Anda di halaman 1dari 7

PENTINGNYA KEDISIPLINAN DAN PENDIDIKAN

KARAKTER BAGI SISWA

(Studi Kasus di SMA Negeri 3 Yogyakarta)

Laily Nurhalizah (17802241021)

Jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta

ABSTRAK

Istilah disiplin berasal dari bahasa Latin “Disiplina” yang maknanya berhubungan dengan
kegiatan belajar dan mengajar. Istilah tersebut sangat dekat dengan istilah dalam bahasa Inggris, yaitu
“Disciple” yang berarti mengikuti orang untuk belajar di bawah pengawasan seorang pemimpin.
Disiplin merupakan hal yang sangat penting dan sudah menjadi kewajiban sekolah untuk
menanamkannya sedini mungkin pada diri murid. Seperti yang dikatakan oleh Njoroge dan Nyabuto
(2014) dalam jurnalnya, mereka mengatakan bahwa disiplin adalah unsur yang sangat penting bagi
keberhasilan prestasi akademik siswa. Kedisiplinan yang diterapkan di sekolah memainkan peranan
yang penting dalam mencapai harapan dan tujuan pembelajaran. Disiplin juga memainkan peran
penting dalam akuisisi rasa tanggung jawab pada peserta didik dan pendidik.

Tak hanya disiplin, pendidikan karakter juga merupakan hal yang sangat penting untuk
diajarkan kepada siswa. Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk manusia yang bermoral,
rasional, santun, dan dapat dengan baik membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dalam dunia
pendidikan, kedisiplinan dan pendidikan karakter berperan sangat penting bagi peserta didik dalam
pembentukan pribadi anak untuk kemudian menjadi bakal mereka ketika sudah kerja di masa depan.
Dengan zaman yang sudah semakin maju ini, kebutuhan tenaga kerja yang disiplin dan profesional
semakin besar, dan sudah menjadi kewajiban sekolah untuk membentuk sikap tersebut.

Kata kunci: disiplin, kedisiplinan, pendidikan karakter, pembentukan karakter.

