Anda di halaman 1dari 22

ETOS DAN BUDAYA KERJA ORANG MELAYU

1.   Pengertian Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga
oleh kelompok bahkan masyarakat . Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.

Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan
dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
a. Suatu aturan umum atau cara hidup
b. Suatu tatanan aturan perilaku.
c. Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku .

Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “tempat hidup”. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau
kebiasaan.  Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin
kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah ethikos yang berarti “teori kehidupan”,
yang kemudian menjadi “etika”. Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi
beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan
sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai “sifat
dasar”, “pemunculan” atau “disposisi (watak)”.

Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person, group or


institution. Etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.

Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan


dalam dua pemaknaan, yaitu: The disposition, character, or attitude peculiar to a specific
people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or group, fundamental
values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok
yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari, adat-
istiadat.

Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau
sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat
pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi
kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada
sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.

Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat
terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal
yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya
sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan,
maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.

Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan
fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya,
jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja,
mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan
sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.

Etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak.
Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar
dirinya .

Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya
mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance) .
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk
menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan
berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos
kerja tersebut jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti
waktu.
Berdasarkan kamus Webster (2007), “etos” diartikan sebagai keyakinan yang berfungsi
sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok, atau institusi. Jadi, etos kerja
dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok
orang sebagai baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka
(Sinamo, 2002).

Harsono dan Santoso (2006) yang menyatakan etos kerja sebagai semangat kerja yang
didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sukriyanto (2000) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah suatu semangat kerja yang
dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai hidup
mereka. Etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan.

Selanjutnya, Hill (1999) menyatakan etos kerja adalah suatu norma budaya yang mendukung
seseorang untuk melakukan dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya berdasarkan
keyakinan bahwa pekerjaan tersebut memiliki nilai instrinsik. Berdasarkan pendapat tokoh
diatas, dapat dilihat bahwa etos kerja erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dihayati secara
intrinsik oleh seseorang.

Hal ini diperkuat oleh Hitt (dalam Boatwright & Slate, 2000) yang menyamakan etos kerja
sebagai suatu nilai dan menyatakan bahwa gambaran etos kerja seseorang merupakan
gambaran dari nilai-nilai yang dimilikinya yang berfungsi sebagai panduan dalam tingkah
lakunya.

Cherrington (dalam Boatwright & Slate, 2000) menyimpulkan etos kerja dengan lebih
sederhana yaitu etos kerja mengarah kepada sikap positif terhadap pekerjaan. Ini berarti
bahwa seseorang yang menikmati pekerjaannya memiliki etos kerja yang lebih besar dari
pada seseorang yang tidak menikmati pekerjaannya.

Subekti (dalam Kusnan, 2004) menambahkan, suatu individu atau kelompok masyarakat
dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai
berikut:
a. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia.
b. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi
manusia.
c. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.
d. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana
yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
e. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Selanjutnya Petty (1993) menyatakan etos kerja sebagai karakteristik yang harus dimiliki
pekerja untuk dapat menghasilkan pekerjaan yang maksimal yang terdiri dari keahlian
interpersonal, inisiatif, dan dapat diandalkan.

Menurut Usman Pelly (1992), etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan
kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Dapat
dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang
mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi.

Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau
karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang
disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita. Etos
kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga
merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang
berdimensi transenden.

2.   Fungsi dan Tujuan Etos Kerja

Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan
individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:
a. Pendorong timbulnya perbuatan.
b. Penggairah dalam aktivitas.
c. Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat
lambatnya suatu perbuatan.

Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta,
kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan . Kerja memiliki arti luas dan sempit
dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal
materi maupun non materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan
maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan
mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia
yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk
mewujudkan cita-cita.

Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup manusia yang kebahagiaan hidup di
dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih
dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan
lading yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum mencapai
akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk
mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf mengatakan:

Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di
manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur
kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan
dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan
jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak
melupakan kehidupan akhirat. FIRMAN Allah mengingatkan kepada kita,

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Al-Qashash: 77)

Pandangan Islam mengenai etos kerja, di mulai dari usaha mengangkap sedalam-dalamnya
sabda nabi yang mengatakan bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung pada niat-niat
yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi (mencari keridhaan Allah) maka ia pun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti misalnya hanya
bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka) maka setingkat pula nilai kerjanya .

