Anda di halaman 1dari 11

PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

YANG DINYATAKAN PAILIT DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

Mata Kuliah Hukum Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah


Dosen Pengampu :
Novitasari Dian Phra Harini, S.E., S.H., M.Kn

Disusun Oleh :
Ana Amaliah – 216010200141016
Jeremy Samuel P S - 216010201111005
Nilna Firkhana Soraya – 216010201111007
Christian Rivanal Aditya W M - 216010201111010
Eva Rahayu – 216010201111014
Nadia Mileni Habibah – 216010201111021
Caecilia Noventia Hari S - 226010217111006

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2022

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN----------------------------------------------------3
1.1 Latar Belakang------------------------------------------------------------------3
1.2 Rumusan Masalah--------------------------------------------------------------5
1.3 Kerangka Teori Hukum---------------------------------------------------------8
BAB II PEMBAHASAN-----------------------------------------------------6
2.1 Hasil dan Pembahasan---------------------------------------------------------6
BAB III PENUTUP--------------------------------------------------------10
3.1 Kesimpulan---------------------------------------------------------------------10
3.2 Saran----------------------------------------------------------------------------10

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah ditegaskan dalam Pasal 1
angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah yang menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah
Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah
tertentu. Secara khusus keberadaan PPAT diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ditentukan bahwa
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat Umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. 1
Dalam menjalankan jabatannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
memiliki peranan tersendiri dan penting dalam pendaftaran tanah, yakni
membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan
kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, sebagaimana termaktub dalam
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah).
Sebagai seorang pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri, seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus mampu
menjalankan tugas dan wewenangnya dengan benar. Karena jika Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak mampu menjalankan jabatannya dengan
benar, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut dapat dijatuhi
teguran hingga sanksi tegas, berupa pemberhentian dari jabatannya. Pasal
10 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah menjelaskan bahwa Pemberhentian Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diberhentikan oleh Menteri terdiri atas :
1
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, 2010, Hlm. 2.

3
a. Diberhentikan dengan hormat
b. Diberhetikan dengan tidak hormat
c. Diberhentikan sementara
Salah satu pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
akan dibahas oleh penulis ialah terkait pemberhentian dengan hormat
dikarenakan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki memperoleh keputusan
hukum dan tetap, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d,
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Mengenai konsep hukum kepailitan di Indonesia mengenal adanya
istilah rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 215-221 UU Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, si debitur yang telah menyelesaikan proses pailitnya dan dapat
dibuktikan, dapat meminta pemulihan nama baiknya. Tetapi dalam PP No. 24
Tahun 2016 tidak diatur mengenai adanya kemungkinan PPAT yang telah
melaksanakan rehabilitasi dapat mengajukan pengangkatan kembali sebagai
PPAT.
Pengaturan pengangkatan kembali PPAT yang diatur hanya berkaitan
dengan PPAT yang berhenti atas permintaannya sendiri. Dalam hal ini timbul
sebuah pertanyaan jika seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dinyatakan pailit apakah yang dipailitkan tersebut adalah seorang PPAT yang
dalam hal ini kapasitasnya merupakan seorang pejabat umum atau sebagai
orang pribadi.
Sebagaimana penjelasan pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum, sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang menjelaskan bahwa debitor adalah orang yang mempunyai utang
karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan. Jika yang dipailitkan adalah diri seorang Pejabat Pembuat

4
Akta Tanah (PPAT) secara pribadi maka hal ini seharusnya tidak berkaitan
dengan pemberhentian dengan hormat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
1.2 Rumusan Masalah
Dari adanya uraian penjelasan di atas, penulis ingin mengangkat
permasalahan terkait, apakah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
telah menyelesaikan proses pailitnya dapat diangkat kembali?
1.3 Kerangka Teori Hukum
Teori Kepastian Hukum
Teori tentang kepastian hukum pada awalnya terjadi pada ajaran
Yuridis-Dogmatik yang berdasar pada aliran positivistis. Ajaran ini melihat
hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, dikarenakan menurut
ajaran ini, hukum hanyalah sebuah peraturan, dan tujuan hukum sendiri
adalah sekedar menjamin terwujudya kepastian hukum. Sifat dan aturan
hukum yang umum ini merupakan wujud dari adanya kepastian hukum dan
juga membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan semata-mata untuk
2
kepastian.
Membangun kepastian hukum bertujuan untuk mewujudkan sebuah
keadilan dalam masyarakat, adanya penegakan hukum atas suatu perbuatan
tanpa memandang siapa yang melakukannya sangat penting untuk
diwujudkan agar muncul suatu persamaan dihadapan hukum. Utrecht
menjelaskan bahwa dalam kepastian hukum mengandung dua arti, yaitu:
a. Adanya aturan yang bersifat umum, maka membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
b. Memberikan keamanan hukum bagi setiap individu dari kesewenang-
wenangan pemerintah sebab dengan adanya aturan yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh Negara.3
Kepastian merupakan salah satu ciri dari sebuah hukum, terutama
untuk aturan yang telah tertulis seperti Undang-undang, karena tanpa
adanya nilai kepastian hukum terutama dalam sebuah peraturan hukum
2
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Toko
Gunung Agung, 2002, Hlm 82-83
3
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, Hlm.
23