1. PENDAHULUAN
Sudah menjadi tugas setiap orang tua dalam pembentukan karakter dan kedisiplinan anak.
Namun dikarenakan sangat dibutuhkannya lulusan pendidikan formal di dunia kerja, mau tidak
mau orang tua harus menyerahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan formal, yaitu sekolah.
Sekolah merupakan lembaga tempat proses pendidikan dilakukan, yang telah diberi kepercayaan
untuk mengubah tingkah laku seseorang ke arah yang lebih baik melalui pengetahuan dan
wawasan yang diberikan sebagai bekal untuk bertahan hidup di kemudian hari.
Artikel ini dibuat berdasarkan observasi yang dilakukan di SMA Negeri 3 Yogyakarta.
Sekolah ini merupakan salah satu Sekolah Menengah Atas yang ada di Yogyakarta, sekolah ini
dikenal dengan nama PADMANABA atau SMA 3 B yang merupakan sekolah menengah tertua di
Yogyakarta. SMAN 3 Yogyakarta berdiri pada tanggal 19 September 1942. SMAN 3 Yogyakarta
terletak di Jl. Laksda Yos Sudarso No. 7 Yogyakarta 5522. Di sekolah ini terdapat 17 kelas yang
terdiri dari kelas Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan kelas ICT ( kelas
akselerasi ), SMAN 3 Yogyakarta ini juga mempunyai laboratorium bahasa, laboratorium kimia,
laboratorium biologi, laboratorium fisika, 2 ruang multimedia, 2 ruang komputer, dan mempunyai
perpustakaan besar. Siswa disana diwajibkan untuk memilih salah satu bahasa asing untuk muatan
lokal, yaitu bahasa jerman atau bahasa jepang. Pelajaran bahasa asing dipelajari selama dua kali
per minggu.
SMA Negeri 3 Yogyakarta merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menghasilkan
banyak lulusan yang berprestasi, misalnya dalam lomba olimpiade matematika, fisika, dan kimia.
Hal ini didukung oleh kemampuannya dalam mengikuti perkembangan teknologi dan sistem
pendidikannya yang cukup baik.
Tidak jarang ada sekolah yang melupakan pentingnya pembentukan kedisiplinan dan soft
skill dalam diri peserta didiknya. Seperti yang terjadi pada SMA Negeri 3 Yogyakarta, beberapa
murid disana terlihat tidak disiplin dalam berseragam. Bahkan berdasarkan wawancara dengan
salah satu guru disana, beliau mengatakan bahwa hampir tidak ada batasan antara guru dengan
murid. Hal ini memang bagus dalam taraf tertentu, misalnya murid jadi merasa dekat dengan guru
dan tidak akan malu bertanya jika ada materi yang belum jelas. Namun ini dapat menyebabkan
akibat yang buruk pula, seperti banyak kasus murid berani melawan perkataan guru yang terjadi di
kalangan siswa tingkat SMP dan SMA. Kasus-kasus tersebut dapat terjadi karena hilangnya rasa
hormat kepada guru, dimana siswa tidak lagi menganggap guru sebagai panutan yang patut
dihormati dan disegani.
2. KEDISIPLINAN
Julie Andrews dalam Sheila Ellison and Barbara Ann Barnet Ph.D berpendapat bahwa
“Discipline is a form of life training that, once experienced and when practiced, develops an
individual’s ability to control themselves”, yang artinya “Disiplin merupakan bentuk pelatihan
hidup, yang ketika sudah dialami dan dipraktekan, maka akan mengembangkan kemampuan
seseorang untuk mengendalikan diri”. Dari pendapat tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa
kedisiplinan sangat penting untuk diajarkan kepada siswa. Dengan kedisiplinan, siswa dapat
mengendalikan diri, maksudnya adalah siswa dapat mengontrol perilakunya, mengikuti aturan
dengan baik, rapi, lebih menghargai efisiensi waktu, dan tertib. Perilaku seperti inilah yang
diharapkan setiap sekolah untuk siswa-siswanya.
Pendapat lainnya adalah dalam buku “Disiplin Kiat Menuju Sukses” yaitu: “Disiplin adalah
suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan atau ketertiban”
(Priojodaarminto, 1994:23). Pendapat tersebut menujukkan bahwa kedisiplinan ditunjukkan
dengan sikap yang mencerminkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, ketertiban, dan berbagai nilai-
nilai positif lainnya. Kepatuhan merupakan kesadaran seseorang untuk menaati peraturan dan
norma yang berlaku tanpa perlu diingatkan. Tentu saja sikap disiplin tidak muncul dengan
sendirinya, kedisiplinan dapat muncul karena pengaruh dari luar misalnya orang tua, guru, kepala
sekolah, dan lain-lain. Dengan menerapkan kedisiplinan, siswa akan patuh dan santun terhadap
guru dan menghormati orang yang lebih tua.
Menurut observasi yang dilakukan di SMA Negeri 3 Yogyakarta, guru-guru disana
cenderung membiarkan pelanggaran-pelanggaran ringan mengenai kedisiplinan yang dilakukan
oleh murid-muridnya. Saat ditanya pihak sekolah menjawab bahwa mereka melakukan itu dengan
alasan untuk membuat siswa senyaman mungkin dalam menempuh pendidikan di sekolah tersebut
dan yang terpenting adalah prestasi-prestasi siswa tidak menurun. Pelanggaran yang penulis lihat
menurut observasi dilakukan adalah berupa memakai sweater atau jaket ketika proses belajar
berlangsung dan cuaca sedang tidak terlalu dingin dan memakai sepatu yang tidak sesuai standar.
Pelanggaran yang dilakukan memang bukan termasuk pelanggaran berat, namun tetap saja itu
merupakan tindakan yang tidak mencerminkan siswa disiplin dan hal itu bisa saja menggiring para
siswa untuk melakukan pelanggaran yang lebih berat. Terlebih lagi bagi siswa yang menginjak
tahun kedua, dimana mereka sudah merasa sedikit ‘berkuasa’ dan berani untuk mencoba hal-hal
baru. Jika para siswa yang melanggar peraturan kemudian terbiasa untuk dibiarkan, ketika
pelanggaran yang diperbuat semakin berat maka akan semakin sulit untuk menghukum dan
menasehati siswa yang melakukan pelanggaran karena merasa pelanggaran yang dilakukan tidak
berat. Siswa akan merasa perbuatan seperti itu seharusnya tidak perlu diberi hukuman dan nasehat
yang diberikan oleh guru itu terlalu berlebihan. Jika perilaku siswa sudah mencapai taraf seperti
ini, maka rasa hormat kepada guru semakin lama akan semakin menurun dan itu akan sangat
mempengaruhi pembentukan karakter siswa-siswa tersebut.

3. PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter adalah bentuk watak, tabiat, akhlak yang melekat pada pribadi seeorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi yang digunakan sebagai landasan untuk berpikir dan berperilaku
sehingga menimbulkan suatu ciri khas pada individu tersebut (Maunah, 2015). Setiap individu
memiliki karakter yang masing-masing berciri khas dan terus berkembang seiring bertambahnya
usia. Karakter seseorang akan berkembang dengan baik apabila memperoleh penguatan yang tepat,
yaitu berupa pendidikan. Itu sebabnya sudah menjadi kewajiban bagi pihak sekolah untuk
memberikan pendidikan karakter bagi siswa agar karakter siswa dapat berkembang ke arah yang
positif.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional telah merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pasal tersebut merupakan pondasi dari perkembangan pendidikan karakter untuk pembentukan
karakter manusia khususnya generasi muda. Tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas,
namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang
tumbuh dan berkembang dengan karakter yang berbudi luhur dan taat beragama.
Pendidikan karakter merupakan penciptaan lingkungan sekolah yang membantu siswa
dalam perkembangan etika, tanggung jawab melalui model, dan pengajaran karakter yang baik
melalui nilai-nilai universal (Berkowitz & Bier, 2005:7). Pendidikan karakter idealnya diterapkan
sejak usia dini karena pada usia tersebut sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Keluarga memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter
karena keluarga merupakan lingkungan pertama dalam pertumbuhan karakter anak. Namun bagi
sebagian keluarga, proses pendidikan karakter sangat sulit dilakukan karena orang tua yang
terjebak pada rutinitas yang padat sehingga tidak memungkinkan bagi orang tua untuk terus
mendampingi anaknya. Disinilah peran sekolah menjadi sangat penting untuk menggantikan para
orang tua dalam membentuk pribadi anak yang baik. Sekolah berkewajiban untuk menerapkan
pendidikan karakter secara sistematis dan berkelanjutan, serta selalu me-review sistem yang
sebelumnya kemudian memperbaiki kekurangannya sehingga peserta didik dapat mengembangkan
dan mengendalikan sikap dan emosinya, khususnya bagi anak-anak remaja yang duduk di bangku
SMA.
Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, pendidikan karakter di SMA Negeri 3
Yogyakarta bisa dikatakan berlangsung cukup baik mengingat perlakuan santun para siswa
terhadap para observer. Namun dikarenakan waktu observasi yang terbatas, data tentang
pembentukan karakter pada SMA Negeri 3 Yogyakarta pun terbatas. Pihak sekolah memberitahu
bahwa batasan antara guru dengan siswa hampir tidak ada, salah satu contohnya adalah siswa bisa
menyapa dan mengobrol dengan guru layaknya teman sendiri. Dalam jangka pendek, hal ini
memang terkesan tidak ada efek buruknya. Namun jika dibiarkan dalam waktunyang lama,
kemungkinan besar akan terjadi hilangnya rasa hormat siswa terhadap guru. Tapi tentu saja
penurunan rasa hormat terhadap guru tidak melulu penyebabnya adalah hilangnya batasan antara
guru dengan murid, melainkan terdapat banyak faktor lainnya seperti pengaruh perkembangan
teknologi dan pergaulan bebas.
4. KEDISIPLINAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGHASILKAN SUMBER
DAYA MANUSIA YANG BERKUALITAS DAN PROFESIONAL
Mendidik siswa hingga berprestasi di sekolah sudah merupakan tanggung jawab guru.
Berbagai metode dan strategi pastinya dilakukan guru untuk menciptakan kelompok belajar yang
aktif dan berprestasi. Namun bukan berarti sekolah bisa melupakan kedisiplinan dan karakter
mulia. Seperti yang terjadi pada SMA Negeri 3 Yogyakarta yang cenderung lebih mementingkan
kenyamanan dan prestasi siswa tanpa tegas dalam hal kedisiplinan dan batasan antara guru dengan
murid.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya prestasi dan penghargaan adalah mimpi dari setiap
siswa. Bukan hanya itu, prestasi juga dapat mempermudah dalam proses administrasi ketika ingin