3.                  Ciri-Ciri Etos Kerja

Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap
dan tingkah lakunya, diantaranya:
1.                   Orientasi ke Masa depan
Artinya semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan untuk menciptakan masa
depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia daripada keadaan sekarang, lebih-lebih
keadaan di masa lalu. Untuk itu hendaklah manusia selalu menghitung dirinya untuk
mempersiapkan hari esok.
2.                   Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu
Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dan waktu adalah bertentangan
dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus di isi dengan 3
(tiga) hal yaitu, untuk meningkatkan keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina
komunikasi sosial, firman Allah: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
(Q.S. Al-Ashr: 1-3)
3.                   Bertanggung jawab
Semua masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik
kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari perlindungan ke atas, dan
melemparkan kesalahan di bawah. Allah berfirman:

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu
berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi
(kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka
kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada
kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai”.(Q.S.
Al-Isra’: 7)

4.                   Hemat dan sederhana


Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana seorang pelari marathon lintas alam
yang harus berlari jauh maka akan tampak dari cara hidupnya yang sangat efesien dalam
mengelola setiap hasil yang diperolehnya. Dia menjauhkan sikap boros, karena boros adalah
sikapnya setan.

5.                   Adanya iklim kompetisi atau bersaing secara jujur dan sehat. Setiap orang
atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan itu harus di capai secara
wajar tanpa merugikan orang lain. Seperti Firman Allah : Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam
berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah:
148)

Sebagai orang yang ingin menjadi winner dalam setiap pertandingan exercise atau latihan
untuk menjaga seluruh kondisinya, menghitung asset atau kemampuan diri karena dia lebih
baik mengetahui dan mengakui kelemahan sebagai persiapan untuk bangkit. Dari pada ia
bertarung tanpa mengetahui potensi diri. Karena hal itu sama dengan orang yang bertindak
nekat. Terukir sebuah motto dalam dirinya: “The best fortune that can come to a man, is that
he corrects his defects and makes up his failings” (Keberuntungan yang baik akan datang
kepada seseorang ketika dia dapat mengoreksi kekurangannya dan bangkit dari kegagalannya
.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja.

Terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi etos kerja, yaitu:

a.                  Usia
Menurut hasil penelitian Buchholz’s dan Gooding’s, pekerja yang berusia di bawah 30 tahun
memiliki etos kerja lebih tinggi daripada pekerja yang berusia diatas 30 tahun (dalam
Boatwright & Slate, 2000).

b.                  Jenis kelamin
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Boatwright dan Slate (2000), wanita memiliki etos
kerja yang lebih tinggi dari pada pria.

c.                   Latar belakang pendidikan


Hasil penelitian Boatwright dan Slate (2000) menyatakan bahwa etos kerja tertinggi dimiliki
oleh pekerja dengan latar belakang pendidikan S1 dan terendah dimiliki oleh pekerja dengan
latar belakang pendidikan SMU.

Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber
daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas
penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan
peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin
meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens,
1994).
d.                  Lama bekerja
Menurut penelitian Boatwright dan Slate (2000) mengungkapkan bahwa
pekerja yang sudah bekerja selama 1-2 tahun memiliki etos kerja yang lebih tinggi daripada
yang bekerja dibawah 1 tahun. Semakin lama individu bekerja, semakin tinggilah
kemungkinan individu untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan
menggunakan kapasitasnya dan memperoleh peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan
jaminan. Kedua hal diatas akan membentuk persepsi seseorang terhadap kualitas kehidupan
bekerjanya (Walton, dalam Kossen 1986).

e.                  Motivasi intrinsik individu


Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu
yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya
didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja,
yang mempengaruhi juga etos kerja seseorang.

Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari
luar diri, tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan
motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam
dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene merupakan faktor dalam
kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan.
Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan
munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya
yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan
rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi,
tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak
menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.

Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan
berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor
ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian sukses
(achievement), pengakuan (recognition), kemungkinan untuk meningkat dalam karier
(advancement), tanggungjawab (responsibility), kemungkinan berkembang (growth
possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the work itself). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam
meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pegawai hingga mencapai performa yang
tertinggi.
5.Etos Kerja Masyarakat Melayu

Masyarakat  melayu dulunya memiliki etos kerja yang di  sebut “ semangat kerja” yang
tinggi, semangat yang mampu  harkat dan martabat kaumnya” untuk duduk sama rendah
tegak sama tinggi” dengan masyarakat dan dengan bangsa lain. Sedangkan, etos kerja
masyarakat  melayu yang lazim di sebut dengan “ pedoman kerja melayu “, di akui oleh
banyak ahli, karena hal ini sangat ideal dengan etos kerja yang universal, terutama di dunia
Islam. Dengan modal “ pedoman kerja melayu” tersebut masyarakat melayu mampu
membangun negri dan kampung halaman, mereka juga mampu mensejahterakan kehidupan
masyarakat dan menghadapi persaingan.

Dalam etos kerja melayu, prinsip keadilan dan kebersamaan merupakan hal yang penting.
Prinsip dan kebersamaan dan tolong menolong juga merupakan dasar dalam etos kerja
melayu. Di dalam buku ini, penulis sedikit membahas mengenai Etos Kerja Orang Melayu.
Dengan begitu, kita akan mengetahui sedikit banyak mengenai etos kerja orang melayu.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang

Dalam kehidupan orang melayu, etos kerja mereka telah di wariskan oleh orang tuanya secara
turun menurun. Masyarakat  melayu dulunya memiliki etos kerja yang di  sebut “ semangat
kerja” yang tinggi, semangat yang mampu mengangkat harkat dan martabat kaumnya” untuk
duduk sama rendah tegak sama tinggi” dengan masyarakat dan dengan bangsa lain.

Sedangkan etika kerja masyarakat  melayu yang lazim di sebut dengan “ pedoman kerja
melayu “, di akui oleh banyak ahli. Karena hal ini sangat ideal dengan etos kerja yang
universal, terutama di dunia islam.Dengan modal “ pedoman kerja melayu” tersebut
masyarakat melayu mampu membangun negri dan kampung halaman.Mereka juga mampu
mensejahterakan kehidupan masyarakat dan menghadapi persaingan.

Orang- orang tua melayu dulu mengatakan “ berat tulang ringan lah perut “  maksutnya orang
yang malas kerja hidupnya akan melarat. “ sebaliknya, “ ringan tulang berat lah perut “
maksudnya adalah barang siapa yang bekerja keras, hidupnya pasti akan tenang dan
berkecukupan. Di dalam untaian ungkapan masyarakat melayu di katakan  :

Kalau hendak menjadi orang 


Rajin rajin membanting tulang
Manfaatkan umur sebelum petang
Pahit dan getir usah di pantang

Kalau hendak menjadi manusia


Ringankan tulang habiskan daya
Kerja yang berat usah di kira
Pahit dan manis supaya di rasa

Kalau tak ingin mendapat malu


Ingatlah pesan ayah dan ibu
Bekerja jangan tunggu menunggu
Manfaatkan hidup sebelum layu

Ungkapan di atas, dahulunya di sebarluaskan di tengah-tengah masyarakat di jabarkan, di


uraikan, dan di hayati secara keseluruhan oleh anggota masyarakat. Penyebarluasan ungkapan
tersebut melalui beberapa cara seperti dalam cerita, nasihat, upacara adat, nyanyian rakyat,
dll.

Hal ini di lakukan agar dapat menumbuhkan semangat kerja yang tinggi, sehingga setiap
anggota masyarakat mampu mencari dan memanfaatkan peluang yang ada bahkan mampu
pula menciptakan usaha-usaha baru yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka
masing masing.

Dalam adat melayu, banyak menyerap nilai nilai agama Islam , terdapat suatu ungkapan yang
mengatakan “ adat bersendikan syara, syarak besendikan kitabullah”.  Menurut ungkapan ini
orang yang tidak bekerja, apalagi sengaja tidak mau bekerja, dianggap melalaikan kewajiban,
melupakan tanggung jawab, menafikkan ajaran agama dan tuntunan adat istiadat serta
mengabaikan tunjuk ajar yang banyak memberikan petuah tentang etos kerja. Sikap malas
dan sikap lalai dianggap sikap tercela oleh masyarakat melayu, yang di sebut “ tak ingat
hidup akan mati, tak ingat hutang yang di sandang, tak ingat beban yang dipikul “. Oleh
karena itu dalam masyarakat melayu, orang yang pemalas di rendahkan oleh masyarakatnya.
Itulah sebabnya orang orang tua dahulu mengatakan :

Kalau malu di rendahkan orang


Bantinglah tulang pagi dan petang
Bekerja jangan alang kepalang
Gunakan akal mencari peluang

Di dalam bekerja jangan berlengah


Manfaatkan peluang mana yang ada
Kuatkan hati lapangkan dada

Kalau tak mau hidup melarat


Carilah kerja cepat cepat
Jangan di kira ringan dan berat
Asal sesuai dengan syariat

Di samping itu, budaya melayu juga mengajarkan etika kerja. Adapun konsep etika kerja
dalam budaya melayu dapat di lihat dari pribahasa berikut ini :
1.  Biar lambat asal selamat
Orang-orang tua melayu, menekankan pada anak anaknya supaya berhati hati dalam bekerja
dan mengambil keputusan.
2.  Tidak lari gunung di kejar
Orang melayu di sarankan tidak tergopoh gopoh dan selalu bersabar dalam bekerja, sebab
dengan tergopoh gopoh hasilnya tidak baik.
3.  Awal di buat, akhir di ingat
Pekerjaan yang di kerjakan secara tergesa gesa selalu menimbulkan kesulitan dan tidak
lengkap, tidak terurus. Oleh sebab itu, masyarakat melayu jika hendak membuat suatu
aktivitas selalu di fikirkan semasak masaknyasehingga hasilnya maksimal
4.  Alang-alang berdawat, biarlah hitam. Jangan asal asalan dalam bekerja
5.  Kerja beragak-agak tidak menjadi, kerja berangsur angsur tidak bertahan
6.  Sifat padi, semakin berisi semakin merunduk
7.  Baru berlatih hendak berjalan, langsung bersembam
8.  Selera bagai taji, tulang bagai kanji, menanti nasi tersaji di mulut
9.  Bekerja jangan lah berulah dan degil
10.    Hemat dan cermat merupakan amalan terpuji bagi orang melayu

6.   Pengertian Budaya Kerja

Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap
individu karyawan dan kelompok karyawan tentang makna kerja dan refleksinya dalam
kegiatan mencapai tujuan organsiasi dan individual.
Brown Andrew (1998) Budaya kerja penting dikembangkan karena dampak positifnya
terhadap pencapaian perubahan berkelanjutan ditempat kerja termasuk peningkatan
produktivitas (kinerja).

Budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi. Budaya Organisasi itu sendiri merupakan 
sistem nilai yang mengandung cita-cita organisasi sebagai sistem internal dan sistem
eksternal sosial. Hal itu tercermin dari isi visi, misi, dan tujuan organisasi. Dengan kata lain,
seharusnya setiap organisasi memiliki identitas budaya tertentu dalam organisasinya. Dalam
perusahaan dikenal sebagai budaya korporat dimana didalamnya terdapat budaya kerja
(Sjafrie Mangkuprawira, 2007).

Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan
tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang
terwujud sebagai kerja. (Gering Supriyadi,MM dan Tri Guno, LLM)

Refleksi budaya dan kerja dalam organisasi dikenal sebagai budaya kerja, (Ismail 2004). Arti
dan makna budaya kerja dapat diuraikan sebagai berikut
Budaya kerja aparatur negara dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan
kelompok aparatur negara didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah
menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Proses
pembentukan sikap dan prilaku itu diarahkan kepada terciptanya aparatur negara yang
profesional, bermoral dan bertanggug jawab yang memiliki persepsi yang tepat terhadap
pekerjaan (bekerja adalah ibadah, bekerja adalah “panggilan”) untuk melaksanakan tugas
mulia, agar menjadi orang pilihan yang unggul), sehingga persepsi kerja merupakan
aktualisasi jati diri. (Keputusan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara RI No.
25/KEP/M.PAN/4/2002).

Budaya kerja merupakan pola tingkah laku dan nilai-nilai yang disepakati karyawan dalam
bekerja. Misalnya perilaku dalam menjalankan tugas, karier, promosi, reward dan sebagainya
(Pengembangan Budaya Kerja dalam Perspektif Islam, 2003).

Budaya kerja berarti cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap “kerja”.
Budaya kerja aparatur negara secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “cara pandang
serta suasana hati yang menumbuhkan keyakinan yang kuat atas nilai-nilai yang diyakini.
Serta memiliki semangat yang sangat sungguh-sungguh untuk mewujudkannya dalam bentuk
kerja prestatif”.

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai
yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu
kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan cita-cita, pendapat dan tindakan yaneg berwujud sebagai “kerja” atau “bekerja”.

Dalam buku Budaya Kerja Aparatur Pemerintah, dikutip ungkapan Toto Asmara “sekilas
tentang budaya kerja” dijelaskan bahwa pada hakikat kerja merupakan bentuk atau cara
manusia untuk memanusiakan dirinya, bekerja merupakan bentuk aktual dari nilai-nilai
keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi.

Budaya Kerja adalah melakukan suatu pekerjaan dengan memanfaatkan waktu dan tenaga
baik itu fisik maupun mental untuk menyelesaikannya. Seperangkat pengetahuan sebagai
dasar untuk menggerakkan organ tubuh dalam melakukan suatu aktifitas. Pengetahuan,
tingkah laku dan materi atau hasil karya adalah bagian terpenting dalam kebudayaan.
Kebudayaan tersusun dari unsur-unsur kehidupan yang diciptakan oleh manusia, adat istiadat,
kepercayaan, kebiasaan, norma-norma dan hukum. Kebudayaan sebagian timbul dari
kebutuhan akan keamanan karena kebudayaan merupakan prilaku yang dijadikan kebiasaan.

Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan keyakinan yang dianut oleh tiap
individu karyawan dan kelompok karyawan tentang makna kerja dan refleksinya dalam
kegiatan mencapai tujuan organsiasi dan individual.

Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan
tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang
terwujud sebagai kerja (Wenyapriyanti, 2012)

Suatu keberhasilan kerja, berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi
kebiasaannya. Nilai-nilai tersebut bermula dari adat kebiasaan, agama, norma dan kaidah
yang menjadi keyakinannya menjadi kebiasaan dalam perilaku kerja atau organisasi. Nilai-
nilai yang telah menjadi kebiasaan tersebut dinamakan budaya. Oleh karena budaya dikaitkan
dengan mutu atau kualitas kerja, maka dinamakan budaya kerja.
Kata budaya itu sendiri adalah sebagai suatu perkembangan dari bahasa sansekerta
‘budhayah’ yaitu bentuk jamak dari buddhi atau akal, dan kata majemuk budi-daya, yang
berarti daya dari budi, dengan kata lain ”budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta,
karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan merupakan pengembangan dari budaya yaitu hasil
dari cipta, karsa dan rasa tersebut”.

Budaya kerja, merupakan sekumpulan pola perilaku yang melekat secara keseluruhan pada
diri setiap individu dalam sebuah organisasi. Membangun budaya berarti juga meningkatkan
dan mempertahankan sisi-sisi positif, serta berupaya membiasakan (habituating process) pola
perilaku tertentu agar tercipta suatu bentuk baru yang lebih baik.

Adapun pengertian budaya kerja menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Manajemen
Sumber Daya Manusia menjelaskan bahwa: Budaya Kerja adalah kebiasaan yang dilakukan
berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaraan terhadap kebiasaan ini
memang tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi secara moral telah menyepakati
bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan
pekerjaan untuk mencapai tujuan.

Dari uraian di atas bahwa, budaya kerja merupakan perilaku yang dilakukan berulang-ulang
oleh setiap individu dalam suatu organisasi dan telah menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan
pekerjaan.

Adapun Menurut Triguno dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia menerangkan
bahwa: Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-
nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan
suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.

Taliziduhu Ndraha dalam buku Teori Budaya Kerja, mendefinisikan budaya kerja, yaitu;
”Budaya kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau program mental yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki oleh
suatu golongan masyarakat”.

Sedangkan Menurut Osborn dan Plastrik dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia
menerangkan bahwa: “Budaya kerja adalah seperangkat perilaku perasaan dan kerangka
psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota
organisasi”.
Dari uraian-uraian di atas bahwa, budaya kerja merupakan falsafah sebagai nilai-nilai yang
menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong yang dimiliki bersama oleh setiap individu
dalam lingkungan kerja suatu organisasi.

Jika dikaitkan dengan organisasi, maka budaya kerja dalam organisasi menunjukkan
bagaimana nilai-nilai organisasi dipelajari yaitu ditanam dan dinyatakan dengan
menggunakan sarana (vehicle) tertentu berkali-kali, sehingga agar masyarakat dapat
mengamati dan merasakannya.

7. Budaya Kerja Orang Melayu

Dalam kehidupan orang Melayu, etika atau budaya kerja mereka telah diwariskan oleh orang
tuanya secara turun temurun. Masyarakat Melayu dulunya memiliki budaya kerja yang
disebut “semangat kerja” yang tinggi, semangat yang mampu mangangkat hakikat dan
martabat kaumnya “ untuk duduk sama rendah tegak sama tinggi” dengan masyarakat dan
bangsa lain. Sedangkan, budaya kerja masyarakat Melayu yang lazim disebut dengan
“pedoman kerja Melayu”, diakui oleh banyak ahli, karena hal ini sangat ideal dengan budaya
kerja yang universal, terutama didunia islam. Dengan modal “pedoman kerja Melayu”,
tersebut masyarakat Melayu mampu membangun negri dan kampung halaman, mereka juga
mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat dan menghadapi persaingan.

Orang-orang tua Melayu dulu mengatakan “berat tulang ringanlah perut”, maksudnya, orang
yang malas bekerja hidupnya akan melarat. Sebaliknya, “ringan tulang beratlah perut” yang
bearti barang siapa yang bekerja keras, hidupnya pasti akan tenang dan berkecukupan.

Didalam untaian ungkapan masyarakat Melayu dikatakan:

Kalau hendak menjadi orang


Rajin-rajin membanting tulang
Manfaatkan umur sebelum petang
Pahit dan getir usah dipantang
Kalau hendak menjadi manusia
Ringankan tulang habiskan daya
Kerja yang barat usah dikira
Pahit dan manis supaya dirasa

Kalau tak mau mendapat malu


Ingatlah pesan ayah dan ibu
Bekerja jangan tunggu-menunggu
Manfaatkan hidup sebelum layu

Ungkapan diatas, dahulunya disebarluaskan ketengah-tengah masyarakat dijabarkan,


diuraikan, dan dihayati secara keseluruhan oleh anggota masyarakat. Penyebarluasan
ungkapan tersebut melalui beberapa cara seperti didalam cerita-cerita, nasihat, upacara adat,
nyanyian rakyat, dll. Hal ini dilakukan agar dapat menumbuhkan semangat kerja yang tinggi,
sehingga setiap anggota masyarakat mampu mencari dan memanfaatkan peluang yang ada,
bahkan mampu pula menciptakan usaha-usaha baru yang sesuai dengan kemampuan dan
keahlian mereka masing-masing.

Dalam adat Melayu, banyak menyerap nilai-nilai agama Islam, terdapat suatu ungkapan yang
mengatakan “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabbullah. Menurut ungkapan ini
orang yang tidak bekerja, apalagi yang sengaja tidak mau bekerja, dianggap melalaikan
kewajiban, melupakan tanggung jawab, menafikan ajaran agama dan tuntunan adat-istiadat
serta mengabaikan tunjuk ajar yang banyak member petuah amanah tentang budaya kerja.
Sikap malas dan lalai, dianggap sikap tercela oleh masyarakat Melayu yang disebut “tak ingat
hidup akan mati, tak ingat hutang yang disandang, tak ingat beban yang dipikul”. Oleh karena
itu dalam masyarakat Melayu orang pemalas direndahkan oleh masyarakatnya. Itulah
sebabnya orang tua-tua dulu mengatakan:

Kalau malu direndahkan orang


Bantinglah tulang pagi dan petang
Bekerja jangan alang kepalang     
Gunakan akal mencari peluang

Kalau malu hidup terhina


Dalam bekerja jangan berlengah
Manfaatkan peluang mana yang ada
Kuatkan hati lapangkan dada

Kalau tak mau hidup melarat


Carilah kerja cepat-cepat
Jangan dikira ringan dan berat
Asal sesuai dengan syariat

Orang tua-tua dulu juga mengingatkan, bahwa dalam mencari peluang kerja, jangan memilih-
milih. Maksudnya jangan mencari kerja yang senang, dan tidak mau berkerja keras, itu
bukanlah sikap orang Melayu yang ingin maju. Kerja yang perlu dipilih adalah kerja jangan
“menyalah”, maksudnya jangan menyimpang dari ajaran agama dan adat-istiadat. Sesuai
dengan pepatah petitih masyarakat Melayu yang mengatakan “kalau kerja sudah menyalah,
dunia akkhirat aib terdedah.

Keutamaan kerja masyarakat Melayu, tercermin pula dalam memilih menantu atau jodoh.
Orang yang belum bekerja, lazimnya dianggap belum mampu “menghidupkan anak bininya”.
Orang seperti ini tidak akan dipilih untuk menjadi menantu atau pun jodoh anaknya.
Beberapa pernyataan diatas memberikan petunjuk bahwa orang Melayu telah menanamkan
budaya kerja dalam kehidupan masyarakatnya.

Orang Melayu yang mendasarkan budayanya dengan teras Islam selalu memandang bahwa
bekerja merupakan ibadah, kewajiban dan tanggung jawab. Bekerja sebagai ibadah
merupakan hasil pemahaman orang Melayu terhadap Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
SWA. Di dalam Al-Qur’an mengatakan, “apabila kamu telah selesai melaksanakan shalat,
bertebaranlah kamu dimuka bumi (untuk mencari rezeki dan rahmat Allah). Pada ayat lain
juga dikatakan “maka apabila telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-
sungguh (urusan) yang lain” (QS Alam Nasyrah :7).

Beberapa hadits nabi yang mendukung budaya kerja Melayu diantaranya, “bekerjalah kamu
untuk duniamu, seakan-akan kamu hidup untuk selama-lamanya, dan bekerjalah kamu,
seakan-akan kamu mati besok pagi” (H.R. Muslim). Hadits lain juga mengatakan
“sesungguhnya Allah sukakepada hamba yang bekerja dan terampil, barang siapa yang
bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid
dijalan allah azza wajalla”(H.R. Ahmad). Selaras dengan itu, terdapat ungkapan Melayu,
yang dianggap sebagai ungkapan tunjuk ajar tentang budaya kerja, didalam ungkapan
tersebut dikatakan:

Apa tanda orang yang beradat


Wajib bekerja ianya ingat

Kalau mengaku orang Melayu


Wajib bekerja ianya tahu
    
Ungkapan-ungkapan diatas mencerminkan bagaimana utamanya budaya kerja dalam
pandangan orang Melayu. Orang Melayu harus mau bekerja keras karena dianggap sebagai
tanggung jawab, baik bagi diri sendiri, keluarganya,  masyarakat, agama, adatistiadat serta
norma-norma social yang mereka jadikan pegangan dan sandaran. Sebaliknya apabila orang
itu malas, culas dan memilih-milih kerja, disebut bebal, dan tak tahu diri. Orang yang seperti
ini akan menjadi ejekan masyarakatnya, seperti yang tertuang dalam pantun berikut ini:

Tak ada guna berbaju tebal


Hari panas badan berpeluh
Tak ada guna Melayu bebal
Diri pemalas kerja bertangguh

Tak ada guna kayu diukir


Bila dipakai dimakan ulat
Tak ada guna Melayu pintar
Bekerja lalai makannya kuat

Apa guna merajut baju


Kalau ditetas butangnya lepas
Apa guna disebut Melayu
Kalau malas bekerja keras
    
Dari sisi lain, orang Melayu memandang budaya kerja bukan semata-mata untuk kepentingan
hidup didunia, tetapi juga untuk keselamatan hidup diakhirat. Oleh karenannya, kerja
haruslah mampu membawa peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan duniawi, selain itu
juga dapat menjadi bekal hidup di akhirat. Untuk itu pekerjaan haruslah yang halal, dilakukan
secara ikhlas. Dalam ungkapan orang melayu dikatakan:
Apabila kena menurut sunnah
Manfaatnya sampai ke dalam tanah

Apa bila kena menurut syariat


Berkah melimpah dunia akhirat

Apabila kerja niatnya ikhlas


Dunia akhirat Allah membalas

Acuan ini, menyebabkan orang tua-tua mengatakan bahwa, “bila bekerja karena Allah,
disitulah ia menjadi ibadah”. Ungkapan ini menunjukan pula, bahwa orang Melayu 
memandang pekerjaan yang halal dan dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas dapat
menjadi ibadah bagi seseorang. Pandangan ini tentu akan mengokohkan keutamaan kerja
dalam kehidupan orang Melayu.

Konsep budaya kerja sangat penting dalam masyarakat Melayu sekarang. Orang Melayu
dianjurkan untuk melihat dan meniru budaya kerja bangsa lain yang telah maju seperti Eropa,
Jepang, Korea dan Cina, tentu dengan catatan dengan nilai agama dan falsafah hidup
masyarakat Melayu.

Para ahli antropologi dan sosiologi yang telah melakukan kajian terhadap budaya kerja orang
Melayu, yang kemudian menarik suatu kesimpulan bahwa orang Melayu “pemalas” dalam
bekerja, baik kerja tani, buruh, pegawai, dan dunia perdagangan. Itulah kesimpulan yang
telah diambil oleh Cortesau, (1940), Raflfles (1935), dan Wheeler (1928). Sedangkan G.D.
Ness dalam buku nya yang berjudul Bureaucracy and Rulal Development in Malaysia (1967)
yang mengatakan orang Melayu dibandingkan dengan orang Cina kurang berorientasi pada
hasil dan kesuksesan hidup.

Kajian Swift (1965), melakukan pengamatan bahwa orang Melayu banyak yang memiliki
tanah, supaya dapat hidup selasa dan sejahtera, tanpa bekerja keras. Hasil kajian Djamour
(1959) hampir senada dengan Swift yang berkesimpulan bahwa orang Melayu ingin hidup
senang, kenyang, dan tenang tanpa harus bekerja keras. Apalagi bagi orang Melayu dulu.
Kebanyakan masyarakat Melayu dulu tidak mau bekerja di perusahahaan timah, bauksit, dan
kebun karet, malah banyak kaum pendatang yang bekerja. Wilson (1967) mengatakan,
meskipun orang melayu sadar bahwa mereka tidak dapat mengalahkan Cina dalam Berbisnis,
tapi mereka tidak tertarik untuk mengikuti cara kerja Orang Cina tersebut. Beberapa budaya
kerja Melayu dtempo dulu, dapat dipahami dari ungkapan dan pribahasa berikut ini:

a.      Biar Lambat Asal Selamat.


b.      Tidak Lari Gunung di Kejar.
c.      Alang-alang Berdawat Biarlah Hitam.
d.      Kerja Beragak-agak Tidak Menjadi, Kerja Berangsur-angsur tidak Bertahan.
e.        Sifat Padi Semakin Berisi Semakin Tunduk.
f.        Baru Berlatih Hendak Berjalan, Langsung Tersemban.
g.      Selera Bagai Taji Tulang Bagai Kanji, Menanti Nasi Tersaji di Mulut.
h.      Kerja Janganlah Berulah dan Degil.
i.        Hemat dan Cermat Dalam Bekerja.

Bagi masyarakat Melayu Pekerjaan dapat mengangkat status social seseorang. Seseorang
yang memiliki pekerjaan akan di hormati oleh masyrakatnya, dan di jadikan tauladan.
Sebaliknya, apabila orang yang malas bekerja, atau bekerja asal jadi, tentu akan dilecehkan.
Apabila didalam masyarakat Melayu ada tukang yang kerjannya asal jadi, disebut juga
“tukang pak Sendul”.

Didalam ungkapan di katakan:

Kalau kerja tukang pak sendul


Yang gelegar menjadi bendul

Kalau tukang tidak senonoh


Belum di tunngu rumahpun roboh

Kalau tukang tidak semenggah


Paginya tegak petangya rebah
    

Orang yang bekerja dengan keahliannya, bekerja dengan cermat dan pengetahuan yang
memadai, maka akan mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Melayu.
Apapun bentuk keahlian dan bidang kerjanya mereka dijadikan tempat bertanya dan tempat
petuah amanah. Orang tua-tua dulu mengatakan:

Kalau kerja hendak semenggah


Carilah orang yang amanah
    
Ungkapan-ungkapan diatas menunjukan, bahwa masyarakat Melayu menghormati ilmu
pengetahuan dan keahlian seseorang dalam bekerja. Namun, bila ada seseorang yang
memiliki keahlian dan ilmu pengetahuan tinggi, tetapi malas bekerja dan tidak mau
mengamalkan ilmunya, di anggap terbuang oleh masyarakatnya, bahkan cenderung
dilecehkan. Dalam Ungkapan Melayu di katakan:

 Apa tanda orang yang malang


Ilmu di dada terbuang-buang
Apa tanda orang merugi
Ilmu dituntut tak ada arti
Apa tanda orang yang cacat
Ilmu ada tidak bermanfaat
    
Ungkapan tersebut secara tegas menggambarkan bahwa pekerjaan menjadi salah satu tolak
ukur untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Seperti yang telah kita bahas bersama-sama tadi, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa
gambaran tentang Budaya kerja masyarakat Melayu, serbagian besar masih terdapat dalam
masyarakat Melayu, baik yang tinggal dikota maupun dikampung-kampung. Nilai luhur
budaya Melayu ini tentulah akan member manfaat apabila disimak, di cerna, dan dihayati
dengan baik dan benar. Mudah-mudahan dengan apa yang telah di uraikan di atas, kita semua
dapat mengenal dan mengetahui bahwa masyarakat Melayu memiliki budaya kerjanya
sendiri.

Secara teoritis dan filosofis, orang Melayu memiliki budaya kerja yang hampir sempurna,
walaupun banyak anggapan bahwa orang Melayu serba ketinggalan, perajuk dan sebagainya.
Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, berbagai perubahan dan pergeseran nilai budaya
terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam masyarakat Melayu. Apabila
kita sebagai pewaris budaya tidak mau atau tidak memiliki keinginan untuk menggali dan
menjaga nilai budaya, maka tentulah kita tidak dapat membina dan mengembangkan budaya
yang kita miliki.

Anda mungkin juga menyukai