Anda di halaman 1dari 74

1

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN CONNECTING,


ORGANIZING, REFLECTING, EXTENDING UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DALAM
PEMBELAJARAN SEJARAH PADA SISWA KELAS X
DI SMA TERPADU MATHLA'UL ANWAR BOJONG KECAMATAN
BOJONG KABUPATEN PANDEGLANG TAHUN 2022

SKRIPSI

Oleh :

WIDIAWATI
2288150037

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
2022
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 7
D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Efektivitas Pembelajaran ........................................................................... 10
B. Model Pembelajaran .................................................................................. 12
C. Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting dan
Extending (CORE) .................................................................................... 15
D. Kemampuan Berpikir Kritis ...................................................................... 19
E. Penelitian Yang Relevan ........................................................................... 21
F. Kerangka Berpikir ..................................................................................... 22
G. Hipotesis Penelitian ................................................................................... 23

BAB III METODE PENELITIAN


A. Metode Penelitian ...................................................................................... 25
B. Populasi dan Sampel .................................................................................. 26
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 27
D. Instrumen dan Analisis Instrumen Penelitian ............................................ 28
E. Validitas dan Reliabilitas Instrument ........................................................ 29
F. Teknik Analisis Data ................................................................................. 34
G. Prosedur Penelitian .................................................................................... 38
H. Jadawal Penelitian ...................................................................................... 39
3

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Data ............................................................................................ 40
B. Pengujian Persyaratan Analisis .................................................................. 45
C. Pengujian Hipotesis .................................................................................... 46
D. Pembahasan hasil Penelitian ...................................................................... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ................................................................................................ 53
B. Saran .......................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAPIRAN
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini pendidikan di Indonesia menerapkan keterampilan abad 21

dalam kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis

kompetensi. Menurut Suciana N (2014) “Kompetensi yang dimaksud adalah

sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dimiliki siswa ketika terjun

di masyarakat”. Sedangkan keterampilan abad 21 menekankan Creativity and

Inovation, Critical Thinking and Problem Solving, Communication,

Collaboration (4C), literasi, kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order

Thinking Skills/ HOTS, dan Penguatan Pendidikan Karakter (Saputri, Sajidan,

& Rinanto, 2017:131).

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan

manusia dan pendidikan ini akan berlangsung sepanjang hayat manusia, di

manapun manusia berada. Dapat dikatakan bahwa dimana ada kehidupan

manusia, di situ pasti ada pendidikan, Driyarkara (Dwi Siswoyo, 2011 : 32).

Pendidikan itu tidak lepas dari kehidupan manusia. Oleh karena itu,

penyelenggaraan pendidikan ini ditanamkan sejak dini mulai dari hal yang

mendasar. Hal-hal yang mendasar itu di tanamkan pada saat duduk di bangku

sekolah dasar. Pendidikan sekolah dasar merupakan awal untuk mengasah

kemampuan dasar seperti kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, dan

kemampuan berpikir, dimana kemampuan berpikir itu merupakan suatu

kegiatan mental untuk membangun dan memperoleh pengetahuan.


2

Guru merupakan faktor yang sangat penting dalam menetukan

keberhasilan proses belajar dan mengajar sebab guru merupakan kunci

pencapaian misi penyempurnaan proses pembelajaran. Hal ini bisa dilihat dari

bagaimana cara guru untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa

pada saat proses pembelajaran yang berlangsung sehingga tercapai kualitas

pendidikan yang baik. Umumnya guru belum dapat menciptakan suasana

pembelajaran yang menyenangkan, hal ini dikarenakan masih banyak guru

yang menggunakan pembelajaran konvensional. (Tety, 2018. 2)

Pembelajaran konvensional yang kurang melibatkan siswa sebab guru

menjadi pusat informasi sepenuhnya bagi siswa. Guru menerangkan pelajaran

dengan cara ceramah di kelas dan memberi tugas, sehingga pembelajaran

hanya berlangsung satu arah yang menyebabkan rasa bosan. Jika siswa merasa

jenuh dan bosan pada cara mengajar guru, tentu mereka akan bersikap acuh

tak acuh pada materi yang disampaikan oleh guru. Guru dituntut untuk

menumbuhkan semangat dan motivasi belajar siswa yang memungkinkan

berpartisipasi secara aktif, untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, mampu

menganalisa dan dapat memecahkan masalahnya sendiri. Selain itu, guru juga

diharapkan mampu menguasai kelas dengan baik, menguasai materi

pembelajaran dan mampu mengarahkan siswanya melalui berbagai cara yang

kreatif dan inovatif, menciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar,

agar siswa terpacu semangatnya dan pengajaran yang mereka terima dapat

terserap dengan baik. (Tety, 2018. 2)


3

Kegiatan pembelajaran di sekolah kebanyakan masih didominasi oleh

guru, sehingga siswa kurang terlibat aktif dalam pembelajaran. Dengan

demikian, kreativitas siswa kurang berkembang. Hal tersebut tampak pada saat

pembelajaran berlangsung siswa merasa malu dan takut untuk menanyakan

materi pelajaran yang tidak mereka pahami. Jika dilihat dari hasil pekerjaan

siswa belum mampu untuk mengerjakan dengan baik, masih banyak siswa

yang menunda-nunda mengerjakan tugas dari guru. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut diperlukan model pembelajaran yang dapat

memfasilitasi siswa-siswai untuk mengembangkan kreativitasnya dalam

pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat mendorong siswa

mengembangkan kreativitasnya yaitu model pembelajaran Connecting,

Organizing, Reflecting, and Extending (CORE).

Model pembelajaran CORE adalah salah satu model pembelajaran

yang belandaskan pada teori konstruktivisme bahwa sIswa harus dapat

mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, melalui interaksi diri dengan

lingkungannya. Chambliss & Calfee (1998:332) menyatakan bahwa model

CORE merupakan suatu model pembelajaran yang dapat mempengaruhi

perkembangan pengetahuan dengan cara melibatkan peserta didik melalui

kegiatan CORE.

Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan.

Kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa dapat dilatih dengan

pembelajaran yang menuntut siswa untuk melakukan penemuan dan

memecahkan masalah sehingga salah satu model pembelajaran yang


4

diasumsikan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil

belajar siswa.

Menurut Sanjaya (2009), berpikir baru dikatakan kritis manakala si

pemikir berusaha menganalisis argumentasi dan permasalahan secara cermat,

mencari bukti dan solusi yang tepat, serta menghasilkan kesimpulan yang

mantap untuk mempercayai dan melakukan sesuatu. Kemampuan berpikir

kritis akan muncul dalam diri siswa apabila selama proses pembelajaran di

dalam kelas, guru membangun pola interaksi dan komunikasi yang lebih

menekankan pada proses pembentukan pengetahuan secara aktif oleh siswa.

Semakin sering umpan balik yang dilakukan guru kepada siswa, maka akan

semakin berkembang kemampuan siswa dalam bertanya, berargumentasi,

maupun menjawab pertanyaan dari guru. Semakin sering siswa dilatih untuk

berpikir kritis pada saat proses pembelajaran di kelas, maka akan semakin

bertambah pula pengetahuan dan pengalaman siswa dalam memecahkan

permasalahan di dalam maupun di luar kelas.

Oleh karena itu, menjadi tugas bagi guru untuk mampu meningkatkan

kemampuan berpikir kritis dalam proses pembelajaran yang dipimpinnya.

Untuk memberikan kemampuan berpikir kritis kepada siswa, tidak diajarkan

secara khusus sebagai suatu mata pelajaran. Akan tetapi, dalam setiap mata

pelajaran yang diajarkan oleh guru, kemampuan berpikir kritis hendaknya

mendapatkan tempat yang utama. Karena dengan berpikir kritis, mampu

menumbuhkan dan meningkatkan pemahaman, pengertian dan ketrampilan

dari para siswa dalam memecahkan permasalahan di kehidupan


5

kesehariannya. Sehingga, disini guru perlu menggali terus kemampuan

berpikir siswa, mengingat kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan bagi

siswa dalam proses pembelajaran.

Hasil pengamatan awal yang dilakukan penulis di SMA Terpadu

Mathla'ul Anwar Bojong Kecamatan Bojong Kabupaten Pandeglang ketika

sedang berlangsungnya proses belajar mengajar terlihat masih kurangnya

keaktifan dan kemampuan siswa dalam berpikir kritis serta memecahkan suatu

masalah dalam proses pembelajaran di kelas, dalam proses pembelajaran di

kelas, masih banyak siswa yang enggan untuk bertanya, menjawab, maupun

menanggapi pertanyaan dari guru.

Selain itu kurangnya variasi pembelajaran yang dilaksanakan hal itu

terlihat monoton dan menyebabkan tidak aktifnya siswa dalam mengikuti

pembelajaran dikarenakan guru hanya menerangkan dan juga memberikan

pertanyaan kepada siswa sehingga siswa tidak terpacu dan kurang memiliki

keberanian untuk menjawab. Tidak efektivnya pembelajaran karena tidak

didukung dengan penggunaaan metode pembeljaran yang tepat.

SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong merupakan SMA Swasta yang

didirikan pada tahun 2011, sekolah ini memilkiki rombel 6 kelas terdiri dari 2

kelas IX, 2 kelas untuk kelas X dan 2 kelas 2 kelas untuk kelas XI dengan

jumlah keseluruhan siswa berjumlah 174 oramg.

Alasan SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong dijadikan sebagai

objek penelitian hal ini dikarenakan beberapa pertimbangan diantaranya lokasi

sekolah yang mudah dijangkau oleh peneliti, adanya orang yang dikenal
6

sebagai guru di sekolah tersebut sehingga memudahkan penulis untuk

melakukan penelitian, dan yang terakhir adalah factor ekonomis di mana biaya

yang dikleuarkan untuk melakkan penelitian tersebut tidak terlalu besar.

Berdsarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik meneliti lebih jauh

lagi mengenai efektifitas metode pembelajaran dan juga berpikir kritis siswa

dengan judul penelitian “Efektivitas Model Pembelajaran Connecting,

Organizing, Reflecting, Extending (CORE) Untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran Sejarah Pada Siswa

Kelas X di SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong Kecamatan Bojong

Kabupaten Pandeglang Tahun 2022”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, dapat

diutarakan masih banyak permasalahan yng dihadapi dalam proses

pembelajaran diantaranya:

1. kurangnya keaktifan dan kemampuan siswa dalam berpikir kritis serta

memecahkan suatu masalah dalam proses pembelajaran di kelas.

2. masih banyak siswa yang enggan untuk bertanya, menjawab, maupun

menanggapi pertanyaan dari guru.

3. kurangnya variasi pembelajaran yang dilaksanakan hal itu terlihat

monoton dan menyebabkan tidak aktifnya siswa dalam mengikuti

pembelajaran
7

4. guru hanya menerangkan dan juga memberikan pertanyaan kepada siswa

sehingga siswa tidak terpacu dan kurang memiliki keberanian untuk

menjawab.

5. Tidak efektivnya pembelajaran karena tidak didukung dengan

penggunaaan metode pembeljaran yang tepat

C. Pembatasan Masalah

1. Definisi Konseptual

Kemampuan berpikir kritis adalah suatu kemampuan dalam

membuat atau menarik kesimpulan dari segala informasi yang ia ketahui,

ia pun dapat mengetahui bagaimana menggunakan informasi yang ia

punya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, dan mencari sumber

informasi yang relevan untuk membantunya menyelesaikan sebuah

permasalahan

2. Definisi Operasional

Kemampuan berpikir kritis adalah adalah skor yang diukur

berdasarkan hasil tes mata pelajaran sejarah dengan membandingkan

persamaan dari soal yang diajukan.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang telah penulis tetapkan sebagai berikut:

“Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa

antara yang menggunakan model pembelajaran Connecting, Organizing,

Reflecting, Extending (CORE) dengan siswa yang menggunakan metode


8

pembelajaran interaktif pada siswa kelas X SMA Terpadu Mathla'ul Anwar

Bojong?”

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui perbedaan peningkatan

kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran

model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE)

dengan siswa yang menggunakan metode pembelajaran interaktif pada siswa

kelas X SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong”

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa

a. Memberikan suasana baru dalam pembelajaran sehingga siswa lebih

termotivasi dalam belajar.

b. Meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran sejarah sehingga

iklim kelas menjadi kondusif.

c. Meningkatkan berpikir kritis siswa dalam menjawab persoalan .

2. Bagi Guru

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi guru dalam pemilihan model

pembelajaran dalam mengajar sebagai upaya meningkatkan kualitas

pembelajaran (khususnya performace guru dalam kelas).


9

b. Memberi masukan pada guru agar lebih memperhatikan masalah-

masalah yang terkait dalam pembelajaran sehingga dapat

meningkatkan mutu proses belajar mengajar

3. Bagi Sekolah

a. Meningkatkan kualitas pembelajaran sebagai upaya pemenuhan

standar proses pada delapan Standar Nasional Pendidikan sesuai

dengan PP No. 19 Tahun 2005.

b. Feed back bagi sekolah dalam upaya pengembangan kualitas

pembelajaran di sekolah.
10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran

1. Pengertian Efektivitas

Efektivitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh

tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut

sesuai dengan pengertian efetivitas menurut Moore D.Kenneth Dalam

Syarif (2015:1) efektivitas suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh

target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai, atau makn besar

presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Pada kegiatan

mengajar terkandung kemampuan menganalisis kebtuhan siswa,

mengambil putusan apa yang harus dilakukan , merancang pembelajaran

yang efektif dan efisien, mengaktifkan siswa melalui motifasi eksrinstik

dan ntrinsik, mengevaluasi hasil belajar, serta merevisi pembelajaran

berikutnya agar lebih efektif guna meningkatkan prestasi belajar siswa.

Pengertian efektivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas

merupakan suatu ukuran ang menyatakan seberapa jauh target (kuantias,

kualitas dan waktu) yang telah tercapai oleh manajmen,yang mana target

tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Hal ini dapat di padankan dalam

pembelajaran seberapa jauh tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan

dapat dicapai dengan capaian kuantitas, kualitas dan waktu. Dalam

konteks kegiatan pembelajaran perlu dipertimbangkan efektivitas artinya

sejauhmana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai sesuai harapan.


11

2. Ciri-ciri Efektivitas

Menurut Harry Firman (1987) menyatakan bahwa keefektifan

program pembelajaran ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Berhasil mengantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksional

yang telah ditentukan

b. Memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa

secara aktif sehingga menunjang pencapaian tujuan instruksional

c. Memiliki sarana-sarana yang menunjang proses belajar mengajar.

Berdasarkan ciri program pembelajaran efektif seperti yang

digambarkan diatas, keefektifan program pembelajaran tidak hanya

ditinjau dari segi tingkat prestasi belajar saja, melainkan harus pula

ditinjau dari segi proses dan sarana penunjang.

3. Kriteria efektivitas

Menurut Susanto (2013) menerangkan bahwa efektivitas metode

pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

keberhasilan dari suatu proses pembelajaran.Keefektifan dapat diukur

dengan melihat minat siswa terhadap kegiatan pembelajaran. Jika siswa

tidak berminat untuk mempelajari sesuatu, maka tidak dapat diharapkan ia

akan berhasil dengan baik dalam mempelajari materi pelajaran.

Sebaliknya, jika siswa belajar sesuai dengan minatnya, maka dapat

diharapkan hasilnya akan lebih baik.

Efektifitas metode pembelajaran merupakan suatu ukuran yang

berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran.


12

Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan

motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi

untuk belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik.

Serta siswa belajar dalam keadaan yang menyenangkan Jadi ketuntasan

belajar diartikan sebagai pendekatan dalam pembelajaran yang

mempersyaratkan peserta didik dalam menguasai secara tuntas seluruh

standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang telah ditetapkan.

Ketuntasan belajar dapat dilihat secara perorangan maupun kelompok.

B. Model Pembelajaran

1. Pengertian Model Pembelajaran

Model secara harfiah berarti “bentuk”, dalam pemakaian secara

umum model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi dan

pengukurannya yang diperoleh dari beberapa sistem. Sedangkan menurut

Agus Suprijono (2011: 45), model diartikan sebagai bentuk representasi

akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau

sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Pengertian

menurut Syaiful Sagala (2007: 175) mengemukakan bahwa model

pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang

sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar peserta didik

untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman

bagi perancang pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan

melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Model pembelajaran ialah pola


13

yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di

kelas maupun tutorial (Agus Suprijono, 2011: 46).

Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai

pedoman dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Karakteristik Model Pembelajaran

Ismail yang dikutip oleh Rachmadi Widdiharto (2004: 3)

menyebutkan bahwa istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri

khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu:

a. Rasional teoritik yang logis yang disusun oleh penciptanya

b. Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai

c. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut berhasil

d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran tercapai

Rangke L Tobing, dkk sebagimana dikutip oleh Indrawati dan

Wanwan Setiawan (2009: 27) mengidentifikasi lima karakteristik suatu

model pembelajaran yang baik, yang meliputi berukut ini:

a. Prosedur ilmiah Suatu model pembelajaran harus memiliki suatu

prosedur yang sistematik untuk mengubah tingkah laku peserta didik

atau memiliki sintaks yang merupakan urutan langkah-langkah

pembelajaran yang dilakukan guru-peserta didik.

b. Spesifikasi hasil belajar yang direncanakan Suatu model pembelajaran

menyebutkan hasil-hasil belajar secara rinci mengenai penampilan

peserta didik.
14

c. Spesefikasi lingkungan belajar Suatu model pembelajaran

menyebutkan secara tegas kondisi lingkungan di mana respon peserta

didik diobservasi.

d. Kriteria penampilan Suatu model pembelajaran merujuk pada kriteria

penerimaan penampilan yang diharapkan dari para peserta didik.

Model pembelajaran merencanakan tingkah laku yang diharapkan dari

peserta didik yang dapat didemonstrasikannya setelah langkahlangkah

mengajar tertentu.

e. Cara-cara pelaksanaannya Semua model pembelajaran menyebutkan

mekanisme yang menunjukkan reaksi peserta didik dan interaksinya

dengan lingkungan.

Guru sebagai perancang pembelajaran harus mampu mendisain

seperti apa pembelajaran yang akan dilaksanakan. Model pembelajaran

merupakan disain pembelajaran yang akan dilaksanakan guru di dalam

kelas. Dengan melihat beberapa ciri khusus dan karakteristik model

pembelajaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum

mengajar, guru harus menentukan model pembelajaran yang akan

digunakan. Dengan model pembelajaran, guru dapat melaksanakan proses

pembelajaran sesuai dengan pola, tujuan, tingkah laku, lingkungan dan

hasil belajar yang direncanakan. Dengan demikian proses pembelajaran

akan berjalan dengan baik dan tepat sesuai dengan mata pelajarannya.
15

C. Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting dan Extending

(CORE)

1. Definisi Model Pembelajaran CORE

Model pembelajaran CORE yaitu model pembelajaran yang

mencakup empat aspek kegiatan yaitu connecting, organizing, reflecting,

dan extending. Calfee (dalam Yuniarti, 2013) menjelaskan tentang

pentingnya diskusi dalam pembelajaran. Model pembelajaran tersebut

adalah CORE yang merupakan singkatan dari Connecting, Organizing,

Reflecting dan Extending.

Menurut Harmsen (dalam Azizah, 2012) bahwa elemen-elemen

tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi lama dengan

informasi baru, mengorganisasikan sejumlah materi yang bervariasi,

merefleksikan segala sesuatu yang siswa pelajari dan mengembangkan

lingkungan belajar. Penjelasan mengenai model pembelajaran CORE

selengkapnya disajikan pada uraian berikut:

a. Connecting Connect secara bahasa artinya come or bring together,

sehingga connecting dapat diaritkan dengan menghubungkan.

Pengetahuan yang berguna adalah konstektual, dihubungkan dengan

apa yang telah siswa ketahui. Diskusi menentukan koneksi untuk

belajar. Agar dapat berperan dalam suatu diskusi, siswa harus

mengingat informasi dan menggunakan pengetahuannya yang

dimilikinya untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya. Calfee

(dalam Yuniarti, 2013) berpendapat bahwa siswa belajar melaui


16

diskusi belajar yang baik memiliki pertalian (coherence). Di samping

itu, Katz & Nirula (dalam Yuniarti, 2013) menyatakan bahwa dengan

connecting, bagaimana sebuah konsep/ide dihubungkan dengan ide

lain dalam sebuah diskusi kelas.

b. Organizing Organize secara bahasa berarti arrange in a system that

works well, artinya siswa mengorganisasikan informasi-informasi yang

diperolehnya. Diskusi membantu siswa dalam mengorganisasikan

pengetahuannya. Calfee (dalam 9 Yuniarti, 2013) berpendapat bahwa

berbagai partisipan berusaha untuk mengerti dan berkontribusi

terhadap diskusi, mereka dikuatkan dengan menghubungkan dan

mengorganisasikan apa yang mereka ketahui. Dalam hai ini Katz &

Nirula (dalam Yuniarti, 2013) menyatakan tentang bagaimana

seseorang mengorganisasikan ide-ide mereka dan apakah organisasi

tersebut membantu untuk memahami konsep.

c. Reflecting Reflect secara bahasa berarti think deeply about something

and express, artinya siswa memikirkan secara mendalam terhadap

konsep yang dipelajarinya. Sagala (dalam Yuniarti, 2013)

mengungkapkan refleksi adalah cara berpikir kebelakang tentang apa-

apa yang sudah dilakukan dalam hal belajar di masa lalu. Siswa

mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur

pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari

pengetahuan sebelumnya. Diskusi yang baik dapat meningkatkan

kemampuan berpikir reflektif siswa. Guru melatih siswa untuk berpikir


17

reflektif sebelum dan sesudah dikusi berlangsung. Menurut

O’Flavohan & Stein (dalam Yuniarti, 2013), hal ini dapat

mempengaruhi secara signifikan terhadap kemampuan siswa dengan

merefleksikan pada interaksi dan pada substansi berpikirnya.

d. Extending Extend secara bahasa berarti make longer and larger, artinya

dsikusi dapat membantu memperluas pengetahuan siswa. Perluasan

pengetahuan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan

kemampuan yang dimiliki siswa. Guthrie (dalam Yuniarti, 2013)

menyatakan bahwa pengetahuan dekralatif dan prosedural siswa

diperluas dengan cepat sehingga mereka meneliti terhadap jawaban

atas pertanyaan yang mereka miliki, pengetahuan metakognitif

meningkat sehingga mereka melakukan stratergi berdiskusi untuk

memperoleh informasi sesama temannya dan guru serta mencoba

untuk menjelaskan temuannya kepada teman-teman sekelasnya.

2. Karakteristik Model Pembelajaran CORE

Model pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir siswa

untuk menghubungkan, mengorganisasikan, mendalami, mengelola, dan

mengembangkan informasi yang didapat. Dalam model ini aktivitas

berpikir sangat ditekankan kepada siswa. Siswa dituntut untuk dapat

berpikir kritis terhadap informasi yang didapatnya. Kegiatan

mengoneksikan konsep lama-baru siswa dilatih untuk mengingat informasi

lama dan menggunakan informasi/konsep lama tersebut untuk digunakan

dalam informasi/konsep baru.


18

Kegiatan mengorganisasikan ide-ide, dapat melatih kemampuan

siswa untuk mengorganisasikan, mengelola informasi yang telah

dimilikinya. Kegiatan refleksi, merupakan kegiatan memperdalam,

menggali informasi untuk memperkuat konsep yang telah dimilikinya.

Extending, dengan kegiatan ini siswa dilatih untuk mengembangkan,

memperluas informasi yang sudah didapatnya dan menggunakan informasi

dan dapat menemukan konsep dan informasi baru yang bermanfaat.

3. Keunggulan dan Kelemahan

a. Keunggulan Sebagai suatu model pembelajaran, CORE memiliki

beberapa keunggulan, di antaranya :

1) Siswa aktif dalam belajar

2) Melatih daya ingat siswa tentang suatu konsep/informasi

3) Melatih daya pikir kritis siswa terhadap suatu masalah.

4) Memberikan pengalaman belajar kepada siswa, karena siswa

banyak berperan aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran

menjadi bermakna

b. Kelemahan Disamping keunggulan model pembelajaran CORE juga

memiliki kelemahan, diantaranya:

1) Membutuhkan persiapan matang dari guru untuk menggunakan

model ini.

2) Menuntut siswa untuk terus berpikir kritis.

3) Memerlukan banyak waktu.


19

4) Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan model

pembelajaran CORE.

D. Kemampuan Berpikir Kritis

1. Pengertian Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam

proses pembelajaran terutama dalam pembelajaran matematika, salah

satunya adalah berpikir kritis. Menurut Ennis (Maftukhin, 2013:22)

“berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang

berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan.”

Dari definisi tersebut dapat diungkapkan beberapa hal penting yaitu

berpikir kritis difokuskan ke dalam pengertian sesuatu yang penuh

kesadaran dan mengarah pada sebuah tujuan. Tujuan berpikir kritis adalah

untuk mempetimbangkan dan mengevaluasi informasi yang pada akhirnya

memungkinkan untuk membuat keputusan.

Adapun 12 indikator kemampuan berpikir kritis yang

dikelompokkan menjadi 5 kelompok kemampuan berpikir kritis menurut

Ennis (Maftukhin, 2012:24):

a. Klarifikasi Dasar (Elementary Clarification)

Klarifikasi dasar terbagi menjadi tiga indikator yaitu (1)

mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan, (2) menganalisis

argumen, dan (3) bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi dan

atau pertanyaan yang menantang.


20

b. Memberikan Alasan untuk Suatu Keputusan (The Basis for The

Decision)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator yaitu (1)

mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber dan (2) mengobservasi

dan mempertimbangkan hasil observasi.

c. Menyimpulkan (Inference)

Tahap menyimpulkan terdiri dari tiga indikator (1) membuat

deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, (2) membuat induksi

dan mempertimbangkan hasil induksi, dan (3) membuat dan

mempertimbangkan nilai keputusan.

d. Klarifikasi Lebih Lanjut (Advanced Clarification)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator yaitu (1)

mengidentifikasikan istilah dan mempertimbangkan definisi dan (2)

mengacu pada asumsi yang tidak dinyatakan.

e. Dugaan dan Keterpaduan (Supposition and Integration)

Tahap ini terbagi menjadi dua indikator (1) mempertimbangkan

dan memikirkan secara logis premis, alasan, asumsi, posisi, dan usulan

lain yang tidak disetujui oleh mereka atau yang membuat mereka

merasa ragu-ragu tanpa membuat ketidaksepakatan atau keraguan itu

mengganggu pikiran mereka, dan (2) menggabungkan kemampuan

kemampuan lain dan disposisi-disposisi dalam membuat dan

mempertahankan sebuah keputusan.


21

Berdasarkan penjelasan di atas, kemampuan berpikir kritis bukan

berarti mengumpulkan informasi saja terkadang seseorang yang mempunyai

daya ingat yang baik dan mengetahui banyak akan informasi belum tentu baik

dalam berpikir kritis. Hal ini dikarenakan seseorang yang berpikir kritis

seharusnya mempunyai kemampuan dalam membuat atau menarik kesimpulan

dari segala informasi yang ia ketahui, ia pun dapat mengetahui bagaimana

menggunakan informasi yang ia punya untuk menyelesaikan sebuah

permasalahan, dan mencari sumber informasi yang relevan untuk

membantunya menyelesaikan sebuah permasalahan.

E. Penelitian Yang Relevan

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai

Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE)

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis siswa diantaranya adalah:

1. Webby Sita Rahmawati (2014). Dengan judul penelitianya “Penerapan

Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending

(CORE) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Siswa SMP” di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan

kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP yang pembelajarannya

menggunakan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat

pembelajaran dengan model konvensional; kualitas peningkatan

kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya

menggunakan model CORE termasuk kedalam kategori sedang; dan sikap


22

siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan model CORE adalah

positif.

2. Diki Rahman, (2018) Judul Skripsi “Penerapan Model Pembelajaran

Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) Dalam

Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir

Kritis Matematis Siswa Kelas X IPA di SMA N 1 Sungayang”, hasil

penelitiannya membuktikan bahwa Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan penerapan

model pembelajaran CORE lebih baik dari pada kemampuan berpikir kritis

matematis siswa menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Epi Patimah (2020), Upaya Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa Dengan

Menggunakan Model Pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,

Reflecting, And Extending). Kemampuan berpikir kritis siswa lebih tinggi

disebabkan pembelajaran menggunakan model pembelajaran CORE

membagikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan

berpikir kritisnya melalui interaksi dengan teman satu timnya atau satu

kelompoknya dan mentransfer pengetahuan yang dimiliki untuk

mengambill keputusan dan menyelesaikan masalah yang diberikan. Hasil

penelitian di atas dapat disimpulkan dengan dengan beberapa hal: Pertama

terdapat perbedaan atau pengaruh kemampuan berpikir kritis siswa dengan

memakai model pembelajaran CORE. Kedua ada korelasi antara

penggunaan model CORE dengan kreativitas atas kemampuan berpikir

kritis siswa.
23

F. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang dapat digambarkan adalah sebagai berikut:

Siswa

Penentuan sampel dalam penelitian

Eksperimen Kontrol

Kontrol Pembelajaran Kontrol Pembelajaran dengan


dengan menggunakan model menggunakan model
CORE interaktif

Test

Perbandingan kemampuan
berpikir kritis pada Mata
pelajaran Sejarah

Gambar 1

Kerangka Berpikir

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan uraian sebelumnya maka dapat

diusulkan suatu hipotesis sebagai berikut : “Terdapat perbedaan peningkatan


24

kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model pembelajaran

Connecting, Organizing, Reflecting dan Extending (CORE) dengan siswa

yang menggunakan pembelajaran interaktif pada siswa kelas X SMA Terpadu

Mathla'ul Anwar Bojong”


25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan

metode eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi

experimental designs. Desain ini dipilih karena penelitian yang dilaksanakan

melibatkan dua kelas sebagai sampel, yang mana kedua sampel tidak

ditentukan secara acak. Lebih spesifiknya, penelitian ini menggunakan desain

penelitian the nonequivalent pretest-posttest control group design.

Desain ini dipilih karena kedua kelompok kelas akan diberikan pretest

(O) untuk mengetahui kondisi kemampuan awal siswa. Kemudian satu kelas

diberikan treatment atau perlakuan (X) dengan menerapkan model CORE

dalam pembelajaran, sedangkan satu kelas yang lain tidak diberikan perlakuan

atau menggunakan pembelajaran interaktif. Kelas yang diberikan perlakuan

disebut kelas eksperimen, sedangkan kelas yang tidak diberi perlakuan atau

menggunakan pembelajaran interaktif disebut kelas kontrol. Setelah itu

dilakukan posttest (O) pada kedua kelas untuk mengetahui hasilnya. Adapun

ilustrasi dari desain penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1.
Desain Penelitian

Kelas Pretest Treatment Posttest


XA O1 X O2
XB O1 O2
Sumber : (Sukardi, 2009 : 185)
26

Keterangan:

XA : Kelas eksperimen yang menjadi sampel penelitian


XB : Kelas kontrol yang menjadi sampel penelitian
X : Treatment dengan menggunakan model CORE
O1 : Pretest
O2 : Posttest

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek yang digunakan dalam

penelitian. Menurut Sukardi (2009), populasi merupakan semua manusia,

binatang, peristiwa, maupun benda yang berada pada satu tempat dan

secara terencana menjadi target terhadap kesimpulan dari suatu penelitian.

Berdasarkan pengertian populasi di atas, maka populasi yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan sekumpulan orang yaitu siswa kelas X

SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong Tahun Ajaran 2021/2022.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-IPS. Populasi

dari penelitian ini terdiri dari 4 kelas yaitu kelas X-IPS 1, X-IPS 2, X-IPS

3, DAN X-IPS 4. Pada masing-masing kelas berjumlah 20 siswa.

Tabel 3.2
Distribusi Populasi Penelitian Siswa Kelas X-IPS
No Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah
1. X-IPS 1 13 7 20
2. X-IPS 2 11 9 20
3. X-IPS 3 11 9 20
4. X-IPS 4 12 8 20
Jumlah 80
Sumber: Tata Usaha SMA Terpadu Mathla’ul Anwar Bojong Tahun
Ajaran 2021/2022
27

2. Sampel

Sampel merupakan bagian yang memiliki karakteristik sama

dengan populasi, sehingga dapat mewakili populasi. Berdasarkan metode

penelitian yang digunakan yaitu penelitian kuasi eksperimen, maka

pengambilan sampel dilakukan secara tidak acak. Adapun teknik

pengambilan sampel menggunakan purposive sampling atau teknik

penentuan sampel dengan berdasarkan pada pertimbangan tertentu.

Teknik purposive sampling ini dipilih karena dalam menentukan

sampel berdasarkan pada pertimbangan yang dimiliki peneliti untuk

memperoleh informasi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian

(Sukardi, 2009). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua

rombongan belajar kelas X IPS 1 dan kelas X IPS 2

Tabel 3.3
Sampel yang digunakan
Kelas Kelas yang Diteliti Jumlah Siswa
Kelas Eksperimen X-IPS 2 20
Kelas Kontrol X-IPS 1 20

I. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2017: 137) teknik pengumpulan data adalah cara-

cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam

pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik tes dan observasi.

1. Tes
Tes adalah merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk
mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan
28

aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2018: 67). Tes alat


pengukur yang berfungsi untuk mengetahui kemampuan seseorang
berdasarkan pertanyaan, perintah maupun petunjuk yang diberikan untuk
mendapat respon sesuai petunjuk tersebut.
Tes yang diberikan adalah tes tertulis yaitu sejumlah pertanyaan
yang diajukan secara tertulis tentang aspek-aspek kemampuan berpikir
kritis dan jawaban yang diberikan secara tertulis. Teknik tes ini digunakan
untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif yaitu nilai kemampuan
berpikir kritis siswa.
Tes yang digunakan oleh peneliti berupa soal pretest dan posttest.
Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis. Pretest
digunakan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis awal siswa
sebelum diberikan treatment sedangkan posttest digunakan untuk
mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa setelah dilakukan treatment.
Adapun instrumen tes yang digunakan dapat dilihat selengkapnya pada
lampiran.
2. Observasi
Menurut Sutrisno Hadi dalam Sugiyono (2016: 145) observasi
merupakan suatu proses yang kompleks. Suatu proses yang tersusun dari
berbagai proses biologis dan psikologis. Observasi pada penelitian ini
dilakukan pada saat prapenelitian. Observasi dilakukan untuk mengetahui
proses pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru. Adapun hasil
observasi pra penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat selengkapnya
pada lampiran.

C. Instrumen dan Analisis Instrumen Penelitian

Adapun instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan

data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah instrumen tes dan lembar

observasi. Terdapat tiga jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya, yaitu tes

tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan (Arifin, 2009). Berdasarkan hal tersebut,
29

jenis tes yang digunakan sebagai instrumen adalah tes tertulis, dengan tipe tes

subjektif berupa soal uraian (essay). Instrumen tes tersebut akan digunakan

sebagai soal pretest dan posttest. Instrumen tes akan mengukur kemampuan

berpikir kritis siswa dengan materi yang diambil yaitu penyajian data yang

terdapat pada mata pelajaran sejarah pada penelitian ini materi pembelajaran

mengenai “Indonesia Zaman Hindu dan Buddha” . Sedangkan lembar

observasi digunakan sebagai instrumen penunjang untuk mengetahui

keefektifan pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen. Lembar

observasi yang digunakan terdiri dari lembar observasi kegiatan guru dan

lembar observasi kegiatan siswa.

D. Validitas dan Reliabilitas Instrument

a. Validitas

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi.

Menurut Sugiyono (2014 : 129) Validitas isi merujuk pada perbandingan

antara isi instrument dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Secara

teknis pengujian pengujian validitas isi dapat dibantu dengan

menggunakan kisi-kisi instrument, atau matrik pengembangan instrument.

Untuk menguji validitas butir-butir instrument lebih lanjut setelah

dikonsultasikan dengan dosen ahli atau dosen validator, maka selanjutnya

diujicobakan, dan dianalisis dengan analisis item atau uji beda.

Adapun prosedur untuk menghitung hasil validitas menurut

Fatmawati (2016) adalah sebagai berikut :

1) Menghitung skor validitas dari hasil validasi ahli menggunakan rumus:


30

( )

( )

2) Hasil validitas yang telah diketahui presentasenya dapat dicocokkan

dengan kriteria validitas yang disajikan pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3.4
Kriteria Validitas
No Skor Kriteria Validitas
1 78,1% - 100% Sangat Valid
2 59,1% - 78% Valid
3 41,1% - 59% Cukup Valid
4 4 00.1% - 41% Tidak Valid

Berdasarkan hasil uji validitas didapat sebesar 58.5%, nilai tersebut

masuk pada katagori cukup valid karena nilai 58.5% terletak di antara

41,1% - 59%. hal ini Kriteria Validitas Soal tes yang diterima dalam

penelitian ini adalah yang memiliki skor validitas ≥ 41,1%.

b. Reliabilitas

Suatu tes dikatakan reliabel apabila tes tersebut dapat dipercaya

dan konsisten. Untuk mengetahui reliabilitas tes digunakan dengan metode

belah dua (split-half method) pembelahan awal-akhir, pertama dihitung

dengan rumus korelasi product moment dengan angka kasar, lalu

dilanjutkan dengan rumus Alpha Cronbach, yaitu :

s
2
i
r=( )( 2
)
st
31

dengan rumus varians adalah:


(∑ )

S 2=

Keterangan:
N : Banyaknya Siswa
X2: Kuadrat Skor Per item
X : Skor per item
(Karunia Eka Lestari : 2017)

Tabel 3.5
Aturan Penetapan Reliabilitas
Rentang Pencapaian Interpretasi
0,9< r11< 1,0 sangat tinggi
0,7< r11< 0,9 tinggi
0,4< r11< 0,7 cukup
0,2< r11 ≤ 0,4 rendah
0,0< r11 ≤ 0,2 sangat rendah
( Karunia Eka dan Moch Ridwan yudhanegara (2017)

Berdasarkan uji reliabilitas terhadap 5 item soal dengan

menggunakn rumus Alpha diperoleh = 0,72, sehingga dapat disimpulkan

bahwa 5 item soal tersebut reliabilitasnya tinggi.

Adapun hasil analisis reliabilitas instrumen tes soal yang dipakai

dijelaskan lebih rinci pada lampiran.

c. Daya Pembeda

Daya beda dari sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal

tersebut membedakan siswa yang mempunyai kemampuan tinggi,

kemampuan sedang dengan siswa yang berkemampuan rendah.


32

Menurut Arifin (2013: 133) untuk mencari daya beda soal uraian

digunakan rumus berikut :

1) Menghitung jumlah skor total tiap siswa.

2) Mengurutkan skor total mulai dari skor terbesar sampai dengan skor

terkecil.

3) Menetapkan kelompok atas dan kelompok bawah. Jika jumlah siswa

tergolong banyak (>30) dapat ditetapkan 27%.

4) Menghitung rata-rata skor untuk masing-masing kelompok.

5) Menghitung daya beda soal dengan rumus :

̅ ̅

Keterangan :
DP : Indeks Daya Pembeda Butir Soal
̅A : Rata-Rata Skor Jawaban Siswa Kelompok Atas
̅B : Rata-rata Skor Jawaban Siswa Kelompok Bawah
SMI : Skor Maksimal Ideal
(Karunia Eka Lestari ; 2017)
Klasifikasi daya pembeda butir soal yang digunakan ditunjukkan

pada tabel berikut :

Tabel 3.6
Klasifikasi Daya Pmbeda
Koefisien Korelasi Interpretasi Daya embeda
0,70 DP 1,00 Sangat Baik
0,40 DP 0,70 Baik
0,20 DP 0,40 Cukup
0,00 DP 0,20 Buruk
DP 0,00 Sangat Buruk
( Karunia Eka dan Moch Ridwan yudhanegara (2017)
33

Berdasarkan hasil uji coba 5 item soal dapat digunakan berikut

tabel analisis daya pembeda soal :

Tabel 3.7
Daya Pembeda Item Soal Tes Kemampuan Berpikir Kritis
No Item Daya Beda Keterangan
1 0,55 Baik
2 0,37 Cukup
3 0,45 Baik
4 0,48 Baik
5 0,42 Baik
Sumber: Pengolahan Data (Perhitungan pada Lampiran)

d. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaran

suatu butir soal. Tingkat kesukaran berhubungan dengan daya pembeda.

Suatu butir soal memiliki tingkat kesukaran yang baik apabila soal tersebut

dapat membedakan mana kelompok atas dan mana kelompok bawah.

Artinya tingkat kesukaran suatu butir soal dapat membedakan siswa

berdasarkan kemampuan yang dimiliki.

Menurut Lestari dan Yudhanegara (2015 : 224) tingkat kesukaran

suatu butir soal dapat diinterpretasikan dalam kriteria yang terdapat pada

tabel 5 Berikut (Lestari dan Yudhanegara, 2015: 224).

Tabel 3.8.
Tingkat Kesukaran
Tingkat Kesukaran Interpretasi Tingkat Kesukaran
𝐾 = 0,00 Terlalu sukar
𝐾 ≤ 0,30 Sukar
𝐾 ≤ 0,70 Sedang
𝐾 < 1,00 Mudah
𝐾 = 1,00 Terlalu mudah
34

Untuk menentukan Tingkat kesukaran instrumen yang berupa tes

tipe objektif dapat menggunakan rumus dibawah ini

Keterangan :

TK = Tingkat kesukaran butir soal

nA = banyak siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar

nB = banyak siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan

benar

NA = banyak siswa kelompok atas

NB = banyak siswa kelompok bawah.

Pada penelitian ini butir-butir soal yang ditolak yaitu butir soal

dalam kategori terlalu sukar dan terlalu mudah. Berdasarkan hasil uji coba

5 item soal berikut tabel analisis indeks kesukaran soal :

Tabel 3.9
Hasil Indeks Kesukaran Uji Instrumen

No Rata-rata IK Keterangan
1 3,30 0,83 mudah
2 2,65 0,66 Sedang
3 2,55 0,64 Sedang
4 1,20 0,30 Sukar
5 1,70 0,43 Sedang
Sumber: Pengolahan Data (Perhitungan pada Lampiran)

E. Teknik Analisis Data

Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan ketentuan-ketentuan sebagai

berikut :
35

a. Uji Normalitas

Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan sebagai prasyarat

untuk melakukan analisis data. Uji normalitas dilakukan sebelum data

diolah berdasarkan model-model penelitian yang diajukan. Uji normalitas

data bertujuan untuk mendeteksi distribusi data dalam satu variabel yang

akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak untuk

membuktikan model-model penelitian tersebut adalah data distribusi

normal. Uji normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Rumus Kolmogorov-Smirnovadalah sebagai berikut :


𝐾

Keterangan :

KD = jumlah Kolmogorov-Smirnov yang dicari

n1 = jumlah sampel yang diperoleh

n2 = jumlah sampel yang diharapkan (Sugiyono, 2013:257)

Data dikatakan normal, apabila nilai signifikan lebih besar 0,05

pada (P>0,05). Sebaliknya, apabila nilai signifikan lebih kecil dari 0,05

pada (P<0,05), maka data dikatakan tidak normal.

b. Uji homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk memperlihatkan bahwa dua atau

lebih kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variasi

yang sama. Uji homogenitas dikenakan pada data hasil post-test dari

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Untuk mengukur


36

homogenitas varians dari dua kelompok data, digunakan rumus uji F

sebagai berikut :

Taraf signifikasi yang digunakan adalah α = 0,05. Uji homogenitas

menggunakan SPSS dengan kriteria yang digunakan untuk mengambil

kesimpulan apabila F hitung lebih besar dari F tabel maka memiliki varian

yang homogeny. Akan tetapi apabila F hitung lebih besar dari F tabel,

maka varian tidak homogen

a) Jika data berdistribusi normal dan homogen, maka dilakukan uji

dengan menggunakan statistik parametrik dengan langkah langkah-

langkah sebagai berikut :

- Mencari standar deviasi gabungan

(n1  1)v1  (n2  1)v2


dsg =
n1  n2  2

- Mencari nilai t hitung

x1  x2
t
1 1
dsg 
n1 n2

Dengan kriteria :

 Jika t hitung berada pada interval –tabel < thitung < ttabel, maka

hipotesis nol diterima

 Jika t hitung berada diluar interval –tabel < thitung < ttabel, maka

hipotesis alternatif diterima


37

b) Jika salah satu atau kedua distribusi tersebut tidak normal, langkah

selanjutnya menggunakan statistik non parametrik, dalam hal ini tes

Wilcoxon dengan langkah-langkah sebagai berikut :

- Membuat daftar rank

- Menentukan nilai W, dengan rumus :

n(n  1) x (n  1)(2n  1)
W  
4 24

- Menentukan nilai W dari daftar, dengan kriteria :

Jika W ≤ W α (n), maka kedua perlakuan berbeda

Jika W ≤ W α (n), maka kedua perlakuan tidak berbeda

c) Jika kedua distribusi tersebut normal tetapi variansnya tidak homogen,

dilanjutkan dengan tes, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

- Mencari nilai t’ dengan rumus :

X1  X 2
t' ' 
V1 V2

n2 n2

- Menghitung milai kritis t’ dan pengujian hipotesis dengan rumus :

W1t1  W2t2
nkt  
W1  W2

Dengan kriteria

 Jika nilai t’ terletak di dalam interval nk1 < t’ < nkt, maka

efektivitas kedua pendekatan tersebut tidak ada yang lebih baik

 Jika nilai t’ terletak di luar interval nk1 < t’ < nkt, maka fektivitas

kedua pendekatan tersebut tidak ada yang lebih baik


38

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan tahapan atau langkah-langkah yang

dilalui selama proses penelitian berlangsung. Penelitian ini diawali dari

ditemukannya masalah rendahnya kemampuan berpikir kritis pada mata

pelajaran sejarah kelas X SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong . Hal

tersebut salah satunya diakibatkan oleh pembelajaran sejarah yang dilakukan

membosankan dapat tidak mampu mengembangkan kemampuan berpikir

kritis siswa. Sehingga perlu dicari solusi berupa penerapan model

pembelajaran salah satunya adalah model pembelajaran CORE melalui suatu

penelitian kuasi eksperimen. Penelitian ini di bagi kedalam 2 kelas yaitu kelas

eksperimen dan kelas control, pada kelas eksperimen pembeljaran

menggunakan metode CORE sedangkan pada kelas control menggunakan

metode interaktif, Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu

dengan menggunakan instrumen tes berupa soal uraian.

Sebelum digunakan untuk penelitian, instrumen tes terlebih dahulu

diuji cobakan. Hasil uji coba tersebut lalu dianalisis butir soal yang mencakup

validitas dan reliabilitas. Setelah diketahui hasil uji validitas dan reliabilitas

tiap butir soal, maka instrumen tersebut digunakan sebagai soal pretest dan

posttest. Pretest dilaksanakan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Kemudian akan dilaksanakan treatment atau perlakukan dengan menerapkan

model pembelajaran CORE pada kelas eksperimen dan pembelajaran

interaktif pada kelas kontrol.


39

Setelah dilakukan perlakuan, kedua kelas diberikan posttest dengan

soal yang sama ketika pretest. Kemudian dilakukan analisis data berupa uij

normalitas, uji homogenitas, dan uji perbedaan rerata. Analisis data dilakukan

untuk menjawab rumusan masalah dan menganalisis ketercapaian penelitian

yang dilaksanakan.

G. Jadawal Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong

tahun 2022. yang beralamat di Desa Bojong Kecamatan Bojong

Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X pada pada bulan April 2022

sampai dengan bulan Mei 2022.


40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas X di SMA Terpadu

Mathla’ul Anwar Bojong yang berjumlah 40 siswa yang terbagi menjadi 2

kelas yakni kelas X IPS 1 sebanyak 20 siswa dan kelas X IPS 2 sebanyak 20

siswa. Kelas X IPS 2 ditetapkan sebagai kelas Eksperimen sedangkan kelas X

IPS 1 ditetapkan sebagai kelas Kontrol. Kelas eksperimen dan kelas kontrol

sebelum diberi perlakuan, kedua kelas diuji dengan uji instrumen tes yaitu pre

test. Setelah mendapatkan nilai kedua kelas tersebut diadakan uji normalitas,

uji homogenitas, uji persamaan dua rata-rata. Kedua kelas tersebut harus

mempunyai kemampuan awal yang sama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

ada tidaknya perbedaan kemampuan awal yang signifikan. Kedua kelas

mempunyai varian yang sama pada kemampuan akademisnya. Sehingga tidak

terjadi ketimpangan antara kemampuan kelas eksperimen dan kelas kontrol

1. Hasil Belajar Sejarah Siswa Sebelum Perlakukan (Pretest)

Data hasil belajar sejarah materi kerajaan hindu-budha indonesia

siswa sebelum perlakuan, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

eksperimen dan kelompok control. Karakteristik hasil belajar siswa

sebelum perlakuan pada kelompok eksperimen maupun kontrol yang,

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

51
41

Tabel 4.1.
Karakteristik Kemampuan Kelompok
Eksperimen dan Kontrol Sebelum Perlakuan
Kelompok Jumlah Mean Standar Nilai Nilai
Siswa Deviasi Maksimal Minimal
(N)
Eksperimen 20 59.5000 9.01753 80 40
Kontrol 20 60.1000 9.23324 80 40

Hasil perhitungan statistik deskriptif sebelum perlakuan pada

kelompok eksperimen didapatkan (N) menjelaskan bahwa jumlah data

yang dihitung valid = 20; skor rata-rata (mean) menjelaskan rata-rata

data yang diolah = 59,50, standar deviasi (standard deviation) yaitu

akar dari jumlah deviasi kuadrat dibagi banyaknya individu = 9,017,

skor minimum = 40 dan skor maksimal = 80

Sedangkan untuk kelas kontol bahwa data yang dihitung

valid = 20, skor rata-rata (mean) menjelaskan rata-rata data yang

diolah = 60,10;, standar deviasi (standard deviation) yaitu akar dari

jumlah deviasi kuadrat dibagi banyaknya individu = 9,233, skor

minimum = 40 dan skor maksimal = 80

2. Data Hasil Belajar Siswa Setelah Perlakuan (Postest)

Karakteristik kemampuan siswa setelah perlakuan dengan

penerapan model pembelajaran CORE pada kelompok eksperimen dan

metode interaktif pada kelas kontrol dapat dilihat pada di bawah ini:
42

Tabel 4.2.
Karakteristik Kemampuan Kelompok
Eksperimen dan Kontrol Setelah Perlakuan
Kelompok Jumlah Mean Standar Nilai Nilai
Siswa Deviasi Maksimal Minimal
(N)
Eksperimen 20 80.7500 8.62600 100 70
Kontrol 20 73.2500 6.54438 85 65

Hasil perhitungan statistik deskriptif setelah perlakuan pada

kelompok eksperimen didapatkan (N) menjelaskan bahwa data yang

dihitung valid = 20, skor rata-rata (mean) menjelaskan rata – rata data

yang diolah = 80,75, standar deviasi (standard deviation) yaitu akar

dari jumlah deviasi kuadrat dibagi banyaknya individu = 8,262, skor

minimum = 70 dan skor maksimal = 100.

Pada kelas control data yang dihitung valid = 20, skor rata-rata

(mean) menjelaskan rata – rata data yang diolah = 73,25, standar

deviasi (standard deviation) yaitu akar dari jumlah deviasi kuadrat

dibagi banyaknya individu = 6,544, skor minimum = 65; skor

maksimal = 85.

3. Gain kemampuan berpikir kritis Siswa antara kelompok eksperimen

dan Kelompok Kontrol

Berdasarkan perhitungan yang dapat dilihat pada lampiran maka

diperoleh data hasil uji gain seperti pada tabel 4.3 sebagai berikut:
43

Tabel 4. 3
Hasil Uji Gain
Kelas Kelas X IPS 2 Kelas X IPS 1
(kelas eksperimen) (kelas kontrol)
Gain 0,527 0,518
Keterangan Sedang Sedang

Berdasarkan data tersebut, hasil perhitungan gain kelas eksperimen

mengalami peningkatan hasil belajar dengan kategori sedang karena berada

pada rentang 0,3 ≤ (g) < 0,7. Pada kelas kontrol juga mengalami

peningkatan hasil belajar dalam kategori sedang juga karena berada pada

rentang 0,3 ≤ (g) < 0,7.

4. Perbandingan kemampuan berpikir kritis Siswa antara kelompok

eksperimen dan Kelompok Kontrol

Berdasarkan hasil analisis hasil data pada pre-test dan post-test,

maka dapat diketahui perbedaan hasil belajar analogi matematis pada pre-

test dan post-test. Perbandingan ini akan berisi jumlah nilai rerata, nilai

tertinggi, dan nilai terendah. Untuk memudahkan dalam melakukan

perbandingan, maka data disajikan dalam tabel 4.4.

Tabel 4.4.
Perbandingan Hasil Belajar Siswa
Kelas Data Rerata Nilai Nilai %
Peningkatan
nilai Teretndah Tertinggi
Eksperimen Pretest 59,50 40 80 21,25 26.31
Posttest 80,75 70 100
Kontrol Pretest 60,10 40 80 13,15 17,95
Posttest 73,25 65 85

Berdasarkan tabel 4.9, Kelas Eksperiemen memiliki nilai rerata

pada pre-test sejumlah 59,50 sedangkan posttest sejumlah 80,75. Nilai


44

terendah pada pre-test sejumlah 40 dan pada posttest sejumlah 70. Nilai

tertinggi pada pretest sejumlah 80 dan pada posttest sejumlah 100.

Peningkatan nilai rerata sebesar 21,25 poin atau 26,31 %.

Pada Kelas Kontrol memiliki nilai rerata pretest sejumlah 60,10

sedangkan posttest sejumlah 73.25. Nilai terendah pada pretest sejumlah

40 dan pada posttest sejumlah 60. Nilai tertinggi pada pre-test sejumlah 80

dan pada post-test sejumlah 85. Peningkatan nilai rerata sebesar 13,15 poin

atau 17,95 %.

Nilai rerata kemampuan berpikir kritis siswa pada pretest untuk

kelas eksperimen maupun kelas kontrol termasuk pada kategori sedang,

sedangkan nilai rerata hasil belajar sejarah siswa pada post-test untuk kelas

eksperimen termasuk dalam kategori sangat tinggi dan kelas kontrol

termasuk katagori sedang. Data perbandingan hasil pretest dan posttest

selanjutnya disajikan dalam gambar 4.1 di bawah ini

120 100
100 80.75 8080 85
80 73.25 7065
59.5
60 60.1
4040
40
20 eksperimen
0 kontrol

Gambar 4.1
Diagram Batang Perbandingan Hasil nerpikir kritis Siswa anatara
Kelas eksperimen dan kelas kontrol
45

B. Pengujian Persyaratan Analisis

1. Uji Normalitas dan Homogenitas

a. Uji Normalitas

Uji Normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah sebaran

data variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji yang digunakan

adalah Kolmogorov-Smirnov. Hasil Uji Normalitas dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 4.5.
Uji Normalitas
No Data Kelompok Sig Keterangan
1 Pretest Eksperimen 0,062 Normal
Kontrol 0,067 Normal
2 Postest Ekperimen 0,000 Normal
Kontrol 0.000 Normal

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) pada uji

Kolmogorov-Smirnov adalah 0.062 ( p > 0.05) untuk kelompok

eksperimen dan 0.067 ( p > 0.05) untuk kelas kontrol, sehingga

berdasarkan uji normalitas Kolomogorov-Smirnov data berdistribusi

normal.

b. Uji Homogenitas

Uji Homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah

sebaran data variabel homogen atau tidak. Uji yang digunakan adalah

Uji Kesamaan Varians. Uji homogenitas data yang dilakukan adalah

uji homogenitas dua varians yaitu menggunakan uji F (Ridwan,

2015:186) dengan membandingkan varians terbesar dengan varians


46

terkecil. Hasil Uji Homogenitas sebaran data variabel dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 4.6.
Rangkuman Uji Homogenitas
No Data F hitung F tabel Keterangan
1 Pretest 0.037 3.245 Homogen
2 Postest 0.348 3.245 Homogen

Berdasarkan Tabel 4.18 terlihat nilai F Hitung < F Tabel (df1 =

k-1 = 2-1 = 1. Df2 = k-2 = 40-2 = 38 dengan Probability = 0,05.

Didapat F tabel = 3.245) Karena F hitung < F tabel yaitu 0,0 <

3.245sebelum perlakuan dan juga , F hitung < F tabel yaitu 0,348 <

3.4245 setelah perlakuan, maka hal ini menunjukkan bahwa sebaran

data hasil belajar yang diambil dari populasi sebelum maupun setelah

dilakukan perlakuan adalah homogen. Untuk lebih jelasnya

perhitungan dapat dilihat pada Lampiran uji homogenitas

C. Pengujian Hipotesis

Berdasarkan deskripsi data dan uji persyaratan analisis, telah

menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian

hipotesis dapat dilaksanakan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan

menggunakan Uji-t komparatif dua sampel independen (uji satu pihak). Uji-t

dilakukan digunakan untuk menguji hipotesis nol (Ho), sehingga diketahui Ho

diterima atau tidak. Dalam penelitian ini ada 2 pengujian hipotesis.


47

1. Uji perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas ekperimen dan


kelas kontrol sebelum perlakukan (Pretest)
a. Hipotesis

Ho : tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas

ekperimen dan kelas kontrol

H1 : terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas

ekperimen dan kelas kontrol

b. Kriteria pengujian

Tolak Ho dan terima Ha bila t hitung > t tabel 5 %

Terima Ho dan tolak Ha bila t hitung < t tabel 5 %

c. Keputusan

Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan rumus uji-t

independent sample tes, maka didapatkan hasil nilai t adalah 0,857,

sedangkan nilai t tabel dk 38 (Dk =n1+n2-2 =40-2=38) dengan taraf

signifikasi 5% adalah: 1,685. Hasil Uji-t komparatif dua sampel

independen dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.7.
Rangkuman Hasil Uji-t Komparatif Dua Sampel
Independen Variabel Hasil Belajar
Variabel Dk t hit tt,5 %
μ1-μ2 38 0,857 1,685

Keterangan:

μ1 = Hasil belajar kelompok eksperimen.

μ2 = Hasil belajar kelompok kontrol.

dk = Derajat kebebasan.

t hit = Nilai t hitung.


48

tt, 5 % = Nilai t tabel dengan taraf signifikansi 5 %.

Dengan membandingkan besarnya nilai t dari perhitungan data

dan besar t tabel maka dapat diketahui bahwa t hitung < t tabel yaitu:

0,857 < 1,685. Hasil t hitung lebih kecil dari t tabel, maka hipotesis nol

diterima, hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan

kemampuan sebelum perlakuan antara kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran

2. Uji perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas ekperimen


dengan mengunakan model pebelajaran CORE dan kelas kontrol
dengan mengunakan model pembelajaran interaktif setelah
perlakukan (Postest)
a. Hipotesis

Ho : tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas

ekperimen dan kelas kontrol

H1 : terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas

ekperimen dan kelas kontrol

b. Kriteria pengujian

Tolak Ho dan terima Ha bila t hitung > t tabel 5 %

Terima Ho dan tolak Ha bila t hitung < t tabel 5 %

c. Keputusan

Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan rumus uji-t

independent sample tes, maka didapatkan hasil nilai t adalah 3,040,

sedangkan nilai t tabel dk 38 (Dk =n1+n2-2 =40-2=38) dengan taraf

signifikasi 5% adalah: 1,685. Hasil Uji-t komparatif dua sampel

independen dapat dilihat pada tabel berikut ini:


49

Tabel 4.8.
Rangkuman Hasil Uji-t Komparatif Dua Sampel
Independen kelas eksperimen dan kelas kontrol
Variabel Dk t hit tt,5 %
μ1-μ2 51 3,040 1,685

Keterangan:

μ1 = Hasil belajar kelompok eksperimen.

μ2 = hasil belajar kelompok kontrol.

dk = Derajat kebebasan.

t hit = Nilai t hitung.

tt, 5 % = Nilai t tabel dengan taraf signifikansi 5 %.

Dengan membandingkan besarnya nilai t dari perhitungan data

dan besar t tabel maka dapat diketahui bahwa t hitung > t tabel yaitu:

3,040 > 1,685. Hasil t hitung lebih besar dari t tabel, maka hipotesis nol

ditolak, hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan

berpikir kritis siswa antara siswa yang menggunakan model

pembelajaran CORE dengan siswa yang menggunakan model

pembelajaran interaktif.

D. Pembahasan hasil Penelitian

Tahap awal pada penelitian ini, peneliti harus menyiapkan instrumen

yang akan diujikan kepada kedua kelas tersebut. Instrumen tersebut diberikan

kepada peserta didik yang pernah mendapatkan materi yang sama yaitu kelas

X. Kemudian hasil uji coba instrumen tersebut diuji validitas, reliabilitas,

tingkat kesukaran dan daya beda soal. Sehingga diperoleh instrumen yang

benar-benar sesuai untuk mengukur kemampuan peserta didik kelas X. Setelah


50

soal diuji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda soalnya maka

instrumen tersebut dapat diberikan kepada peserta didik kelas eksperimen dan

kelas kontrol untuk mengetahui kemampuan awal kedua kelas, baik kelas

eksperimen maupun kelas kontrol apakah sama atau tidak. Oleh karena itu

peneliti menggunakan nilai pretest pada kelas eksperimen adalah dan kontrol.

Rata-rata awal dari kelas eksperimen adalah 59,78 dan kelas kontrol

adalah 59,58. Sedangkan skor minimum untuk kelas eksperimen sebesar 40

dan kelas kontrol sebesar 40 dan skor maksimal untuk kelas eksperimen

sebesar 80 dan untuk kelas kontrol sebesar 80.

Berdasarkan data nilai pretest, uji normalitas nilai awal kelas

eksperimen diperoleh hasil Chi kuadrat = 0.586 dan untuk kelas kontrol hasil

chi kuadrat = 3.013. nilai chi kuadrat untuk semua data variabel lebih kecil

dari t tabel besar 11.070. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran data untuk hasil

belajar berdistribusi normal.

Uji homogenitas awal dilakukan untuk mengetahui apakah antara kelas

eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi homogen. Dari hasil perhitungan

diperoleh nilai F hitung = 0,348, terlihat nilai F Hitung < F Tabel (df1 = k-1 =

2-1 = 1. Df2 = k-2 = 40-2 = 38 dengan Probability = 0,05. Didapat F tabel =

3.245) Karena F hitung < F tabel yaitu 0,0 < 3.245 sebelum perlakuan dan

juga , F hitung < F tabel yaitu 0,348 < 3.4245 setelah perlakuan, maka hal ini

menunjukkan bahwa sebaran data hasil belajar yang diambil dari populasi

sebelum maupun setelah dilakukan perlakuan adalah homogen. 0,889 nilai


51

tersebut lebih besar dari signifikansi 0,05, maka kedua kelas berdistribusi

homogen.

Setelah dilakukan analisis dengan menggunakan rumus uji-t

independent sample tes, maka didapatkan hasil nilai t adalah 0,857, sedangkan

nilai t tabel dk 38 (Dk =n1+n2-2 =40-2=38) dengan taraf signifikasi 5%

adalah: 1,685. Dengan membandingkan besarnya nilai t dari perhitungan data

dan besar t tabel maka dapat diketahui bahwa t hitung < t tabel yaitu: 0,857 <

1,685. Hasil t hitung lebih kecil dari t tabel, maka hipotesis nol diterima, hal

ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar sebelum

perlakuan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan setelah

dilakukan perlakkan (postets) didapatkan hasil nilai t adalah 9,394, sedangkan

nilai t tabel dk 38 (Dk =n1+n2-2 =40-2=38) dengan taraf signifikasi 5%

adalah1,685. Dengan membandingkan besarnya nilai t dari perhitungan data

dan besar t tabel maka dapat diketahui bahwa t hitung > t tabel yaitu: 3,040 >

1,685. Hasil t hitung lebih besar dari t tabel, maka hipotesis nol ditolak, hal ini

berarti terdapat perbedaan yang signifikan berpikir kritis siswa antara siswa

yang menggunakan model pembelajaran probing promting dengan siswa yang

menggunakan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting,

Extending (CORE) dengan model pembelajaran interaktif.

Uji selanjutnya yaitu uji gain, berdasarkan data tersebut, hasil

perhitungan gain kelas eksperimen diperoleh rata-rata pre test sebesar 59,78

dan rata-rata posttest sebesar 84,64. Sehingga diperoleh gain 0,527. Artinya

kelas eksperimen mengalami peningkatan hasil belajar dengan kategori sedang


52

karena berada pada rentang 0,3 ≤ (g) < 0,7. Pada kelas kontrol diperoleh rata-

rata pretest 59,58 dan rata-rata posttest 74,40. Sehingga diperoleh gain 0,518.

Artinya kelas kontrol juga mengalami peningkatan hasil belajar dalam

kategori sedang juga karena berada pada rentang 0,3 ≤ (g) < 0,7
53

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian, setelah dilakukan analisis dengan

menggunakan rumus uji-t independent sample tes, maka didapatkan hasil

nilai t adalah 0,857, sedangkan nilai t tabel dk 38 (Dk =n1+n2-2 =40-

2=38) dengan taraf signifikasi 5% adalah: 1,685. Dengan membandingkan

besarnya nilai t dari perhitungan data dan besar t tabel maka dapat

diketahui bahwa t hitung < t tabel yaitu: 0,857 < 1,685. Hasil t hitung

lebih kecil dari t tabel, maka hipotesis nol diterima, hal ini berarti tidak

terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar sebelum perlakuan antara

kelas eksperimen dan kelas control

2. Hasil uji perbandingan rata-rata pada uji tahap akhir setelah perlakun

diperoleh nilai t adalah 9,394, sedangkan nilai t tabel dk 38 (Dk =n1+n2-2

=40-2=38) dengan taraf signifikasi 5% adalah1,685. Dengan

membandingkan besarnya nilai t dari perhitungan data dan besar t tabel

maka dapat diketahui bahwa t hitung > t tabel yaitu: 3,040 > 1,685. Hasil t

hitung lebih besar dari t tabel, maka hipotesis nol ditolak, hal ini berarti

terdapat perbedaan yang signifikan berpikir kritis siswa antara siswa yang

menggunakan model pembelajaran probing promting dengan siswa yang

menggunakan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting,

Extending (CORE) dengan model pembelajaran interaktif pada siswa

kelas X SMA Terpadu Mathla'ul Anwar Bojong


54

B. Saran

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan di atas,maka

yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi guru, sebaiknya menerapkan model pembelajaran Connecting

Organizing Reflecting Extending (CORE) pada pelajaran sejarah dengan

harapan pembelajaran berjalan aktif dan memberikan hasil yang lebih

bagus.

2. Bagi sekolah, sebaiknya dapat meningkatkan peran serta dalam

memberikan kualitas pembelajaran dengan menyediakan fasilitas dan

sarana prasarana yang memadai.

3. Bagi peserta didik, keaktifan, kreativitas dan kualitas belajar diperlukan

untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis sehingga mendapat hasil

yang maksimal

4. Bagi peneliti selajutnya, perlu dilakukanya penelitian kembali mengenai

kamampuan berpikir kritis siswa pada pelajaran sejarah, untuk mengetahui

sama atau tidaknya hasil dari penelitian tersebut


55

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Majid. (2014). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Agung, Leo dan Sri Wahyuni. (2013). Perencanaan Pembelajaran Sejarah.


Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Agus Suprijono. (2011). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Gramedia Pustaka


Jaya

Ahmad, Susanto. (2013). Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Aman. (2011). Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Arifin, Zainal. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Arikunto, S. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta

Aris, Sohimin. (2014). 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.


Yogyakarta: Ar-ruzz Media

Dahar, Ratna Wilis. (2011). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:


Erlangga

Dananjaya, Utomo. (2013). Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa


Cendekia.

Dwi Siswoyo, dkk. (2011). Ilmu Pendidikan . Yogyakarta: UNY Press

Firman, H. (1987). Kefektifan Program Pembelajaran. Jakarta: Gramedia.

Indrawati dan Wanwan Setiawan. (2009). Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan untuk Guru SD. Bandung : Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan
Alam (PPPPTK IPA).

Rusman. (2013). Model-model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.

Sagala S. 2013. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Sanjaya, Wina. (2009). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:


Kencana
56

Saputri, A. C., Sajidan, & Rinanto, Y. (2017). Identifikasi keterampilan b erpikir


kritis siswa dalam pembelajaran biologi menggunakan window
shopping. Seminar Nasional Pendidikan Sains (SNPS), 21, 131– 135.

Sugiyono. (2017). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RnD.


Bandung: Alfabeta

Sukardi. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan(Kompetensi dan Praktiknya).


Jakarta: Bumi Aksara

Sumantri, Mohammad Syarif.( 2015). Strategi Pembelajaran Teori & Praktik di


Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Susiana, Nancy. (2014). Integrasi Keterampilan Abad 21 dalam Kurikulum 2013


untuk Mewujudkan Indonesia Jaya” Penyelenggara: Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan SURYA

Jurnal:

Fatmawati, A. (2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Konsep


Pencemaran Lingkungan Menggunakan Model Pembelajaran
Berdasarkan Masalah Untuk SMA Kelas X. Jurnal Edusains, Vol. 4 No.
2, 2338-4387.

Tety Vera Hayati BR. Ginting (2018) Penerapan Model CORE Dengan
Pendekatan Saintifik Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Dan Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas Xi Smk Eria Medan T.P
2018/2019

Yuniarti, Santi. (2013). Pengaruh Model Core Berbasis Konstektual Terhadap


Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa. FMIPA : STKIP Siliwangi
Bandung

Epi Patimah (2020), Upaya Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa Dengan


Menggunakan Model Pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, And Extending).

Diki Rahman, (2018) Penerapan Model Pembelajaran Connecting, Organizing,


Reflecting, Extending (CORE) Dalam Pembelajaran Matematika Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas X IPA
di SMA N 1 Sungayang
57

Webby Sita Rahmawati (2014). Penerapan Model Pembelajaran Connecting,


Organizing, Reflecting, Extending (CORE) untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP
58

SOAL PRETEST

Soal Pilihan Ganda Materi Kerajaan Hindu-Budha Indonesia

1. Kerajaan yang didirikan oleh Ken Arok...


A. Kerajaan Singhasari B. Kerajaan Tarumanegara
C. Kerajaan Sriwijaya D. Kerajaan Mataram

2. Pada akhir pemerintahannya Airlangga kesulitan dalam menunjuk


penggantinya, untuk menghindari perselisihan maka kerajaan di bagi dua atas
bantuan Pu Barada yaitu Jenggala dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu
dengan ibukotanya Daha yang merupakan kerajaan...
A. Kerajaan Singhasari B. Kerajaan Kediri
C. Kerajaan Sriwijaya D. Kerajaan Mataram

3. Raden Wijaya mendirikan Kerajaan pada tahun (1293) dan menobatkan


dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana yaitu...
A. Kerajaan Singhasari B. Kerajaan Kediri
C. Kerajaan Majapahit D. Kerajaan Mataram

4. Yang bukan termasuk Kerajaan bercorak Hindu-Budha di Indonesia


A. Kerajaan Majapahit B. Kerajaan Demak
C. Kerajaan Sriwijaya D. Kerajaan Kutai

5. Letak kerajaan Tarumanegara berada di?


A. Kalimantan Timur B. Jawa Barat
C. Jawa Timur D. Kalimantan Barat

6. Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa kepimpinan?