mendaftar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun kenyataannya, prestasi hanya akan
mengantar kita sampai ke surat lamaran kerja. Ketika sudah diterima dan masuk ke proses
selanjutnya, hal yang sangat dibutuhkan adalah softskill dan kedisiplinan. Hal ini tentu sangat
disayangkan jika semasa mudanya tidak ditegaskan dalam penerapan kedisiplinan dan pendidikan
karakter.
5. HAMBATAN – HAMBATAN
Dikarenakan waktu observasi yang terbatas, maka observer tidak bisa mendapatkan data
yang rinci tentang kedisiplinan dan pendidikan karakter yang diterapkan di SMA Negeri 3
Yogyakarta. Hambatan-hambatan yang penulis dapatkan di SMA N 3 Yogyakarta dalam hal
penerapan kedisiplinan dan pendidikan karakter yaitu:
1) Sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan visinya. Visi sekolah
yang cenderung memfokuskan pada meraih prestasi akademis dan kenyamanan siswa
membuat sekolah untuk kesulitan dalam penerapan pendidikan karakter yang sesuai.
2) Pemahaman guru tentang konsep pendidikan karaker yang masih belum menyeluruh.
Program pendidikan karakter belum dapat disosialisasikan pada semua guru dengan baik
sehingga mereka belum memahaminya.
3) Siswa yang sudah terbiasa melihat kakak kelas tidak disiplin dalam berseragam dan
dibiarkan saja oleh guru, sehingga siswa mencontoh perbuatan mereka.
4) Guru masih kesulitan dalam memilih metode pendidikan karakter yang sesuai dengan
mata pelajaran yang diampunya. Selain mengajarkan mata pelajaran umum, guru juga
hendaknya menyelipkan beberapa nilai-nilai karakter untuk diajarkan kepada siswa.
5) Guru masih belum dapat menjadi teladan atas nilai-nilai karakter dan kedisiplinan bagi
para siswa. Permasalahan akan semakin berat bila guru yang seharusnya menjadi teladan
tapi masih belum bisa menerapkan kedisiplinan, misalnya tidak seragam di hari-hari
tertentu yang seharusnya berseragam.
6. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Disiplin adalah ketertiban pola perilaku yang terbentuk melalui proses dari serangkaian
perilaku yang mengembangkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya.
2. Karakter adalah watak, sifat, ataupun kepribadian yang melekat pada diri seseorang dan
membedakan seorang individu dengan individu lainnya. Karakter seseorang dapat
berubah seiring berjalannya waktu, maka dari itu diperlukan adanya pendidikan karakter
agar dapat berkembang ke arah yang positif.
3. SMA Negeri 3 Yogyakarta belum tegas dalam menerapkan kedisiplinan dan pendidikan
karakter kepada siswa-siswanya.
4. Tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, sekolah juga berkewajiban untuk
membentuk generasi muda yang berkepribadian atau berkarakter sehingga generasi
penerus dapat tumbuh dan berkembang dengan karakter yang berbudi luhur dan taat
beragama.
5. Prestasi hanya mengantar seseorang sampai meja wawancara, pada tahapan selanjutnya
yang sangat dibutuhkan di dunia kerja adalah softskill dan kedisiplinan.
6. Penerapan Kedisiplinan dan pendidikan karakter harus secara tegas digencarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Tu”u, Tulus. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo
Njoroge, Philomena Mukami and Ann Nduku Nyabuto. 2014. Discipline as a Factor in Academic
Performance in Kenya. Journal of Educational and Social Research. Volume 4 No.1. diunduh
dari http://www.mcser.org/journal/index.php/jesr/article/view/1847 pada hari Selasa, 22 Mei
2018.
Ellison, Sheila dan Barbara Ann Barnet. 1996. 365 Ways to help your Children Grow. Illionois:
Naperville.
Prijodarminto, Soegeng. 1994. Disiplin Kiat Menuju Sukses. Jakarta: Pradnya Paramita
Maunah, Binti. 2015. “Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik
Siswa”. Jurnal Pendidikan Karakter, edisi April 2015, TH. V, No. 1. Diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=416565&val=436&title=IMPLEMENTASI%20PENDIDIKAN%20KARAKTER
%20%20DALAM%20PEMBENTUKAN%20KEPRIBADIAN%20HOLISTIK%20SISWA
pada hari Kamis, 24 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai