Anda di halaman 1dari 6

Aku, Van Gogh, dan Abah

Aku dan melukis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kecintaanku pada dunia
lukis berawal saat usiaku 4 tahun, sejak aku mulai menyukai serial kartun Nickelodeon
berjudul Chalk Zone. Dari situ aku mulai mengenal hingga begitu menggandrungi sosok
pelukis dari Netherland, Van Gogh dan tentunya karya-karyanya, terutama karya lukisnya
yang berjudul The Starry Night. Di serial kartun tersebut, sosok tokoh utamanya, Rudy
Tabuti, juga sama-sama mengidolai pelukis Van Gogh. Meskipun sudah sejak lama kutekuni
hobi melukisku ini, namun abah tidak pernah mendukung hobi melukisku, apalagi sampai
memfasilitasinya. Tidak hanya melukis, seni-seni lainnya pun sama. Abah melarangku
menekuninya. Entah apa sebabnya. Ironinya padahal kami tinggal di sebuah kampung yang
begitu terkenal dengan kegiatan-kegiatan seni dan pelestarian nilai-nilai budaya di Kabupaten
Bandung, yaitu kampung Jelekong, Baleendah.
“Riyan, besok Minggu main ke rumahku ya. Nanti kuajak ke tempat mang Eha, dekat
dari rumahku. Di sana ada banyak lukisan bagus banget. Kamu pasti suka!” Seru Ramdan
membuyarkan lamunanku.
“Eh gimana, gimana? Lukis? Di mana? Kapan? Eh... Kamu ngomong apa sih barusan,
Dan?” Tanyaku kaget dibarengi penasaran dan antusias karena sependengaranku tadi Ramdan
menyebut kata “lukis”. Dia hanya memberikan isyarat padaku untuk mengecek HP. Ternyata
sebelumnya dia sudah mengajakku melalui pesan singkat WhatsApp, lengkap dengan lokasi
yang sudah dia tautkan.
“Ooh, ini masih deket sama rumahmu atuh, Dan. Siaplah pokonamah, aku ikut!”
Jawabku begitu antusias saat kutahu bahwa lokasi lukisan-lukisan itu tidak terlalu jauh dari
rumahku karena aku dan Ramdan masih satu kampung. Saking antusiasnya, aku tak sadar
bahwa bu Suci, guru matematikaku, dari tadi sudah duduk di kursi guru depan kelas sambil
menatap ke arah ku.
Minggu pagi, aku segera bersiap untuk pergi ke lokasi yang sudah dibagikan Ramdan.
Tak lupa aku izin pada abah dan emak. Beruntung sekali aku karena abah dan emak
mengizinkanku. Mungkin karena sebenarnya aku agak berbohong sedikit dengan hanya
mengatakan akan bermain ke rumah teman sekelasku, Ramdan.
Tiba di lokasi, aku begitu terbelalak ketika melihat ada potret lukisan wayang Cepot
setinggi kurang lebih dua meter yang seolah menunggu kehadiranku. Semakin aku terbelalak
dan terpesona ketika kulihat di sekelilingku ada begitu banyak lukisan-lukisan hasil karya
seniman-seniman sanggar Jelekong yang tak kalah bagusnya dengan lukisan-lukisan pelukis
nasional dan dunia menurutku. Bahkan ada beberapa lukisan yang gayanya menyerupai gaya
lukisan Van Gogh, maestro lukis yang begitu kukagumi. Meskipun sudah belasan tahun aku
tinggal di sekitar sini, baru kali ini aku menyaksikan dengan begitu dekat lukisan-lukisan di
galeri kampung Jelekong.
“Oy Riyan, sini cepetan! Aku dari tadi nunggu.”
“Eh.. i.. i.. iya,” jawabku ragu karena masih ingin berlama-lama memandangi lukisan.
“Ayo bantu aku dan mang Eha angkut lukisan-lukisan ini ke bak mobil. Ini semua
mau dibawa ke pameran seni di Jakarta. Nanti kalau lukisannya ada yang beli, kita pasti
kecipratan, asal kamu bantuin, jangan bengong doang,” jelas Ramdan buru-buru karena
kesulitan mengangkat salah satu lukisan yang cukup besar.
