Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GUIDED

DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN


BERPIKIR KRITIS DAN SIKAP ILMIAH SISWA SEKOLAH
DASAR

PROPOSAL TESIS

Disusun Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Metodologi Penelitian

Oleh:
RIMA NUR IMAN
2109087038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2022
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GUIDED
DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS DAN SIKAP ILMIAH SISWA KELAS V
SEKOLAH DASAR

PROPOSAL TESIS

Diajukan sebagai Usulan Penyusunan Tesis


Program Studi Pendidikan Dasar

oleh:
Rima Nur Iman
2109087038

Telah diperiksa dan disetujui sebagai Materi Penyusunan Tesis


Program Studi Pendidikan Dasar Sekolah Pascasarjana UHAMKA
Tanggal, 16 Juli 2022

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

------------------------------ ------------------------------
Dr. Hj. Nurrohmatul Amaliyah, M.Pd Dr. Tri Isti Hartini, M.Si
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................iiii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Perumusan Masalah...................................................................................4

1.3 Batasan Masalah........................................................................................4

1.4 Tujuan Penelitian.......................................................................................5

1.5 Manfaat Penelitian.....................................................................................5

1.6 Sistematika Penulisan................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA/LANDASAN TEORI..........................................8

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN/JADWAL PENELITIAN......................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................41

3
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kurikulum 2013 menekankan siswa pada penguasaan kompetensi yang
holistic yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Keterampilan abad
21 merupakan salah satu kompetensi yang harus dikembangkan dalam proses
pembelajaran dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan nasional yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Salah satu perkembangan abad 21 adalah pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Komunikasi serta peningkatan kemampuan berpikir kritis (critical
thinking) dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran pada abad 21 menekankan siswa untuk memiliki empat


kompetensi utama yaitu Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis
dan menyelesaikan masalah), Creativity (kreativitas), Communication
Skills (kemampuan berkomunikasi), dan  Ability to Work
Collaboratively (kemampuan untuk bekerja sama). Pendidikan nasional abad 21
bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa dengan kedudukan yang terhormat dan
setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang
terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu memiliki kepribadian yang
mandiri dan berkemauan, serta kemampuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

Berpikir kritis menurut Gunawan (2007: 177) dalam Rachmantika


(2019) adalah kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan
menggunakan proses analisis dan evaluasi. Berpikir kritis melibatkan
keahlian berfikir induktif seperti mengenali hubungan, menganalisis masalah
yang bersifat terbuka (dengan banyak kemungkinan penyelesaian), menentukan
sebab dan akibat, membuat kesimpulan dan memperhitungkan data yang relevan.
Pada zaman modern dan teknologi cangih yang memudahkan segala informasi
maka berpikir kritis sangatlah penting bagi setiap orang. Keyness (2008) dalam
Zakiah (2019) mengatakan bahwa, berpikir kritis memungkinkan pembaca untuk
menilai bukti terhadap apa yang dibaca dan dapat mengidentifikasi penalaran
palsu atau tidak logis. Berpikir kritis juga akan membantu untuk membuat
argumen yang kuat (misalnya, dalam penugasan). Ini berarti akan melihat dan
membenarkan setiap klaim yang dibuat berdasarkan bukti yang telah di evaluasi.
Berpikir kritis dalam konteks pembelajaran berkaitan dengan kemampuan peserta
didik untuk melakukan penalaran logis terhadap suatu fenomena/gejala yang
terjadi di lingkungan sekitar. Siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan
pribadinya dalam menilai dan mengevaluasi suatu kejadian atau fenomena yang
berkaitan dengan pembelajaran.

Keyness (2008) dalam Zakiah (2019) berpendapat bahwa berpikir kritis


dalam pendidikan memiliki tujuan sebagai berikut : Pertama, dalam hal meluasnya
akses teknologi informasi dan komunikasi, keterampilan berpikir kritis sangat
perlu diterapkan oleh peserta didik sejak dini. Hal ini bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan dalam mengevaluasi suatu informasi apakah termasuk
kepada informasi yang valid atau hoax. Kedua, krisis global yang serius seperti
kelaparan, bencana alam, inflasi dan pencemaran lingkungan menuntut setiap
individu untuk mencari alternatif pemecahan masalah termasuk siswa sekolah
dasar. Siswa hendaknya dibimbing untuk menemukan alternatif pemecahan suatu
masalah melalui keterampilan berkomunikasi dan berpikir kritis yang dilatih sejak
dini. Dan yang ketiga adalah upaya dalam mengikuti perkembangan zaman, siswa
perlu dilatih untuk memiliki kemampuan berpikir kritis agar selalu dinamis atau
bahkan menemukan sendiri teknologi yang dapat membantu memudahkan
pekerjaan manusia di masa yang akan datang.

Di Indonesia, tingkat kemampuan berpikir kritis masih rendah. Hal ini


terbukti dari hasil rata-rata hasil belajar matematika, IPA dan literasi siswa
menurut PISA (Program for International Student Assessment). Data tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar Skip d Bab 2

Pada data PISA (Program for International Student Assessment) yang


diterbitkan pada tahun 2018 diatas dapat dilihat bahwa Indonesia menduduki
peringkat 71 dunia dengan skor rata-rata matematika, sains dan membaca sebesar
382. Data tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia masih tergolong rendah (skor
dibawah 450) dalam kemampuan sains, matematika dan literasi.

Data kedua didapat dari hasil raport mutu Pendidikan yang diakses melalui
https://raporpendidikan.kemdikbud.go.id/app/satuan-pendidikan/mutu-hasil-belajar
menunjukkan data hasil kemampuan numerasi yang masih dibawah kompetensi
minimum serta kemampuan literasi yang telah mencapai kompetensi minimum
namun masih berada dibawah nilai rata-rata kabupaten/kota. Pelaksanaan ANBK
pada tanggal 15-18 November 2021 diikuti oleh 30 peserta utama dan 5 peserta
cadangan. Data hasil raport mutu ANBK SDN Bukit Duri 05 Tahun 2021 adalah
sebagai berikut :
Gambar Skip d Bab 2

Data menunjukkan mutu hasil belajar peserta didik dengan kemampuan


literasi telah mencapai nilai kompetensi minimum (Nilai Satuan Pendidikan 1.92)
dengan keterangan “Sebagian besar peserta didik telah mencapai batas kompetensi
minimum untuk literasi membaca namun perlu upaya mendorong lebih banyak
peserta didik menjadi mahir”. Sedangkan untuk kemampuan numerasi berada di
bawah kompetensi minimum (Nilai Satuan Pendidikan 1.63) dengan keterangan
“Kurang dari 50% peserta didik telah mencapai kompetensi minimum untuk
numerasi.”

Namun demikian, nilai satuan Pendidikan dalam kemampuan literasi (1.92)


masih berada di bawah nilai rata-rata satuan Pendidikan rata-rata di
kabupaten/kota (2.00) dan juga berada dibawah nilai rata-rata provinsi (1.95).
Sedangkan untuk perolehan secara nasional, nilai literasi satuan Pendidikan masih
diatas rata-rata nasional (1.71). Pada nilai kemampuan numerasi satuan
Pendidikan (1.63) nilai berada di bawah rata-rata kabupaten/kota (1.72) dan juga
berada dibawah nilai rata-rata provinsi (1.69). Sedangkan untuk perolehan secara
nasional, nilai numerasi satuan Pendidikan masih diatas rata-rata nasional (1.57).
Berikut adalah infografis distribusi kemampuan peserta didik serta
perbandingan perolehan nilai dengan satuan Pendidikan setara, daerah dan
nasional:

Hindari screenshot buat infografis sendiri (Skip)

Selanjutnya peneliti mengumpulkan data awal dengan melakukan pretest


dengan jumlah soal 10 butir pilihan ganda, 5 butir uraian singkat dan 1 butir Essay.
Pengumpulan data pretest pada sampel kelas 5A dan 5C dengan hasil sebagai
berikut :

Kelas X PG X Uraian X Essay X Nilai AKhir

5A 69 69,67 64,33 67,67

5C 42,14 40,71 61,07 47,98

Sumber tabel : Hasil Pretest Nilai Semester Gasal

Data menunjukkan hasil belajar masih dibawah KKM (75). Rata-rata nilai akhir
kelas 5A sebesar 67,67 dan kelas 5C sebesar 47,98. Dari ketiga data yaitu PISA, nilai
rapor mutu sekolah dan hasil rata-rata pretest dapat disimpulkan bahwa kemampuan
berpikir kritis siswa berada di bawah nilai kriteria ketuntasan minimal dan berada di
bawah rata-rata daerah.

Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry-


based), konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Menurut pandangan
kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam mengonstruksi arti, wacana,
dialog, dan pengalaman fisik dimana di dalamnya terjadi proses asimilasi dan
menghubungkan pengalaman atau informasi yang sudah dipelajari (Rifa’i & Anni,
2021). Model pembelajaran discovery learning disebut juga sebagai pendekatan
inkuiri bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid secara
independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara
ilmiah (Alma dkk,2010). Di paraphrase dan diringkas

Jauwad & Supriyono (dalam Asfar, 2020: 53) menjelaskan bahwa model
pembelajaran Guided Discovery merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan
siswa ke dalam proses kegiatan mental melalui diskusi, membaca dan mencoba, agar
siswa dapat belajar mandiri. Pembelajaran Guided Discovery merupakan
pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang belum
diketahuinya tidak hanya melalui pemberitahuan langsung, namun pengetahuan
tersebut dapat ditemukan secara kelompok Pembelajaran discovery (penemuan), yaitu
pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa mudah menemukan
konsep dan prinsip melalui proses mental. Pembelajaran guided discovery
menekankan kepada keaktifan siswa dengan tetap melalui bimbingan dan
pengawasan guru sebagai fasilitator. Dalam proses kegiatan belajar mengajar, secara
teknis guru membimbing siswa dalam penyelidikan masalah yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari secara kontekstual.

Pandangan menurut Wahyu, dkk (2018) berpikir kritis adalah suatu proses
berpikir kompleks yaitu berpikir secara logis dan bertujuan untuk membuat
keputusan-keputusan yang masuk akal, melalui proses ilmiah yang sistematis
meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan
pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. Dapat disimpulkan dari
pendapat tersebut bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan yang
sangat penting untuk setiap orang. Dalam proses berpikir kritis dapat digunakan
untuk berpikir yang rasional, masuk diakal pikiran atau logika sehingga dapat
membuat keputusan atau sebuah pertimbangan dengan melakukan kegiatan
mengenal masalah, menganalisis, memecahkan, dan menyimpulkan. Dipindah ke
atas bila perlu.

Selain berpikir kritis, sikap ilmiah termasuk ke dalam karakter pendidikan


yang harus dimiliki oleh siswa, dan implementasi pembelajaran diharapkan
mampu melatih sikap ilmiah siswa. Sikap ilmiah menggambarkan keterbukaan
pikiran, rasa ingin tahu, dan pendekatan optimis terhadap kegagalan sebagai nilai-
nilai pelatihan ilmiah. Wildan, Hakim, Siahaan, & Anwar, (2019) dalam Parwati
(2020).

Keterampilan berpikir dipengaruhi oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah mengacu


pada cara berpikir tanpa prasangka. Sikap-sikap ini biasanya tercermin dalam
pemikiran rasional, konsisten, dan objektif seseorang terhadap keadaan yang
relevan. Sikap ilmiah ditandai dengan rasa ingin tahu dan berpikiran terbuka
kritis, logis, objektif, jujur, dan sederhana (Ali et al., 2018). Dipindahkan ke
bab 2
Sikap ilmiah siswa adalah tujuan penting dari kurikulum sekolah yang dapat
ditentukan oleh kualitas pembelajaran, keterampilan siswa, guru-siswa, dan
interaksi siswa-siswa, dan suasana belajar. Sikap ilmiah sangat penting dalam
pemecahan masalah yang membutuhkan pembuktian dan prosedur yang
terstruktur (Kuşdemir, Yusuf, & Tuysüz, 2013). Seorang ilmuwan harus
mengembangkan beberapa atribut ilmiah, termasuk: rasa ingin tahu, kerjasama,
penerimaan ide-ide baru, berpikir kritis, objektivitas, kejujuran, dan
kedermawanan (Mahulae, Sirait, & Sirait, 2017).
Siswa Indonesia (Firdaus & Darmadi, 2017) dan seluruh dunia dilaporkan
memiliki sikap ilmiah yang negatif (Potvin & Hasni, 2014). Hal Ini terjadi karena
guru belum melatih siswa untuk mengembangkan sikap ilmiahnya dalam kelas.
Oleh karena itu, siswa tumbuh menjadi kurang toleran dengan siswa lain dalam
situasi stres. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Firdaus & Darmadi (2017),
sikap ilmiah siswa termasuk dalam kategori rendah. Temuan dari Studi
menunjukkan bahwa kurangnya fleksibilitas siswa dalam diskusi kelas dapat
menyebabkan mereka minat yang lemah dalam belajar dan keterampilan
kerjasama. Kepekaan lingkungan kecil siswa mungkin hasil dari tidak adanya
toleransi siswa terhadap keadaan sulit rekan-rekan mereka. Kemungkinan
penyebab lain dari sikap ilmiah siswa yang buruk termasuk sikap ilmiah yang
tidak memadai pelatihan dan strategi pembelajaran yang tidak efektif yang hanya
berfokus pada peningkatan kemampuan siswa untuk membaca buku teks (Şentürk
& zdemir, 2014). Parafrasekan.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan
masalah secara umum bagi riset kali ini ialah ”Bagaimana model pembelajaran
guided discovery learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
sikap ilmiah peserta didik di kelas V Sekolah Dasar?”. Untuk memperoleh
jawaban atas pertanyaan tersebut, maka secara khusus dirancang pertanyaan yang
lebih spesifik sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kemampuan awal berpikir kritis peserta didik dengan
menerapkan model guided discovery learning pada pembelajaran di kelas V
sekolah dasar?
2. Bagaimanakah kemampuan akhir berpikir kritis peserta didik di kelas
eksperimen dengan menerapkan model guided discovery learning dan kelas
kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah dasar?
3. Bagaimanakah sikap ilmiah awal peserta didik di kelas eksperimen dengan
menerapkan model guided discovery learning dan kelas kontrol pada
pembelajaran di kelas V sekolah dasar?
4. Bagaimanakah sikap ilmiah akhir peserta didik di kelas eksperimen yang
menerapkan model guided discovery learning dan kelas kontrol pada
pembelajaran di kelas V sekolah dasar?
5. Bagaimanakah peningkatan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah
peserta didik di kelas eksperimen dengan menerapkan model guided
discovery learning dan kelas kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah
dasar?

1.3 Identifikasi Masalah


1.4 Batasan Masalah
Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya
penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar penelitian dapat lebih
terarah dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian akan
tercapai. Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Model Pembelajaran Guided Discovery Learning (X) dan penerapannya di


kelas eksperimen.
2. Model Pembelajaran Konvensional dan penerapannya di kelas control.
3. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis (Y1) siswa kelas V Sekolah Dasar, baik
di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol
4. Analisis sikap ilmiah (Y2) siswa kelas V Sekolah Dasar baik di kelas
eksperimen maupun di kelas kontrol.

1.5 Tujuan Penelitian


Secara umum penelitian ini dilakukan untuk menguji cobakan model Guided
Discovery Learing pada pembelajaran di kelas V Sekolah Dasar untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik di sekolah dasar. Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut
1. Untuk mengetahui kemampuan awal berpikir kritis peserta didik di kelas
eksperimen dengan menerapkan model guided discovery learning dan kelas
kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah dasar.
2. Untuk mengetahui kemampuan akhir berpikir kritis peserta didik di kelas
eksperimen dengan menerapkan model guided discovery learning dan kelas
kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah dasar.
3. Untuk mengetahui kemampuan awal sikap ilmiah peserta didik di kelas
eksperimen dengan menerapkan model guided discovery learning dan kelas
kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah dasar.
4. Untuk mengetahui kemampuan akhir sikap ilmiah belajar peserta didik di kelas
eksperimen dengan menerapkan model guided discovery learning dan kelas
kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah dasar.
5. Untuk mengetahui peningkatan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik di
kelas eksperimen dengan menerapkan model guided discovery learning dan kelas
kontrol pada pembelajaran di kelas V sekolah dasar.
1.6 Manfaat Penelitian
Pada penelitian kali ini terdapat dua manfaat utama yang dapat diperoleh,
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Berikut ini adalah penjelasannya :

1.4.1. Manfaat Teoritis


Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan referensi dalam
penerapan model guided discovery learning pada pembelajaran di kelas V
untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik
di sekolah dasar.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini akan memberikan manfaat praktis bagi peserta didik,
pendidik, sekolah, serta peneliti lainnya, antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat bagi peserta didik
Penelitian ini dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna serta
dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah bagi
peserta didik dengan menerapkan model guided discovery learning di kelas
V Sekolah Dasar.
2. Manfaat bagi pendidik
Penelitian ini dapat meningkatkan kinerja pengajar, wawasan dan
keterampilan pada kegiatan mengajar dan dalam menerapkan model
guided discovery learning pada pembelajaran di kelas V Sekolah Dasar
untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta
didik.
3. Manfaat bagi sekolah
Penelitian ini dapat memberikan konstribusi dalam meningkatkan kualitas
sekolah, dapat memberikan masukan mengenai masalah kegiatan belajar
mengajar dengan model pembelajaran guided discovery learning, serta
dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk kepentingan belajar mengajar
yang digunakan secara bijaksana.
4. Manfaat bagi peneliti lainnya
Penelitian ini dapat memberikan referensi dan penelitian yang relevan bagi
peneliti lainnya dalam menerapkan model pembelajaran guided discovery
learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah
siswa kelas V Sekolah Dasar.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menyajikan rangkuman bagian-bagian penulisan tesis
secara umum yang terdiri atas beberapa bab yang selanjutnya akan dipaparkan
dengan lebih rinci. Penulis merujuk kepada sistematika penulisan tesis yang terdiri
dari lima bab. Berikut ini adalah penjabaran struktur organisasi penulisan tesis:
Bagian awal tesis terdiri atas judul, lembar pengesahan, lembar pernyataan,
kata pengantar, abstrak, daftar (isi, tabel, gambar dan lampiran). Kemudian bagian
inti terdiri dari lima bab, diantaranya BAB 1 berisi pendahuluan, yang meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan tesis. BAB 2 merupakan kajian pustaka yang
mencakup tentang model Guided Discovery Learning, berpikir kritis, sikap ilmiah,
kerangka berpikir, penelitian relevan dan hipotesis penelitian. Bab 3 merupakan
metodologi penelitian yang mencakup metode penelitian, desain penelitian, jadwal
penelitian, lokasi dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen
pengumpulan data, prosedur dalam penelitian, dan teknik analisis data. BAB 4
merupakan temuan dan pembahasan yang mencakup temuan penelitian berdasarkan
hasil pengolahan dan analisis data, pembahasan temuan penelitian untuk menjawab
pertanyaan atau rumusan masalah penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB
5 merupakan simpulan, implikasi, dan rekomendasi.
BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1. Hakikat Model Pembelajaran Discovery Learning


Penemuan (Discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan konstruktivisme. Model ini menekankan
pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin
ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar siswa dan
gaya mengajar guru. Rancangan Pembelajaran disebutkan bahwa pada
implementasi Kurikulum 2013 sangat disarankan menggunakan model-
pandangan model pembelajaran inquiry based learning, discovery learning,
project based learning dan problem based learning. Pada setiap model
tersebut dapat dikembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
(Permendikbud,2014).
Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan
(inquiry-based), konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Menurut
pandangan kostruktivisme, belajar adalah proses aktif siswa dalam
mengonstruksi arti, wacana, dialog, dan pengalaman fisik dimana di
dalamnya terjadi proses asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau
informasi yang sudah dipelajari (Rifa’i & Anni, 2011). Model pembelajaran
discovery learning disebut juga sebagai pendekatan inkuiri bertitik tolak
pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid secara independen.
Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara ilmiah
(Alma dkk,2010).
Kemdikbud (2013) menjelaskan bahwa prinsip belajar yang nampak
jelas Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan
disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa
didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan
dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk
(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu
bentuk akhir.
Model discovery learning bertolak dari pandangan bahwa siswa
sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk
berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya. Discovery
learning merupakan metode pembelajaran kognitif yang menuntut guru lebih
kreatif menciptakan situasi yang dapat membuat peserta didik belajar aktif
menemukan pengetahuan sendiri. Bruner (1996) menyarankan agar peserta
didik belajar melalui keterlibatannya secara aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip yang dapat menambah pengalaman dan mengarah pada kegiatan
eksperimen (Dahar,2010).
2.2. Langkah Persiapan Model Discovery Learning
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat,
gaya belajar, dan sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran.
4. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari
contoh-contoh generalisasi).
5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke
simbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

2.3. Sintaks/Langkah-Langkah Model Pembelajaran Discovery Learning


1. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di
samping itu guru dapat memulai kegiatan poses belajar mengajar dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan kegiatan belajar
lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi
pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar
yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
bahan.
2. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutnya adalah guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004). Permasalahan
yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan,
atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka hadapi,
merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan
kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah,
2004). Tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian peserta didik
diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang
relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari
tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu
yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan
demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan
pengetahuan yang telah dimiliki.
4. Data Processing (Pengolahan Data)
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan
sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan
bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002). Langkahnya dengan pengkodean
atau kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis.
5. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004). Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi yang
ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu
kemudian dicek, apakah terjawab atau belum, apakah terbukti atau tidak.
6. Generalization (Menarik kesimpulan)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik
sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku
untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan
hasil verifikasi (Syah, 2004). Berdasarkan hasil verifikasi maka
dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik
kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang
menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah
atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang,
serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-
pengalaman itu.
2.4. Kekurangan dan Kelebihan Model Pembelajaran Discovery Learning
Dalam Pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan harus
diiringi dengan suatu pertimbangan untuk mendapatkan suatu kekurangan
ataupun kelebihan. Hosnan (2014) mengemukakan beberapa kelebihan dari
model discovery learning yakni sebagai berikut.
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan
ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan, dan transfer.
c. Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah.
d. Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lain.
e. Mendorong keterlibatan keaktifan siswa.
f. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
g. Melatih siswa belajar mandiri.
h. Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar, karena ia berpikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
Kurniasih & Sani (2014) juga mengemukakan beberapa kelebihan dari
model discovery learning, yaitu sebagai berikut.
a. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
b. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
c. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
d. Siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
Hosnan (2014) mengemukakan beberapa kekurangan dari model
discovery learning yaitu :
a. menyita banyak waktu karena guru dituntut mengubah kebiasaan
mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi
fasilitator, motivator, dan pembimbing,
b. kemampuan berpikir rasional siswa ada yang masih terbatas, dan
c. tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini.
Setiap model pembelajaran pasti memiliki kekurangan, namun
kekurangan tersebut dapat diminimalisir agar berjalan secara optimal.
2.5. Hakikat Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan salah satu tahapan berpikir tingkat tinggi
(Higher Order Thinking Skills/ HOTS). Ada beberapa pendapat menurut
para ahli mengenai berpikir kritis diantaranya menurut John Chaffle
(dalam Johnson, 2010) mendefinisikan berpikir kritis untuk menyelidiki
secara sistematis proses berpikir itu sendiri. Artinya tidak hanya berpikir
dengan sengaja saja, tetapi adanya proses pencarian atau proses
penyelidikan sehingga adanya bukti dan logika. Gerhand (dalam
Surwarma, 2006) mengenai berpikir kritis ialah suatu proses kompleks
yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, evaluasi
data dan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif, serta
membuat seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi.
Berpikir kritis menurut Ennis (dalam Emily, 2011) yang
menyatakan bahwa pemikiran reflektif dan masuk akal yang difokuskan
untuk memutuskan apa yang akan dipercaya atau dilakukan. Facione
(dalam Chusni, dkk (2020) berpikir kritis memiliki hasil yang berupa
interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, serta menjelaskan suatu
bukti, metode, konsep, dan kriteria, atau pertimbangan kontekstual atau
pengambilan keputusan sebagai pengaturan diri dalam memutuskan
sesuatu. Dewey (dalam Baker & Rick, 2001) mengemukakan berpikir
kritis adalah pertimbangan yang aktif, terus menerus, dan teliti tentang
sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja
dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya sehingga ada
kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Dengan makna adalah ketika seseorang menggunakan kemampuan
berpikir kritis maka orang tersebut sedang mengalami proses aktif,
dimana orang tersebut akan memikirkan hal yang lebih mendalam untuk
dirinya dengan mengajukan berbagai pertanyaan, menemukan atau
mencari informasi yang relevan. Berpikir kritis yang terus menerus dan
teliti menurutnya ialah berpikir kritis yang bukan membuat keputusan
dengan cepat tanpa memikirkannya. Dalam berpikir kritis harus
menggunakan waktu yang cukup dalam memikirkannya, sehingga
keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
alasan yang mendukung. Fisher (2009) berpikir kritis ialah cara berpikir
yang menuntut intepretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap
observasi. komunikasi, dan sumber-sumber informasi lainnya, menuntut
sebuah keterampilan memikirkan sebuah pendapat mengajukan
pertanyaan pertanyaan yang relevan implikasi-implikasi memikirkan dan
memperdebatkan isu-isu secara terus menerus.
Pandangan menurut Wahyu, dkk (2018) berpikir kritis adalah suatu
proses berpikir kompleks yaitu berpikir secara logis dan bertujuan untuk
membuat keputusan-keputusan yang masuk akal, melalui proses ilmiah
yang sistematis meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal
permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi.
Dapat disimpulkan dari beberapa pendapat bahwa kemampuan
berpikir kritis adalah kemampuan yang sangat penting untuk setiap orang.
Dalam proses berpikir kritis dapat digunakan untuk berpikir yang
rasional, masuk diakal pikiran atau logika sehingga dapat membuat
keputusan atau sebuah pertimbangan dengan melakukan kegiatan
mengenal masalah, menganalisis, memecahkan, dan menyimpulkan.
2.6. Tujuan dan Manfaat Berpikir Kritis
2.6.1. Tujuan Berpikir Kritis
Berpikir kritis mempunyai tujuan dalam pembelajaran menurut
Johnson (2010) ialah untuk mencapai pemahaman yang mendalam, sebab
pemahamam dapat membuat peserta didik memahami suatu ide.
Pemahaman bisa diperoleh melalui suatu kejadian sehingga mereka akan
berpikiran terbuka saat mereka mencari kebenarannya dengan baik
sehingga dapat dibuktikan secara logis dan logika yang benar. Sedangkan
tujuan kemampuan berpikir kritis menurut Sapriya (2011) menyatakan
bahwa tujuan berpikir kritis ialah untuk menguji suatu pendapat atau ide,
termasuk di dalamnya melakukan pertimbangan atau pemikiran yang
didasarkan pada pendapat yang diajukan, dimana pertimbangan tersebut
biasanya didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan menurut Beyer (dalam Marianus, 2016) menyatakan bahwa
berpikir kritis bertujuan agar seseorang memiliki kemampuan untuk (1)
menentukan kredibilitas suatu sumber. (2) membedakan antara yang
relevan dan tidak relevan, (3) membedakan fakta dan penilaian, (4)
mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan. (5)
mengidentifikasi bias yang ada. (6) mengidentifikasi sudut pandang, dan
(7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk kesimpulan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan tujuan
berpikir kritis dapat meningkatkan kemampuan pemahaman, menguji ide
atau pendapat, dimana didalamnya ada pertimbangan yang dilakukan
dengan meningkatkan suatu sumbe atau mencari informasi, bisa
mengetahui relevan dan tidak relevan, fakta, identifikasi, serta adanya
pembuktian seingga dapat ditarik sebuah kesimpulan.
2.6.2. Manfaat Berpikir Kritis
Berpikir kritis mempunyai manfaat praktis bagi siswa, manfaat ada
yang secara umum maupun secara khusus. Flos (dalam Frederik, dkk,
2013) yang menyatakan ada dua hal manfaat berpikir kritis secara umum
yaitu: (1) Memecahkan masalah hidup (problem solving), dan (2)
Pemahaman mendalam atas masalah. Sedangkan untuk manfaat berpikir
kritis secara khusus paling penting bagi seseorang agar mampu untuk
berpikir kritis, dan berpikir kreatif untuk bisa menemukan ide baru di
lingkungan sosial. Maka dari itu berpikir kritis harus dikembangkan sejak
dini.
2.7. Karakteristik Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis mempunyai ciri-ciri yang dapat diamati
untuk mengetahui tingkatan kemampuan berpikir kritis seseorang. Berikut
ini merupakan karakterikstik menurut Wijaya (dalam Mardiana, 2017):
a) Mengenal secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan
b) Pandai mendeteksi permasalahan
c) Mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan
d) Mampu membedakan fakta dengan diksi atau pendapat
e) Mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan atau kesenjangan
kesenjangan informasi
f) Dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis
g) Mampu mengembangkan kriteria atau standar penilaian data
h) Suka mengumpulkan data untuk pembuktian factual
i) Dapat membedakan diantara kritik membangun dan merusak
j) Mampu mengidentifikasi pandangan perspektif yang bersifat ganda
yang berkaitan dengan data
k) Mampu mengetes asumsi dengan cermat
l) Mampu mengkaji ide yang bertentangan dengan peristiwa dalam
lingkungan
m) Mampu mengidentifikasi atribut-atribut manusia, tempat, dan benda,
seperti dalam sifat, bentuk, wujud, dan lain-lain.
n) Mampu mendaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau altenatif
pemecahan terhadap masalah, ide, dan situasi.
o) Mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah
dengan masalah lainnya
p) Mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia
dengan data yang diperoleh dari lapangan.
q) Mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia
r) Dapat membedakan konklusi yang salah dan tepat terhadap informasi
yang diterimanya
s) Mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi
t) Mampu menentukan hubungan sebab akibat
u) Terampil menggunakan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
v) Mampu mengklarifikasi informasi dan ide
Berdasarkan karakteriktik di atas, maka dalam penggunaan
kemampuan berpikir kritis, ciri-ciri atau karakteristik di atas akan muncul
pada proses pembelajaran. Meskipun hanya ada beberapa yang akan muncul
pada proses pembelajaran, maka dapat diartikan bahwa sudah menggunakan
kemampuan berpikir kritis dalam proses pembelajaran.

2.8. Indikator Keterampilan Berpikir Kritis


Adapun kelompok indicator kemampuan berpikir kritis dapat
dilihat pada tabel berikut ini :

No Komponen Berpikir Kritis Indikator/Sub Berpikir Kritis

1 Memberikan penjelasan Memfokuskan Pertanyaan


sederhana (Elementary
Menganalisis Argumen
Clarification)
Bertanya dan menjawab pertanyaaan
tentang suatu penjelasan dan
tantangan

2 Membangun keterampilan Mempertimbangkan kredibilitas


dasar (basic support) suatu sumber

Mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil observasi

3 Menyimpulkan Membuat deduksi dan


(interference) mempertimbangkan hasil deduksi

Membuat induksi dan


mempertimbangkan hasil induksi

Membuat dan mempertimbangkan


nilai keputusan
4 Membuat penjelasan lebih Mendefinisikan istilah
lanjut (advanced
Mengidentifikasi asumsi
clarification)

5 Strategi dan Taktik Memutuskan suatu tindakan


(strategics and tactics)
Berinteraksi dengan orang lain

2.9. Hakikat Sikap Ilmiah


Belajar tidak hanya pada aspek kognitif, aspek afektif pun
merupakan bagian yang sangat penting. Menurut Anderson (2001) salah
satu hasil afektif (affective outcome) adalah sikap. Sikap merupakan
suatu kemampuan internal yang sangat berperan dalam mengambil
tindakan (action) terutama bila dihadapkan pada beberapa alternatif
(Wingkel, 1996).
Pendidikan sains harus melahirkan sikap dan nilai-nilai ilmiah
karena sangat penting dimiliki dan diperlihatkan oleh siswa dalam
kehidupan sehari hari. Depdiknas (2002) mengembangkan sikap ilmiah
dalam pembelajaran antara lain berani dan santun dalam mengajukan
pertanyaan dan berargumentasi, ingin tahu, peduli lingkungan, mau
bekerjasama, cermat, kreatif dan inovatif, kritis, disiplin, jujur, objektif
dan beretos kerja tinggi.
Menurut Iskandar (2004), sikap mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap perilaku dan belajar siswa, karena sikap itu membantu siswa
dalam merasakan duntanya dan memberikan pedoman kepada prilaku
yang dapat membantu dalam menjelaskan dunianya. Sikap diperoleh
melalui proses seperti pengalaman, pembelajaran, identifikasi, perilaku
peran (juga dapat dimodifikasi dan diubah Menurut Dyah (2007-67),
hubungan yang terjadi antara sikap ilmiah dengan hasil belajar
menunjukkan hubungan yang cukup kuat dengan saling mempengaruhi,
dimana sikap ilmiah siswa mempengaruhi hasil belajar siswa, ataupun
sebaliknya Sikap ilmiah pada siswa membantu dalam proses belajar
untuk meningkatkan prestasi dan hasil belajar yang diharapkan.
2.10. Indikator Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah adalah sikap yang melekat pada diri seseorang
setelah mempelajari sains yang mencakup: rasa ingin tahu, sikap
objektif dan jujur, sikap terbuka, sikap keuletan, sikap berpikir kritis,
dan sikap kerjasama. Berikut aspek-aspek ilmiah yang dikembangkan
dalam pembelajaran di sekolah. Aspek-aspek sikap ilmiah yang
dikembangkan diturunkan menjadi beberapa indikator dapat dilihat
pada Tabel 2.4. Indikator dikembangkan oleh penulis yang diadaptasi
dari Harlen (1996) adalah:

