2.1 Zone of Development

ZPD adalahjarakantara taraf perkembanganaktual,seperti yang

nampakdalampemecahanmasalahsecaramandiri dantingkat

perkembanganpotensial,seperti yangditunjukkandalam pemecahan masalah

dibawahbimbingan orangdewasaatau denganbekerjasama dengan teman sebaya

yang lebih

mampu.Dalamdefinisidiatas,tarafperkembanganaktualmerupakanbatasbawahZPD,

sedangkantaraf perkembanganpotensialmerupakan

batasatasnya.Vygotskyjugamencatatbahwaduaanakyangmempunyaitaraf

perkembanganaktualsama,dapatberbeda taraf perkembangan

potensialnya.JadiZPDmereka masing-masingberlainanmeskipun berada dalam

situasibelajar yang sejenis.

Interaksisosialantara anakdanorangdewasamempunyaiperanan

pentingdalamZPD.Menurut Brown&Ferera (Confrey,

1995:40)mengutippenjelasaninteraksi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Mula-


52

mula anakmengalami kegiatan pemecahan masalah secaraaktifdengan kehadiran

orang lain, tetapi kemudian secara berangsur-angsur dia mampu

mengerjakannyasecaramandiri. Proses internalisasi berlangsung

secarabertahap:mula-mula orangdewasamengaturdan memandu

kegiatananakitu,tetapisecaraberangsur-angsurorang dewasadananak itu mulai

bersama-sama mengerjakan penyelesaian masalah, dengan anak itu

mengambilinisiatif,sedangkan orangdewasamemeriksadan memandudi kalaanakitu

tidaklancar.Akhirnya, orangdewasaitu menyerahkan pengaturan kepada anakitu

sendiridan sekarangdia berperan terutamasebagai

pendengaryangbersifatmendukungdan simpatik.

MenurutTharp&Gallimore(1988:34-35),tingkatperkembanganZPDterdiri

atasempat tahap, yaitu:

1. Tahap Pertama: More DependencetoOthers Stage

Tahapandimanakinerjaanakmendapatbanyakbantuandaripihaklain,sepertite

man-temansebayanya,orang tua, guru,masyarakat,ahli,dan lain-

lain.Darisinilahmunculmodelpembelajaran kooperatif atau kolaboratifdalam

mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.

2. Tahap Kedua: LessDependence External AssistenceStage

Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalubanyak

mengharapkanbantuandaripihaklain,tetapilebihkepadaselfassistance,lebih banyak

anak membantu dirinya sendiri.

3. Tahap Ketiga: Internalization andAutomatization Stage

Tahapdimanakinerjaanaksudahlebihterinternalisasisecaraotomatis.Kasadara

nakanpentingnyapengembangandiridapatmunculdengansendirinyatanpapaksaanda
53

narahan yang lebihbesardaripihaklain. Walaupun demikian,anakpada tahap

inibelum mencapai kematangan yangsesungguhnyadanmasihmencariidentitas

diridalam upaya mencapai kapasitasdiri yang matang.

4. Tahap Keempat:De-automatizationStage

Tahapdimanakinerjaanakmampumengeluarkanperasaandarikalbu,jiwa,dane

mosinyayangdilakukansecaraberulang-ulang,bolak-balik,recursion. Pada

tahapini,keluarlahapayang disebut dengan deautomatisation sebagai puncak dari

kinerja sesungguhnya. Keempat tahapan perkembanganZPD di

atasdapatdigambarkan sebagai berikut:

Gambar2.2 Empat Tahap Perkembangan ZPD (Tharp & Gallimore, 1988:35)

Vygotsky menyatakan bahwa tingkatan pengetahuan atau pengetahuan

berjenjang ini disebutnya scaffolding. Scaffolding berarti memberikan kepada

seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran

dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada

anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah

mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa


54

petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang

memungkinkan siswa dapat mandiri (Haryanti, 2012:6).

Vygotsky (Haryanti, 2012:7) mengemukakan tiga kategori pencapaian

siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:

1. siswa mencapai keberhasilan dengan baik,

2. siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,

3. siswa gagal meraih keberhasilan.

Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam

upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar

pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum. Scaffolding ini

dapatberupapenyederhanaan tugas,memberikanpetunjuk kecil mengenai apa

yangharus dilakukan siswa,pemberian modelprosedur penyelesaian

tugas,menunjukkan kepada siswa apasaja yang telah

dilakukannyadenganbaik,pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan

siswadalamlangkahpengerjaan tugas,dan menjagaagarrasafrustasi siswamasih

beradapada tingkatyangmasih dapatditanggungnya. Pemberian tuntunanberangsur-

angsurharusdikurangiseiring dengan semakin mahirnya siswa menyelesaikan tugas

(Haryanti,2012:7).

Terdapat dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah:

1. Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai

proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar

informasi dan pengetahuan,


55

2. Zona of Proximal Development (ZPD) pembelajar sebagai mediator memiliki

peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun

pengetahuan, pengertian dan kompetensi (Haryanti, 2012:7).

Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat antar

siswa dalam memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi

bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara

memecahkan masalah tersebut, maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami

kesulitan tersebut terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu

secukupnya kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka

terjadi scaffolding. ZPD Vygotsky berdasar pada ide bahwa perkembangan

pengetahuan siswa ditentukan oleh keduanya yaitu apa yang dapat dilakukan oleh

siswa sendiri dan apa yang dilakukan oleh siswa ketika mendapat bantuan orang

yang lebih dewasa atau teman sebaya yang berkompeten (Slavin 2005:45).

2.4.3 Implikasi Teori Vygotsky terhadap Pembelajaran Matematika

TeoriVygotskymengenaiperananinteraksisosialdandaerahperkembanganterd

ekat (zone of proximum development)mempunyaibeberapa implikasi terhadap

pembelajaranMatematika.Pembelajaran matematikabertujuan

untukmengembangkankemampuan-kemampuan kognitif,psikomotor,danafektif

siswadalam bermatematika. Olehkarenaitulandasansosialbagi

pembelajaranMatematikamerupakansuatu keharusan.Implikasi teori Vygotskyini

diperkuatdengan posisifilsafatkonstruktivisme sosial yang berkeyakinan bahwa

pengetahuan matematikasuatubentukan (konstruksi) secarasosial.Jadi

pentingnyainteraksi sosial dalam pembelajaranMatematikamerupakan imperatif


56

dariduaarah yaitu dari segipsikologis

siswayangbelajardandarisegibahanMatematikayang dipelajari.

Mengingatprosesbelajarmula-mulaberlangsungpadatarafsosial,maka proses

pembelajaran Matematika di kelas hendaknya bersifatinteraktif,baikantara

siswadangurumaupunantarsiswa.Interaksiini

mengarahsampaikepadaterjadinyaintersubjektivitas,yaknikecocokan di kedua

belahpihakyangmemungkinkan keduanyamampumengerti,

memeriksa,bernegosiasi,dan salingmemanfaatkansudutpandangpihak lain.

Di samping kegiatan interaktif, guruMatematikadi kelas perlujuga

menyediakan kesempatansecukupnyabagisiswauntukmengalami internalisasi.

Agartersedia kesempatan untuk internalisasi pada dirisiswa, guru tidakboleh

tergesa-gesadalam memfasilitasi kegiatan pembelajaran dan perlu memberikan

jedawaktu disela-sela kesatuan- kesatuankegiatan di kelas.

Selainitugurudisarankan untuk:

1. Peka terhadap pengetahuan yang mungkin diberikan siswa dalam situasi

belajar.

2. Mengusahakanpemecahanmasalahinteraktifsebagaipanduanbagi belajarsiswa.

3. Menyajikan beberapa masalahyang menantang.

4. Mendorong,menggali,danmenerimapenyelesaiandanstrategiyang berbeda.

5. Mengusahakanagarsiswamenerangkandanmemberikanalasanbagi

6. pendapat mereka

Interaksisosial dalam pembelajaranMatematikajanganhanya dibatasi

dalambentukkegiataninteraktif di kelas, tetapijugamencakup

interaksisiswadengankontekssosialbudayayangdekat dengan kehidupan

siswasehari-hari.PembelajaranMatematikadi kelas perlu menghadirkan masalah-


57

masalah kontekstual tersebut, karena kegiatan yang melibatkan masalah-masalah

ini menjadi bermakna secara sosial

bagisiswa.BahkandalampendekatanpendidikanMatematika realistik, masalah

kontekstualsemacamitudijadikantitik pangkal(startingpoint) bagi proses

pembelajaran Matematika.

PelajaranMatematika disekolahbersifathierarkis.Jadidalam mempelajari

suatubahan diperlukan penguasaan siswa akan bahan-bahanprasyarat

itu.Tugasguruadalahmenciptakansuatulingkungan pembelajaraninteraktif dan

memberikan tuntunanbagiparasiswadalam ZPD masing-masing, sehingga mereka

masing-masingdapat mencapai taraf kemampuan potensial.Situasi yang

terjadidilapangan

secaraempiristidaklahsederhana.Tidaksetiapsiswatelahmenguasai

bahanprasyaratdenganbaik,atauparasiswamenguasaitetapi dengan

kualitaspenguasaanyangberaneka ragam.Jadiadasiswayangbelum mencapai taraf

kemampuan aktualatau taraf kemampuan aktualyang dicapaimasing-

masingsiswatidaksama.Iniberarti,ZPDmereka berbeda-beda,

yangberimplikasipadaperlunya variasi tuntunan dan lingkungan belajarinteraktif.

Tuntunan yang diberikan guru Matematika untuk membawa

seorangsiswadaritaraf kemampuan aktualketaraf kemampuan

potensialnyapalingbaikmemanfaatkanpengalaman belajaryangtelah

dimilikisiswaitu padataraf kemampuan aktualnya, karenahal inipaling bermakna

bagi yang bersangkutan. Termasukdi siniadalahpengetahuan informal anak yang

telah diperolehnya dalam kehidupansehari-hari.Siswamenyelesaikan

masalahkontekstual denganmenggunakan pengetahuan informal yangbersangkutan.

Dari sini gurumemberikan tuntunan, agarsecarabertahapsiswamembangunsendiri


58

model-model penyelesaian yangmakinlamamakinbersifatformal,sampaiakhirnya

menjadi model matematikayang dimaksud.

ZPDsifatnyasangatkhasuntuksetiapindividu.Kekhasan ini

timbulkarenavariasijarakantara taraf kemampuanaktualdantaraf

kemampuanpotensial.Hal inisemakinmenegaskanperlunyaperhatian

guruMatematika terhadapparasiswasecaraindividual.Dilainpihak, ZPD juga

memperlihatkan peranan teman sebaya yang lebih mampu bagiproses

belajarsiswa.Segiinimemberikandukunganbagi pentingnya pembelajaran

Matematika secara kolaboratif. Dengan demikian, kelas dengan siswa yang

bervariasi kemampuan matematikanyamasihperludipertahankan,tetapiseiring

denganitu perhatian individual tetap diperlukan (Yohanes, 2010:132-134).

2.5 Keterkaitan Etnomatematika dalam Tata Upacara Adat Perkawinan


Masyarakat Jambi dengan Teori Belajar Konstruktivisme dan
Kognitivisme Vygotsky
Matematika memiliki peran baik dalam berbagai budaya, tepatnya pada

kebiasaan suatu suku atau masyarakatnya maupun dalam hal adat istiadatnya.

Namun masyarakat sering kurang menyadari bahwa dalam sebagian aktivitas yang

dilakukan terdapat aktivitas-aktivitas matematika. Bahkan mereka terkadang juga

masih bingung dalam menggunakan konsep matematika yang dipelajari di bangku

sekolah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fakta yang ada dalam

masyarakat tersebut sangat bertentangan dengan fungsi matematika yang

sesungguhnya. Fungsi matematika tersebut adalah untuk mengembangkan

kemampuan berhitung, mengukur, menurunkan rumus, dan menggunakan rumus

matematika dalam kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar,


59

peluang dan statistika, kalkulus, dan trigonometri. Selain itu, ada pendapat lain

yang menyatakan bahwa matematika adalah bagian dari kebudayaan yang

menyebabkannya bersifat universal dan milik semua umat manusia (Lila, 2015:1).

Berdasarkan kedua hal tersebut menunjukkan bahwa adanya keterkaitan

matematika dengan kehidupan sehari-hari. Keterkaitan antara keduanya tersebut

dikenal sebagai etnomatematika. Etnomatematika merupakan matematika yang

berkaitan dengan aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari pada suatu

kelompok budaya tertentu(Lila,2015:1).Etnomatematika merupakan penggabungan

matematika dengan budaya akan memiliki fungsi ganda jika diterapkan dalam

pembelajaran, selain untuk membuat siswa lebih mudah untuk memahami materi

pelajaran juga dapat mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam budaya mereka.

Etnomatematika tidak hanya dilihat sebagai suatu kumpulan definisi, teorema,

ataupun aksioma, akan tetapi di dalam etnomatematika matematika digabungkan

dengan unsur-unsur budaya lokal yang mempengaruhi pola pikir siswa.

Dalam kegiatan pembelajaran matematika di sekolah tujuan guru adalah

pembentukan skema baru. Pembentukan skema baru ini sebaiknya dari skema yang

telah ada pada diri siswa. Oleh sebab itu tepat sekali jika dalam mengajarkan

matematika formal (matematika sekolah), guru sebaiknya memulai dengan

matematika yang tidak formal yang diterapkan oleh anak di masyarakat. Jika pada

diri anak terbentuk skema dengan baik tentang matematika yang dipakai dalam

dunia sehari-hari, maka untuk menambah pengetahuan yang telah ada tersebut guru

memperkuat skema yang telah ada atau membentuk skema baru berdasarkan skema

yang telah ada (Tandiling,2013). Melalui pembelajaran matematika dengan

pendekatan etnomatematika guru dapat mengkaji budaya-budaya yang berada

dalam lingkungan siswa kemudian menggunakan aspek-aspek yang


60

terkandungyang ada pada budaya tersebut ke dalam pembelajaran. Selain itu, guru

dapat menyampaikan dan menekankan betapa pentingnya mengetahui budaya yang

ada. Sehingga nantinya diharapkan siswa tidak hanya memahami konsep

matematika tetapi lebih menghargai budaya-budaya mereka dan dapat mengambil

nilai-nilai yang ada.

Di sekolah yang dominan suku atau etnis tertentu seringkali mengajarkan

matematika tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia demikian juga pada

beberapa daerah dimana dalam bahasa pengantar juga menggunakan bahasa

setempat. Oleh sebab itu guru harus mengajarkan matematika dengan

menggunakan bahasa pengantar dari bahasa daerah setempat. Bahasa daerah

setempat mempunyai istilah sendiri, misalnya untuk kata “berhitung, ditambah,

dikurang, dikali dan dibagi”. Kata–kata semacam itu mempunyai makna begitu

banyak bagi anak dan guru untuk mengajarkan matematika formal dalam

komputasi. Demikian juga ketika guru akan menjelaskan dalam pembelajaran

tentang pencerminan dan simetri, guru bisa membawa atau memperlihatkan

contoh-contoh artefak, lukisan tato, dan lukisan lain yang bermotif budaya lokal

yang mempunyai nilai pencerminan setelah siswa dikenalkan dengan bentuk–

bentuk tadi, barulah kemudian mengenalkan konsep pencerminan dan simetri yang

formal (Tandiling,2013).

Dalam matematika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan

diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan

itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan yang ikut mempengaruhi

perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya berbagai

pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosiokultur, pembelajaran

kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori
61

pembelajaran. Dalam teori kognitivisme, Vygotsky mendasari pemikiran bahwa

budaya berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu

perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses

belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya

lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Dengan

menggunakan budaya sebagai informasi awal ke dalam pembelajaran

matematika,siswa secara individu dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri

dengan mengaitkan pengetahuan relevan yang dimiliki siswa berdasarkan

kebiasaan yang dilakukan dengan pengetahuan (konsep) matematika baru yang

didapatkannya melalui apersepsi, review, dan relasi kehidupan sehari-hari.

Keterkaitan ini berhubungan dengan teori belajar konstruktivisme dan kognitivime

Vygotsky, dimana konstruksi pengetahuan dari budaya ke konsep matematika oleh

siswa terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi serta perkembangan

intelektual siswa saat menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide

tersebut dengan apa yang mereka telah ketahui. Mengetahui kemampuan budaya

yang dapat mengkontekstualkan konsep matematika, maka perlu dilakukan analisis

dan kajian terhadap berbagai bentuk budaya lokal yang ada.

Salah satu bentuk budaya lokal yang ada di Jambi yaitu tata upacara adat

perkawinan.Upacara adat perkawinan merupakan suatu tradisi yang menjadi

keunikan tersendiri bagi setiap daerah. Upacaraadat perkawinanmerupakan

unsurbudayayang mengandung nilai-nilaidan norma-normayang sangatluasdan

kuat, mengaturdan mengarahkan tingkah laku setiap individudalammasyarakat.

Untuk itu, perlu dilakukan kajian terhadap budaya ini sebagai upaya untuk

memperkenalkan keunikan budaya yang dimiliki masyarakat Jambi. Dari sisi

etnomatematika, ada beberapa tahapan upacara adat perkawinan masyarakat Jambi


62

yang dapat dikaji. Pengkajian ini dilakukan untuk menggali informasi dan

menjelaskan secara utuh mengenai tata upacara adat perkawinan masyarakat Jambi

demimengungkapaspek-aspek matematisyangada.

Sehinggaapabiladikaitkankembalikepadahubunganantara

budaya,interaksi,danprosespembelajaran hasilpenelitianinitidakhanyaakan

bermanfaat bagi budaya itu sendiri melainkan pula bagi dunia pendidikan. Bagi

dunia pendidikan, diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan konteks atau

digunakan dalam pembelajaran matematika formal di sekolah sebagai upaya untuk

memperkenalkan tata upacara adat perkawinan masyarakat Jambi kepada siswa

agar siswa mengetahui budaya yang dimilikinya dan lebih mencintai budayanya.

2.6 Penelitian Ethnomatematika yang Relevan

2.6.1 Eksplorasi Etnomatematika Pada Budaya Masyarakat Dayak


Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggau Kalbar
Penelitian ini dilakukan oleh Agung Hartoyo pada tahun 2012.Penelitian ini

bertujuan untuk mengungkap etnomatematika yang dipraktekkan oleh masyarakat

Dayak di perbatasan Indonesia-Malaysia wilayah Kalimantan Barat dalam

menjalani kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam

menjalani kehidupan sehari-hari maupun dalam pelaksanaan adat istiadat dan

upacara, masyarakat suku Dayak yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia-

Malaysia memiliki tata cara sendiri, yang unik dan khas lokal mereka.

Perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan upacara adat dan ritual meliputi

berbagai jenis dan masing-masing ditetapkan dalam jumlah tertentu. Itu

menunjukkan bahwa di dalam aktivitas adat secara tidak sadar mereka menerapkan

pengetahuan matematika ala masyarakat setempat dengan memberikan batasan


63

sesuai kesepakatan mereka. Etnomatematika dalam tingkatan sederhana banyak

digunakan oleh masyarakat Dayak dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Konsep

yang sering digunakan adalah sebagai berikut.

a. Konsep Membilang

Berbagai jenis alat bantu yang sering digunakan oleh masyarakat Dayak

untuk membilang antara lain: jari tangan, tangan, batu, tongkat, dan tali (rotan dan

akar). Kegiatan membilang ini dilakukan pada pembuatan kain tenun ketika si

penenun menghitung banyaknya bahan benang yang diperlukan untuk membuat

kain tenun, banyaknya bahan benang disesuaikan dengan banyak kain ukuran kain

yang ingin dihasilkannya. Dalam sekali menenun, biasanya mereka membuat kain

tenunan sebanyak dua sampai empat helai sekaligus. Aktivitas membilang juga

dilakukan oleh penenun ketika membentuk motif pada kain.

b. Konsep Mengukur

Beberapa suku masyarakat Dayak menggunakan alat ukur yang bervariasi

dalam melakukan pengukuran, antara lain: jari tangan, kaki, gantang (alat untuk

menakar padi), dan sebagainya. Kegiatan mengukur ini dilakukan pada saat

pembuatan perisai ketika membuat rancang bangun perisai yaitu menggunakan jari

tangan yang istilah ukurnya jangkal (jari tangan orang dewasa), sebagai alat ukur

untuk menentukan jarak antara motif yang satu dengan yang lain digunakan jari

tangan yang istilah ukurnya sajari’, dan untuk ukuran yang lebih besar digunakan

tangan yang istilah ukurnya dapa’ yaitu satu rentangan tangan orang dewasa.

Kegiatan mengukur bagi masyarakat suku Dayak dapat diamati ketika mereka

melakukan pengukuran pada barang-barang produk anyamannya atau menentukan

ukuran motif.

c. Konsep Mendesain
64

Kegiatan pendesainan yang dilakukan masyarakat berkaitan dengan

kegiatan membuat rancang bangun telah diterapkan oleh semua jenis suku dan

budaya. Kegiatan pendesainan lain yang banyak dilakukan oleh masyarakat suku

Dayak adalah ketika mereka membuat produk budaya, seperti: membuat anyaman

tikar dengan menggunakan berbagai bahan baku, nyiru (tampah atau nampah),

menenun kain dan membuat perisai. Pada proses pembuatan perisai kegiatan

mendesain dilakukan pada saat membentuk motif pada perisai tersebut. Motif

perisai dibuat pada salah satu sisi perisai dan kemudian untuk menggambar atau

mengukir motif pada sisi yang lainnya berpatokan motif belahannya.

d. Konsep Menentukan Lokasi

Konsep menentukan lokasi ini dilakukan saat suku Dayak memasuki

wilayah asing atau hutan, mereka selalu dapat menemukan arah kembali pulang ke

rumahnya atau posisi awal. Dalam hal ini, masyarakat telah menerapkan konsep

navigasi yang bermanfaat untuk menuntun mereka menemukan arah perjalanan

yang tepat. Masyarakat Dayak telah mengembangkan teknik pengkodean atau

pemberian simbol dengan makna tertentu yang diberlakukan di lingkungannya.

Selain itu kegiatan penentuan lokasi atau letak yang juga dilakukan oleh

masyarakat Dayak adalah kegiatan dalam meletakkan suatu motif di tempat yang

semestinya. kegiatan ini berkaitan erat dengan konsep simetri dan jarak dua benda

dalam bidang. Apabila seorang pengrajin hendak menganyam untuk membentuk

suatu motif, maka di tahap awal anyamannya si pengrajin tersebut memulai dengan

anyam tunggal.

e. Konsep Menjelaskan
65

Kegiatan menjelaskan dalam masyarakat yang menerapkan matematika

informal itu ditemukan pada saat mereka berusaha untuk menyampaikan ide-ide

yang ada pada dirinya kepada orang lain secara sistematis dan mudah dipahami

oleh orang lain. Menjelaskan berkaitan dengan proses menceritakan makna dan

filosopi setiap motif dari generasi ke generasi sehingga pesan-pesan moral terus

disampaikan dan tidak hilang. Kegiatan menjelaskan makna motif oleh para

penganyam dilakukan bila proses penganyaman sudah selesai dan menghasilkan

produk anyaman yang diinginkan. Ada keyakinan dalam diri para penganyam

bahwa aktivitas menganyam tidak boleh dilakukan bersamaan dengan aktivitas

menceritakan hal ikhwal motif yang terkandung dalam anyaman. Apabila hal itu

dilanggar mereka takut anyamannya tidak kunjung selesai bahkan ada ketakutan

akan ditimpa suatu penyakit.

Selain itu, aktivitas sebagian masyarakat suku Dayak dalam memproduksi

anyaman, khususnya anyaman topi-petani yang disulam berbagai motif, memuat

sejumlah konsep advance elementary geometry. Etnomatematika yang digunakan

masyarakat ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pembelajaran

matematika. Konsep-konsep dimaksud meliputi konsep geometri dimensi-3 dan

dimensi-2. Konsep geometri berdimensi-3 yang terkandung dalam anyaman topi

adalah kerucut. Adapun konsep-konsep berdimensi-2 meliputi: (a) Garis lurus yang

terkandung dalam Anyam dua; (b) Garis lengkung yang terkandung dalam motif

Lekuk sawak; (c) Kurva tertutup yang terkandung dalam motif Tambat manuk,

Kiarak nyulur, Siku remaung, dan Pangkak; (d) Segitiga sama kaki yang

terkandung dalam motif Angkong; (e) Persegi yang terkandung dalam motif bunga

tekembai; (f) Belah ketupat yang terkandung dalam motif Ati lang; (g) Layang-

layang yang terkandung dalam motif Berangan Lang; (h) Simetri; (i) Segi 8
66

beraturan yang terkandung dalam motif Siluk langit dan Bulan; (j) Lingkaran yang

terkandung dalam motif Sulau. Aktivitas masyarakat yang bermuatan

etnomatematika ini dapat dikembangkan sebagai sumber belajar matematika

sekolah yang kontekstual-realistik.

2.6.2 Studi Kualitatif Tentang Aktivitas Etnomatematika Dalam


Kehidupan Masyarakat Tolaki
Penelitian ini dilakukan oleh Sitti Fatimah S. Sirate pada tahun 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan berbagai bentuk kegiatan

etnomatematika yang ada pada masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara. Hasil

penelitian menunjukkan

etnomatematikapadaetnisTolakitergambarpadaenamaktivitasmasyarakat.Keenamak

tivitastersebutyaknipertama,aktivitasmembilangyangberkaitandengan

pertanyaan“berapa

banyak”,sepertiyangterdapatpadaupacarapepokolapasiaterdapatungkapankata-

katamembilangdalammenandaijumlahdo’atahlilyangdiucapkan.Kedua,aktivitasmen

gukurberkaitandenganpertanyaan“berapa”(panjang,lebar,tinggi,waktu/la

ma,jumlah/banyak).Beberapaalatukurstandarmaupuntradisionalmasihdapatdijumpai

padamasyarakatTolaki,selainitupenggunaananggotabadan(tangan,bahu)masihdigun

akandalammelakukanpengukuran.Sejumlahaktivitasmasyarakatpadaberbagaiprofesi

seperti:petani,tukangkayu,penjahitdankegiatanprofesionallainnya,memilikikeahlian

tersendiridalamhalpengukuran.Ketiga,aktivitasmenentukanlokasiberhubungandeng

anruteperjalanan,menentukanarahatautujuanpulangdengancepat dantepat

denganmemberikankodeatausimboltertentudalammenentukanbatas-

bataswilayah,ladang,sawah,dankebun.Keempat,aktivitasmerancangbangun.Kegiata
67

niniberhubungandengansemuabenda-benda budayauntukbeberapa

keperluanseperti:rumahtinggal,perdagangan,perhiasan,peralatanpeperangan,permai

nan,dantujuankeagamaan.Nilaimatematikadarikegiataniniberkaitaneratdengandime

nsi.Kelima,aktivitasbermain(tradisional/rakyat).Dalampermainanlamari,disko,robot

memilikiaturanpermainanyangsamayaitujumlahpemain yang

genapdimulaidari2,4,6,danseterusnya.Nilaimatematikayangdapatdiperolehdariperm

ainaniniberkaitandenganpokokbahasankelipatan dan faktor bilangan,selain

itupolapermainaninimemilikisejumlahbangungeometridandapatmerupakansalahsatu

alatperagadalammengenalkankonsepbangundatarpadasiswasekolahdasar.Sedangka

npermainanbagulimemilikiaturanjumlahpemainyangcenderungganjil,nilaimatemati

kayangterdapatpadapermainaniniyaitu:membandingkandanmengurutkanbilanganbu

lat,melakukanoperasipenjumlahandanperkalianbilanganbulat,pengenalanbilanganas

li,pengukurandenganmenggunakankonsepkelilingdanluas.Keenam,aktivitasmenjela

skan(penjelasan)merupakankegiatanyangmengangkatpemahamanmanusiayangberk

aitandenganpengalamanyangdiperolehdarilingkunganyangberkaitandenganpertanya

an“mengapa”keberhasilanyangsatumerupakankuncikeberhasilanyanglain.

2.6.3 Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo

Penelitian ini dilakukan oleh Inda Rachmawati pada tahun 2012.Penelitian

ini bertujuan mendeskripsikan hasil eksplorasi etnomatematika masyarakat

Sidoarjo dengan jenis penelitian eksplorasi serta pendekatan etnografi. Data

penelitian diperoleh dari studi kepustakaan, pengamatan, wawancara, dan

dokumentasi. Informan terdiri dari 8 juru kunci candi dan prasasti, 2 penjual

gerabah dan peralatan tradisional, 1 penjual buah-buahan, 2 penjual ikan, 1

pengepul ikan, 1 pejabat Dinas Pertanian, seorang penyuluh pertanian, 2 pengusaha


68

batik tulis, 1 pengusaha kain bordir, serta 3 anak yang sedang memainkan

permainan tradisional. Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa tanpa mempelajri

konsep matematika masyarakat Sidoarjo telah menerapkan konsep-konsep tersebut

dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan etnomatematika.Terbukti adanya

bentuk etnomatematika masyarakat Sidoarjo yang tercermin melalui berbagai hasil

aktivitas matematika yang dimiliki dan berkembang dimasyarakat Sidoarjo,

meliputi konsep-konsep matematika pada :

a. Peninggalan budaya berupa candi dan prasasti berupa bentuk-bentuk geometri

dalam pembangunan bagian-bagian bangunan candi, diantaranya model

bangun datar, meliputi persegi, persegipanjang, trapesium, segitiga, segitiga

samakaki, segitiga sama sisi, segilima, serta belah ketupat, model bangun

ruang, meliputi kubus dan balok, model sifat matematis, meliputi sifat simetris,

dan konseptranslasi (pergeseran), serta pola dilatasi persegi pada bagian dalam

atap candi yang membentuk deret aritmatika.

b. Gerabah dan peralatan tradisional berupa bentuk dasar irik, kalo, serta ebor

yang berbentuk setengah bola dengan tepian berpola lingkaran, layah (cobek)

berbentuk lingkaran,entong berbentuk elips, capil berbetuk kerucut,ilir dan

kelasa berbentuk persegi panjang, serta benda peninggalan budaya lainnya

yang memiliki bentuk-bentuk geometri.

c. Satuan lokal yang dipraktikkan di Sidoarjo, diantaranya satuan lokal bahan

makanan, meliputi satuan sajumput dan sacakup untuk satuan cabai, unting

untuk satuan ikat kangkung, sawi, maupun kacang panjang, dompol/ombyok

untuk satuan tunggal petai, tundun serta cengkeh untuk satuan tunggal pisang,

serta sejinah untuk satuan setiap 10 biji jagung, ataupun kue dan makanan-

makanan tertentu. Satuan lokal bibit ikan, yaitu Rean. Rean merupakan satuan
69

lokal bibit ikan bandeng, lele, udang dan ikan budidaya lainnya di daerah

pesisir Sedati dan Buduran, Sidoarjo. 1 Rean sama dengan 500 bibit ikan.

Satuan lokal sawah, yaitu bata. 1 bata sama dengan 14 m

d. Motif batik dan bordir Sidoarjo diantaranya konsep lingkaran, garis lurus dan

garis lengkung, simetris, refleksi, dilatasi, translasi,serta rotasi.

e. Beberapa jenis permainan tradisional Sidoarjo, antara lain hompimpa, suit,

jangklet (engklek), jantengan (bola bekel), lompat tali, bermain pasir, pasaran,

sengidanan (petak umpet), dan dakon.

2.6.4 Identifikasi Pembelajaran Matematika dalam Tradisi Melemang di


Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi
Penelitian ini dilakukan oleh Wahyu Fitroh dan Nurul Hikmawati Pada

tahun 2015.Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasiselengkap

mungkin mengenai implementasi etnomatematika dalam pembelajaran matematika.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kegiatan melemang yang dilakukan di

Kerinci yaitu pada Masyarakat Tiga Desa (Koto Lolo, Koto Bento, Koto Tengah)

Kecamatan Persisir Bukit dengan menggunakan bambu, dimana bambu yang

digunakan adalah bambu yang tidak tua ataupun lebih muda tetapi sering disebut

bambu yang lagi rimbun pucuk atau daun bambu hanya dibagian pucuk bambu,

selain itu juga bambu yang dipilih adalah yang tipis bukan jenis yang tebal dan

bukan juga terlalu tipis karna mudah terbakar.. Bambu tersebut mempunyai ruas-

ruas yang dibatasi oleh bukunya untuk masing-masing ruas biasanya untuk satu

batang bisa diambil 5-7 ruasnya dengan panjang ruas antara 60-75cm serta
70

diameter lobang bambu 4,5-6cm, bambu yang telah dipotong dengan meninggalkan

batas ruas untuk bagian bawah saja dan membuang batas bagian atas disebut Buluh

dan buluh inilah digunakan untuk melemang yang memiliki bentuk bulat memiliki

ruang kosongnya juga bulat serta tutup bagian bawah oleh bukunya sendiri serta

terbuka dibagian atas yang bisa kita sebut sebagai tabung terbuka atau tabung tanpa

tutup. Jadi buluh melemang merupakan tabung tanpa tutup.

Pada bagian ini daun pisang yang telah dipanaskan untuk menjaga supaya

tidak mudah sobek diukur berdasarkan panjang satu ruas bambu yang digunakan

membentuk jaring tabung dan dibulatkan dengan menggunakan pelepah pisangnya

untuk mempermudah memasukan jaring tersebut kedalam bambunya Disamping

buluh sebagai tabung tempat memasukan ketan sebelumnya buluh tersebut harus

diberi lapisan dimana lapisan yang digunakan adalah daun pisang juga yang bukan

daun pisang yang terlalu tua ataupun terlalu muda dikarenakan lebih mudah sobek,

sebelum daun pisang bisa digunakan untuk melapisi buluh lemang tersebut terlebih

dahulu dipanaskan dengan barapa api agar lebih tahan dari sobekan. Daun pisang

yang telah dipanaskan diukur menurut panjang buluh dan lingkaran dari buluh

tersebut maka daun pisang tersebut merupakan jaring-jaring pada tabung karena

berbentuk persegi panjang serta dibulat dengan menggunkan pelepah daun pisang

untuk membantu memasukan kedalam buluh. Daun pisang diukur menurut panjang

baluh dan dilebihkan 4-5cm sebagai penahan keluarnya ketan dan santan disaat

dibakar nantinya.

Selanjutnya setelah daun pisang dimasukan kedalam bambunya dengan

rapi, berikutnya mengisi bambu dengan beras ketan (ketan putih, ketan hitam, ketan

merah) dan bisa juga dicampur dengan buah labu maupun pisang untuk mendapat

rasa yang lain. Pekerjaan mengisi buluh tersebut berarti kita menentukan berapa
71

banyak ketan yang dimasukan untuk satu batang buluh dengan diameter lingkaran

buluh 4,5 cm dan tinggi 50cm dapat menampung beras ketan 0,6 kg dan 0,4 kg

santan kelapa. Dalam proses pegisian buluh lemang dengan beras ketan harus disi

dengan padat serta jarak dari bibir buluh sekitar 2 cm dan mengisi santan kelapa

yang telah diberi garam secukupnya sebatas bibir buluh karena ada daun pisang

untuk mengatasi tumpahnya santan kelapa dengan kata lain santan kelapa diisi

lebih tinggi dari kedudukan beras ketan namun tidak melebihi dari tinggi daun

pisang didalam bulu lemang. Setelah buluh lemang diisi maka berikutnya adalah

proses pembakaran lemang yang sebelumnya dibuat (anggo lemang) atau tempat

meletakan lemang-lemang saat dibakar yang tingginya ¾ dari tinggi rata-rata buluh

lemang yang digunakan dan berbentuk ring atau gawang pada permain bola kaki

yang terbuat dari bambu dan diberi lobang untuk memasukan air kedalam anggo

tersebut dengan maksud agar tidak mudak terbakar disaat proses pembakaran

lemang, Proses pembakaran lemang dengan menggunakan kayu bakar yang

memiliki bara yang bagus seperti sabut kelapa, kayu bakar dari batang casiavera

dan lain-lain agar mendapat api yang rata dan bara yang baik dalam pembakaran

lemang ini memerlukan waktu sekitar 4-5 jam dan proses pembakarannya sama

halnya dengan memasak nasi dimana setelah mengalami keadaan mendidih

diperkirakan ketan sudah lembut maka tidak digunakan api melainkan baranya saja

untuk mengeringkan lemang. Ini merupakan bentuk penerapan dalam menghitung

volume tabung.

Jadi tradisi melemang masyarakat Kerinci merupakan kegiatan menerapkan

konsep matematika menggunakan etnomatematika pada materi Tabung. Tradisi

melemang ini dapat dijadikan alternatif pembelajaran matematika di luar kelas serta

dijadikan bahan rujukan sebagai pemecahan masalah matematika kontekstual


72

khusus pada materi Tabung siswa Sekolah Menegah Pertama Semester 2 Kelas

VIII.

Anda mungkin juga menyukai