5
membuat hukum menjadi tak bermakna lagi dan masyarakat tidak akan lagi
menggunakan hukum sebagai suatu pedoman untuk bertindak dalam
kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya kepastian hukum dapat
menciptakan kehidupan bermasyarakat yang teratur, konsisten, serta
konsekuen sehingga tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi dalam
kehidupan bermasyarakat.
Setiap kepentingan masyarakat semestinya dapat menjadi
pertimbangan pemerintah untuk dituangkan kedalam aturan-aturan yang
bersifat umum, agar setiap perbuatan maupun kepentingan yang dilakukan
masyarakat dapat dilindungi di hadapan hukum, meski nantinya aturan-
aturan tersebut mungkin tidak dapat mengakomodasi setiap perbuatan
masyarakat.4
Implementasi dari teori kepastian hukum sangat berhubungan
dengan pembahasan pada penelitian ini, karena nantinya teori ini akan
digunakan dalam menganalisis permasalahan yang terjadi bahwa dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah belum adanya peraturan yang secara tegas
dan terperinci mengatur mengenai kepastian hukum terhadap Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang telah diberhentikan dengan hormat, meski sudah
menyelesaikan masa pailitnya.

4
Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Kencana Prenadamedia Group. 2011.
Hlm. 137.

6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil dan Pembahasan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sehingga memiliki
kewenangan secara umum untuk melaksanakan tugasnya terhadap
pelayanan kepada masyarakat, selain itu Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) secara khusus bertugas untuk membuat akta yang menjadi bukti
bahwa telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu berkaitan mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam
menjalankan jabatannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memangku
jabatannya dalam jangka waktu tertentu, tanpa mendapatkan gaji dari
pemerintah.
Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai debitur
yang dinyatakan pailit, pada dasarnya tidak dapat terlepas dari Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 21
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa kepailitan meliputi
seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta
semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan, akan tetapi dikecualikan
dari kepailitan tersebut adalah hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.5
Pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
menjelaskan tentang akibat dari kepailitan yang menyebabkan seorang
pejabat yang dinyatakan pailit, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dapat kehilangan jabatannya dan sehingga tidak dapat bekerja lagi.
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan mengenai subjek

5
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 89.

7
yang dapat dipailitkan (debitur), yaitu orang (badan pribadi) dan badan
hukum.6
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menjelaskan bahwa
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diberhentikan dengan hormat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri/Kepala atau pejabat
yang ditunjuk;
c. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
d. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap; dan/atau
e. berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga)
tahun.
Pasal 55 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
menjelaskan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bertanggung jawab
secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap
pembuatan akta.
Dalam penjelasan pasal tersebut, kata bertanggung jawab secara
pribadi dapat diartikan bahwa pertanggung jawaban Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) tidak berbatas hanya pada diri Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) melainkan dapat pula diminta pertanggung jawaban terkait
jabatannya. sehingga hal tersebut berlaku pula pada alasan pemberhentian
PPAT dengan hormat dari jabatannya karena dinyatakan pailit dalam
kapasitas PPAT yang bersangkutan sebagai orang pribadi bukan jabatannya.
Sehingga jika seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terkena
pailit, maka tanggung jawabnya tidak hanya terlepas pada pribadinya

6
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di
Indonesia, Edisi I, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2013, hlm. 31.

8
sebagai seorang individu melainkan dapat dibebankan terhadap jabatannya.
Sedangkan sanksi berupa pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dengan hormat dari jabatannya merupakan upaya penegesan, bahwa
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melakukan tugas jabatannya
telah melanggar ketentuan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penulisan ini penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang telah diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya dikarenakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap
berdasarkan putusan pengadilan, seperti yang terdapat dalam Pasal 10 Ayat
(2) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, meskipun telah menyelesaikan proses
pailitnya, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tersebut tidak dapat kembali
mengemban jabatannya. Hal tersebut dikarenakan belum adanya peraturan
perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaan yang menjelaskan
secara terperinci terkait pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT).
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan yakni kepada Pemerintah agar
dapat membuat peraturan Perundang-undangan mengenai Jabatan PeJabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karna dengan adanya peraturan yang dibuat
secara terperinci dan mengatur secara komprehensif, kelak dapat
memberikan kepastian hukum yang tegas dan jelas bagi Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT).

10
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) .
Jakarta : Toko Gunung Agung.
Asikin, Zainal. 2013. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang di Indonesia. Bandung : Pustaka Reka Cipta.
Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group.
Santoso, Urip. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah . Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup.
Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya
Bakti.

11

Anda mungkin juga menyukai