A. Balaputradewa B. Asmawarman
C. Kudungga D. Gajahmada

7. Candi Borobudur didirikan pada masa pemerintahan kerajaan?


A. Tarumanegara B. Kutai
C. Mataram Kuno D. Singasari

8. Kerajaan Kediri merupakan warisan dari kerajaan ….


A. Medang B. Sriwijaya
C. Kalingga D. Singasari

9. Setelah kewibawaan kerajaan sukses dipulihkan, pusat pemerintahan


kemudian dipindahkan oleh Airlangga dari Medang Kemulan ke ….
A. Pasuruan B. Kahuripan
C. Daha E. Jenggala
59

10. Kehidupan politik pada masa Pemerintahan Kertanegara yaitu ….


A. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya
B. Menaklukkan wilayah Nusantara
C. Meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya
D. Memperkuat angkatan perangnya

11. Karena jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi patih amangkhubumi


majapahit menggantikan arya tadah. Saat upaca pelantikan, gajah mada
mengucapkan sumpahnya dikenal dengan...
A. Sumpah Serapah B. Sumpah Palapa
C. Sumpah Jabatan D. Sumpah Amukti

12. Airlangga mempunyai dua orang putra sehingga kerajaan dibagi dua, yaitu...
A. Medang dan Kediri B. Singosari dan Kediri
C. Kahuripan dan Kediri D. Jenggala dan Kediri

13. Alasan pindahnya pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur adalah ....
A. adanya serangan dari kerajaan Tarumanegara
B. meletusnya gunung Berapi
C. tidak cocok lagi dijadikan pusat pemerintahan
D. Jawa Timur strategis dalam hal perekonomian

14. Tujuan Airlangga membagi Kerajaan Medang Kamulan menjadi Panjalu dan
Jenggala adalah ...
A. mencegah perang saudara di antara puteranya
B. memberikan otonomi daerah
C. membagi wilayah yang terdiri dari 2 agama yang berbeda
D. meratakan pembangunan Medang Kamulan

15. Kerajaan Mataram Kuno pada akhirnya terpecah menjadi dua wangsa dengan
agama yang berbeda. Wangsa Isyana menganut agama Hindu. Sedangkan
wangsa Syailendra menganut agama Buddha. Berdasarkan pernyataan diatas
peninggalan Wangsa Syailendra yang terkenal hingga saat ini adalah …
A. Candi Prambanan B. Candi Borobudur
C. Candi Singosari D. Candi Panataran

16. Dalam bidang seni bangunan, akulturasi masa Hindu-Buddha di nusantara


salah satunya adalah candi yang merupakan kelanjutan dari…
A. menhir B. dolmen
C. sarkofagus D. punden berundak

17. Kerajaan … di … adalah salah satu kerajaan Hindu – Buddha di Indonesia.


A. Mataram, Palembang B. Sriwijaya, Mataram
C. Sunda, Mataram D. Sriwijaya, Palembang
60

18. Pengaruh dari perkembangan agama dan kebudayaan Hindu - Budha di bidang
sosial adalah ...
A. pembagian kerja dalam masyarakat
B. pembagian hasil bumi dalam masyarakat
C. pembagian kasta dalam masyarakat
D. pembagian wilayah dalam masyarakat

19. Kitab suci agama Budha adalah ...


A. weda B. injil
C. Upanishad D. Tripitaka

20. Gajah mada merupakan maha patih dari kerajaan ...


A. Kediri B. majapahit
C. Tarumanegara D. Kutai

JAWABAN PILAN GANDA

1. A. Kerajaan Singhasari
2. B. Kerajaan Kediri
3. C. Kerajaan Majapahit
4. B. Kerajaan Demak
5. B. Jawa Barat
6. A. Balaputradewa
7. C. Mataram Kuno
8. A. Medang
9. B. Kahuripan
10. B. Menaklukkan wilayah Nusantara
11. B. Sumpah Palapa
12. E. Jenggala dan Kediri
13. B. meletusnya gunung Berapi
14. A. mencegah perang saudara di antara puteranya
15. B. Candi Borobudur
16. D. punden berundak
17. D. Sriwijaya, Palembang
18. C. pembagian kasta dalam masyarakat
19. D. Tripitaka
20. B. majapahit
61

SOAL UNTUK POSTEST

Jelaskan pertanyaan berikut ini!!

1. Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, masyarakat sudah hidup rukun, sehingga

muncul semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang terkandung dalam kitab

Sutasoma.

Joba jelaskan mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika!

Pembahasan:

Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang tertuang dalam kitab

Sutasoma menjadi semboyan negara kita saat ini. Kitab tersebut merupakan

karya Mpu Tantular pada akhir abad ke-14 yang membahas tentang toleransi

beragama Kerajaan Majapahit.. Semangat toleransi yang terinspirasi dari

Kerajaan Majapahit itu kemudian dijadikan semboyan bangsa Indonesia.

Tujuannya supaya bangsa Indonesia bisa hidup berdampingan di atas

perbedaan. Gimana dengan kitab lainnya? Kitab Negarakertagama karya Mpu

Prapanca membahas tentang pemerintahan Kerajaan Majapahit. Pararaton

membahas tentang kronologi atau sejarah Kerajaan Singasari. Kresnayana

membahas tentang pernikahan Prabu Kresna dan penculikan calon istrinya,

yaitu Rukmini. Sedangkan, Kakawin Bharatayuda membahas tentang perang

Bharatayuda yang terjadi antara Pandawa dan Kurawa.

2. Dalam konsep politik kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, ada salah satu

konsep tentang tribalism. Ciri dari konsep tribalis pada kerajaan Hindu-

Buddha di Indonesia adala Perilaku setia atau loyal terhadap pemimpin atau

rajanya.
62

Jelaskan

Pembahasan:

Perlu diingat, bahwa dalam konsep politik kerajaan Hindu-Buddha,

ada konsep dewa-raja, vassalage, dan tribalisme. Konsep dewa-raja atau

deification artinya menganggap bahwa raja adalah titisan dewa, bukan

manusia biasa. Jadi, ada konsep mengagungkan raja. Selanjutnya, ada konsep

vassalage yang artinya penyerahan diri kepada kerajaan yang lebih kuat.

Sedangkan, konsep tribalism merupakan konsep politik yang memegang

perilaku setia atau loyal.

3. Kerajaan Kutai dapat berdiri karena ditopang oleh beberapa sektor ekonomi.

Sektor ekonomi yang berasal dari Kerajaan Kutai, kecuali….

Jawabnya Industri.

Pembahasan:

Di sekitar wilayah Kerajaan Kutai terdapat sungai. Kalau ada sungai,

bisa kita artikan bahwa ada perdagangan di sana. Selain itu, lahan di daerah

sekitar sungai biasanya tumbuh subur. Nah, artinya tanah di sekitar sungai

cocok untuk dijadikan pertanian. Apa lagi sektor ekonomi yang mungkin bisa

dijalankan di daerah sekitar aliran sungai? Yap, perikanan. Karena, akan ada

ikan-ikan dan hewan air di sungai. Lalu, apakah kemudian industri dan

peternakan dijalankan di sana? Sampai saat ini, belum ada catatan atau

arkeolog yang menyatakan bahwa industri dijalankan di Kerajaan Kutai.

Karena, dilihat dari produk-produk yang ada di sekitar sana, nggak ada yang

dihasilkan dari sektor industri. Nah, untuk peternakan, ada catatannya dalam
63

Prasasti Yupa. Pada saat itu, Raja Mulawarman mempersembahkan 20.000

ekor sapi. Kalau ada 20.000 ekor sapi, artinya sektor peternakan sudah

berjalan dengan baik di sana.


64

Hasil Belajar Pre Tes Hasil Belajar PosTes Kelas Hasil Belajar Pre Tes Hasil Belajar Postest
Kelas Eksperimen Eksperimen Kelas Kontrol Kelas Kontro
Kode Kode Kode Kode
No Nilai No Nilai No Nilai No Nilai
Absen Absen Absen Absen
1 E1 60 1 E1 80 1 K1 60 1 K1 70
2 E2 70 2 E2 90 2 H2 50 2 H2 70
3 E3 50 3 E3 80 3 K3 60 3 K3 70
4 E4 70 4 E4 80 4 K4 60 4 K4 70
5 E5 80 5 E5 100 5 K5 70 5 K5 70
6 E6 50 6 E6 80 6 K6 60 6 K6 80
7 E7 60 7 E7 90 7 K7 60 7 K7 80
8 E8 40 8 E8 70 8 K8 60 8 K8 70
9 E9 60 9 E9 80 9 K9 60 9 K9 70
10 E10 50 10 E10 70 10 K10 80 10 K10 80
11 E11 50 11 E11 70 11 K11 80 11 K11 80
12 E12 60 12 E12 80 12 K12 50 12 K12 70
13 E13 60 13 E13 80 13 K13 50 13 K13 70
14 E14 60 14 E14 80 14 K14 40 14 K14 70
15 E15 60 15 E15 80 15 K15 60 15 K15 70
16 E16 60 16 E16 80 16 K16 60 16 K16 80
17 E17 50 17 E17 70 17 K17 70 17 K17 80
18 E18 60 18 E18 80 18 K18 60 18 K18 70
19 E19 60 19 E19 80 19 K19 60 19 K19 80
20 E20 60 20 E20 80 20 K20 70 20 K20 80
65

Uji Normalitas Sebelum Perlakukan

Tests of Normality
a
kelas Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

eksperimen .282 20 .000 .870 20 .012


hasil
kontrol .291 20 .000 .879 20 .017

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Normalitas Setelah Perlakuan

Tests of Normality
a
kelas Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

eksperimen .350 20 .000 .775 20 .000


hasil
kontrol .387 20 .000 .626 20 .000

a. Lilliefors Significance Correction

Homogenitas Sebelum Perlakuan

Test of Homogeneity of Variances


hasil
Levene Statistic df1 df2 Sig.

.037 1 38 .849

ANOVA
hasil

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 62.500 1 62.500 .734 .397


Within Groups 3235.000 38 85.132
Total 3297.500 39
66

Homogenitas Setelah Perlakuan

Test of Homogeneity of Variances


hasil

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.348 1 38 .559

ANOVA
hasil

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3610.000 1 3610.000 49.345 .000


Within Groups 2780.000 38 73.158
Total 6390.000 39

Uji perbedaan dua kelompok sebelum perlakuan


1
t-test for Equality of Means
t df Sig. (2- Mean Std. Error 95% Confidence Interval
tailed) Difference Difference of the Difference
Lower Upper
Equal variances
-.857 38 .397 -2.50000 2.91773 -8.40664 3.40664
assumed
hasil
Equal variances 37.62
-.857 .397 -2.50000 2.91773 -8.40860 3.40860
not assumed 0

Uji perbedaan dua kelompok setelah perlakuan


Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
t df Sig. (2- Mean Std. Error 95% Confidence
tailed) Difference Difference Interval of the
Difference
Lower Upper
Equal
variances 3.040 38 .004 6.00000 1.97351 2.00484 9.99516
assumed
hasil Equal
variances
3.040 33.824 .005 6.00000 1.97351 1.98858 10.01142
not
assumed
67

DOKUMETASI KEGIATAN

...
68
69
70
71

Anda mungkin juga menyukai