“Oh iya hayu sini,” sambutku segera, “Emang siapa yang bakal beli lukisan-lukisan
karya warga sini, Dan?” lanjutku masih penasaran.
“Eitss.. Jangan salah. Banyak kolektor seni lukis atau penikmat seni yang berani
menghargai lukisan asli Jelekong jutaan rupiah. Bahkan dulu, semasa seni lukis murni masih
begitu diminati, kata mang Eha ada yang tembus sampai ratusan juta rupiah. Karya seniman
asli Jelekong itu, Yan!” sanggah Ramdan dari atas bak mobil.
“Masya Allah! Seriusan, Dan! Aku juga mau bisa kayak begitu ah! Nanti
pemasarannya kuserahkan kamu aja, Dan. Kamu jadi manajerku. Hehehe.” kelakarku.
“Halaaahh. Pikirkan dulu tuh abahmu! Kayak bakal dapat restu saja. Jangan sampai
kamu jadi pelukis sukses tapi malah durhaka ke orang tua loh,” ledek Ramdan begitu
nyelekit.
Tiba-tiba abah menelepon dan menyuruhku untuk segera pulang dengan nada
tingginya. Aku harus bergegas. Sepertinya abah tahu bahwa aku pergi untuk melihat lukisan-
lukisan ini. Dengan hati yang tidak tenang aku segera tancap gas menuju rumah.
Benar saja, abah sudah menungguku di teras rumah. Abah langsung menarik tanganku
dan menyuruhku duduk di ruang tamu. Tidak seperti biasanya, bukannya marah, tetapi reaksi
pertama abahku adalah menangis.
“Sudah berapa kali abah bilang, cari hobi yang lain! Keluarga kita tidak pernah
berjodoh dengan hal-hal berbau seni. Abah tidak mau dikecewakan lagi oleh orang yang
abah sayangi. Sekarang karena kamu sudah cukup besar, abah kasih tahu kamu. Dulu
sewaktu kamu masih di kandungan, mamangmu, mang Aleh meninggal dunia. Kamu tahu
penyebabnya apa?” gantung abah.
(Aku bergeming)
Sambung abah, “Mang Aleh over dosis narkoba. Dia jadi pemakai karena begitu
cintanya ia dengan seni lukis dan wayang golek. Alasannya katanya dari narkobalah dia
mendapatkan ide dan inspirasi yang berguna untuk mengembangkan karya seni lukis dan
wayang goleknya. Padahal abah sudah wanti-wanti dari awal karena abah tahu bahwa dunia
seniman itu ujiannya begitu besar dan berbahaya. Mereka begitu bebas seolah tanpa aturan.
Bahkan ketika abah menasihati mang Aleh sebelum aki dan nini tahu soal ini, mang Aleh
dengan kasarnya membantah dan mendorong abah. Tapi abah yakin itu bukan mang Aleh
yang sebenarnya, melainkan syaitan yang menguasai diri mang Aleh akibat kesadarannya
hilang gara-gara narkoba.” Jelas abah yang begitu terpukul.
“A.. abah. Riyan minta ampun.” Sesalku begitu mendalam. Baru kutahu alasan abah
melarang hobiku dikarenakan trauma yang begitu mendalam. Akupun memeluk abah sambil
terus memohon maaf. Emak dari dalam rumah menghampiri dan memelukku. Kami bertiga
sesenggukan saling merasakan kesedihan satu sama lain. Abahpun seperti berusaha lebih
memahami diriku setelah peristiwa ini.
“Riyan, kalau kamu memang suka sekali melukis, abah harap kamu perdalam lebih
dulu ilmu agamamu. Kamu isi wawasan dan ruh-mu dengan bekal-bekal ukhrowi supaya
kamu tidak terjebak dengan kesesatan duniawi. Abah dan emak berencana memasukkan
kamu ke pesantren supaya kamu memiliki pondasi yang kuat dan cara pandang yang lebih
matang sebelum kamu memutuskan ingin jadi apa kamu suatu hari nanti. Sekalipun kamu
memilih tetap berkarya seni, selagi itu didasari pemahaman agama yang baik, insyaallah abah
merestuinya.”
“Baik, Abah. Riyan akan memenuhi keinginan dan harapan Abah. Riyan berterima
kasih atas pengertian Abah. Tapi mulai hari ini Riyan nggak bakal keukeuh memaksakan
kehendak Riyan terkait apapun, apalagi kalau sampai hanya akan membuat Riyan jadi anak
yang durhaka kepada Abah dan Emak.” Jawabku tanpa ragu.
***
Tak terasa dua pekan sudah lamanya aku menimba ilmu di pesantren Al Ilham,
pesantren yang dipilihkan abahku. Hampa, kosong, bosan, bahkan ingin sekali rasanya kabur
dari tempat ini. Tempat yang kini kudiami sebenarnya penuh dengan aura yang positif. Setiap
pagi, sore, dan malam selalu ada kegiatan pengajian dan majelis ilmu. Namun tetap saja aku
tidak betah dan bosan. Bahkan nilai akademikku jelek. Padahal semasa SD nilai-nilaiku
selalu hampir sempurna. Semua target yang sudah kupatok tidak ada yang bisa kucapai.
Mulai dari pelajaran umum, pelajaran kepesantrenan, hingga hafalan quran dan hadist yang
diamanahi oleh orang tuaku untuk ditekuni, semuanya seolah gagal.
Di tengah-tengah situasiku yang cukup terpuruk ini, aku berusaha keras mencari jalan
keluar. Meski semakin kucari justru semakin sulit saja keadaanya. Sampai akhirnya aku
bertemu ustadz Gaza. Beliaulah yang menjadi “malaikat penyelamatku”. Ustadz Gaza adalah
guru mata pelajaran khat imla’ dan seni. Melalui kelas beliaulah bakatku dalam seni rupa
hidup kembali. Beliau begitu peka dan akomodatif mewadahi bakat setiap santri.
“Riyan, lukisan-lukisanmu bagus sekali. Kemampuan penulisan arabmu juga sangat
indah. Bagaimana jika kedua seni itu dikolaborasikan? Selain itu setelah ustadz lihat karya-
karyamu, nampaknya ada beberapa yang perlu ustadz berikan saran karena rawan
menimbulkan perdebatan di mata hukum fikih. Alangkah baiknya jika kemampuan berseni
dan berbudaya kita tetap memerhatikan kaidah-kaidah nilai dan norma. Dalam hal ini
khususnya nilai dan norma Islam.” Sapa ustadz Gaza yang menemukan beberapa karyaku
tercecer di asrama.
“Oh, begitu ya ustadz. Tapi saya kurang pandai membuat dekorasi kaligrafi, stadz.
Saya juga masih belum mengerti cara mengolaborasikan antara aliran lukisan saya dan seni
kaligrafi. Emang boleh ya, stadz?” Sahutku psimis.
“Tentu boleh, Riyan. Apalagi kalau melihat teknik kaligrafi kontemporer para
seniman kaligrafi saat ini seolah sudah mengizinkan kita memadukan unsur seni kontemporer
dengan seni kaligrafi klasik sekalipun. Nah, dari corak lukisanmu sepertinya kamu
terinspirasi dari pelukis Van Gogh ya? Bisa kok keduanya dikolaborasikan. Nanti saya bantu
perkuat dalam hal penulisan kaligrafinya.” Jelas ustadz Gaza.
“Wah, ustadz tahu Van Gogh juga? Alhamdulillah, boleh deh stadz. Ajari saya ya,
stadz.”
“Insyaallah. Oh, ya dua bulan lagi akan ada kompetisi kaligrafi MTQ. Kalau kamu
bisa konsisten dan mau terus berlatih insyaallah nanti kamu saya ajak ikutan mewakili
pesantren di tingkat kecamatan. Soalnya sejauh ini saya belum melihat ada santri lainnya
yang memiliki kemampuan kaligrafi dan seni sebagus kamu.”
Waktu demi waktu berlalu. Semenjak minat dan bakat Riyan terwadahi, perlahan
target-target Riyan pun tercapai. Motivasinya untuk menimba ilmu di pesantren telah
kembali. Apalagi setelah dia dipercaya mewakili pesantren di berbagai lomba kaligrafi dan
seni lukis hingga menjadi langganan juara di tingkat provinsi maupun nasional. Tidak hanya
itu. Berkat beberapa pengamat seni yang mengapresiasi dan mempromosikan karya kaligrafi
Riyan yang begitu unik dan indah, kini Riyan mulai banyak menerima pesanan lukisan
kaligrafi. Tulisan kaligrafi yang dipadukan dengan aliran dekorasi yang begitu unik khas
corak lukisan Riyan, menjadikan karyanya memiliki nilai pembeda dan nilai jual yang begitu
tinggi. Luar biasanya lagi, di tengah kesibukannya itu, Riyan justru semakin mampu
mengejar target awalnya di pesantren. Riyan telah mampu mencapai hafalan 5 juz dan
konsisten mendapat nilai tinggi di berbagai pelajaran.
Tiba waktunya akhir semester 1. Semua orang tua santri diundang ke pesantren untuk
pembagian rapor santri. Begitu juga dengan abah dan emak yang semangat untuk berjumpa
dengan anak semata wayangnya. Langsung kupeluk dan kusalami keduanya. Begitu haru
suasana yang saat ini kurasakan. Setelah itu abah dan emak kuantarkan ke ruang pengambilan
rapor untuk bertemu dan berkonsultasi dengan wali kelas.
“Assalamualaikum, bapak ibu, perkenalkan saya Ratih, wali kelasnya Riyan.
Alhamdulillah sudah sangat banyak prestasi yang Riyan raih. Perkembangan Riyan selama
satu semester ini sangat pesat. Awalnya memang sempat mengalami kesulitan, namun setelah
Riyan menemukan bakatnya, berkat bimbingan ustadz Gaza, Riyan menjadi semakin
berkembang dan bahkan mengalami kemajuan di hampir semua bidang. Bapak pasti sangat
bangga memiliki anak sebaik dan setaat Riyan. Bapak mungkin tadi sempat melihat di
lorong-lorong sekolah, di sana dipampang karya-karya Riyan. Luar biasa ya, pak anak seusia
Riyan sudah bisa mencari uang sendiri tanpa mengganggu kesibukannya di sekolah. Saya
kaget begitu tahu karya lukisan kaligrafi Riyan sampai bernilai jutaan rupiah.”
“Waduh, gawat, aku lupa mengabari bu Ratih agar tidak memberi tahu abah dan emak
tentang itu semua,” gumamku. “Kulihat ekspresi abah, sumringah tapi berkaca-kaca.”
“Benarkah ustadzah? Alhamdulillah. Sebelumnya saya sangat khawatir dengan hobi
anak saya. Tapi ternyata Riyan mampu menjalankan amanah yang saya berikan. Saya
bersyukur menyekolahkan Riyan di sini. Saya sadar bahwa ternyata seni dapat
dikolaborasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga bisa menjadi sarana dakwah. Tapi saya
baru tahu bahwa anak saya berprestasi sebanyak itu dan sudah bisa menghasilkan uang
sendiri dari hasil karyanya.” Kata abah lirih.
“Ampun abah, emak, Riyan nggak bermaksud kurang ajar merahasiakan semuanya.
Tadinya Riyan memang khawatir kalau abah marah lagi dan menyangka ini semua hanya
akan membuat Riyan jadi tidak fokus di pesantren. Padahal justru inilah caranya agar Riyan
menemukan kenyamanan dan betah di sini. Alhamdulillah target-target Riyan justru bisa
tercapai setelah menekuni lagi hobi yang selama ini Riyan tinggalkan. Oh ya, Riyan lupa,
semua uang yang sudah terkumpul insyaallah sudah Riyan niatkan untuk kita bertiga
berangkat umrah. Semoga abah dan emak nggak kecewa sama Riyan.”
Dengan peristiwa ini, abah berangsur-angsur melupakan traumanya. Abah kini mulai
menerima bahwa seni belum tentu selalu berkaitan dengan keburukan. Seni dan budaya dapat
bersandingan dengan nilai dan norma kebaikan, bahkan bisa saling menyempurnakan.
Biodata Penulis
Nama lengkap : Imas Mardiah
Jenis kelamin : Perempuan
Asal sekolah : SMP Inspiratif

Anda mungkin juga menyukai