Aspek Sikap Ilmiah Indikator Sikap Ilmiah

Rasa Ingin Tahu 1. Antusias pada kegiatan praktikum


2. Siswa bertanya berkaitan kegiatan
praktikum
3. Memfokukan perhatian pada objek
yang diamati/kegiatan praktikum
Sikap Objektif dan Jujur 1. Menuliskan data sesuai dengan
kenyataan pada waktu praktikum
2. Tidak memanipulasi data
Sikap Terbuka 1. Menghargai pendapat orang lain
2. Menerima saran/kritik dari orang lain
3. Tidak mengabaikan data meskipun
kecil
4. Menjawab pertanyaan teman lain
Sikap Keuletan 1. Tidak putus asa saat terjadi kegagalan
2. Mengulangi kegiatan yang dilakukan
Sikap berpikir kritis 1. Tidak mudah percaya temuan orang
lain
2. Menanyakan setiap perubahan atau
hal baru
Sikap Kerjasama 1. Mengajak teman untuk melakukan
pengamatan
2. Berbagi kesempatan dalam
melakukan pengamatan
3. Membantu teman yang mengalami
kesulitan
4. Tidak memilih teman dalam
melakukan pengamatan
Assesmen sikap berbeda dengan assesmen prestasi akademik.
Assesmen prestasi akademik tujuan atau kemampuan yang harus
dicapai siswa ditetapkan berhasil atau gagal. Sedangkan assesmen
sikap, peserta didik tidak dapat diberi target, untuk meningkatkan minat
dan Sikap Ilmiahnya. Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan
karakter bangsa melalui pendidikan, sesungguhnya aspek-aspek
tersebut sudah sesuai dengan sikap ilmiah yang ada dalam pembelajaran
sains. Seperti sikap ilmiah yang dikembangkan oleh Depdiknas (2002)
dalam pembelajaran antara lain: berani dan santun dalam mengajukan
pertanyaan dan berargumentasi, ingin tahu, peduli lingkungan, mau
bekerjasama, cermat, kreatif dan inovatif, kritis, disiplin, jujur, objektif
dan beretos kerja tinggi. Adapun penilaian kompetensi sikap oleh
pendidik dapat dilakukan melalui observasi, penilaian diri (self
assessment), penilaian antar teman sejawat (peer assessment), dan
jurnal (Suryani, 2016).

2.11. Kerangka Berpikir


Kemampuan berpikir kritis di abad 21 merupakan salah satu
kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran saat ini tidak seperti kegiatan yang biasanya yaitu
terdapat interaksi antara pendidik dengan peserta didik secara langsung.
Sehingga perlu adanya perlakuan yang baik agar kondisi pembelajaran
peserta didik tidak mengalami penurunan pada aspek pengetahuan,
sikap, dan keterampilan. Dengan aktivitas belajar seperti itu,
dikhawatirkan tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik dan dapat berpangaruh terhadap sikap ilmiah peserta
didik. Akan terjadi penurunan sikap ilmiah peserta didik jika proses
pembelajaran tidak mengalami perubahan
Model discovery learning menurut Hosnan (2014) merupakan
suatu model untuk mengembangkan cara belajar aktif dengan
menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh
akan setia dan tahan lama dalam ingatan. Sehingga penerapan model
discovery learning yang bisa membuat kegiatan peserta didik lebih aktif
dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah
peserta didik karena kemampuan berpikir kritis berkaitan dengan sikap
ilmiah yang dimilki oleh seseorang (Nugraha, dkk. 2017). Berikut ini
kerangka pemikiran penerapan model discovery learning untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik
sekolah dasar.

Kerangka Berpikir Model Pembelajaran Discovery Learning Untuk


Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Sikap Ilmiah

Kurangnya kemampuan Pretest Sebelum menerapkan


Kondisi berpikir kritis dan sikap model Guided
ilmiah peserta didik Discovery Learning

Kelas kontrol diberi


Pemberian Perlakuan Materi IPA SD
perlakuan model
konvensional

Materi IPA SD
Posttest

Tidak terdapat
Kelas eksperimen
peningkatan berpikir
menerapkan model
kritis dan sikap
Guided Discovery
ilmiah di kelas
Learning
Posttest kontrol

Terdapat
2.12. Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian yang berjudul, "Analisis Kemampuan Berpikir pada
Model Discovery Learning Berdasarkan Pembelajaran Tematik"
oleh Aenullael Mukarromah dan E Kuss Eddy Sartono pada tahun
2018. Jenis penelitian ini yaitu penelitian deskriptif dengan
metode kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa
kelas IV di gugus IV kecamatan Nara dan sampel dalam
penelitian ini adalah kelas IV SDN I Mara yang berjumlah 21
orang. Dari hasil analisis test kemampuan berpikir kritis setalah
mendapatkan perlakuan dengan penerapan model pembelajaran
discovery learning sebesar 24% dengan kategori sangat tinggi,
62% kategori tinggi dan 14% kategori sedang, dengan rata-rata
nilai 69.40. Dari hasil penelitian menunjukkan seluruh siswa kelas
IV SDN 1 Mara memiliki kemampuan berpikir kritis dengan
kategori tinggi.
2. Penelitian yang berjudul, "Meta Analisis Pengaruh Pendekatan
Discovery Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kriitis Siswa
Kelas V Tematik Muatan IPA" oleh Waskito Yogi Noviyanto dan
Niniek Sulistya Wardani pada tahun 2020. Jenis penelitian ini
dengan menggunakan metode penelitian meta-analisis dengan
sampel sebanyak 10 artikel pada jurnal nasional dan instrumen
berupa lembaran pemberian kode. Penelitian ini menunjukkan
bahwa pengaruh model pembelajaran discovery learning terhadap
kemampuan berpikir kritis dari subjek siswa kelas V menyatakan
bahwa discovery learning lebih efektif digunakan pada peserta
didik. Kemampuan berpikir kritis siswa yang berbeda-beda
dengan nilai rata-rata mulai dari yang terendah 5,35% sampai
yang tertinggi 32.19% dengan rata rata sebesar 108,68%. Dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis
muatan pelajaran IPA siswa sebelum dan sesudah menggunakan
discovery learning, sehingga dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa model discovery learning sangat berpengaruh positif
terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
3. Penelitian berjudul "Peningkatan Ecoliteracy Siswa dalam
Budidaya Tanaman Melalui Discovery Learning pada
Pembelajaran IPS di kelas V SDN Citimun I Kecematan
Cimalaka Kabupaten Sumedang" oleh Ira Restu Kurnia tahun
2017. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas
(PTK) dengan pendekatan deskriptif kualitatif, serta desain
penelitian yang digunakan model spiral menurus Kemmis dan
Taggart dalam tiga siklus dengan menerapkan model
pembelajaran discovery learning. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa mengalami peningkatan disetiap siklus dalam aspek
pengetahuan, kesadaran, dan aplikasi mengenai budidaya tanman
yang meliputi pengolahan tanah, mempersiapkan benih.
pemberian pupuk pemeliharaan tanaman serta penyiangan.
Sehingga penelitian ini terbukti benar bahwa penggunaan model
discovery learning dapat meningkatkan ecoliteracy siswa dalam
budidaya tanaman.
4. Penelitian ini berjudul "Pengaruh Strategi Heuristik dalam
Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis Matematis dan Sikap Ilmiah Belajar Siswa" oleh Usman
tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi
eksperimen dengan nonequivalent control group design.
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV di SDN di
Kabupaten Aceh Timur. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis
dan Sikap Ilmiah belajar siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan strategi heuristik lebih baik daripada siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional pada materi pecahan. Serta
melalui pembelajaran dengan strategi heuristik, Sikap Ilmiah
belajar siswa meningkat sehingga siswa dapata memiliki rasa
keingintahuan terhadap pelajaran dan terlibat aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
2.12. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara untuk
menjawab rumusan masalah. adapun hipotesis pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis 1
Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas
eksperimen dengan menerapkan model pembelajaran discovery
learning lebih baik daripada peningkatan kemampuan berpikir
kritis peserta didik di kelas control.
2. Hipotesis 2
Peningkatan sikap ilmiah peserta didik di kelas eksperimen
dengan menerapkan model pembelajaran discovery learning lebih
baik daripada peningkatan kemampuan sikap ilmiah peserta didik
di kelas kontrol.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
1.
2.
3.
3.1. Metodologi Penelitian
Metode penelitian menurut Sugiyono (2016) dapat diartikan sebagai
cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat
ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, sutau pengetahuan tertentu
sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan,
dan mengantisipasi masalah.. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian quasi eskperimental design. Metode penelitian eskperimen
merupakan metode percobaan untuk mempelajari pengaruh dari varibel
tertentu terhadap variabel yang lain, melalui uji coba kondisi khusus yang
sengaja diciptakan (Creswell, 2013). Penelitian eksperimen merupakan salah
satu jenis penelitian kuantitatif yang dilaksanakan untuk mencari hubungan
sebab akibat. Penelitian kuantitatif dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan relasional dari variabel-variabel dalam penelitian
(Wiliams, 2007). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berupa
angka untuk mengukur seberapa besar pengaruh model pembelajaran
discovery learning berbasis pembelajaran jarak jauh terhadap kemampuan
berpikir kritis dan sikap ilmiah siswa di kelas IV sekolah dasar.
3.2. Desain Penelitian
Dalam penelitian eksperimen, terdapat bentuk desain antara lain pre-
ekspermintal design, true eksperimental design, factorial design, dan quasi
eskperimental design. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah quasi eskperimental design. Menurut Sugiyono (2016, hlm. 72) desain
eksperimen kuasi mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak sepenuhnya bisa
mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen. Penelitian eksperimen kuasi ini digunakan untuk mengetahui
perbedaan kemampuan kelas yang diberi perlakuan dengan kelas yang tidak
diberi perlakuan. Desain penelitian eksperimen yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk nonequivalent control group design. Menurut
Sugiyono (2016, hlm. 77), dalam penelitian ini akan terdapat dua kelompok
yang tidak dipilih secara random. Keduanya kemudian diberi pretes untuk
mengetahui keadaan awal dan mengetahui perbedaan antara kelompok
ekperimen atau diberikan perlakuan dengan menggunakan model discovery
learning dan kelompok kontrol/ tidak diberikan perlakuan.
Berdasarkan desain penelitian yang telah dikemukakan di atas, berikut
merupakan gambaran desain penelitian nonequivalent control group design
menurut Sugiyono (2016).

Desain Penelitian Nonequivalent Control Group Design

Kelas Pre-test Perlakuan Post-Test


Kontrol O1 (-) O3
Eksperimen O2 X O4

Keterangan :

O1 : Pre-Test Awal (kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah) pada kelas
kontrol sebelum diberikan perlakuan.

O2 : Pre-Test Awal (kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah) pada kelas
eksperimen sebelum menerapkan model discovery learning

O3 : Post-Test Akhir (kemampuan berpikir kritis dan Sikap Ilmiaha belajar) pada
kelas kontrol setelah memberikan perlakuan

O4 : Post-Test Akhir (kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah) pada kelas
eksperimen setelah menerapkan model discovery learning

(-) : Kelas kontrol yang tidak diberikan perlakuan

X : Pembelajaran dengan menerapkan model discovery learning

3.3. Tempat Penelitian, Populasi, dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasai yang terdiri atas obyek/subyek
yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
penelitian untuk dipelajari dan kemudia ditarik kesimpulannya. Sedangakan
Sampel adalah partikel dari jumlah dan ciri yang dipunyai sama populasi.
a) Tempat Penelitian
Tempat penelitian merupakan lokasi di mana penelitian dilakukan
(Kasmadi & Siti, 2014). Tempat penelitian di SDN Bukit Duri 05, yang
beralamat di Jl. Peruk No. 32 RT 008 RW 003 Kelurahan Bukit Duri,
Kecamatan Tebet, Kota Administrasi Jakarta Selatan.
b) Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subjek
yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, Sugiyono
(dalam Kasmadi & Siti, 2014). Populasi pada penelitian ini adalah
seluruh peserta didik kelas V di SDN Bukit Duri 05. Sedangkan sampel
pada penelitian ini terdapat dua kelas yaitu kela V-A berjumlah 30 siswa
untuk kelas eksperimen dengan menerapkan model discovery learning
dan kelas V-B berjumlah 30 siswa untuk kelas kontrol yang tidak
menerapkan model pembelajaran.
c) Sampel
Sampel adalah sebagaian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut, Sugiyono (dalam Kasmadi & Siti, 2014).
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
Nonprobability Sampling yang menggunakan teknik purposive sampling.
Dikarenakan penentuan sampling dalam penelitian ini tidak dipilih secara
acak melainkan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu (Alwi, 2015).
Dengan hal ini, peneliti mempertimbangkan pengambilan sampel yaitu
prestasi belajar peserta didik yang sama-sama berada dalam kategori
sedang, kemudian karakteristik siswa di kelas tersebut sama-sama
beragam secara akademik dengan kategori sangat baik, baik, sedang, dan
kurang.
3.4. Jadwal Penelitian
Waktu Pelaksanaan Penelitian
No Kegiatan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
Pendahulu
1.
an                                                
Latar
2. Belakang
Masalah                                                
Identifikas
i Masalah
3. &
Rumusan
Masalah                                                
Kajian
4.
Teori                                                
Pembahas
5.
an Metode                                                
Kisi-Kisi
7.
Instrumen                                                
Seminar
8.
Proposal                                                
9. Revisi
Pretes dan
10.
Postes
Validitas
11. Reliabilita
s
Analisis
12
Data
Kesimpula
13
n & Saran
Pemenuha
n
14
Administr
asi Peneliti
Sidang
15
Tesis
Outline
16
Sidang
3.5. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini, akan memberikan gambaran alur penelitian
yang akan membantu dalam melakukan penelitian, berikut ini alur
pelaksanaan penelitian sebagai berikut:

Prosedur Penelitian

S tu d i P e n d a h u lu a n S tu d i L iteratu r

In d e n tifik a s i d a n M e ru m u s k a n M a s a la h

Model Discovery Learning u n tu k M e n in g k a tk a n


K e m a m p u a n B e rp ik ir K ritis d a n S ik a p Ilm ia h P e s e rta d id ik
S e k o la h D a s a r

P e n e n tu a n S u b je k P e n e litia n

P e m b u a ta n , R e v isi d a n P e n g e sa h a n In stru m e n

Pengambilan Data

P re -te st d a n P re -n o n te s t

K e la s E k sp e rim e n
K e la s K o n tr ol
Pembelajaran model
P e m b e la ja ra n K o n v e n sio n a l
D is co v e ry L e a rn in g

P ost-te st d a n P os t-n o nte st

Pengolahan Data

A n a lis is D a ta

Kesimpulan

Tahapan dari prosedur penelitian yaitu Tahap pertama, pada latar belakang
terdapat sebuah temuan berdasarkan hasil riset/ studi pendahuluan dan studi
literatur. Sehingga peneliti menyusun judul untuk melakukan suatu penelitian
yaitu model pembelajaran discovery learning dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik di sekolah dasar. Tahap kedua,
berdasarkan judul tersebut peneliti merumuskan masalah dengan tujuan
mengetahui seberapa signifikan pengaruh model pembelajaran discovery
learning dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah
peserta didik di sekolah dasar dengan menggunakan metode penelitin kuasi
eksperimen dengan desain penelitian nonequivalent control group design.
Tahap ketiga, peneliti menentukan populasi, sampel penelitian yang terdiri dari
dua kelas yakni kelas yang diberikan perlakuan atau eksperimen dan kelas
yang tidak diberikan perlakukan atau kelas kontrol. Kelas eksperimen atau
kelas yang diberikan perlakukan menerapkan model pembelajaran discovery
learning sedangkan kelas kontrol atau kelas yang tidak diberikan perlakuan
tidak menerapkan model pembelajaran. Tahap keempat, peneliti menyusun
instrumen tes yaitu soal pretest dan posttest untuk mengetahui kemampuan
berpikir kritis dan instrument berupa angket untuk sikap ilmiah peserta didik
yang di validasi oleh ahli. Tahap kelima, dilaksanakan kegiatan pretes dan
treatment pada kelas eksperimen dengan menerapkan model pembelajaran
discovery learning dan kelas kontrol atau kelas yang tidak diberikan perlakuan
selama 5 kali pertemuan. Dimana pertemuan pertama itu adalah kemampuan
awal (pretest) dan pertemuan kelima itu kemampuan akhir (posttest) pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol, sehingga untuk pemberian treatment akan
diberikan sebanyak 3 kali. Tahap keenam, peneliti melakukan analisis data
yang didapatkan dari hasil pretest dan postest dengan uji normalitas,
homogenitas dan uji perbedaan rerata yang bertujuan untuk mengetahui
kemampuan berpikir kritis peserta didik dan pada hasil angket akan
mengetahui hasil sikap ilmiah peserta didik. Tahap ketujuh, dari hasil analisis
yang diperoleh, peneliti menyusun laporan penelitian yang berjudul model
pembelajaran discovery learning pada pembelajaran jarak jauh untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap ilmiah peserta didik.
3.6. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
3.6.1. Teknik Pengumpulan Data
Data adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan responden
maupun yang berasal dari dokumen-dokumen, baik dalam bentuk statistik
atau dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian menurut Joko Subagyo
dalam Purwanto (2016). Pengumpulan data adalah proses yang dilakukan
oleh peneliti untuk mengungkapkan atau menjaring fenomena, lokasi atau
kondisi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian menurut Arikunto (2015,
hlm. 76). Berdasarkan uraian tersebut, pengumpulan data merupakan proses
yang dilakukan oleh peneliti untuk mengungkapkan atau menjaring
fenomena, lokasi atau kondisi penelitian yang digunakan untuk memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian
sehingga memperoleh data yang berasal dari dokumen-dokumen, baik dalam
bentuk statistik atau bentuk lainnya sehingga dapat digunakan untuk menguji
hipotesis dan penarikan kesimpulan. Alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah seperangkat instrumen. Sugiyono (2016, hlm.
102) menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah suatu alat yang
digunakan mengukur suatu data. Adapun jenis pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa tes dan non tes, sebagai berikut:
a. Tes
Pandangan Arikunto dalam Iskandar & Narsim (2015) mengenai tes
merupakan serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan pengetahuan intelegensi,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
Teknik tes adalah pelaksanaan penilian dengan menyajikan kumpulan
pertanyaan yang harus dijawab. Alat penilaian teknik tes meliputi tes
obyektif, dengan bentuk soal pilihan ganda, menjodohkan, melengkapi
isian, jawaban singkat dan soal benar-salah. Adapun pengumpulan data
yang digunakan peneliti adalah soal essay agar dapat mengetahui
kemampuan berpikir kritis siswa. Pelaksanaan tes sebelum diberikan
perlakuan dan setelah diberikan perlakuan di kelas eksperimen dan kelas
kontrol.
b. Non Tes
Arikunto (2015) menyatakan bahwa teknik non tes meliputi skala
bertingkat, kuisioner, daftar cocok, wawancara, pengamatan, dan riwayat
hidup. Metode penilaian non tes dilaksanakan melalui wawancara,
observasi dan angket. Adapun pengumpulan data non tes yang digunakan
peneliti adalah angket dan lembar observasi untuk mengetahui Sikap
Ilmiah belajar dan keterlaksanaan dalam penerapan model pembelajaran
yang digunakan. Proses pengambilan angket akan dilaksanakan sebelum
diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan lembar observasi akan diambil
ketika proses pembelajaran berlangsung, guna melihat keterlaksanaan
penerapan model pembelajaran.

3.6.2. Instrumen Penelitian


Instrumen merupakan suatu alat yang memenuhi persyaratan
akademis, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur atau
mengumpulkan data mengenai suatu variabel (Intang, 2007) Instrumen
penelitian yang digunakan peneliti ialah instrumen berupa tes untuk
kemampuan berpikir kritis, angket untuk mengetahui Sikap Ilmiah belajar
peserta didik dan lembar observasi untuk melihat proses pembelajaran secara
langsung dengan penerapan model pembelajaran. Instrumen yang dibuat
berupa tes dan angket harus ada tahap uji validitas, reliabilitas, tingkat
kesukaran, dan daya pembeda soal supaya soal tersebut dapat dinyatakan
layak untuk diterapkan dalam pengumpulan data. Berikut ini instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini:

Variabel Indikator Sub indikator Responden Instrumen

Kemampuan Memberikan Bertanya dan menjawab Siswa Test


Berpikir penjelasan pertanyaan tentang suatu tertulis/
Kritis sederhana penjelasan atau uraian
(elementary tantangan
clarification)
Membangun Mengobservasi dan Siswa Test
keterampilan dasar mempertimbangkan tertulis/
(basic hasil observasi uraian
support)
Menyimpulkan Membuat Siswa Test tertulis/
uraian
(interence) deduksi dan
mempertimbangkan
hasil deduksi
Membuat Mengidentifikasi Siswa Test tertulis/
uraian
penjelasan lebih asumsi
lanjut (advanced
clarification)
Mengatur Memutuskan Siswa Test
tertulis/
strategi dan teknik suatu
uraian
tindakan

a. Instrumen Tes
Instrumen tes pada penelitian ini untuk mengukur kemampuan
berpikir kritis siswa. Jenis instrumen tes berupa soal essay yang akan
diberikan kepada siswa. Berikut ini adalah kisi-kisi instrumen
kemampuan berpikir kritis menurut Norris & Ennis dalam Chusni, dkk
(2020):
b. Instrumen Angket
Instrumen angket digunakan untuk mengetahui sikap ilmiah
peserta didik. Berikut ini kisi-kisi indikator sikap ilmiah siswa.

Aspek Sikap Ilmiah Indikator Sikap Ilmiah

Rasa Ingin Tahu 1. Antusias pada kegiatan praktikum


2. Siswa bertanya berkaitan kegiatan
praktikum
3. Memfokukan perhatian pada objek
yang diamati/kegiatan praktikum
Sikap Objektif dan Jujur 1. Menuliskan data sesuai dengan
kenyataan pada waktu praktikum
2. Tidak memanipulasi data
Sikap Terbuka 1. Menghargai pendapat orang lain
2. Menerima saran/kritik dari orang lain
3. Tidak mengabaikan data meskipun
kecil
4. Menjawab pertanyaan teman lain
Sikap Keuletan 1. Tidak putus asa saat terjadi kegagalan
2. Mengulangi kegiatan yang dilakukan
Sikap berpikir kritis 1. Tidak mudah percaya temuan orang
lain
2. Menanyakan setiap perubahan atau
hal baru
Sikap Kerjasama 1. Mengajak teman untuk melakukan
pengamatan
2. Berbagi kesempatan dalam
melakukan pengamatan
3. Membantu teman yang mengalami
kesulitan
4. Tidak memilih teman dalam
melakukan pengamatan

3.7. Uji Coba Instrumen


Uji coba instrumen dilakukan untuk mengetahui validitas dan
realibilitas instrumen penelitian. Instrumen yang dinyatakan valid dan
realibel, dapat dikatakan instrument yang baik dan dan dikehendaki untuk
digunakan peneliti untuk mengukur apa yang akan diteliti (Salim dan
Haidir, 2009). Validatas instrumen yang dianalisis merupakan validitas logis
dan validitas empiris (Kurnia Eka Lestari 2016).
1. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kesahihan suatu alat ukur berupa instrumen. Groulund (dalam Arifin,
2017) menyebutkan validitas adalah ketepatan interpretasi yang
diperoleh dari hasil penilaian. Validitas yang digunakan dalam
penelitian adalah validitas isi dan validitas butir. Instrumen dapat
dikatakan valid jika instrumen tersebut dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur dalam proses penelitian. Instrumen memiliki
validitas yang tinggi jika hasilnya sesuai dengan kriteria (Arikunto,
2009). Tinggi rendahnya suatu instrument sangat bergantung pada
koefisien korelasinya, hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh
John W. Best (Suherman, 2003) bahwa suatu instrumen mempunyai
validitas tinggi jika koefisien korelasinya tinggi pula. Pada penelitian
ini uji validitas yang digunakan ialah Uji Validitas Koefisien korelasi
Product Moment Pearson yang dikembangkan oleh Karl Pearson,
dengan rumus :

𝑁 Σ𝑋𝑌 − (Σ𝑋). (Σ𝑌)


𝑟𝑥𝑦 =
√[𝑁Σ𝑋2 − (Σ𝑋)2]. [𝑁Σ2 − (Σ𝑌)2]
(Kurnia Eka Lestari 2016)
keterangan:
rxy : koefisien korelasi antara skor butir (x) dan
total skor (y) N : banyak subjek
X : butir soal/pernyataan
Y : total skor
Adapun ketentuan klasifikasi koefisien korelasi validitas sebagai
berikut:

Koefisien Validitas Kategori

0.800 - 1.00 Sangat Tinggi

0.600 - 0.799 Tinggi

0.400 - 0.599 Sedang

0.200 - 0,399 Rendah

0.000 - 0.199 Sangat Rendah

< 0.000 Tidak Valid


2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat ketetapan atau keajegan yang sejauh mana
suatu tes dapat dipercaya menghasilkan skor yang tidak berubah
walaupun dites dalam situasi yang berbeda. Artinya, kapanpun alat
penilaian tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama
(Sudjana, 2008). Senada dengan pendapat Gronloud (dalam Khumaedi,
2012) yang menyatakan bahwa reliabilitas merupakan konsistensi skor
instrumen, yaitu seberapa jauh konsistensi skor itu dari satu pengukuran
ke pengukuran yang lain. Dalam menguji reliabilitas penelitian ini,
peneliti menggunakan rumus Alpha Cronbach untuk menentukan
Reliabilitas instrumen tes tipe subjektif dan non tes, yaitu instrumen
angket Sikap Ilmiah belajar dan tes soal uraian kemampuan berpikir
kritis. Adapun rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:

Rumus Cronbach :
𝑛 Σ 𝑠𝑖2
𝑟 =( ) (1 − )
𝑠𝑡
𝑛−1 3

Keterangan :
r11 = koefisien Reliabilitas
n = banyak butir soal

Klasifikasi Reliabilitas Instrumen Alpha Cornbach

Batasan Kategori
0.91 - 1.00 Reliabilitas Sangat Tinggi
0.71 – 0.90 Reliabilitas Tinggi
0.41 – 0.70 Reliabilitas Sedang
0.21 – 0,40 Reliabilitas rendah
0.000 – 0.20 Reliabilitas sangat rendah
-1,00 – 0,19 Tidak Reliabel

3. Tingkat Kesulitan
Tingkat kesukaran atau kesulitan (item difficulty, item facility)
merupakan suatu pernyataan tentang seberapa sulit dan mudah suatu butir
pertanyaan bagi peserta. Tingkat kesukaran dihitung dengan dasar bahwa
jika suatu soal memiliki tingkat kesukaran yang seimbang maka dapat
dikatakan soal tersebut baik. Tingkat kesukaran suatu soal dilihat atau
dipandang berdasarkan cara pandang seorang peserta didik dalam
menjawab soal tersebut bukan berdasarkan guru. Pada penelitian ini
terdapat satu bagian yang akan dihitung tingkat kesukarannya yaitu tes
soal uraian.
Berikut menganalisis tingkat kesukaran soal pada tes uraian
menggunakan rumus :
TK = X : SMI
(Dengan TK = Tingkat Kesukaran, X = Nilai Rata-Rata Tiap Butir
Soal dan SMI = Skor Maksimum Ideal).
Berdasarkan tingkat kesukaran soal dengan interprestasi tingkat
kesukaran, yang mengacu pada pendapat ahli (S. Arikunto 2010, 201),
sesuai dengan kriteria atau klasifiasi kesukarannya yaitu sebagai berikut :

Kriteria Interprestasi Tingkat Kesukaran

Interval Tingkat Kesukaran


0.00 – 0.30 Sulit
0.31 – 0.70 Sedang
0.71 – 1.00 Mudah

4. Daya Pembeda
Menganalisis atau menghitung daya pembeda dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui atau menilai suatu butir soal dalam
membedakan antara peserta didik yang berada pada kelompok atas dan
peserta didik yang berada pada kelompok bawah. Dengan demikian
perhitungan daya pembeda pada uji instrumen ini dilakukan dengan
rumus.
DP : Daya Pembeda
XA : Rata-rata skor kelompok atas
XB : Rata-rata skor kelompok bawah
SMI :Skor Maksimum Ideal
Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Interprestasi atau
penafsiran DP
DP ≥ 0,70 Baik Sekali (digunakan)
0,40 ≤ DP < 0,70 Baik (digunakan)
0,20 ≤ DP < 0,40 Cukup
DP < 0,20 Kurang

3.8. Teknik Analisis Data


Analisis data yang dilakukan meliputi pengolahan data terhadap hasil
tes baik pretest maupun postest dari kelas eksperimen dan kelas kontrol
dengan uji N-gain. Test tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan
berpikir kritis.
Tes pretest digunakan untuk melihat kemampuan awal sebelum
diberikan perlakukan dan posttest digunakan untuk melihat kemampuan
setelah diberikan perlakuan. Pengolahan data ini dilakukan dengan bantuan
software IBM SPSS 22, yaitu dengan menggunakan uji T, dimana sebelum
melakukan uji T terhadap data maka terlebih dahulu yaitu melakukan uji
normalitas dan homogenitas data, sebagai berikut:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui bahwa sebaran data
penelitian beridisribusi normal atau tidak, menurut Kasmadi & Siti
(2014). Normal atau tidaknya distribusi data akan menjadi syarat untuk
menentukan jenis statistik yang digunakan dalam analisis selanjutnya.
Rumusan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
H1 : Sampe berasal dari populasi berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian yang digunakan adalah jenis signifikansi (sig).
Jika nilai signifikansi kurang dari 0,05 maka H0 ditolak dan jika nilai
signifikansi lebih dari atau sama dengan 0,05 maka H0 diterima.
Selanjutnya jika distribusi data normal dilanjutkan dengan uji
homogenitas. Namun apabila distribusi data tidak normal, maka
pengujian langsung dilakukan dengan statistik non-parametrik yaitu uji
Mann-Whitney.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji kesamaan varians
populasi yang berdistribusi normal, menurut pendapat Kasmadi & Siti
(2014). Rumusan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang memiliki varians yang
homogen
H1 : Sampel dari populasi yang memiliki varians tidak
Homogen
Kriteria pengujian jika H0 diterima apabila signifikansi > taraf
signifikansi (α= 0,05).
3. Uji Hipotesis Perbedaan Rata-Rata
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji kesamaan varians
populasi yang berdistribusi normal, menurut pendapat Kasmadi & Siti
(2014). Rumusan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang memiliki varians yang homogen
H 1: Sampel berasal dari populasi yang memiliki varians tidak Homogen
DAFTAR PUSTAKA

Abi Hamid, Mustofa, dkk. 2020. Media Pembelajaran. Medan: Yayasan Kita
Menulis.

Alma, Buchari, dkk. 2010. Pembelajaran Studi Sosial. Bandung : CV Alfabeta.

Anni, Catharina Tri dan Achmad Rifa’i. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang:
UNNES Press.

Arikunto. 2015. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka


Cipta.

Dahar, R. W. 2010. Teori- teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

David W. Johnson. 2010. Colaborative Learning: Strategi Pembelajaran Untuk


Sukses Bersama. Jakarta: Nusamedia

Djamarah Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta

Eka Lestari, Karunia dan Mokhammad Ridwan Yudhanegara. 2015. Penelitian


Pendidikan Matematika. Bandung: PT Refika Aditama

Fisher, Alec. 2009. “Berpikir Kritis”. Jakarta: Erlangga

Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad


21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kurniasih Imas dan Berlin Sani, 2014. Teknik dan Cara Mudah Memuat
Penelitian Tindakan Kelas Jakarta: Kata Pena.

Lai, Emily R. 2011; Collaboration: A Literature Review, p;1-48

Mardiana, R. 2017. Penerapan Model Pembelajaran Debat terhadap Kemampuan


Berpikir Kritis Peserta Didik. Skripsi Jurusan Pendidikan Ekonomi FKIP UNSIL:
Tidak Diterbitkan.

Mira Azizah, dkk. 2018. “Analisis Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar Pada
Pembelajaran Matematika Kurikulum 2013”. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol.
35. No. 1.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: PT


Alfabet.

Suwarna, dkk. 2006. Pengajaran Mikro Pendekatan Praktis dalam Menyiapkan


Pendidik Profesional. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Syah, 2004. Langkah Pembelajaran dan Keuntungan Model Discovery Learning.
diakses 22 Juli.

Wahyu Mustajab, dkk.2018. “Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA


Pada Materi Koperasi”. Oikos : Jurnal kajian Pendidikan Ekonomi dan Ilmu
Ekonomi. ISSN Online : 2549-2284 vol. II Nomor 1.

Anda mungkin juga menyukai