Anda di halaman 1dari 146

CHARACTER BUILDING :

AGAMA (CHAR6015)

Oleh: TIM CBDC

Character Building Development Center (CBDC)


Universitas Bina Nusantara - Jakarta

Februari 2022

1
DAFTAR ISI

Topik 1 : Introduction to CB Religion 3

Topik 2 : The Religion in General 19

Topik 3 : Knowing What or Who God is 28

Topik 4 : Criticism to the Religious Formalism 42

Topik 5 : Religion and Contemporer Issues 48

Topik 6 : Religion and Science Dialogue 58

Topik 7 : Being Religious Life in Digital Era 66

Topik 8 : Conscience as the Basis for Ethical 72


Review

Topik 9 : Tolerance and Inter-Religious 86


Cooperation for World Peace

Topik 10 : Willing to Forgive 95

Topik 11 : Caring for The Environment 109

Topik 12 : Work Religiosity 121

Topik 13 : Becoming a Religious Person 137

2
Topik 1
INTRODUCTION TO CB RELIGION

Learning Outcome:
LO1: Explain the nature of religions and the God in general
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan pengertian karakter, kaitannya dengan nilai, dan proses pembentukannya.
• menguraikan karakter baik yang mencakup pengetahuan, keinginan, dan tindakan.
• menjadikan agama sebagai sumber ajaran nilai moral bagi pembentukan karakter.
• mempraktekan hidup beriman dan beragama secara kritis-rasional, inklusif-toleran.

A. PENDAHULUAN
“Character Building: Agama” merupakan nama salah satu matakuliah yang diajarkan kepada
seluruh mahasiswa di Universitas Bina Nusantara (Binus). Hal yang utama dalam pembelajaran matakuliah
ini adalah upaya menginternalisasikan nilai-nilai dasar dan universal yang terkandung dalam agama-
agama, seperti: kasih, kepedulian, kejujuran, keadilan, kesediaan memaafkan, kerelaan berkorban, dsb.
Upaya internalisasi nilai-nilai rohani-religius ini dilakukan dengan cara mengedepankan pemikiran kritis-
rasional untuk mengembangkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan yang lebih sesuai dengan
kemajuan peradaban manusia yang semakin kompleks dan mengglobal.
Dalam matakuliah yang diberi nama “Character Building: Agama” terdapat dua hal yang memiliki
arti atau makna sendiri-sendiri, namun keduanya digabungkan menjadi satu yakni ‘karakter’ dan ‘agama’.
Judul utamanya adalah “Character Building”, yakni pembentukan atau pendidikan karakter, tapi sumber
pendalamannya diambil dari atau diinspirasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam agama-agama. Oleh
karena itu maka pada bagian pengantar ini perlu disampaikan penjelasan penting tenta ng keduanya
beserta hubungannya dalam kaitan dengan pendidikan karakter yang dilaksanakan di Universitas Bina
Nusantara. Dalam penjelasan yang akan diberikan, terutama tentang karakter, tidak akan dibeberkan
penjelasan yang terlalu ilmiah-teoritis yang memiliki akarnya pada zaman Yunani Kuno dalam pandangan
filsafat, khususnya filsafat moral, yang kemudian terus berkembang memunculkan banyak kajian teoritis
aplikatif yang menyasar berbagai bidang praksis kehidupan manusia. Cukup diberikan penjelasan
sederhana yang mudah dipahami dan diaplikasikan dalam penghayatan dan praksis hidup nyata sehari-
hari.

3
Istilah ‘karakter’ memiliki arti atau pengertian yang berbeda-beda, tergantung konteks
penggunaannya. Dalam bahan ini istilah karakter dimaksudkan adalah hal yang berkaitan dengan sikap dan
perilaku yang baik, terkait dengan moralitas, tentang hal baik dan buruk secara moral. Karakter terkait
dengan nilai-nilai, terutama nilai moral, yakni sesuatu yang dihargai, dipelihara dan dijunjung tinggi dalam
kehidupan bersama. Secara sederhana, nilai-nilai yang telah berhasil terinternalisasi dengan baik dalam
diri atau kehidupan manusia itulah yang dapat disebut sebagai karakter. Kemudian karakter inilah yang
diharapkan dapat berperan menjadi pengendali atas pandangan, sikap dan perilaku seseorang dalam
kehidupannya. Sementara itu agama merupakan nama dari suatu institusi yang berkaitan dengan
keberimanan pada Allah, yang berbentuk organisasi, yang sifatnya duniawi dan ilahi sekaligus 1 . Agama
merupakan wadah kaum beriman, tempat dimana iman diperlihara, dijaga, dibina, dipraktekkan,
diluruskan, diwartakan, dirayakan dan diwariskan (Gea, 2004: hal. 67). Dengan demikian maka Character
Building: Agama tidak lain adalah suatu upaya sadar dan sengaja, yang dilakukan Binus untuk terus
menginternalisasikan nilai-nilai dasar dan universal yang terkandung dalam agama-agama agar menjadi
karakter bagi para mahasiswa dan lulusannya.

B. PEMBAHASAN
1. Nilai dan Karakter
Berbicara tentang karakter tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang nilai, karena keduanya
memilik kaitan erat. Bahkan bisa dikatakan karakter tidak lain adalah nilai-nlai yang telah berhasil
terinternalisasikan atau terpaktri dengan baik dalam diri seseorang, yang telah menjadi bagian dari
hidupnya, yang melekat pada dirinya, telah menjadi pola hidupnya, menjadi habit dan budaya pribadinya.
Maka pendidikan karakter sebenarnya tidak lain adalah pendidikan nilai, suatu usaha menanamkan nilai
dalam diri atau kehidupan seseorang.
a. Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berkonotasi positif, sesuatu yang baik, yang dihargai, hal yang penting
dalam kehidupan. Hal-hal seperti kejujuran, tanggung jawab, keadilan, respect, dan sebagainya merupakan
nilai-nilai yang terus dipelihara, dijunjung tinggi, yang terus dibela dan diperjuangkan terwujudnya dalam
kehidupan bersama (Gea, 2006: hal 144-145). Ancaman terhadap hal-hal itu dirasa sebagai ancaman bagi
kehidupan itu sendiri, karena nilai-nilai seperti itu merupakan hal yang menyatu dengan kemanusiaan itu

1
Agama disebut institusi yang sifatnya duniawi dan ilahi sekaligus karena struktur organisasi keagamaan umumnya
memiliki kesamaan dengan struktur organisasi-organisasi lainnya di dunia ini; namun agama, selain berurusan
dengan masalah-masalah duniawi, juga berurusan dengan hal-hal terkait kehidupan di akhirat, kehidupan yang
didapatkan setelah kehidupan di dunia ini berakhir.
4
sendiri. Nilai yang dimaksudkan disini adalah terutama nilai moral, yang menentukan baik-buruknya
seseorang dari sudut moral.
Nilai memiliki semacam jiwa atau daya, yang seakan-akan berseru-seru memanggil-manggil
kehendak orang untuk mengakuinya dan menghargainya. Nilai keindahan, umpamanya, yang terkandung
dalam sebuah lukisan, tidak tinggal diam, dia punya daya, yang terus memancarkan seruan, meminta orang
agar tidak membiarkannya, tidak menyembunyikannya dalam sebuah kardus dan menyembunyikannya di
bawah kolong tempat tidur, atau di dalam gudang atau lemari. Dia mendesak kehendak orang untuk
membingkainya dan memajangnya atau menggantungnya di tempat yang dengan mudah bisa dilihat
orang, agar orang yang melihatnya mengagumi dan menikmatinya keindahannya. Begitu juga suatu nilai
keindahan yang terbentang dalam sebuah taman bunga. Nilai keindahan yang ada disitu seakan-akan
berseru-seru meminta kesediaan orang untuk tidak merusaknya dengan menginjaknya atau
mengotorinya. Dan begitu seterusnya, nilai itu, yang selalu positif, s esuatu yang baik, yang indah, yang
berkualitas, seakan memiliki daya, memancarkan seruan, memanggil-manggil kehendak orang untuk
menghargainya, mengagumi dan menikmatinya, dan tidak malah merusak atau menghancurkannya. Untuk
suatu nilai moral, daya seruan atau desakan itu jauh lebih kuat lagi. Kalau nilai keindahan seperti yang
terkandung dalam lukisan atau yang terbentang dalam suatu taman, kalau kita mengabaikannya atau tidak
menghargainya, kita tidak terlalu merasa bersalah karenanya. Beda halnya dengan nilai moral, seperti
kejujuran, tanggungjawab, keadilan, dan semacam itu, kita tidak akan tenang selama hal-hai itu kita
abaikan atau melanggarnya.
Nilai umumnya terbagi dua yakni nilai moral dan nilai yang non-moral. Ada banyak hal yang kita
pandang sebagai bernilai, yang positif, yang dipandang baik, seperti nilai estetis, nilai kebersihan dan
kerapian, keberhasilan dalam usaha, dsb. Semua hal-hal itu memiliki nilai kebaikan, namun bukanlah
termasuk nilai moral. Kalau kita gagal atau tidak berhasil dalam mewujudkan hal-hal itu dalam kehidupan,
kita tidak otomatis menjadi buruk sebagai manusia. Beda halnya kalau kita melanggar kejujuran,
mengabaikan tanggungjawab, bertindak tidak adil, dsb, semua itu menunjukkan bahwa kita buruk sebagai
manusia. Jadi inilah kekhasan nilai moral itu, kita baik sebagai manusia ketika kita memelihara, menjunjung
tinggi dan mewujudkannya dalam kehidupan kita. Sebaliknya, kita menjadi manusia buruk manakala kita
mengabaikan atau melangggar hal-hal itu dalam praktek keseharian kita.
Nilai moral, seperti kejujuran, tanggungjawab, keadilan adalah hal-hal yang dituntut dalam
kehidupan. Kita akan merasa dituntut atau didesak untuk menepati janji, membayar berbagai tagihan,
memberi pengasuhan kepada anak-anak, dan berlaku adil dalam memperlakukan orang-orang yang
bekerja pada kita. Nilai-nilai moral meminta kita untuk melaksanakan apa yang memang sebaiknya kita
lakukan. Kita harus melakukannnya bahkan kalau sebenarnya kita tidak ingin melakukannya. Sedangkan
nilai-nilai non-moral tidak membawa tuntutan seperti itu (Lickona, 2016: hal 61-62).
5
b. karakter
Aristoteles, mendefinisikan karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-
tindakan yang baik dan benar sehubungan diri sendiri dan orang lain. Jadi karakter kehidupan memiliki
dua sisi, yakni: Perilaku baik dan benar sehubungan dengan orang lain dan dengan diri sendiri. Kehidupan
yang berisi kebajikan berorientasi orang-lain, seperti: keadilan, kejujuran, cinta; dan kebajikan
berorientasi-diri sendiri, seperti: kerendahan hati, ketabahan, kontrol diri, mengusahakan yang terbaik
daripada menyerah pada kemalasan (Lickona, 2012: hal. 21). Filsuf kontemporer, Michael Novak,
menjelaskan karakter sebagai “campuran yang sejalan (compatible) dari seluruh kebaikan yang
diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang
ada dalam sejarah”. Karakter terdiri dari nilai operatif, yakni nilai yang terwujud dalam tindakan, dan bukan
hanya yang berada dalam pikiran atau keinginan. Karakter merupakan suatu disposisi batin yang dapat
diandalkan untuk menanggapi situasi dengan cara yang menurut moral itu baik (Lickona, 2016: hal. 81).
Pemikiarn tentang karakter sebenarnya bukan hal yang baru, melainkan sesuatu yang sudah muncul
dalam pandangan filosofis sejak zaman Yunani Kuno, yang menjadi bagian dari filsafat manusia, khususnya
folsafat moral yang mewarnai pemikiran dan tulisan para filssuf kuno seperti Socrates, Plato, Aristoteles,
dan sebagainya. Tanpa menghabiskan waktu dan pikiran untuk menelusuri pemaparan filosofis-teoritis
tentang karakter yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, sebenarnya karakter dapat dimengerti secara
sederhana sebagaimana banyak dipahami dalam kehidupan nyata. Secara sederhana karakter dapat
dimengerti sebagai nilai-nilai yang sudah berhasil terinternalisasi dengan baik dalam diri seseorang.
Terinternalisasi dengan baik berarti sudah tertanam atau terpatri dengan baik, sehingga menjadi bagian
dari kehidupan seseorang, yang akan mengendalikan berbagai pandangan, pertimbangan-pertimbangan
dan putusan, sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupan.
Sebuah nilai, umpamanya kejujuran, walaupun seseorang bisa menjelaskan tentang kejujuran itu
sedalam-dalamnya, tentang pentingnya kejujuran dalam kehidupan bersama, namun kalau orang itu
dalam banyak hal dia melanggar kejujuran (dia tidak jujur), maka kejujuran sebagai nilai belum menjadi
karakternya orang itu. Hanya ketika kejujuran itu sudah menjadi bagian dari kehidupannya, yang
mengendalikan pandangan, sikap dan perilakunya dari dalam - yang umumnya hal itu bisa kelihatan dan
diakuai oleh orang-orang di sekitarnya - barulah kejujuran itu dapat dikatakan sudah menjadi karakternya
orang itu. Hal yang sama berlaku untuk semua nilai-nilai lain, khususnya nilai moral, yang menentukan baik
buruknya manusia, terutama dari sudut moral.
c. Pendidikan Karakter sebagai Pendidikan Nilai
Nilai dan karakter memiliki kaitan erat. Nilai-nilai moral menjadi karakter bagi seseorang manakala
nilai tersebut sudah terinternalisasi atau tertanam dengan baik dalam dirinya. Itulah sebabnya karakter
dapat dimaknai sebagai nilai atau nilai-nilai yang telah berhasil terinternalisasi dengan baik dalam diri
6
seseorang, yang sudah menjadi baian dari kehidupannya, yang selalu mewarnai kehidupan orang itu, yang
mengendalikan pandangan, sikap dan perilakunya dalam kehidupan. Maka Sebenarnya pendidikan atau
pembentukan karakter tidak lain adalah pendidikan nilai, yakni suatu upaya penanaman nilai-nilai dalam
kehidupan seseorang.
Upaya pembentukan karakter atau penanaman nilai berlangsung dalam suatu proses, secara formal,
informal dan non formal serta dalam keseluruhan perjalanan hidup. Secara formal adalah melalui
pendidikan yang dilaksanakan secara formal sesuai pengaturan atau kurikulum yang sudah tersusun atau
terprogram dengan baik. Secara informal dimaksudkan adalah melalui kegiatan tertentu yang
diprogramkan berlangsung sesewaktu berupa kegiatan pelatihan atau penyuluhan yang diikuti sejumlah
orang atau kelompok. Dan secara non formal adalah yang berlangsung begitu saja seperti dalam
lingkungan keluarga, tanpa program dan target khusus, yang berlangsung melalui contoh dan teladan serta
nasehat dan pendampingan dari orang tua kepada anak-anak terutama ketika masih kecil. Disini
diharapkan keluarga menjadi lingkungan kondusif bagi penyebaran atau penanaman nilai-nilai bagi anak-
anak dalam keluarga. Dalam lingkungan sekolah peranan seorang guru menjadi sangat penting, karena
mereka pertama-tama harus menjadi penampakan nilai-nilai kepada anak didik mereka (Ritchhart, 2002:
hal. 230-231).

2. Pembentukan Karakter Berlangsung Seumur Hidup


Proses pembentukan atau perbaikan karakter tidak terbatas pada tahap atau kurun waktu tertentu.
Pembentukan karakter pertama-tama dimulai dalam lingkungan keluarga, ketika anak-anak masih kecil,
yang berlangsung secara non-formal. Disini hal sangat penting adalah konsistensi adanya contoh atau
teladan dari orang tua, yang bisa dilihat dan disaksikan atau dirasakan oleh anak-anak mereka (Klann,
2007: hal. 49). Tuntutan contoh dan keteladanan ini menjadi yang terpenting, berhubung yang menjadi
andalan bagi seorang anak dalam menyerap atau menangkap sesuatu adalah kemampuan meniru. Apa
yang mereka lihat atau saksikan dan juga yang mereka dengar, terutama kalau terjadi berulang-ulang,
itulah yang akan mempengaruhi mereka, yang akan mereka tiru atau lakukan, yang umumnya pada tahap-
tahap awalnya tanpa disertai pemahaman mereka akan hal-hal itu. Pengaruh contoh, teladan dan
perlakuan dari keluarga (orang tua) sangat kuat mempengaruhi kehidupan anak dalam perjalanan hidup
mereka ke depan (Wilson, 1995, hal 13-14)
Berbeda dengan anak kecil yang mengandalkan kemampuan meniru, bagi orang dewasa hal yang
menjadi andalan utama adalah pemahaman. Pemahaman baik tentang sesuatu itulah yang menjadi
andalan bagi orang dewasa dalam membangun atau menentukan pandangan, sikap dan apa yang akan
dilakukannya. Pemahaman baik inilah yang menjadi acuan dan bukan terutama apa yang dilihat atau
disaksikannya. Ketidakjujuran atau ketidakdisiplinan yang dia lihat atau dia saksikan di sekitarnya, di
7
tempat kerjanya atau dimanapun dia berada, tidak otomatis hal-hal itulah yang akan mengendalikan
dirinya atau diikutinya. Kalau dia tidak bisa berbuat lain kecuali ikut arus, maka tidak ada bedanya dia
dengan anak kecil, yang hanya berbuat sesuai apa yang dilihat atau disaksikannya.
Orang dewasa tidak terutama bergantung pada adanya teladan atau contoh, walaupun contoh atau
teladan itu sangat penting dan sangat kuat daya pengaruhnya. Bagi orang dewasa, ketiadaan contoh atau
teladan tidak membuat dia kehilangan arah. Dia tidak harus menunggu atau mengharapkan adanya contoh
atau teladan, apalagi yang ditunggu atau yang diharapkan itu belum tentu ada atau akan ada. Dan selama
yang ditunggu atau diharapkan itu tidak ada atau belum ada, apakah kita juga tidak bisa berbuat sesuatu?
Tentu tidak demikian. Andalan dan pegangan utama yang kuat adalah pemahaman baik yang sudah
dimiliki. Kalaupun orang-orang di sekitar kita berlaku tidak jujur, kita tidak harus seperti itu juga. Kita punya
pilihan, dan pemahaman baik itu yang mengantarkan kita pada pilihan keputusan dan tindakan yang lebih
baik, yang dapat kita pertanggungjawabkan, terutama secara moral. Oleh sebab itu, maka bagi orang
dewasa, pemahaman inilah yang hendaknya diperkuat atau diperdalam, sehingga menjadi lebih kuat
dalam mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan, putusan dan pilihan tindakan moral kita. Pemahaman
yang dimaksud disini (yang masih akan dijelaskan di bagian berikutnya) tidak hanya terbatas pada
pengetahuan atau mengetahui sesuatu yang baik dan benar, melainkan melibatkan keinginan, dan
akhirnya mendorong tindakan nyata mewujudkannya. Termasuk bagian dalam mematangkan pemahaman
ini adalah adanya sikap terbuka terhadap kritik, dan bukan sebaliknya terlalu percaya diri, mengambil sikap
menutup disi dari berbagai masukan atau kritik yang dialamatkan kepada kita 2
Pembentukan karakter, berlangsung sejak anak masih kecil, hingga dewasa, bahkan seumur hidup.
Ada pergeseran terkait apa yang menjadi andalan, mulai dari sekedar meniru sampai beralih ke
pemahaman. Umumnya internaslisasi nilai itu berlangsung dengan proses yang panjang. Namun prosesnya
bisa juga cepat, bahkan dalam waktu sesaat. Seseorang yang sudah berumur, yang mungkin kehidupannya
dalam hal moralitas (karakter) tidak begitu baik, bahkan dikenal sebagai penjahat oleh orang -orang di
sekitarnya, tiba-tiba berubah drastis menjadi pribadi yang baik. Bisa jadi perubahan karakter orang ini
dipicu oleh pengalamannya, pencerahan, kejadian atau peristiwa atau kisah yang dia dengar, yang mana
hal itu telah memberi dia pencerahan, membuka kesadarannya, menyentuh hati sanubarinya yang sangat
dalam. Langsung pada saat itu dia tersentak, mendapatkan sesuatu petunjuk, dorongan, kekuatan, saat
penuh rahmat untuk perubahan besar dalam hidupnya. Moment ini menjadi titik balik dalam perjalanan
hidupnya. Mulai dari saat itu dia memulai kehidupan barunya. Bisa saja perubahan mendadak itu menjadi
tanda tanya bagi orang-orang di sekitarnya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu orang-orang jadi
percaya bahwa orang tersebut memang sudah berubah, yang dalam bahasa agama disebut bertobat.

2
Perihal sikap terbuka terhadap kritik merupakan salah satu implementasi dari Binus Graduate Attribute (BGA)
“Growth Mindset”, yakni ‘belajar dari kritik’ (Learning from criticism constructively).
8
Perubahan seperti ini bisa terjadi kapan saja, termasuk ketika orang sudah berada pada usia lanjut atau
tua, bahkan mendekati ajal. Semuanya tetap menjadi ruang dan kesempatan untuk memperbaiki diri,
membangun karakter.
Dalam kontek organisasi atau perusahaan, pengaruh lingkungan, khususnya lingkungan
kepemimpinan tetap sangat penting. Posisi sebagai pemimpin memiliki pengaruh sangat kuat bagi yang
dipimpinnya. Seseorang yang karakternya tergolong baik, ketika bergabung dalam suatu oraganisasi
dengan kepempinnan buruk ada kemungkinan orang tersebut tidak kuat melawan arus. Kondisi ini akan
semakin kuat pengaruhnya ketika sudah semakin banyak personil dalam organisasi itu yang sudah
terpengaruh oleh kepemimpinan buruk itu di dalamnya. Dan tentu akan jauh lebih buruk lagi ketika orang
yang baru bergabung dalam organisasi dengan kepemipinan buruk itu adalah orang -orang yang masih
belum mencapai kedewasaan dalam kepemilikan karakter yang baik. Jadi lingkungan organisasi khususnya
kepemimpian merupakan hal sangat menentukan dalam menumbuhkan dan menguatkan karakter (Klann,
2007: hal. 4 – 6)

3. Mengetahui, Merasakan dan Melakukan Hal yang Baik


Di bagian atas tadi dijelaskan bahwa pemahaman yang baik menjadi andalan bagi orang dewasa
dalam menentukan pilihan, sikap dan tindakannya. Hal ini bukan hanya berhenti pada kemampuan
mengetahui sesuatu sebagai hal yang baik dan benar, melainkan bahwa hal yang sudah diketahui sebagai
baik dan benar itu juga diinginkan, dikehendaki, yang kemudian pengetahuan dan keinginan atas hal yang
baik dan benar itu mendorong, mendesak dan mengarakan dengan kuat tindakan kongkrit untuk
melakukannya. Itu sebabnya ketiga hal itu yakni pengetahuan, keinginan dan tindakan merupakan bagian
atau aspek penting dari karakter. Ketiganya saling berhubungan dan menguatkan satu sama lain. Ketiganya
sama-sama berkaitan dengan hal yang sama. Pikiran mengetahuinya, perasaan menginginkannya, dan
tindakan melakukannya. Bisa dikatakan juga: mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan
melakukan yang baik. Kalau di atas tadi disebut sebagai andalan bagi orang dewasa, itu dapat dimaknai
sebagai intellectual character, pengetahuan atau pemahaman yang benar, yang mendalam, yang utuh,
yang melibatkan seluruh diri (bdk Ritchhart, 2002: hal 18-19).
Hal yang baik yang dimaksud disini adalah hal yang sama yang menguasai ketiganya. Umpamanya
seseorang telah meminjam suatu barang. Dengan pikirannya dia mengetahui betul bahwa mengembalikan
barang pinjaman itu adalah sesuatu yang baik. Karena hal mengembalikan barang pinjaman itu dia ketahui
bahkan juga meyakininya sebagai hal baik, hal itu akan mempengaruhi perasaannya, membangkitkan
keinginan untuk mengembalikan barang pinjamannya itu. Pengetahuan dan keinginan tentang hal yang
baik itu, yakni mengembalikan barang pinjaman, akan mendesak orang itu untuk segera mewujudkannya,
yakni melakukan tindakan nyata mengembalikan barang pinjamannya itu. Jadi hal baik, yakni
9
mengembalikan barang pinjaman itu diketahui, diinginkan, dan dilakukan. Itulah yang disebut karakter
yang baik. Itulah yang disebut pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Atau dengan kata
lain, karakter yang baik terdiri atas: mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan
hal yang baik. Itu adalah kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam
tindakan. Ketiga hal ini diperlukan untuk mengarahkan suatu kehidupan moral kita (Lickona, 2016: hal. 82
– 101).

4. Agama Sumber Ajaran Nilai Moral bagi Pembentukan Karakter


Untuk sampai pada kesepakatan pemahaman tentang apa yang dipandang sebagai baik dan buruk,
manusia memerlukan pegangan yang dijadikan pedoman atau acuan bersama. Acuan atau pedoman itu
ada bermacam-macam, seperti kebudayaan, tradisi, kebiasaan, ajaran-ajaran moral dengan berbagai
sudut pandang, dsb. Pemahaman pribadi dan bersama tentang baik dan buruk tidak bisa dilepaskan dari
acuan-acuan itu. Agama adalah salah satu acuan bagi penentuan atau penilaian atas apa yang dipandang
sebagai hal baik dan hal buruk dalam kehidupan. Agama bagi kebanyakan orang bahkan merupakan
sumber sangat kuat dan utama bagi ajaran moral, pembentuk karakter (Lickona, 2016: hal 64). Agama
mengandung nilai-nilai dasar dan bahkan universal bagi manusia. Pemahaman dan rumusan tentang baik
dan buruk secara moral yang dipegang kuat dalam agama-agama umumnya dikembangkan terinspirasi
oleh teks-teks Kitab Suci dan tradisi-tradisi awal keagamaan.
Teks-teks Kitab Suci yang ada dalam agama-agama itu dipercaya sebagai yang didapatkan oleh
tokoh-tokoh awal agama atau para nabi melalui suatu pencerahan atau penerangan ilahi, ilham atau
pewahyuan yang bersumber dari Allah Mahagaib. Sebagai ajaran yang diyakni berasal dari pencerahan
ilahi atau dari Allah sendiri, yang berisi tentang kehendak Allah kepada manusia, maka isi utamanya, selain
pengenalan tentang apa dan siapa Allah itu, merupakan pesan-pesan moral kebaikan bahkan keselamatan
bagi manusia. Ajaran-ajaran itu disampaikan kepada manusia untuk dihayati dan diamalkan, untuk
dijadikan landasan bagi pengembangan pandangan, sikap dan perilaku terpuji dalam kehidupan ini. Bagi
orang yang sudah terbuka menerima, mengakui dan mengimani pesan-pesan Allah tersebut, terutama
berupa perintah (tentang apa yang harus dilakukan) dan larangan (tentang apa yang tidak boleh dilakukan,
yang harus dijauhi) harus menjadi petunjuk moral yang membimbing pada kebaikan kehidupan moral atau
akhlak manusia sepanjang kehidupannya. Pesan-pesan moral dari Allah inilah, yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai moral dasar dan universal bagi manusia, itulah yang hendak terus diupayakan
penanamannya dalam kehidupan manusia, termasuk melalui pembelajaran Character Building Agama.
Tujuannya adalah supaya nilai-nilai moral-religius penting dan utama yang terkandung dalam berbagai
Kitab Suci dan agama-agama, dapat terinternalisasi dengan baik dalam hidup manusia, sehingga menjadi

10
karakternya manusia, menjadi bagian dari kehidupan manusia yang senantiasa mengendalikan atau
menginspirasi kehidupannya dari dalam.

5. Suasana Kehidupan Beragama Secara Umum


Seperti kita ketahui bersama bahwa agama telah membuat kehidupan banyak orang menjadi lebih
baik: hidup baik dan benar, terpuji, bertobat, dapat memaknai kehidupan dalam terang kehendak Allah,
menjadi berkat bagi sesama, dsb (Lickona, 2016: hal. 63-64). Namun di samping itu, tidak jarang juga
terjadi bahwa orang-orang beragama itu sendiri menjalankan hidupnya jauh dari praktek penghayatan dan
pengamalan iman yang sesungguhnya. Banyak yang beragama secara buta, menyingkirkan akal sehat,
fanatik sempit, eksklusif tertutup, intoleran, radikal bahkan berlaku teror. Semuanya praktek hidup
beragama seperti itu harus diakui telah mengakibatkan berkembangnya image buruk terhadap agama itu
sendiri.
Kalau ditelusuri lebih jauh, terdapat banyak hal yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya
pemahaman, penghayatan dan pengamalan iman dan agama dalam wujud sikap-sikap dan perilaku yang
jauh dari roh atau semangat yang sesungguhnya dari agama itu sendiri, seperti yang disebutkan di atas
tadi. Hal-hal yang berpotensi itu banyak berkaitan dengan adanya perbedaan-perbedaan yang ada tentang
realitas dalam pluralisme religius (Sugiharto, 2004: hal. 144, 168). Berbagai perbedaan, dapat disebut di
antaranya: (1) Adanya perbedaan isi dari Kitab-kitab suci atau Kitab Keagamaan (konsep tentang Allah,
ritual, hukum dan aturan-aturan moral kehidupan); (2) Ada perbedaan penyebaran agama di berbagai
belahan dunia atau kawasan (ada umat yang mayoritas dan ada yang minoritas, ada yang terkonsentarsi
dalam suatu wilayah atau kawasan dan ada yang menyebar lebih merata dengan penganut agama-agama
lainnya); (3) Ada perbedaan saling pengaruh antara politik, ekonomi dan budaya serta ideologi dengan
agama (ada yang mendominasi dan ada yang tidak atau kurang daya pengaruhnya); (4) Ada perbedaan
kedewasaan dalam memahami dan menghayati agama (ada yang konservatif, moderat, acuh-tak-acuh);
(5) Ada perbedaan dalam memaknai dan memosisikan agama dalam kehidupan (ada yang
mempertentangkan atau menarik garis pemisah atau sebaliknya lebih mengaitkannya antara agama dan
ilmu pengetahuan, antara kehidupan bernegara dan beragama, antara cara hidup beragama dulu dan
sekarang, antara dunia dan akhirat, dsb); (6) Ada perbedaan antara aliran-aliran dalam agama-agama (ada
yang dianggap sebagai arus utama dan ada yang kurang diperhitungkan); (7) Ada perbedaan dalam
menafsirkan atau menginterpretasikan teks-teks suci, yang memang sangat terbuka untuk macam-macam
penafsiran (ada yang berusaha menemukan pesan kebaikan dan kebenaran di dalamnya dan ada juga yang
mencari pembenaran bagi pilihan atau pemikiran mereka); (8) Ada perbedaan dalam memaknai dan
menghayati otonomi manusia (ada yang merasa semuanya tergantung pada Allah saja dan ada yang
11
mengedepankan keistimewaan manusia dengan tanggungjawab besar berada di tangannya); (9) Ada
perbedaan dalam menegaskan identitas (ada yang mengutamakan perbedaan dan ada yang
mengedepankan persamaan atau kesamaan); (10) Ada perbedaan dalam memahami atau memaknai
fenomena-fenomena dalam kehidupan (ada yang selalu dan bahkan hanya mengaitkannya dengan agama
saja, dan ada yang melihatnya lepas dari agama, atau melihat serta memaknainya dari berbagai sisi atau
sudat pandang). Termasuk disini adanya perbedaan kedalaman dalam memahami atau memaknai
fenomena-fenomena dari sudut pandang agama; (11) Mungkin bisa disebut disini juga adanya perbedaan
dalam keyakinan diri dalam hal keberagamaan (ada yang terlalu sensitif, ada yang terlalu percaya diri, dan
ada juga yang abai saja); dsb.

6. Hal-hal Penting Dimiliki Berkaitan dengan Perbedaan-Perbedaan yang Ada


Perbedaan-perbedaan seperti diungkapkan di atas merupakan kondisi atau potensi yang bisa
memunculkan sikap-sikap seperti disebutkan tadi: Cenderung membanding-bandingkan antara satu
dengan yang lain, merasa diri atau kelompok lebih baik atau lebih/paling benar, eksklusif tertutup, fanatik
sempit, intoleran, radikal dan berlaku teror, beragama secara buta, menyingkirkan akal sehat. Perbedaan-
perbedaan di atas itu tidak terutama untuk dihilangkan atau tidak harus disingkirkan, karena ada yang
memang tidak bisa dihilangkan. Perbedaan-perbedaan itu harusnya dipahami dan disikapi dengan baik,
dengan sikap positif3 . Berhadapan dengan hal-hal itu, hal-hal yang diperlukan untuk kita kembangkan
dalam diri kita (dan ini penting berkaitan dengan pendalaman materi-materi kuliah yang ada dalam CB
Agama ini) antara lain:
a. Perlu ada pemahaman yang baik tentang adanya perbedaan teks-teks suci yang diyakini sebagai
wujud tertulis dari pewahyuan atau penerangan ilahi yang diterima oleh pada nabi atau tokoh-
tokoh awal agama-agama. Penting diakui bahwa Allah itu Mahagaib, Yang Tak Terbatas, sementara
manusia, termasuk para nabi adalah makhluk ciptaan dan terbatas (terbatas dalam ruang dan
waktu, terikat pada situasi dan kondisi yang mewarnai zaman dan kawasan di mana para nabi
hidup dan berada, dibatasi oleh latar belakang yang dimiliki sepeti: pengalaman, pendidikan,
kepribadian, kebiasaan, kecenderungan, keinginan dan kekhususan unik lainnya) (Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 52). Keterbatasan ini tidak bisa dinafikan dalam
konteks pendekatan mereka kepada Yang Tak Terbatas utuk menangkap dan memahami
kehendak-Nya (pewahyuan). Walaupun dikatakan bahwa wahyu atau pencerahan ilahi yang

3Bersikap positif merupakan salah satu implementasi dari Binus Graduate Attribute (BGA) “Growth Mindset”,
yakni ‘bersikap positif dalam hidup’ (Keeping a positive mindset in life).

12
diterima oleh para nabi itu diperuntukkan untuk seluruh zaman, namun utamanya adalah
kontekstual, diperuntukan pada zaman para nabi dengan aneka kekhususannya (Smith, 2008: hal.
75).
b. Walau ada perbedaan-perbedaan isi dari Kitab-kitab Suci itu (konsep tentang Allah, ritual, hukum,
aturan-aturan moral kehidupan, dsb), namun kalau ditelusuri lebih dalam sebenarnya terdapat
kesamaan besar menyangkut pesan-pesan moral utama yang disampaikan Allah kepada manusia,
seperti: hidup mengasihi, peduli, berlaku adil, mau memaafkan, bahkan rela berkorban bagi
kebaikan, dsb. Pesan-pesan moral utama ini, yang Allah kehendaki untuk dihidupi oleh manusia
dalam kehidupan bersamanya, tersebar di berbagai bagian dari teks-teks suci. Dan bisa dikatakan
bahwa kesamaan-kesamaan ini jauh melebihi berbagai perbedaan yang ada. Persamaan-
persamaan ini bisa saja dipandang sebagai petunjuk bahwa pesan-pesan moral utama kehidupan
ini semuanya berasal dari sumber yang sama. Jadi perbedaan-perbedaan tangkapan para nabi atas
pewahyuan, yang akhirnya tertuang dalam kitab-kitab suci, termasuk konsep-konsep tentang
Allah, tidak bisa langsung dijadikan pembuktian atau penyimpulan bahwa Allah ada banyak.
c. Dengan mengutamakan pemberian perhatian pada kesamaan-kesamaan pesan moral yang
tersebar dalam kitab-kitab suci, yang diperuntukkan bagi umat manusia dalam kehidupan
bersamanya, maka kita akan semakin sadar bahwa agama-agama itu sesungguhnya memiliki misi
yang sama, agama-agama itu (umat beragama semuanhya) merupakan teman seperjuangan
dalam mempromosikan atau mengupayakan kehidupan yang lebih baik, membuat dunia ini
menjadi hunian yang semakin baik bagi manusia bahkan bagi seluruh makhluk. Maka yang menjadi
concern kita sesungguhnya bukan membanding-bandingkan agama untuk mencari mana yang
benar atau paling benar, bukan juga untuk menarik orang atau umat dari agama lain masuk ke
agama kita. Perjuangan kita yang utama adalah bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan pesan-
pesan moral utama itu sebagaimana terdapat dalam Kitab Suci kita, warisan nabi kita (bdk Smith,
2008: hal. 75). Kalau kita fokus dan berhasil menghidupi dengan baik pesan-pesan moral utama
itu, maka kita semua ketemu: tidak ada menyakiti, hanya ada mengasihi; tidak ada membiarkan
atau menjerumuskan, hanya ada peduli; tidak ada balas dendam atau sakit hati berkepanjangan,
hanya ada memaafkan dengan tulus; tidak ada perampasan atau penguasaan atau keinginan untuk
memperalat orang lain untuk kepentingan diri, hanya ada kerelaan untuk berkorban, dsb.
Sesungguhnya poin-poin ini merupakan alasan kuat dan masuk akal mengapa kita harus toleran
dalam hal beragama. Kita tidak menemukan alasan yang meyakinkan untuk berlaku intoleran,
fanatik sempit, eksklusif dan berlaku teror. Karena kesemnuanya sikap dan perilaku seperti itu,
apapun alasannya, bertentangan dengan pesan-pesan moral utama Tuhan kepada kita semuanya.

13
d. Dalam beriman dan beragama, hendaknya kita tidak bersikap buta, menyingkirkan akal sehat,
sebaliknya kita wajib mengedepankan atau menggunakan akal sehat atau pemikiran kritis -rasional
(Fios, 2017: hal. 221-222) Sesungguhnya semua manusia, entah bearagama atau tidak, sudah
diperlengkapi oleh Allah dengan kemampuan yang merupakan bagian dari kemampuan-Nya
sendiri, yakni akal budi. Inilah pemberian utama dan pertama Allah kepada manusia. Tanpa
beragama sekalipun sebenarnya kemampuan akal budi itu mencukupi bagi manusia untuk bisa
hidup dengan baik. Dengan akal budinya manusia mampu mengetahui atau membedakan mana
baik mana buruk, dan mampu memahami bahwa hal yang baiklah yang cocok baginya sesuai
dengan martabatnya sebagai makhluk istimewa. Oleh karena itu, manusia, ketika dia kemudian
beriman dan beragama, dia tidak boleh menyingkirkan anugerah Allah yang utama itu. Manusia
harus menerima dan menjalankan iman dan agamanya dalam kapasitasnya sebagai subyek yang
memiliki akal budi, pikiran dan pemahaman yang baik. Banyak masalah memprihatinkan yang
timbul dari perbedeaan-perbedaan tadi sesungguhnya bisa diatasi dengan baik dengan cara
bersikap kritis dan rasional (menggunakan akal sehat dengan baik). Dan sebaliknya masalah-
masalah dalam praktek penghayatan iman dan agama itu bisa semakin besar manakala akal sehat,
daya kritis-rasional, anugerah utama Tuhan, disingkirkan atau tidak digunakan, alias beriman dan
beragama secara buta.
e. Agama-agama, pada zaman-zaman tertentu dan di kawasan tertentu dalam sejarah, ada yang
melakukan pengkajian-pengkajian kembali teks-teks suci, untuk menemukan bagaimana
memahami dan menghayati dengan lebih baik pesan-pesan Allah dan hukum-hukum-Nya itu
dalam situasi mereka. Dari hasil-hasil pengkajian itu mereka menciptatan hukum-hukum atau
aturan sebagai penjabaran dari teks-teks suci itu sesuai dengan situasi dan tuntutan zaman yang
sedang mereka hadapi. Hukum-hukum seperti itu, yang pernah berlaku efektif pada zamannya,
belum tentu cocok ketika dijalankan atau diterapkan pada zaman-zaman setelahnya dan di
kawasan yang berbeda, karena perbedaan situasi dan tuntutan permasalahan yang ada. Kita, pada
zaman kita, dengan kemajuan berpikir dan kemajuan peradaban serta dengan situasi
permasalahan yang khas, dapat melakukan hal yang sama. Apa yang diyakini sebagai Wahyu Allah,
yang diterima atau turun ribuan tahun yang lalu, ketika itu dituliskan (menjadi Kitab Suci), maka
sebagai tulisan, tidak pernah berubah selamanya, sampai titik komanya tidak berubah, sementara
situasi dan kondisi zaman dengan aneka permasalahan dan tuntutannya terus berubah.
Seandainya zaman nabi-nabi dan pewahyuan masih terus berlangsung, tentu saja pewahyuan yang
turun sekarang ini, dan juga kemampuan pemahaman nabi beserta pilihan bahasa atau kata atau
istilah yang digunakan untuk menyampaikan dan mendokumentasikannya, tentulah berbeda.
Maka hal sangat penting adalah bagaimana hukum-hukum dan aturan-aturan serta pesan-pesan
14
Allah yang ada atau muncul ribuan tahun yang lalu itu, dengan konteks tertentu, bisa terus kita
hayati dengan baik pada zaman kita sekarang ini dengan konteks atau situasi yang sudah berbeda
(Smith, 2008: hal 373-374).
f. Bahasa-bahasa Kitab Suci itu adalah bahasa-bahasa metafor, banyak kata atau istilah atau
perumpamaan yang digunakan sangat terikat dengan konteks zaman penulisannya. Makna yang
hendak disampaikan dalam teks-teks itu hanya bisa diselami dengan baik bila berangkat dari atau
dikembalikan pada konteksnya. Dalam melakukan hal ini diperlukan studi yang mendalam,
bertahun-tahun, mencari tahu konteksnya mengapa Wahyu atau inspirasi itu turun dan mengapa
tokoh atau nabi menggunakan kata, istilah atau perumpamaan itu dalam menyampaikan pesan
pewahyuan dari Tuhan itu. Kitab suci bukanlah buku sejarah, sekedar dokumentasi fakta -faka
tertentu di masa lalu. Kitab Suci adalah buku iman, iman yang terus hidup, tumbuh dan
berkembang. Kitab suci tidak pertama-tama dan terutama menyampaikan kepada kita kebenaran
fakta sejarah di masa lampau, melainkan kebenaran iman. Kebenaran iman ini terkandung atau
terselubung dalam atau di belakang teks-teks hurufiah (kata, kalimat, istilah, perumpamaan, dan
simbol-simbol yang digunakan) yang tertuang dalam lembaran-lembaran halaman Kitab Suci.
Pemahaman pesan kebenaran iman inilah yang hendak digali dengan cara salah satunya adalah
dengan memahami konteks kemunculannya. Dan ini tidak selalu mudah. Kita penting mengakui
bahwa pesan Allah itu pasti kebaikan bagi manusia, bagi kehidupan. Maka patokan sederhana
dalam menilai dan menyikapi suatu penafsiran atau interpretasi teks-teks suci adalah dengan
menggunakan akal sehat. Kita mengkaji saja bagaimana ketika sebuah penafsiran atau interpretasi
dijalankan, apakah membuahkan kebaikan bagi kehidupan bersama, bagi komunitas atau tidak.
Jangan sampai terjadi bahwa kita sedemikian meyakini sesuatu sebagai kebenaran iman,
membelanya mati-matian, bahkan sampai mengorbankan diri dan orang lain, sementara semua
orang, siapa saja, yang menggunakan akal sehat, menolak atau mengutuknya.
g. Ada yang mengatakan bahwa baik atau benarnya suatu agama dapat dilihat dari hidup para
penganutnya. Ungkapan ini dapat kita maknai sebagai cambuk bagi kita, yang menantang
keberimanan kita. Menyaksikan atau menunjukkan baik-benarnya suatu agama tidak cukup hanya
dengan cara fanatik meneriakkan pembelaan atas keunggulan (tinggi atau dalamnya) kebenaran
atau keungghulan keyakinan iman atau agama yang kita anut (seperti konsep tentang Allah,
hukum-hukum dan aturan-aturannya, ritual dan simbol-simbolnya, dan berbagai hal yang terkait
dengan itu). Sering yang jauh lebih mengesankan itu adalah kehidupan para penganut agama itu
sendiri. Kehidupan nyata para penganut agama menjelaskan lebih luas dan dalam tentang
kebaikan dan kebenaran iman yang mereka hidupi, termasuk kebenaran faham tentang Allah yang
menjadi sumber inspirasi kehidupan mereka. Allah yang baik dan benar tentu memiliki daya untuk
15
membimbing manusia yang mengimani-Nya sebagai saluran penampakan wajah-Nya dan
kebaikan-Nya kepada mereka yang masih belum mengenal-Nya.

C. PENUTUP
Karakter adalah nilai-nilai yang telah berhasil terinternalisasi dengan baik dalam diri
seseorang, sehingga menjadi bagian dari kehidupannya, yang mengendalikan pandangan, sikap
dan perilakunya dalam kehidupan. Nilai atau nilai-nilai adalah sesuatu yang berkonotasi positif,
yang dihargai, dipelihara, dijunjung tinggi, yang ingin dibela dan diperjuangkan dalam kehidupan
bersama. Kejujuran, keadilan, respect, tanggungjawab, dsb, merupakan nilai-nilai yang diharapkan
terpelihara dengan baik dalam kehidupan bersama. Itu sebabnya pendikan karakter dapat disebut
juga sebagai pendidikan nilai. Karakter terbentuk melalui suatu proses, yang disengaja maupun
tidak disengaja, secara formal, informal maupun non-formal. Pembentukan karakter berlangsung
sejak seseorang masih kecil hingga dewasa bahkan sampai tua sekalipun. Semua rentang waktu
yag kita jalani merupakan ruang dan kesempatan untuk memperbaiki diri dan kehidupan kita.
Ketika seseorang masih kecil maka yang menjadi andalannya adalah meniru atau mengikuti apa
yang dilihat dan didengar. Maka hal terpenting disini adalah contoh atau teladan yang bisa mereka
lihat atau saksikan. Sementara bagi seorang dewasa, hal yang menjadi andalan adalah
pemahaman yang baik (insight). Pemahaman yang baik inilah yang penting dikuatkan supaya bisa
menjadi acuan dalam memutuskan atau memilih sesuatu, dalam menentukan sikap dan
tindakannya. Pemahaman yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang benar (kognitif) yang
melibatkan keinginan untuk mewujudkannya (afeksi) dan mendorong terjadinya tindakan yang
sejalan dengan yang diketahui dan diinginkan itu (psikomotorik).
Agama adalah sesuatu yang mengandung nilai-nilai dasar dan bahkan universal bagi
manusia. Nilai-nilai seperti: kasih, kepedulian, kejujuran, berlaku adil, mau memaafkan, bahkan
rela berkorban bagi kebaikan, merupakan rentetan nilai yang sangat diperjuangkan dan dijunjung
tinggi dalam agama-agama. Nilai-nilai inilah, termasuk nilai toleransi, sikap beragama yang Inklusif,
kritis-rasional, merupakan nilai-nilai yang sangat penting, urgen atau mendesak dalam kehidupan
sekarang ini. Nilai-nilai inilah yang hendak terus diupayakan internalisasinya dalam kehidupan
orang beragama, karena kalau melihat kenyataan yang ada, nilai-nilai seperti yang disebutkan itu
masih langka dimana-mana, padahal kita Indonesia khususnya adalah masyarakat atau negara
yang religius. Internalisasi nilai-nilai luhur religius ini memerlukan upaya serius yang melibatkan
banyak pihak. Hal sangat penting di antara hal-hal penting lainnya adalah menumbuh-
kembangkan sikap beriman dan beragama yang kritis-rasional, menghidupi keyakinan iman atau
agama dalam kapasitas kita sebagai makhluk istimewa ciptaan Tuhan, yang pertama-tama telah
16
diperlengkapi oleh Tuhan dengan akal budi (dan juga dengan kehendak bebas, yang membuatnya
terikat oleh tanggungjawab atas pilihan dan tindakannya). Dengan akal budinya manusia memiliki
kemampuan menilai secara kritis dan rasional, termasuk keyakinan-keyakinan iman atau agama
yang dianjutnya (Fios, 2017: hal. 239-241). Ketika kita kemudian beriman atau beragama, jangan
sampai akal budi, anugerah Tuhan paling utama kepada kita, disingkirkan. Jangan sampai kita
sedemikian meyakini sesuatu sebagai kebenaran iman, membelanya mati-matian, bahkan sampai
mengorbankan diri dan orang lain, sementara semua orang, siapa saja, yang menggunakan akal
sehat, menolak atau mengutuknya. “Manusia, beragama atau tidak, diikat oleh suatu rasa
kemanusiaan; dan agama sejatinya menguatkan ikatan itu, dan bukan sebaliknya, melemahkan
atau merusaknya” (Antonius A. Gea).

Tugas
Diskusi Kelompok
Allah telah menyampaikan pesan-pesan moral utamanya kepada manusia untuk dihayati dan diamalkan
dalam sikap dan perilaku terhadap satu sama lain. Pesan-pesan moral utama inilah yang penting digali
terutama dalam lembaran-lembaran Kitab Suci, kemudian diinternalisasikan ke dalam diri, sehingga pesan-
pesan moral utama itu, yang mengandung nilai dasar dan universal, menjadi karakter setiap umat
beragama, yang mengendalikan kehidupan dari dalam, mengarahkan pandangan, sikap dan perilaku dalam
kehidupan. Silahkan kelompok mengkongkritkan atau menjabarkan lebih lanjut tentang hal ini.

Referensi
• Fios, Frederik dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building Spiritual Development, Bina
Nusantara Media & Publishing, Jakarta.
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2002). Character Building II Relasi dengan Sesama, Percetakan PT
Gramedia, Jakarta
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2002). Character Building III Relasi dengan Tuhan, Penerbit PT Elex
Media Komputindo, Jakarta
• Klann, Gene (2007). Building Character. Strengthening the Heart of Good Leadership, John Wiley
& Sons, Inc.USA
• Lickona, Thomas (2016). Educating for Character. Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap
Hormat dan Tanggungjawab. Diterjemahkan oleh Juma Abdu Wamaungo, Penerbit PT Bumi
Aksara, Jakarta
• Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (2016). Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kemeterian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Cetakan 1, Jakarta.
17
• Ritchhart, Ron (2002). Intellectual Character. What it is, Why it Matters, and How to Get it.,
Jossey-Bass, A Wiley Company, San Fransisco
• Smith, Wilfred Cantwell (2008). Kitab Suci Agama-agama, diterjemahkan oleh Dede Iswadi,
Penerbit PT. Mizan Publika, Jakarta
• Sugiharto, I., Agus Rachmat W. (2000). Wajah baru Etika dan Agama, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.

18
Topik 2
THE RELIGION IN GENERAL

Learning Outcome:
LO1: Explain the nature of religions and the God in general
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
- menjelaskan konsep yang berkaitan dengan agama pada umumnya
- memiliki pola berpikir yang terbuka dalam mempelajari agama
- menunjukkan sikap inklusif dan keterbukaan dalam kehidupan beragama

A. PENDAHULUAN
Agama merupakan hal yang mendasar di dalam kehidupan orang-orang yang beriman dan
percaya kepada Tuhan. Agama menunjukkan pengakuan/tanggapan manusia terhadap adanya daya
transendental, kekuatan supranatural, kekuatan adikodrati yang jauh melampaui segala realitas yang ada
di dalam tatanan alam semesta ini. Agama memberikan orientasi atau visi komprehensif bagi manusia
dalam berpikir, bersikap dan berperilaku sebagai makhluk yang mengakui eksistensi Tuhan dalam
realitas. Agama memberikan jaminan keselamatan dan kebahagiaan abadi untuk para penganutnya.
Agama memberikan visi eskatologis, visi akhir zaman yang memberikan ketenangan batin bagi manusia
yang beriman pada masa kini. Visi ini meresapi sikap dan perilaku manusia sehari-hari di mana saja
berada, hidup dan berkarya. Agama menjadi sumber ajaran moral bagi penganutnya. Agama menjadi
dimensi penting dalam realitas sosial manusia sebagai kenyataan yang tersebar luas, dihayati pada
tingkat individu maupun sosial di lingkungan keluarga, di tempat kerja hingga lingkungan masyarakat
publik. Agama menerangi lorong jalan kehidupan para penganutnya.
Hal yang unik dari setiap agama terletak pada ajaran atau doktrin yang diyakini sebagai hal yang
bersifat kudus, suci, sakral dan bernilai luhur sebagai sumber penghayatan hidup religius. Doktrin
dimaknai sebagai sumber kebenaran iman keagamaan. Persepsi tentang kebenaran doktrin dalam agama
mempengaruhi sikap manusia dalam totalitas hidup pribadi maupun interaksi sosialnya dengan sesama.
Agama menjadi sumber etika dalam sikap dan perilaku. Unsur etika diakui kebenarannya dan diwujudkan
dalam sikap dan tingkah laku yang etis-spiritual dalam dinamika realitas sepanjang hidup kaum
beragama.

19
B. PEMBAHASAN
1. Motivasi Hidup Beragama
Hampir semua pemeluk agama di dunia ini menganut ideologi atau pun motivasi tertentu dalam
menghayati dan menghidupi iman keagamaan mereka. Motivasi itu bisa bersifat personal maupun
bersifat komunal. Motivasi itu mempengaruhi kehidupan setiap pribadi penganut beragama. Para

penganut agama (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, Aliran Kepercayaan dll) pasti
memiliki motivasi-motivasi internal tertentu dalam memilih agama yang dianut masing-masing. Motivasi
keagamaan umumnya bersifat psiko-subjektif yang diyakini sebagai sumber keutamaan yang
mengarahkan cara berpikir, merasa dan bertindak para penganut agama sepanjang hidup.
Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian
Dalam Negeri Republik Indonesia menunjukkan total jumlah penduduk Indonesia sebanyak
272,23 juta jiwa pada Juni 2021. Dari data ini, sebanyak 236,53 juta jiwa (86,88%) beragama
Islam, sebanyak 20,4 juta jiwa (7,49%) memeluk agama Kristen, terdapat 8,42 juta jiwa (3,09%)
beragama Katolik, penduduk Indonesia beragama Hindu sebanyak 4,67 juta (1,71%), yang
beragama Budha sebanyak 2,04 juta jiwa (0,75%), sebanyak 73,02 ribu jiwa (0,03%) penduduk
Indonesia beragama Konghucu, dan 102,51 ribu jiwa (0,04%) penduduk Indonesia menganut
aliran kepercayaan.
Motivasi-motivasi keagamaan itu bervariasi, namun umumnya para ilmuwan sosial (social
scientists) menggarisbawahi beberapa hal pokok sebagai motivasi dasar mengapa para penganut
agama memeluk suatu agama tertentu (Bdk. International Encyclopedia of the Social Sciences,
2010: hlm. 161), antara lain:
a) Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar kehidupan yang tidak dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi seperti fenomena bencana alam, kematian manusia,
dan kemungkinan adanya kehidupan sesudah kematian.
b) Orang menganut agama untuk mengatasi keterbatan-keterbatasan manusiawi yang dialami
di dalam hidupnya. Manusia sering kali berhadapan dengan fenomena atau kenyataan
keterbatasan-keterbatasan yang membuat manusia tertunduk dan diam. Manusia akhirnya
mengakui adanya kekuatan lain yang jauh melampaui manusia. Kekuatan itu dinamai Yang
Kudus, Sang Transenden, Sang Supernatural, Sang Spiritual, Sang Ultimate, Tuhan (Allah) dll.
c) Orang menganut agama untuk menciptakan keteraturan dan kohesi sosial dalam
tatanan masyarakat manusia. Seseorang menganut agama untuk mengarahkan hidupnya agar
berjalan sesuai dengan tujuan yang benar; misalnya bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
atau menjauhi yang jahat dan melakukan perbuatan yang baik atau terpuji. Dengan

20
melakukan perilaku etis, maka perdamaian dan keamanan di dunia ini pun dapat terealisasi
secara baik dan ideal.

2. Substansi dan Asal-Usul Agama


E.B.Tylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual di dalam
kehidupan manusia. Ia mengatakan walau agama memiliki banyak perbedaan, namun agama-agama
secara substansial semuanya sama dalam satu hal, yakni pengakuan adanya roh-roh di dalam alam ini
yang dapat berpikir, bertindak dan merasakan sama halnya seperti kita manusia.
E.B.Tylor kemudian mengorbitkan ide “kesatuan psikis” yang menyebabkan manusia memiliki
potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Manusia sama dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-
kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya di seluruh dunia, bersumber dari kesamaan
mendasar dalam benak manusia, karena kebanyakan budaya-budaya adalah hasil kreasi manusia. Prinsip
kesatuan psikis dalam pandangan intelektualisme memberikan asumsi bahwa agama dalam seluruh
ruang dan waktu, selain perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama,
bahkan bersumber dari substansi yang satu.
Auguste Comte mengemukakan tiga (3) tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi Tylor
sebagai tahapan pertama dalam agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut da n
menganggap agama sebagai rangkaian norma-norma yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat dan
juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara
perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Hal-hal yang menyebabkan koherensi dan
menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama.
Agama positivistik yang dibangun Comte, walaupun di dalamnya tidak terdapat kepercayaan
terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama mampu menyatukan seluruh masyarakat.
Comte tetap menerima definisi yang dikemukan Tylor dalam agama tahapan pertama. Kita bisa
berasumsi bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh intelektualisme.

3. Elemen-Elemen Dasar Agama


Terdapat 8 elemen dasar yang terdapat di dalam agama yakni:
a. Memiliki kepercayaan/sistem keyakinan
Kepercayaan merupakan unsur dasar di dalam agama. Kepercayaan artinya keyakinan atau iman
yang kukuh dan tidak tergoncangkan pada Tuhan ataupun substansi yang disembah di dalam agama -
agama. Kepercayaan identik dengan suatu keyakinan spiritual yang mengkristal di dalam hati orang yang
menghayati agama. Keyakinan itu tampak dalam hal-hal seperti pengakuan akan adanya satu Tuhan
(monoteisme), keyakinan akan keselamatan di akhirat (parusia), kepercayaan akan reinkarnasi bagi
21
agama Hindu ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang yang dihayati oleh para pemeluk agama
Shinto.
Unsur kepercayaan dalam agama sangat menentukan disposisi batin orang -orang yang
menghayati agama. Kalau orang meyakini agamanya secara kukuh dan tidak tergoncangkan, ia akan
konsisten untuk mendalami agama itu secara mendalam. Ia akan merasa aman, damai dan bahagia dalam
agama bersangkutan. Namun kalau dia tidak memiliki kepercayaan yang baik di dalam agama itu, ia sulit
berkembang baik di dalam agama dimaksud. Ia bisa menjadi bosan, malas, apatis, antipati dan bahkan
mengalami pengalaman negatif lainnya. Kalau orang memiliki kepercayaan yang teguh dalam agamanya,
orang bersangkutan akan menghayati hidup secara bermakna, positif dan produktif. Ia merasa aman
dalam agama yang dianutnya.
”Saya bukannya mencoba menyelami keagunganMu ya Tuhan, sebab saya sama
sekali tidak membandingkan akal budiku dengan keagunganMu itu. Tetapi saya
ingin sedikit melihat kebenaranMu, yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan saya
tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, tetapi saya percaya agar bisa
memahami. Sebab saya percaya juga bahwa saya tidak akan mampu memahami kecuali
jika saya percaya.” (Santo Anselmus).

b. Memiliki simbol/tanda/lambang
Agama-agama biasanya memiliki simbol, tanda dan lambang material tertentu di dalamnya.
Simbol atau lambang material itu bukan hampa makna atau pun nihil nilai. Simbol memiliki kandungan
arti dan makna tertentu di baliknya. Simbol hanya dipahami dan dimengerti secara eksklusif oleh
kelompok penganut agama bersangkutan. Kelompok agama lain tidak dapat memahami secara baik dan
mendalam simbol-simbol yang terdapat di dalam agama kelompok lainnya.
Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut agama berkaitan
dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol diklaim sebagai unsur bersifat
suci, sakral, istimewa dan unik. Simbol biasanya dapat menjadi sarana yang mendukung praktik
ibadat atau ritus kelompok penganut agama bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut
agama.
Beberapa contoh simbol material dalam agama-agama misalnya dalam Islam terdapat simbol
tertentu seperti tasbih, dalam agama Katolik ada simbol rosario, dalam agama Kristen Protestan (dan
Katolik) ada simbol salib, dalam agama Budha dan Hindu ada simbol patung-patung, dalam agama
Konghucu ada Hio dan lain sebagainya. Simbol agama juga dapat dilihat dalam bentuk rumah
(bangunan) ibadat yang dapat dilihat secara artifisial. Biasanya simbol agama-agama dihormati, dihargai
dan digunakan sebagai instrumen pendukung dalam doa, ibadat, ritus suci dan upacara-upacara
22
keagamaan. Simbol diyakini mampu mengantar para penganut agama masuk lebih khusyuk di dalam
ibadat-ibadat yang mereka lakukan.
”Dalam seluruh eksistensi hidupnya, manusia selalu mengeskpresikan diri
melalui simbol-simbol unik sebagai ungkapan pikiran dan perasaannya dalam
komunikasinya dengan orang lain. Karena itulah manusia disebut sebagai homo
symbolicum yang meneguhkan hakikat manusia sebagai makhluk berbudaya”
(Ernst Cassirer).

c. Memiliki praktik ritual


Para penganut agama biasanya menjalankan praktik keagamaan sebagai bagian integral dalam
kehidupan religius mereka. Ada banyak praktik keagamaan yang biasanya dilakukan baik secara
individual maupun secara kelompok. Praktik keagamaan itu dilakukan sebagai ungkapan iman para
pemeluk agama kepada Tuhan.
Praktik keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut agama misalnya
berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu tertentu, berpantang makan daging
hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut agama lazim menjalankan praktik keagamaan ini
secara serius dan konsisten. Praktik ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis
agama yang dianut oleh pemeluk agama tertentu.
Salah satu unsur dasar yang menyertai praktik agama adalah dimensi sikap patuh untuk
melakukan praktik itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah yang lalu membuat praktik agama
itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib
dan harus, ada pula yang bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai konsekuensi aturan dan
ketentuan yang menyertainya.
d. Memiliki umat atau komunitas
Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama tertentu akhirnya
membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk agama. Lazimnya orang yang memeluk
agama tertentu disebut penganut agama atau umat. Umat merupakan kumpulan orang -orang yang
memiliki iman, keyakinan dan kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang
searti dengannya.
Penganut masing-masing agama menjalankan ibadat atau upacara keagamaan untuk
menunjukkan eksistensi mereka sebagai umat dari golongan agama tertentu. Mereka juga menghayati
praktik keagamaan dalam suasana kebersamaan, persaudaraan dan keakraban satu sama lain. Selain
kelompok penganut agama dalam jumlah besar, biasanya ada pengelompokan umat dalam bagian-
bagian yang lebih kecil lagi dengan jumlah anggota yang lebih kecil atau sedikit. Misalnya ada warga
23
jemaat atau lingkungan di dalam umat Kristiani (Katolik dan Protestan), atau warga pesantren/majelis
taklim tertentu, komunitas keagamaan yang terdiri dari anggota suatu gereja tertentu, komunitas pura
dan wihara dan lain sebagainya.
e. Memiliki pengalaman keagamaan
Setiap penganut agama memiliki pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu yang khas dan
unik. Pengalaman keagamaan itu dihayati secara bersama maupun pribadi. Misalnya saja di kalangan
Kristen Protestan ada yang mengalami pengalaman keagamaan lalu menghayati panggilan khusus
menjadi pendeta. Di kalangan Katolik seseorang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa
terpanggil untuk menjadi pastor (romo atau pater) ataupun menjadi biarawan (bruder) dan biarawati
(suster). Di dalam agama Islam, orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terdorong
untuk pergi menunaikan ibadah haji di Mekkah. Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan
akan merasa terpanggil untuk menjadi biksu atau pewarta agama yang baik. Pengalaman keagamaan ini
hampir ditemukan di dalam setiap agama di dunia.
Pengalaman keagamaan ini sering menjadi tolok ukur untuk menentukan kadar kedalaman
hubungan orang beragama dengan Tuhan. Semakin dalam hubungan dengan Tuhan, seseorang akan
mudah mengalami pengalaman keagamaan. Semakin jauh relasi dengan Tuhan, maka pengalaman
keagamaan pun semakin jauh dari hidup orang itu. Maka setiap orang beragama perlu mengembangkan
diri dan mengusahakan diri untuk dapat mengalami pengalaman keagamaan dalam hidupnya.
Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat menghayati agama
yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan untuk melakukan hal yang buruk
atau hal yang salah dalam hidupnya. Ia tidak akan gampang juga untuk terjatuh ke dalam godaan-godaan
dunia ini yang menyesatkan dan menghanyutkan manusia ke dalam jurang dosa. Sebab dosa semakin
menjauhkan manusia dari Tuhan sebagai substansi ilahi yang disembah dalam agama-agama.
f. Memiliki Etika
Setiap agama memiliki aturan, hukum, norma, tata cara, kode etik, doktrin yang dijadikan
sebagai sumber ajaran moral atau etika bagi para penganutnya. Etika ini menjadi pegangan dan sumber
sikap dan perilaku sosial para penganut agama dalam relasi dan interaksi sosialnya dengan diri sendiri,
orang lain, alam maupun dalam relasi dengan Tuhan yang diyakini sebagai sumber kebaikan utama dan
tertinggi. Orang beragama menjadikan etika ini sebagai patokan dan orientasi dalam sikap dan perilaku
hidupnya baik secara individual maupun secara kelompok.
g. Memiliki Aspek Sakralitas/Kekudusan
Setiap agama memiliki pandangan akan hal-hal yang mereka yakini sebagai sakral atau kudus
dan juga pandangan akan hal-hal yang menurut mereka profan atau duniawi. Mereka sungguh
memberikan fokus, apresiasi dan perhatian serius pada hal-hal yang suci dan kudus. Ada objek-objek
24
yang dianggap sakral misalnya tempat suci, musik, patung, lukisan, bunga, pakaian, arsitektur
bangunan, atau area yang dianggap suci atau kudus sebagai tempat atau sarana berdoa, bermeditasi
atau pun merenung untuk mendapatkan inspirasi dan makna hidup yang spiritual.
h. Memiliki Kisah/Sejarah yang Sentral
Di dalam setiap agama ada kisah-kisah sejarah yang dianggap sentral dan penting yang
mempengaruhi cara berpikir, sikap dan kepercayaan serta keyakinan kelompok penganut agama
bersangkutan. Kisah sejarah itu dianggap religius dan menungkapkan suatu kebenaran fakta sejarah di
masa lampau yang pernah terjadi atau juga suatu imajinasi religius pada masa tertentu di masa lalu
yang berdampak pada masa kini dan masa depan penganutnya.

4. Membaca dan Memaknai Agama


Sesuai dengan watak evolusi agama yang harus diejawantahkan, maka tradisi kritik dan
pemunculan tafsir yang heterogen menjadi suatu keniscayaan dan kemestian wajar tak terelakkan.
Tradisi ini bertujuan agar peran-peran profetik agama sebagai kekuatan moral dan pembebasan lewat
perilaku pemeluknya dapat muncul lagi ke permukaan. Keragaman tafsir ini bermakna positif sebagai
upaya kontekstualisasi teks agama pada problem-problem kemanusiaan aktual kontemporer.
Dalam pemunculan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh
Jean Jacques Derrida (filsuf Prancis) layak dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja. Metode yang
awalnya dipakai dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau
meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk
bertanya, menggugat, atau pun mengkritik.
Dalam bidang keagamaan, dekonstruksi terhadap teks ini memungkinkan kita untuk
membongkar monopoli tafsir atas otoritas tertentu yang menegaskan mengenai “kebenaran” atas nama
Tuhan, negara atau penguasa. Sehingga definisi dan praktek pencarian “kebenaran” menjadi demokratis
dan berparadigma antroposentrik. Dalam hal ini, manusia menjadi pusat tafsir yang berusaha untuk
menggali kebenaran yang beragam secara objektif.
Evolusi keagamaan yang menghargai pluralitas dengan sendirinya menekankan adanya
historisitas logos dalam pembacaan teks. Maksudnya, dalam pembacaan teks agama mutlak diperhatikan
rentang waktu kemunculan, kompleksitas, serta latar belakang ideologi yang terdapat di dalamnya. Oleh
karena itu, Arkoun mengkritik adanya sebuah sakralisasi pengetahuan agama (taqdis al-afkar ad-
diniyyah) yang sering terjadi pada umat beragama. Sebab, pensakralan menjadikan manusia terbelenggu
pada kebenaran tunggal dan penerimaan tanpa reserve sebuah penafsiran teks keagamaan.
Padahal, kemunculan teks pada masa lalu pasti tidak terlepas dari dimensi politis dan ideologis
sang pengarang di zamannya. Dalam konteks ini, Arkoun menganjurkan kita agar jeli membedakan
25
pemikiran keagamaan yang ada pada era klasik, skolastik, dan modern. Untuk itu, model pembacaan teks
dengan metode hermeneutika yang berusaha menghadirkan teks masa lalu agar bisa terpakai pada
zaman sekarang, layak diterapkan. Dalam metode ini, latar belakang kemunculan teks, maksud
pengarang, struktur bahasa, nilai atau simbol pengetahuan, dan kontekstualisasi adalah sebuah lingkaran
yang senantiasa berkelindan. Sehingga, sebuah teks keagamaan tidak serta merta dipakai secara simbolik
tanpa mengkaji makna substantif dan moralitas yang terkandung di baliknya. Teks kitab suci perlu dibaca
secara kritis.
Dengan bahasa dan istilah berbeda, Mohammad Abed Al-Jabiri juga menegaskan, bahwa
kritisisme dalam pembacaan dan pemaknaan kembali teks keagamaan mutlak dilakukan. Sedangkan
metodologi yang ditawarkan adalah metode strukturalis: analisis sejarah dan kritik ideologi. Metode
strukturalis digunakan sebagai pembacaan teks secara literal dan membatasinya dalam melokalisir
kebenaran yang bersifat sementara. Sedangkan analisis sejarah adalah mencari pertautan pemikiran sang
pengarang teks dengan ruang lingkup sejarah budaya, sosial, politik, serta sosiologisnya. Kritik idelogi
mengungkap maksud pengarang dalam penciptaan karya melalui epistemologi yang dirujuknya.
Dengan model pembacaan dan pemaknaan agama yang tidak terjebak pada simbol dan
homogenitas seperti di atas, umat beragama diharapkan menjalankan keberagamaan baru yang humanis
dan membebaskan. Penegasan Soroush: “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama
yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat
beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog
antar-intra iman, dan giat bekerja sama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan, sosial
dan ekologi lingkungan serta menggalakkan demokratisasi dalam konteks hidup berbangsa dan
bernegara yang lebih baik di masa depan.

C. PENUTUP
Kita sudah melihat bersama pembahasan yang berkaitan dengan agama pada umumnya. Agama
adalah institusi atau organisasi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Agama berperan
menciptakan kebaikan, perdamaian dan kesatuan manusia di dalam tatanan sosial masyarakat. Agama
memiliki substansi, asal usul, dan karakteristik tertentu dalam kiprahnya. Sebagai mahasiswa calon
pemimpin masa depan dan generasi penerus bangsa, kita perlu memiliki pemikiran yang terbuka (inklusif
dan pluralis) dalam belajar, memahami dan memaknai agama secara bijaksana sehingga semakin
bertumbuh menjadi pribadi manusia yang toleran, peduli sosial dan mampu bekerjasama dalam l.atar
perbedaan agama di Indonesia ini.

Tugas
26
Refleksi Pribadi
Setelah mempelajari materi materi ini, Anda diminta untuk merefleksikan:
1. Apa keyakinan/kepercayaan sentral di dalam agama Anda?
2. Bagaimana komunitas Agama Anda berbagi dengan kelompok yang lain?
3. Cerita/kisah apa yang sentral di dalam Agama Anda?
4. Apa makna utama ritual dalam agama Anda?
5. Apa etika utama dalam ajaran agama Anda yang Anda ikuti dan taati? Mengapa?
6. Bagaimana pengalaman religius yang menarik di dalam pengalaman perjalanan hidup Anda?
7. Tempat apakah yang dianggap suci/sakral dalam agama Anda? Mengapa?

Referensi
• Ernst Cassirer (1944). AN ESSAY ON MAN: An Introduction to a Philosophy of Human
Culture. Louis Storm Memorial Fund: USA
• Frederikus Fios dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building: Spiritual
Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
• International Encyclopedia of the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference
• Tim Penulis Character Building Agama (2014). Character Building Agama. Jakarta: Binus
University
• https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/30/sebanyak-8688-penduduk-
indonesia-beragama-islam
• https://college.holycross.edu/projects/himalayan_cultures/2011_plans/sshmitt/images/
Elements.pdf

27
Topik 3
KNOWING WHAT OR WHO GOD IS

Learning Outcome:
LO1: Explain the nature of religions and the God in general
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan konsep-konsep Allah berdasarkan Kitab Suci
• menerapkan makna mengenal Allah melalui alam
• menerapkan makna mengenal Allah melalui sesama

A. PENDAHULUAN
Sebagai orang beriman dan beragama, sudah seharusnya kita memiliki pemahaman, gambaran
atau konsep tentang apa atau siapa Allah yang kita imani itu (Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan
Tinggi, 2016: hal. 88). Gambaran, konsep atau pemahaman kita tentang Allah sangat penting terkait
penghayatan kita tentang Dia dalam kehidupan kita. Kalau kita memiliki gambaran yang baik tentang Allah,
termasuk tentang berbagai pesan-pesan atau tuntunan moral-Nya untuk kita, tentu kita akan lebih mudah
dan optimis dalam menghayatinya dalam kehidupan kita sebagai orang beriman. Gambaran atau konsep
kita tentang Allah bukanlah sesuatu yang tidak berkaitan dengan kehidupan kita yang hakiki, yang sekedar
mengisi otak atau pengetahuan fantasi-abstraksi kita; melainkan sebaliknya, sesuatu yang sangat
berkaitan dan memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia. Keterbukaan manusia pada Yang Adikodrati
merupakan fitrah manusia yang dimilikinya sejak lahir (Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,
2016: hal. 43).
Sumber utama pengenalan akan Allah adalah Kitab Suci atau Kitab Keagamaan, yang diyakini
sebagai warisan para nabi atau tokoh-tokoh awal agama-agama di dunia ini (Tim CBDC, Character Building:
Agama, 2015: hal. 29-34). Selain pengenalan melalui Kitab-kitab Suci, Allah bisa dikenal juga melalui
berbagai cara lain, melalui ciptaan-Nya, melalui peristiwa-peristiwa atau kejadian, melalui pengalaman
(baik atau buruk), baik pribadi maupun bersama, melalui hati Nurani dan melalui berbagai perjumpaan
lainnya. Pengenalan akan Allah melalui Kitab suci merupakan pengenalan yang khas, karena didasarkan
pada apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Sebagai tulisan maka konsep itu tidak berubah, bisa dihafal dan
dieja dengan fasih, tanpa salah seikitpun. Untuk pengenalan akan Allah melalui sumber-sumber atau

28
perjumpaan lainnya sangat dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran 4 , kepekaan religius, untuk bisa
menangkap bahkan merasakan atau mengalami kehadiran-Nya secara khas dan unik, yang menyapa dan
menyatakan kehadiran serta kehendak-Nya kepada kita. Dalam topik ini akan didalami pengenalan akan
Allah melalui Kitab Suci, melalui alam dan melalui sesama, serta mencari makna dari berbagai pengenalan
tersebut, menyangkut hubungan kita dengan Allah sendiri, dengan alam dan dengan sesama.

B. PEMBAHASAN
1. Mengenal Allah melalui Kitab Suci.
a. Konsep Allah dalam Agama Islam
Ilmu tentang ketuhanan dalam agama Islam, disebut dengan istilah Al-Tauhid. Tauhid adalah suatu
konsep teologis Islam yang menegaskan hakikat keesaan Allah Swt. Sebagai konsekuensi logisnya, seorang
muslim bukan hanya memahami namun juga mengamalkan ketauhidan itu dalam tiga (3) macam
pemahaman, yakni: 1) Tauhid Rububiyah, 2) Tauhid Uluhiyah, dan 3) Tauhid Asma wa Sifat.
Tauhid Rububiyah, artinya adalah mengesakan Allah Swt dalam penciptaan, kepemilikan,
pengurusan serta menjaga seluruh alam semesta. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Quran yang berbunyi:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (Surat Az-Zumar 39:62). Contoh
Tauhid Rububiyah adalah pengakuan akan Allah sebagai pencipta segala sesuatu dan bahwasanya alam
semesta tidak mempunyai dua pencipta yang setara dalam sifat dan perbuatan-Nya. Tauhid Uluhiyah,
artinya beriman hanya kepada Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dasar
hukumnya dalam Surat Al-Imran 3: 18 berbunyi: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang
Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Contoh Tauhid Uluhiyah adalah Pengesaan Allah dalam ibadah ya kni
bahwa hanya Allah Swt yang berhak di ibadahi. Tauhid Asma wa Sifat maksudnya beriman bahwa Allah
memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagungan-Nya. Contoh Tauhid Asma
wa sifat adalah Umat Islam tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat
Nya. Islam mengenal 99 asma’ul husna sebagai nama sekaligus sifat-sifat Allah. Dengan demikian maka
seseorang yang menganut Islam wajib mengamalkan Tauhid dan menjauhi syirik sebagai dampak lanjutan
dari kalimat Syahadat yang sudah diikrarkan oleh seorang muslim. Dalam pandangan Muslim, Tuhan
adalah Allah Swt, Yang Satu, dan Tuhan itu satu adanya. Allah itu bersifat kekal/abadi. Allah tidak dilahirkan
oleh apapun. Tidak ada sesuatu apapun yang ekuivalen dengan Allah Swt (Surat: QS Al-Ikhlas 112:1-4). Hal
ini menunjukkan secara mendasar karakteristik monoteistik di dalam Islam dalam mempersepsikan Allah
Swt. Ilmu pengakuan keesaan Tuhan ini hendaknya dibarengi dengan iman dan amal oleh umat Islam. Ilmu
Tauhid tidak ada artinya apabila tidak dilanjutkan dengan iman. Iman juga tidak benar apabila tidak

4
Perihal keterbukaan hati dan pikiran merupakan salah satu implementasi dari Binus Graduate Attribute (BGA)
“Growth Mindset”, yakni ‘open minded’.
29
didasari oleh ilmu yang benar tentang keesaan Tuhan, apalagi tidak diwujudkan dengan amal ibadah
dengan menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan dan hubungan yang baik dengan sesama.
b. Konsep Allah dalam Agama Kristen (Katolik dan Protestan)
Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) pada dasarnya mengakui adanya Tuhan sebagai Allah
Yang Esa, sebagai Pencipta segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta termasuk manusia. B ukti biblis
paling otentik bisa ditemukan di dalam Kitab Ulangan, bab 6:4 yang mengatakan: “Dengarlah, hai orang
Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa”. Di dalam Injil Markus bab 12:32 dikatakan “Dia (Allah) itu Esa
dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia”. Teks-teks ini menunjukkan secara jelas pandangan Kristiani
akan Tuhan yang pada dasarnya bersifat monoteistik. Yang unik di dalam teologi Kristen tentang Tuhan
yakni adanya konsep tentang Trinitas atau Allah Tritunggal Maahakudus. Trinitas (dari kata bahasa Latin
‘Trinus’, artinya rangkap tiga. Ada tiga pribadi atau hipostasis yang sehakikat (konsubstansial): Bapa, Putra,
dan Roh Kudus, sebagai SATU TUHAN dalam tiga pribadi Ilahi. Konsep ketuhanan dalam Tritunggal adalah:
Allah Bapa yang ada di surga, yang menjelma menjadi manusia Yesus Kristus (yang seratus persen Allah
dan seratus persen manusia), yang diutus-Nya untuk membebaskan manusia dari dosa. Dan setelah
kematian-Nya, Ia bangkit dan naik ke surga, namun tetap berpengaruh atas manusia melalui kuasa Roh
Kudus (realitas kuasa Allah yang tetap hidup dan melindungi dunia ini hingga kini dan selamanya). Tuhan
memiliki tiga pribadi yakni: Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus dengan tugas dan peran masing -
masing namun satu dalam hakikat ke-Allah-an. Allah Bapa sebagai Pencipta, Allah Putera sebagai
Penebus/Penyelamat dan Allah Roh Kudus sebagai Penghibur, yang menguduskan dan menguatkan, yang
senantiasa menyertai umat-Nya sampai pada akhir zaman. Ketiganya satu dalam hakikat dan subtansi
sebagai Allah yang Maha Esa. Beberapa teks Kitab Suci bisa disebutkan disini: Pada mulanya adalah Firman;
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah (yoh. 1:1). Firman itu telah menjadi
manusia, dan tinggal di antara kita…” (Yoh. 1: 14). Kata Yesus kepada orang banyak, “Aku telah turun dari
surga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus
Aku” (Yoh. 6:38). Kata Yesus kepada para murid-Nya, “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus
oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu …” (Yoh 14:26). Pada
suatu saat setelah kebangkitan-Nya ketika Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya, Ia
menghembusi mereka dan berkata “Terimalah Roh Kudus…” (Yoh. 20:22). Memang bagi kebanyakan akan
sulit memahami konsep Allah Trinitas ini, namun para penganut kristiani meyakini dan mengakui bahwa
mustahil kita memahami segala hal tentang Allah. Kepercayaan akan Allah Tritunggal tidak berarti orang
Kristiani percaya pada tiga Allah atau 3 Tuhan (politeistik). Allah yang Maha Esa itu “menampakkan” diri
dalam tiga cara atau tiga modus. Kitab Suci atau Alkitab tidak mengajarkan adanya tiga Tuhan, tetapi hanya
ada satu Tuhan saja, hanya satu Allah yang Tunggal dan Esa.

30
c. Konsep Allah dalam Agama Hindu
Konsep dasar memahami ketuhanan dalam agama Hindu adalah bahwa Tuhan itu satu dan dipuja
dengan berbagai cara dan jalan berdasarkan etika. Sastra Veda dalam Upanisad IV.2.1. menyebutkan:
Ekam Ewa Adwityam Brahman (Tuhan itu hanya satu, tidak ada duanya). Sementara dalam Narayana
Upanisad ditegaskan: Eko Narayana Nadwityo Stikacit (Hanya satu Tuhan, sama sekali tidak ada
duanya). Dan juga terdapat di dalam Mantram atau Puja Tri Sandya. Untuk mewujudkan bhakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dengan sifat-Nya yang Acintya (tidak dapat terpikirkan), manusia dengan sifatnya
yang Awidya (tidak sempurna) memuja Tuhan dengan berbagai rupa, nama dan sebutan, serta berbagai
interprestasi. Ini seperti tertuang dalam kitab suci Weda: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti (Hanya satu
Tuhan, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama). Tuhan bersifat Acintya atau tidak
terpikirkan oleh manusia. Artinya, manusia tidak dapat menggambarkan Tuhan dengan sempurna. Sebagai
makhluk yang dikarunia akal dan pikiran, manusia memiliki cara untuk mewujudkan bhaktinya kepada
Sang Penguasa Alam Semesta dengan berbagai cara berdasarkan nilai-nilai dharma (kebenaran). Agama
merupakan sumber yang dapat menciptakan kedamaian di hati, kedamaian di dunia, dan kedamaian di
akhirat (Moksartham Jagad Hita Yacha Iti Darma). Konsep agama Tri Murti, atau tiga kekuatan Tuhan
dalam manifestasinya: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur
atau mengembalikan ke asalnya (Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 43-44).
Konsep Tri Murti dipraktekan oleh Mpu Kuturan pada tahun 845 M, yang besumberkan pada Weda dengan
menggabungkan Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Ajaran Mpu Kuturan yang mengangkat
konsep Tri Murti menggabungkan 15 sekte atau aliran, agama kepercayaan yang ada di Bali dan dimanapun
Hindu berkembang. Kelima belas sekte dan agama ini dipersatukan oleh ideologi “Tri Murti”. Bagi orang
bijaksana menyebutnya banyak dewa sesuai dengan fungsinya sehingga beliau dikenal dengan “sehasra”
nama sebutannya seribu dewa.
d. Konsep Allah dalam Agama Buddha
Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme terdapat dalam kitab Udana bab VIII dengan terminologi
“ajātaṃ abhūtaṃ akataṃ asaṅkhataṃ”, yang artinya ada yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak
diciptakan dan yang Mutlak Adanya. Dengan demikian Tuhan itu tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak
dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Menurut perspektif Buddhisme, Tuhan tidak dipandang sebagai
suatu pribadi (impersonal), tidak berkarakter antropomorfisme (ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia)
ataupun antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari manusia). Buddhisme memandang
Tuhan sebagai sebuah kondisi yang Maha Esa, Yang Mutlak, sebagai Yang Maha Tinggi, Maha Luhur, Maha
Suci, Maha Sempurna, kekal atau tanpa awal dan akhir, yang menjadi tujuan tertinggi dalam Agama
Buddha. Tuhan memang hanya bisa dideskripsikan secara parsial dari sejumlah atribut yang dikenakan

31
padaNya, tetapi bagaimanapun sudah melampaui konsep dualisme dan tidak dapat dijelaskan dalam
kerangka dualisme.
e. Konsep Allah dalam Khonghucu:
Konfusionisme tidak eksplisit menyebut nama Allah di dalam kepercayaannya sebagaimana Islam dan
Kristiani (Katolik dan Protestan), namun ia tetap mengakui adanya Kekuatan Tertinggi yang menciptakan
realitas alam semesta ini. Khonghucu lazimnya menyebut Tuhan dengan istilah Thian. Thian adalah Maha
Pencipta Alam Semesta (Bidang Litbang PTITD/Matrisia Jawa Tengah: Pengetahuan Umum Tridarma:
2007). Manusia tidak dapat memahami hakikat sejati Thian sehingga Thian digambarkan dengan ciri-ciri:
a) Yuan (Yang Selalu hadir), b) Heng (Yang Indah), c) Li (Yang Selalu Membawa Berkah), d) Zhen (Yang Kuasa
dan Abadi Hukumnya). Di dalam Kongfusionisme, terdapat sebuah doktrin yang terkenal dengan istilah
“The Doctrin of the Mean” (Zhongyong) yang merujuk pada suatu visi kebaikan di dalam hakikat manusia
yang terpusat (zhong) untuk mengolah diri khususnya perasaan-perasaan agar bisa menjaga harmoni dan
kesatuan dengan segala unsur di dalam alam semesta (Bdk. International Encyclopedia of Social Science,
Vol. 9, hal. 145). Hal ini menunjukkan bahwa Khonghucu mengakui adanya ‘prinsip etika’ di dalam
menjalankan kehidupan. Sumber etika itu terdapat di dalam Kitab Suci Khonghucu yakni Wu Jing dan Si
Shu dan doktrin ajaran iman kepercayaan Khonghucu. Prinsip etika religius Khonghucu mendorong
manusia mengolah wilayah batin demi mencapai nilai kesempurnaan dalam hidup. Terdapat etika
kebaikan bagi penganut Khonghucu untuk menjalin relasi harmonis dengan Tuhan (Thian), alam, dan
sesama serta segala makhluk yang lain. Konfusionisme sangat mementingkan relasi atau hubungan yang
harmnonis dengan segala kenyataan alam semesta yang diyakini sebagai perwujudan kekuasaan yang
lebih tinggi melampaui manusia.

Dari konsep tentang Allah yang bersumberkan Kitab Suci agama-agama seperti disebutkan di atas, kita
menemukan ada keragaman konsep atau gambaran tentang apa atau siapa Allah itu. Kita bisa memaknai
hal itu, antara lain:
a. Konsep Allah seperti tertuang dalam Kitab-kitab Suci merupakan Konsep yang otentik tentang
Allah. Diyakini bahwa konsep atau pemahaman tentang apa atau siapa Allah itu seperti tertuang
dalam Kitab-kitab suci merupakan warisan dari para nabi, rasul atau tokoh-tokoh awal agama-
agama. Diyakini juga bahwa konsep atau pemahaman itu didapatkan oleh mereka melalui
pencerahan atau penerangan lahi, melalui Ilham atau pewahyuan, yang bersumber dari Allah
sendiri (Winarso, 2008: hal. 47-48). Konsep-konsep tentang Allah itu akhirnya sampai kepada kita
melalui Kitab-kitab Suci atau Kitab Keagamaan, warisan luhur mereka.
b. Konsep Allah yang berbeda-beda itu memberi kesan bahwa Allah itu ada banyak. Akan tetapi tidak
bisa langsung disimpulkan seperti itu. Yang disebut sebagai Tuhan atau Allah itu adalah sesuatu
32
yang gaib, tidak kelihatan di mata. Dia Tak Terbatas, Mahagaib, sementara manusia merupakan
entitas atau ciptaan yang terbatas. Dalam keterbatasan masing-masing, para nabi, rasul , atau
tokoh-tokoh awal keagamaan mendekati yang Tak Terbatas itu, dan menangkapnya atau
memahaminya dalam kapasitas mereka yang khusus dan terbatas (Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi, 2016: hal. 52).
c. Kita tidak harus menghabiskan energi memikirkan tentang konsep-konsep Allah yang berbeda-
beda itu, karena ketika kita mencoba memikirkannya lebih dalam tidak menjamin bahwa
pemahaman kita tentang-Nya akan semakin baik. Walau terdapat perbedaan dalam pemahaman
dan pengungkapan konsep Tuhan atau Allah itu dalam bahasa manusia (yang juga terbatas),
namun sesungguhnya terdapat kesamaan besar di antaranya, yakni bahwa semua gambaran atau
konsep tentang Allah itu serba positif adanya. Tidak ada konsep Allah yang menakutkan bagi kita.
Kesamaan-kesamaan lain bisa kita temukan lebih banyak lagi ketika kita menelusuri berbagai
pesan-pesan moral utama Allah kepada manusia yang tersebar di berbagai bagian dalam Kitab-
kitab Suci. Kesamaan-kesamaan pesan moral utama kehidupan itu bertujuan supaya manusia bisa
menjadi baik sebagai manusia, sesungguhnya jauh melebihi berbagai perbedaan lainnya seperti
perbedaan konsep tentang Allah, tentang ritual, hukum, simbol, dsb. Jadi walaupun agama
berbeda-beda, namun semuanya mengajarkan kepada umat-Nya secara keseluruhan hal-hal yang
baik (Winarso, 2008: hal. 6). Bisa saja kesamaan-kesamaan besar itu dimaknai sebagai suatu
petunjuk bahwa semuanya itu berasal dari sumber yang sama.

2. Mengenal Allah Melalui Alam


a. Bumi sebagai Satu Ekosistem
Bumi mengandung di dalamnya berbagai lapisan kehidupan, yang dalam keberlangsungannya
saling terkait satu sama lain. Di dalam laut terdapat berbagai lapisan kehidupan: ada yang di dekat pantai,
di tengah laut, di dasar laut, di pemukaan laut. Juga ada kehidupan di dalam sungai, di danau, di daratan:
di daerah dingin, daerah panas, daerah kering, daerah basah, dataran rendah, dataran tinggi, dan juga di
udara. Keseluruhan lapisan kehidupan itu disebut biosfer (dari kata Yunani bios = hidup, dan sphere = bola),
yang terdiri atas ekosistem-ekosistem yang tak terhitung jumlahnya. Ekosistem (dari kata Yunani oikos =
rumah, dan systema = keseluruhan) dimaksud sebagai unsur kehidupan sebuah lingkungan (organisme),
yang merupakan sebuah sistem, yaitu suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling terkait
dan saling mempengaruhi. Bumi dapat dipandang sebagai suatu ekosistem besar yang di dalamnya
terdapat berbagai ekosistem kecil: ada ekosistem lautan, ekosistem hutan, ekosistem pegunungan,
ekosistem sungai, ekosistem kawasan pantai, dan sebagainya. Semua ekosistem itu mencakup seluruh
bentuk kehidupan yang ada di dalamnya, yang saling berinteraksi satu sama lain (Fios, 2017: hal. 117).
33
Selain terjadi saling interaksi antara berbagai kehidupan dalam satu ekosistem, juga antara satu ekosistem
kecil yang satu dengan ekosistem kecil lainnya terjadi interaksi dan saling mempengaruhi, sehingga
keseluruhan biosfer, yakni keseluruhan lapisan kehidupan, termasuk manusia sebagai salah satu lapisan di
antaranya, merupakan satu ekosistem bumi (Gea, 2005: hsl. 50). Di dalam ekosistem itu, manusia hanya
merupakan mikrkrokosmos di tengah makrokosmos, atau hanya satu tetesan kecil di tengah lautan yang
luas.
b. Alam Semesta sebagai Penampakan (Epifani) Tuhan
Tuhan semua agama dan aliran spiritual memiliki satu keyakinan mendasar bahwa alam
lingkungan termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa, yang indah dan baik adanya
sejak semula. Alam adalah emanasi, pancaran atau yang mengalir keluar dari Tuhan itu sendiri. Dengan
segala kekayaan, keteraturan dan hukum-hukumnya yang luar biasa hebatnya alam ini sesungguhnya
menjadi penampakan jejak kebesaran Allah dan keagungan-Nya sebagai Mahapencipta. Agama-agama
yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya melalui fenomena alam yang kita lihat
sehari-hari. Para tokoh awal agama-agama dan para nabi sebenarnya seperti manusia lainnya mereka
berhadapan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian profan atau biasa saja sehari-hari. Namun
mereka mampu melihat atau menangkap sesuatu di balik atau di belakang peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian biasa itu, berupa sapaan atau pesan Allah yang hendak disampaikan kepada manusia.
Oleh karena itu alam semesta (universum) adalah tanda kehadiran Tuhan. Alam semesta adalah epifani
(penampakan) Tuhan itu sendiri (Fios, 2017: hal. 117). Dalam perspektif filosofis, Wujud Tuhan dapat
diamati dari keberadaan alam semesta sebagai makrokosmos, yang tidak mungkin mengalami sebuah
keteraturan hukum bila tidak ada pengatur, yang disebut Tuhan (Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi, 2016: hal 49). Manusia penting mengaktifkan kepekaan religius atau spiritualnya agar mampu
mambaca atau memaknai fenomena-fenomena alam ini dalam terang iman akan kehadiran Tuhan dan
penyertaan-Nya dalam kehidupannya. Adanya dunia dan proses evolusinya dalam dinamika waktu yang
panjang tidak mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta sebagai ciptaan Tuhan dan sekaligus sebagai
tanda kehadiran-Nya yang menakjubkan.
Lingkungan alam tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai intrinsik pada
dirinya sendiri. Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki nilai internal pada
dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan alam diberikan Tuhan
sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke masa depan sepanjang
keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan nilai dan martabat lingkungan alam.
Pandangan dunia antroposentris yang telah membawa dampak kerusakan serius pada lingkungan
bertentangan dengan pengakuan akan dimensi keilahian alam ciptaan Tuhan itu sendiri (Gea, 2005: hsl.
41-42). Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau kenyataan yang terberikan oleh Tuhan untuk
34
manusia. Karenanya lingkungan alam adalah berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang perlu disyukuri oleh
setiap manusia di kolong langit ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan dalam wujud sikap
tanggung jawab manusia dalam menggunakan, menjaga dan melestarikan lingkungan alam (Tim CBDC,
Character Building: Agama, 2015: hal. 40) .
c. Makna “Mengenal Allah melalui Alam”
Istilah mengenal Allah melalui alam bukanlah dalam arti hurufiah, bahwa kita bisa melihat Allah
secara kasat mata dalam alam ini. Istilah ini merupakan ungkapan rohani-religius, sehingga harus dimaknai
secara rohani-spiritual. Salah satu makna penting dari istilah ini adalah: Kalau dalam iman kita
mengakatakan bahwa Allah adalah sumber kehidupan bagi kita, hal itu menjadi nyata bagi kita justru
dalam dan melalui alam ini. Kita hanya bisa hidup karena adanya makanan, minuman dan udara sehat yang
senantiasa kita makan, minum dan hirup. Tanpa semuanya itu kita akan mati. Melalui alam kita bukan
hanya mengenal, melainkan merasakan dan mengalami kehadiran Allah dalam hidup kita, yang selalu
menyertai kehidupan kita, yang membuat kita bisa melanjutkan kehidupan kita.
Dengan kesadaran pemaknaan ini maka sebenarnya alam lingkungan yang kita diami ini sudah
memiliki nilai sangat tinggi atau sangat mendalam bagi kita. Alam sudah merupakan wujud kehadiran Allah
dalam kehidupan kita. Alam adalah pemberian Allah kepada kita, dan Dia hadir dalam pemberian-Nya itu.
Maka kalau alam kita hayati sebagai wujud kehadiran Allah yang menghidupkan kita, apakah sepantasnya
kalau kita mengambil posisi merusak alam, atau membiarkannya menuju kepunahan, yang berarti juga
kebinasaan bagi kita? Sekarang ini alam sudah semakin menuju ambang kepunahannya karena
kemampuan eksplorasi dan eksploitasi manusia yang semakin tak terkendali, yang didukung oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan, sikap dan perilaku manusia terhadap alam tidak
hanya tertuju pada alam itu sendiri melainkan terarah juga pada Allah sebagai Pencipta dan Pemberinya.
Ujung dari semuanya itu adalah bencana bagi kehidupan manusia, yang keberlanjutan kehidupannya
bergantung pada alam itu sendiri. Pemahaman dan kesadaran mendalam akan hal ini seharusnya menjadi
titik-tolak bagi kita dalam mengembangkan pandangan, sikap dan perilaku yang semakin tepat terhadap
alam lingkungan hidup kita (Gea, 2005: hal. 61-62).

3. Mengenal Allah Melalui Sesama


a. Manusia sebagai sesama bagi yang lain.
Sama seperti istilah mengenal Allah melalui alam, demikian juga istilah mengenal Allah melalui
sesama tidak bisa dimengerti secara hurufiah, seakan-akan kita bisa melihat Allah secara kasat mata dalam
diri sesama. Ini adalah ungkapan atau istilah rohani-religius, sehingga harus dimaknai secara rohani atau
secara religius-spiritual pula.

35
Apakah sesamaku manusia yang lain adalah pribadi yang lain? Iya, karena sebagai subjek otonom
mereka itu unik dan berbeda dengan saya. Mereka adalah aku-ku yang lain yang berbeda dengan saya
dalam penampilan fisik, keahlian profesional, cita-cita, tugas pekerjaan, bakat, hobi dll. Namun adakah
sesamaku yang lain memiliki kualitas kesamaan dengan diriku? Jawabannya ada! Kesamaan itu terletak
pada kenyataan humanis bahwa kita sama-sama sebagai spesis manusia dan secara religius kita sama-
sama adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jadi, manusia berbeda (disting) namun sekaligus mirip
(identik). Secara rohani-spiritual, kita semua sungguh sama yakni ciptaan Tuhan (Tim CBDC, Character
Building: Agama, 2015: hal. 51). Semua agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Khonghucu)
meyakini satu kebenaran religius dasar, bahwa setiap subjek manusia merupakan makhluk yang bernilai
luhur dan mulia. Status keluhuran esensial insan manusia seperti ini didasarkan pada suatu keyakinan
religius bahwa semua manusia sungguh diciptakan oleh Allah. Kendatipun semua manusia lahir di dalam
suku, ras, agama, etnis, dan bangsa yang berbeda-beda namun sejatinya hakikat setiap manusia sama-
sama adalah makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat adanya struktur kesamaan
atau kesederajatan eksistensial semua manusia dari perspektif religius. Kita manusia sungguh adalah
sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, yang semartabat dan sederajat di hadapan Tuhan dan sesama. Tuhan
menciptakan setiap manusia sebagai suatu kebaikan dan keindahan sejak awalnya. Tuhan memberikan
kualitas fisik dan jiwa bagi manusia untuk bisa mengenali Dia sebagai Tuhan Pencipta melalui sesama yang
lain selain alam kosmos. Tuhan menciptakan manusia dengan kualitas lebih daripada ciptaan yang lain:
dianugerahi akal budi dan kehendak bebas, perasaan moral, dan kepekaan religius untuk bisa
mengembangkan diri, mengolah alam dan memuliakan Tuhan.
Asumsi tentang semua manusia adalah ciptaan Tuhan memiliki akibat atau konsekuensi logisnya
yakni semua manusia sama-sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dan oleh karena itu di wajah sesama
yang lain Tuhan juga hadir di sana. Kehadiran atau eksistensi sesama yang lain merupakan penampakan
wajah Tuhan juga. Untuk itu bisa dikatakan bahwa setiap subjek manusia menampakan wajah Tuhan itu
sendiri. Tuhan hadir di dalam setiap subjek manusia dan realitas kemanusiaan setiap kita sebagai manusia
yang beriman dan percaya kepada-Nya. Tuhan hadir di dalam diri sesama memberikan motivasi atau
inspirasi kepada setiap kita manusia untuk berbuat baik, berlaku sopan, bertindak tulus dan penuh cinta
untuk mengasihi sesama yang lain sebagai mana kita dikasihi oleh Allah sendiri. Tuhan terlalu luar biasa
mencintai setiap kita, sehingga kita pun layak membagikan cinta itu kepada sesama kita yang lain,
terutama mereka kurang beruntung nasibnya dalam kehidupan ini.
b. Merasakan dan Mengalami Kehadiran Allah melalui Sesama
Semua umat beragama mengimani atau meyakini bahwa Allah Mahapengasih dan Penyayang,
yang Mahabaik bagi kita, yang menolong, memperhatikan, membantu, menyayangi, dsb. Namun kalau kita
merefleksikan atau merenungkannya secara mendalam, sesungguhnya kasih sayang dan segala kebaikan
36
Allah itu sampai kepada kita dalam dan melalui sesama. Ketika kita masih kecil dan tidak berdaya, kita
hanya bisa bertahan hidup karena kasih sayang dan bantuan orang-orang, mulai dari orang yang paling
dekat dengan kita, orangtua dan saudara-saudari lainnnya. Semakin lama kita hidup semakin banyak orang
yang berjasa atau berkontribusi dalam kehidupan kita. Tanpa kehadiran orang lain kita tidak mungkin bisa
hidup. Kasih sayang, perhatian, bantuan, pertolongan, dan berbagai kebaikan yang orang lakukan atau
perbuat pada kita, yang membuat kita bisa bertahan hidup dan bahkan menghalami kemajuan, semuanya
itu dapat kita maknai sebagai wujud kehadiran Allah dengan segala kebaikan-Nya pada kita (Gea, 2004:
hal. 196-197).
c. Menghadirkan Allah dan kebaikan-Nya kepada sesama.
Pemahaman akan hal ini tentu sekaligus menyadarkan kita bahwa kita sendiri merupakan
penampakan wajah Allah dan kebaikan-Nya kepada sesama. Tentu sesama yang dimaksud disini terutama
adalah mereka yang sangat membutuhkan. Kepada orang-orang yang kurang bernasib baik inilah kita yang
memiliki kemampuan harus memiliki kepekaan religius, merasa terpanggil secara khusus untuk
menampakkan wajah Tuhan dan membagikan kebaikan-Nya kepada mereka. Mereka harus bisa melihat
dan merasakan bahkan mengalami kasih dan kebaikan Tuhan, yang sampai pada mereka melalui kehadiran
kita pada mereka. Juga kita bisa mengenali, mendengar, dan menangkap serta merasakan kehadiran
Tuhan dalam diri sesama yang menderita. Dengan kepekaan religius yang aktif dalam diri kita membuat
kita bisa mengenali dan merasakan kehadiran Allah dalam diri mereka, yang seakan-akan berseru-seru
kepada kita, mendesak respon kesediaan dan ketulusan kita untuk melakukan sesuatu, yang membuat
mereka bisa merasakan dan mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Kita manusia memiliki
panggilan untuk saling menghadirkan wajah Allah dan kebaikan-Nya kepada satu sama lain.
d. Perintah Allah untuk mencintai
Ajaran pokok agama-agama, yang bersumberkan kitab-kitab suci memuat suatu imperatif
(perintah) kepada kita untuk saling mencintai satu sama lain. Di dalam agama Hindu, Budha, Islam, Kristen
(Katolik & Protestan) serta Khonghucu diajarkan kepada kita nilai-nilai luhur yang perlu kita hayati dan
terapkan dalam hubungan dengan sesama manusia yang lain (Fios, 2017: hal. 113-114). Ini berarti
mencintai sesama atau saling mencintai adalah suatu etika religius. Lebih tepatnya suatu etika kewajiban
religius yang radikal dan mendasar dalam hubungan kita dengan sesama. Artinya mencintai sesama bukan
bersifat aksidental atau tambahan saja, melainkan unsur yang mendasar atau substansial di dalam relasi
kita dengan sesama manusia (Gea, 2004: hal. 203-211).
Dalam Islam, mencintai sesama manusia dikenal dengan istilah hablun min annas. Cinta terhadap
sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dari rasa cinta terhadap Penciptanya. Karena dalam ajaran
Islam, cinta terhadap Allah SWT, juga berarti cinta terhadap sesama insan manusia yang lain yang adalah
ciptaan-Nya juga. Rasa cinta terhadap sesama manusia tidak bisa terlepaskan dari sifat kemanusiaan. Salah
37
satu kisah tentang keutamaan cinta kasih dalam muslim (Islam) muncul dari sosok Nabi Muhammad SAW
yang mengubah benci jadi cinta. Dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sering diperlakukan secara
sangat tidak manusiawi di zamannya, seperti dilempari kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, namun
yang menariknya Sang Nabi selalu memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk
membalas, Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Semoga Allah mengampuni mereka, karena mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat.” Memaafkan seperti ini menandakan kematangan Muhammad dalam
mencintai sesama. Cinta mengubah benci menjadi kasih. Inilah yang membuat dunia ini sungguh damai,
aman dan nyaman untuk dihuni. Pada prinsipnya, cinta terhadap sesama manusia adalah dengan tolong -
menolong, saling mengenal dan keserasian. Menurut pandangan Islam, rasa cinta terhadap sesama
manusia bisa diwujudkan, salah satunya dengan keadilan dan persamaan derajat di antara manusia.
Di dalam kekristenan, cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan terutama. Injil Matius 22:37-
40,: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yaitu kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah terdapat seluruh hukum Taurat dan kitab para
nabi”. Ini artinya isi kitab suci, terutama hukum yang terdapat di dalam seluruh Alkitab (Perjanjian Baru
maupun Perjanjian Lama) berintikan perintah untuk mengasihi, baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi
sesama. Dalam konteks ini mengasihi sesama merupakan ekspresi cinta kepada Tuhan juga. Atau cinta
kepada Tuhan diekspresikan juga dalam cinta kasih terhadap sesama. Mengikuti perintah Tuhan di dalam
Kitab Suci Alkitab artinya kita wajib untuk mencintai sesama.
Dalam Hinduisme diyakini bahwa saling mencintai dan mengasihi siapa saja tanpa memandang
perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda 32. 8 dinyatakan “Sa’atah
protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam makhluk yang diciptakan. Sangat menonjol
bagi manusia modern mengenai konsep cinta dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah
keterbukaan. Masalah kehidupan rumah tangga ialah menciptakan keselarasan dan kesesuaian seperti
pada alam sesuai dengan hukum abadi (Rta). Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku
dalam kehidupan keluarga agar mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian
dan kebahagiaan bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi
parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Di dalam Budhisme, aspek cinta kasih merupakan hukum utama dalam relasi antar-manusia.
Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat kemelaratan bertambah,
pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk kejahatan berkembang cepat, pembunuhan
menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari waktu ke waktu semakin pendek (D. III, 65-73). Kalau
manusia peduli pada sesamanya, hidup akan menjadi semakin indah, bermakna, penuh cinta dan damai.
Peduli pada sesama adalah suatu panggilan untuk mencintai sesama manusia. Budhisme mengakui
38
pentingnya cinta dalam kehidupan. Nikaya Pali memuat satu kata cinta yang berbeda dengan cinta yang
lain yakni cinta kasih yang dipancarkan secara universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta
kasih yang tanpa pamrih, yaitu Metta. Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang
mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan diri sendiri. Metta juga suatu keinginan
untuk membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat (byapada).
Pengembangan metta dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kedamaian Nibbana (Mettacetto
vimutti), seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada 368: "Apabila seorang bhikkhu hidup
dalam cinta kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran Sang Buddha, maka ia akan sampai pada
Keadaan Damai (Nibbana), berhentinya hal-hal yang berkondisi (sankhara)".
Di dalam Khonghucu, cinta (Ren) merupakan salah satu ajaran yang pokok. Ren artinya cinta kasih
universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga meluas kepada sahabat,
lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat manusia. Ren tidak membeda-bedakan
manusia dari latar belakang atau ikatan primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau
pertimbangan atas dasar kelompok. Ren dalam pengertian agama Khonghucu selalu didasari pada sikap
ketulusan, berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun
perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk. Dalam salah
satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperi cintakasih bisa mencintai dan membenci”.
Mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Balaslah kebaikan dengan kebaikan; Balaslah kejahatan
dengan kelurusan”. Ini artinya siapa pun yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi
pendidikan secara optimal agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita
tidak boleh terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang, melaikan mencintai orang itu secara
tulus lagi.

C. PENUTUP
Mengenal Allah dan kehendak-Nya pada ciptaan-Nya, khususnya manusia, merupakan hal yang
sangat penting bagi manusia. Allah bisa dikenal dengan berbagai cara, terutama melalui Kitab Suci yang
memuat konsep yang jelas dan otentik tentang apa atau siapa Allah itu. Kitab Suci adalah sumber utama
pengenalan tentang konsep Allah karena merupakan warisan dari para nabi atau tokoh-tokoh awal agama-
agama, yang mana hal itu diyakini mereka terima melalui pencerahan atau penerangan ilahi, Ilham atau
pewahyuan yang berasal dari Allah sendiri. Konsep tentang Allah seperti tertuang dalam Kitab-kitab Suci,
merupakan hasil tangkapan para nabi atau tokoh awal agama-agama atas pewahyuan atau penerangan
ilahi Allah. Dalam kondisi mereka yang khas mereka mendekati yang Tak Terbatas itu (atau lebih tepat:
mereka membuka diri menyambut pembukaan diri Allah dan kehendak-Nya kepada manjusia),
menangkap-Nya dengan pemahaman yang khas pula, kemudian diungkapkan (dibagikan, disebarkan, dan
39
kemudian dituliskan) menggunakan bahasa manusia yang juga khas dan terbatas (bdk. Smith, 2008: hal.
75). Dalam kerangka kontekstualitas inilah bisa dimaknai perbedaan-perbedaan itu, yang telah terwariskan
kepada kita dalam wujud teks-teks suci (Kitab Suci) yang tidak berubah, kendati kondisi zaman dan situasi
kehidupan terus mengalami perubahan. Itulah sebabnya mengapa perbedaan-perbedaan itu (tentang
konsep Allah dan hal-hal lainnya yang termuat dalam Kitab-kitab Suci) tidak bisa langsung menghantar kita
pada penyimpulan bahwa bahwa Allah ada banyak.
Selain pengenalan Allah melalui Kitab Suci, kita juga bisa mengenal Allah melalui alam dan sesama
manusia. Dalam dan melalui alam, yang merupakan penampakan jejak-jejak kebesaran Allah, kita bukan
hanya mengenal adanya Allah, melainkan dapat merasakan dan mengalami secara nyata kehadiran dan
penyertaan-Nya dalam kehidupan kita. Allah hadir menjadi kehidupan bagi kita melalui bahan-bahan
makanan, air dan udara sehat yang senantiasa kita konsumsi, kita makan dan minum serta hirup setiap
saat. Kita semakin sadar bahwa alam ini sesungguhnya wujud kehadiran Allah dan penghidupan-Nya dalam
kehidupan kita. Dengan demikian maka kita semakin faham mengenai kedudukan alam dalam keseluruhan
tatanan kehidupan kita manusia dan seluruh makhluk. Dengan itu seharusnya kita manusia lebih mampu
mengembangkan pandangan, sikap dan perilaku yang tepat terhadap alam. Menjaga dan memelihara
alam, bukan saja karena alam itu penting bagi kita, jantung kehidupan kita, melainkan karena kita
mengalami kehadiran Allah bagi kita di dalamnya. Alam memiliki nilai keilahian yang berasal dari sumber
keilahian itu sendiri, Allah Pencipta.
Selain mengenal Allah melalui Kitab Suci dan alam lingkungan hidup, kita juga bisa mengenal Allah
dalam dan melaluin sesama. Sama seperti pengenalan akan Allah melalui alam, pengenalan kita tentang
Allah melalui sesama juga merupakan hal sangat nyata bagi kita. Kita bukan hanya mengenal, melainkan
merasakan dan mengalami secara nyata kehadiran Allah dengan segala kebaikan-Nya melalui sesama
dalam kehidupan kita. Kasih dan kebaikan Allah, perhatian dan pertolongan-Nya kita rasakan dan alami
secafra nyata dalam dan melalui kehadiran sesama dalam kehidupan kita, melalui perhatian, kasih sayang,
pertolongan dan berbagai kontribusi sesama, secara langsung atau tidak langsung, yang membuat kita bisa
bertahan hidup, berkembang dan mencapai kemajuan dan kesempurnaan kemanusiaan kita. Hal ini sama
artinya juga bahwa sesama dapat mengenal, merasakan dan mengalami kehadiran dan penyertaan Allah
dengan segala kebaikan-Nya dalam dan melalui kehadiran kita pada mereka. Kita menjadi penampakan
wajah Allah dengan segala kebaikan-Nya pada sesama kita, terutama mereka yang sangat membutuhkan
bantuan dan pertolongan, yang kurang bernasib baik dalam kehidupan ini. Semoga pendalaman ini dapat
menjadi inspirasi bagi kita dalam memperdalam pemahaman dan penghayatan iman kita secara lebih
nyata dan tulus.

40
Tugas
Refleksi Pribadi
Melalui Kitab Suci, Anda mengenal konsep tentang apa atau siapa Allah yang Anda Imani, Anda tidak lupa,
bisa menghafalnya dan mengejanya dengan tepat, tanpa salah. Tapi apakah Anda juga punya pengenalan
akan Allah melalui pengalaman-pengalamanmu, melalui kejadian atau peristiwa dalam kehidupan ini,
melalui hati nurani, dan melalui perjumpaan lainnya? Kalau ada, yang mana lebih terasa pada Anda, lebih
mendalam pengenalannya, lebih merasa atau mengalami kehadiran-Nya dalam kehidupan Anda?
Bagaimana Anda terus memperdalam pengenalanmu akan Allah?

Referensi
• Fios, Frederik dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building Spiritual Development, Bina
Nusantara Media & Publishing, Jakarta.
• Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2004), Character Building III Relasi Dengan Tuhan, Penerbit PT
ElexMedia Komputindo, Jakarta
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2004), Character Building IV Relasi Dengan Dunia, Penerbit PT
ElexMedia Komputindo, Jakarta
• Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (2016). Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kemeterian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Cetakan 1, Jakarta.
• Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi (2016). Kemeterian Riset, Teknologi dan
Pendidkan Tingi Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Cetakan 1, Penerbit Ristekdikti, Jakarta
• Setiawan, Hendro (2014). Manusia Utuh. Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta
• Smith, Wilfred Cantwell (2008). Kitab Suci Agama-agama, diterjemahkan oleh Dede Iswadi,
Penerbit PT. Mizan Publika, Jakarta
• Winarso, Hendrik Agus, Dr., (2008). Keimanan dalam Agama Khonghucu. Suatu Tinjauan Teologi
dan Peribadahannya. Penerbit Dahare Priza, Semarang

41
Topik 4
CRITICISM TO THE RELIGIOUS FORMALISM

Learning Outcome:
LO2: Interpret the religious formalism, contemporer issues, science and digital era
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• memahami konsep formalisme agama
• mengidentifikasi formalisme agama dan faktor-faktor pemicunya
• mengkritik pemahaman dan praktik keagamaan yang formalistik dengan menghayati cara
beragama yang substantif
• menunjukkan sikap terbuka dalam relasi dengan umat penganut agama berbeda

A. PENDAHULUAN
Agama yang kita anuti umumnya merupakan hasil warisan tradisi orang tua kita secara turun
temurun. Secara sosiologis dan antropologis, kita menerima begitu saja warisan itu sejak kecil tanpa
mempertanyakannya secara kritis argumentatif. Kita beriman buta tanpa nalar kritis argumentatif. Ketika
dewasa, kita tentu perlu mendalami secara kritis pemahaman dan cara beragama kita kembali sehingga
kita sungguh dapat mempertanggungjawabkan agama dan iman kita secara bijaksana, matang dan
dewasa. Kita mengevaluasi pola pemahaman dan sikap serta tindakan kita sebagai pribadi religius yang
barangkali membawa konsekuensi yang kurang baik dalam konteks hidup bersama dalam keberagaman
agama dan juga dalam konteks beragama yang substantif. Kita perlu semakin menyempurnakan cara
beragama kita dalam konteks relasi vertikal dan relasi horizontal kita dengan entitas yang lain.

B. PEMBAHASAN
1. Konsep Formalisme Agama
Formalisme agama merupakan suatu bentuk penghayatan iman keagamaan yang hanya
mementingkan dimensi legalistik-formalistiknya. Ia lebih mengutamakan dimensi ekspresi artifisial
daripada dimensi transfisik-subtansialnya. Sehingga penampilan fisik lebih diutamakan daripada
penghayatan rohani-batiniah. Formalisme ini bisa terwujud dalam praktik perilaku atau sikap-sikap
religius yang terekspresikan dalam penghayatan hidup keseharian yang dangkal dan jauh dari
substansi agama yang seharusnya (das sollen). Formalisme agama pada akhirnya bisa berkembang ke
arah fundamentalisme agama. “...the behaviorist and religious fundamentalist focus on structure, order,

42
and firm discipline” (International Encyclopedia of Social Science, Vol. 9, hal. 132). Formalisme agama
menghayati agama dengan sangat ketat sambil menekankan struktur, aturan atau hukum yang sangat
mengikat bahkan menuntut sikap disiplin diri yang radikal. Jadi sebetulnya formalisme agama merupakan
suatu sistem religius keagamaan yang menekankan prinsip-prinsip, aturan dan hukum-hukum sebagai
unsur yang paling penting dalam penghayatan hidup religius dan kriteria evaluasi diri. Para penganutnya
berpegang teguh pada tradisi-tradisi agama secara kukuh-radikal dan menjadikan itu sebagai patokan
dalam menilai tingkat kesalehan hidup religius.
Dalam praktiknya, para penganut formalisme agama juga bisa menunjukkan dimensi
patriarkalisme ekstrem maupun dominasi subordinatif yang cenderung mendiskreditkan kelompok lain
di luar mereka: entah bangsa lain, rasa lain, suku/etnis lain, golongan lain bahkan kaum perempuan
dalam konteks isu feminisme. Praktik formalisme agama bisa sangat diskriminatif dalam sikap dan
perlakuan pada sesama yang lain. Para formalist agama bisa memposisikan diri jauh lebih tinggi dan
superior dari pihak lain.
Mereka bersikap ekstremis dan sering kali tidak bisa bertoleransi terhadap perbedaan. Mereka
juga tidak terbuka (tertutup) terhadap kelompok lain di luar mereka. Hal ini bisa berbahaya dalam
konteks eksistensi dan realitas sosial kita sebagai bangsa yang plural dan multi-religius.
Formalisme agama memiliki beberapa karakteristik mendasar yang menonjol, antara lain:
Pertama, lebih memperhatikan aturan-aturan formal agama daripada isi atau makna. Kedua,
memberikan prioritas terhadap simbol-simbol religius dalam ekspresinya. Ketiga, berpikir sangat tinggi
terkait dengan tema-tema agama sehingga cenderung membela diri dan resisten. Keempat,
menggunakan istilah-istilah religius dalam praksis keseharian hidupnya.

2. Radikalisme Agama dan Faktor-Faktor Pemicunya


Untuk membantu kita memahami konsep radikalisme agama, kita perlu terlebih dahulu
memahami apa hakikat dasar yang paling esensial dari pengertian kata ‘radikalisme’ itu. Istilah ‘radikal’
merupakan sekumpulan makna-makna yang memiliki arti membawa pulang segala sesuatu kepada
akarnya. “The world radical has a number of meaning, one of which involves “getting to the root of
matter”(Encyclopedia of the Social Science, hal. 48). Ketika kita mendengarkan kata radikalis, maka itu
artinya orang atau subjek yang ingin membawa pulang atau mau mengembalikan suatu konsep/gagasan
kepada prinsip-prinsip pertamanya. Radikalisme biasanya berkaitan dengan sistem keyakinan tertentu
yang pertama dan terutama.
Radikalisme ini bisa diterapkan dan beroperasi di dalam banyak ruang kehidupan: ekonomi,
sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, ideologi pemikiran bahkan agama dan spiritualisme.
Kaum radikalis ini biasanya membentuk kelompok sendiri yang eksklusif. Ciri khas yang menonjol dari
43
kelompok radikalis itu yakni: terisolasi, parsial, sektarian, partikular, lokal dan terfragmentaris atau
sporadis. Meski radikalisme itu bekerja di dalam setiap aspek kehidupan, pembahasan kita di sini hanya
akan terfokus pada fenomena radikalisme di bidang agama.
Radikalisme agama ini pada dasarnya adalah suatu pandangan atau ideologi religius yang ingin
mengubah realitas sosial penghayatan agama untuk kembali ke akar-akar tradisi pada awalnya yang
ketat dan kaku. Radikalisme agama, oleh karena itu, juga berkarakter konservatif, normatif,
tradisional, dan ortodoksif. Radikalisme agama berpotensi antikemajuan, anti perkembangan
antiprogresif, antisolidaritas dll. Namun para radikalis agama mungkin sungguh mencintai semangat
agresivitas, sikap kasar, tidak peduli, teror, kepicikan ideologis berkedok agama dll.
Aroma atau nuansa radikalisme agama umumnya hampir tercium di dalam semua keyakinan
agama baik Kristiani, Islam, Budha, Hindu dll. Sering dalam ekspresinya bersifat ekstremistis dan
fundamentalistis. Malah bisa tercuat keluar dalam berbagai bentuk aksi kekerasaan entah secara
verbal atau pun non verbal, fisik maupun psikologis sehingga merugikan pihak lain sebagai sasaran
korban kekerasaannya. Bahkan secara psikologis orang-orang yang radikal merasa senang (hedonis)
dan tak segan-segan melakukan teror dan intimidasi kepada orang lain misalnya menggunakan
ancaman fisik atau sikap kasar yang ditunjukkan pada pihak lain tanpa disaring secara keberadaban
humanis. Bahkan mereka sungguh menikmati sebagai suatu tindakan yang diklaim sebagai etis, luhur,
mulia dan terpuji dari sisi tilik ideologi radikalisme agama. Misalnya entah itu dengan mengorbankan
diri menjadi martir merah seperti mati suci dalam konsep kekristenan atau pun mati sahid alias jihad
dalam Islam.
Radikalisme ini kontras dengan paham moderat atau toleransi. Dengan demikian maka
moderasi atau toleransi merupakan prinsip oposisi dari radikalisme. “Moderates, in the broadest and
most general usage, moderates are defined by their opposition to radicalism, extremism, and
fanaticism. Moderates value calm, continuity, consensus, tolerance, and stability” (International
Encyclopedia of the Social Science, 2010: 226).
Jika nilai-nilai yang dibawa oleh kaum radikalisme adalah tidak peduli, tidak kompromi, tidak
toleransi maka kelompok moderasiatau toleransi malah sebaliknya. Kelompok toleran atau moderat
justru menghargai perbedaan, peduli, kompromi, mencintai keharmonisan dan kedamaian dalam
hidup bersama.
Radikalisme agama pada gilirannya menurunkan atau melahirkan ideologi-ideologi ekspresif
lain misalnya eksklusivisme agama, fundamentalisme agama, ekstremisme agama, terorisme agama,
anarkisme sosial dll. Sehingga ideologi ini tertutup terhadap agama atau kelompok lain yang tidak
sepaham dengannya. Bahkan sering kali mereka bisa tidak sepaham atau berkonflik di dalam
kelompok sendiri, jika cara-cara kerja mereka dihalangi atau dihambat.
44
Terdapat banyak alasan atau motif sebagai latar belakang yang memunculkan gerakan
radikalisme agama ini. Namun umumnya bisa dipicu oleh hal-hal seperti:
• Faktor sosial politik dan ekonomi
• Rasa emosi/sentimen keagamaan
• Faktor budaya-etnis

• Faktor ideologi keagamaan


• Maupun kebijakan pemerintah yang legalistik-radikal.

3. Dampak Negatif Radikalisme Agama


Radikalisme agama mencita-citakan untuk membawa perubahan sosial secara cepat bahkan
revolusioner di dalam tatanan masyarakat sesuai dengan harapan yang diinginkan untuk dicapai. Namun
sayangnya hal itu ditunjukkan dengan cara-cara yang tidak etis. Jika hal itu dipaksakan dalam konteks
kehidupan bersama, maka akan menimbulkan konflik sosial dan kekacauan di dalam realitas masyarakat.
Nilai-nilai kemanusiaan akan dihancurkan karena mekanisme kekerasan dan represi digunakan sebagai
cara atau alat untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain.
Selain itu juga radikalisme dapat mengakibatkan lunturnya nilai-nilai sosial religius bangsa
Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan, semangat kerukunan, jiwa persaudaraan, rasa
persatuan, sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan suku, agama dan antargolongan. Secara
umum tindakan radikalisme agama yang dilakukan dapat mengganggu stabilitas nasional bangsa,
mengganggu ketertiban dan keamanan nasional. Secara khusus tentu radialisme beragama dapat
berdampak pada sulitnya kita mewujudkan moderasi beragama di bumi Indonesia ini. Lacorne (2019)
mengatakan bahwa radikalisme agama di masa lalu muncul dalam bentuk perang agama yang terjadi di
antara bangsa-bangsa manusia yang mengakibatkan banyak korban nyawa dan kerugian material fisik,
namun untuk konteks kontemporer kekinian radikalisme agama dapat mengancam terciptanya proses
civilisasi dan keadaban publik masyarakat manusia.

4. Kritik Terhadap Formalisme: Melampaui Formalisme Agama


Kita telah melihat dampak yang ditimbulkan oleh praktik formalisme agama beserta isme-isme
lain yang diturunkan daripadanya seperti radikalisme agama, fundamentalisme agama, ekstremisme
agama dan lain sebagainya.
Semua isme berkedok agama ini tentu baik namun di sisi yang lain bertentangan dengan
kenyataan kita yang beragam, plural, multietnis, multireligius, bervariasi, berbeda dll. Tentu tidak apa -
apa jika orang menghayati nilai-nilai agama secara radikal, namun problem muncul ketika itu dipaksakan

45
kepada orang lain atau dijadikan sebagai tolok ukur paling benar dalam menilai praktik hidup bersama
dalam ruang-ruang sosial publik. Untuk mencegah agar radikalisme agama tidak merusakkan tatanan
kebaikan hidup (good life) kita bersama, maka salah satu jalan untuk mengontrol dan mengendalikan
sikap kita yang kurang bijak itu yakni dengan menjadi rasional (a critical person). Menjadi bijak artinya
kita menggunakan rasio (akal sehat) dan hati nurani (perasaan moral-etis) yang ada pada kita sebagai
spesis manusia. Maka di sini sikap kritis dalam menghayati hidup keagamaan kita menjadi penting.
Kritik terhadap formalisme bertujuan agar kita dapat bergerak melampaui formalisme agama.
Kritik terhadap formalisme bisa ditempuh dengan cara bersikap kritis dalam menghayati iman
keagamaan yang kita anuti. Bersikap kritis artinya kita memilah, memfilter, menyaring dan menyensor
pola pikir, pola sikap dan pola tindakan kita yang salah, kurang etis dan keliru dalam menghayati
keagamaan kita dalam relasi dengan others. Kritis artinya menggunakan ukuran yang benar dalam
mengevaluasi diri kita dan sesama dalam konteks hidup beragama.
Ukuran sikap kritis itu kita tempatkan dalam konteks substansi atau esensi universal dari
agama itu sendiri. Apa yang menjadi subtansi semua agama itu? Jawabannya sederhana saja:
Memuliakan Tuhan Maha Cinta dan mencintai kemanusiaan sesama siapapun etnis dia dan apapun
latar belakang agama yang dianutnya. Karena semua agama mengajarkan pesan utama perdamaian,
kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, dan solidaritas.
Kita perlu mengevaluasi hubungan antara kita dengan Tuhan (teosentris) dan relasi kita
dengan sesama (sosio-sentris) bahkan hubungan kita dengan realitas ekologi alam (eko-sentris). Kita
perlu bergerak melampaui formalisme agama. Semua agama mengajarkan kita nilai-nilai kebaikan
religius sebagai substansi utama yakni:
a. Belajar agama dengan benar dan selalu mendekatkan diri pada Tuhan/Allah (setia berdoa,
melakukan ritual, rajin berefleksi, bermeditasi, berkontemplasi, rasa takut yang suci akan Tuhan).
b. Peduli dan berempati pada sesama manusia tanpa memandang perbedaan agama/etnis
(menolong, membantu, memberi, berempati, rela berkorban, solider, mencintai dengan tulus,
menghargai sesama dll).
c. Membangun persaudaraan sejati dan menciptakan perdamaian dalam realitas sosial (tidak
berkonflik, hidup harmonis, tenggang rasa, bertoleransi, teposoliro, tasamuh, tolerare, tolerance
dll).
d. Menghargai ekologi lingkungan (menanam pohon, hidup hemat, hidup sederhana/ugahari,
bersepeda ke kampus, tidak konsumtif, jaga kebersihan diri, menjaga lingkungan, tidak
membuang sampah sembarangan dll.

46
C. PENUTUP
Kita telah membahas tentang konsep formalisme agama, faktor pemicu, dampak negatif
radikalisme dan juga pentingnya beragama secara substantif. Formalisme agama adalah pengahayatan
iman keagamaan yang hanya mengutamakan aspek legal-normatifnya tanpa memperhatikan dimensi isi
dan relevansinya. Formalisme yang tidak dikontrol dengan nalar kritis dapat berkembang ke arah
radikalisme dan fundametalisme yang meresahkan hidup sosial bersama. Oleh karena itu kita perlu kritis
dalam beragama sehingga dapat menciptakan kerukunan dan harmoni dalam hidup bersama secara ajeq
dan lestari.

Tugas
Diskusi Kelompok
Setelah mendalami materi materi ini, silahkan kelompok:
1. Mencari kasus-kasus radikalisme agama di Indonesia dan menganalisis akar penyebabnya.
2. Mengemukakan dampak-dampak negatif dari tindakan radikalisme agama.
3. Memberikan solusi nyata cara beragama yang substantif untuk mengatasi radikalisme di
Indonesia.

Referensi
• Buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negara RI Tahun 1945 (2012) yang diterbitkan oleh
Sekjen MPR RI.
• Denis Lacorne (2019). The Limits of Tolerance: Enlightenment Values and Religion
Fanaticism. New York: Columbia University Press International Encyclopedia of
the Social Science (2010). Detroit: Maxmillan Reference
• Franz Magnis Suseno (2013). “Bhineka Tunggal Ika, Kesatuan Bangsa dalam
Tantangan” dalam Proceeding International Conference Kebhinekaan dan Budaya,
Universitas Indonesia: Depok, hal. 25-29.
• Frederikus Fios (2013). “Filsafat Multikulturalisme: Sebagai Strategi Kebudayaan Menyiasati
Tantangan Pluralisme Agama di Indonesia” dalam Proceeding International Conference
Kebhinekaan & Budaya, Universitas Indonesia: Depok, Hal. 275-286.
• Tim Penulis Character Building Agama (2014). Character Building Agama. Jakarta:
Binus University

47
Topik 5
RELIGION AND CONTEMPORY ISSUES

Learning Outcome:
LO2: Interpret the religious formalism, contemporer issues, science and digital era
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan isu-isu-isu kontemporer yang menantang agama
• memecahkan isu-isu kontemporer dewasa ini
• menunjukkan pemikiran yang terbuka, empati dan peduli

A. PENDAHULUAN
Dunia kita terus berubah bahkan berakselerasi cepat dalam berbagai dimensi kehidupan. Kita
tidak dapat menyangkal fenomena ini. Perubahan sosial yang terjadi dalam realitas menuntut proses
refleksi dan adaptasi serta sikap bijaksana dari kita sebagai manusia religius yang menganut kepercayaan
kepada Tuhan yang Maha Esa. Ada banyak isu yang hadir menyertai perjalanan atau ziarah kaum
beragama dalam dinamika kehidupan. Hal ini menjadi peluang bagi kita untuk beragama secara
kontekstual dengan berakar pada tradisi agama sendiri, namun pada saat yang sama terbuka untuk
secara kritis dan reflektif menyaring isu-isu kekinian kontemporer untuk tetap kita hidup sebagai
manusia yang bermakna. Kita semakin menunjukkan sikap empati, peduli, kritis sekaligus semakin
bertumbuh dewasa/matang dan beriman kepada Tuhan dalam perjalanan kekinian kita di dalam
dinamika perubahan yang terus berlangsung ini.

B. PEMBAHASAN
1. Isu-isu Kontemporer
a. Sekularisme
Terminologi sekularisme berasal dari masyarakat dunia barat. Kata-kata sekuler dan sekularisasi
berasal dari bahasa Barat yakni Inggris, Belanda, dan lain-lain (Nurcholish Madjid: 1998, hal 216).
Kamus Bahasa Indonesia memaknai kata sekuler sebagai duniawi kebendaan atau bukan bersifat
kerohanian atau kebendaan. Kata sekuler berakar dari kata bahasa Latin ‘saeculum’ yang makna
awalnya berarti masa kini atau generasi sekarang. Bahasa Prancis menggunakan istilah la cit yang
merujuk pada kelompok masyarakat biasa dan bukan kalangan pendeta atau klerus. Sekularisme
kontras atau beroposisi dengan istilah religius, agama dan yang rohaniah-spiritual. Sekularisme paham

48
yang bernuansa duniawi belaka.
Pemikiran sekularisme dimunculkan oleh para ilmuwan yang beraliran agnostik
(mengutamakan sains melebihi hal lain) seperti Charles Darwin (biologi), Sigmund Freud
(psikoanalisis), Karl Marx (ekonomi), Einstein (IPA), George Elliot, Hardy, Tolstoy Dostoievsky dll yang
mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kitab suci
dan teologi (R.Coles: 1999, hal. 50). Bukan hanya ajaran kristianisme yang dilawan, sekularisme
juga tentu dalam arti tertentu bertentangan dengan agama-agama lain seperti Islam, Budha, Hindu,
dan Konghucu sebagai warisan keyakinan agama yang bernilai luhur oleh penganutnya yang tersebar
secara sporadis di seantero bumi. Dengan asumsi-asumsi ilmiah, para ilmuwan sekuler ini dengan
lantang menyuarakan asumsi mereka bahwa ilmu pengetahuan dan rasio bisa mengatasi berbagai
persoalan hidup di dunia, sehingga peran agama dan religiositas terdepak ke titik fragil dan periferi.
Perkembangan sains dan pemikiran ilmiah menjadi primadona, sehingga entitas agama dianggap
sebagai aspek yang tidak populer, ketinggalan zaman atau hal yang tidak penting lagi dalam persepsi
masyarakat modern hingga kontemporer.
Sekularisme merupakan suatu ideologi keduniawian yang tertutup dan mau melepaskan diri
dari agama atau menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan dunia ini (Madjid: 1998: hal. 218,
257). Ada asumsi, kehidupan hanya berlangsung di dunia ini saja dan tidak ada kehidupan lagi sesudah
kematian sebagaimana diyakini oleh agama-agama tentang keselamatan akan datang, surga, nibana,
zaman akhir, parusia atau zaman eskatologis. Tidak ada surga, tidak ada akhirat, tidak ada nibana dll.
Sekularisme mengagungkan kebebasan liberal dan menolak hidup di bawah tekanan institusi-instusi
religius yang berfungsi mengatur secara normatif dan mengarahkan masa depan manusia. Steve Bruce
dalam bukunya “God is Dead: Secularitation in the West” mengatakan sekularisasi dimulai di belahan
dunia barat dengan adanya reformasi Protestan lalu menurunkan paham relativisme, spesialisasi ke
dalam bagian-bagian (compartmentalization), dan kebebasan pribadi (privatitation).
Akar-akar sekularisme juga bisa dilacak mulai dari perkembangan pemikiran manusia sejak
Auguste Comte (tahap positif berpikir ilmiah yang menyingkirkan teologi-agama), Karl Marx (agama
sebagai candu/opium masyarakat), Max Weber (modernitas harus berdasarkan ratio bukan agama).
Sekularisme juga berkembang seiring dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mengglobal. Sekularisme merembes masuk ke segala dimensi kehidupan manusia di ruang publik
hingga ruang privat penghayatan iman keagamaan kaum beragama alias orang-orang yang beriman
pada Tuhan.
Semangat utama yang dibawa oleh fenomena sekularisme yakni kecenderungan dasariah
untuk mengutamakan sistem-sistem filsafat politik dan sosial yang menolak dengan tegas bentuk-
bentuk iman keagamaan dan praktik-praktik ritual peribadatan agama. Dampaknya, pelaksanaan
49
aktivitas kerja di ruang-ruang publik misalnya politik, ekonomi dan sosial serta pendidikan harus
dilakukan tanpa didasarkan pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai profan (materialisme-duniawi) menjadi
pegangan dan orientasi utama sekularisme yang mengarahkan pola sikap, pola pikir dan pola tindakan
manusia masa kini.
b. Penyalahgunaan Kekuasaan
Lord Action dari Inggris pernah mensinyalir bahwa setiap bentuk kekuasaan itu pada hakikatnya
cenderung korup. “Power tends corrupt”, katanya. Kebenaran historis ini terjadi sepanjang sejarah
kekuasaan politik manusia di bumi ini. Memegang kekuasaan dan berkuasa atas orang lain adalah
suatu kenikmatan, sehingga banyak orang ingin memilikinya (Gea: 2004, hlm. 231). Terkadang orang
bisa menggunakan cara-cara jahat, licik, kejam dan kotor untuk mendapatkan kekuasaan yang ingin
dicapai.
Orang yang memiliki kuasa atau kekuasaan biasanya akan menggunakan kekuasaan untuk
menindas atau menekan orang lain. Hal ini merupakan suatu hal yang melekat erat di dalam kata
“kekuasaan” karena kekuasaan memberi peluang bagi seseorang/kelompok masyarakat untuk
memaksakan kehendak kepada orang lain yang menjadi sasaran represi. Kekuasaan mendatangkan
rasa tunduk, taat dan hormat dari orang lain yang ada di bawah pengaruh kekuasaan itu. Secara
ekstrem, seorang penguasa bisa saja memperlakukan orang lain secara negatif atau tidak adil bahkan
tidak manusiawi asalkan kepentingan penguasa tercapai. Terjadilah apa yang disebut abuse of
power atau penyalahgunaan kekuasaan. Bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan misalnya korupsi,
sewenang-wenang, memaksakan kehendak, menindas, bertindak tidak adil, berlaku tidak jujur,
menghancurkan lawan, menggunakan orang lain sebagai alat pemuas keinginan diri dan lain
sebagainya.
Umumnya kekuasaan didapatkan oleh manusia dengan cara perjuangan atau kerja keras
dan bisa juga diberikan sebagai hadiah dari orang lain kepada seseorang atau sekelompok orang untuk
berkuasa. Sering kekuasaan juga bisa didapatkan karena keahlian/skill, kekayaan, pengetahuan
ataupun pendidikan yang kompeten. Namun kekuasaan juga bisa didapatkan karena keberanian
seseorang misalnya menang konflik atau perang, unsur kegantengan atau kecantikan, bakat atau
talenta spektakuler seseorang dalam hal memimpin dan lain sebagainya. Perlu kita sadari bahwa
kekuasaan itu tidak salah, namun yang salah terletak pada orang yang menjalankan kekuasaan itu
untuk tujuan baik atau buruk, dengan cara etis atau tidak etis. Kekuasaan penting bagi manusia agar
tujuan hidup bersama tercapai, rencana direalisasikan, kegiatan bisa terlaksana dengan baik,
organisasi atau kelompok dapat bergerak maju mencapai target dan lain sebagainya. Kekuasaan
menjadi salah atau disalahgunakan ketika orang yang memegang kekuasaan mengedepankan ego
sendiri dalam praksis kekuasaan tanpa memperhatikan aspirasi, rambu-rambu etis yang berlaku
50
apalagi sampai menindas orang lain secara kejam dan tidak manusiawi sekali.

c. Godaan Materi
Satu hal yang tidak bisa kita sangkali adanya yakni bahwa setiap manusia ingin maju dan
berkembang secara material dalam hidup. Karena salah satu indikator kesejahteraan manusia yakni
indikator akumulasi material yang dimilikinya entah berupa aset tanah, rumah mewah, kendaraan
(mobil), uang dan lain-lain. Kepemilikan materi merupakan satu daya pikat yang menguasai hati semua
orang (Gea: 2004, hlm. 233). Fenomena ini sering menjadi suatu keinginan atau kehausan besar yang
seolah-olah tak pernah terpuaskan hingga tuntas. Ketika muncul suatu produk barang baru di pasaran,
orang akan berlomba-lomba untuk membeli demi mendapatkannya.
Nafsu untuk memiliki barang melecut manusia untuk terus membeli dan membeli.
Fenomena inilah yang oleh Magnis Suseno dinilai sebagai megatrend masyarakat zaman kini. Orang
menghayati gaya hidup konsumisme yakni semacam nafsu untuk membeli dan terus membeli tanpa
pernah puas ataupun berhenti (Makalah Seminar Character Building di Binus University, 2012). Lihat
saja di mall-mall dan pusat perbelanjaaan di kota Jakarta dan kota-kota besar. Banyak orang mulai dari
kalangan bawah hingga elit menjadikan mall sebagai tempat rekreasi untuk menghabiskan uang yang
didapatkannya entah dengan cara halal ataupun tidak. Disadari atau tidak, nafsu untuk membeli
barang merupakan kekuatan yang sudah seakan menghipnotis banyak orang. Disadari ataupun tidak
nafsu untuk terus membelanjakan uang, membeli barang atau memiliki produk trend tertentu
merupakan masalah serius di dalam zaman edan kita sekarang ini. Jika tidak diwaspadai, maka lama
kelamaan akan mempolusikan bening spiritual dimensi jiwa manusia. Karena orang bisa saja
menggunakan cara-cara tak halal untuk mendapatkan materi atau uang misalnya dengan cara korupsi
untuk bisa memenuhi nafsu membeli barang material yang diinginkannya.
Tentu materi bukan unsur yang salah atau negatif, karena ia perlu bagi kita manusia untuk
bertahan hidup di dunia sementara ini. Letak kesalahannya justru pada keinginan hati atau nafsu liar
manusia untuk memiliki banyak barang secara irasional dan membabi buta sampai tidak peduli
pada sesama yang lain. Sehingga ujung-ujungnya nafsu itu mendatangkan kerugian fatal bagi diri
manusia dan orang lain. Nafsu memiliki barang malah bisa mendatangkan neraka (derita) bagi manusia
dan bukannya surga (bahagia) di hati manusia. Dan inilah salah satu ancaman serius bagi kita manusia
beragama yang hidup di era globalisasi ini.
d. Godaan Seks
Manusia dibedakan sebagai pria (laki-laki) dan wanita (perempuan) lengkap dengan organ
genital atau alat kelamin yang membedakan keduanya secara dilahirkan. Dengan alat kelamin inilah
orang bisa mencari kebahagiaan badaniah bagi dirinya sendiri. Orang bisa menggunakan alat kelamin
51
untuk menghasilkan rangsang seksual demi kepuasan atau kesenangan badan semata-mata. Kita tidak
bisa menyangkal hakikat tubuh manusia yang penuh pesona dan indah itu. Justru karena daya tarik
seks inilah maka hubungan antara pria dan wanita menjadi menarik, indah dan selalu baru (Gea: 2004,
hlm. 234). Namun pesona keindahan seks manusia ini banyak kali disalahgunakan secara tidak etis dan
tidak bertanggung jawab sehingga keindahan seks akhirnya tercemari. Itu tampak dalam berbagai
tindakan yang tidak etis dan inferior-rendah seperti prostitusi, seks bebas, perkosaan, pelecehan seks,
selingkuh, perzinahan, kekerasan seksual dan berbagai bentuk manipulasi seksual lain yang
merusakkan makna seks yang sejati sebagai hubungan intim antarmanusia yang bersifat personal,
indah, sejati dan suci.
Seksualitas yang dihayati secara salah akan tergerus nilainya menjadi sebuah fenomena
objektivasi antarmanusia. Ketika ini terjadi maka hubungan subjek-subjek menjadi ternodai. Yang ada
hanyalah hubungan subjek-objek yang saling mengobjekkan, memperalat dan memanipulasi satu
sama lain. Seks harus dihayati sebagai karunia Tuhan yang indah bagi manusia, dan karena itu ia harus
diekspresikan secara sadar, etis, dan bertanggung jawab agar tidak mendatangkan efek merusak bagi
diri sendiri maupun orang lain. Makna hubungan antarmanusia perlu dihayati secara tepat: etis, estetis
dan spiritual sesuai dengan norma-norma sosial, hukum, adat istiadat dan religius yang berlaku.
e. Saintisme dan Agnotisisme
Saintisme merupakan suatu pandangan yang memegang teguh paham/prinsip/anggapan dasar
bahwa metode ilmu pengetahuan dapat digunakan dan diterapkan untuk memahami segala hal dan
bahwa segala sesuatu peristiwa dapat dipikirkan dan diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan
metode ilmu pengetahuan saja. Stenmark (1995) mengatakan bahwa bentuk terkuat dari saintisme yakni
ia tidak memiliki batasan dan bahwa semua masalah manusia dan semua aspek usaha manusia, seiring
waktu, akan ditangani dan diselesaikan hanya oleh sains saja, sehingga semua persoalan direduksikan
solusi penyelesaiannya hanya pada soal pengetahuan sains. Belum ditambah lagi dengan pandangan
agnotisisme-ateistik yang tentu juga bertumbuh seiring dengan dinamika pengetahuan dan sains yang
terus berkembang di era digital saat ini. Pandangan seperti ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi
agama dan kaum religius di masa sekarang ini dan ke depannya. Dibutuhkan pemahaman yang
komprehensif dan sikap kritis berbasis nilai-nilai religius untuk merespons hal-hal seperti ini agar tidak
terjebak dan jatuh ke dalam pola berpikir yang saintis-agnostik secara absolut atau mutlak.
f. Artificial Intelligence
Kecerdasan buatan (AI) sebetulnya ditemukan pertama kali filsuf muda bernama Alan M. Turing
(1912-1954) usai perang dunia ke-2 pada tahun 1947. Dalam “Buku The Essential Turing: Seminal Writings
in Computing, Logic, Philosophy, Artificial Intelligence, and Artificial Life: Plus The Secrets of Enigma”,
Turing mengatakan bahwa manusia dapat mengolah informasi dan memecahkan masalah termasuk
52
mengambil keputusan berdasarkan informasi tersebut, sehingga dengan demikian maka mesin juga
dapat melakukan hal yang sama. Sistem penciptaan kecerdasan buatan di dalam dunia komputer
menggunakan logika dan simbol-simbol algoritma dalam pengembangannya. Aritifial intelligence (AI)
beroperasi berdasarkan pemrograman algoritma pada sistem komputer dalam proses konstruksi logika
dan mekanisme prosesnya. Karena kemampuan efisiensi kerja yang diciptakan AI mampu menyelesaikan
masalah/persoalan pekerjaan manusia berbasis data maka manusia semakin tergantung dan
menggantungkan diri pada AI. AI ini dapat menjadi sesuatu yang diagungkan atau diidolakan oleh
manusia, sehingga lama-lama kelamaan manusia menyerahkan keyakinannya, obsesinya, optimismenya
pada AI dan bahkan bisa mentuhankan AI dalam pandangan-pandangannya. Ini tantangan juga dalam
konteks era digital masa kini, khususnya bagi kaum religius dan anak muda milenial yang melek dan
familiar dengan hal-hal yang bersifat teknologis.
g. Aborsi, Euthanasia, dan Hukuman Mati
Dewasa ini persoalan yang berkaitan dengan kehidupan merupakan salah satu isu penting dan
mendesak untuk diperhatikan. Persoalan aborsi atas janin manusia di dalam rahim atau kandugan,
euthanasia, dan juga hukuman mati atas para penjahat di dalam masyarakat juga merupakan hal yang
debatable. Di satu sisi ada free choice (pilihan bebas) dari pihak manusia berkaitan dengan suatu
keputusan dan tindakan yang mau diambilnya berhadapan dengan kesulitan-kesulitan pragmatis,
ekonomis, maupun psikologis yang melatarbelakangi dan mendasarinya. Namun kita perlu menyadari
bahwa kehidupan itu, secara kodrati, merupakan anugerah Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha
Pencipta. Oleh karena itu itu kehidupan perlu dijaga, dipelihara, dilestarikan dengan penuh rasa hormat
dan tanggung jawab etis-religius kepada kemanusiaan dan Sang Pencipta. Secara religius, agama-agama
mengambil posisi untuk melawan segala bentuk pembunuhan, penghilangan atas nyawa manusia
maupun hukuman mati atas pelaku kejahatan dalam kehidupan ini. Kehidupan itu mulia dan perlu
dijalankan dan dihayati dengan penuh sikap hormat pada Sang Pemberi dan Pemilik Kehidupan itu
sendiri yang adalah Tuhan sendiri. Biarkanlah kehidupan itu berlangsung secara alamiah sesuai dengan
rencana dan kehendak Sang Ilahi Pencipta.

2. Solusi Mengatasi Isu-Isu Kontemporer


a. Bertindak Bijaksana-Rasional
Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang paling menonjol (Polanyi:
2001, hlm. 15). Kualitas berpikir ini menjadi kekuatan utama manusia untuk mengatur dan mengarahkan
instingnya menuju tindakan-tindakan yang baik secara etis. Kualifikasi rasionalitas inilah yang merupakan
ciri dasar pembeda khas manusia dari binatang yang memang hanya hidup dengan mengandalkan insting
untuk bertahan hidup (survive).
53
Manusia tidak akan hidup baik, bahagia dan damai kalau hanya mengikuti dorongan insting
belaka. Ia akan hidup tenang dan bahagia, asal saja ia bertindak menurut rasionya; ia akan menguasai
nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia
menaklukkan diri pada hukum-hukum alam (Bertens: 2000, hlm. 16). Orang yang hidup menurut rasionya
akan mencapai kebebasan sejati dan tidak tunduk atau terbelenggu di bawah kuasa, tekanan atau kendali
insting-insting rendahan. Ia akan bertindak rasional untuk mencapai kebebasan sejati yang
membahagiakan diri maupun sesamanya.
Orang yang bertindak rasional tidak lagi tunduk pada kuasa insting, tetapi tunduk dan
mengarahkan diri pada hal-hal yang benar sesuai pertimbangan rasio sehingga membuatnya hidup
gembira dan bahagia secara sempurna. Karena terlalu banyak mengikuti kesenangan badaniah manusia,
akan menggelisahkan batin manusia (Bertens: 2000, hlm. 17). Karena itu manusia perlu membebaskan
diri dari kungkungan insting kesenangan badaniah sesaat itu dengan mendasarkan tindakannya di atas
pikiran atau rasio. Hanya dengan ini manusia menjadi bebas-otonom dari belenggun kuasa-kuasa
instingtif badaniah yang menghancurkan diri.
b. Percaya dan Beriman Teguh kepada Tuhan
Orang bijaksana tahu membebaskan diri (dari godaan) dan terutama mencari kebahagiaan rohani
supaya keadaan batin tetap tenang (Bertens: 2001, hlm. 17). Orang yang bijak tidak mencari
kebahagiaan di dalam daya tarik duniawi yang sesaat dan menyesatkan dirinya. Namun kebahagiaan
rohani seorang yang bijak diarahkan secara absolut pada nilai-nilai religius-spiritual yang abadi dan
perennial. Sumber kebahagiaan diri tidak ditemukan dalam daya tarik material duniawi, tetapi dicari
dan ditemukan dalam dimensi rohani-spiritual. Dalam konteks inilah kita bicara tentang pentingnya
beriman dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Menghadapi daya tarik duniawi yang menggiurkan, kita tentu tidak hanya mengandalkan diri
sendiri saja. Sebab kepercayaan diri manusiawi yang berlebihan tanpa sikap iman pada Tuhan, hanya
akan melorotkan manusia kembali pada godaan-godaan yang sama. Sebagai orang yang beriman
pada Tuhan, usaha mengatasi godaan-godaan kita butuhkan intervensi atau penyelenggaraan
Ilahi Tuhan. Karakter kerapuhan yang melekat pada dimensi kemanusiaan kita menuntut kita untuk
mengandalkan pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa. Karena kendatipun tubuh kita berkarakter rapuh
terhadap godaan, namun kita bisa kuat mengatasi kerapuhan itu di dalam nama Tuhan. Bersama dan
di dalam Tuhan, kita percaya diri dan berharap mampu mengatasi segala godaan dan daya tarik
duniawi. Bersama Tuhan kita menang, tanpa Tuhan kita kalah.
Mendekatkan diri pada Tuhan dalam konteks seorang beriman, artinya kita perlu selalu bersikap
rendah hati dan berdoa mohon kepada Tuhan untuk membantu kita mengatasi kelemahan-kelemahan
manusiawi kita. Doa permohonan itu kita sampaikan terus-menerus kepada Tuhan tanpa henti siang
54
dan malam. Dan kita yakin, dalam semuanya itu Tuhan pasti akan memberikan kekuatan spiritual bagi
kita untuk menghadapi godaan-godaan itu dengan penuh keberanian dan jiwa besar. Doa yang kita
panjatkan dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan akan dikabulkan Tuhan pada waktunya. Sehingga kita
tidak hidup di bawah kuasa bayang-bayang godaan duniawi, namun hidup bebas sebagai anak-anak
Tuhan yang spiritual.
Alhasil, diri kita bisa bertransformasi dari kerapuhan pada godaan menuju pada kekuatan untuk
bertahan di tengah godaan dan akhirnya muncul sebagai pahlawan pemenang yang kukuh dalam
Tuhan. Kita bisa menjadi bebas dari godaan duniawi.
Pada suatu ketika memperoleh penerangan, sekali lagi kita mendapat hasrat akan yang surgawi, dan
menyucikan diri dari segala kotoran duniawi: “Orang harus mengabaikan segala sesuatu yang lain
untuk berpaling pada Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya” (Bertens: 2000, hlm. 38). Dekat
dengan Tuhan, manusia makin jauh dari godaan-godaan duniawi. Sebaliknya jauh dari Tuhan, manusia
makin dekat dengan godaan-godaan duniawi.
c. Saling Menjaga Satu Sama Lain
Sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu bekerja sama untuk melawan
berbagai godaan yang dibawa oleh pengaruh sekularisme itu. Kita perlu peduli pada kebaikan sesama
dan tidak menjerumuskan sesama ke dalam godaan-godaan duniawi itu. Kita perlu menjaga satu sama
lain, membebaskan sesama dari belenggu godaan. Kita perlu memiliki keberanian moral dan
keteguhan hati untuk sama-sama berjuang melawan dosa atau berjuang terus untuk tidak hanyut di
bawah oleh arus utama tarikan godaan-godaan itu. Kita harus saling membantu, saling menasihati,
saling menjaga untuk tidak menjerumuskan satu sama lain ke dalam godaan-godaan duniawi yang
ada. Hanya dengan itu kita sungguh bersikap solider dan ikut bertanggung jawab menjaga kehidupan
dan masa depan sesama kita menuju kebaikan. 5
Mengendalikan diri tentu kita tidak bermaksud menghilangkan secara total nafsu-nafsu yang ada
di dalam diri kita. Pengendalian diri tidak boleh dipikirkan seperti kita memberikan obat instan-efektif
bagi diri kita agar tidak bereaksi sama sekali pada godaan-godaan. Bukan artinya kita membius mati
insting-insting manusiawi kita. Bukan begitu maksudnya. Karena bagaimanapun juga insting atau
nafsu, adalah libido sexualis (energy hidup) menurut Freud sebagai prayarat mutlak bagi kondisi
kemanusiaan kita. Namun yang penting bagi kita dalam konteks wacana CB agama ini yakni usaha kita
secara sadar dan kritis untuk selalu memegang kendali dalam menghadapi godaan-godaan baik itu
godaan material, godaan kuasa maupun godaan seks. Kita perlu berusaha menjadi pribadi yang selalu
berpikir jernih dan bertekad kuat untuk menang melawan godaan-godaan itu.

5 Diadaptasi dari Frederikus Fios dan Atosokhi Gea (2017). Character Building: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.
55
Mengendalikan diri merupakan bentuk tanggung jawab etis-religius kita terhadap Tuhan,
sesama dan terhadap diri kita sendiri. Dengan berusaha terus-menerus untuk mengendalikan diri, kita
mau berikhtiar mencapai suatu taraf penghayatan kualitas hidup rohani-religius yang lebih tinggi dan
lebih baik lagi. Dengan mengendalikan diri, kita mau membentuk pribadi kita menjadi sosok yang
semakin mencintai sesama dengan murni dari waktu ke waktu, dari hari ke hari sebagai manusia
sepanjang hidup.
Godaan-godaan yang kita ikuti biasanya menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama. Karena kita
akan diarahkan untuk cenderung bersikap egoistik demi memenuhi keinginan atau kesenangan
sendiri. Dan kita mau bangkit dari situasi keterpurukan ini dalam cinta kasih yang murni pada sesama.
Kita mau menjadi pribadi yang semakin mengasihi dan mencintai Tuhan dan sesama dengan tulus-
ikhlas. Ini artinya kita mau berusaha dan bangkit untuk bersikap solider atau setia kawan terhadap
sesama yang lain. Godaan materi atau harta bisa membuat kita merusakkan alam lingkungan hidup
(untuk mendapatkan barang dan uang) dengan mengurasnya untuk kepentingan egoistik kita. Godaan
kekuasaan membuat kita melecehkan harga diri sesama karena kita menindas dan memanipulasi
mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan. Godaan seks membuat kita mengeksploitasi tubuh
tanpa cinta dan menghancurkan hidup serta masa depan orang lain. Semua godaan ini mendatangkan
dampak destruktif bagi sesama dan lingkungan kita.
Dalam konteks pemikiran di atas kita mau melakukan sebuah “metanoia religius” untuk tidak
lagi terjatuh atau melakukan kesesatan-kesesatan yang sama melalui tindakan-tindakan mengikuti
rayuan gombal godaan-godaan yang menggiurkan. Kita mau berbalik haluan ke arah dan jalur rel yang
benar. Semuanya kita lakukan dengan penuh keikhlasan, ketulusan, cinta kasih, dan rasa solider pada
sesama yang lain.
Kita mau mengendalikan godaan materi agar orang lain pun ikut berkembang dan menikmati
kesejahteraan seperti kita. Kita mau mengendalikan godaan kuasa, agar orang lain senang dan bahagia
berada di dekat kita. Kita mau mengendalikan godaan seks itu, agar hubungan manusiawi kita
terkondisikan berlangsung dalam suasana subjek-subjek dan bukannya subjek-objek untuk saling
melecehkan dan melukai perasaan masing-masing. Kita mau mengendalikan diri dalam suasana
solidaritas atau setia kawan terhadap sesama kita, khususnya yang susah dan menderita. Kita mau
berbagi, peduli, peka, dan mengasihi orang lain dengan ikhlas dan tulus sehingga tercipta dunia yang
damai, harmonis dan nyaman bagi siapa saja. Inilah saatnya kita menciptakan “surga spiritual” bagi
sesama dan bukannya “surga duniawi” untuk kepentingan egoistik kita yang rendah dan murahan.
d. Rendah Hati dan Menerima Sifat Keterbatasan Duniawi
Untuk dapat menyikapi secara bijaksana isu-isu yang berkaitan dengan saintisme, agnotisisme,
artificial intelligent kita tentu perlu menanamkan sikap rendah hati dan penerimaan akan sifat
56
keterbatasan manusia kita sebagai makhluk fana di dunia ini. Segala unsur ciptaan Tuhan adalah fana
dan tentu ada kelemahan, kekurangan, dan keterbatasannya. Kita perlu menyadari bahwa pemikiran
logis kita terbatas, alat yang kita ciptakan pun terbatas dan inferior, tidak ada yang sempurna. Hanya
Tuhan yang Maha Sempurna. Tuhan yang Maha Sempurna, Dia pencipta dan pemilik segala sesuatu di
dalam realitas alam semesta ini. Maka kita perlu menanamkan sikap kerendahan hati yang religius
untuk dapat terus merefleksikan kelemahan dan kekurangan kita sebagai manusia dalam proses
pengembangan diri menjadi pribadi yang semakin religius-spiritual dalam perjalanan kehidupan kita
ke arah yang lebih ideal.

Tugas
Diskusi Kelompok
Setelah mempelajari materi ini refleksikan secara kelompok:
1. Apa saja isu-isu kontemporer yang menantang dan berpengaruh bagi perkembangan iman dan
agama kalian sebagai anak muda dan bagaimana sebaiknya kita menyikapinya?
2. Mengapa kita tidak boleh mentuhankan sains, artificial intelligence, dan materi? Kemukakan
alasan-alasan mendasar untuk memperkuat argumentasi kalian!

Referensi
• Alan M. Turing (2004). The Essential Turing: Seminal Writings in Computing, Logic, Philosophy,
Artificial Intelligence, and Artificial Life: Plus The Secrets of Enigma. Oxford University Press.
• Antonius Atosokhi Gea (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta.
• Departermen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
• Frederikus Fios dan Antonius Atosokhi Gea (2017). CB: Spiritual Development. Bina Nusantara
University: Jakarta
• Mikael Stenmark (1995). Rationality in Science, Religion, and Everyday Life A Critical
Evaluation of Four Models of Rationality. Indiana: University of Notre Dame Press.
• Nurcholish Madjid (1998). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
• Robert Coles (1999). Secular Mind. New Jersey: Princeton University Press.
• Tim Penulis CB Agama (2014). Character Building: Agama. Jakarta: Binus University

57
Topik 6
RELIGION AND SCIENCE DIALOGUE

Learning Outcome:
LO2: Interpret the religious formalism, contemporer issues, science and digital era
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menganalisis, membandingkan, dan melihat hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan
• membangun pandangan dan sikap yang tepat terhadap agama dan ilmu pengetahuan
• menjadikan agama dan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan yang saling mendukung dalam
mengembangkan kehidupannya

A. PENDAHULUAN
Agama dan Ilmu Pengetahuan (sains) telah berkontak selama berabad-abad. Keduanya kadang
saling mendukung, kadang saling berkonflik. Ciri khas agama adalah dogmatis, kaku, tidak mudah berubah,
dan metafisis. Sedangkan ciri khas ilmu pengetahuan adalah bersifat rasional, metodis, dan sistematis. Visi
posmodernisme menempatkan sains sebagai yang berlawanan dengan agama. Sains dianggap anti-
religious dan seratus persen sekularis. Agama pun kadang-kadang menempatkan dirinya sebagai puncak
pencarian sains. Ego masing-masing bidang membuat pembicaraan bersama makin sulit. Padahal Kondisi
yang diperlukan sekarang adalah mencari titik temu (konvergensi) antara sains dan agama. Sains dan
agama perlu berdialog satu sama lain. Keduanya perlu mengakui kelebihan dan kekurangan masing -
masing! Agama dan sains perlu saling belajar satu sama lain.

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Agama dan Sains
Melfred Spiro coba mengulas definisi agama secara subtantif, yakni agama didefinisikan
berdasarkan muatan, isi, dan ciri-ciri kunci agama. Melfrod Spiro mengatakan bhw “agama merupakan
suatu institusi yang terdiri dari interaksi yang terpolakan secara kultural, dengan pengandaian akan
keberadaan yang supra human” (Koten P. Philipus, 2005: 22). Ada tiga elemen kunci dari definisi ini, yakni
institusi, interaksi yang terpola, dan adanya mahluk supra human.
Institusi sebagaimana yang dijelaskan oleh Spiro meliputi aspek-aspek yang telah melembaga
seperti kepercayaan, pola tindakan, dan sistem nilai kolektif. Sedangkan interaksi yang terpola itu

58
mengenai praktek hidup keagamaan dan etos hidup tertentu. Mahluk Supra Human bersifat transendens
atau supra empiris. Ia adikodrati dan diimani sebagai yang punya kuasa atas manusia dan alam semesta.
Oleh sebab itu ia mempengaruhi hidup manusia dan alam secara keseluruhan. Bagi Spiro, ciri yg paling
penting dari fenomen beragama adalah adanya Makluk Supra Human, karena dialah yang memberi dasar
bagi adanya kedua ciri yang lain (Koten P. Philipus, 2005: 22). Orang-orang bergama menyebut mahluk
Supra Human itu sebagai Tuhan.
Meskipun Tuhan itu bersifat metafisis dan tidak bisa diindrai, keberadaanNya bisa dibuktikan
secara empiris. Analoginya seperti ini, ketika kita melihat meja, maka yang muncul di pikiran kita adalah
pasti ada pembuat meja. Ketika kita melihat Handphone, yang muncul di pikiran kita adalah pasti ada
pembuat handphone. Meja dan handphone tidak bisa ada begitu saja, pasti ada yang mengadakannya. Hal
yang sama juga berlaku ketika kita melihat benda-benda langit. Ketika kita melihat bulan, yang muncul di
pikiran kita adalah pasti ada yang menciptakan bulan. Demikian juga ketika kita melihat matahari, yang
muncul di pikiran kita adalah bahwa pasti ada pencipta matahari. Bulan dan matahari tidak ada begitu saja,
tapi ada yang menciptakannya. Semua orang beragama meyakini bahwa yang menciptakan alam semesta
ini adalah Tuhan. Dugaan adanya penciptaan yang dilakukan secara sengaja muncul dari fenomena
keteraturan alam semesta. Sangat mustahil kalau keteraturan yang ada dalam alam semesta ini terjadi
secara kebetulan. Harus dipikirkan bahwa Ada Seorang Arsitek Agung yang menempatkan segala sesuatu
sesuai dengan posisinya. Semua agama meyakini bahwa segala yang tercipta, tercipta dalam keadaan baik
dan teratur. Semuanya merupakan Karya Agung Allah.
Sains coba mengutak-atik argumen alam semesta sebagai Ciptaan Tuhan, dengan gagasan teori
evolusi, misalnya. Charles Darwin berpandangan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini
berkembang dari mikroorganisme yang paling kecil. Lalu dari waktu ke waktu berkembang menjadi
organisme. Fakta yang dijelaskan oleh Darwin adalah bahwa evolusi selalu melibatkan masa lampau, masa
kini, dan masa yang akan dating. Darwin coba menjelaskan evolusi dan proses yang mendasarinya. Evolusi
biologis terjadi melalui proses seleksi alamiah dan mutasi spontan. Jika tidak dapat beradaptasi dengan
lingkugannya dan dan bermutasi sesuai tatanan lingkungannya, maka mahluk tersebut akan punah
(Mikhael Dua, 2014: 112-113). Kendati demikian Charles Darwin tidak bisa menjelaskan atas das ar apa
semua mahluk yang bersifat kontingens (ada sementara) itu bisa eksis. Harus diandaikan ADA YANG
SELALU ADA (TUHAN). Tuhan itu bersifat kekal, sempurna di dalam diriNya sendiri, oleh sebab itu DIA bisa
menjamin keberadaan semua yang ada dalam alam semesta. Konsep Tuhan dibutuhkan untuk
menjelaskan komponen spiritual dari asal usul semesta.
Ilmu pengetahuan menolak agama karena argumen-argumen dalam agama tidak bisa dikaji secara
ilmiah. Dalam buku Pengantar Filsafat, K. Bertens menjelaskan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Dia
menjelaskan ciri hakiki ilmu pengetahuan adalah bahwa ilmu pengetahuan bersifat rasional, metodis, dan

59
sistematis. Rasional artinya didasarkan pada rasio (akal budi). Ilmu pengetahuan tidak didasarkan pada
emosi, perasaan, dan suasana batin. Ilmu pengetahuan didasarkan pada kajian-kajian logik, masuk akal,
dan diterima akal sehat. Rasional pada prinsipnya dapat dimengerti, berdasarkan pertimbangan rasio, dan
jalan pikirannya sesuai aturan-aturan logika. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu bersifat terbuka
sesuai dengan prinsip-prinsip logika. Oleh sebab itu selalu terbuka terhadap kritik (K. Bertens, 2018: 54).
Beda dengan dogma agama yang nyaris tidak bisa dikritik dan karenanya tidak terbuka terhadap kebenaran
ilmiah. Ciri kedua ilmu pengetahuan adalah bersifat metodis (K. Bertens, 2018: 55). Metodis berarti
memiliki metode atau memiliki jalan yang ditempuh sesuai tahapan-tahapan. Metode berlaku untuk
uraian-uraian rasional. Dua metode yang lazim dikenal dalam ilmu pengetahuan adalah deduktif dan
induktif. Deduktif bertolak dari prinsip universal/general, sebelum bergerak ke bagian-bagian yang lebih
partikular dan spresifik. Sedangkan induksi bergerak dari pengalaman-pengalaman faktual menuju ke
prinsip universal. Metode deduktif bertolak dari aksioma-aksioma, sedangkan metode induktif disusun
berdasarkan pengalaman. Lalu, ciri ketiga ilmu pengetahuan adalah bersifat sistematis. Artinya informasi
dalam bidang ilmu pengetahuan itu diuraikan secara teratur, logis, dan berurutan. Kendati demikian,
masing-masing ilmu hanya fokus pada bidang yang terspesifikasikan. Psikologi misalnya hanya
menguraikan struktur psikis (kejiwaan) manusia, sosiologi menguraikan relasi sosial manusia, dll. Hanya
ilmu pengetahuan filsafat yang menguraikan segala sesuatu secara menyeluruh, tidak terpotong-potong,
dan tidak fragmentaris (K. Bertens, 2018: 57).

2. Konflik Sains dan Agama


Tegangan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama dapat terlihat dalam teori Geosentrisme Vs
Heliosentrisme dan Teori Bumi Bulat vs Bumi Datar.
Geosentrisme berpandangan bahwa semua benda langit seperti matahari, bulan, bintang dan
planet bergerak mengitari Bumi. Bumi diam dan dianggap sebagai pusat tata surya (Geosentris). Teori
Geosentris dipopulerkan oleh seorang ilmuwan Yunani bernama Claudius Ptolemeus (Abad 2 SM).
Teori geosentrisme bertahan selama lebih dari 1500 tahun. Geosentrisme juga didukung oleh
hampir semua agama besar di dunia. Sebelum 1500, hampir semua ilmuwan dan teolog memercayai Bumi
sebagai pusat tata surya, bahkan beberapa diantaranya mengira bumi adalah pusat alam semesta. Dalam
bukunya yang berjudul Almagest, Ptolemeus yang mendasarkan diri pada pandangan Pytagoras dan
Aristoteles, menjelaskan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta. Penegasan Plotemeus berdasarkan
pengamatan sederhana yaitu setengah jumlah bintang-bintang terletak di atas horizon, dan setengahnya
di bawah horizon. Bintang-bintang itu semuanya terletak pada suatu jarak tertentu dari pusat semesta.
Model geosentris dibuat dengan menempatkan Bumi di pusat sistem, kemudian berturut-turut ke arah
luar adalah Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, Saturnus, dan bintang -bintang. Urutan

60
tersebut dibuat berdasarkan laju yang diamati dari Bumi. Bulan berada di posisi terdekat dari Bumi karena
memiliki laju orbit yang paling tinggi (Mikhael Dua, 2014).
Pada tahun 1543 terjadi Revolusi Ilmu Pengetahuan. Teori geosentrisme dilawan oleh Kopernikus
melalui bukunya (1543), On The Revolutions of The Celestical Orbs. Dalam buku tersebut Kopernikus
menjelaskan bahwa bukan bukan bumi yang menjadi pusat segala tata surya, melainkan matahari
(heliosentrisme). Planet-planet bergerak mengelilingi matahari secara konsentris. Pergerakan panet-
planet terjadi secara teratur, masing-masing dalam jarak yang berbeda-beda. Semakin dekat planet
tersebut dengan matahari, pergerakannyapun semakin cepat. Sebaliknya Gerakan makin lambat, ketika
posisi planet tersebut jauh dari matahari (Mikhael Dua, 2014: 52). Planet-planet berputar menyitari
matahri dan membentuk Gerakan melingkar dengan susunan: Markurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter,
Saturnus. Markurius membutuhkan waktu kira-kira 3 bulan untuk sampai ke titik orbit, bumi
membutuhkan waktu 12 bulan, dan Yupiter membutuhkan waktu 12 tahun (Mikhael Dua, 2014: 52-53).
Pemikiran Kopernikus membawa implikasi yang sangat besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Kopernikus menempatkan pengalaman, observasi, dan eksperimen sebagai dasar bagi ilmu
pengetahuan. Kopernikus menegaskan bahwa pemikirannya mengenai astonomi tidak didasarkan pada
asumsi-asumsi, tetapi berpijak pada pengalaman empiris (Mikhael Dua, 2014: 53).
Temuan Kopernikus didukung oleh temuan ilmuwan berikutnya seperti Johannes Keppler dan
Galileo Galilei.
Keppler mendasarkan teorinya pada hasil pengamatan gerak planet Mars. Menurut Keppler,
setiap planet bergerak mengelilingi matahari dalam lintasan berbentuk elips, dan matahari terletak pada
satu titik fokus elips (elips memiliki dua titik).
Kecepatan orbit suatu planet akan lebih lambat ketika planet berada pada titik terjauh dari
matahari (titik aphelion), dan kecepatan orbit suatu planet akan lebih cepat ketika planet berada pada titik
terdekat dengan matahari (titik perihelion). Dengan kata lain, kaktu yang dibutuhkan planet saat meng itari
matahari dipengaruhi oleh jarak planet tersebut ke matahari. Apabila semakin dekat matahari, maka
waktunya akan lebih singkat. Dan Apabila semakin jauh maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama
(Mikhael Dua, 2014: 58-59).
Ilmuwan lain yang mendukung teori Heliosentrisme adalah Galileo Galilei (1610). Dalam konsep
Heliosentrisme Galileo, matahari adalah pusat tata surya dan benda langit lain berputar mengelilingi
matahari. Galileo menggunakan teleskop untuk mendukung teorinya. Teleskop dapat memperbesar objek
pandangan hingga 20 kali lipat. Melalui teleskop, Galileo mengobservasi pergerakan benda-benda langit
dan menemukan suatu pola yakni benda-benda langit berputar mengitari matahari. Galileo sendiri bukan
penemu teleskop (teleskop ditemukan oleh Hans Lipperschey). Namun, dia adalah orang pertama yang
secara sistematis menggunakan instrumen optik untuk mempelajari langit (Mikhael Dua, 2014: 59-60).

61
Akibat temuan tersebut, Galileo kemudian menjadi tahanan rumah pihak gereja. Galileo dibawa
ke pengadilan Inkuisisi Romawi. Dia dinyatakan bersalah karena bidaah, dipaksa untuk bertobat, dan
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Ia menjadi tahanan rumah.
Setelah Konsili Vatikan II, Gereja secara terbuka meminta maaf kepada Galileo. Pada tahun 1982
Paus Yohanes Paulus II menyatakan hukuman yang dijatuhkan kepada Galileo adalah hasil dari
pemahaman yang salah. Pada tahun 2009 Paus Benedictus XVI memberikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Galileo atas kontribusinya dalam bidang Ilmu Pengetahuan.
Konflik agama dan ilmu pengetahuan juga terjadi dalam debat ‘Bumi Bulat vs Bumi Datar”.
Perdebatan ini sangat kental di dunia Arab. Baru pada tahun 2019, para teolog dan kalangan ilmuwan di
Arab benar-benar menerima teori Bumi Bulat setelah astronot pertama Uni Emirat Arab, Hazza Al
Mansouri, melakukan perjalanan ke luar angkasa.
Setelah melakukan perjalanan ke luar angkasa, Mansouri memberikan testimoni berikut: “Itu
(Bumi) berbentuk bulat, aku sudah melihatnya dengan mataku sehingga aku bisa mengatakan ini kepada-
mu," ujarnya kepada The National pada Jumat (11/10/2019). Mansouri berangkat dari Kosmodrom
Baikonur di Kazakhstan dengan roket Soyuz Rusia pada 25 September 2019 dan kembali ke bumi pada 3
Oktober 2019. Mansouri mengungkapkan pengalaman selama 8 hari di luar angkasa adalah pengalaman
yang singkat namun sangat berharga, utamanya terkait dengan pembuktian bentuk bumi yang menjadi
sumber perdebatan. Kesaksian Mansouri mengubah sudut pandang kaum ilmuwan dan teolog dari yang
tadinya ragu-ragu dan tidak percaya, menjadi lebih percaya dan pasti bahwa bumi berbentuk bulat.

3. Keterbatasan Sains dan Agama serta Kemungkinan Kerjasama Keduanya


Sains dan agama masing-masing memiliki keterbatasan untuk memecahkan pelbagai fenomen
yang terjadi dalam alam semesta. Agama terbatas dalam hal kemampuannya untuk memecahkan pelbagai
fakta secara empiris. Sebaliknya, sains terbatas dalam metodologinya. Tidak semua problem dalam alam
semesta bisa dipecahkan oleh Sains. Banyak hal Misterius yang muncul dan terjadi di luar batas
kemampuan sains. Sains tidak bisa menjawab mengapa alam semesta ini muncul, apa tujuan dan
signifikansinya? Hal-hal seperti inilah yang membawa peneliti sains kepada Kosmologi. Paul Davies menulis
seperti ini ”dalam tahun-tahun terakhir ini, suatu jumlah penemuan baru dalam dalam fisika dasariah,
dalam kosmologi, dan dalam teori komputerisasi, sudah mulai membangkitkan lagi suatu minat lebih luas
tentang topik-topik metafisika (agama)” (Louis Leahy, 1997: 140). Itulah sebabnya filsuf Paus Yohanes
Paulus II mengatakan bahwa sains terbuka terhadap dialog dan bahkan rindu akan dialog (Louis Leahy,
1997: 140). Problemnya adalah bahwa sejak abad XVI sampai akhir abad XX, manusia tidak dianggap
sebagai bagian kodrati alam semesta. Sains menempatkan manusia sebagai Tuan (pemilik) alam semesta,
bukan suatu bagian dari alam semesta. Sains bekerja tanpa keterbukaan terhadap transendensi. Seiring

62
perjalanan waktu, visi baru mengalami de-konstruksi, yakni mengenai manusia yang menemukan kembali
dimensi kosmisnya, yaitu manusia yang harmoni dengan alam (Louis Leahy, 1997: 141). Manusia bukan
lagi sebagai penakluk alam, tapi hanya merupakan bagian dari alam.
Ketika melihat hubungan antara agama dan sains, Paus Yohanes Paulus II tidak melihat kotras
antara ilmu pengetahuan dan agama. Dia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan agama berasal dari
sumber yang sama dan harus dikembalikan kepada kebenaran pertama (Louis Leahy, 1997: 150).
Sikap yang yang diperlukan adalah keterbukaan dan kerjasama intelektual agar bisa memahami
masing-masing bagian. Banyak hal yang diberikan oleh masing-masing kepada yang lain. Agama perlu
menegaskan otonominya, demikianpun sains dapat menegaskan otonominya. Agama dan ilmu
pengetahuan memiliki hukum-hukumnya sendiri (Louis Leahy, 1997: 150). Menurut Yohanes Paulus II Ilmu
pengetahuan tidak boleh menutup diri terhadap yang universal dan terhadap yang mutlak. Ilmu sendirian
tidak mampu menjawab masalah tentang makna (Louis Leahy, 1997: 152). Masyarakat ilmiah, setelah
melewati spesialisasi ektrem, justru berusaha untuk menemukan masalah mengenai makna alam semesta
dan misteri tentang manusia dan alam. Yang terakhir ini adalah bidang kajian agama. Agama
berkepentingan untuk memberikan pemaknaan.
Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa ciri masyarakat ilmiah adalah terbuka dan berdasar
pada kepentingan bersama dan tujuan bersama. Pencapaian pihak yang satu bisa menjadi pemicu bagi
kemajuan pihak yang lain (Louis Leahy, 1997: 176-177). Dia mengingatkan bahwa kerjasama sains dan
agama bukan merupakan gerakan homogenisasi tapi justru dalam bingkai keberanekaragaman itu sendiri.
Komunitas bersama ini membangkitkan kesadaran untuk saling terlibat. Kita terdorong kepada rekonsiliasi
dan kesatuan yang saling menghargai (Louis Leahy, 1997: 177). Pencarian bersama harus atas dasar
keterbukaan dan pertukaran kritis. Visi bersama harus disertai sikap saling menghormati kepada segala
sesuatu yang lain. Melalui teknologi kita diberi kemampuan untuk bepergian, untuk berkomunikasi, untuk
membangun, dan untuk menyembuhkan. Pengetahuan digunakan untuk mengembangkan dan
meningkatkan hidup kita. Sebaliknya juga demikian, pengetahuan bisa mengerdilkan dan menghancurkan
hidup manusia dan lingkungannya (Louis Leahy, 1997: 178-179).
Selama ada dialog dan pencarian bersama terus berlangsung, akan ada pertumbuhan menuju
pemahaman timbal balik dan tersingkapnya minat-minat pada kepedulian bersama. Setiap disiplin harus
saling memperkaya, mengembangkan, dan menantang disiplin yang lain untuk menjadi lebih penuh.
Agama dan sains harus bisa menjaga otonomi dan sifat disting (beda) mereka. Agama tidak didirikan di
atas ilmu, dan ilmu bukanlah perluasan agama. Masing-masing harus memiliki asasnya sendiri, pola-pola
tata langkahnya, perbedaaan-perbedaan penafsiran, dan kesimpulan-kesimpulannya sendiri (Louis Leahy,
1997: 180-182). Agama memiliki kebenarannya sendiri dan tidak mengharapkan ilmu untuk
mengembangkan apologetiknya yang utama. Ilmu harus menjdi saksi nilai atau harga dirinya.

63
Setiap disiplin tetap memiliki integritasnya tetapi mempunyai sikap terbuka yang radikal kepada temuan-
temuan dan penilikan-penilikan pihak lain (Louis Leahy, 1997: 181-184).
Tujuan Kerjasama adalah supaya mereka saling memahami. Ilmu dapat membersihkan agama dari
kesesatan dan tahyul-tahyul. Agama dapat membersihkan ilmu dari penyembahan berhala dan absolut-
absolut yang palsu. Masing-masing dapat menarik pihak yang lain untuk masuk ke dalam dunia yang lebih
luas, dunia tempat keduanya dapat berkembang subur (Louis Leahy, 1997: 185).

4. Agama dan Ilmu Pengetahuan Perlu Saling Belajar


Filsuf Jerman, J. Habermas menegaskan bahwa agama dan sains (sekularisme) perlu saling belajar.
Kepada warga sekular dituntut sikap untuk menghormati tradisi-tradisi keagamaan dan komunitas-
komunitas religius. Warga sekuler juga harus terbuka untuk melihat isi kognitif yang terdapat pada agama,
dan belajar darinya. Sebaliknya, agama dituntut utk menemukan sikap epistemik baru yang tepat
berhadapan dengan fakta kemajemukan, sains modern, dan hukum positif yang berdasarkan moralitas
sekuler. Peran agama adalah sebagai basis solidaritas dan sumber motivasi individual dalam masyarakat
demokrasi (Otto Gusti Madung, 2014: 125). Agama adalah agen pemberi makna dan sebagai ‘Kompas’ bagi
moralitas. Jadi proses saling belajar itu berlangsung dalam 3 hal (lihat pemikiran Habermas pada Gusti A.B.
Menoh, 2015: 109-110). Pertama, Warga beragama dituntut utk mengmbangkn sikap epistemik/ rasional
yang tepat berhadapan dengan pluralitas keyakinan. Agama akan bertahan kecuali kalau membuka diri
dengan keyakinan lain, meski tidak mengorbankan kebenaran eksklusif keyakinannya. Kedua, Para warga
beragama harus belajar menyesuaikn diri dengan otoritas sains sebagai pemegang monopoli pengetahuan
sekuler. Proses belajar akan terjadi apabila para warga religius mampu menghubungkn ajarannya dengan
pengetahun, sehingga tidak terjadi pertentangan antara keduanya. Ketiga, Para warga religius juga harus
setuju pada premis dasar negara hukum modern bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argumen-
argumen yang rasional.

C. PENUTUP
Sains dan agama perlu memahami keterbatasan masing-masing. Sains tidak bisa memecahan
pelbagai misteri yang ada dalam alam semesta. Sains terbatas dalam hal pemberian makna, nilai, dan
terbatas memahami alam semesta secara komprehensif. Sebaliknya agama juga terbatas dalam hal riset -
riset empiris yang lebih detail dan spesifik. Oleh sebab itu sains dan agama perlu dialog dan Kerjasama
yang didasari pada prinsip saling memperkaya, mengembangkan, dan menantang disiplin yang lain untuk
menjadi lebih penuh. Sains membersihkan agama dari tahyul-tahyul, dan agama membersihkan sains dari
postulat-postulat palsu.

64
Tugas
Diskusi Kelompok
Pada awalnya cukup lama agama mendominasi penguasaan posisi terhormat sebagai yang memiliki hak
untuk menentukan kebenaran yang harus diterima oleh semua orang. Namun dalam perkembangannya,
ilmu pengetahuan dan sains berkembang, hal itu semakin kencang ketika berhasil mengembangkan tools
penerapannya, yakni nteknologi. Kemajuan peradaban manusia semakin pesat oleh pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sementara agama sepertinya berjalan di tempat, tidak banyak kontribusi atau
memberi solusi dalam memecahkan masalah atau untuk mewujudkan pencapaian tujuan yang diinginkan
dalam kehidupan ini. Agama lebih banyak berspekulasi tentang akhirat, surga dan neraka . Bagaimana
tanggapan kelompok?

Referensi
• Bertens K., Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua (2018), Pengantar Filsafat, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
• Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University.
• Dua, Mikhael, Metode dan Perubahan Pandangan, Penerbit Unika Atma Jaya, Jakarta.
• Habermas, Jürgen (1996), Between Facts and Norms, Between Facts and Norms, MIT Press.
• Koten, Philipus Panda (2005), “Pendekatan Reduksionis terhadap Agama” (ms), STFK Ledalero,
Maumere.
• Leahy, Louis (1997), Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
• Madung, Otto Gusti (2014), Negara, Agama, dan Hak-Hak Asasi Manusia, Penerbit Ledalero,
Maumere.
• Menoh, Gusti (2015), Agama dalam Ruang Publik Masyarakat Postsekuler, Penerbit Kanisius.
• Paul Budi Kleden dan A Sunarko, 2010, Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas–Ratzinger dan
Tanggapan, Maumere-Yogyakarta: Penerbit Ledalero dan Lamalera .

65
Topik 7
BEING RELIGIOUS LIFE IN DIGITAL ERA

Learning Outcome:
LO2: Interpret the religious formalism, contemporer issues, science and digital era
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• mengidentifikasi persoalan-persoalan hidup keagamaan di era digital
• memoderasi kehidupan beragama di era digital
• memperkuat praktik keagamaan yang Inklusif di era digital

A. PENDAHULUAN

Dunia kini memasuki sebuah fase baru dalam perkembangannya. Fase baru tersebut dikenal
dengan berbagai nama seperti era postmodern, era secular, era digital dan lain sebagainya. Pakar ekonomi
Jerman sekaligus pendiri World Economic Forum, Klaus Schwab menyebutnya dengan era Revolusi Industri
4.0. Era yang ditandai oleh teknologi digital ini dipicu oleh kecerdas an artifisial (IoT) dan hadir sebagai
inovasi brilian untuk mempermudah manusia dalam segala dimensinya. Gelombang perubahan tersebut
secara perlahan mengubah cara manusia berelasi dengan diri sendiri, sesama, alam bahkan cara manusia
berelasi dengan Tuhan. Revolusi 4.0 yang serba pesat menuntut semua orang untuk segera beradaptasi
dan menemukan cara yang tetap untuk survive namun pada aras yang lain disrupsinya melahirkan
persoalan dan ketegangan baru khususnya dalam bidang etika, moral dan agama/spiritualitas. Dalam
bidang agama gelombang informasi yang dibawa oleh revolusi digital melahirkan tantangan sekaligus
peluang. Di satu sisi teknologi memudahkan manusia untuk menjalankan kewajiban agamanya namun di
sisi lain justru menghilangkan unsur-unsur penting dan manusiawi dari agama yang menjadi sarana bagi
manusia untuk mengenal dan menjalin relasi dengan Tuhannya. Manusia berusaha menemukan dan
memahami kebenaran melalui luapan informasi yang bisa digapainya dalam dunia digital. Pada tingkatan
yang paling tinggi teknologi informasi membuat orang kehilangan iman bahkan menyangkal keberadaan
Tuhan. Tulisan ini tidak berpretensi memberikan jawaban yang tuntas berkaitan dengan cara
mempraktikkan kewajiban agama di era digital tetapi lebih merupakan upaya untuk menelusuri fenomena
praktik-praktik kegamaan di tengah gempuran teknologi informasi untuk selanjutnya menjadi bahan
refleksi agar kemajuan teknologi mampu memperdalam kehidupan beragama setiap orang.

66
B. PEMBAHASAN
1. Religiusitas di Zaman Digital

Para pakar menyebut era ini sebagai era revolusi industri ke empat (4.0). 6 Meskipun sejatinya
sebutan istilah ini khusus untuk bidang ekonomi namun cakupan makna dan pengaruhnya menjangkau
seluruh lini kehidupan termasuk agama. Teknologi informasi yang berkembang pesat memberikan
tantangan baru dalam kehidupan beragama. Tantangan terhadap kehidupan beragama di era digital ini
menyeret agama pada situasi yang sangat sulit yakni hilangnya wibawa agama sebagai salah satu pegangan
hidup manusia. Era digital dengan lautan informasi yang ditawarkannya membuat orang acuh tak acuh
terhadap kewajiban agama yang dianggap membatasi kebebasannya. Agama sebagai sarana untuk
mengenal Tuhan harus mampu memberikan jawaban agar bisa menyesuaikan diri sekaligus menegaskan
identitasnya.

Dalam bahasa Yuah N. Harari manusia digital dengan segala pengaruh yang diterimanya
mengalami pergeseran nilai dari homo sapiens menuju homo deus. 7 Harari melihat manusia yang bijaksana
-yang berhasil menguasai dunia dan memberi makna pada keberadaanya, mengolah alam dan segala
sesuatu yang ada di dalamnya- bergeser menjadi manusia yang ingin menjadi Allah. Dengan teknologi
digital yang dikembangkannya, manusia mencoba membuktikan segala sesuatu yang berkaitan dengan
hidupnya. Pembuktian tersebut bermuara pada data sebagai hasil kerja teknologi (agama data). Agama
data menitikberatkan pada teknologi yang akan mengambil alih kehidupan manusia. Dalam bidang agama
dan penghayatan religius, Tuhan yang ada dalam narasi kitab suci tiap agama diganti dengan capaian
teknologi yang mampu memberikan jawaban terhadap segala sesuatu. Pengakuan terhadap Allah sebagai
misteri yang menggetarkan dan mengagumkan (misterium tremendum et fascinosum) akan hilang dan
diganti dengan penggunaan teknologi dengan batas yang jelas dan pasti. Apakah agama data mampu
memberi jawaban yang definitif terhadap pencarian manusia akan kebenaran, kedamaian dan ketenangan
hidup? Apakah teknologi mampu memberikan solusi bagi segala hal termasuk spiritualitas?

Kenyataanya tidak semua persoalan dalam kehidupan manusia bisa dijawab oleh teknologi. Dalam
konteks religiusitas di zaman digital ini, pemeluk agama diseret pada situasi dilematis. Ia kehilangan
Tuhannya yang telah diganti dengan teknologi sekaligus juga membawanya pada situasi kehilangan rasa
untuk memaknai pengalaman kesehariannya. Ia bahkan tercabut dari dirinya sendiri, sesama dan
Tuhannya. Manusia digital mengalami kekosongan. 8 Boleh dikatakan bahwa penghayatan religiusitas di
era digital ini sejatinya adalah situasi ketika manusia merasa bahwa agama dan spiritualitas tidak

6 Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, New York: Crown Business, 2017.
7
Yuah Noval Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, Jakarta: KPG, 2015
8 Bdk. Charles Taylor, A Secular Age, Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007.

67
diperlukan lagi (dan digantikan oleh teknologi) serta situasi kekosongan manusia dalam pencarian arti
hidupnya. Proses pencarian religiusitas dan spiritualitas melalui teknologi inilah yang melahirkan persoalan
baru pada era digital.

2. Persoalan Agama di Era Digital


a. Merebaknya Ekslusivisme Agama

Paham beragama yang eksklusif biasanya menganggap agama yang dianut oleh seseorang paling
benar sedangkan agama lain salah karenanya seseorang menutup diri terhadap agama lain. Paham
seperti ini mendapatkan tempatnya untuk disebarkan secara luas dalam kemajuan teknologi informasi.
Kabar bohong (hoax) dan ujaran kebencian yang mendiskreditkan agama lain (hate speech) yang
menggunakan dalil agama dan kitab suci sangat cepat menyebar. Sikap inilah yang memicu radikalisme
dan terorisme yang justru kontraproduktif dengan ajaran masing-masing agama.

b. Cara Baru Beragama


Teknologi nformasi yang berkembang pesat menjadikan agama sebagai bagian dari budaya populer.
Dikatakan demikian sebab dewasa ini agama dan ritualnya, dakwah serta aneka upacara mengikuti selera
massa. Inilah yang disebut sebagai populisme agama. 9 Dalam populisme agama, upacara, simbol dan
ritual menjadi tontonan yang memberikan kepuasan kepada para penonton. Dalam praktik baru
beragama ini kehadiran teknologi menciptakan ketegangan antara ‘yang imanen’ dan ‘yang transenden’.
Pada akhirnya yang suci dan yang profan, keilahian dan keduniawian, dll, menjadi sulit untuk ditarik garis
pemisah yang jelas.
c. Relativitas terhadap yang Suci
Teknologi digital sejatinya membantu manusia dalam hidupnya termasuk dalam mempraktikan
kewajiban agamanya. Teknologi mampu menyajikan kitab suci secara digital, augmented reality bisa
menghadirkan tempat-tempat suci keagaman kepada pemeluk agama di belahan dunia lainnya, dan lain
sebagainya. Meski demikian kehadiran media digital sebagai sarana dan tempat untuk menghadirkan
yang nyata tidak akan selalu bisa menjalankan fungsinya dengan baik selain menjadi sarana dan alat
peraga dalam mempraktikan ajaran agama. Relativitas terhadap yang suci pada dasarnya akan jatuh
dalam prinsip pragmatis tanpa penghayatan. Cyberspace dan teknologi digital sampai kapanpun tidak
akan mampu menggantikan fungsi dan peran tempat-tempat yang dianggap suci oleh agama seperti
rumah ibadat, dan tempat-tempat suci laiinnya yang disakralkan oleh tradisi agama.
d. Pemimpin Agama Kehilangan Otoritas

9 Y. A. Piliang, Bayang-Bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi, Jakarta: Penerbit Mizan Publika, 2011.
68
Salah satu fenomena yang bisa dilihat dari perkembangan teknologi digital dalam bidang keagamaan
adalah perlahan hilangnya peran pemimpin agama. Kebenaran iman kini tidak lagi mengacu pada ajaran
pemimpin agama tetapi memalui informasi yang digali melalui internet dan situs-situs tertentu. Proses
pencarian kebenaran iman kini bergeser, tidak lagi tergantung kepada pengajaran pemimpin agama
tetapi melalui usaha pribadi masing-masing dengan referensi dalam internet.

3. Moderasi Beragama di Era Digital

Dalam menghadapi gempuran pengaruh teknologi yang berdampak pada agama perlu diupayakan
moderasi beragama di era digital. Moderasi beragama dalam konteks kemajuan teknologi digital
maksudnya ialah cara pandang atau cara bersikap terhadap kemajuan teknologi digital yang memandang
bahwa teknologi digital membawa manfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan keagamaan setiap orang.
Teknologi digital memang berwajah ganda yakni sebagai sarana yang meningkatkan spiritualitas
kehidupan keagamaan dan membuat agama kehilangan pengaruhnya namun sikap yang bijak menanggapi
kemajuan teknologi amat diperlukan. Meski demikian perlu batas batas etis yang jelas sehingga pemakaian
produk teknologi dalam kehidupan beragama menunjang produktivitas kehidupan beragama dari semua
orang. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam upaya moderasi kehidupan beragama di era digital adalah:

a. Pemanfaatan media komunikasi sebagai sarana penyebaran ajaran agama/dakwah\


b. Agama harus mau membuka diri dengan kemajuan teknologi (digitalisasi agama)
c. Agama dalam (kolaborasinya dengan teknologi komunikasi) menjadi wadah global untuk
menyuarakan etika dan pertobatan komunal.

4. Menuju Praktik Keagamaan yang Inklusif di Era Digital

Teknologi digital sejatinya merupakan sarana yang membantu penganut setiap agama untuk
semakin dalam mempraktikan agama. Sebagai produk akal budi manusia, teknologi digital membantu
manusia untuk mengartikulasikan secara jelas inti penghayatan iman agar lebih mendalam sehingga
kedamaian dan ketenangan hati bisa ditemukan. Apapun pengaruh teknologi terhadap kehidupan
keagamaan sejatinya merupakan jalan untuk mempertegas identitas agama di zaman yang berubah ini.
Agama harus hadir sebagai kekuatan pembebas yang mampu membaca tanda-tanda zaman. Oleh karena
itu praktik keagamaan yang inklusif dalam menaggapi teknologi

a. Kembali pada inti agama

69
Inti agama adalah kepasrahan total kepada Allah. 10 Dalam praktik keagamaan yang dikejar
adalah kehendak Allah oleh karena ini sikap pasrah penuh ketaatan merupakan jalan masuk
untuk memahami kehendak Allah. Dalam konteks pengaruh teknologi digital dalam ibadat,
upacara ataupun ritus keagamaan yang perlu dilihat adalah sejauh mana teknologi tersebut
menghantar setiap pemeluk agama untuk memahami kehendak Allah melalui ajaran agama.
Teknologi digital yang membantu setiap orang menemukan kehendak Allah sangatlah penting
agar kedewasaan iman semakin tercapai.
b. Media digital sebagai Penyiar Agama Cinta
Cinta merupakan salah satu keutamaan yang menjadi nilai universal. Bagi Jhon D. Caputo,
ditengah keberagaman dan kecendrungan zaman yang begitu plural saat ini, agama cinta adalah
media yang mempersatukan setiap orang. Agama cinta adalah praktik keagamaan yang tidak
berhenti pada interpretasi atas agama tetapi lebih dari itu masuk pada substansi agama yakni
mencintai Tuhan dengan segenap jiwa dan hati. 11 Dalam agama cinta substansi agama adalah
Tuhan sendiri sang sumber cinta. Dalam dunia yang berubah dan penuh sentiment ini cinta itulah
yang harus diwartakan kepada semua orang di segala penjuru. Media komunikasi digital menjadi
corong untuk menyebarkan cinta kepada semua orang.
c. Dialog antaragama
Dialog antaragama menjadi salah satu cara untuk menciptakan kehidupan kehidupan beragama
yang inklusif. Bagian terpenting yang dikedepankan dalam dialog adalah narasi keagamaan.
Narasi yang dimaksud adalah kesaksian iman dengan latar belakang agama yang berbeda. Muara
dari narasi ini ialah upaya menyamakan persepsi terhadap Tuhan yang satu dan sama. Dengan
demikian sikap curiga, menutup diri dan eksklusif bisa dibendung. Model dialog ini bisa dilakukan
secara luring maupun daring. Selain itu narasi iman yang dihasilkan, diwartakan kepada semua
orang dengan berbagai latar melalui media teknologi. Penyajian bisa dalam bentuk digital
content yang sesuai dengan platform yang popular di tengah masyarakat saat ini.
d. Deprivatisasi Agama melalui debat Publik
Deprivatisasi agama maksudnya adalah upaya untuk mengeluarkan agama dari ranah privat agar
agama tidak hanya menjadi bahan diskusi dan pengajaran para pemimpin agama. Melalui
teknologi informasi saat ini agama menjadi topik yang kerap dibicarakan dalam ruang publik.
Meski salah satu akibat dari deprivatisasi agama adalah hilangnya otoritas pemimpin agama
namun dialog dan debat konstruktif tentang agama diruang publik menjadi konsumsi semua

10 A. A. Ghea, dkk. Diktat Kuliah Character Building: Pancasila. Binus University: CBDC, 2014
11
Caputo, John, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Jakarta: Mizan, 2001.

70
orang. Nilai positif yang bisa diambil dari praktik deprivatisasi agama adalah agama dan
institusinya menjadi lembaga yang terbuka dan tidak kebal kritik.

C. PENUTUP

Beragama di era digital memiliki peluang dan tantangan yang harus disikapi dengan bijak.
Kemajuan teknologi bagaimanapun harus dilihat sebagai sarana yang membantu pemeluk agama
untuk semakin memperdalam praktik imannya. Dengan demikian pemeluk agama harus mampu
mengaplikasikan produk teknologi bagi kehidupan imannya. Teknologi digital memang perlu dalam
praktik keagamaan namun tidak sepenuhnya bisa menggantikan peran, fungsi dan makna agama yang
asli.

Tugas

Diskusi Kelompok

Kelompok mengidentifikasi persoalan-persoalan yang timbul di Indonesia sebagai akibat penggunaan


teknologi digital dalam kegiatan/kehidupan keagamaan. Bagaimana persoalan tersebut diatasi?

Referensi

• Caputo, John, Agama Cinta, Agama Masa Depan, Jakarta: Mizan, 2001.
• Gea, A. A., dkk. Diktat Kuliah Character Building: Pancasila. Binus University: CBDC, 2014
• Harari, Yuah Noval, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, Jakarta: KPG, 2015
• Piliang, Y. A, Bayang-Bayang Tuhan, Agama dan Imajinasi, Jakarta: Penerbit Mizan Publika, 2011.
• Schwab, Klaus The Fourth Industrial Revolution, New York: Crown Business, 2017.
• Taylor, Charles A Secular Age, Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard
University Press, 2007.

71
Topik 8
CONSCIENCE AS THE BASIS FOR ETHICAL REVIEW

Learning Outcome:
LO3: Apply the ethical review based on conscience
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan hati nurani sebagai fenomena moral.
• menganalisis aspek rasionalitas hati nurani
• menerapkan cara mempertanggungjawabkan hati nurani.
• mempraktekkan cara membina hati nurani

A. PENDAHULUAN
Hati Nurani – yang kadang disebut juga suara hati atau kata hati – merupakan sebuah instansi
penting dalam diri manusia yang pada saat-saat tertentu memandu kehidupan manusia dari dalam. Walau
berada dalam diri manusia, namun hati nurani itu tidak selalu dalam kendali manusia, karena dia muncul
begitu saja, tanpa didahului dengan atau bergantung pada pertimbangan atau pemikiran manusia,
khususnya pertimbangan untung-rugi, berat-ringan, dan pemikiran sejenis itu. Kemunculannya umumnya
terjadi ketika seseorang sedang dalam situasi tertentu yang bernuansa moral. Disebut bernuansa moral
karena apapun tindakan yang diambil seseorang dalam merespon situasi yang sedang dihadapinya itu akan
berkaitan dengan moral (kena penilaian moral), perihal baik dan buruk, terutama secara moral.
Walau semua manusia memiliki hati Nurani, namun sejauhmana berfungsinya tidak sama untuk
semua orang (Gea, 2004: hal. 337). Ada yang berfungsi dengan baik, dan ada juga yang kurang bahkan
tidak berfungsi, alias tumpul atau mati. Perbedaan ini banyak ditentukan oleh sikap manusia itu sendiri
terhadap hati nuraninya. Kalau hati Nurani dihargai, didenngar dan ditaati, maka dia akan berfungsi
dengan baik; sebaliknya, kalau kita mengabaikan atau menekannya terus-menerus, maka semakin lama
akan semakin tidak berfungsi, atau lebih tepat kepekaan kita terhadapnya semakin berkurang bahkan
hilang. Karena itu salah satu cara terbaik untuk membina dan mengembangkan hati nutrani adalah dengan
mendengar dan menaatinya. Begitu pentingnya kedudukan hati Nurani itu bagi manusia sehingga
dikatakan bahwa seseorang tidak boleh dipaksa melakukan hal yang bertentangan dengan hati nuraninya
(Bertens, 1997: hal. 61).

72
B. PEMBAHASAN
1. Hati Nurani sebagai Fenomena Moral12
Untuk menjelaskan apa itu hati nurani, dapat dimulai dengan contoh, seperti berikut ini. Bila Anda
terlambat datang kuliah karena terlambat bangun, dosen Anda akan bertanya mengapa Anda terlambat?
Hampir pasti pikiran Anda mengkalkulasi jawabannya seperti berikut: (1) Kalau saya menjawab “saya
terlambat bangun”, dosen saya akan memberi saya hukuman, dan saya tidak siap menerima hukuman itu”,
maka anda memikirkan cara lain yang “lebih aman”. (2) Anda kemungkinan memikirkan jawaban seperti
ini, “saya terlambat karena dalam perjalanan ke kampus saya menolong orang yang mengalamai kesulitan
di jalan”, dan Anda berpikir, kalau saya menjawab seperti ini saya yakin dosen saya akan memahami
keterlambatan saya, dan dia tidak memberi saya hukuman. Pikiran Anda pun akan cenderung memilih
pilihan jawaban kedua karena sifat dasar dari pilihan yang berdasarkan pikiran adalah memilih hal yang
“menguntungkan”. Namun sesungguhnya, ketika Anda mulai mempertimbangkan akan hal itu, ada
semacam suara dari dalam diri Anda, mungkin saja suara itu agak samar-samar namun jelas. Dia
memberitahu atau menyadarkan Anda tentang apa yang seharusnya Anda lakukan dalam situasi itu. Dia
mendukung pikiran yang pertama yang berisi pengakuan kebenaran alasan Anda terlambat datang,
sekaligus menentang pilihan kedua yang didasarkan pertimbangan untung-rugi. Ketika Anda tetap
bersikeras memilih alternatif kedua, Anda tidak dihukum oleh dosen, karena dosen Anda memahami
alasan Anda, bahkan dosen terkesan kagum atas sikap sosial yang Anda tujukkan. Akan tetapi, meskipun
dosen Anda tidak menghukum Anda, sesungguhnya Anda tetap merasakan adanya suara dari dalam hati
Anda yang mengatakan dengan jelas bahwa Anda berbohong, bahwa Anda melakukan tindakan yang tidak
baik dan benar, tindakan yang tidak bertanggungjawab, yang mengabaikan kewajiban. Suara berisi
kesadaran itu tetap saja menggangu Anda dari dalam, bahkan setelah peristiwa itu berlalu. Anda dibuatnya
jauh dari rasa tenang dan lega, Anda dibuatnya merasa bersalah. Suara atau bisikan itu tidak tenang selama
dia tidak diindahkan.
a. Kesadaran dan Hati Nurani
Secara umum hati nurani dapat dikatakan sebagai sebuah instansi dalam diri kita yang menilai
tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita, secara langsung, kini dan disini. Situasi yang sedang dihadapi
oleh mahasiswa dalam kisah di atas adalah salah satu contoh dari situasi bernuansa moral itu. Tentu saja
ada situasi yang nuansa moralnya jauh lebih serius dari itu. Hati nurani memerintahkan atau melarang kita
untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia berbicara tentang situasi yang sangat konkret, bukan sesuatu
yang bersifat umum atau di awang-awang. Jadi, di dalam diri kita seolah-olah ada instansi yang menilai
dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi’ tentang
perbuatan-perbuatan moral kita, yang membuat kita menyadari baik atau buruknya (secara moral)

12 Bahan ini sebagian besar diambil dari Bertens, K. (1997). Etika. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
73
perilaku moral kita. Dengan fungsinya seperti itu maka hati nurani setepatnya dapat membimbing
perbuatan-perbuatan kita di bidang moral. Dari penjelasan ini tampak bahwa hati nurani itu berkaitan erat
dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai Kesadaran, dan memang hanya manusialah yang memiliki
hati nurani.
Dengan kesadaran kita maksudkan adalah kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri
dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon di kejauhan sana, tetapi ia
menyadari juga bahwa dialah yang melihatnya. Seekor binatang tidak berpikir atau berefleksi tentang
dirinya sendiri. Hanya manusia yang mempunyai kesadaran. Dalam diri manusia bisa berlangsung
semacam “penggandaan diri”. Ia bisa mengambil dirinya sendiri sebagai objek pengenalannya. Jadi,
penggandaan diri disini ialah bahwa dalam proses pengenalan bukan saja manusia berperan sebagai
subyek yang mengenal, melainkan juga sebagai obyek yang dikenal.
Untuk menunjukan kesadaran, dalam bahasa Latin dan dalam bahasa-bahasa yang diturunkan
daripadanya, dipakai kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con-
(bersama dengan, turut). Dengan demikian conscientia sebenarnya berarti “turut mengetahui”. Ini
mengingatkan kita pada gejala “penggandaan diri” yang disebut tadi: bukan saja saya melihat pohon itu,
tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar akan
diri saya sebagai subyek yang melihat. Kata Latin conscientia digunakan untuk menunjukkan apa itu “hati
nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga semacam penggandaan diri. Bukan saja manusia melakukan
perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik dan buruk), melainkan ada juga yang “turut mengetahui”
tentang perbuatan-perbuatan moral kita itu. Dalam diri kita seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi
moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan (Bertens, 1997: hal. 53).
b. Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Ada dua bentuk hati nurani, yakni: hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif. Hati nurani
retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani
ini seakan-akan menoleh ke belakang, dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan
apakah perbuatan-perbuatan yang sudah dilakukan itu baik atau tidak baik. Hati nurani akan menuduh
atau mencela, jika perbuatan itu jelek; dan akan memuji atau memberi rasa puas dan kelegaan, jika
perbuatan itu dianggap baik. Jadi, hati nurani itu merupakan instansi kehakiman dalam batin kita tentang
perbuatan kita yang telah berlangsung (Bertens, 1997: hal. 54).
Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan
datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu, atau mengatakan “jangan” dan
melarang untuk melakukan sesuatu. Dalam hati nurani prospektif ini terkandung semacam ramalan. Ia
menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, jika kita memilih terus melakukan perbuatan itu.
Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang akan datang, jika (niat)

74
perbuatan menjadi kenyataan. Pembedaan hati nurani retrospektif dan prospektif itu menimbulkan kesan
seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. Padahal, hati nurani dalam arti
sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang berlangsung kini dan di sini. Hati nurani terutama
adalah conscience, “turut mengetahui”, pada saat perbuatan itu berlangsung, tapi bisa terjadi suatu
orientasi ke masa lampau atau suatu orientasi ke masa depan, ke perbuatan yang sudah berlangsung atau
ke perbuatan yang akan berlangsung (Bertens, 1997: hal. 56).
c. Hati Nurani Bersifat Personal dan Suprapersonal
Hati nurani disebut bersifat personal karena selalu berkaitan erat dengsan pribadi yang
bersangkutan. Tidak ada dua hati nurani yang persis sama. Hati nurani kita diwarnai oleh kepribadian kita.
Hati nurani kita akan berkembang bersama dengan perkembangan kepribadian kita secara keseluruhan.
Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari ikut mewarnai perkembangan
pribadi saya dan akan menampakkan diri juga dalam bisikan-bisikan khas hati nurani saya.
Alasan lain untuk mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal yakni hati nurani saya hanya
berbicara atas nama saya. Hati nurani saya hanya memberi penilaiannya tentang perbuatan saya sendiri.
Kita bisa saja menilai perbuatan orang lain atau menjadi penasihatnya. Dalam melakukan hal itu
kemungkinan kita akan menyimak apa yang dikatakan hati nurani kita seandainya kita sendiri berada
dalam situasi yang sama seperti yang sedang dihadapi oleh orang itu. Walau demikian, hati nurani kita
tidak memberikan penilaian tentang perbuatan orang lain. Kita hanya memperhatikan norma-norma dan
cita-cita yang juga diikuti oleh hati nurani kita sendiri. Kita tidak bisa mengatakan: “Hati nurani saya
mengatakan bahwa Anda tidak boleh melakukan hal itu”. Dan seandainya orang lain tetap melakukan
perbuatan yang menurut penilaian kita tidak boleh, integritas pribadi kita tidak akan tercoreng karenanya
(Bertens, 1997: hal. 57).
Di samping aspek personal, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek suprapersonal atau
adipersonal. Selain bersifat pribadi, hati nurani kita juga seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah
merupakan instansi di atas kita. Aspek ini tampak dalam istilah “hati nurani” itu sendiri. “Hati nurani”
berarti “hati yang diterangi” (nur = cahaya). Dalam pengalaman mengenai hati nunari seolah-olah ada
cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita begitu saja. Terhadap hati nurani, kita seakan-akan
menjadi “pendengar”. Kita seakan bersikap reseptif membuka diri terhadap suara yang datang dari luar
(Bertens, 1997: hal. 58). Hati nurani mempunyai suatu aspek transenden, melebihi pribadi kita, bahkan
dalam banyak hal bertentangan dengan keinginan atau pertimbangan-pertimbangan kita.
Karena aspek suprapersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan bahwa hati nurani adalah
suara Tuhan, atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani. Bagi orang beragama hati nurani memang
memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar hati nurani, artinya kalau ia
sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan

75
integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan. Ia insyaf dengan itu akan
menaati kehendak Tuhan. Sebaliknya, bertindak bertentangan dengan hati nurani tidak saja berarti
mengkhianati dirinya sendiri, melainkan serentak juga melanggar kehendak Tuhan. Mungkin bagi orang
beragama malah tidak ada cara lebih jelas untuk menghayati hubungan erat antara moralitas dan agama
daripada pengalaman hati nurani ini. Walau demikian, hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban
untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara objektif. Hati nurani
tidak merupakan monopoli orang beragama saja. Orang yang tidak mengakui adanya Tuhan pun memiliki
hati nurani yang mengikat mereka sama seperti orang beragama. Setiap orang memiliki hati nurani karena
ia manusia, bukan karena ia beragama. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk mencapai
persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampauhi segala perbedaan mengenai agama,
kebudayaan, posisi ekonomis, dan lain-lain (Bertens, 1997: hal. 58-59).

d. Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif


Dalam sejarah filsafat, sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak, atau
rasio. Namun, dalam filsafat sekarang, diyakini bahwa manusia tak bisa dipisahkan dalam pelbagai fungsi
atau daya. Kita harus bertolak dari kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan, tetapi
tidak boleh dipisahkan. Dalam hati nurani pula, perasaan, kehendak, dan rasio tersebut memainkan
peranan. Namun, ada kecenderungan kuat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus
dikaitkan dengan rasio. Alasannya, hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan
(judgment). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan, atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan.
Mengemukakan putusan jelas adalah suatu fungsi dari rasio. Meski putusan hati nurani bersifat rasional,
itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani umumnya
bersifat intuitif, artinya, langsung menyatakan: ini baik dan terpuji, atau itu buruk dan tercela. Pemikiran
intuitif berlangsung “satu kali tembak,” tidak melalui tahapan-tahapan perkembangan seperti dalam
sebuah argumentasi. Meski begitu, kadang-kadang putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang
mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani prospektif (Bertens, 1997: hal. 60).
Mengikuti hati nurani merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang
berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang. Tidak boleh terjadi bahwa
seseorang dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan hati nuraninya. Maka tidak mengherankan bila
dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebutkan juga “hak atas kebebasan hati
nurani” (pasal 18). Konsekuensinya, negara harus menghormati putusan hati nurani para warganya,
bahkan sekalipun kewajiban itu menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Maka bisa disimpulkan,
hati nurani memiliki kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Bahkan bisa dikatakan: dipandang dari sudut

76
subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Atau dengan kata lain, putusan
hati nurani adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku kita (Bertens, 1997: hal. 62).
Walau disebut sebagai norma terakhir, belum tentu perbuatan yang sesuai dengan hati nurani
adalah baik juga secara obyektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah
baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara obyektif perbuatan itu adalah buruk. Sepanjang sejarah,
banyak pembunuhan dan penganiayaan dilakukan oleh orang fanatik atau teroris yang menganggap
dirinya diwajibkan oleh suara hati atau hati nurani. Mungkin pembunuh Mahatma Gandhi atau Martin
Luther King pun beranggapan melakukan suatu perbuatan baik yang diperintahkan oleh hati nurani.
Padahal, semua orang yang berpikiran sehat menolak pembunuhan-pembunuhan itu dan memandangnya
sebagai kejahatan besar.
Hati nurani memang membimbing kita dan menjadi patokan untuk perilaku kita, tapi yang
sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan pertama-tama baik-buruknya perbuatan itu sendiri,
melainkan bersalah tidaknya si pelaku dari sudut moral. Kita tetap tidak pernah boleh bertindak
bertentangan dengan hati Nurani kita. Hati nurani harus selalu diikuti, juga kalau – secara ojektif – ia sesat.
Akan tetapi manusia wajib mengembangkjan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi
matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif
dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik
secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif (Bertens, 1997: hal. 63).

2. Mempertanggungjawabkan Hati Nurani13


Keputusan-keputusan penting yang kita ambil, terutama terkait permasalahan moral, harus kita
pertanggungjawabkan terhadap hati nurani atau suara hati. Kita tidak boleh begitu saja mengikuti berbagai
pendapat atau tuntutan dari luar, melainkan harus bertindak sesuai dengan kesadaran kita sendiri. Kita
hanya bertindak secara bertanggungjawab apabila kita bertindak sesuai dengan hati nurani kita, yang tidak
lain adalah kesadaran moral kita dalam situasi kongkrit. Akan tetapi bukankah hati nurani sendiri juga
harus dipertanggungjawabkan? Hati nurani sendiri tidak mempunyai jaminan bahwa ia tidak pernah keliru.
Oleh sebab itu kita harus betul-betul berusaha agar hati nurani kita tepat.
a. Rasionalitas Hati Nurani.
Yang dilakukan oleh hati nurani adalah memberi suatu penilaian moral. Dalam setiap bisikan
nurani termuat penilaian: Ini kewajibanmu. Pertanyaannya adalah: Apakah penilaian-penilaian dan
pendapat moral pada umumnya dapat dibuktikan sebagai benar atau salah? Untuk pertanyaan ini kita

13
Bahan ini sebagian besar diambil dari Suseno, Franz Magnis (1987). Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

77
penting menelusuri unsur rasionalitasnya kesadaran moral hati nurani itu. Kita tidak bisa menyetujui
pendapat yang mengatakan bahwa peniliaan moral pada hakekatnya merupakan masalah perasaan
belaka, dan suatu perasaan memang tidak dapat disebut benar atau salah, dan oleh karena itu juga tidak
masuk akal kalau dituntut pertanggungjawaban. Kalau masalah perasaan tidak bisa diperdebatkan.
Misalnya saja penilaian bahwa “membunuh itu jahat”. Penilaian ini bukan masalah perasaan, berupa
ungkapan rasa tidak setuju atau merasa jijik atas perbuatan itu, melainkan mengenai baik-buruknya
tindakan membunuh itu. Penilian moral bukan hanya mengenai sikap kita tentang suatu kejadian
melainkan mengenai baik-buruknya kejadian itu sendiri. Untuk penilaian berbeda terhadap suatu kejadian,
masing-masing dapat dikemukakan argumen yang meyakinkan. Akan tetapi tidak bisa bahwa keduanya
bisa diterima sekaligus, harus diandaikan bahwa hanya satu dari dua pendapat itu yang dapat benar. Beda
halnya dengan perasaan di mana perbedaan bisa diterima sekaligus. Umpamanya penilaian bahwa “durian
itu buah yang buruk rasanya”. Penilaian itu tidak mengungkapkan kualitas objektif buah durian, melainkan
perasaan subjektif si penilai terhadapnya. Tidak masuk akal untuk menuntut pertanggungjawaban rasional
atas penilaian itu. Ada yang senang makan durian dan ada yang tidak, itu saja. Yang senang tidak lebih
benar daripada yang tidak senang, karena dua-duanya tidak bicara tentang durian, melainkan tentang
perasaan mereka terhadapnya. Dan perasaan itu urusan orang masing-masing. Bisa diterima saja
semuanya.
Penilaian moral bukan sekedar masalah perasaan, melainkan masalah kebenaran objektif. Kalau
ada perbedaan pendapat moral, kita tidak berdebat tentang perasaan kita, melainkan tentang apa yang
secara objektif menjadi kewajiban kita dan apa yang tidak. Fakta bahwa penilaian-penilaian moral
diperdebatkan dengan argumentasi objektif, dan bahwa kedua belah pihak sependapat bahwa hanya satu
dari dua pendapat yang dapat betul (meskipun mereka tidak sependapat tentang pendapat mana yang
betul) memperlihatkan bahwa penilaian moral bersifat rasional dan objektif. Penilaian moral berfifat
rasional dan objektif karena hanya dapat dibenarkan atau disangkal. Fakta bahwa penilaian moral hanya
dapat dibenarkan atau disangkal membuktikan rasionalitasnya (Suseno, 1987: hal. 66).
b. Sifat Universal Hati Nurani
Bahwa hati nurani dan segenap penilaian moral bukan sekedar masalah perasaan, dapat kelihatan juga
dari fakta bahwa kita selalu menyadarinya sebagai berlaku umum. Penilaian moral tidak pernah hanya
mengenai masalah konkret yang dihadapi, melainkan selalu mengandung klaim keberlakuan universal.
Boleh dikatakan putusan hati nurani “mengkongkretkan” pengetahuan etis kita yang umum. Pengetahuan
etis kita (prinsip-prinsip moral yang kita pegang dan nilai-nilai yang kita akui) hampir tidak pernah siap
pakai dalam keadaan konkret. Hati nurani seolah-olah menjadi jembatan yang menghubungkan
pengetahuan etis kita yang umum dengan perilaku konkret (Bertens, 60). Fakta bahwa penilaian moral

78
selalu mengandung keberlakuan universal merupakan alasan mengapa kita tidak dapat menerima bahwa
dalam masalah moral dua pendapat yang saling bertentangan sama-sama benar (Suseno, hal 66).
Menurut Immanuel kant universalitas keberlakuan penilaian moral termasuk ciri khas kesadaran
moral. Hati nurani selalu disertai kesadaran bahwa apa yang diyakini sebagai kewajiban berlaku objektif
dan bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang sama dengan saya. Yang dimaksud bukan bahwa semua
orang memang sependapat dengan penilaian hati nurani saya. Pandangan-pandangan moral dalam
pelbagai masyarakat dan kebudayaan memang cukup berbeda-beda dan bahkan bertentangan satu sama
lain. Maka yang dimaksud dengan universalitas kesadaran moral ialah keasadaran bahwa seharusnya
setiap orang dalam situasi saya sependapat dengan saya. Atau, bahwa apa yang dalam hati nurani saya,
saya sadari sebagai kewajiban saya, merupakan kewajiban bagi siapa saja yang berada dalam situasi yang
sama dengan saya (Suseno, hal 66).

c. Bagaimana Mempertanggungjawabkan Hati Nurani?


Karena hati nurani bukan hanya masalah perasaan, dan karena hati nurani mengklaim rasionalitas
dan objektivitas, maka ia harus dipertanggungjawabkan. Tidak cukup bahwa saya mempunyai pendapat
moral tertentu, saya juga harus dapat menunjukkan bahwa pendapat saya ini masuk akal. Hati nurani
mengikat dengan mutlak, tetapi tetap dapat keliru. Tidak ada garansi bahwa ia selalu tepat. Oleh sebab itu
maka kita tidak boleh seenaknya saja, hanya bertahan pada pendapat sendiri, dan menutup diri pada
pendapat lainnya.
Mempertanggungjawabkan hati nurani secara rasional tidak berarti bahwa setiap pandangan
moral harus kita buktikan dulu, melainkan bahwa kita harus terbuka bagi setiap argumen, sangkalan,
pertanyaan dan keragu-raguan dari orang lain atau dari dalam hati kita sendiri. Kita harus mencari
argumentasi untuk mempertanggungjawabkan pendapat moral kita. Dalam rangka
mempertanggungjawabkan pendapat moral kita, pertanyaan penting adalah: Bagaimana cara mengambil
keputusan supaya keputusan itu secara moral memadai?
▪ Sebelum keputusan diambil.
Sebelum kita mengambil sebuah keputusan, kita selalu harus bersikap terbuka. Kita betul-betul
harus berusaha untuk menemukan keputusan mana yang paling tepat. Kita harus terbuka terhadap
pandangan orang lain, terutama orang yang terkena oleh keputusan yang akan kita ambil, tetapi pada
prinsipnya terhadap pendapat siapa saja yang relevan. Kita harus seperlunya bersedia untuk memikirkan
pendirian kita sendiri kembali dan bahkan bila perlu untuk mengubah pendapat kita. Kita tidak berhak
untuk ngotot pada apa yang kita sebut keyakinan atau suara hati kita. Kita harus mencari segala informasi
yang relevan dan memperhatikan serta menanggapi pendapat dan sangkalan orang lain. Seperlunya kita

79
mencari nasehat. Dengan demikian kita telah melakukan apa yang perlu agar keputusan yang akan kita
ambil setepat mungkin sejauh tergantung pada kita. (Suseno, hal. 70)
▪ Mengambil keputusan
Kalau saat sebelum keputusan diambil adalah saat tuntutan rasionalitas hati nurani, maka saat
putusan diambil berada di bawah tuntutan kemutlakannya. Keputusan selalu harus diambil menurut apa
yang pada saat itu disadari sebagai kewajiban, jadi menurut hati nurani. Betapapun kita sebelumnya
bersedia untuk membiarkan hati nurani kita dipersoalkan, tetapi pada saat keputusan harus diambil, kita
haru mengikuti hati nurani kita. Kita selalu mengambil keputusan sesuai dengan keinsyafan kita pada saat
itu. Kalau ternyata keputusan itu secara objektif salah, mempunyai akibat-akibat buruk bagi orang lain,
kita memang wajib berusaha untuk sedapat-dapatnya mengurangi akibat buruk itu. Jadi kita
bertanggungjawab terhadap akibat keputusan kita (Suseno, hal 72).
▪ Hati nurani ragu-ragu.
Dalam kenyataan, ketika harus mengambil keputusan, sering tidak jelas atau kita ragu-ragu
tentang apa yang harus atau wajib kita lakukan, kadang-kadang sampai saat di mana keputusan harus
diambil. Kita memang sering harus bertindak dalam keadaan masih ragu-ragu. Kalau memang tidak dapat
ditunda lagi, kita hendaknya berani untuk mengambil keputusan. Tetapi keputusan mana yang harus
diambil kalau kita masih ragu-ragu? Jawabannya adalah sederhana: salah satu. Kita bebas. Kalau tetap
tidak jelas mana yang lebih baik dan mana yang lebih merugikan, maka kita bebas untuk memilih salah
satu. Kalau sudah tiba saatnya keputusan harus diambil, kita memutuskan salah satu. Sekaligus kita
sepenuhnya menyadari kemungkinan bahwa keputusan kita kurang baik. Itu yang disebut keberanian
untuk mengambil resiko, yang harus dimiliki, terutama oleh para pimpinan, namun juga oleh siapa saja
yang merasa dirinya dewasa (Suseno, hal 72-73).

3. Membina Hati Nurani


Di bagian sebelumnya sudah dikemukakan bahwa hati nurani berkembang seirama dengan
perkembangan kepribadian kita secara keseluruhan. Dalam perkembangan itu hati nurani ikut dipengaruhi
oleh perasaan moral kita yang terbentuk oleh pengaruh lingkungan (pendidikan, budaya, adat kebiasaan,
agama, ideologi, dsb), termasuk pandangan-pandangan moral lingkungan kita, lebih-lebih ketika kita masih
muda. Begitu pula kita membatinkan semua pengalaman kita dan dengan demikian kita mengembangkan
pemahaman-pemahaman dan sikap-sikap moral kebiasaan kita.
a. Mendidik hati Nurani
Mendidik hati nurani berarti kita berusaha membebaskan diri dari prasangka-prasangka, agar kita
dapat mengambil jarak terhadapnya dan menilainya dengan kritis. Mendidik hati nurani berarti bahwa kita
terus-menerus bersikap terbuka dan mau belajar, mau mengerti seluk-beluk masalah-masalah yang kita

80
hadapi, mau memahami pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat dan seperlunya membaharui
pandangan-pandangan kita. Dengan demikian kesadaran moral kita akan berkembang terus, dan tidak
membeku pada titik perkembangan tertentu, melainkan tumbuh sesuai dengan pertumbuhan kita sebagai
manusia dengan perluasan wawasan dan tanggungjawab yang kita emban. Dengan cara demikian
diharapkan hati nurani dapat semakin sesuai dengan norma-norma moral objektif dan struktur-struktur
nyata persoalan-persoalan yang kita hadapi (Suseno, hal. 77).
b. Terbuka pada nasihat dan tradisi
Hal penting yang perlu dikatakan disisini adalah, pertama, pembentukan penilian moral kita
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, seakan-akan semuanya harus kita putuskan berdasarkan pengertian
kita sendiri. Ketika kita menilai suatu situasi secara moral, kita tidak pernah mulai dari titik nol. Kita selalu
sudah membawa pendapat, penilaian-penilaian dan perasaan-perasaan moral tertentu yang terbentuk
melalui pengalaman-pengalaman kita dalam lingkungan sosial kita. Jadi kita di satu pihak sudah memiliki
kecondongan kuat bagaimana kita akan menjatuhkan penilaian moral, di pihak lain kita justru harus juga
kritis terhadap kecondongan kita tersebut.
Hal kedua, kepastian moral bukanlah kepastian ilmu alam atau ilmu ukur. Kemampuan untuk di
setiap saat memahami apa yang menjadi kewajiban kita, memerlukan pengalaman dan pembiasaan lama,
dan orang tidak selalu memiliki hal itu secara memadai. Banyak terjadi di mana kalau kita mencari
kebenaran moral, kita sering terhalang oleh segala macam perasaan, prasangka, kebutuhan psikis dan
kepentingan yang sering bahkan tidak kita sadari oleh keterbatasan kita. Dalam situasi itu, kita
memerlukan nasihat. Kita perlu berdialog dengan orang-orang yang kebijaksanaannya sudah terpuji
(Suseno, hal. 79).
Kita juga perlu untuk lebih menghargai peran tradisi dalam masyarakat. Kita memang tidak boleh
mengikuti tradisi-tradisi secara buta. Tetapi dalam tradisi lama terhimpun kebijaksanaan dan pengalaman
sebuah masyarakat sejak sekian banyak generasi. Tradisi itu memang tidak seluruhnya memadai lagi
sebagai landasan pemecahan masalah-masalah khas zaman kita yang modern. Tetapi banyak masalah yang
kita hadapi sebenarnya merupakan masalah-masalah abadi kehidupan manusia. Tradisi sebuah
masyarakat sering menyimpan lebih banyak pengertian dan kebijaksanaan tentang kehidupan manusia
daripada apa yang dapat kita pikirkan dengan akal kita pribadi yang biasanya dangkal. Jadi terbuka pada
nasehat dan tradisi adalah suatu penerimaan tulus dan jujur bahwa kita sebagai pribadi memiliki
keterbatasan-keterbatasan, sehingga kita mutlak perlu terus mengisi dan mengasah kepribadian moral
kita dengan berbagai sumber yang relevan dan memadai14 . Diaharapkan dengan cara ini kita bisa semakin

14
Perihal sikap terbuka mengasah kepribadian moral diri sendiri dengan belajar dari berbegai sumber yang relevan
dan memadai merupakan salah satu implementasi dari Binus Graduate Attribute (BGA) “Growth Mindset”, yakni
dengan belajar terus menerus (Continuous learning I improvement).

81
mencapai kedewasaan dalam pengambilan keputusan dan pertanggunggawaban moral pilihan dan
pebuatan kita (Suseno, hal. 80).
c. Mendengar dan menaati hati nurani
Hati nurani dapat berfungsi dengan baik dan bisa juga kurang berfungsi bahkan tumpul. Hal itu
sangat dipengaruhi oleh bagaimana sikap seseorang terhadap hati nurtaninya. Kenyataan hati nurani tidak
mau kompromi dengan pikiran-pikiran manusia yang terbatas, yang sarat dengan pertimbangan-
pertimbangan untung-rugi dan alasan-alasan lainnya, maka orang sering mengabaikan hati nuraninya.
Contoh tentang mahasiswa yang terlambat datang kuliah tadi menunjukkan hal ini. Orang lebih mengikuti
tuntutan atau desakan kebutuhannya yang dirasa jauh lebih penting dan mendesak. Hati nurani yang
sering diabaikan atau dilanggar semakin lama akan semakin redup, dan akhirnya tumpul bahkan mati, tidak
berfungsi lagi. Maka memupuk kepekaan untuk bisa mendengar dan mendeteksi bisikan nurani, bersedia
untuk menaatinya walau harus berkorban banyak karenanya, merupakan sikap yang tepat membina dan
mengembangkan hati nurani. Dalam contoh di awal tadi mahasiswa itu harus mendengar dan menaati hati
nuraninya, harus berani jujur tentang alasan terlambatnya datang kuliah, dan siap menerima resiko dari
hal itu. Ini berguna untuk bisa semakin memupuk kepekaan mendengar dan kesediaan menaati hati
nurani, sehingga kepekaan kita terhadapnya akan semakin tajam, dan kesetiaan untuk menaatinya
menjadi pilihan-pilihan sadar dan pilihan-ilihan dasar hidup kita (Gea, 2004: hal. 337) . Dengan begitu hati
nurani akan setia menemani kita dalam perjalanan hidup kita.
d. Terbuka pada sapaan Tuhan
Pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah hati nurani atau suara hati sama dengan suara
Allah? Pertanyaan ini dapat dijawab, pertama: karena suara hati dapat keliru, sedangkan Allah tidak dapat
keliru, maka suara hati atau hati nurani tidak begitu saja boleh disamakan dengan suara Allah. Hati nurani
dengan amat jelas mencerminkan segala pengertian dan prasangka kita sendiri, sehingga jelas merupakan
suara kita sendiri. Namun demikian dalam hati nurani memang ada unsur yang tidak dapat diterangkan
dari realitas kita manusia saja, yaitu kemutlakannya. Hati nuani memuat keinsyafan bahwa apa yang
disadari sebagai kewajiban mutlak harus kita lakukan, tanpa syarat dan tanpa “tetapi”, padahal kita
manusia tidak mutlak. Dari mana unsur mutlak itu dalam kesadaran kita? Yang mutlak itu hanya satu, yaitu
Allah. Tapi bagaimana kemutlakan hati nurani di satu pihak dan fakta bahwa hati nurani kita dapat keliru
di lain pihak dapat dipersatukan?
Hati nurani memang merupakan kesadaran kita, dengan segala kekhususan dan keterbatasan kita
masing-masing, sehingga ada kemungkinan tidak benar atau keliru. Namun kita sadar juga bahwa kita
mutlak terikat olehnya, karena penilaian itu kita lakukan seakan-akan diadakan di hadapan takhta Allah.
Sehingga meskipun penilaian kita barangkali keliru, namun kita melakukannya dengan jujur dan sungguh-
sungguh, karena kita melakukannya dalam kesadaran bawa Allah menyaksikannya. Jadi dalam fenomena

82
hati nurani kita betul-betul memiliki suatu pengalaman tentang transendensi, tentanhg Dia yang
mengatasi segala ciptaan. Kita tidak melihat Tuhan secara langsung, tetapi kita seakan-akan
merasakannya. Oleh karen itu Kardinal John Henry Newman (1801-1090) memandang hati nurani sebagai
jalan yang paling tepat untuk memahami bahwa ada Allah. Bahwa hati nurani bicara deng an begitu tak
tergoyahkan, tanpa menghiraukan segala macam pertimbangan dan kepentingan kita sendiri, jadi
kemutlakan tuntutannya untuk melakukan apa yang disadari sebagai kewajiban kita, hanya dapat difahami
kalau kita memerima adanya Yang Mutlak yang menyaksikan upaya atau penilaian kita (Suseno, hal. 78).
Jadi hati nurani dapat menjadi jalan bagi penguatan iman kita akan Allah sekaligus keterbukaan kita atas
sapaan-sapaan-Nya.
e. Memahami dan Menyikapi Super Ego (Bertens, hal 66 – 75).
Hati Nurani sering dikaitkan dengan superego, bahkan tidak jarang kedua hal itu disamakan begitu saja.
Istilah “superego” berasal dari Sigmund Freud (1856-1939), dokter ahli saraf Austria, yang meletakkan
dasar untuk psikoanalisis. Ia mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya tentang struktur kepribadian
manusia. Menurut Freud, struktur psikis manusia meliputi tiga instansi atau tiga sistem yang berbeda -
beda. Sistem-sistem ini memegang peranan sendiri-sendiri, dan kesehatan psikis seseorang sebagian
terbesar tergantung dari keharmonisan kerjasama di antaranya. Ketiga instansi ini masing-masing adalah
Id, Ego dan Superego.
Superego dibentuk selama masa kanak-kanak melalui jalan internalisasi (pembatinan) dari faktor-
faktor represif yang dialami subyek sepanjang perkembangannya. Faktor-faktor yang pernah tampil
sebagai “asing” bagi si subyek, kemudian diterima olehnya dan dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari
dirinya sendiri. Larangan-larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dan sebagainya, yang berasal dari luar (para
pengasuh, khususnya orang tua), diterima sepenuhnya oleh si subyek, sehingga akhirnya terpancar dari
dalam, bagaikan dari dia sendiri. “Engkau tidak boleh mencuri” (larangan dari orang tua) akhirnya menjadi
“Aku tidak boleh mencuri”; “Engkau harus mengembalikan barang milik orang lain/barang pinjaman”
(perintah dari orang tua) akhirnya menjadi “Aku harus mengembalikan barang milik orang lain/barang
pinjaman”; “Anak putri tidak boleh memanjat pohoh” (teguran dari kakak) menjadi “Saya tidak boleh
memanjat pohon, karena hal itu tidak patut bagi anak perempuan”; dan begitu seterusnya.
Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego, yang dinyatakan dalam emosi-
emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, rasa malu, dan sebagainya terutama ketika si subyek
melakukan hal-hal yang pernah diinternalisasikan itu. Perasaan-perasaan bersalah itu dapat dianggap
normal saja, tapi bisa juga bahwa orang sungguh-sungguh disiksa oleh rasa bersalah dari Superego itu.
Hati nurani tidak bisa disamakan dengan Super ego. Alasaannya, pertama: Konteks dimana kedua
faham itu sangat berbeda. Hati nurani dipakai dalam konteks etis, sedangkan super ego berperanan dalam
konteks psikoanalisis atau dalam konteks metapsikologis. Alasan kedua: Aktivitas super ego bisa tak sadar,

83
baik sumber rasa bersalah maupun rasa bersalah itu sendiri bisa tetap tidak disadari. Sedangkan dalam
konteks etis, hati nurani tentu hanya bisa berfungsi pada taraf sadar. Peranan hati nurani dalam hidup etis
justru mengandaikan bahwa orang bersangkutan menyadari rasa bersalah dan ia tahu juga apa sebabnya
ia merasa bersalah. Taraf sadar merupakan prasyarat supaya hati nurani bisa berfungsi dengan baik,
karena selama tidak disadari tidak mungkin ia menjadi penuntun dan penyuluh bagi hidup moral dengan
segala pertanggungjawabannya.
Tentang hubungan antara hati nurani dan super ego dapat dikatakan sebagai berikut: Sebaiknya
super ego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi fenomena etis yang kita sebut “hati nurani”, atau lebih
tepat dikatakan, sebagai dasar psikologis antara lain bagi fungsi seperti hati nurani yang etis. Kita bisa
menerima penjelasan Freud tentang asal-usul super ego, sebagai yang terbentuk karena internalisasi dari
perintah-perintah dan larangan-larangan orang tua, yang mengalami proses perkembangan berbelit-belit
sampai akhirnya mencapai taraf kedewasaan. Hati nurani juga mengalami hal demikian, namun apa yang
berlaku bagi hati nurani tetap mengikat kita, karena sifat dan kekhususannya.

C. PENUTUP.
Hati nurani merupakan suatu instansi penting dalam diri kita, yang menilai dari segi moral
perbuatan-perbuatan atau tindakan kita, mulai dari perencanaan bahkan sampai setelah rencana itu
dilaksanakan. Hati nurani pertama-tama berperan menyadarkan kita apa yang merupakan kewajiban kita
dalam situasi nyata, kini dan di sini. Sebagai bagian dari diri kita maka hati nurani mengalami
perkembangan seirama dengan perkembangan kepribadian kita secara keseluruhan. Dalam kaitan dengan
itu, maka hati nurani mendapatkan pengaruh dari lingkungan atau situasi yang menyertai kehidupan kita,
seperti adat kebiasaan, budaya, pendidikan, agama, ideologi, dsb. Tidak mustahil bahwa pengaruh dari
aneka lingkungan itu bisa mengacaukan juga hati nurani kita pada waktunya. Untk itu kita harus jeli dalam
mengidentifikasi yang mana hati nurani atau suara hati yang sesungguhnya.
Hati nurani merupakan sesuatu yang rasional - selain bersifat universal - karena dia memberikan
suatu penilaian yang terbuka untuk diterima atau disangkal secara argumentatif. Walau berifat rasional
namun tidak menjadi jaminan bahwa hati nurani selalu benar. Ada kemungkinan hati nurani keliru. Itu
sebabnya hati nurani harus bisa dipertanggungjawabkan dengan cara terus mendidik dan
mengembangkannya. Hati nurani merupakan norma moral yang subyektif, yang mengikat dan menuntun
seseorang pada apa yang wajib dilakukannya dalam situasi kongkrit. Tekanannya bukan terutama pada
benar-salahnya secara objektif suatu perbuatan melainkan perihal bersalah-tidaknya kita di dalamnya. Kita
harus selalu tunduk pada hati nurani kita, terutama ketika kita tidak memliki waktu untuk mengujinya
dihadapan publik atau dengan berbagai sumber lain. Kita juga harus siap bertangungjawab atas
dampaknya manakala ternyata tindakan kita yang didasarkan pada hati nurani it u salah dan

84
mengakibatkan kerugian atau dampak buruk bagi orang lain. Karena hati nurani merupakan hal sangat
penting dan mendasar bagi manusia, maka perlu hati nurani itu dibina dan dikembangkan terus. Kita bisa
melakukan hal itu dengan terbuka dan mau belajar terus-menerus untuk memperbaiki pengetahuan moral
kita. Dari semuanya itu hal terpenting adalah dengan selalu terbuka mendengar hati nurani kita,
menghargainya dengan cara menaatinya, walaupun hal itu tidak selalu mudah bagi kita, terutama ketika
tidak sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan untung-rugi kita atau dengan pilihan keinginan kita
sendiri.

Tugas
Refleksi Pribadi
Apakah Anda merasa hati nurani Anda berfungsi dengan baik, kurang berfungsi, atau malah tidak berfungsi
alias tumpul? Sertakan penjelasan berdasarkan pengalaman kongkrit mengapa Anda merasa seperti itu,
dan apa yang akan Anda lakukan merespon keadaan itu?

Referensi
• Bertens, K. (2013). Etika. Edisi Revisi. Penerbit PT Kanisius, Yogyakarta
• Bertens, K. (1997). Etika. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2004), Character Building III Relasi Dengan Tuhan, Penerbit PT
ElexMedia Komputindo, Jakarta
• Suseno, Franz Magnis (1987). Etika Dasar. Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta

85
Topik 9
TOLERANCE AND INTER-RELIGIOUS COOPERATION FOR WORLD PEACE

Learning Outcome:
LO4: Apply the religious values in the contex of human relation, environment, and work world.
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• mengidentifikasi akar konflik dan kekerasan atas nama agama
• menjadikan agama sebagai sumber inspirasi bagi perdamaian
• mengkampanyekan pentingnya dialog dan kerjasama antarumat Beragama

A. Pendahuluan
Dalam sejarah peradaban umat manusia, Agama tampaknya memainkan peran ambivalen. Di satu
sisi agama berperan menciptakan perdamaian dunia. Di India misalnya, Mahatma Gandhi menggunakan
dalil-dalil agama untuk melawan kekerasan. Ia melawan kekerasan dengan tanpa kekerasan. Gandhi
menggunakan konsep “Ahimsa”, ajaran dalam agama Hindu, untuk melawan kolonialisme Inggris. Ahimsa
artinya tidak membahayakan diri sendiri, orang lain, dan seluruh makhluk hidup di bumi. Di Filipina,
seorang Uskup, Kardinal Sin, berani melawan penindasan dan praktek korupsi yang dilakukan oleh
Presiden Filipina, Ferdinand Marcos. Kardinal Sin memimpin revolusi tanpa kekerasan. Kardinal Sin
menyerukan sikap peduli pada sesama dan melayani sesama dengan segenap hati. Ajaran peduli dan
melayani yang dilakukan Kardinal Sin berinspirasikan pada Kitab Suci. Di Amerika Serikat, Martin Luther
King, menggunakan dalil Kitab Suci tentang prinsip setiap orang sama di hadapan Tuhan, untuk
menghapus rasisme dan perbudakan.
Kendati demikian, di sisi lainnya, perang-perang besar di dunia terjadi justru mengatasnamakan
agama. Perang besar di Eropa antara tahun 1095-1291 dan tahun 1524-1648, muncul karena pertikaian
dan persaingan antara agama. Jutaan orang mati terbunuh atas nama agama. Tindakan terorisme yang
memuncak pada September 2001, yang menghancurkan menara kembar World Trade Center (WTC)
hingga menewaskan lebih dari 3000 orang, merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan atas nama agama.
Apa yang dibutuhkan warga dunia pada saat ini adalah sebuah kondisi damai dan harmoni, bebas
dan setara, serta toleran satu sama lain. Toleransi dan Kerjasama antarumat beragama merupakan cara
yang paling efisien untuk menwujudkan perdamaian dan harmoni. Agama bisa menjadi yang terdepan
untuk mewujudkan toleransi dan Kerjasama.

86
B. PEMBAHASAN
1. Melacak Akar Konflik dan Kekerasan Atas Nama Agama
Konflik dan kekerasan merupakan dua istilah dengan makna yang hampir sama. Itulah sebabnya
dalam pemakaiannya sehari-hari, dua istilah ini kerapkali bercampur. Konflik dan kekerasan merupakan
sebuah kondisi di mana orang atau kelompok memiliki kepercayaan, kepentingan, nilai, dan kebutuhan
yang berbeda, bersebrangan, dan tidak bisa didamaikan sehingga memaksa masing-masing pihak untuk
berkonfrontasi, berkelahi, berperang, atau saling membunuh.
Konflik Pertama muncul ketika Kain membunuh adiknya, Habel. Kain merasa iri dengan Habel
karena persembahan Habel diterima oleh Tuhan, sedangkan persembahan Kain tidak berkenan kepada
Tuhan. Kain pun membunuh Habel.
Pada 11 September 2001, dunia diteror oleh pembajakan empat pesawat komersial di Bandara
Boston, Newark, dan Washington DC oleh Anggota Al Qaeda yang kemudian menabrakan dua pesawat ke
Gedung World Trade Center (WTC) dan satu pesawat ke Pentagon (Buku Pengatar Politik, 274). Lebih dari
3000 orang meninggal akibat aksi terror itu. Peristiwa tersebut menjadi aksi teorisme yang paling
menghebohkan dalam sejarah peradaban umat manusia. F Budi Hardiman dalam buku Memahami
Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (Jakarta: Penerbit Kompas, 2005), menyebut
tindakan teroris menabrakkan pesawat ke WTC atau melilitkan bom di tubuhnya, atau mengajak seluruh
anggota keluarga utk melakukan bom bunuh diri benar-benar melampaui kalkulasi nalar. Dalam Tindakan
terror itu, motif religius lebih berbicara daripada motif lain. Trutz von Trotha menyebut tindakan demikian
sebagai “eksistensialisme religius atas kekerasan”. Atau lebih tepat seperti yang dikemukakan Wolgang
Huber “Kekerasan sebagai ibadah”.
Pelaku kekerasan meyakini bahwa apa yang dia lakukan itu merupakan tindakan kemartiran untuk
memurnikan dunia dari kekafiran. Sehingga mereka menyebut aksinya sebaga suatu ibadah kepada Allah.
Kebanyakan teroris juga meyakini bahwa di Surga mereka akan dijemput puluhan bidadari cantik.
Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya berjudul “Mencari Akar Ekstrimisme - Terorisme”
menjelaskan bahwa pelaku teror atau ekstrimis-teroris adalah orang-orang yang tidak memiliki visi tentang
kehidupan. Mereka menganut “teologi maut”! Mereka memiliki keberanian untuk mati karena tidak berani
untuk hidup. Mereka tidak memiliki visi tentang kehidupan yang damai di bumi. Mereka lebih memendam
angan dan igauan tentang kehidupan Bersama bidadari di alam setelah kematian. Itu merupakan sebuah
teologi yang sesat (Lihat tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir
Abbas (2017), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Penerbit Mizan Publishing,
Bandung).

87
Pertanyaan kita yang paling mendasar adalah mengapa kekerasan atau konflik atas nama agama
bisa muncul? F. Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan
Trauma menjelaskan tentang tiga alasan yang bisa memicu munculnya kekerasan.
Pertama, Akar Epistemologis. Akar epistemologis berhubungan dengan tingkat pengenalan orang
lain terhadap sesamanya. Filsuf Yunani, Empedokles mengatakan bahwa yang sama pasti mengenal yang
sama. “Kesamaan,” kata Aristoteles, adalah “jiwa persahabatan”. Sulit memercayai bahwa pelaku
terorisme melihat korbannya sebagai sesama manusia. Kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sama,
melainkan terhadap yang lain. Yang lain itu adalah korban yang dipersepsi sebagai sosok yang terasing.
Korban dipersepsikan sebagai manusia asing. Bahkan korban didehumanisasikan dan didepersonalisasikan
sampai pada status obyek (F. Budi Hardiman, 2005).
Tindakan kekerasan sudah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia sendiri. Jika kita
mengatakan bahwa kekerasan melekat di dalam struktur pikiran manusia, itu berarti: 1), pengenalan atas
manusia lain mengandung momen dominasi karena mengenali berarti juga mendefinisikan. Proses
pengenalan orang lain sudah mengandung momen dominasi. Momen dominasi muncul ketika orang lain
menjadi obyek atau korban penentuan manusia lain. Semakin didegradasi dan tak berdaya obyek itu,
semakin terbuka peluang bagi subyek itu untuk membesarkan diri dengan mengecilkan obyeknya. Dengan
pengecilan inilah “orang lain” tidak dipersepsi sebagai “sesama”. 2) Pengenalan atas manusia lain mulai
dengan stereotipifikasi bahwa orang lain itu anggota sebuah kelompok dan bukan individu. Stereotipifikasi
seperti itu dalam situasi konflik menjadi stigmatisasi yang destruktif. Itulah gambaran tentang musuh (F.
Budi Hardiman, 2008). Dari akar epistemologis ini lahir ideologi-ideologi atau sistem-sistem nilai yang
mendikotomi manusia ke dalam “kawan” dan “lawan”.
Kedua, Akar Antropologis. Tindakan membunuh orang lain dimungkinkan karena pelaku
memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai. Nilai itulah yang memotivasi pelaku
untuk melakukan kekerasan. Teroris melukai atau menghabisi nyawa sesamanya tanpa merasa bersalah
jika tindakan itu dipandang sebagai realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri. Teroris
menglorifikasi kekerasan. Akar antropologis kekerasan adalah rasa panik. Seperti dianalisis Wolfgang
Sofsky, dalam rasa paniknya manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Nalar tidak bisa mengendalikan
rasa cemas, sebaliknya rasa cemas itu mendikte rasionya (F. Budi Hardiman, 2005).
Ketiga, Akar Sosiologis. Gambaran abstrak tentang orang lain dan rasa panik adalah akar-akar yang
terletak lebih pada kesadaran dan motivasi manusia. Rasa panik itu sendiri terletak tidak di luar, melainkan
di dalam subyek. Sebagian rasa panik bersumber dari rasa takut akan ketakutan, yakni takut untuk
menghadapi kesepian sebagai seorang individu. Manusia enggan menghadapi rasa sepi karena merasa
tak nyaman menghadapi dirinya sendiri (F. Budi Hardiman, 2005). Mengapa muncul kesepian? Pengalaman
kesepian muncul karena isolasi. Untuk menemukan akar sosiologis kekerasan, kita harus bertolak dari

88
pengalaman isolasi itu karena isolasi yang menyentuh jiwa itu bersumber dari kondisi-kondisi struktural
masyarakat. Artinya, tatanan masyarakat itulah yang menjadi sumber kekerasan. Ketimpangan sosial
memicu aksi kekerasan, karena mereka yang dimarjinalisasikan, didiskriminasikan, dan direpresi akan
bangkit melawan. Tindakan kekerasan dapat dilihat di sini sebagai strategi protes . Faktor yang kuat
mendorong aksi terorisme adalah ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi-politik di dunia (lihat tulisan
Ahmad Syafii Maarif dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017).
Konflik dan Kekerasan, entah yang dipicu oleh kondisi epistemologis, antropologis, dan sosiologis
pada dasarnya merusak peradaban, melanggar HAM, merusak hukum dan konstitusi, mencedrai
demokrasi, dan bentuk penghinaan terhadap akal sehat. Kondisi seperti ini bisa diperbaiki dengan
mengangkat sumber-sumber yang baik yang melekat secara inheren di dalam agama.

2. Agama Sumber Inspirasi bagi Perdamaian


Anggota Tim Penyusun Tafsir Tematik Al-Quran Kementerian Agama RI, Muhammad Chirzin,
dalam tulisannya berjudul “Reinterpretasi Makna Jihad”, menyebutkan bahwa jihad merupakan salah satu
konsep dalam Islam yang paling sering disalahpahami. Dalam Al-Quran, istilah jihad itu disebutkan
sebanyak 41 kali. Stereotipe di Barat menyebutkan jihad sebagai the holy war (perang suci) (lihat tulisan
Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Muhammad Chirzin
menjelaskan bahwa perlu reinterpretasi mengenai jihad. Lulusan post Doktoral Universitas Al-Azhar - Kairo
itu menjelaskan tentang dua pandangan ekstrim tentang jihad. Pertama, jihad adalah perang fisik. Kedua,
jihad adalah perang menghadapi hawa nafsu sendiri.
Muhammad Chirzin menyebutkan bahwa jihad masa kini harus ditafsirkan sebagai dakwah amar
ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan kehidupan (lihat tulisan Muhammad Chirzin dalam Azyumardi
Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Seruan jihad harus dimaknai sebagai dakwah atau ajakan ke
jalan Allah untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah perbuatan buruk. Dakwah itu bukan sekedar
menjelaskan ajaran Islam secara lisan, tetapi mencakup semua usaha membantu manusia melaksanakan
tugas-tugas hidup dengan sebaik-baiknya. Dakwah dilakukan dengan strategi lentur, kreatif, dan bijak.
Dakwah dilakukan dengan cara-cara baik, benar, dan bijaksana sesuai dengan tuntutan situasi (lihat tulisan
Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Islam sama sekali tidak
membenarkan pemaksaan beragama kepada siapa pun. Metode dakwah adalah dengan ucapan baik,
nasihat baik, dan dialog dengan kepala dingin (lihat tulisan Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra,
Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017). Amar ma’ruf merupakan kesetiakawanan sosial untuk
merealisasikan kebenaran dan kebaikan, menegakkan bangunan sosial yang kokoh. Amar ma’ruf nahi
munkar merupakan kebajikan terbesar orang beriman. Jihad masa kini harus dipahami sebagai agenda
melanjutkan reformasi dan revolusi mental dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum,

89
pertahanan dan keamanan dengan perjuangan sehebat-hebatnya tanpa kompromi. Setiap muslim
dipanggil untuk mengadvokasi hak-hak orang lemah, terlibat dalam pelayanan kesehatan, penguatan
ekonomi dan pendidikan, mecegah kekerasan, dan menghentikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Islam adalah sumber moral, dan ia dirancang untuk mencapai kedamaian, cinta, dan kebaikan (lihat tulisan
Muhammad Chirzin dalam Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas: 2017).
Dapat disimpulkan bahwa jihad merupakan perjuangan Mukmin secara individual dan komunal
untuk mewujudkan cita-cita ideal Al-Quran dan Sunnah Nabi. Jihad sendiri berbentuk dakwah amar ma’ruf
nahi munkar dalam segala lini kehidupan dengan mengerahkan segala daya, baik moril maupun spiritual,
dengan menghindari cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan spirit Islam sebagai rahmat bagi alam
semesta (Islam rahmatan lil alamin). Islam adalah manifestasi dari damai!
Di dalam Kekristenan perdamaian merupakan tujuan. Perdamaian berarti kesentosaan oleh
adanya tatanan kemerdekaan yang adil dan dinamis. Perdamaian secara hakiki ditentukan oleh
penghormatan terhadap hak dan keadilan. Oleh sebab itu perdamain sering kali diartikan sebagai karya
keadilan. Solusi damai atas perbagai pertikaian mesti sudah dibentuk dan dibina pada tingkat perorangan
dan kelompok-kelompok kecil. Perilaku pribadi terhadap keadilan, kepekaan terhadap sesama, kebebasan
dari prasangka, tenggang rasa, kemampuan untuk berkompromi, kesetiakawanan merupakan prasyarat-
prasyarat penting untuk perdamaian (Etika Kristiani, 92). Orang pun mesti berdamai dengan dirinya
sendiri, di dalam batin, dan suara hatinya. Perdamaian dengan sesama manusia dan alam ciptaan
mengandaikan perdamaian dengan Allah dan pengakuan atas kehendakNya. “Hanya apabila manusia bisa
hidup damai dengan Allah, maka perdamaian yang menyeluruh dan berkanjang bisa juga ada di dalam
relasi manusia. Perdamaian dengan Allah, perdamaian dengan diri sendiri, perdamaian di dalam batin dan
perdamaian di antara umat manusia, semuanya saling terkait” (Etika Kristiani, 93). Strategi perdamaian
mesti melenyapkan sebab-sebab terjadinya perang dan tindak kekerasan, serta menghormati hak-hak dan
martabat orang lain. “Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan bangsa-bangsa lain serta
martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata, mutlak diperlukan
untuk mewujudkan perdamaian (GS, 78). Kebencian merupakan dosa melawan hukum cinta kasih dan
persaudaraan. Perdamaian mesti lahir dari kepercayaan timbal balik, dan merupakan buah dari keadilan
dan cinta kasih. Yohanes Paulus II berpandangan bahwa ‘perdamaian sebagai buah solidaritas’ (Etika
Kristiani, 95). Dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain merupakan landasan yang amat penting
bagi perdamaian. Tugas pokok gereja adalah menjadi perantara kebenaran-kebenaran religious,
membangun persekutuan kristiani, serta memajukan persaudaraan di antara semua umat manusia (Etika
Kristiani, 129). Hak-hak menyangkut kebebasan beragama harus diberikan kepada setiap orang (Etika
Kristiani, 142).

90
Dalam filsafat Cina, perwujudan potensi manusia merupakan dasar untuk menemukan harmoni
dan relasinya dengan sesama dan alam. Karakter utama filsafat Cina menempatkan kesempurnaan
manusia sebagai tujuan utama. Menurut Tao, kesempurnaan dapat diwujudkan dengan jalan mengikuti
Jalan batiniah kodrat alam. Sedangkan menurut Konghucu, perdamaian / kesempurnaan dapat terwujud
melalui jalan dengan mengolah kodrat manusia dan kebajikan sosial. Lao Tzu mengatakan apabila
seseorang tidak mengenal dan tidak hidup menurut hukum batiniah alam, ia akan terburuk dalam
malapetaka. Dengan demikian, mengikuti hukum alam akan membuat segala sesuatu tercapai (John M.
Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010). Konghucu menegaskan prinsip dasar untuk sebuah
masyarakat ideal. “Berbuatlah bagi orang lain sebagaimana engkau inginkan mereka berbuat bagimu”
(John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010). Konghucu tidak mencari dasar kebaikan dan
moralitas manusia di luar diri manusia. Dalam kemanusiaan itu sendiri ditemukan kebaikan dan
kebahagiaan manusia. Bagi Konghucu, apa yang menjadikan manusia khas manusia adalah jen. Jen itu
diterjemahkan dengan ‘kebajikan’, ‘kemanusiaan’, ‘kemurahan hati’, ‘cinta kasih’. Jen adalah apa yang
membuat kita menjadi manusiawi dan dasar bagi semua relasi manusiawi). Bagi Konghucu, kemampuan
manusia untuk mencintai justru membentuk inti kodrat manusia. Dan semua manusia dari kodratnya baik
(John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010).
Buddha merupakan contoh paling inspiratif untuk mencapai pencerahan dan perdamaian. Buddha
telah memperlihatkan kepada dunia Delapan Jalan Mulia yang menggabungkan Tindakan moral, disiplin
mental, dan kebijaksanaan. Jalan yang ditempuh Buddha antara lain: A) Kebijaksanaan (1. Pandangan yang
benar, 2. Niat yang benar). B). Tingkah Laku (3.Berbicara benar, 4.Tindakan yang benar, 5. Mata
pencaharian yang benar). C). Disiplin Mental (6.Pikiran dan perhatian yang benar, 7. Usaha yang benar, 8.
konsentrasi yang benar (John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada): 2010).
Perdamaian merupakan prinsip dasar dalam agama Hindu. Filsafat Hindu mengenal persekutuan
semua mahluk hidup. Dasar persekutuan itu adalah cinta. Prinsip dasar dalam Hindu adalah Ahimsa artinya
tidak boleh melukai yang lain. Ahimsa merupakan ungkapan kasih saying untuk semua mahluk hidup.
Semua mahluk hidup termasuk dalam satu kluarga global (John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus
Sermada): 2010).

3. Membangun Dialog dan Kerjasama Antarumat Beragama


Dialog berarti tindakan komunikasi demi tercapainya saling pengertian atau saling memahami.
Dialog mensyaratkan adanya kebebasan, kesetaraan, keterbukaan, dan kejujuran. Tanpa empat syarat ini,
dialog untuk mencapai saling pengertian tidak akan terwujud. Dialog terkait erat dengan toleransi –
membiarkan segala sesuatu untuk saling mengizinkan atau saling meudahkan. Toleransi berarti
membiarkan orang lain dalam kekhasannya (keunikannya). SIkap toleransi disyaratkan oleh pemahaman

91
terhadap orang lain secara lebih inklusif. Toleransi beragama dapat dibangun melalui dialog antar umat
beragama. Karena dialog akan menghasilkan saling pengertian di antara umat beragama yang pada
gilirannya memunculkan sikap toleran dan rukun. Jadi, toleransi dan kerukunan antar umat beragama
merupakan tujuan dialog (Lihat Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University: 2018).
Melalui dialog, agama dapat berpartisipasi dalam menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang
lebih adil, dan dunia yang damai. Dialog dapat dilakukan dalam beberapa model seperti dialog kehidupan
sehari-hari, dialog melakukan pekerjaan sosial, dialog pengalaman keagamaan, dan dialog pandangan
teologis. Dialog paling intens berhubungan dengan pemahaman dan interpretasi atas teks-teks suci. Ada
empat prinsip utama dalam dialog seperti ini. Pertama, mengakui dan menerima perbedaan teks Kitab
Suci agama lain. Kedua, mengakui dan menghargai perbedaan pemahaman dan interpretasi Kitab Suci
agama lain. Ketiga, berdebat secara cerdas, ilmiah, dan berbasis metode ilmu pengetahuan.
Keempat,perlu menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang tidak perlu dikatakan.

4. Strategi Mengatasi Kekerasan Atas Nama Agama


Kekerasan tidak perlu dilawan dengan kekerasan. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan
hanya akan melahirkan rantai kekerasan tanpa henti. Dalam buku Demokrasi dan Sentimentalitas, F. Budi
Hardiman menguraikan Gerakan-gerakan tanpa kekerasan. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama,
Memupuk Civil Courage. Civil courage artinya: Sikap WN yang mengutamakan demokrasi yang mengacu
pada semangat konstitusi dan HAM; Berani menyatakan pendidiran secara publik meski ditentang banyak
orang; Memiliki isi publik dan berorientasi pada kebaikan bersama; Menghimbau suara hati para warga
negara agar menghentikan penindasan dan kekerasan; Menyatakan keberatan atau penolakan terhadap
penindasan, pelecehan, dan diskriminasi; Tidak ikut serta dalam aksi kekerasan dan diskriminasi (F. Budi
Hardiman: 2019). Kedua, Berani Meninggalkan Posisi Penonton dan Tolak Bungkam. Sikap diam selalu
berarti membiarkan terjadinya kekerasan dan bahkan mendukungnya. Ketidakberanian ‘para penonton’
untuk mengintervensi kekerasan, justru memberikan kontribusi bagi penindasan dan kriminalisasi. Sikap
Tolak Bungkam atau tidak diam menunjukkan keberpihakan kepada korban pelecehan, penghinaan, dan
penindasan. Kita harus berani memberikan simpati kepada korban (F. Budi Hardiman: 2019). Ketiga, Setia
kepada suara hati. Suara hati merupakan instansi tertinggi dalam diri manusia untuk mengambil keputusan
pada tertentu. Sebagai individu, setiap orang perlu bersikap Non-Konformis, artinya tidak menyesuaikan
diri dengan kelompok, melainkan bertindak menurut kepribadian sendiri. Selain itu diperlukan sikap
penegasan-diri, yakni menjadi subjek yang turut membangun hubungan positif serta respek terhadap
kepribadian sendiri dan orang lain. Dalam negara yang menganut system demokrasi, setiap warga negara
wajib mencintai kebebasan, yakni mencintai kebebasan sendiri dan orang lain serta melatih Trust di
tengah iklim yang sarat kecurigaan (F. Budi Hardiman: 2019). Keempat, Membangun kekuatan jaringan.

92
Stragegi bertindak tanpa kekerasan dilakukan dengan memproduksi dan menguatkan lembaga/instansi,
forum interreligius pada masing-masing agama, sehingga dalam situasi konflik dapat bertindak menengahi
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini yang ditamakan adalah komunikasi dan ikut jalur hukum, bukan
main hakim sendiri. Selain itu perlu memperbanyak komunitas-kominitas syang sadar hak dan forum-
forum deliberasi (F. Budi Hardiman: 2019).

C. PENUTUP
Kemajemukan merupakan fakta permanen masyarakat kontemporer. Di antara pelbagai nilai dan
pandangan hidup yang berbeda-beda, diperlukan sikap toleransi dan kerjasama. Toleransi dan kerjasama
dilandasi oleh cita-cita masing-masing kelompok untuk tetap bertahan dari waktu ke waktu dan dari
generasi ke generasi berikutnya. Prinsip keadilan merupakan dasar paling ideal untuk menata masyarakat
majemuk. Prinsip keadilan menjadi dasar universum untuk di atasnya semua yang berbeda-beda itu bisa
eksis. Toleransi dan Kerjasama merupakan cara paling ideal untuk membangun masyarakat yang lebih
inklusif dan beradab.

Tugas
Diskusi Kelompok
Setelah mempelajari bahan ini, kelompok diminta:

1. Buat analisis berdasarkan fakta sejauhmana agama-agama berhasil dalam menjalankan dan
mewujudkan peran menciptakan perdamaian dunia.

2. Bagaimana supaya agama-agama semakin bisa menjalankan dan mewujudkan pemenuhan harapan
tersebut (apa yang sebaiknya bahkan harus dilakukan, siapa melakukannya, dimulai dari mana,
melibatkan siapa dan apa saja, dan sebagainya)?

3. Sebagai mahasiswa (pribadi atau kelompok), apa saja peran yang bisa dijalankan untuk mendukung
semakin terwujudnya harapan besar tersebut (terwujudnya perdamaian dunia)?

Referensi
• Azyumardi Azra, Busyro Muqoddas, Nasir Abbas (2017), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah,
dan Terorisme, Penerbit Mizan Publishing, Bandung.
• Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University.
• Hardiman, F. Budi (2019), Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari “Bangsa Setan-setan”, Radikalisme
Agama, sampai Post-Sekularisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

93
• ______________ (2005), Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma,
Penerbit Kompas, Jakarta.
• Hardiman, F. Budi (2015), Ruang Publik - Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai
Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
• John M. Koller (terj oleh Kelen, Donatus Sermada) (2010), Filsafat Asia, Penerbit ledalero,
Maumere.

94
Topik 10
WILLING TO FORGIVE

Learning Outcome:
LO4: Apply the religious values in the contex of human relation, environment, and work world.
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan konsep Tuhan Mahapengampun
• menganalisis pentingnya pertobatan
• menguraikan makna pemberian maaf
• mempraktekkan perintah Tuhan untuk memaafkan

A. PENDAHULUAN
Sebagai orang beriman dan beragama kita meyakini bahwa kesediaan memaafkan sesama yang
bersalah kepada kita merupakan ajakan atau perintah Allah kepada manusia. Perintah Allah untuk
memaafkan sesama tersebar dalam lembaran-lembaran Kitab-kitab Suci setiap agama. Selain itu para
tokoh awal keagamaan atau para nabi juga mengajarkan hal itu kepada kita. Bukan hanya mengajarkan,
mereka sendiri melakukan hal itu, memberi contoh kepada kita. Ada banyak tindakan sangat tidak
manusiawi yang dilakukan pada mereka, namun mereka tidak membalasnya, walau mereka sanggup dan
punya kesempatan melakukannya. Kemudian ada cukup banyak contoh dari orang-orang biasa, manusia
awam seperti kita, di zaman kita ini, entah mereka masih hidup atau sudah meninggal, kendati sudah
diperlakukan atau disakiti sangat berat atau di luar batas kemanusiaan, namun mau dan mampu
memaafkan dengan tulus. Mereka semua adalah inspirasi kuat bagi kita.
Kalau ditarik lebih awal lagi, maka kesediaan atau keterbukaan untuk memaafkan merupakan
respon atau tanggapan kita atas keyakinan iman kita pada Allah sebagai Mahapengampun. Dalam iman
kita percaya teguh bahwa Allah mau dan mampu mengampuni dosa-dosa kita sebesar dan seberat apapun.
Pengampunan adalah sebuah wujud nyata kemahacintaan dan kemahakuasaan Allah kepada manusia.
Terkait pengampunan Allah kepada manusia, sebagai makhluk istimewa yang memiliki akal budi dan
kehendak bebas, kepada manusia dituntut tanggungjawab, yakni kesediaan dan keterbukaan, dalam
wujud pertobatan. Pengampunan dari Allah hanya akan efektif bila ada pertobatan. Atau dengan kata lain,
bukti terjadinya pengampunan adalah pertobatan itu sendiri. Selain pertobatan, kita sebagai makhluk yang
sadar akan kasih dan pengampunan Allah yang senantiasa melimpah kepada kita - tanpa diperintahkan
sekalipun - harusnya tetap terbuka untuk berbagi kasih dan pengampunan kepada sesama (Fios, 2017: hal.

95
150). Dalam kasih pengampunan-Nya yang melimpah atas kita terkandung undangan Tuhan agar kita juga
sudi terbuka, mau dan mampu dengan tulus memaafkan satu dengan yang lain.

B. PEMBAHASAN
1. Tuhan Mahapengampun
Kita menggambarkan Tuhan sebagai Mahapengampun. Ini adalah salah satu gambaran terbaik
manusia tentang Tuhan. Gambaran ini sekaligus menumbuhkan semangat dalam hidup manusia, bahwa
sekali pun dia telah berdosa, tetap ada kemungkinan untuk diampuni, untuk selamat dan Bahagia. Ini
adalah sebuah tanda cinta kasih dan kuasa Tuhan yang tiada hentinya kepada manusia (Gea, 2004: hal.
256). Andaikan Tuhan tidak mau dan tidak mampu mengampuni, maka manusia akan binasa selamanya.
Perihal pengampunan Allah kepada kita bisa kita temukan dalam banyak teks Kitab Suci atau Kitab
Keagamaan.
a. Konsep Pengampunan dalam Agama Islam
Dalam agama Islam disebutkan bahwa Allah SWT memiliki 99 asmaul husna (nama-nama yang
indah). Salah satu di antara asmaul husna Allah SWT adalah Dia Mahapengampun. Di dalam Al-Quran
Allah Mahapengampun disebut Al-Ghaffar dan Al-Ghafur, maknanya sama, Mahapengampun.
Mahapengampun berarti Allah SWT mengampuni dosa dan kesalahan hamba-Nya meskipun dosa hamba-
Nya sebanyak buih lautan. Di antaranya dinyatakan dalam Q.S. Az-Zumar/39: 53: Katakanlah: "Hai hamba-
hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang
Mahapengampun lagi Mahapenyayang’’. Dalam Q.S. An-Nisa/4:110: “Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah
Mahapengampun lagi Mahapenyayang”. Dalam Q.S. Al-Maidah/5: 39: “Maka barangsiapa bertaubat
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” Dalam Q.S. Al-Furqon/25:70: “kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti
Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang”. Lebih dari 93 Surat
dan ratusan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan Allah Mahapengampun, Al-Ghafur. Ia menyayangi orang
yang memohon ampun (bertaubat) setelah berbuat kesalahan, dengan taubat yang sungguh-sungguh
(taubatan nasuha). Semua dosa akan diampuni oleh Allah, sebesar apapun dan seberat apapun, kecuali
orang yang mempersekutukan-Nya dengan yang lain (syirik), atau menyamakan Tuhan dengan tuhan yang
lain. Sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. An-Nisa/4:48: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia

96
telah tersesat sejauh-jauhnya”. Beberapa perilaku syirik di antaranya orang yang menjadikan setan sebagai
penolongnya, atau biasa dikenal dengan orang yang memelihara tuyul atau setan. Atau mereka yang lebih
percaya kepada kekuatan dukun atau perdukunan, lebih memuja harta atau materi dibanding percaya
kepada Tuhan. Orang-orang seperti itulah yang disebut menduakan Tuhan atau syirik. Segala perbuatan
yang berunsurkan syirik, pahala /kebajikan yang ada pada pelaku tersebut akan terhapus dan sekiranya
pelaku terus melakukannya, ia tidak akan mendapat ampunan Allah SWT. Perbuatan yang dilakukan
dianggap menzhalimi Allah SWT dan menzhalimi dirinya sendiri karena telah melanggar hak Allah SWT dan
melakukan larangan-Nya. Perbuatan dan prilaku syirik betul-betul dilarang dan dosa yang paling besar.
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai
anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar.”(Q.S. Luqman/31: 13).
b. Konsep Pengampunan dalam Agama Kristen (Katolik dan Protestan)
Dalam ajaran Kristen, Tuhan mengampuni dosa manusia sebagai bentuk kasih Allah kepada
manusia. Nabi Yesaya menegaskan bahwa Tuhan sanggup membebaskan manusia dari segala dosa:
“Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan jadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti
kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba” (Yes.1:18). Diungkapkan pula oleh Nabi Daniel
bahwa ada pengampunan dari Tuhan: “Pada Tuhan, Allah kami, ada kesayangan dan pengampunan,
walaupun kami telah memberontak terhadap Dia” (Dan.9:9). Sebagai gambaran Tuhan mengampuni
umat-Nya, dilukiskan dalam cerita tentang “Anak yang hilang”. Seorang anak muda, yang telah menerima
harta warisan melimpah dari ayahnya, kemudian pergi ke luar negeri, menghambur-hamburkan uang
untuk kesenangannya. Makin lama harta melimpah yang dimilikinya makin berkurang, hingga tiba satu
kondisi semua harta yang dimilikinya habis. Bahkan untuk beli makan saja dia tidak sanggup. Ia kemudian
bekerja pada ternakan orang. Ia memakan makanan dari sisa makanan ternak. Lalu dia sadar akan
kondisinya, menyesali apa yang telah dilakukan, dan mengingat banyaknya orang upahan di rumah
ayahnya. Dia kemudian kembali ke rumah ayahnya dan ingin jadi pembantu di sana. Di luar dugaan dia,
ayahnya justru menyambut dia dengan penuh sukacita. Ayahnya mengundang banyak orang dan
membunuh lembu paling tambun sebagai bentuk sukacita bahwa anaknya yang telah hilang ditemukan
kembali (Luk.15:11-32). Dalam iman Kristen, Tuhan pasti mengampuni kesalahan umat-Nya yang mau
bertobat dan kembali pada jalan yang benar karena Allah begitu mengasihi semua manusia dan tidak ingin
satu orangpun binasa. Allah mengutus putra-Nya, Yesus Kristus, sebagai tindakan kasih yang tak terhingga
besarnya dari Tuhan kepada manusia (Yoh.3:16-17). Yesus Kristus rela dihina, disiksa, dan disalibkan
hingga mati di kayu salib meskipun tanpa dosa dan kesalahan yang diperbuat-Nya. Pengampunan dosa
tersebut dinyatakan oleh Yesus Kristus sebagaimana tertuang dalam Injil Matius: “Sebab inilah darah-Ku,
darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat.26:28). Kuasa

97
pengampunan itu Yesus nyatakan kepada salah satu penjahat yang tergantung pada Kayu Salib di samping-
Nya. Penjahat itu bertobat dan percaya kepada Yesus lalu diampuni dan layak tinggal bersama Yesus di
Firdaus (Luk.23:43). Selanjutnya, kabar baik tentang Allah Mahapengampun diteruskan oleh rasul Paulus
kepada jemaat di Kolose: “Di dalam Dia (Yesus) kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa”
(Kol.1:14). Dalam ayat ini rasul Paulus menegaskan bahwa Yesus memiliki kehendak dan kemampuan
untuk mengampuni dosa semua manusia. Ia disambut dalam arena sejarah dunia dengan pernyataan para
malaikat “Ia akan dinamai Yesus, yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka (Pendidikan
Agama Kristen untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 26). Contoh sikap memaafkan juga dilakukan oleh
pimpinan tertinggi gereja Katolik sedunia, Paus Yohanes Paulus II yang memafkan pria penembak dirinya,
Mehmet Ali Agca. Paus Yohanes Paulus II diberondong empat peluru oleh Mehmet Ali Agca (Turki) di
Lapangan Santo Petrus, Roma Italia (13/5/1981). Kondisi Paus Yohanes Paulus II saat itu sangat kritis dan
beruntung masih bisa hidup. Pasca peristiwa maut itu, Paus Yohanes Paulus II meminta kepada orang -
orang agar “…berdoa bagi saudara saya (Ağca), yang sudah saya maafkan setulus-tulusnya”. Pada 1983,
tepatnya dua hari setelah Natal, pada 27 Desember 1983, Paus Yohanes Paulus II menjenguk
pembunuhnya di penjara Italia di mana Mehmet Ali Ağca ditahan.
c. Konsep Pengampunan dalam Agama Hindu
Dalam agama Hindu Tuhan diakui sebagai Mahapengampun. Hal ini bisa kita lihat pada Kitab Suci
Bhagavad Gita IX.30: “Sekalipun orang paling jahat, bila memuja-Ku dengan tulus, dengan pengabdian
terpusat dan kembali menjadi sang sadhu (orang saleh), Aku terima karena ia telah kembali ke jalan yang
benar”. Atau teks lain dalam Bhagavad Gita XVIII.66 mengatakan: “Kerjakanlah kewajibanmu sesuai
dengan aturan agama lalu berserah dirilah kepada-Ku, dan engkau tidak usah khawatir, akan Aku ampuni
seluruh dosamu”. Dari keterangan ayat-ayat suci di atas, tampak bahwa Tuhan adalah Mahapengampun
dan Mahapengasih. Karena itu manusia tidak henti-hentinya minta maaf. Hal ini tercermin dari: Puja
Trisandhya yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu. Dari enam bait mantra Puja Trisandhya, tiga
bait di antaranya berisi permohonan maaf atas tindakan, ucapan dan pikiran yang keliru; sekaligus mohon
disucikan alias disterilkan atau dibebaskan dari karma buruk yang melekat pada diri manusia. Tiga bait
sebelumnya berisi pengakuan atas ke-Mahaesaan dan ke-Mahakuasaan-Nya. Dari seluruh uraian di atas,
jelas tampak bahwa hukum karma berjalan terus, tapi eksekusi hukumannya bisa ditunda apabila manusia
mau bertobat atau dosanya menjadi lebur dengan sendirinya oleh perbuatan baik itu sendiri (Manawa
Dharma Sastra). Kalau dosa diandaikan setetes tinta hitam, air putih diandaikan sebagai kebaikan, maka
setetes tinta hitam dalam gelas tidak tampak lagi jika air putif kebajikan diperbanyak, padahal tinta hitam
(dosa) masih ada dalam gelas. Tinta hitam (dosa) itu menjadi lebur dan tidak terasa karena kearifan
(mandawa) dan kerendahan hati (mardawa).
d. Konsep Pengampunan dalam Agama Buddha

98
Dalam Bhāra Sutta (SN 22.22) dijelaskan bahwa hidup manusia itu dikuasai oleh ketagihan-
ketagihan, yaitu: Pertama, ketagihan (kemelekatan) akan kenikmatan inderawi (kāma taṇhā); Kedua,
ketagihan (kemelekatan) akan kelangsungan dan kelahiran (bhava taṇhā); Ketiga, ketagihan (kemelekatan)
akan tidak kelangsungan atau pemusnahan diri (vibhava taṇhā). Ketagihan ini memperlihatkan diri dalam
berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam ketidak-puasan, penderitaan dan kelangsungan
hidup makhluk-makhluk. Kebahagiaan yang didapat dari semua kemelekatan itu duniawi itu hanyalah
kebahagiaan sementara. Kebahagiaan tertinggi dan sejati hanya bisa dicapai dengan terbebas dari semua
kemelekatan (Pendidikan Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 54). Namun, korelasi antara
tindakan (karma) dan akibat (vipaka) tidak bersifat deterministik. Karma dalam agama Buddha bersifat
kondisional. Hukum karma bukan hukum pembalasan, sehingga terdapat jalan untuk mempengaruhi atau
menekan akibat karma buruk dengan cara mengembangkan kemampuan dan kebiasaan baik lahir dan
batin (dapat dikatakan sebagai penebusan). Segumpal garam dalam semangkuk kecil air membuatnya asin
sehingga tidak terminum karenanya. Jika segumpal garam yang sama dimasukkan ke dalam Sungai Gangga,
air sungai itu tidak akan menjadi asin dan dapat diminum (AN 3.100: Loṇakapalla). Setiap orang harus
mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang
egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat
mengakibatkan kelangsungan kembali dan kelahiran kembali, mungkin tidaklah mudah untuk dipahami
(Sumeda Widyadharma, Dhamma-Sari, Jakarta, Yayasan Dana Pendidikan NALANDA, 1993, hal. 100-103,
140). Maka demi terhentinya dukkha ini, hendaklah jangan dipilih dua jalan yang ekstrim yaitu “mencari
kebahagiaan dengan menuruti nafsu-nafsu indera, yang dianggap rendah, bisa tak berfaedah dan cara-
cara dari orang biasa” atau “mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dengan berbagai cara, yang
menyakiti sekali, tidak berharga dan tidak berfaedah”. Tetapi ambilah jalan tengah yang dikenal sebagai
Jalan Mulia Berunsur Delapan (Pandangan Benar, Kehendak Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar,
Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar). Pada hakekatnya seluruh
ajaran sang Buddha, yang beliau sendiri siarkan selama empat puluh lima tahun, semua hubungannya
dengan jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara dan dengan memakai bahasa yang mudah
dimengerti, kepada beraneka ragam orang dengan tingkat pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda -
beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-kitab suci Agama Buddha membahas Jalan
Mulia Berunsur Delapan ini (Pendidikan Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 79-82).
e. Konsep Pengampunan dalam Agama Konghucu
Konsep ketuhanan dalam Khonghucu bisa ditemukan dalam Kitab Yi Jing (Kitab Perubahan). Dalam
Kitab ini, Tuhan digambarkan dengan istilah Qian yang dapat diartikan Tuhan sebagai subjek Yang Maha
Ada, Maha Sempurna, Khalik Semesta Alam, Maha Positif dan Proaktif. Di dalam Kitab Zhong Yong (Tengah
Sempurna) disebut dengan Gui Shen, yang mengandung arti Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam buku ini

99
digambarkan sebagai roh yang berkuasa atas segala sifat Yin dan Yang. Dalam kitab Li Ji (Kitab Kesusilaan),
Tuhan sering juga diistilahkan dengan istilah Da Yi, yang artinya Satu Yang Maha Besar, sejajar dengan
istilah yang digunakan pula di dalam Yi Jing dengan sebutan Tai Ji (Yang Maha Ada, Maha Puncak/Kutub),
atau dapat juga digambarkan dengan sebuah “o” (lingkaran).
Istilah lain sering digunakan untuk Tuhan ialah Tian. Dalam banyak teks kitab suci Wujing (Five
Classics) pada zaman sebelum dinasti Shang, yaitu pada zaman dinasti Xia (2205-1766 SM) dan sesudah
zaman dinasti Shang, yaitu pada zaman dinasti Zhou (1122-255 SM), sebutan Shang Di dan Tian sering
digunakan secara bersama-sama bahkan dalam satu kalimat yaitu menjadi Huang Tian Shang Di. Mungkin
ada lagi istilah lain sebagai nama Tuhan, tetapi bagi Khonghucu perbedaan nama tidak masalah. Disebut
apa saja nama Tuhan, yang penting Tuhan yang sejati tetap eksis.
Penggunaan istilah Tian sebagai Tuhan di dalam kitab Wu Jing mempunyai enam dimensi, yaitu:
1) Shang Tiang (Tain Yang Maha Tinggi), 2) Hao Tian (Tian Yang Maha Besar atau Yang Maha Meliputi),
3) Cang Tian (Tian Yang Maha Suci, Maha Luhur, Maha Tinggi), 4) Min Tian (Tian Yang Maha Welas Asih,
Yang Maha Murah), 5) Huang Tian (Tian Yang Maha Kuasa, Maha Agung, Maha Pencipta), 6) Shang Di
(Tuhan Khalik Pencipta Semesta Alam), Yang Maha Tinggi atau Yang di Tempat Maha Tinggi.
Meskipun ada enam tetapi tetap Dia Maha Esa. Ini mengingatkan kita kepada konsep keesaan
agama lain seperti konsep Trimurti dalam agama Hindu, konsep Trinitas dalam agama Katolik dan
Protestan; dan dalam beberapa level pembahasannya dapat dianalogikan dengan konsep Asma’ al-Husna
dalam Islam yang memperkenalkan 99 nama Tuhan.
Dimensi Yin dan Yang seakan berlomba di dalam menguasai alam semesta, termasuk dalam diri manusia.
Manusia yang didominasi dengan Yin akan tampil lebih feminim dan lebih lembut. Sebaliknya, jika yang
dominan adalah Yang, maka yang bersangkutan akan tampil lebih maskulin dan lebih jantan. Konsep
ketuhanan seperti ini mengingatkan kita ke dalam agama Tao (Taoisme) yang juga mengenal simbol Yin
dan Yang. Pembagian tugas dan fungsi ini tidak menandakan adanya dua Tuhan. Tuhan tetap satu, bahkan
digambarkan Maha Esa, tetapi yang satu ini memiliki dua sifat dan karakter.

2. Perlu Pertobatan
Kita orang beriman dan beragama mengakui bahwa dalam rangka menerima pengampunan dari
Allah, kita harus bertobat. Hanya dengan bertobat maka pengampunan Tuhan akan efektif bagi kita,
karena tanpa tobat, kita tidak berubah, dan tetap tinggal dalam suasana keberdosaan.
Pengampunan yang senantiasa ditawarkan oleh Tuhan kepada manusia menghendaki bahwa
manusia juga harus bertobat. Pengampunan yang dari Tuhan tidak akan sampai kepada manusia apabila
manusia sendiri tidak membuka hati untuk menerimanya. Kata Yunani “Metanoia” (meta = perubahan,
nous = mentalitas) merupakan maksud yang diungkapkan dengan kata Indonesia “pertobatan”.

100
Pertobatan merujuk pada perubahan radikal dalam diri manusia, yaitu dalam cara berpikir, bersikap dan
bertindak. Pertobatan terjadi apabila manusia mulai sadar akan kesalahannya. Dari kesadaran itu muncul
penyesalan, karena tahu bahwa telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak sepantasnya dia lakukan.
Penyesalan sendiri bukanlah pertobatan. Hanya apabila kesadaran dan penyesalan akan dosa diikuti
dengan perubahan cara berpikir, sikap hati, dengan membalikkan arah hidup ke jalan yang benar, yang
tampak dalam tindakan nyata buah-buah pertobatan, barulah dikatakan pertobatan sudah terjadi (Gea,
2004: hal. 262). Jadi pertobatan merupakan perubahan sikap dan orientasi hidup, dari membelakangi
Tuhan dengan segala perintah-Nya, kembali mengarahkan hidup kepada-Nya (Pendidikan Agama Kristen
untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 40). Bertobat berarti juga bangkit dari kejatuhan. Hal itu memang berat,
namun tetap kita bisa melakukannya. (Xavier Leon – Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru (Yogyakarta,
Kanisius, 1997) hal. 55 141).
Dalam ajaran Islam, untuk mendapatkan pengampunan, ada persyaratan sufistik yang mesti
dipenuhi terlebih dahulu. Syarat itu antara lain bertobat, yaitu berjanji dengan diri sendiri bahwa “dia sama
sekali tidak mau mengulangi kesalahan yang dilakukannya”. Seseorang yang telah melakukan kesaksian
seperti itu, lalu melanggarnya sendiri, maka orang itu dicap sebagai orang munafik atau pengkhianat
kepada dirinya sendiri, dan Allah mencatat perbuatan tersebut (Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Beberapa Aspek (Jakarta, UI Press, 1997) hal. 79-80, dan bandingkan juga dengan Majid Fahri, Etika Dalam
Islam (Surakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hal.133-135). Agama Islam menekankan, supaya hidup seseorang
itu bahagia, aman sentosa, jauh dari penderitaan, ancaman dan segala kejahatan, maka perlu selalu
berinstrospeksi (muhasabah). Hadis Nabi menyatakan bahwa: “Jika hidup kamu hari ini lebih jelek dari hari
kemarin, maka kamu benar telah merugi; jika hidup kamu hari ini sama dengan hari kemarin berarti kamu
tertipu (Hadis Nabi). Yang baik adalah: Jika hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Dalam kepercayaan Kristen, pertobatan harus ada agar bisa memperoleh pengampunan. Maka
seruan atau ajakan pertobatan sering dikemukakan. Yohanes Pembaptis menyerukan kepada
pendengarnya: “bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis, dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mrk. 1:4;
Luk.3:3). Ketika Yesus datang ke Galilea dan memberitakan Injil, Dia mengaitkan penerimaan Injil dengan
pertobatan: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”
(Mrk.1:15). Dan, pada kesempatan lain Yesus ungkapkan bahwa ada sukacita besar di Surga karena satu
orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena Sembilan puluh Sembilan orang benar yang
tidak memerlukan pertobatan (Luk. 15:3). Yesus juga tidak ragu-ragu menyatakan kebinasaan orang yang
tidak bertobat. Ketika orang-orang datang kepada-Nya membawa kabar tentang orang-orang Galilea yang
darah mereka dicampur oleh Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan, Yesus katakan
pada mereka: “Jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (Luk. 13:3).
Tetapi perkataan Yesus lebih keras terlontar ketika Dia mengecam beberapa kota (orang -orangnya) karena

101
tidak bertobat walau mukjizat Tuhan terjadi di tengah-tengah mereka. Yesus tegaskan bahwa mereka akan
diturunkan sampai ke dunia orang mati, dan pada hari penghakiman, tanggungan negeri Sodom akan lebih
ringan daripada tanggungan mereka (bdk. Mat.11:20- 24).
Dalam kepercayaan agama Hindu, kesalahan memang tidak bisa dihapus begitu saja. Untuk
mendapatkan pengampunan harus ada upaya. Ada beberapa upaya penebusan dosa, tidak dengan uang,
melainkan dengan melaksanakan perintah agama, berbuat baik sebanyak-banyaknya, di antaranya:
Melaksanakan dasa yama brata, yang meliputi: Ksamavrata, yaitu kesediaan memaafkan dan kemauan
minta maaf kepada sesama dan juga kepada Tuhan; Pritivrata, yaitu kemampun mengembangkan welas
asih terhadap sesama; melaksanakan manusa yajna, terutama penyucian diri (manusa samskarta). Selain
itu, melaksanakan acara/upacara penebusan dosa. Acara penebusan dosa banyak diatur dalam Weda
Smrti, khususnya dalam Parasara dharmasastra, dan Manawa dharmasastra, misalnya: Mengulang-ulang
mantra Gayatri (Savitri mantram); Melakukan Puasa (upawasa) dalam berbagai tingkatan kelengkapan
pelaksanaannya; Melakukan Mundawa samskara, yang artinya menggunduli kepala; Mandi suci di sungai
Gangga (Prasarana Dharma sastra XII.11). Pertobatan, yang dalam Hindu disebut prayascita, dapat
dilakukan dengan upacara samskara (penyucian dari luar) tetapi yang lebih penting adalan penyucian dari
dalam diri, lewat tapa, brata, yoga, dan samadhi.
Dalam ajaran Buddha, perbuatan seseorang itu disebut kamma atau karma, yang secara umum
berarti perbuatan, kehendak atau pikiran, kata-kata atau tindakan. Perbuatan seseorang umumnya
menimbulkan akibat, dan akibat ini merupakan pula sebab lain yang mengakibatkan akibat yang lain, dan
begitu seterusnya, sehingga kamma sering juga disebut “hukum sebab akibat” (Pendidikan Agama Buddha
untuk Perguruan Tinggi, 2016: hal. 67). Melempar batu misalnya, itu adalah sebuah perbuatan. Batu
menimpa kaca dan kaca menjadi pecah. Pecahnya kaca adalah akibat dari pelemparan batu. Tetapi
peristiwa itu tidak hanya sampai di situ saja. Kaca yang pecah merupakan pula satu sebab dari kesukaran-
kesukaran lainnya. Misalnya akan berakibat pada kekesalan seseorang atau kekecewaan bagi si empunya
kaca. Dengan demikian, akibat dari karma itu tidak akan segera berakhir. Oleh sebab itu, kita harus hati-
hati sekali dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu
berbuat baik, yang bermaksud menolong makhluk-makhluk lain, membuat mahkluk lain bahagia, sehingga
perbuatan ini akan membawa satu karma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi kekuatan kepada kita
untuk melakukan karma yang lebih baik pula. (Sumedya Widya Dharma, Dhamma Sari, Op.Cit., hal.100-
101).
Dalam tradisi Khonghucu, Tian (Tuhan) hanya menyediakan hukum Yin Yang untuk dimaknai
dengan baik oleh manusia. Selama manusia mengikuti hukum Yin Yang maka ia akan kembali bisa
memperbaiki kesalahan. Semangatnya adalah karena manusia pasti berbuat kesalahan maka manusia
wajib memperbaiki diri dan tidak mengulanginya lagi. Dengan demikian hukum Yin Yang akan ternetralisir

102
sendiri, sehingga mendukung kita untuk kembali mendapatkan keberkahan, yang bisa dimaknai sebagai
pengampunan. Analogi dalam Kitab Suci Wujing berbunyi: Kepada pohon yang ingin tumbang maka akan
dibantu tumbang, dan kepada pohon yang ingin tegak akan dibantu tegak. Dalam hukum Yin Yang hanya
ada dua dimensi dalam kehidupan yaitu berkah dan naas (musibah). Ketika berkah manusia harus “eling”
dalam batas tengah. Jika melampauhi batas maka bisa menjadi musibah. Namun musibah bisa terlewati
jika manusia mau “perihatin”, karena jika perihatin maka musibah akan kembali memutar siklusnya
menjadi berkah. Nasihat dari Mengzi, seorang penegak agama Khonghucu, “Kalau orag mempunyai ayam
atau anjing yang lepas, ia tahu bagaimana mencarinya. Sebaliknya, kalau hatinya yang lepas, ia tidak tahu
bagaimana mencarinya. Sesungguhnya jalan suci dalam belajar itu tidak lain ialah bagaimana dapat
mencari kembali hati yang lepas itu” (Mengzi VI A: 11). Dalam Pendidikan Agama Khonghucu di Pendidikan
Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, 2016, Jakarta.

3. Perintah untuk mengampuni


Sebagaimana perintah Tuhan kepada umat-Nya agar saling mengasihi, perintah untuk
mengampuni juga merupakan pesan terpenting Tuhan kepada manusia. Sebagaimana Tuhan mau
mengampuni umat-Nya, demikian juga Dia mau agar umat-Nya saling mengampuni (Gea, 20024: hal.268).
Firman Allah dan ajaran para nabi dan rasul-Nya dengan sangat eksplisit mengungkapkan hal ini.
a. Perintah untuk Memaafkan Menurut Ajaran Islam
Tuntunan dari Allah pada Surat Ali Imran mengatakan sebagai berikut: Dan patuhlah kepada Allah
dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Serta bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan (Q.S.: Ali Imram: 132-134). Demikian pula Sabda Nabi Muhammad yang berisikan bahwa orang
yang paling utama adalah yang mampu memberikan maaf kepada orang lain yang berbuat salah
kepadanya sebelum orang itu meminta maaf (Fios, 2017: hal. 151). Begitulah sikap yang lebih utama untuk
dilakukan. Jadi, sikap memaafkan kesalahan juga dikatakan sebagai suatu yang dapat memperpanjang
umur seseorang dan mempeluas rezekinya. Bahkan hal ini dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari Nabi
Muhammad yang selalu menerapkan perilaku memberi maaf ini. Salah satu contoh Nabi Muhammad
seringkali mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi, seperti dilempari dengan kotoran onta,
bahkan kotoran manusia oleh orang-orang Quraisy ketika di Mekkah, dan selalu memaafkan serta
menganggapnya sebagai akibat dari ketidaktahuan mereka. Pada saat Malaikat Jibril hendak membantu
untuk membalasnya, Nabi bersabda: “Semoga Allah mengampuni mereka karena mereka tidak

103
tahu.”Melalui sabdanya yang sangat terkenal itu selalu diulang, akibat dari itu, kehidupan Nabi ya ng
semula penuh dengan cemoohan, karena umatnya semula belum memahami, kemudian lama-kelamaan
berubah menjadi sangat mencintainya.
b. Perintah untuk Memaafkan Menurut Ajaran Kristen (Katolik dan Protestan)
Yesus telah memberi teladan dan memberi ajaran dalam hal pengampunan. Yesus sendiri tidak
membalas ketia Dia dianianya oleh para pembunuhnya. Ketika Dia ditangkap untuk diadili, salah seorang
yang menyertai-Nya menghunuskan pedangnya ke telinga hamba imam besar, salah seorang penangkap-
Nya, hingga putus, Yesus berkata: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa
menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat.26:52). Yesus sendiri mohon pengampunan bagi
para pembunuh-Nya ketika Dia berdoa di atas salib: “Ya Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34). Dalam perumpamaan tentang pengampunan, ketika Petrus
bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa
terhadap aku? Sampai tujuh kali?”. Yesus berkata kepadanya: “Bukan, Aku berkata kepadamu: Bukan
sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat.18:21). Dalam berbagai penafsiran,
ungkapan Yesus ini diartikan sebagai ‘tak henti-hentinya kita harus mengampuni’. Dalam berbagai
wejangan-Nya Yesus mengajak umat-Nya untuk saling mengampuni: “Janganlah kamu menghakimi, maka
kamu pun tidak akan dihakimi. Dan, janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum.
Ampunilah dan kamu akan diampuni” (Luk.6:37). Rasul Paulus, dalam suratnya kepada umat di Efesus,
mengatakan: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling
mengampuni, sebagaimana Allah dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Ef.4:32). Dan, dalam “Doa Bapa
Kami” diungkapkan satu pernyataan bahwa kita juga mau mengampuni sesama yang bersalah kepada kita:
“…ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami” (Mat.6:9-13).
c. Perintah untuk Memaafkan Menurut Ajaran Hindu
Dengan menyadari bahwa sifat dasar kita berasal dari sumber yang sama, yaitu Brahman dengan
demikian jiwa-jiwa yang ada pada setiap makhluk adalah bagian dari Brahman, maka hendaklah kita selalu
menerapkan sifat-sifat itu dalam kehidupan ini karena kita mempunyai hubungan langsung dengan unsur-
unsur di alam semesta ini; tanah, air, api, udara dan angkasa. Dalam ajaran Hindu dikenal adanya Tat Twam
Asi yang mengandung pengertian bahwa aku adalah engkau dan engkau adalah aku, dan menyakiti
makhluk hidup lain pada dasarnya adalah menyakiti diri sendiri dan juga sebaliknya.
Dari kesadaran inilah akan mencapai kebahagiaan dan keharmonisan karena mengetahui bahwa
sesungguhnya diri kita, orang lain serta makhluk hidup lainnya adalah bersaudara (Vasudaiva
Kutumbhakam). Karena sebenarnya kita saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, bagaikan satu
rumah dengan satu atap dengan sifat dan tempramen yang berbeda, tetapi satu. Hal ini juga dijelaskan
dalam Atharwa Veda III. 30. 1 yang dijelaskan bahwa “Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus-

104
ikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai
anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu”. Dalam hubungan ini, dari
perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya
Narayana (2003), seorang yogi besar dewasa ini, seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa
pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
o Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang
dianutnya.
o Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik
dan benar.
o Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada
semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
o Śānti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan
membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
o Ahiṁśa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan
kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.
d. Perintah untuk Memaafkan Menurut Ajaran Buddha
Dalam ajaran agama Buddha dalam Cariya Pitaka, salah satu Pāramī/Pāramitā (kesempurnaan)
yang harus dikembangkan adalah Dāna Pāramī, yang itu kemurah-hatian. Memberi maaf adalah tanda
atau sifat dari orang yang murah hati. Tanpa maaf-memaafkan tidaklah mungkin amarah dan kebencian
dipadamkan. Dalam dunia ini kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci (Dhp.5). Cara untuk tidak membenci
adalah dengan mengembangkan cinta kasih yang merupakan Metta Pāramī / Pāramitā. Dengan memberi
maaf maka akan memberikan ketenangan dengan tidak adanya beban dan kegelisahan. Memaafkan
merupakan salah satu pendukung dalam praktik meditasi. Memaafkan juga merupakan salah satu bentuk
kemurahan hati yang menyempurnakan pribadi seorang manusia. Buddha menolak dengan tegas sikap
mau membalas kesalahan orang. Dia pernah mengatakan, barang siapa dicaci, lalu membalas dengan
mencaci pula, dia lebih buruk dari yang pertama memulainya (Fios, 2017: hal. 151). Jika dengan tindakan,
ucapan dan pikiran telah melakukan kesalahan, seseorang menyatakan penyesalan dan mohon maaf,
dengan itu diharapkan batinnya menjadi tenteram. Sebaliknya, berkat kesediaan memaafkan, yang dikenal
dengan Abhaya Dāna, diharapkan orang yang berbuat salah dapat selamat dan bebas dari penderitaan,
khususnya karena kekuatan pikiran yang tenang dan damai, penuh dengan cinta dan belaskasih.
e. Perintah untuk Memaafkan Menurut Ajaran Khonghucu
Tuhan diyakini memiliki perasaan sebagaimana halnya manusia, ada kemiripan antara citra Tuhan
dengan manusia: There is Almighty God (Tuhan itu Maha Kuasa adanya), Does He hate any one? (Adakah

105
Dia membenci seseorang) - Kitab Shi Jing Madah untuk Tuhan (Ode to God). Tuhan sumber segala kebaikan
: It’s not God who caused the evil time (kedurjanaan tidak berasal dari Thian). But it’s you who have strayed
from the old path (kaulah yang telah menyimpang dari jalanNya) - Shu Jing / The Book of History. Betapa
Maha Besar Thian Khalik Semesta Alam Berlaksa benda daripadaNya bermula Semuanya kepada Thian
Yang Maha Esa. Awan berlalu, hujan diturunkan mahkluk dan benda mengalir berubah bentuk. Jalan suci
Thian merubah dan melebur. Masing masing lurus menepati Xing dan firman. Dipelihara berpadu
keharmonisan besar. Diturunkan berkah dan keabadian - I Ching. Maka dari itu Thian Yang maha Rokh itu
tidak boleh diperkirakan. Lebih-lebih tidak dapat ditetapkan. Sungguh jelas sifatNya yang halus itu
Sehingga tidak dapat disembunyikan dari iman kita, Demikianlah Dia yang Maha segalanya - (Zhong Yong
/ Doktrin Makna).

4. Hal-hal yang Menguatkan Kesediaan Memaafkan


Ketika kita mendengar kata memaafkan atau mengampuni umumnya kita langsung mengaitkan
hal itu dengan Tuhan, khususnya perintah-Nya yang telah disampaikan kepada kita agar kita memafkan
sesama yang bersalah kepada kita. Dengan demikian kita umumnya merasa bahwa memaafkan orang yang
bersalah kepada kita itu karena diperintahkan oleh Tuhan. Dan sebagai orang beriman kita harus
menjalankan hal itu walaupun berat. Padahal sesungguhnya keharusan untuk mengampuni itu tidak hanya
karena diperintahkan oleh Tuhan. Lepas dari perintah Tuhan, sebenarnya ada banyak alasan mengapa kita
sebaiknya bahkan seharusnya memaafkan atau mengampuni sesama yang telah bersalah kepada kita, di
antaranya:
• Kalau tidak memaafkan, maka sesungguhnya kita sendirilah yang menderita, membawa-bawa rasa
sakit hati atau dendam itu secara berkepanjangan, dan itu sungguh memberatkan kehidupan kita,
menggerogoti hati dan batin kita dari dalam, yang membuat hidup kita tidak tenang, tidak damai.
Maka pemberian maaf atau pengampunan pertama-tama hal itu merupakan pertolongan yang
kita berikan pada diri kita sendiri, pelepasan dari belenggu yang menjerat hidup kita, pembebasan
atau pelepasan dari beban yang memberatkan kehidupan rohani kita.
• Kita juga tidak luput dari kesalahan, yang menyakiti hati sesama, entah kita sengaja atau tidak
sengaja. Dalam situasi itu kita butuh untuk dimengerti dan dimaafkan. Mengapa kita tidak
melakukan hal itu kepada orang lain ketika mereka bersalah kepada kita 15
• Tidak selamanya keburukan saja yang kita dapatkan dari seseorang. Bisa saja ada lebih banyak
kebaikan yang telah kita alami atau dapatkan dari mereka. Apakah kita melupakan semua kebaikan

15Perihal sikap terbuka untuk memaafkan sesama merupakan salah satu implementasi dari Binus Graduate
Attribute (BGA) “Social Awareness”, yakni ‘berempati pada sesama’.

106
itu hanya karena satu kesalahan yang barangkali saja mereka tidak dengan sengaja melakukan hal
itu pada kita.
• Kalau kita hanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik pada kita atau kepada orang yang
tidak menyakiti hati kita, apa hebatnya hal itu pada kita? Justru perlakuan tidak baik yang orang
lakukan terhadap kita merupakan kesempatan untuk mengasah dan menunjukkan kualitas
keberimanan kita.
• Setiap ada tantangan, adalah kesempatan bagi kita untuk berlatih mendewasakan diri kita. melatih
kesabaran kita, mengelola emosi kita, mematangkan kepribadian kita.
• Tidak jarang kebencian yang dibalas dengan kasih, membuahkan perubahan positif pada diri
orang. Jadi ini juga kesempatan baik bagi kita untuk membuat seseorang dapat berubah menjadi
lebih baik.
Kita masih bisa mencari beberapa alasan selain yang dikemukakan di atas. Sebenarnya dengan
menyadari dan menginternalisasi dengan baik alasan-alasan itu, maka kita, tanpa didesak oleh suatu
perintah, termasuk oleh perintah Allah sekalipun, sebaiknya selalu siap untuk mau memaafkan orang yang
bersalah kepada kita. Apalagi dengan adanya perintah Allah, adanya ajaran dan contoh yang ditinggalkan
oleh para nabi, serta teladan nyata dari orang-orang yang hidup di zaman kita, maka kita sebagai orang
beriman mendapatkan dorongan, peneguhan, sekaligus kekuatan untuk mau dan tulus dalam memaafkan.
Selain didasarkan pada alasan-alasan tadi – terutama bahwa pengampunan yang kita berikan pertama-
tama merupakan pertolongan yang kita berikan pada diri kita sendiri - dengan mengampuni juga sekaligus
dengan itu kita sudah menunjukkan penghayatan iman kita, ketaatan pada perintah Allah yang ditujukan
kepada kita untuk kita taati.

C. PENUTUP
Lepas dulu dari iman akan perintah Allah untuk memaafkan atau mengampuni, terdapat banyak
asalan sebaiknya bahkan seharusnya kita mau dan terbuka untuk memaafkan atau mengampuni orang
yang bersalah kepada kita. Pemberian maaf atau ampun pertama-tama merupakan pertolongan yang kita
berikan pada diri kita sendiri, pelepasan dari belenggu yang membebani hidup kita. Kenyataan ini tentu
semakin dikuatkan dan diteguhkan oleh iman kita akan adanya perintah Allah untuk memaafkan atau
mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Dengan memaafkan maka kita sekaligus dengan itu sudah
menunjukkan ketaatan kita pada iman kita, iman akan perintah Allah yang disampaikan kepada kita.
Kalau ditarik lebih awal, maka dapat dikatakan bahwa kesediaan memaafkan sesama pertama-
tama merupakan tanggapan iman atas kemahacintaan dan kemahakuasaan Allah yang senantiasa
mengampuni dosa-dosa umat-Nya sebesar dan seberat apapun itu. Hal ini sesungguhnhya membangkitkan
keinginan dalam hati kita untuk mencintai Allah yang mendapat wujud ekspress inya dalam cinta pada

107
sesama, khususnya kesediaan untuk memaafkan. Sebagai makhluk berakal budi dan memiliki kehendak
bebas maka untuk mendapatkan pengampunan dari Allah kita perlu menunjukkan keterbukaan dan
kesediaan menerima pengampunan itu, yakni dengan sikap tobat. Dengan tobat maka pengampunan dari
Tuhan menjadi efektif bagi kita sekaligus menjadi kekuatan bagi kita dalam melakukan pertobatan itu
sendiri. Dengan pertobatan dan pengampunan dari Tuhan maka hubungan kita dengan Allah dan sesama
dipulihkan, yang berbuahkan damai dan kebahagiaan bahkan keselamatan bagi kita.

Tugas
Refleksi Pribadi:
Telusuri kembali pengalaman Anda pribadi perihal maaf-memaafkan: Pertama, pengalaman Anda bersalah
terhadap oranng lain (kesalahan apa yang telah Anda lakukan, kepada siapa, apakah Anda minta maaf atau
tidak, mengapa, apakah Anda dimaafkan atau tidak, dan apa yang Anda rasakan?); kedua, pengalaman
Anda disakiti oleh orang lain (kejahatan bentuk apa, apakah dia minta maaf atau tidak, apakah Anda
memaafkan atau tidak, mengapa, apa yang Anda rasakan?). Anda belajar apa dari refleksi ini?

Referensi
• Fios, Frederik dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building Spiritual Development, Bina
Nusantara Media & Publishing, Jakarta.
• Diktat Matakuliah Character Building Agama, Binus University
• Gea, Antonius Atosokhi, dkk (2004), Character Building III Relasi Dengan Tuhan, Penerbit PT
ElexMedia Komputindo, Jakarta
• Pendidikan Agama Buddha untuk Perguruan Tinggi (2016). Kemeterian Riset, Teknologi dan
Pendidkan Tingi Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Cetakan 1, Penerbit Ristekdikti, Jakarta
• Pendidikan Agama Kristen untuk Perguruan Tinggi (2016). Kemeterian Riset, Teknologi dan
Pendidkan Tingi Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan,
Cetakan 1, Penerbit Ristekdikti, Jakarta

108
Topik 11
CARING FOR THE ENVIRONTMENT

Learning Outcome:
LO4: Apply the religious values in the contex of human relation, environment, and work world.
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan makna alam lingkungan dan penyebab krisis alam lingkungan
• menjelaskan eco-spiritual dan eco-theology sebagai imperatif etis moral
• menjelaskan alam sebagai penampakan Tuhan dan makna religius alam semesta
• mengaplikasikan cara-cara peduli pada lingkungan
• menunjukkan kolaborasi dan kesadaran sosial dalam konteks ekologis

A. PENDAHULUAN
Istilah alam lingkungan memiliki banyak arti dan makna. Namun secara praktis, alam lingkungan
terdiri dari unsur-unsur non manusiawi (infrahuman) yang terdapat di dalam kosmos atau semesta ini.
Unsur-unsur dimaksud di antaranya sinar matahari, tanah, udara, air, flora (tumbuhan), fauna (hewan),
iklim, suhu, dan lain sebagainya. Dalam perspektif ekologi, manusia hanyalah salah satu elemen saja di
dalam jejaring ekosistem alam lingkungan itu. Paradigma seperti ini tentu kontradiktoris dengan
paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dalam tatanan alam semesta
atau realitas kosmos ini.
Jika segala entitas alam merupakan satu kesatuan ekosistem, maka terdapat sebuah korelasi
fundamental antara berbagai unsur kosmik dalam alam. Ada rantai jejaring hubungan integral yang
erat satu unsur dengan unsur lainnya. Matahari memberikan sinar yang berfungsi memperlancar
proses fotosintesis tumbuhan yang akhirnya menghasilkan daun dan buah yang akhirnya dikonsumsi
manusia dan hewan demi kelangsungan hidupnya. Siklus ini berevolusi, terus berlangsung sepanjang
waktu untuk memastikan eksistensi kehidupan itu tetap ada menuju masa depan kehidupan alam itu
sendiri.
Hubungan atau interaksi antarunsur dalam alam semesta saling menentukan keberadaan
masing-masing. Jika salah satu unsur alam rusak/hancur, maka dipastikan bagian lain dari alam ikut rusak,
hancur dan binasa. Misalnya ketika mata air di gunung mengering, maka dipastikan segala unsur biotik
seperti tumbuhan, hewan dan termasuk manusia akan terkena imbasnya. Krisis air dipastikan melanda
seluruh makhluk hidup yang membutuhkan air sebagai sumber kehidupannya.
109
Ketika alam rusak atau dirusakkan, maka tamatlah riwayat hidup manusia dan seluruh makhluk
hidup (biologis) dalam alam semesta ini. Karenanya alam lingkungan kita mutlak dijaga dan dipelihara
demi kelestariannya. Kondisi lingkungan alam kita semakin hari terus dihantui problem yang
menderanya. Krisis ekologi disebabkan oleh aktivitas pembangunan manusia membuat alam tempat kita
hidup menjadi tidak seimbang lagi. Bumi hampir di ambang kepunahannya. Semua makhluk hidup
termasuk kita manusia berada pada titik kritis kalau tak mau dikatakan genting/gawat. Dibutuhkan sikap
arif, bijaksana, peduli untuk kembali merawat dan melestarikan alam menuju kondisinya yang lebih ideal.

B. PEMBAHASAN
1. PENYEBAB KRISIS LINGKUNGAN
Diasumsikan tiga (3) penyebab utama krisis lingkungan dewasa ini: yakni pada tataran cara
berpikir/teori, perasaan/feeling dan tindakan/praktis:
a. Pada cara berpikir manusia atau wilayah teori. Bicara soal paradigma berpikir, tentu kita tidak bisa
lepas dari prinsip filosofi atau cara pandang manusia terhadap alam yang melihat alam sebagai
objek. Cara berpikir sesat-keliru pada alam terwujud dalam perilaku tidak bijak dalam relasi
manusia dengan alam. Mindset pikiran manusia yang keliru dan melihat alam sebagai objek
menjadi salah faktor penyebab kerusakan alam lingkungan.
b. Pada ranah perasaan/emosi. Pada tatanan ini manusia kehilangan rasa empati terhadap alam.
Manusia lebih mengutamakan kesenangan diri yang egoistik, rakus dan tamak di dalam dirinya.
Manusia lebih memperhatikan rasa keinginannya daripada kebutuhannya. Ini berujung pada tidak
terkontrolnya keinginan manusia yang tak terbatas itu. Alam linkungan akhirnya dikorbankan.
Manusia kehilangan cinta dan empati terhadap alam.
c. Pada tataran praktis atau tindakan. Kerusakan lingkungan muncul karena sikap/perilaku/ tindakan
manusia yang tidak berlandaskan pada nilai-nilai moral- etis dalam mengembangkan relasi dengan
alam. Model ini menunjukkan cara bertindak yang tidak ramah lingkungan yang berujung pada
penciptaan pola relasi eksploitatif terhadap alam. Pola ini dinilai tidak etis dari sudut pandang
kebaikan lingkungan karena hanya mengedepankan sikap tamak dan rakus dari sisi manusia saja.
Tindakan sewenang-wenang dan kekerasan terhadap alam terus berlangsung dalam kehidupan
nyata.
Filsafat lingkungan kontemporer memunculkan kritik atas filsafat rasional (logika) yang
diagungkan manusia sejak zaman auflaerung atau masa pencerahan abad 18. Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diagungkan filsafat rasional (logika-atomistik) memunculkan kemajuan di berbagai bidang
pembangunan, namun pada saat yang sama membawa petaka berupa kemunduran/kerusakan dalam
pembangunan yang tampil dalam wajah alam yang memprihatinkan kita. Mestinya kemajuan/kebaikan

110
manusia dibarengi juga dengan kemajuan dalam kebaikan alam itu sendiri. Inilah ambivalensi
pembangunan.
Banyak kritik ditujukan kepada filsafat rasional (logika-atomistik) yang tidak mempedulikan masa
depan alam lingkungan bumi. Salah satu pemikir yang gencar menyerang filsafat rasional yakni Filsuf
Polandia, Hendrick Skolimowski.
Dalam bukunya Living Philosophy: Eco-Philosphy as A Tree of Life (1992), Skolimowski mengkritik
cara berpikir rasional (logika) dan ilmu pengetahuan modern yang cendrung mekanistik-reduksionistik
yang berujung pada tindakan eksploitasi lingkungan alam. Skolimowski memperkenalkan suatu
paradigma pikir baru yang disebutnya eko-filosofi (eco-philosophy) yakni cara berpikir baru yang melihat
alam secara religius-spiritual. Eko-filosofi sama artinya dengan sebuah eco-spiritual (spiritualitas ekologis
alam) baru demi kebaikan alam lingkungan hidup itu sendiri.

2. Eco- Spiritual: Suatu Imperatif Etis Religius


Eco-spiritual memberikan imperatif (perintah moral) religius-spiritual bagi manusia untuk
kembali menghargai nilai-nilai intrinsik etis-spiritual yang mengkristal dalam alam. Eco-spiritual
mengarahkan kembali cara berpikir, perasaan dan tindakan manusia untuk mengembalikan nuansa
keindahan dan pesona alam yang luar biasa namun yang kini telah hilang nuansanya karena ekspresi
logika rasionalitas keliru, tidak adanya empati dan tindakan tak etis-destruktif atas alam. Saatnya semua
manusia melakukan total action (gerakan menyeluruh), sebagaimana dilansir oleh Arne Naess untuk
kembali ke alam (back to nature). Gerakan sadar lingkungan ini bukan hanya untuk segelintir orang
namun harus menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat dunia (total action) semua pihak mulai dari
individu, unsur politik, pengambil kebijakan ekonomi, akademisi, tidak secara terpisah-pisah (terkotak-
kotak), tetapi dilakukan secara bersamaan (menyeluruh). Gerakan ini harusnya menjadi gerakan semua
orang di bumi yang masih memiliki semangat kepedulian tinggi pada kebaikan alam kita. Jika tidak, kita
akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan alam kita dan kita tunggu kebinsaan kita semua
secara total, lambat tapi pasti.
Tentu bagi kita orang-orang yang menghayati agama dan spiritualisme, eko-filosofi bisa menjadi
suatu kewajiban/kesadaran moral religius-spiritual yang dipakai sebagai modal atau instrumen efektif
untuk mengubah cara pikir kita yang keliru/salah pada lingkungan alam. Manusia telah berdosa terhadap
alam dengan kejahatan-kejahatan ekologis seperti menebang pohon, membuang sampah sembarangan,
merambah hutan secara liar, mengotori air, mempolusikan udara dan lain sebagainya. Perlu dilakukan
juga sebuah metanoia (pertobatan) ekologis untuk mengembalikan kebaikan, keindahan dan kesakralan
alam semesta. Cara pikir yang sudah kita ubah, niat luhur yang sudah ada dalam hati, kita tunjukkan juga
dalam komitmen tindak-nyata untuk membangun relasi yang lebih etis, estetis, humanis, harmonis dan

111
selaras dengan alam lingkungan. Sesudahnya, mari kita sama-sama songsong sebuah tatanan dunia baru
yang bebas dari krisis ekologis. Kita sambut masa depan ekologi bumi yang semakin baik.
Kita harus sadar untuk menjaga alam. Sebagai orang beragama tentu tidaklah cukup kita berdoa
saja, tapi perlu juga berempati dan bertindak nyata untuk mengekspresikan kesadaran religius-spiritual
untuk secara nyata peduli pada alam. Menyelamatkan dan menjaga alam adalah bagian dari usaha
manusia untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan alam. Menjaga dan memelihara alam adalah bagian
dari hidup iman keagamaan dan keyakinan spiritual hakiki kita umat manusia di bumi ini.

3. Alam Semesta sebagai Tanda Eksistensi Tuhan


Semua agama dan aliran kepercayaan/spiritual memiliki keyakinan mendasar bahwa alam
semesta termasuk manusia di dalamnya diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang indah dan baik adanya
s ejak awal mula dijadikan. Alam adalah emanasi, pancaran atau mengalir keluar dari Tuhan itu
sendiri. Agama-agama yakin dan percaya bahwa Tuhan berbicara kepada kita umat-Nya melalui
fenomena alam yang kita alami sehari-hari. Oleh karena itu alam semesta (universum) adalah tanda
eksistensi Tuhan. Alam semesta adalah epifani (penampakan) Tuhan itu sendiri. Adanya dunia dan proses
evolusinya dalam dinamika waktu yang panjang tidak mengurangi kualitas nilai luhur alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan. Lingkungan alam tempat manusia hidup merupakan sebuah realitas yang bernilai
intrinsik pada dirinya sendiri. Nilai intrinsik alam tidak ditentukan oleh manusia, namun memiliki
nilai internal pada dirinya sendiri (in se) sejak awal mula diciptakan Tuhan. Nilai intrinsik lingkungan
alam diberikan Tuhan sejak proses penciptaan dan berlangsung sampai sekarang dan hingga ke masa
depan sepanjang keberadaan alam ini. Manusia tidak berhak sedikitpun menentukan nilai dan martabat
lingkungan alam. Lingkungan alam adalah sebuah faktisitas atau kenyataan yang terberikan oleh
Tuhan untuk manusia. Karenanya lingkungan alam adalah berkat (rahmat) instimewa Tuhan yang
perlu disyukuri oleh setiap manusia di kolong langit ini. Bentuk syukur tersebut harusnya direalisasikan
dalam wujud sikap tanggung jawab manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
Tuhan berperan tak terlihat menjadikan segala proses yang terjadi di dalam alam ini berlangsung
dan mencapai hasil yang indah, tepat, efektif, efisien dan sempurna pada waktunya. Tak satu pun yang
tahu bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang agung dan mengagumkan sekali. Tuhan merajut berbagai
unsur (elemen) dalam alam semesta dan menciptakan berbagai jenis makhluk hidup termasuk tumbuhan
bebijian jagung seperti kisah di atas. Alam adalah ciptaan Tuhan yang sungguh indah dan luar biasa tak
terselami akal budi dan logika pikir manusia. Kita manusia pantas dan layak bersyukur atas semua
keindahan yang diberikan oleh Tuhan ini. Bentuk rasa syukur itu dapat manusia sampaikan dalam untaian
doa dan syair religius pada Tuhan sebagai Sang Pemberi Kehidupan.
Manusia religius-spiritual yang bijak adalah persona yang memiliki visi jauh dan intuisi mendalam

112
untuk menjaga dan mempertahankan panorama alam sebagai hadiah terindah Tuhan bagi manusia.
Bahwa alam bukan semata-mata ada untuk dieksploitasi bagi kebutuhan manusia, melainkan ia hadir
sebagai ciptaan yang ikut membuktikan jejak kehadiran Tuhan di dalam realitas dunia ini. Karena itu alam
harus dijaga dan dilestarikan sebagai realitas yang bermakna religius -spiritual. Artinya alam adalah salah
satu bentuk kesaksian tentang hakikat Tuhan sebagai Maha Pencipta.
Segala kehidupan yang berlangsung di dalam alam berlangsung dalam Tuhan dan kelak akan
kembali ke fitrah, ke pangkuan Ilahi Tuhan. Filsuf Teilhard de Cardin mengatakan hidup adalah gera kan
dari Tuhan sebagai titik alfa (awal) menuju titik omega (akhir) dalam Tuhan sendiri. Karena itulah manusia
perlu menyadari kebenaran religio-spiritual ini dan menghayati relasi dengan lingkungan alam dalam
suatu hubungan iman/keyakinan pada Tuhan Sang Pencipta alam semesta.

4. Makna Religius Alam dan Eco-Teologi


Pandangan teologi tentang ekologi alam bisa disarikan dalam konsep Eco-Theology atau eko-
teologi. Ekologi berasal dari kata Yunani oikos, artinya rumah. Ekologi merupakan studi tentang
bagaimana organism di dalam alam saling beriteraksi satu sama lain dalam konteks lingkungannya (Bdk,
Roderick Frazier Nash: 1989, hal. 55). Sedangkan teologi artinya pandangan atau filosofis tentang
keTuhanan. Inti pemikiran eko-teologi yakni terdapat adanya satu kesatuan intrinsik antara berbagai
elemen yakni Tuhan, manusia dan segala entitas ada di dalam alam.
Untuk menegaskan prinsip kebenaran ini, Allan R. Brockway menulis: “sebuah teologi tentang
dunia alam semesta…..mengandung makna instrinsik bahwa terdapat kesatuan segala sesuatu di dalam
alam antara dunia manusia dengan dunia non manusia. Terdapat kesatuan antara dunia manusia
dengan dunia non manusiawi yang saling memancarkan dimensi ilahi itu mulai dari batu-batu, pohon-
pohon, udara, air, minyak dan mineral, hewan- hewan dan termasuk di dalamnya kita manusia juga”
(Ibid., 87).
Bahkan para teolog dan filsuf aliran agama-agama mengatakan bahwa teologi yang baik
seharusnya memperhatikan etika ekologi (ecology ethics) yakni memperhatikan dimensi keadilan
terhadap alam. Artinya iman kita tidak boleh hanya sebatas doktrin saja, melainkan harus diwujudkan ke
dalam tindakan ekologis yang peduli terhadap hak-hak dan kebaikan alam lingkungan hidup kita. Inilah
saatnya kita melakukan penghijauan terhadap agama atau lebih popular dalam istilah Roderick Frazier
Nash, “The Greening of Religion” (Ibid., hal. 87-120).
Pandangan yang religius agama-agama16 terhadap alam bakal memunculkan sikap-sikap yang

16
Pandangan-pandangan yang diuraikan menurut agama-agama di sini diadaptasi dari Mary Evelyn Tucker & John
A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and the Environment . New York: Orbis Book. Bdk. edisi Indonesia
berjudul “Agama, Filsafat dan Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.

113
manusiawi dan bersahabat dengan alam, etis, bermoral, integratif, holistik dan menyeluruh. Visi religius
kita terhadap alam kita realisasikan juga dalam realitas sosial kita dalam relasi dengan segala makhluk
hidup (biotic) dan makhluk tidak hidup (abiotik). Visi ekologi-religius akhirnya menjadi bagian dari iman
kita kaum beragama dalam menghayati eksistensinya di bumi ini dalam mengembangkan relasi yang
harmonis dengan dengan alam. Iman kita kepada Tuhan perlu kita realisasikan dalam relasi harmonis
dengan alam. Relasi manusia dengan alam ini bukan jangka pendek saja, melainkan suatu relasi ideal
yang perlu dilanjutkan dalam jangka panjang untuk generasi manusia dan makhluk hidup lain di masa
depan. Keberlanjutan hidup generasi kehidupan masa depan tergantung pada pikiran, tindakan dan
perilaku kita saat ini. Kita perlu menjaga alam pada saat ini untuk menjamin kelangsungan hidup banyak
pihak di masa depan. Inilah sikap religius kita sebagai orang-orang yang mengaktualisasikan iman kepada
alam sebagai ciptaan Tuhan sendiri.
Sudah umum diterima pandangan atau pemahaman bahwa alam semesta ini sungguh adalah
ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Banyak filsuf dan teolog yang berbicara tentang alam dari perspektif
agama-agama dunia ini yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu, dan Aliran
Kepercayaan lain.

Agama-agama memandang alam sebagai suatu kenyataan yang bernilai luhur religius sebagai
ciptaan Tuhan dan oleh karena itu alam perlu dijaga keberlanjutannya di masa depan.
Pandangan Kristiani (Katolik dan Protestan) tentang alam sebagai ciptaan Tuhan bisa ditelusuri
di dalam Alkitab maupun para pemikiran para filsuf kristiani. Di dalam Kitab Kejadian Bab 1 di situ jelas
ditegaskan bahwa langit dan bumi beserta isinya diciptakan oleh Allah sendiri. Artinya kehadiran alam
semesta ini terjadi karena kekuasaan Tuhan. Sementara itu di dalam pandangan filsuf-filsuf kristiani
(Teologi Barat), alam dipersepsikan sebagai realitas yang melulu bernilai rohani yakni berasal dari
Tuhan sendiri. Pandangan ini tampak dalam pemikiran Origenes (185-254 M), Santo Thomas Aquinas
(1225-1274), Santo Bonaventura (1221-1274), Dante (1265-1321), Karl Barth (1886-1968), dan Teilhard
de Chardin (1881-1955). Pandangan mereka umumnya mengklaim bahwa alam semesta adalah ciptaan
Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Sementara itu pandangan kristiani yang melihat alam dalam perspektif
motiv ekologis masa depan tampak dalam pemikiran Santo Agustinus (354-430), Santo Fransiskus Asisi
(1182-1226), Martin Luther (1483-1546), Calvin (1509-1564) yang semuanya mengatakan bahwa alam
semesta ini dan manusia serta segala makhluk akan ditebus/diselamatkan pada akhir zaman. Artinya
kondisi kebaikan manusia, alam dan segala makhluk akan disempurnakan, diselamatkan pada zaman
eskatologis, zaman parusia, akhir zaman ketika Tuhan datang menyelamatkan manusia yang percaya
kepadaNya.
Pandangan Islam juga tak kalah menariknya atas alam. Dalam Bukunya The Translation
of the Meaning of Sahih Al-Bukhari (terjemahan Muhammad Muhsin Khan) Muhammad Ibn Isma’il al-

114
Bukhari mengatakan di Al-Qur’an Allah adalah Pencipta dunia ini yang dilakukan dalam enam hari (7:54;
10:3; 11:7; 25:59; 32:4 dan 57:4). Ini menunjukkan pandangan Islam yang mendasar bahwa alam semesta
adalah ciptaan Tuhan. Alquran juga menegaskan bahwa Allah itu Esa dan Allah berkuasa atas seluruh
ciptaan di dalam alam semesta ini, langit dan bumi adalah milik Allah (2:107; 3:189; 9:116; 23:84-89;
35:13; dan 57:2). Kebiasaan Muhammad SAW berdoa pagi dan sore dihubungkan dengan kuasa Allah
atas dunia( bdk. Mishkat, 506. Lihat juga J.M.S. Baljon, “The Amr of God in the Koran”, Acta Orientalia).
Implikasinya bahwa pandangan monoteistik Islam tidak mendukung eksploitasi atas bumi oleh karena itu
Islam juga memiliki pandangan yang ekologis atas alam sebagai realitas yang bernilai religius yang perlu
dijaga dan dipelihara.
Di dalam Budhisme khususnya Budha Mahayana, terdapat tradisi Tathagatagarbha dan
Alayavijanana yang menggambarkan suatu kosmologi dan antropologi saling berkaitan. Dikatakan semua
mahkluk hidup akan mencapai pencerahan atau kebijaksanaan tertinggi dan sempurna dalam
KeBudhaan. Jalan Budhis sebagai proses di mana kesadaran individual diubah menjadi kebijaksanaan
sempurna. Menurut Budha, segala objek dalam alam berhubungan satu sama lain. Prinsip
pratityasamutpada, atau kemunculan bersama benda-benda merupakan suatu proses dinamis dan
kolaboratis banyak hal lain. Tidak ada satu objek pun di dalam alam yang ada dari dirinya sendiri, tetapi
hanya sebagai suatu konteks hubungan, suatu nexus/jalinan faktor-faktor yang berhubungan satu sama
lain. Ada sebuah kanon Pali dari Budha yang mengatakan keterkaitan segala sesuatu di dalam alam
ini: “Ini ada, itu menjadi; dari munculnya ini, itu muncul; ini bukan menjadi, itu tidak menjadi; dari
mandeknya ini, itu mandek” (Bdk. Najjhima-Nikaya, 2: 32; Samyutta-Nikaya 2:28).
Di dalam Hinduisme, alam memiliki nilai religius yang mendalam. Di dalam sejarah India
ditemukan kebudayaan kota yang disesuaikan dengan ritme alami, lambang kota Mohenjodaro dan
Harapa di lembah Indus melukiskan seseorang yang sedang bermeditasi- yang oleh beberapa filsuf
dianggap sebagai wujud pertama dewa Siwa-dengan penuh damai dikelilingi oleh tumbuhan lebat dan
hewan-hewan jinak. Sementara itu Rig Veda melukiskan pujian-pujian yang tinggi atas pelbagai kekuatan
alam, menganggap alam sebagai keilahian yang pantas disembah puji. Sungai-sungai (Ganga, Yamuna,
Sarasvati, Sindhu) dan tanah (Prthivi) dilihat sebagai dewa-dewi, sementara angin (Maruts) dan api (Agni)
disebut sebagai dewa laki-laki. Malah di dalam nyanyian Purusa Sukta dinyatakan: “Bulan lahir dari
budinya, Matanya melahirkan matahari, Indra dan Agni muncul dari mulutnya; Dan Vayu (angin) lahir dari
nafasnya; dari pusarnya muncul udara; langit muncul dari kepalanya; dari kaki, bumi; dari telinga, mata
angin. Begitulah mereka membentuk dunia-dunia (Bdk. Rig Veda 10:190, 13-14. Terj. Antonio T, de
Nicolas, Meditations through the Rig Veda: Four Dimensions Man(New York: Nicolas Hays, 1976).
Konfusianisme awal, seperti Taoisme, secara kosmologis memahami dunia ini sebagai bagian
dari semesta yang berubah, dinamis dan mekar (Bdk. Terjemahan Arthur Waley mengenai Analects dan

115
D.C. Lau mengenai Mencius, 1970). Proses pemekaran dan kesinambungan dari alam dan harmoni
musim sangatlah ditegaskan oleh para Konfusian. Semesta dilihat muncul dengan sendirinya, dibimbing
oleh pemekaran Tao, sebuah term yang dipegang teguh oleh Konfusian dan Taoisme dengan makna yang
berbeda. Mereka juga mengakui adanya kekuatan-kekuatan yang berlawanan di dalam alam misalnya
dalam konsep yin dan yang.

5. Peduli Pada Lingkungan


Visi eko-spiritual sebagai imperatif religius-spiritual agama-agama/spiritualisme harusnya tidak
hanya sampai pada cara berpikir, tetapi perlu diaktualisasikan secara nyata dalam aktivitas hidup sehari-
hari khususnya dalam konteks relasi dengan alam. Ia perlu diekspresikan, ditunjukkan dan diwujudkan
dalam hidup nyata. Visi ini harus tercermin dalam perbuatan yang hidup sebagai bentuk komitmen dan
kesaksian yang paling otentik di dalam dunia.
Iman itu bukan hanya keyakinan, melainkan juga perbuatan. Iman tanpa perbuatan tak mungkin
atau sia-sialah belaka segalanya. Karena iman tanpa perbuatan akan kehilangan relevansi praksisnya.
Iman kepada Tuhan tidak hanya ditunjukkan dalam ritual ibadah atau perbuatan etis pada sesama,
tetapi juga harus dinyatakan dalam relasi yang etis dengan alam. Di sinilah iman ekologis menjadi
urgen. Iman ekologis bukan hanya soal masalah pengetahuan, keyakinan dan kata-kata saja. Iman
ekologis menuntut realisasi di dalam praksis dalam bentuk perbuatan atau aksi konkret-nyata. Untuk itu
kita perlu segera bertindak. Saat ini yang lebih penting adalah keberanian untuk bertindak nyata peduli
pada alam daripada sebuah renungan bijak tentang alam. Iman ekologis terwujud dalam sikap peduli
pada lingkungan. Bagaimana caranya kita menunjukkan sikap peduli pada lingkungan itu?
Pertama, menyadari bahwa lingkungan sebagai sumber segala kehidupan di dunia ini termasuk
hewan dan manusia. Kesadaran ini wajib dihayati oleh setiap orang beragama dan penganut spiritual.
Kesadaran akan nilai dasar lingkungan alam ini akan membuat kita menghargai alam, menghormati alam
dan bertoleransi pada alam. Toleransi pada lingkungan alam artinya kita membiarkan alam bertumbuh
dan berkembang sesuai dengan tendensi alamiah di dalam dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi
berlebihan dari pihak manusia. Kalau kita menghidupkan lingkungan alam, maka lingkungan alam juga
akan menghidupkan kita manusia dan seluruh makhluk. Sebaliknya jika kita membunuh kehidupan alam,
maka alam pun akan semakin sadis lagi membinasakan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kalau kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Kalau kita tidak menjaga alam, maka alam pun
tidak akan menjaga kita. Kesadaran akan lingkungan alam sebagai sumber kehidupan akan mendorong
kita untuk rajin menanam pohon hijau, tidak menebang hutan secara sembarangan, membuang sampah
pada tempatnya dan lain sebagainya.
Menyitir David C. Korten, “orang yang memiliki kesadaran spiritual akan menginsafi bahwa

116
lingkungan alam merupakan “integral world” dan memaknai keberadaan dirinya sebagai partner aktif
atau co-creator dalam melayani evolusi ciptaan untuk mengaktualisasikan kemungkinan-
kemungkinannya” (Korten: 2006, hal.47). Kesadaran spiritual membuat manusia melakukan tindakan-
tindakan kreatif untuk menjaga keberlangsungan hidup alam semesta. Tentu dengan membiarkan alam
merealisasikan dan mewujudkan dirinya secara bebas dan otonom tanpa intervensi-dominatif manusia.
Kedua, Gemar melakukan gerakan minimalis, hidup hemat dan sederhana dalam hidup sehari-
hari. Gerakan minimalis artinya kita hanya butuh sedikit untuk hidup daripada butuh banyak. Kita tidak
perlu hidup maksimalis dalam memperlakukan lingkungan alam. Kita cukup mengambil sedikit manfaat
saja dari alam tanpa proyeksi nafsu ekstrim untuk menguasainya, apalagi mengedepankan rasa rakus
berlebihan untuk menghisap hasil lingkungan alam (bumi) secara sembarangan dan tidak wajar. Gerakan
minimalis membuat kita mencukupkan diri dengan hidup apa adanya, tanpa ambisi untuk menguras
alam sebesar-besarnya. Gerakan minimalis harusnya terpancar keluar dalam sikap tidak boros dalam
memanfaatkan sumber energi alam misalnya hemat air, hemat listrik, hemat menggunakan minyak bumi,
bersepeda saja ke kampus atau tempat kerja dan lain sebagainya. Gerakan minimalis urgen kita hayati
secara konsisten dalam hidup kita mulai saat ini.
Ketiga, berani mengkritik kegiatan/kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Iman
ekologis menuntut kita untuk kritis pada segala usaha pembangunan yang tidak mendukung kebaikan
lingkungan alam kita. Jika kelompok politik atau pun kaum kapitalis tidak mempedulikan kebaikan dan
keselamatan lingkungan alam, maka kelompok spiritualis dan kelompok agama perlu menyuarakan suara
kritis menegakkan nilai-nilai kebaikan ekologis kita. Jika ada penjahat lingkungan yang masih saja
melakukan kejahatan ekologis, kita perlu mengkampanyekan nilai yang berseberangan dengannya. Kita
perlu kritis pada orientasi pembangunan yang tidak pro-life dan gagasan pembangunan berkelanjuntan.
Kejahatan ekologis akan terus berkembang jika kita kelompok agama dan spiritual tidak melakukan
tindakan apapun untuk menyelamatkan bumi. Artinya kita tidak boleh diam menyaksikan eksploitasi
lingkungan yang merusak terus terjadi di depan mata kita. Kita perlu berani melakukan kritik-positif
sebagai komitmen mulia untuk menjaga kebaikan lingkungan alam demi keutuhan dan kebaikan bumi.
Keempat, mengembangkan hubungan yang etis dengan lingkungan alam dalam bentuk tindakan
empati dan kepedulian. Lingkungan alam perlu dipandang sebagai realitas bernilai spiritual pada dirinya
sendiri. Visi ini mendorong kita untuk menghargai kesucian, kekudusan dan kekeramatan intrinsik yang
melekat pada alam. Sejarah sudah membuktikan bahwa pengrusakan alam terjadi ketika manusia tidak
menghargai lagi kesucian alam. Maka usaha menjaga dan melestarikan alam hanya bisa kita lakukan jika
melihat alam sebagai realitas yang suci di dalam dirinya sendiri. Visi ini akan mencegah kita untuk
mengeksploitasi alam secara membabi-buta untuk kepentingan egoistik manusia. Sudah saatnya kita
membangun, menjaga dan melestarikan pola relasi baru dengan alam dalam nuansa spiritual. Pola hidup

117
spiritual seperti ini akan memunculkan semangat respek yang tinggi pada lingkungan alam sebagai
realitas keramat yang mutlak dilindungi nilai dan martabatnya. Pola relasi spiritual dengan alam akan
membuat kita melakukan tindakan-tindakan positif untuk menjaga kebaikan, keindahan dan kesucian
alam tanpa berikhtiar untuk memburukkan, menjelekkan dan menodai lingkungan alam kita.

6. Hasil Akhir Kepedulian Pada Lingkungan


Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat tentang cara-cara yang dapat dikembangkan untuk
menunjukkan sikap peduli pada lingkungan alam. Semua upaya tersebut tentu sangat bermanfaat positif
bagi terciptanya situasi masa depan alam yang lebih baik lagi dibandingkan sekarang ini. Buah-buah dari
sikap peduli pada lingkungan alam dimaksud bisa diproyeksikan dalam lima (5) pokok pikiran berupa
pengkondisian masa depan alam yang lebih baik lagi, yakni: terciptanya situasi lingkungan alam yang
seimbang (ekuilibrasi), terciptanya situasi keadilan terhadap alam (yustisial), terciptanya situasi kebaikan
alam (etika), terciptanya situasi keindahan alam (estetika), terciptanya kondisi sakralitas alam
(spiritualisme). Kita akan melihat pembahasannya satu per satu.
Pertama, terciptanya lingkungan alam yang seimbang. Jika kita menerapkan cara-cara peduli
pada alam secara konsisten dan konsekuen, maka akan tercipta lingkungan alam yang seimbang.
Keseimbangan yang dimaksud di sini artinya kerusakan alam yang signifikan dan dampaknya yang
merusakkan kehidupan manusia dan makhluk lain akan semakin berkurang atau bisa diminimalisasi.
Sebuah surga di dunia dalam kondisi lingkungan alam yang seimbang dan harmonis mau kita ciptakan
kembali sejak sekarang di dunia fana ini. Alam yang seimbang tampak dalam berkurangnya bencana
alam banjir, angin topan, badai ganas, krisis energi, pemanasan global, tanah longsor dan lain sebagainya.
Peristiwa bencana alam akibat ulah manusia mau kita eliminasi sehingga manusia semakin nyaman
tinggal di bumi ini.
Kedua, terwujudnya cita-cita keadilan terhadap alam. Segala bentuk tindakan eksploitasi yang
berlebihan pada alam menggambarkan perlakukan tidak adil manusia terhadap alam. Perlakuan tidak
adil manusia pada alam menunjukkan kekuasaan manusia dan mengedepankan suatu bentuk
kolonialisme baru (kriptokolonialisme) manusia pada lingkungan alam. Padahal, hidup manusia
seluruhnya tergantung pada alam dan tidak mungkin tanpa lingkungan alam. Sikap peduli pada alam akan
menciptakan sikap adil manusia pada alam yang selama ini tidak dipertimbangkan atau bahkan tidak
disadari sama sekali. Sikap adil bukan hanya perlu diwujudkan dalam relasi antarmanusia, melainkan juga
dalam relasi dengan alam. Keadilan pada alam artinya manusia mau kembalikan nilai-nilai intrinsik luhur
yang sudah dirampas dari alam itu sendiri. Kita mau kembalikan apa yang menjadi hak-hak alam untuk
bertumbuh secara natural tanpa intervensi kekuasaan manipulatif berlebihan dari pihak manusia. Kita
biarkan alam menentukan jalannya sendiri menuju kesempurnaan dirinya. Kesempurnaan alam terletak

118
pada dirinya sendiri (inheren), dan tidak ditentukan oleh tanggapan indrawi-irasional ataupun keputusan
rasional-logis manusia.
Ketiga, terwujudnya kualitas lingkungan alam yang semakin baik. Alam yang tetap dalam kondisi
terjaga baik menjadi arah atau orientasi dasar semua orang yang peduli pada alam. Tindakan peduli pada
alam alhasil akan menghasilkan situasi ideal bagi kualitas kebaikan alam lingkungan yang semakin baik.
Alam yang dalam kondisi baik akan tampak dalam nuansanya yang asri, yang tersenyum, yang ramah dan
bersahabat dengan manusia dan makhluk lainnya. Alam yang baik tidak akan memberikan bencana bagi
kehidupan manusia dan makhluk lainnya di bumi ini.
Keempat, terciptanya situasi keindahan alam. Tindakan peduli pada alam akan menghasilkan
kembali lingkungan alam yang indah. Kita mau lingkungan alam menjadi realitas surgawi bagi kita
manusia. Lingkungan alam yang indah tampak dalam pemandangan alam yang menarik, hutan-hutan
lebat menghijau, burung berkicau di atas pohon, hingga embun yang bercahaya pada dedaunan. Situasi
indah alam memancarkan pesona eksotis yang menenteramkan hati dan menghidupkan berbagai
makhluk hidup. Keindahan alam ibarat ibu yang memberikan rasa nyaman dan kebahagiaan batin bagi
manusia yang mampu merasakan nilai estetis.
Santo Agustinus pernah bermadah: “Lihatlah keindahan bumi, lihatlah keindahan samudera,
tanyakanlah keindahan udara yang menyebarluas, tanyakan keindahan langit, tanyakanlah semua benda
dan makhluk; dan semuanya akan menjawab: lihatlah betapa indahnya kami, siapakah yang menciptakan
benda-benda yang indah di dunia ini kalau bukan Yang Ilahi? (Leteng:2005, hal. 24). Keindahan alam
adalah hasil ciptaan Tuhan yang perlu dipelihara dan dilestarikan eksistensinya oleh manusia. Dan ini
hanya mungkin jika manusia memiliki intuisi dan visi spiritual untuk peduli pada alam.
Kelima, terpeliharanya nilai-nilai sakralitas alam. Tindakan eksploitatif manusia pada alam telah
mengggeruskan sakralitas alam. Dan kita mau peduli pada alam untuk memulihkan sakralitas alam itu.
Salah satu hasil atau buah penting dari tindakan peduli pada lingkungan alam tampak dalam
terpeliharanya kondisi alam yang penuh pesona, eksotik, sakral, kudus, suci. Alam yang sakral sungguh
bernilai luhur dan mulia serta kudus karena diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebagai ciptaan Tuhan, alam
memiliki kualitas keilahian dan kekudusan di dalam dirinya sendiri. Kualitas sakral ini patut diinsyafi oleh
setiap manusia yang masih punya hati nurani yang murni dan bening. Sikap peduli pada lingkungan alam
harus dilandasi oleh iman ekologis yang tinggi dan mendalam pada alam sebagai ciptaan Tuhan yang
bernilai agung-luhur.

C. PENUTUP
Krisis lingkungan dalam dunia kita terus terjadi karena ulah kita manusia. Teridentifikasi
beberapa faktor penyebab yang inheren atau melekat erat pada kita sebagai manusia sebagai faktor

119
pemicunya. Ada tiga (3) hal utama yang menyebabkan krisis lingkungan yakni: akibat cara pandang yang
melihat alam sebagai objek, peraaan tidak empatik, dan tindakan tidak etis terhadap alam. Kita manusia
terbukti menunjukkan sikap yang tidak baik dan tidak layak terhadap alam. Sebagai orang beragama
dan beriman kepada Tuhan, kita perlu sadar dan instrospeksi diri untuk melakukan perubahan dalam
totalitas kemanusiaan kita. Kita perlu menata pikiran, hati dan juga sikap serta tindakan kita untuk
menjaga alam, melestarikan alam dan memastikan alam terus berlanjut dengan baik di masa depan.
Kita perlu sadar bahwa alam tidak hanya bernilai material namun juga bernilai rohani atau
religius-spiritual. Segala sikap dan tindakan kita dalam membangun harus ditempatkan dalam konteks
usaha merawat dan melestarikan alam lingkungan. Kita bertanggung jawab terhadap nasib dan masa
depan bumi ini. Oleh karena itu nilai-nilai etis-spiritual mutlak perlu diaktualisasikan dalam relasi kita
dengan alam sehingga kita dapat hidup sebagai orang beragama yang bijaksana. Kita pun memberikan
kontribusi positif bagi masa depan lingkungan yang lebih baik.

Tugas
Refleksi Pribadi
Setelah mendalami materi ini, ungkapkanlah pandangan, pengalaman, rasa kedekatan dan kepedulian
Anda pada alam lingkungan dalam sebuah puisi (bisa mulai dengan menentukan sebuah judul terlebih
dahulu, atau sebaliknya, judul ditentukan setelah teks puisi selesai di buat).

Referensi
• David C. Korten (2006). The Great Turning From Empire to the Earth Community. Berret
Koehler Publisher, San Francisko.
• Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (ed.) Worldviews and Ecology: Religion, Philosophy, and
the Environment. New York: Orbis Book. Bdk. edisi Indonesia berjudul “Agama, Filsafat dan
Lingkungan” (2003) terjemahan P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.
• FranK Mihalic SVD (2009 terj). 1500 Cerita Bermakna, untuk Renungan dan Khotbah dan
Ceramah Anda. Bogor: Grafika Mardi Yuana.
• Frederikus Fios dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building: Spiritual
Development. Jakarta: Bina Nusantara University
• Frederikus Fios (2019). Manusia Ekologis (Bersama Henryk Skoliwmowski). Jakarta: Hegel
Pustaka
• Tim Penulis Character Building Agama (2014). Character Building Agama. Jakarta: Bina
Nusantara

120
Topik 12
WORK RELIGIOSITY

Learning Outcome:
LO4: Apply the religious values in the contex of human relation, environment, and work world.
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan konsep religius kerja pada umumnya
• memahami pandangan khusus agama-agama tentang kerja
• memahami aspek-aspek religius kerja
• mengaplikasikan nilai-nilai spiritual etis dalam pekerjaan
• mengaplikasikan kolaborasi dan kesadaran sosial dalam konteks profesionalisme dunia kerja

A. Pendahuluan
Apakah pekerjaan manusia itu hanyalah kegiatan yang berorientasi material semata-mata untuk
kepentingan ekonomi belaka? Pandangan seperti ini rasanya kurang bijaksana dan kurang komprehensif
dalam memaknai tindakan dan pekerjaan yang kita lakukan sebagai orang beragama dan beriman
kepada Tuhan. Manusia yang bijaksana tidak akan berhenti untuk berpikir hanya pada tahap material
atau fisik dalam memaknai kehidupannya. Orang beragama akan berpikir transfisik, melampaui yang
fisik/material untuk menjangkau nilai-nilai yang baik, yang indah dan yang sempurna dalam menjalankan
kehidupannya. Bagian ini akan mendalami tentang religiositas kerja yang kita lakukan dalam kegiatan
dan aktivitas kita sehari-hari. Tentunya pekerjaan di sini harus dipahami sebagai aktivitas produktif
dalam konteks pekerjaan yang profesional, pekerjaan yang bermakna positif dan etis.

B. PEMBAHASAN
1. Religiousitas Kerja pada Umumnya
Semua agama melalui inspirasi suci dalam ajaran iman masing-masing menyatakan secara jelas
bahwa alam semesta atau dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Secara religius, alam semesta diyakini sebagai
entitas yang diciptakan Tuhan. Tuhan menciptakan dunia dalam kondisi baik dan indah sejak awal
mulanya. Kata ’menciptakan’ di sini mau menggambarkan bahwa Tuhan juga bekerja ketika DIA
menciptakan langit dan bumi ini.
Sesudah menciptakan dunia, manusia diberi tugas (gabe) dan tanggung jawab (aufgabe) oleh
Tuhan untuk membangun tatanan dunia agar berkembang sesuai dengan kehendak Tuhan, Sang Pencipta
itu sendiri. Dari asumsi ini, maka sebetulnya kerja yang dilakukan manusia bukan untuk kepentingan
121
hidup manusia saja, melainkan bermartabat ilahi juga. Kerja bukan hanya urusan fisik-material,
melainkan urusan metafisik atau transfisik juga. Urusan metafisik membuat manusia memiliki visi
spiritual-religius menuju keselamatan atau kebaikan masa depan. Manusia perlu memiliki visi religius -
spiritual untuk melihat karya Tuhan di dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia. Dalam
bahasa Ibu Teresa dari Calcuta (India), seorang pekerja seharusnya ”melihat wajah Allah dalam segala
sesuatu, di dalam diri setiap orang, di manapun, sepanjang waktu, dan tangan-Nya dalam semua
pekerjaan, dan membuat kita melakukan segala yang kita lakukan-apakah kita berpikir, belajar, bekerja,
berbicara, makan atau beristirahat. ” (Leteng: 2005, hlm. 24). Setiap kerja, aktivitas fisik atau tindakan
aktif orang beragama layak selalu ditempatkan/dimaknai sebagai tindakan religius melanjutkan karya
penciptaan Tuhan di dalam dunia ini. Dengan bekerja, manusia melanjutkan pekerjaan Tuhan di dunia
ini.
Dengan bekerja, secara religius, sebenarnya manusia berpartisipasi untuk membang un dan
mengembangkan dunia bersama Tuhan sebagai Sang Pencipta dari segala sesuatu. Kerja adalah cara
keterlibatan riil manusia dalam seluruh rencana keselamatan dan penciptaan Tuhan yang terus
berlangsung di dalam dunia. Manusia memiliki kualitas intuitif-rasional untuk mengenal Tuhan dan
ciptaan lain.
Pengenalan akan Tuhan ini memampukan manusia untuk melakukan interpretasi-hermeneutis
terhadap aktivitas kerja sebagai usaha membangun dunia demi kemuliaan Tuhan (Allah) sendiri. Bukan
sebaliknya untuk kekuasaan manusia apalagi untuk mempertahankan dominasi absolut manusia atas
alam ciptaan Tuhan yang malah terbukti telah merusakkan alam itu sendiri dalam wajah karut -marut
krisis-krisis ekologis yang kian menggelisahkan umat manusia dan makhluk hidup lain.
Sebagai makhluk yang percaya dan mengenal Tuhan, manusia menominasikan diri sebagai
perpanjangan tangan Allah di dalam alam. Manusia mengira Tuhan menggunakan dirinya untuk
melanjutkan karya penciptaan-Nya di dalam dunia. Jika prediksi intuitif-spiritual ini dianggap benar
adanya, maka muncul suatu kesadaran religio-spiritual di lubuk hati manusia yang terdalam untuk sadar
bahwa kita manusia adalah utusan Tuhan untuk melanjutkan karya-Nya di dunia. Untuk itu kita manusia
perlu menjalankan mandat ilahi ini secara baik, benar dan bertanggung jawab.
Pekerjaan manusia adalah wujud partisipasi manusia dalam penciptaan Tuhan. Karena itu perlu
diupayakan agar pekerjaan manusia dilakukan secara mendekati sempurna demi menjaga kelangsungan
alam dunia ini. Sejak awal penciptaan, Tuhan sudah menciptakan dunia baik adanya, maka manusia harus
bertanggung jawab penuh menjaga dan melestarikan dunia ini melalui aktivitas kerja yang dilakukannya.
Kerja adalah jawaban iman manusia yang riil akan amanah Tuhan bagi manusia dalam memperlakukan
dunia ini.
Berbagai kegiatan kerja yang tidak sesuai dengan rencana Allah, harus ditolak dengan tegas.

122
Rencana Allah kita nyatakan dalam nilai-nilai universal dan kesempurnaan seperti: kebaikan, keindahan,
kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanusiaan, keharmonisan, keselarasan, moralitas, kedamaian, dan
lain sebagainya. Kerja yang tidak merealisasikan nilai-nilai universal yang disebutkan tadi, sesungguhnya
tidak sesuai dengan kehendak Allah. Kerja apapun bentuknya haruslah mendatangkan konsekuensi-
konsekuensi positif-etis bagi manusia dan kehidupan. Pekerjaan yang mendatangkan dampak negatif-
destruktif bagi manusia, alam dan tatanan sosial masyarakat harus dihindari dan dieliminasi. Manusia
harus bekerja untuk memuliakan dan mengagungkan nama Tuhan, bukannya untuk mencari popularitas
dan kejayaan bagi diri sendiri yang egoistik. Inilah tugas ilahi manusia dalam melakukan pekerjaannya
sebagai partisipasi dalam karya penciptaan Tuhan.
Dalam konteks religiositas, kerja tidak hanya dianggap sebagai hal yang duniawi, tetapi dimaknai
dan dihayati sebagai sesuatu yang bernilai ilahi dan kudus. Kerja dimaknai sebagai sesuatu yang suci dan
ilahi. Konsekuensi logisnya yakni bahwa setiap orang beriman (religius -spiritual) harus melakukan
pekerjaannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ajaran iman agama dan keyakinan masing-masing.
Dalam konsep berpikir teologis, kerja merupakan suatu bentuk ibadah manusia kepada Tuhan. Kerja
adalah ibadah yang diperpanjang dalam karya nyata sehari-hari.

2. Pandangan Agama-Agama tentang Kerja


Banyak ajaran luhur di dalam agama-agama kita yakni Islam, Kristiani, Hindu, Budha dan
Konghucu yang membicarakan tentang makna religius kerja atau religiositas kerja. Umumnya pandangan
agama-agama menempatkan aktivitas kerja fisik manusia sebagai hal yang bernilai religius. Kerja bukan
saja fungsi teknis-mekanistik-pragmatis, melainkan sungguh bernilai religius-spiritual-ilahiah. Melakukan
pekerjaan dengan cara religius seharusnya (das sollen) dilakukan dengan setia dan penuh rasa tanggung
jawab menurut hukum-hukum Tuhan di dalam ajaran agama-agama.
Di dalam Islam, bekerja bukan hanya soal urusan mencari uang untuk hidup melainkan sungguh
bernilai religius. Islam menekankan pentingnya niat luhur di dalam bekerja sebagaimana dikatakan oleh
Muhammad Rasulullah SAW bahwa setiap amal perbuatan harus diiringi dengan niat dan setiap orang
hanya akan mendapatkan apa yang sudah diniatkannya. Niat di dalam bekerja itu ditempatkan sesuai
dengan perintah atau hukum Allah Swt sendiri. Banyak filsuf Islam misalnya Yusuf Qardhawi mengatakan
moral etika dan ekonomi/kerja merupakan hal yang sangat penting dalam Islam dan etika moral itu
berlaku di dalam segala aspek kehidupan (kaffah). Hal ini perlu diwujudkan dalam aktivitas ekonomi,
bisnis dan pekerjaan setiap umat Islam. Sementara itu Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan
pentingnya akhlak di dalam bekerja. Ghazali mengatakan bahwa seorang pedagang tidak boleh hanya
memfokuskan pandangannya pada dunia saja dengan melupakan akhirat. Sebab kalau jika demikian
maka umurnya sia-sia belaka. Sebaiknya orang yang memiliki akal dianjurkan untuk menjaga modalnya

123
yakni agama dan bisnis berdagang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt ”Janganlah kamu melupakan
bagianmu dari kenikmatan dunia” (al Qashas 28:77). Dengan demikan maka tujuan utama pekerjaan dan
aktivitas ekonomi di dalam Islam bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Selain pandangan di atas banyak teks lain di dalam Alquran juga yang menunjukkan tentang
makna kerja dalam perspektif Islam yang bisa dipetik maknanya bagi kehidupan seorang muslimah dalam
melakukan pekerjaannya.
Pandangan Katolik tentang makna religius ’kerja’ dapat ditemukan secara terperinci di dalam
Kitab Suci Alkitab dan Magisterium Gereja Katolik seperti ensiklik para paus maupun ajaran para Bapa
Gereja Katolik yang lainnya. Salah satu ensiklik terkenal yakni ”Laborem Exercens” pernah dikeluarkan
oleh Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang makna kerja menurut Katolik. Ensiklik Laborem Exercens
mengatakan bahwa manusia adalah citra Allah yang dipanggil oleh Allah untuk bekerja mencari nafkah,
menguasai ilmu dan teknologi (iptek), membangun kebudayaan dan kemanusiaan, peduli pada masalah-
masalah sosial dan perdamaian dunia, serta melakukan pekerjaan dengan tujuan utama untuk
memuliakan Allah Pencipta (Bapa), Allah Penebus (Putera Yesus Kristus) dan Allah Penghibur (Roh Kudus).
Ensiklik juga menegaskan bahwa di dalam dunia kerja, manusia harus diperlakukan sebagai subjek kerja
dan bukan objek kerja. Kerja untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk kerja. Ini artinya
pekerjaan dilakukan untuk memanusiakan manusia dan bukan sebaliknya untuk mengeksploitasi atau
mengorbankan kemanusiaan manusia sebagai makhluk luhur citra Allah.
Pandangan Kristen (Protestan) tentang kerja intinya dapat ditemukan di dalam Kitab Kejadian
Bab 1 di mana Allah dikatakan menciptakan manusia dan alam semesta menurut kehendak Allah dan
semua ciptaan itu baik pada awal mulanya. Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk
mengembangkan diri, menaklukkan bumi dan menguasai isinya dengan cara bekerja. Tuhan
memerintahkan manusia untuk beranak cucu, menaklukkan bumi dan menguasai isinya dengan bekerja.
Malah di teks Perjanjian Baru dikatakan bahwa ’barang siapa yang tidak bekerja, janganlah ia makan’. Ini
artinya bahwa manusia tidak boleh malas tetapi harus rajin dan giat dalam melakukan pekerjaannya di
bidang apa saja untuk mengembangkan diri, memajukan masyarakat dan mengembangkan kehidupan
dunia ini ke arah lebih baik sesuai dengan rencana Tuhan sendiri.
Budha sangat memperhatikan dimensi etika dalam bekerja. Ada banyak aturan dan larangan
yang perlu diperhatikan kaum penganut Budha dalam menjalankan pekerjaannya.
Di dalam Iddhipada di sana dijelaskan kondisi-kondisi umum yang memungkinkan seseorang
Budhis sukses dalam pekerjaannya: 1.) Chanda: kepuasan/kegembiraan dalam mengerjakan hal yang
sedang dikerjakan 2.) Viriya: semangat di dalam mengerjakan sesuatu. 3.) Citta: memperhatikan dengan
penuh hati-hati hal-hal yang sedang dikerjakan. 4.) Vimasa: merenungkan dan menyelidiki alasan-alasan
dalam hal yang sedang dikerjakan. Selain itu di dalam 8 Jalan Kebenaran khususnya mata pencaharian

124
(samma ajiva) dikatakan mata pencaharian yang benar adalah: tidak mengakibatkan pembunuhan,
wajar, tidak berdasarkan penipuan, tidak berdasarkan ilmu rendah (black magic). Ada juga 5 jenis
perdagangan yang harus dihindari oleh orang-orang Budha yakni: dilarang berdagang senjata, dilarang
berdagang makhluk hidup termasuk manusia, dilarang berdagang minuman keras, dilarang berdagang
racun, dilarang berdagang daging. Orang Budha perlu memperhatikan etos kerja di dalam melakukan
pekerjaannya. Hal ini di dalam Kitab Dhammapada bab 25: “Dengan usaha yang giat, penuh perhatian,
berdisiplin, dengan pengendalian diri yang kuat, maka orang bijaksana membuat pulau yang tidak dapat
dilanda oleh banjir”.
Ajaran Hindu tak kalah menariknya soal kerja. Ada banyak kutipan yang menarik berkaitan
dengan pekerjaan manusia. Bagi umat Hindu, bekerja adalah kewajiban (swadharma), bekerja adalah
suatu keharusan, baik itu karena memang perintah dari Tuhan maupun karena tuntutan untuk
kelangsungan hidup di dunia. Kutipan suci kerja menurut Hindu kebanyakan ditemukan di dalam
Bhagawadgita. “Bekerjalah demi kewajibanmu, bukan demi hasil perbuatan itu, jangan sekali pahala
menjadi motifmu dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri tidak bekerja” (Bhagawadgita II.47).
“Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab bekerja lebih baik daripada tidak bekerja, dan
bahkan tubuh pun tidak berhasil terpelihara jika tanpa bekerja” (Bhagawadgita III.8). “Seperti orang
bodoh yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah orang yang pandai bekerja tanpa
kepentingan pribadi (tanpa pamrih) dan bekerja untuk kesejahteraan manusia dan memelihara
ketertiban sosial“(Bhagawadgita III-25). ”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada Brahman
dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana daun teratai tak
basah oleh air” (BhagawadgitaV.10).
Konghucu sangat menghargai pekerjaan yang dilakukan oleh manusia sebagai tindakan yang
ditujukan kepada Thien, Tuhan. Oleh karena itu Konghucu mengajarkan 7 etos kerja atau sikap kerja yang
perlu dimiliki seorang di dalam bekerja, antara lain:
• Ren, murah hati, mencintai dan bersikap baik kepada sesama
• Yi: berlaku benar dan bertanggung jawab, adil, keputusan yang benar diambil dengan sikap
yang benar berdasarkan kebenaran.
• Yong: bersikap berani dan berlaku ksatria
• Zhi: kebijaksanan dalam memutuskan dengan benar,
• Cheng: sikap tulus, setulus-tulusnya, sikap sungguh-sungguh tanpa pamrih
• Li: bersikap santun dan bertindak benar
• Zhong: setia, loyalitas dan mengabdi

125
3. Aspek-Aspek Religius Kerja
a. Bekerja sebagai Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan kejiwaan seseorang untuk melakukan hal yang terbaik dari
apa yang bisa dia lakukan. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan di mana seseorang telah merasa
menjadi dirinya sendiri karena dapat mengerjakan sesuatu yang disukainya dengan hati yang riang
gembira dan penuh sukacita rohani.
Erwin Arianto (2009) mengatakan, orang yang mampu mengaktualisasikan diri, memahami
bahwa ada eksistensi lain di dalam atau di luar dirinya sendiri yang mengendalikan perbuatan dan
tindakannya untuk melakukan sesuatu. Aktualisasi diri erat kaitannya dengan kesadaran untuk mengenali
dan memperbaiki diri dan keinginan untuk mengubah kondisi hidup ke arah yang lebih baik dari waktu
ke waktu.
Abraham Maslow dalam teorinya tentang piramida kebutuhan manusia, menempatkan
aktualisasi diri di posisi titik puncak. Menurutnya aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia yang paling utama. Jadi, bekerja bukan hanya untuk tujuan-tujuan material, melainkan lebih
jauh merupakan sarana/alat untuk mengekspresikan kualitas rohani di dalam diri manusia. Kerja adalah
aktualisasi kualitas-kualitas utama manusia, termasuk di dalamnya tentu kualitas religius-spiritual juga.
Kualitas religius-spiritual diri berkaitan erat juga dengan nilai-nilai etis-moral, keyakinan iman-
keagamaan, prinsip-prinsip dasar yang benar, harapan-harapan luhur-abadi, kerinduan-kerinduan
imaterial masa depan yang lebih baik lagi dari sekarang. Diri spiritual adalah diri yang mau terus berefleksi
dalam bekerja, diri yang mau terus memperbaiki diri, diri yang mau terus kreatif dan berubah menjadi
selalu lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Diri yang spiritual selalu merasa kurang dan karena itu selalu
terbuka untuk belajar dan menyempurnakan diri melalui aktualisasi kerja yang dihayatinya dalam hidup.
Diri yang spiritual selalu melihat kenyataaan hidup, mengolah dalam diri dan selanjutnya menciptakan
diri melalui aksi kreatif-aktif sebagai upaya aktualisasi diri menuju ke arah kesempurnaan sejati dalam
kerja.
b. Bekerja sebagai Panggilan Tuhan
Bekerja sebagai panggilan Tuhan memerlukan kesadaran religius untuk mengembangkan diri
menurut perintah dan hukum-hukum Tuhan. Bertolak dari kesadaran ini, kita terus-menerus bekerja
untuk memperbaiki kondisi tersebut sesuai dengan panggilan Tuhan yang selalu bergema di dalam hati
nurani kita. Bekerja sebagai panggilan Tuhan dapat dilukiskan sebagai usaha untuk merealisasikan
harapan-harapan, keinginan, dan kebutuhan kita sendiri. Namun terlebih pekerjaan sebagai ekspresi
kreatif dari keyakinan iman keagamaan kita kepada Tuhan yang mengutus kita untuk bekerja di bidang
apa saja.
Kalau Tuhan memanggil dan mengutus kita ke tempat kerja maka kita perlu percaya pada Tuhan,

126
percaya diri, percaya sesama rekan kerja, disiplin,bertanggung jawab, dan memiliki kualitas integritas diri
yang baik. Dengan kekayaan religius diri seperti ini, kita bisa mengetahui kekurangan dan kelebihan diri
sehingga mampu mencapai apa yang lebih baik lagi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kekayaan mental
memampukan kita melakukan refleksi (renungan) dan retrospeksi (melihat ke belakang) untuk
melakukan retrodiksi (ramalan) antisipatif ke masa depan yang lebih baik lagi di dalam praktik kerja kita
sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Bricker menulis tentang Makna Spiritual Kerja. Berikut kutipannya:
Pada hemat saya, hidup dalam saat sekarang adalah kunci spiritualitas di segala bidang, tetapi
terutama di tempat kerja. Sangat mudah membiarkan pikiran mengembara dan berjalan begitu saja
selama jam-jam kerja, khususnya jika pekerjaan kita membosankan, mengulang-ulang hal yang sama
atau menjemukan (seperti yang kadang-kadang terjadi pada jenis pekerjaan apapun). Sepenuhnya hidup
dalam saat sekarang, berarti kita dapat melihat nilai kerja yang sedang kita lakukan pada saat kita
melakukannya. Akibatnya, pekerjaan diresapi makna, pekerjaan menjadi bermakna secara spiritual.
Bagaimana dapat tetap hidup seperti itu, tentu saja merupakan persoalan besar. Menurut hemat
saya, kita dapat berbuat seperti itu dengan sebaik-baiknya jika kita menghayati pekerjaan kita sebagai
sebuah doa. Maksudnya bukan berdoa ketika kita sedang bekerja, melainkan memandang pekerjaan
sebagai sebuah panggilan spiritual (doa).
Berpikir mengenai pekerjaan saya sebagai doa, betapapun pekerjaan itu membosankan,
menjemukan, atau tidak menyenangkan-rupanya memperbesar perhatian saya kepada hal-hal kecil dan
dengan demikian secara otomatis meningkatkan mutu serta ketelitian kerja saya. Sungguh, seandainya
saya dapat melakukannya secara konsisten dan teratur! (W.K. Bricker-penulis dan editor).
c. Bekerja dengan Setia sesuai dengan Nilai-Nilai Organisasi/Perusahaan
Bekerja dengan baik itu diharapkan sesuai dengan nilai-nilai luhur di dalam organisasi. Entah itu
nilai keadilan, entah itu nilai keimanan, entah itu nilai kejujuran, entah itu nilai disiplin, entah itu nilai
persaudaraan dll.Kita bekerja dengan baik sesuai dengan nilai-nilai organisasi yang baik dan positif juga.
Bekerja dengan baik dapat juga dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban sebagai pekerja,
keduanya harus terlaksana dengan seimbang. Harus ada keadilan di dalam bekerja. Karyawan wajib
melakukan pekerjaan sesuai dengan aturan-normatif yang sudah ditetapkan oleh perusahaan (pemilik
usaha). Sebaliknya seorang pemilik usaha juga harus memperhatikan hak-hak yang harus didapatkan oleh
para karyawannya. Sehingga antara karyawan dan pemilik usaha selalu berusaha untuk saling melakukan
yang terbaik, berlaku adil satu sama lain. Saling menjaga antara karyawan dan perusahaan merupakan
hal yang mulia di dalam organisasi.
Bekerja dengan baik sangat ditentukan juga oleh visi, misi, dan budaya organisasi perusahaan di
satu pihak; dan faktor budaya, tradisi, dan etos kerja bekerja di pihak lainnya.

127
Di dalam bekerja kita perlu mengintegrasikan secara harmonis berbagai nilai, filosofi, keutamaan,
hak, kewajiban dan nilai rohani dan memperoyeksikannya itu ke dalam tindakan/aksi bekerja dengan
baik. Aksi bekerja dengan baik diarahkan pada pencapaian kualitas kerja yang baik. Kualitas kerja yang
baik menciptakan kedamaian, kebahagiaan dan ketenteraman di hati karyawan sekaligus pemilik usaha.
Namun di atas segalanya, bekerja dengan baik sungguh sesuai dengan hakikat Tuhan sebagai Sang
Mahabaik itu sendiri.
Julia Balzer Briley seorang perawat, pengarang, dan pembicara, dari Kota Cumming,
Georgia menulis pengalamannya terkait aspek pengembangan diri dalam kerja ini. Julia menulis
keyakinan rohaninya dalam kisah inspiratif berikut ini. ”Untuk menambah kedalaman spiritual
dalam kerja saya, saya telah menempatkan diri untuk mengikuti kursus- kursus yang memberikan
sertifikat dalam bidang perawatan secara menyeluruh. Bagian pertama program ini adalah
perawatan diri sendiri. Saya diminta untuk menelaah raga-jiwa-roh saya sendiri. Ini juga
meliputi praktikum terstruktur dalam hal-hal seperti menulis catatan harian tentang perawatan
diri dan spiritualitas kontemplatif. Irama tetap praktik setiap hari itulah yang akan membantu
kita untuk memandang dan menghayati kerja kita sebagai jalan rohani, dan saya berusaha keras,
berjuang sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal ini. Saya merasakan bahwa batas waktu tugas-
tugas selama kursus memberikan kepada saya struktur yang saya perlukan. Saya menjadi terbuka
kepada Allah yang berbicara kepada saya melalui intuisi saya tentang cara saya dapat membantu
para perawat dan orang lainnya yang sepanggilan untuk melihat spiritualitas kerja mereka”
(Pierce: 2010, hlm. 179).
Julia sangat menyadari diri sungguh-sungguh bahwa salah satu bagian penting dari aspek religius
kerja adalah terus-menerus mengembangkan diri dalam bidang profesi yang digelutinya. Terus
mengembangkan diri dalam profesi kerja termasuk bagian religiositas kerja juga. Orang yang terus
mengembangkan diri akan menunjukkan kualitas kerja yang baik dan semakin tinggi pula. Kualitas kerja
perlu diwujudkan dalam jenis kerja apapun profesi yang digeluti.

128
Benarlah pepatah menarik Martin Luther King Jr, :
”Jika orang dipanggil menjadi penyapu jalan, ia harus menyapu jalan
tidak ubahnya seperti Michel Angelo melukis,atau Beethoven menggubah musik, atau
Shakespeare menulis puisi.Ia harus menyapu jalan dengan sedemikian baiknya,
sehingga segenap penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata:
Hiduplah seorang penyapu jalan yang besaryang melaksanakan pekerjaannya dengan
baik” (Pierce: 2010, hlm. 78).

Pekerjaan itu tidak perlu dibandingkan. Karena semua orang yang bekerja di dalam perusahaan atau
organisasi sama-sama memainkan perannya untuk kepentingan bersama. Karena itu semua
pekerjaan baik adanya. ”Jika Anda membandingkan pekerjaan dengan pekerjaan, maka ada
perbedaan besar antara pekerjaan mencuci piring dan pekerjaan mewartakan firman Tuhan, tetapi
dalam hal menyenangkan hati Allah, kedua pekerjaan itu sama sekali tiada bedanya” (William
Tyndale).

Terdapat 10 Cara Agar Kerja Dapat Bersifat Rohani:


Cara 1: Meletakkan barang-barang ”Suci” di sekililing Anda !
Cara 2: Hidup dengan menerima sifat tidak sempurna
Cara 3: Menjamin mutu
Cara 4: Mengucapkan terima kasih dan selamat
Cara 5: Membangun dukungan dan persaudaraan
Cara 6: Memperlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan
Cara 7: Memutuskan apa yang ”Cukup” dan berpegang teguh pada keputusan Anda
Cara 8: Menyeimbangkan berbagai tanggung jawab
Cara 9: Bekerja untuk membuat ”Sistem” berjalan dengan baik
Cara 10: Terus-menerus mengembangkan pribadi dan profesi (Gregory Pierce)

4. Menghayati Religiousitas Kerja


a. Bersikap Disiplin
Untuk melakukan pekerjaan sampai tuntas, sangat dibutuhkan sikap disiplin. Tanpa sikap
disiplin, orang akan sulit menyelesaikan pekerjaannya hingga selesai. Disiplin adalah salah satu
nilai penting yang perlu dihayati seorang karyawan di bidang profesi apa saja entah sosial dan
ekonomi maupun politik dan pemerintahan. Pekerjaan apa saja tidak mungkin berhasil efektif tanpa
adanya sikap disiplin. Sikap disiplin kerja, entah itu disiplin waktu, disiplin terhadap peraturan

129
perusahaan (top-down), maupun disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) sangat
berkaitan erat dengan hal-hal bernilai yang seharusnya dihayati seorang pekerja (karyawan/manajer)
di lingkungan perusahaan atau tempat kerja.
Menurut Hodges (Yuspratiwi:1990) disiplin adalah sikap seseorang atau sekelompok orang
yang berniat mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh suatu lingkungan kerja. Disiplin
kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan atau kepatuhan karya wan
terhadap peraturan perusahaan atau organisasi. Tanpa didasari dengan kedisiplinan maka tujuan
perusahaan sulit tercapai, sebab roda perusahaan sangat tergantung pada perilaku disiplin manusia -
manusia yang bekerja di dalamnya.
Sikap dan perilaku taat peraturan/norma perusahaan muncul dari dalam hati nurani
karyawannya. Hal ini mengandaikan adanya kesadaran diri yang tinggi dari karyawan dalam bekerja.
Sikap disiplin kerja biasanya ditandai oleh adanya berbagai inisiatif, usaha, niat, kemauan, dan
kehendak baik untuk mentaati peraturan dengan ikhlas dan loyal. Karyawan yang berdisiplin tinggi,
tidak semata-mata patuh/ taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi terlebih
berkehendak (berniat) baik untuk menyesuaikan diri dengan peraturan- peraturan perusahaan. Ini
artinya seorang karyawan perlu bersikap rendah hati untuk taat aturan perusahaan yang ada demi
kebaikan dirinya sendiri. Aturan sebetulnya ada untuk melindungi kebaikan pribadi karyawan itu
sendiri.
Avin Vadilla Helmi (Buletin Psikologi 1996) menunjukkan tiga (3) indikator disiplin kerja
sebagai berikut:

• Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja saja,
misalnya datang dan pulang sesuai dengan jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak
mencuri-curi waktu saja.
• Upaya dalam mentaati peraturan tidak boleh didasarkan adanya perasaan takut atau
terpaksa.
• Komitmen dan loyal pada perusahaan tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja.
Alvin menambahkan bahwa yang sering menunjukkan ketidakdisiplinan terlihat dari tingkat
absensi yang tinggi, penyalahgunaan waktu istirahat dan makan siang, meninggalkan pekerjaan
tanpa ijin, membangkang, tidak jujur, berjudi, berkelahi, berpura-pura sakit, sikap manja yang
berlebihan, merokok di tempat terlarang, dan perilaku yang menunjukkan semangat kerja yang
rendah. Ini sikap-sikap negatif kontradisiplin yang perlu diinsafi oleh para karyawan dalam dunia
profesi apa saja.
Umumnya perusahaan memberikan ganjaran dan hukuman (reward and punisment) untuk
memperlancar penerapan peraturan perusahaan. Bagi karyawan yang terus-menerus menjalankan

130
peraturan perusahaan diberikan ganjaran (reward), sebaliknya karyawan yang melanggar peraturan
diberikan hukuman (punishment) untuk menimbulkan efek jera dan perbaikan kinerja. Para
pimpinan perusahaan sering kali dalam banyak kesempatan mengungkapkan kata-kata bijak dalam
pertemuan-pertemuan: “Give the best to corporation, and the best will return to you”.
Disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom-up) berbeda dengan disiplin terhadap
peraturan perusahaan. Kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang bersifat individual semata,
melainkan juga membutuhkan disiplin terhadap komitmen kelompok tim kerja. Tim-tim kerja akan
menghasilkan pekerjaan yang optimal jika setiap anggota kelompok dapat memberikan andil yang
sesuai dengan hak dan tanggung jawab masing-masing. Kaitan antara disiplin terhadap peraturan
perusahaan secara top-down dengan disiplin kelompok (tim kerja) secara bottom-up sebagai upaya
saling melengkapi dan saling menunjang. Disiplin dari pimpinan tertinggi perusahaan ke bawah (top-
down) tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok yang dibangun
oleh tim kerja dari karyawan yang paling rendah hingga pimpinan yang tertinggi.
Disiplin di tempat kerja tidak hanya semata-mata patuh atau taat terhadap sesuatu yang kasat mata,
seperti penggunaan seragam kerja, datang dan pulang sesuai jam kerja, tetapi juga patuh dan taat
terhadap sesuatu hal yang tidak kasat mata tetapi melibatkan komitmen, baik dengan diri sendiri
ataupun dengan organisasi (kelompok kerja).
Disiplin
Dalam pekerjaan kita sehari-hari, kita harus juga menjadi pencipta dunia, lebih baik memberikan
perhatian kepada apa yang sedang kita lakukan-mempertanyakan nilai, maksud, proses kerja, dan
juga sarana-sarana serta tujuan-tujuan dari kerja kita. Kita perlu sedikit disiplin untuk hal-hal ini.
Tidak mudah melihat kesempatan-kesempatan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi bila
menghadapi sekian banyak telepon yang belum dijawab pada daftar tugas sehari-hari kita,
terjadinya gangguan pada komputer, laporan yang harus segera diselesaikan, dan klien yang marah-
marah di telepon. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah memperjelas tujuan-tujuan kita ketika
kita sedang tidak bekerja. Kita perlu berpikir-ketika sedang tidak bekerja-baik itu penyair, pencetak,
pedagang, pengajar, pengacara, perawat, penjaga parkir, pramuniaga,
pastor/pendeta/ustad/biksu, pengusaha, manejer, direktur, ataupun wartawan yang bagaimanakah
yang menjadi keinginan kita? Disiplin berpikir seperti ini dapat membangkitkan sikap sadar yang
lebih tinggi ketika kita kembali ke tengah hingar-bingar tempat kerja kita. Bagaimana memberikan
perhatian yang dapat meningkatkan kesadaran kita akan yang ilahi/transenden? Keduanya
merupakan hal yang sama (Michael Coyne).

131
b. Bekerja sesuai dengan Sistem Nilai dan Lingkungan
Dalam bekerja orang cenderung bertindak berdasarkan nilai-nilai dasar yang diyakini dan
dianutnya. Hal ini terkait erat dengan masalah sistem nilai. Sistem nilai yang dianut akan terlihat jelas
dari sikap yang tercermin dalam perilaku seseorang. Menurut Kelman (Brigham: 1994), perubahan
sikap ke dalam perilaku terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu disiplin dalam pelaksanaan kerja karena
kepatuhan, disiplin pelaksanaan karena identifikasi, dan disiplin pelaksanaan kerja karena
internalisasi.
Kepatuhan kerja terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut
dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan perusahaan atau atasan yang
memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat kerja, maka disiplin kerja tidak
tampak sama sekali. Seorang karyawan akan bersikap pura-pura atau munafik. Ia kurang sadar
dalam bekerja dan ini tanda ketidakdewasaan karyawan. Inisiatif, visi dan kreativitas sulit diharapkan
dari tipe karyawan seperti ini. Kepatuhan akan aturan kerja yang didasarkan pada identifikasi adalah
adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang karismatik adalah
figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan menunjukkan disiplin
terhadap aturan-aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut, tetapi
lebih disebabkan karena keseganan pada atasannya.
Karyawan merasa tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan penghargaan
karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai
kualitas profesional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada, maka disiplin
pelaksanaan kerja akan menurun dan pelanggaran pun meningkat frekuensinya di tempat kerja.
Maka sebetulnya setiap karyawan harus bisa menghayati kerja sampai pada level
internalisasi nilai ini. Internalisasi menjadi ukuran kedewasaan sikap, kematangan kepribadian dan
kompetensi kerja yang ideal. Hal ini mengandaikan adanya kemampuan untuk memaknai kerja
secara spiritual, jika tidak, maka kerja yang dilakukan akan kehilangan makna dan relevansi positifnya
bagi organisasi.
c. Berani Menanggung Risiko
Seorang pekerja, baik sebagai karyawan maupun pimpinan (manejer) harus berani
menghadapi risiko kerja. Risiko kerja memiliki konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat berbeda, tak
pasti, dan efek yang sering kali bersifat personal.
Konsekuensi luas maksudnya keputusan etis membawa konsekuensi yang besar. Misalnya,
karena menyangkut masalah etika bisnis terkait pencemaran lingkungan maka manejemen
memutuskan penutupan suatu perusahaan dan pindah ke tempat lain yang jauh dari tempat tinggal
karyawan. Hal itu akan berpengaruh terhadap kehidupan karyawan, keluarganya, masyarakat dan

132
urusan lainnya.
Alternatif ganda maksudnya, beragam alternatif sering terjadi pada situasi pengambilan
keputusan dengan jalur di luar aturan (extra ordinary). Sebagai contoh, perusahaan memutuskan
seberapa jauh keluwesan dalam melayani karyawan tertentu dalam hal persoalan keluarga
sementara terhadap karyawan lain menggunakan aturan yang ada.
Akibat berbeda maksudnya, keputusan-keputusan dengan dimensi-dimensi etika bisa
menghasilkan akibat yang berbeda yang positif dan negatif. Misalnya mempertahankan pekerjaan
beberapa karyawan di suatu pabrik dalam waktu relatif lama mungkin akan mengurangi peluang para
karyawan lainnya untuk bekerja di pabrik itu. Di satu sisi keputusan itu menguntungkan perusahaan
tetapi dari pihak karyawan justru dirugikan.
Ketidakpastian konsekuensi maksudnya, akibat keputusan-keputusan sering kali tidak
diketahui secara tepat. Misalnya pertimbangan penundaan promosi pada karyawan tertentu yang
hanya berdasarkan pada gaya hidup (life style) dan kondisi keluarganya padahal karyawan tersebut
benar-benar kualified secara personal dan profesional.
Efek personal maksudnya keputusan-keputusan tak etis sering mempengaruhi kehidupan
karyawan dan keluarganya, misalnya akibat pemecatan di samping membuat sedih si karyawan juga
akan membuat susah keluarganya. Kasus lain misalnya kalau para pelanggan asing tidak
menginginkan dilayani oleh “sales” wanita maka akan berpengaruh negatif pada masa depan karir
para “sales” tersebut.

d. Bekerja dengan Penuh Kebebasan dan Inisiatif :


• Bebas dalam Konteks Etika Religius Kerja
Etika religius kerja (ERK) adalah prinsip normatif yang mengandung sistem nilai dan
keyakinan moral religius sebagai pedoman bagi setiap individu baik sebagai manejer maupun
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya di tempat kerja.
Kebijakan manejemen terhadap karyawan mesti berlandaskan etika atau nilai-nilai yang etis
dan baik. Sebagai contoh, misalnya keadilan dan keterbukaan dalam hal kompensasi, karir, dan
evaluasi kinerja karyawan. Termasuk dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang integratif. Jadi,
setiap keputusan etika dalam perusahaan tidak saja dikaitkan dengan kepentingan pihak
manejemen, tetapi juga perlu melihat akibat baiknya untuk pribadi si karyawan di masa depannya.
Masalah kompleks yang sering dihadapi oleh para manejer adalah dalam menghadapi
tingkah laku para karyawan. Keadaan ini bisa menjadi tekanan dan bahkan tantangan dalam
menerapkan aspek etika kerja seperti ketidak-jujuran, ketidak-disiplinan, ketidak-adilan, kecurangan
pertanggung-jawaban administrasi, keegoan dsb. Karena itu muncul perhatian besar bagaimana

133
caranya agar para karyawan dan tentunya juga manajer bekerja dengan standar etika tertentu.
Etika religius kerja karyawan terpancar keluar dari keyakinan imannya tentang nilai-nilai
kebijaksanaan utama dalam bekerja. Karyawan yang memiliki kualitas religius yang cukup memadai
akan bekerja dengan penuh tanggung jawab, adil dan jujur, loyal, ulet dan setia pada pekerjaannya.
Etika religius kerja memotivasi karyawan untuk bekerja berlandaskan nilai-nilai keyakinan
rohani daripada berorientasi pada motivasi-motivasi materialistik belaka seperti uang, kuasa, ambisi,
popularitas dan sebagainya. Etika religius kerja mewajibkan karyawan mengabdi pada pekerjaannya
semata-mata sebagai hal yang bernilai rohani tanpa memiliki vested interested (kepentingan khusus)
atau pun hidden agenda (agenda terselubung) tertentu yang picik dan murahan.
• Bebas dalam Konteks Etika Religius Bisnis
Etika religius bisnis (ERB) adalah suatu prinsip etis-moral, religius-spiritual yang harus diikuti
apabila menjalankan bisnis atau usaha di bidang apa saja. Bisnis dimaknai sebagai segala aktivitas
produktif untuk mendapatkan keuntungan, uang atau modal. Maka ruang lingkup bisnis bisa
mencakup bidang apa saja seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, dan praktik kerja profesional apa
saja yang mendatangkan kegunaan pragmatis dari sisi uang/modal. Etika religius bisnis mengalir dan
meresapi bidang kerja manusia dalam ranah publik dan tatanan sosial.
Keputusan perusahaan tanpa etika religius bisnis, biasanya timbul jika pengambilan
keputusan hanya untuk menguntungkan pihak perusahaan, tanpa mempedulikan tanggung jawab
sosial pada kemanusiaan. Praktik bisnis yang tidak etis-religius dapat berpengaruh buruk terhadap
citra perusahaan. Karena perusahaan bisa saja mencapai untung besar namun memperlakukan
karyawan secara tidak adil dan tidak manusiawi. Sehingga melecehkan martabat karyawan sebagai
makhluk Tuhan yang bermartabat luhur. Maka di sini perlulah dikembangkan sebuah model etika
bisnis yang berkarakter religius di dalam perusahaan.
Dalam membangun etika bisnis kita, dalam membantu menciptakan kebudayaan bersama,
dalam menegakkan semangat interaksi dengan sesama rekan kerja dan anggota keluarganya, dalam
segala sesuatu yang kita lakukan, kita diajar untuk ”melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah”
(Pierce: 2010, hlm. 13). Pelaksanaan etika religius bisnis perlu diarahkan bukan untuk sekedar untuk
memenuhi standar formal-normatif, melainkan terlebih dilaksanakan dalam semangat kesadaran
rohani untuk meluhurkan dan memuliakan Tuhan (Allah). Etika religius bisnis perlu
ditransendensasikan nilai dan maknanya secara rohani. Jadi, bukan soal praktik aturan/norma
standar yang mengatur hubungan formal manusiawi saja. Namun perlu diproyeksikan maknanya
pada nilai yang lebih tinggi, lebih luhur, lebih agung yakni tindakan religius untuk memuliakan Tuhan.
Semua kebijakan, aturan dan hukum bisnis mesti dilihat sebagai inkarnasi dari hukum rohani
tertinggi yang berasal dari Tuhan sendiri. Kalau hukum Tuhan adalah hukum tertinggi dalam hidup

134
manusia, mestinya perusahaan takut melakukan kegiatan bisnis yang merugikan pihak lain: baik
manusia maupun lingkungan. Pelaksanaan dan implementasi hukum-normatif dalam perusahaan
harus membawa efek positif-etis bagi semua komponen.
Selain implementasinya yang diperuntukkan bagi karyawan, etika religius bisnis juga perlu
menjamin tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan. Realisasinya dapat diekspresikan
melalui penciptaan kode etik relasi perusahaan dengan klien, menampung aspirasi/keluhan mereka,
dan meminta umpan balik (feed back) dari pelanggan. Di sini kita belajar untuk mendengarkan saran
dan masukan dari bawah, dari pihak pelanggan. Sebuah “spiritualitas mendengarkan” aspirasi arus
bawah penting diperhatikan.

C. PENUTUP
Kita sudah melihat bersama bahwa bekerja bukan hanya berorientasi uang atau materi
namun jauh lebih dari itu, bekerja bernilai mulia untuk kehidupan, kemanusiaan, dan aspek-aspek
etika serta nilai-nilai religius. Kita perlu tahu juga bahwa uang atau materi bukan tujuan utama dalam
bekerja, melainkan hanya salah satu bagian saja dari pekerjaan kita. Bahkan uang atau materi itu
hanyalah konsekuensi atau akibat saja dari pekerjaan kita. Hendaknya kita sebagai orang beragama
bijaksana dan bekerja dengan penuh etika dan nilai religius sehingga membawa pengaruh, dampak
dan akibat yang positif dalam segala kegiatan yang kita lakukan khususnya dalam dunia
profesionalisme kita. Kita perlu bekerja dengan kesadaran religius sehingga kita dapat menjauhkan
diri dari sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang merugikan di tempat kerja. Sebagai kaum muda, kita
perlu menanamkan kesadaran ini di dalam diri kita sejak kita kuliah di lingkungan perguruang tinggi
sehingga pada saatnya nanti kita bekerja, kita sudah siap untuk bekerja dengan profesional dan juga
berbasis pada nilai-nilai etis-moral dan religius-spiritual.

Tugas:
Refleksi Pribadi
Buatlah sebuah refleksi terkait nilai-nilai keutamaan etis-religius yang perlu dalam bidang pekerjaan
sesuai dengan cita-cita Anda di masa depan!

Referensi
• Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu (Kitab Suci
Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.

135
• Ensiklik Laborem Exercens” dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tentang Makna Kerja
menurut Pandangan Katolik. Vatikan: Sekretariat Kepausan.
• Frederikus Fios dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building: Spiritual
Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
• Hubert Leteng (2005). “Filsafat dan Spiritualitas” dalam Jurnal Ledalero Vol. 4 No. 2.
Maumere: Penerbit Ledalero
• https://www.islampos.com/arti-bekerja-dalam-islam-25564/
• http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/05/bekerja-menurut-hindu.html
• http://confucius-rohaniwan.blogspot.co.id/2009/12/7-etos-kerja-dalam-perspektif-
agama.html

136
Topik 13
BECOMING A RELIGIOUS PERSON

Learning Outcome:
LO4: Apply the religious values in the contex of human relation, environment, and work world.
Session outcomes:
Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu:
• menjelaskan pengertian iman dan cinta pada Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri
• mengaplikasikan iman pada Tuhan, cinta pada sesama, cinta pada alam dan diri sendiri
• menunjukkan kerjasama dan kesadaran sosial dalam aktivitas yang dilakukan di dalam dan
luar kampus

A. PENDAHULUAN
Kalau dilihat dari alur pembahasan topik-topik perkuliahan ini, maka sebetulnya bagian ini
merupakan pemuncakan dari materi perkuliahan Character Building: Agama. Topik ini merangkum
semua topik lain yang sudah dibahas pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Isi topik terakhir ini
berjudul “Menjadi Pribadi yang Religius”. Bagaimana profil atau prototipe pribadi yang religius itu?
Ada empat (4) dimensi penting yang menunjukkan indikator atau model pribadi religius itu
dalam konteks cinta dan relasinya dengan others (yang lain), yakni cinta terhadap Tuhan, cinta
terhadap diri sendiri, cinta pada sesama dan cinta pada alam lingkungan. Penekanan yang akan
menjadi fokus pembahasan di sini adalah bahwa Menjadi Pribadi Religius terutama secara khusus
bagi orang beriman/beragama menuntut adanya sikap percaya pada Tuhan, cinta pada diri sendiri,
cinta pada sesama, dan cinta pada alam lingkungan. Keempat aspek ini merupakan satu kesatuan
intrinsik yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Salah satu ciri setiap orang beragama
adalah bahwa ia percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun percaya pada Tuhan Yang Maha Esa
pada umumnya selalu dikaitkan dengan sikap-sikap positif terhadap diri sendiri, sesama dan
alam lingkungan. Dengan demikian bagi orang beriman, cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama
dan cinta pada alam lingkungan mengeskpresikan kepercayaan seseorang pada Tuhan Yang Maha
Esa.
Percaya pada Tuhan saja tidak cukup! Percaya pada Tuhan bersifat vertikal. Hal ini tidak
cukup bagi manusia. Percaya pada Tuhan bersifat imperatif yang mendorong manusia untuk
mencintai dirinya, mencintai sesama dan alam lingkungan. Cinta pada diri sendiri, cinta pada sesama
dan cinta pada lingkungan merupakan prasyarat bagi setiap manusia untuk dapat hidup dengan baik
di muka bumi ini. Cinta pada diri sendiri berarti melakukan semua yang terbaik untuk diri sendiri,

137
seperti mengembangkan bakat yang ada pada diri sendiri, memelihara kesehatan baik fisik,
psikologis maupun sosial. Melakukan semua yang terbaik bagi diri sendiri merupakan modal yang
dapat digunakan untuk melakukan yang terbaik kepada sesama dan lingkungan. Seseorang yang sakit
misalnya tidak dapat melakuakan apa pun kepada orang lain dan lingkungan. Atau orang yang malas
belajar tentu saja akan menjadi beban bagi masyarakat secara luas atau keluarga pada khususnya.

B. PEMBAHASAN
1. Iman dan Cinta Pada Tuhan
Setiap orang beriman membangun kehidupan religius-spiritualnya berbasis pada
kepercayaan dan cinta pada Tuhan. Dengan percaya dan cinta pada Tuhan aspek religius kehidupan
orang beriman menjadi berbeda dari orang yang tidak beriman. Kalau orang yang tidak percaya pada
Tuhan membangun spiritualitas kehidupannya berbasis pada pemikirannya sendiri, maka religiositas
kehidupan orang beriman berbasis pada relasi cinta dan imannya yang mendalam terhadap Allah
yang diimaninya.
Beriman dalam konteks keagamaan selalu bermakna bahwa seseorang menerma kebenaran
tertentu dan apa saja yang berkaitan dengan kebenaran tentang Tuhan. Orang mener ima
kebenaran itu sebagai sesuatu yang pasti, kokoh dan tetap. Kebenaran itu tidak berubah-ubah. Kita
tidak ragu dalam hati tentang kebenaran Tuhan sebagai sesuatu yang pasti dan absolut. Pernyataan
ini mau menggambarkan bahwa iman lebih sering dipahami sebagai sikap hati, dan tidak ada orang
lain yang tahu, kecuali subjek atau orang yang percaya itu sendiri. Dengan sikap hati itu manusia
mempercayakan dirinya sebulat-bulatnya kepada Tuhan, mengandalkan Tuhan sepenuh-penuhnya
dalam dinamika kehidupannya. Dalam pengertian ini, iman berarti penyerahan diri dan kepasrahan
yang total kepada Tuhan. Iman dalam konteks relasi dengan Allah, dipahami juga sebagi bentuk
jawaban manusia terhadap pewahyuan Tuhan. Secara umum agama-agama mengakui bahwa Tuhan
telah mewahyukan dirinya kepada manusia.
Justru karena telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia, maka Tuhan yang tidak dikenal
menjadi dikenal dan dapat disembahsujuti oleh manusia yang percaya. Iman dalam konteks ini
merupakan tanda penermaan manusia terhadap pewahyuan Tuhan tersebut. Manusia percaya
bahwa pewahyuan tersebut adalah pasti. Tuhan mewahyukan dirinya kepada manusia di satu sisi,
pada sisi yang lain manusia percaya bahwa pewahyuan tersebut benar adanya (bdk Gea, Rahmat,
Wulandari, 2006).
Beriman dan cinta pada Tuhan tidak semata-mata merupakan sikap batin yang sifatnya
personal. Beriman pada Tuhan menuntut sikap-sikap tertentu. Sikap-sikap tersebut biasanya
dinyatakan dalam bentuk ritus-ritus tertentu. Ritus-ritus tersebut sebagaimana yang dijelaskan pada

138
bagian lain dari pembelajaran ini berkaitan dengan sikap tubuh, waktu dan ruang tertentu dalam
membina relasi dengan Tuhan. Ada sikap berdiri, duduk, berlutut, bersujud dan lain sebagainya.
Sikap-sikap tersebut biasanya pada umumnya dintunjukan atau dilakukan pada waktu-waktu
tertentu. Setiap agama dalam konteks ini telah menetapkan waktu-waktu tertentu kapan manusia
melakukannya. Selain itu, setiap agama juga telah menetapkan dimana sikap-sikap tersebut
dilakukan. Secara pribadi sikap-sikap tersebut dapat dilakukan pada ruang-ruang privat, dan secara
kolektif, berjemaah, sikap-sikap tersebut dilakukan ditempat-tempat yang ditetapkan sebagai
tempat ibadat.
Pada waktu dan tempat tersebut, manusia mengubah prilakunya menjadi lebih khusus dan
spesial sehingga mengekspresikan iman dan cintanya pada Tuhan. Kalau dalam waktu-waktu dan
tempat-tempat yang lazim/umum manusia ribut, bergosip, marah, tidak sopan dan lain sebagainya,
namun pada waktu dan tempat khusus tersebut, manusia berlaku sopan, tenang dan sikap-sikap
pantas lainnya yang menunjukkan iman dan kecintaannya terhadap Tuhan.
Beriman, selain ditunjukan melalui sikap batin yang kokoh dan pasti yang pasti pada
pewahyuan Allah dan ditunjukan melalui ritus-ritus, beriman juga dintunjukkan melalui secara terus
menerus membangun relasi yang dengan Tuhan. Orang beriman akan selalu membangun relasi
pribadi dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan dapat dilakukan dengan membiasakan diri berdialog
melalui doa-doa pribadi kepada Tuhan. Doa-doa pribadi dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama
adalah bahwa setiap orang beriman menyampaikan peromohan dan pujian kepada Tuhan, dan sisi
kedua, setiap orang beriman dilatih untuk mendengarkan pesan-pesan Tuhan. Pesan-pesan Tuhan
pada umumnya dapat didengar melalui suara hati orang beriman. Beriman dalam konteks sisi kedua
ini berarti mendengarkan apa yang Tuhan kehendaki untuk dilakukan oleh manusia. Dalam
kehidupan sehari-hari sisi kedua iman ini sering diabaikan. Hal ini telah mengakibatkan manusia
menjadi kurang atau tidak peka terhadap pesan-pesan Tuhan bagi hidupnya.
Orang beriman cenderung membiasakan diri dengan sisi pertama dari doa yakni
menyampaikan permohanan dan pujian.
Setiap orang beriman mengakui bahwa Tuhan mengetahui segala hal mengenai hidup
manusia. Orang berman juga mengakui bahwa Tuhan akan selalu memberikan apa yang terbaik bagi
manusia menurut rancangan Tuhan sendiri. Namun dalam kehidupan sehari-hari orang beriman
cenderung melakukan apa yang mereka maui, dan bukan berdasarkan apa yang Tuhan maui. Bahkan
ada kecenderungan manusia memaksakan kehendaknya pada Tuhan.
Biasanya orang beriman selalu menghendaki apa yang menyenangkannnya. Atau secara
konseptual, orang berman cenderung altrustik. Sikap altruistic ini biasanya berkaitan dengan tubuh
dan berisifat material. Oleh karena itu, semua pengalaman yang tidak menyenangkan tubuhnya

139
dianggapnya sebagai penderitaan. Orang yang membiasakan dirinya berdoa dengan mendengarkan
pesan-pesan Tuhan dapat saja mengalami penderitaan tubuh sebagai salah satu bentuk sa paan
Tuhan baginya. Melalui penderitaan itu, orang beriman menyadari keterbatasannya, atau melalui
penderitaan itu orang beriman dapat menjadi lebih dekat dengan Tuhan, atau melalui penderitaan
itu manusia dapat merenungkan prilaku-prilaku buruk yang telah ia lakukan di masa-masa yang lalu.
Orang yang tekanan darah tinggi, atau debar jantungnya tidak lasim misalnya dapat merenungkan
bahwa jangan-jangan ia adalah pendendam atau pemarah. Dua sikap ini dapat saja mempengaruhi
tekanan jantung atau daranya. Tekanan darah dalam hal ini merupakan pesan untuk bersikap lebih
mengasihi. Sikap mengasihi adalah perintah utama Tuhan untuk dilakukan oleh manusia, yang dalam
beragam agama dibahasakan dengan kata yang beragam-ragam. Orang yang mengalami sakit
diabetes sebagai contoh yang lain merupakan kondisi melalui mana orang beriman dapat
merefleksikan hidupnya bahwa mungkin ia terlalu rakus dan tidak hidup sederhana. Kerakusan dalam
konteks ini mengurangi kesempatan untuk berbagi dengan orang lain. Sehingga dengan mengalami
sakit diabetes, orang beriman memiliki kesempatan untuk berbagi dengan orang lain. Singkatnya
orang beriman mengalami setiap peristiwa hidupnya baik menyenangkan maupun tidak
menyenangkan sebagai tanda berkat Tuhan bagi hidupnya. Oleh karena sebagai tanda berkat Tuhan,
orang beriman tidak akan mengeluh terhadap apapun.
Sikap orang beriman biasanya lebih tenang, damai dan bersukacita. Ia tenang dan damai
sebab ia percaya bahwa Tuhan lah yang menyelenggarakan hidupnya. Kepercayaan seperti ini tentu
saja hasil dari relasi yang dibangunnya secara terus menerus dengan Tuhan.
Oleh karena ia percaya bahwa Allah lah yang menyelenggarakan hidupnya, ia bersukacita.
Dengan demikian, sikap-sikap seperti takut, cemas, murung, cemberut, marah, dendam dan sikap-
sikap negatif lainnya merupakan refleksi bahwa orang tersebut kurang atau belum beriman. Setiap
orang beriman seharusnya hidup selalu dalam suka cita sebabia percaya bahwa Allah lah yang
menyelenggarakan hidupnya.

2. Cinta pada Diri Sendiri


Selain beriman pada Tuhan, seseorang yang memiliki religiositas yang baik tampak pada
tindakan mencintai diri sendirinya sendiri. Ada ungkapan yang sudah lazim disebut-sebut hampir
oleh begitu banyak orang pada umumnya, dan orang yang beragama pada khususnya yaitu “cintailah
sesamamu manusia seperti Anda mencitai dirimu sendiri.” Ungkapan ini menunjukan bahwa
sebelum kita mencintai orang lain sebagai sesama, seseorang harus terlebih dahulu mencintai dirinya
sendiri. Dengan demikian mencintai orang lain merupakan gambaran dari cinta pada diri kita sendiri.
Kita tidak akan pernah mampu mencintai orang lain dengan baik, jika kita tidak sanggup mencintai

140
diri kita sendiri.
a. Yang Terbaik Untuk Tubuh
Yang terbaik untuk tubuh adalah tidak memberikannya apa yang dapat merusak tubuh itu
sendiri. Hal-hal yang merusak tubuh adalah makanan yang tidak berfungsi baik bagi tubuh melainkan
berfungsi sebagai racun yang mematikan, racun yang membuat tubuh tidak dapat bertumbuh dan
berkembang dengan baik. Hal-hal yang merusak tubuh lain adalah minuman yang dapat membuat
tubuh menjadi rusak. Kita dapat mengakses berita-berita yang berkaitan dengan dampak buruk dari
makanan dan minuman terhadap kesehatan manusia. Selain itu, begitu banyak perilaku yang
merusak tubuh manusia.
Tuhan menciptakan tubuh manusia dengan standar yang berbeda-beda. Dua orang
memakan daging yang sama. Akibat yang dialami oleh keduanya dari makan daging yang sama itu
berbeda-beda. Bagi yang satu, daging dapat meningkatkan energinya, namun bagi yang lain
menyebabkan kolesterolnya menjadi naik. Demikian juga dengan makan cabe. Cabe yang sama
dimakan oleh dua orang yang berbeda, akibatnya bias berbeda.
Pada yang seorang, dengan memakan cabe, gairah makannya menjadi lebih baik, namun bagi
seorang yang lainnya, cabe dapat meningkatkan asam lambungnya. Gejala-gejala ini menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki standar tubuh yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, setiap orang
harus belajar memberkan apa yang terbaik bagi tubuhnya masing-masing supaya tubuh dapat
berfungsi dengan baik dan sehat. Tentu saya minum air putih sebanyak- banyaknya, berolahraga
secukupnya, beristirahat pada waktunya, melakukan aktivitas-aktivitas merupakan juga hal-hal yang
baik bagi tubuh kita. Tubuh terbentuk dari air dan secara alamiah membutuhkan aktivitas. Orang
yang hanya diam saja dan tidak mengkonsumsi air dengan cukup cenderung menderita sakit. Sakit
dalam hal ini dapat disimpulkan karena kita melawan hakekat dan alam tubuh kita.
b. Yang Terbaik Untuk Jiwa
Yang terbaik untuk jiwa adalah tidak memberikan apa yang dapat merusak jiwa itu sendiri.
Hal-hal yang merusak jiwa adalah marah, kecewa, putus asa, cemas, tidak sabar, sombong, tidak
peduli, tidak memaafkan, dendam, malas, dan lain sebagainya. Yang menghubungkan
seseorang dengan seseorang yang lainnya, atau seseorang dengan Allah pada prinsipnya adalah jiwa.
Sikap-sikap yang merusak jiwa tersebut akan membuat kita terisolasi. Kita terisolasi dari sesama, dan
terutama dari Allah. Berada dalam keterisolasian adalah berada dalam kesepian dan kesepian akan
terus memelihara sikap-sikap yang merusaka jiwa. Sebuah lingkaran setan.
Tubuh dan jiwa berkaitan satu dengan yang lainnya. Tubuh yang rusak dapat menghambat
ekspresi jiwa. Senyum adalah panggilan jiwa. Media yang digunakan untuk senyum adalah bibir.
Kalau kita sariawan tentu mengganggu seyum kita. Kita tidak dapat berbagi kalau tubuh kita tidak

141
berfungsi dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jiwa yang rusak dapat mengganggu fungsi tubuh.
Marah dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, gangguan pada jantung. Orang yang stress dan
cemas dapat mengganggu fungsi lambung, dan demikian seterusnya.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa mencintai diri berkaitan dengan kesehatan
tubuh dan kesehatan jiwa. Kedua hal itu sama-sama pentingnya. Namun, dalam kehidupan sehari-
hari jarang kita menempatkan keduanya pada tempat yang layak. Bahkan kecenderungannya, kita
menempatkan tubuh lebih penting dan mengorbankan jiwa.
Kita marah, cemas, takut, kalau-kalau penampilan tubuh, tidak pas dengan apa yang
diiklankan dalam media-media yang kita tatapi saat demi saat. Bukan mendengarkan bagaimana jiwa
mengatakan apa yang pantas bagi tubuh kita. Kita memenjarakan jiwa kita dalam tubuh. Penjara
tentu membuat hidup kita menjadi kerdil.
Sehat tubuh dan sehat jiwa merupakan syarat penting untuk dapat mencintai sesama. Kalau
tubuh dan jiwa tidak sehat tidak dapat mencintai sesama dengan baik. Orang yang suka marah,
cemberut, murung, pesimis akan dijauhi orang lain, kalau demikian bagaiman kita dapat mencintai
sesama? Sebaliknya orang yang penuh sukacita, gemberi, empati, opitimis pada umumnya memiliki
banyak sahabat. Orang yang tubuhnya sakit, tentu tidak dapat bekerja, dan karena itu, ia akan
menderita miskin. Kalau ia miskin bagaimana ia dapat mencintai sesamanya?

3. Cinta Pada Sesama


Sesamaku adalah dia yang sedarah dengan aku, serahim dengan aku, serumah dengan aku,
dia yang sehari-hari berada dan berhubungan dengan aku di rumah, di lingkungan, di sekolah, di
kampus dan di tengah masyarakat. Orang-orang seperti ini sangat menentukan sukses hidup kita baik
untuk sukses di masa yang akan datang (surga/nibana), maupun untuk karir sukses di masa kini di
dunia. Kita hampir-hampir tidak berdosa/bersalah dengan orang yang tidak kita kenal atau yang jauh
dari keseharian hidup kita. Kita biasanya berdosa/bersalah dengan orang-orang yang selalu dekat
dengan diri kita. Oleh karena itu, sesamaku yang paling pertama adalah mereka yang selalu berada
bersama dengan aku dalam ruang dan tempat tertentu. Bila Anda marah misalnya, kemarahan anda
tidak akan dialami oleh orang yang sedang jauh dengan Anda. Kemarahan Anda dialami oleh orang
yang sedang berada di sekeliling anda. Sesamaku dengan demikian dapat aku jumpai dalam
pengalaman tatap muka dan karena itu aku dapat memandang wajah mereka. Wajah yang
memanggil aku untuk mendengar, mengerti, memaafkan, menolong dan peduli.
Selain itu, sesamaku juga adalah mereka yang secara simbolik hadir dalam hidupku. Mereka
hadir dalam karya-karya mereka. Karya-karya mereka aku gunakan saat demi saat dari hidupku.
Pakaian yang aku kenakan, rumah yang aku tinggali, mobil yang aku gunakan dan lain sebagainya,

142
semuanya menandai kehadiran orang lain dalam hidupku. Kehadiran mereka juga adalah panggilan
bagiku untuk peduli.
Sesamaku yang kita alami dalam konteks ini adalah semua mereka yang sepadan dengan
aku. Aku memiliki mimpi, mereka juga memiliki mimpi, aku rindu didengarkan, dipedulikan,
diperhatikan, mereka juga terus merindu seperti yang aku rindukan. Singkatnya, mereka adalah aku
yang lain, dan aku adalah mereka yang lain. Sebab semua hal yang ingin aku peroleh mereka juga
demikian. Aku sungguh bergantung pada mereka, dan mereka juga bergantung pada aku. Sebagai
anak manusia, mereka menentukan nasibku, seperti nasib mereka juga ditentukan oleh aku. Aku dan
mereka sama-sama saling menentukan.
Namun bagaimana aku dapat melakukan semua itu? Atau bagaimana aku dapat mencintai
sesamaku? Ada dua hal yang dapat kita lakukan untuk menjawab pertannyaan ini. Pertama berkaitan
dengan kesehatan jiwa dan tubuh kita. Bila kita sehat, kita tidak menjadi beban bagi orang lain dan
bahkan kita menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Kita dalam hal ini seperti pelita yang meskipun
diam pada tempatnya, namun cahanya melampaui tempatnya sendiri. Ini berarti mencintai diri
dengan menjadikan diri sehat (tubuh dan Jiwa) pada saat yang sama kita mencintai orang lain. Kita
bisa tersenyum, menyampaikan kabar baik kepada orang lain tentang bagaimana hidup harus
dijalani.
Kedua adalah bila kita sehat (tubuh dan jiwa) kita dapat keluar dari tempat kita sendiri.
Kita melihat, mendengarkan, melangkahkan kaki dan mengulurkan tangan, lalu menjadi bagian dari
kehidupan orang lain, dan berada bersama mereka. Berada bersama dengan orang lain sebagai
sesama, berarti kita hidup dan bertumbuh bersama orang lain. Semuanya ini hanya dapat kita
lakukan bila tubuh dan jiwa kita sehat.
Dari refleksi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mencintai diri sendiri berarti kita
membuat tubuh dan jiwa kita menjadi sehat. Dengan tubuh dan jiwa yang sehat kita dapat mencintai
sesama kita. Dengan mencintai sesama, kita membuat hidup kita terus bermakna dan berfungsi.
Dengan terus bermakna dan berfungsi kita pada saat yang sama terus memelihara kesehatan kita,
baik kesehatan tubuh, maupun kesehatan jiwa.
Pada jaman modern ini dimana pengetahuan menjadi penting, belajar menguasai
pengetahuan sangatlah penting. Hampir semua bidang kehidupan menuntut setiap orang untuk
menguasainya. Oleh karena itu, mencintai diri berkaitan dengan kerajinan dan ketekunan untuk
terus belajar menguasai ilmu dan pengetahuan.
Dengan menguasai ilmu dan pengetahuan, setiap orang dapat berpartisipasi menjadikan
dunia ini menjadi lebih baik. Dengan berpartisipasi secara aktif, setiap orang tentu saja memelihara
hidupnya sendiri. Bekerja adalah tanda keikutsertaan dalam membangun dunia yang lebih baik, dan

143
dengan bekerja pula kita mendapatkan sumber hidup kita.

4. Cinta Alam Lingkungan


Lingkungan alam sangat penting bagi setiap orang, baik orang beriman maupun orang yang
tidak beriman. Kehidupan biologis manusia di dunia ini sepenuhnya sangat bergantung pada alam.
Manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Kalau tubuh saja, itu bukan manusia, demikian juga, kalau jiwa
saja, juga bukan manusia. Manusia adalah tubuh yang berjiwa, dan jiwa yang bertubuh. Lingkungan
hidup merupakan kondisi dasar yang memungkinkan tubuh manusia terbentuk dan terus terbentuk.
Tulang-tulang, kulit, daging, sel-sel, darah dan lain sebagainya berlasal dari tanah. Oksigen yang
dihirup oleh manusia juga berasal dari alam yang kualitasnya sangat ditentukan oleh lingkungan
hidupnya.
Berkaitan dengan itu, kita dapat mengatakan, “Aku sangat bergantung pada alam di
sekitarku.” Semua syarat yang berkaitan dengan tubuhku sangat bergantung pada alam di sekitarku.
Vitamin-vitamin, karbohidrat, zat besi dan semua yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan
tubuhku, semuanya berasal dari alam. Sikap hormat, peduli pada alam dalam hal ini adalah sebuah
tuntutan nyata, sebuah tuntutan yang harus aku penuhi. Oleh karena aku sangat bergantung pada
alam, maka semua yang terbaik untuknya aku lakukan. Tidak membuang sampah sembarangan, tidak
boros menggunakan air, menjaga udara tetap bersih, menyediakan ruang hijau, dan sikap-sikap
positif lainnya terhadap alam merupakan bagian dari panggilan yang harus aku lakukan.

5. Imperatif Religius Untuk Mencintai Others


Merupakan suatu imperatif (perintah) religius untuk kita mencintai others, yang lain.
Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah mengapa kita harus mencintai diri, sesama dan alam
lingkungan? Karena hanya dengan itu kita dapat semakin bertumbuh menjadi seorang pribadi yang
religius-spiritual yang sejati dan otentik.
Hampir semua agama memberi kesaksian melalui kitab-kitab sucinya masing-masing bahwa
manusia dan seluruh alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena, itu
menghormati sesama manusia dan seluruh ciptaan Allah sama dengan dengan menghormati Allah
yang menciptakannya. Selain itu, dalam kitab-kita suci agama-agama juga memberikan kesaksian
bahwa Allah selalu menggunakan manusia dan alam untuk menyatakan kehendaknya.
Oleh karena itu, sikap dasar seorang pribadi yang spiritual adalah meningkatkan kepekaan
terhadap kehadiran orang lain dalam hidupnya. Sebab melalui orang lain itu, Allah menunjukkan
kasihnya kepada manusia. Allah menunjukan diri sebagai pembebas. Untuk memenuhi kebutuhan
sandang, pangan dan papan anda membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Melalui orang lain

144
itu, anda dibebaskan dari kesulitan papan, sandang dan pangan. Untuk membesarkan jiwa anda
dihadapan Tuhan anda membutuhkan orang lain untuk menerima wajah dan seluruh sikap baik anda.
Tanpa kehadiran mereka bagaimana anda dapat membesarkan jiwa Anda dihadapan Tuhan?
Selain melalui orang lain, Allah juga menunjukkan kehadirannya melalui lingkungan.
Lingkungan memberi anda oksigen, dan berbagai engergi hidup yang dibutuhkan untuk hidup.
Melalui alam itu, Allah menampakkan diri sebagai pemberi makan, minum dan kehidupan. Dengan
demikian, sikap-sikap yang bertentangan dengan cinta diri, sesama dan lingkungan menunjukkan
bahwa anda belum menjadi pribadi yang spiritual.
Sumber utama dari cinta diri, sesama dan lingkungan adalah Allah sendiri, yang terus
menerus mewahyukan dirinya dalam arus kehidupan manusia. Oleh karena itu tanggung jawab
utama orang beriman adalah terus berelasi dengan dengan Tuhannya. Setelah mendapatkan kasih
itu dari Tuhan, orang beriman memiliki tangunggjawab untuk membaginya kepada orang lain untuk
menjawab berbagai macam kegelisahan sesamanya (Antonius & Dae, 2015). Ada yang gelisah
dengan sakit yang diderita. Yang lain gelisah dengan pendapatan keluarga karena harus membiayai
anak-anak sekolah. Ada juga yang gelisah karena sulit mendapatkan kerja. Dan masih banyak
kegelisahan lainnya.
Terhadap situasi gelisah yang dihadapi banyak orang ini, maka tugas utama orang beriman
adalah menghibut yang sakit, membantu membayarkan uang sekolah bagi yang membutuhkan biaya
sekolah, membantu menyediakan pekerjaan bagi orang yang gelisah karena menggangg ur.
Tindakan-tindakan seperti inilah yang semestinya lahir dari orang yang beriman. Tanggungjawab
orang berman yang lain adalah melahirkan contoh hidup yang suci. Tidak ada orang beriman yang
membunuh dengan cara apapun, atau tidak ada orang beriman yang berkorupsi. Orang beriman juga
melahirkan contoh rendah hati atau rajin atau setia. Orang beriman hadir di tengah yang lain sebagai
batu penjuru contoh hidup beriman.

C. PENUTUP
Kita sudah melihat bersama model atau prototipe pribadi yang religius-spiritual. Pribadi
religius itu ternyata bukan saja mengutamakan relasi vertikal dengan Tuhan semata-mata,
melainkan juga perlu membangun relasi yang harmonis dengan aspek-aspek yang lain yakni sesama
manusia, bahkan alam dan dirinya sendiri. Membangun relasi dengan Tuhan, sesama manusia, diri
sendiri dan alam lingkungan merupakan suatu imperatif moral religius. Menjadi pribadi religius
mengandaikan beberapa sikap seperti: beriman dan cinta pada Tuhan, cinta pada diri sendiri, cinta
pada sesama dan cinta pada alam lingkungan. Jika semua dimensi atau aspek ini dihayati dan
diterapkan dalam hidup, maka kita boleh optimistik bahwa dunia ini akan damai dan nyaman untuk

145
dihuni oleh banyak orang. Itulah cita-cita dalam capaian titik puncak keseimbangan relasi manusia
dengan others, yang lain dalam kehidupan ini.

Tugas
Refleksi Pribadi
1. Mengapa dikatakan membangun relasi secara vertikal saja itu tidak cukup? Uraikan!
2. Bagaimana Anda menghayati hubungan baik dengan Tuhan itu dalam hidupmu sehingga
dikatakan Anda semakin religius?

Referensi
• Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari (2004). Character
Building III: Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
• Frederikus Fios dan Antonius Atosokhi Gea (2017). Character Building: Spiritual
Development. Jakarta: Binus University
• Tim Penulis CB Agama (2014). Character Building Agama. Jakarta: Binus University

146

Anda mungkin juga menyukai