Anda di halaman 1dari 12

Filsafat Matematika

Mahyuddin K. M. Nasution? ,

PS Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


Universitas Sumatera Utara, Medan 20155 USU Sumatera Utara Indonesia
mahyuddin@usu.ac.id

Abstract. Matematika dan filsafat sebagai pengetahuan adalah sejalan


secara sejajar baik pada awalnya kelahirannya maupun perkembangan
keduanya, walaupun kadangkala antara satu dengan yang lain dalam
hal tertentu nampak lebih unggul. Pada satu sisi, matematika mengu-
kuhkan jati dirinya sebagai sistem pengetahuan berbasis nalar simbolik
yang pemaknaannya terus tidak berubah atau tidak bertentangan. Se-
mentara pada sisi yang lain, filsafat menabur pesona pemikiran dengan
pertentangan yang menimbulkan dialog secara mendalam, dan kadang-
kala tanpa ujung, dan bercabang-cabang. Namun, persoalan-persoalan
yang muncul itu seringkali terselesaikan bersama matematika. Dengan
demikian, filsafat matematika berkaitan dengan memberikan pemahaman
kepada perlunya landasan pemikiran atau kebenaran, dalam adi-matema-
tika sebagai filsafat adalah mencari jawaban, yang akhirnya mencari dan
mendapat penyelesaikan dalam matematika.

1 Pengantar
Matematika, sesuatu yang sulit dimaknai ketika sekedar kata yang mengungkap-
kan nama suatu pengetahuan saja. Matematika secara konsep memerlukan nalar
yang mengikuti bahasa yang menyatakannya. Rumusan bahasa Matematika tidak
saja sebagai penunjuk bagi dasar sains, tetapi juga memiliki esensi sendiri.
Hakikat membentuk matematika itu sendiri, dan perluasan darinya ke berba-
gai cabang keilmuan. Secara alamiah matematika memiliki nama yang berbeda
dalam bahasa berbeda mengikuti penyebutan dan pemahaman serta kepentingan
manusia yang menggunakannya, namun secara prinsip nama-nama itu memiliki
hakikat yang sama [1].
Matematika membenarkan sesuatu secara abstraksi mengikuti nalar [2]. Se-
lain matematika, filsafat suatu pengetahuan yang mencari kebenaran secara
mendalam, walaupun selalu tidak tuntas. Penggabungan kedua kata ini meng-
hasilkan suatu ungkapan filsafat matematika, yang mendorong suatu pema-
haman tentang matematika dan filsafat [3]. Paradoks menjadi contoh dari per-
soalan interaksi antara matematika dan filsafat, yang memungkinkan untuk
mengungkapkan filsafat matematika. Dengan begitu, memungkinkan untuk me-
mahami pertanyaan-pertanyaan. Filsafat mungkin dapat menjawab banyak per-
soalan secara mendalam, tetapi juga banyak pertentangan, matematika men-
?
Sintesa: Suatu Catatan, 1, 1984
2 M. K. M. Nasution

jawab dengan tuntas dengan bukti-bukti. Uraian tentang ini dimulai dari pema-
haman terhadap matematika dan filsafat, melalui sejarah dan pemikiran-pemikir.
Adi-matematika mencoba menjawab kebutuhan tentang metodologi dari mate-
matika. Pada bagian akhir, adalah melengkapi pertanyaan melalui diskusi untuk
mencari beda atau menentukan kesamaan antara matematika dan filsafat.

2 Pembuktian oleh sejarah

Sebut saja matematika untuk menamakan apa yang akan dijelaskan berikut. Is-
tilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu µαθηµα (baca máthēma) memiliki
makna sebagai ilmu yang membahas tentang struktur, susunan, dan hubungan
yang melibatkan perhitungan, pengukuran, dan perumusan bentuk. Matema-
tika berdasarkan penelusuran paling tua menghadirkan geometri abstrak seba-
gai bukti awal [4], yaitu mengikuti nalar yang dipraktekkan oleh bangsa Baby-
lonia dan bangsa Mesir selama berabad-abad. Pada masa itu, salah seorang
dari tujuh orang arif Yunani, bernama Thales, dari Miletus (terletak di sebelah
pantai barat negara Turki sekarang) [5], telah mengubah petunjuk praktis dari
pengukuran yang telah dipraktekkan itu menjadi bukti matematis langkah demi
langkah sebagaimana yang terdapat pada ilmu ukur pada saat ini. Thales telah
membuktikan enam dalil pokok geometri. Dalil bahwa kedua sudut alas dari
suatu segitiga sama kaki, misalnya, adalah sama besarnya [6]. Pada sisi lain,
Thales mencari unsur tunggal yang menjadi dasar perubahan atau memben-
tuk jagat ini. Sebagaimana satu titik menjadi garis dengan menghadirkan titik
lain, hakikat ini mengungkapkan bilangan berdampingan dengan geometri [7].
Misalnya, jarak antara dua titik pada bidang menjadi ukuran dalam bilangan
satuan. Secara nalar perkembangan pemikiran manusia terbentuk melalui pola
bentuk yang secara riil ada, mengenalinya dan mengungkapkannya dalam hal
lain, sebagaimana geometri menghadirkan bilangan. Banyak pola perhitungan,
mengikuti angka, dalam kehidupan sehari-hari hadir bersama manusia. Setiap
detik membangun menit, menit demi menit membangun satu jam, dan satu jam
berlalu dan jam berikutnya menuturkan hingga satu hari. Tujuh hari terkumpul
dalam satu pekan, atau antara 28 sampai 31 hari membentuk bulan. Bulan demi
bulan berjalan sampai batasnya jumlah hari adalah satu tahun. Seterusnya, is-
tilah yang menggambarkan bilangan secara tidak langsung, membentuk dekade,
abad dan seterusnya.
Thales juga mempersoalkan asal mula, sifat alami, dan struktur dari jagat
raya. Satuan pengetahuan dikenali sebagai kosmologi, yang disebut juga awal-
nya sebagai filsafat alam [8]. Filsafat sebagai bentuk usaha manusia memahami
secara mendalam tentang sesuatu, yaitu istilah yang berasal dari Greek, yaitu
ϕιλoσoϕια (baca philosophia) bermakna cinta kebijaksanaan, kajian persoalan
umum dan mendasar terhadap keberadaan, pengetahuan, nilai, alasan, pikiran,
dan bahasa [9]. Berdasarkan konsep keberadaan, sebagai ilmuan, Thales telah
memahami bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya dari matahari.
Secara tidak langsung, ini mengungkapkan bahwa matematika dan filsafat hadir
berbarengan.
Filsafat Matematika 3

Orang arif kedua, bernama Pythagoras, telah mengukirkan namanya dalam


suatu dalil tentang segitiga siku-siku, yang mengungkapkan bahwa jumlah dari
luas dua sisi sebuah segitiga siku-siku adalah sama dengan luas sisi miringnya,
yang mengungkapkan perhitungan seperti pada rumus berikut

c2 = a2 + b2 (1)

Rumus pada persamaan (1) dikenali oleh setiap anak sekolah menengah seba-
gai dalil Phytagoras, di mana pembuktian langkah demi langkah secara mate-
matis telah dimuat dalam buku Elements yang disusun oleh Euclides [10]. De-
ngan demikian, konsep bilangan hadir bersama geometri. Dengan kata lain, para
pengikut Phytagoras menyatakan bahwa bilangan merupakan intisari dan dasar
pokok dari sifat-sifat benda, termasuk semua bentuk yang lain, seperti segitiga,
persegi empat, persegi panjang, persegi lima, persegi enam, lingkaran dan lain-
nya. Filsafat yang mengutamakan bilangan ini dipadatkan menjadi suatu dalil
yang berbunyi ”Number rules the universe” [11].
Hubungan erat antara matematika dan filsafat tergambar dalam kosmologi
sebagai ajaran-ajaran tentang jagat raya, dalam matematika melalui geometri
secara khusus dan sedangkan teori bilangan hadir secara alami [12]. Plato menya-
takan bahwa Tuhan senantiasa bekerja dengan metode geometri, dan kemudian
Jacobi melengkapi pernyataan itu dengan suatu ungkapan: ”God ever arithme-
tizes” [13]. Bagaimanapun, semula manusia akan mengenal lebih mudah sesua-
tu melalui bentuk-bentuk (seperti dalam geometri), kemudian mengungkapkan
sifat-sifatnya (seperti di dalam aritmatika) [14]. Dengan kata lain, bahwa manu-
sia menanggapi semua yang direkognisi oleh panca indera manusia berdasarkan
kasus demi kasus, tetapi kemudian mengabstraksinya dalam pemikiran. Ini se-
jalan dengan pendapat ahli astronomi dan fisika James H Jeans yang menyata-
kan bahwa ”the Great Architect of the Universe now begins to appear as a pure
mathematician” [15].
Hubungan timbal balik antara matematika dan filsafat sebagaimana dinyata-
kan dalam formalisasi geometri dan aritmatika mengungkapkan sisi yang berbeda.
Istilah aritmatika dari Greek, terdiri dari dua kata αριθµoζ (baca arithmos) be-
rarti bilangan dan τ εχνη (baca tiké atau techne) berarti seni ilmu pengetahuan.
Aritmatika adalah bagian dasar dari teori bilangan, atau cabang matematika
yang terdiri dari kajian bilangan, sifat-sifat operasi tradisionalnya [16].
Interaksi antara matematika dan filsafat itu mengungkapkan padanan kon-
sep, fenomena, dan paradigma pada masing-masing pengetahuan tersebut. Para
matematikawan mempelajari secara abstraksi pengertian tentang ketidakhing-
gaan, probabilitas, dan bilangan, sedangkan para filosof merenungkan soal keaba-
dian, perubahan, dan kuantitas. Dengan kata lain, dalam pembelajaran selalu
terdapat hubungan antara keabadian dan ketetidakberhinggaan, dalam pencari-
an selalu ada hubungan kebetulan dan kemungkinan, atau dalam kajian terdapat
hubungan antara kuantitas dan bilangan [17]. Konsep waktu, seperti satu jam =
60 menit atau satu jam = 360 detik misalnya, menginspirasikan bahwa lingkaran
sebagai bentuk geometri terdiri dari 360 derajat (ditulis 360◦), seperti diperli-
hatkan oleh penunjuk waktu diberbagai tempat, atau bahwa semua bentuk geo-
4 M. K. M. Nasution

metri berkaitan erat dengan ukuran 360◦ . Dengan hadirnya bilangan 360 meng-
ungkapkan bidang matematika baru, yang secara filosofis menalarkan alasan
pembagian lingkaran terbagi menjadi 360 dan ini menyebabkan suatu bidang
keilmuan matematika berdasarkan bilangan dan geometri, yaitu trigonometri
[18]. Astronomer Sumerian bernama Hipparchus telah menyusun tabel trigo-
nometri sebagai alat penjelasan berbeda bentuk-bentuk geometri berdasarkan
bilangan. Trigonometri secara umum melibatkan sistem koordinat sumbu y dan
sumbu x. Sebuah lingkaran terdiri dari 360◦, sistem koordinat membagi lingkaran
menjadi empat bagian. Pada titik asal O sumbu-x dan sumbu-y tegak lurus, dan
terdapat kuadran I, II, III, dan IV, masing-masing pada titik O memiliki sudut
90◦.
Trigonometri adalah bidang matematika yang mengungkapkan hubungan an-
tara sudut dan masing-masing atau kedua-dua sumbu x dan y. Konsep sinus
menyatakan hubungan sudut dengan sumbu y dan garis miring atau jari-jari
lingkaran yang membentuk sudut, yaitu
y
sin θ = (2)
c
fungsi yang menyatakan bahwa rasio dari sisi oposisi sudut, sumbu y, terhadap
hipotenusa, sisi miring c. Konsep kosinus menyatakan hubungan sudut dengan
sumbu x dan garis miring atau jari-jari lingkaran yang membentuk sudut, yaitu
x
cos θ = (3)
c
fungsi yang menyatakan suatu rasio dari sisi adjasen, sumbu x, dengan hipotenu-
sa. Hipotenusa adalah sisi oposisi dengan sudut 90◦ dari segitiga siku-siku. Se-
dangkan hubungan antara sudut dengan sumbu y dan sumbu x menghadirkan
y
tan θ = (4)
x
sin θ
yang juga menyatakan tan θ = cos θ . Walaupun, Hipparchus bukan seorang
filosofer, keteraturan trigonometri terbentuk melalui ontologi yang mensistemasi-
kan konsep-konsep yang berserakan, di mana ontologi adalah suatu metodologi
untuk mengungkapkan keberadaan objek matematika seperti bilangan, him-
punan, fungsi, dan lainnya [19–21]. Kesetaraan ini menyatakan bahwa matema-
tika bukanlah bagian dari atau berasal dari filsafat, dan filsafat pun pada awalnya
menjadi bagian dari matematika, telah mengungkapkan segi-segi persamaan dan
perbedaan antara matematika dan filsafat. Menurut Plato, geometri mengikuti
akal murni, demikian juga filsafat dikatakan mempergunakan akal semata-mata,
di mana kelanjutan dari masing-masing tidak melakukan eksperimen dan tidak
memerlukan peralatan laboratorium.
Apa yang menjadi persamaan antara matematika dan filsafat adalah bahwa
keduanya bergerak pada tingkat rampatan yang tinggi [22]. Kedua-duanya mem-
bahas pelbagai ide yang sangat umum dan biasanya melampaui taraf kekonkri-
tan yang satu demi yang satu. Tidak dipersoalkan kewujudan sesuatu objek
Filsafat Matematika 5

secara benda, selain abstraksi dari objek itu. Misalnya, secara mistik para Phy-
tagorian percaya bahwa bilangan 1 mewakili akal, bilangan 2 mewakili laki-
laki, bilangan 3 diperuntukkan menunjuk perempuan, bilangan 4 menunjukan
keadilan sebagai akibat dari hasilkali dari 2 bilangan yang sama, sedangkan bi-
langan 5 dianggap mencerminkan perkawinan yaitu penambahan angka 2 dan
angka 3 sebagai penggabungan laki-laki dan perempuan. Namun, matematika
tidak membahas umpamanya tentang 2 laki-laki atau lainnya melainkan konsep
bilangan pada umumnya, sebagaimana filsafat tidak mempersoalkan laki-laki
atau perempuan melainkan manusia pada umumnya. Namun begitu, walaupun
sama-sama melibatkan rasionalitas dan mempergunakan metode rasional. Fil-
safat bebas melibatkan rasional apa saja, seorang filosof dapat merenungkan
apa saja sepanjang hal itu merupakan bagian dari pengalaman manusia. Se-
dangkan matematika, bertumpu kepada metode logis yang sifat deduksi. Ma-
tematika fokus kepada hal yang menyangkut besaran baik bilangan maupun
ruang, hubungan, pola, bentuk, dan rakitan atau struktur. Filsafat melakukan
pembuktian dengan melibatkan dialog dengan alasan-alasan yang dapat diterima
akal. Dengan demikian, filsafat cenderung menghasilkan pemaknaan suatu ba-
hasa dengan beragam interpretasi, dan menghasilkan hal-hal berbeda. Perkem-
bangan suatu bahasa, dalam kosakata, lebih cenderung meningkat. Sedangkan
matematika, membuktikan sesuatu dengan telaahan mulai dari konsep sampai
kepada teori, yang selalu bersifat abstraksi, dengan simbol-simbol yang terde-
finisi dalam satu makna dan penafsiran. Semua ini diungkapkan oleh seorang
filosof bernama Alfred Cyril Ewing [23], yaitu

”Firstly, it has not proved possible to fix the meaning of terms in the same un-
ambiguous way in philosophy as in mathematics, so that their mean-
ing is liable imperceptibly to change in the course of an argument
and it is very difficult to be sure that different philosophers are using
the same word in the same sense.”
”Secondly, it is only the sphere of mathematics that we find simple concepts
forming the basis of a vast number of complex and yet rigorously
certain inferences.”
”Thirdly, pure mathematics is hypothetical, i.e. it cannot tell us what is the case
in the actual world, for example, how many things there are in a given
place, but only what will be the case if so-and-so is true, e.g. that there
will be 12 chairs in a room if there are 5+7 chairs. But philosophy
aims at being categorical, i.e. telling us what really is the case; it is
therefore not adequate in philosophy, as it often is in mathematics,
to make deductions merely from postulates or definitions.”

Ketika prinsip filsafat berserakan sesuai dengan pemikiran-pemikiran para


filosof, dan kemudian saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Adi-ma-
tematika (meta-mathematics) menyatu dengan refleksinya sendiri dan memer-
lukan filsafat agar mampu memahami berkerjanya pemikiran dalam matematika,
bagaimanapun dalam hal ini filsafat sebagai rangkaian pemikiran yang mem-
pertimbangkan secara cermat suatu pokok soal dalam pemikiran. Berdasarkan
6 M. K. M. Nasution

alasan itu, filsafat matematika (philosophy of mathematics) menjadi perlu? Ja-


wabnya terletak terhadap pemahaman yang diberikan oleh Galileo Galilei seba-
gai berikut: ”Philosophy is written in this grand book, the universe, which stands
continually open to our gaze. But the book cannot be understood unless one first
learns to comprehend the language and read the letters in which it is composed.
It is written in the language of mathematics.”

3 Adi-Matematika
Meskipun mengalami kesulitan dalam memahami hubungan antara matematika
dan filsafat, apalagi tentang filsafat matematika [24]: Suatu filsafat matematika
dapatlah melukiskan suatu sudut pandang yang darinya pelbagai bagian dan ke-
pingan matematika memiliki susunan dan terpadu dalam asas dasar. Oleh karena
itu, filsafat matematika adalah untuk menelaah konsep dari dan pembenaran
terhadap asas-asas yang dipergunakan dalam matematika [25].
Matematika, disamping sebagai formalisasi juga memformalisasi bukti secara
matematika untuk semua hal yang berkaitan dengan pemahaman abstraksi. Na-
mun untuk mengungkapkan matematika itu sendiri memerlukan pemahaman
dan hubungan-hubungan. Itu lepas dari hipotesa dan asumsi yang seringkali
bersama metodologi, yaitu hal-hal berkaitan dengan sifat alami dari penjelasan
ilmiah, logika penemuan, teori probabilitas, dan teori pengukuran. Matematika
juga tidak terkait dengan ontologi, yang mendiskusikan konsep-konsep substansi,
proses, waktu, ruang, kausalitas, hubungan akal dan materi, serta status dari
entitas-entitas teoritis [26]. Sementara, terdapat semacam metodologi tersendiri
untuk matematika yang dikenali sebagai adi-matematika, yang berada di luar
matematika. Suatu teori pembuktian yang diformalkan, termasuk di dalamnya
sistem logika simbolik [27]. Misalnya, teori pembuktian dari Hilbert yang me-
nyatakan hal berikut [28]: ”The formalization of mathematical proof by means
of a logistic system makes possible an objective theory of proofs and provability,
in which proofs are treated as concrete manipulations of formulas (and no use
is made of meanings of formulas).” Adi-matematika sebagai paradigma, yaitu
”meta-mathematics is a branch of mathematical logic which studies formal the-
ories and solves problems pertaining to such theories. [29]”
Sistem logika simbolik melengkapi matematika sebagai perangkat yang utuh
menjadi dasar sains dan pengetahuan lainnya [30]. Kelengkapan itu melalui keku-
atan berpikir manusia dalam kewujudan sebagai pernyataan-pernyataan den-
gan landasan kebenaran, dan untuk mengungkapkan landasan kebenaran itu
kadangkala melalui kalimat-kalimat yang mencoba menafsirkan makna secara
mendalam, mungkin saja dalam dialog, dalam pertanyaan-pertanyaan, dan se-
bagainya.

4 Konsep Pertanyaan
Abstraksi yang mengikuti pemikiran secara mendalam menghadirkan paradoks.
Beberapa interaksi matematika dan filsafat melahirkan premis-premis yang tidak
Filsafat Matematika 7

sistematis atau kacau, apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan ke-
mudian belum memiliki dasar pemikiran, yaitu ketika pernyataan dengan kebe-
narannya berkontradiksi dengan suatu yang lain. Keganjilan dikotomi menjadi
contoh awal dalam diskusi ini. Menurut Zeno gerak tidaklah mungkin terjadi.
Ketika suatu objek bergerak mencapai suatu jarak tertentu, objek itu harus
menempuh 12 dari jarak itu, dan sebelum menempuh setengah jarak itu harus
pula melewati 12 jarak yang terdahulu lagi. Demikian seterusnya setiap kali ada
1
2 jarak yang harus dilalui terus menerus. Ini berarti ada ruang yang terbagi
dalam dikotomi yang jumlahnya tidak terhingga (. . .) yang mengakibatkan tidak
mungkin ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan hal itu, bergerak
dari satu titik ke titik lain tidaklah mungkin. Namun, pengertian limit, ter-
hadap deret tidak terhingga, memberi jawaban. Ketika banyak bilangan yang
secara umum mengarah ke satu titik, disebut proses konvergensi, maka akan
ada sebuah limit yang merupakan jumlah dari rangkaian itu. Oleh karena itu,
keganjilan dikotomi tidak lagi menjadi paradoks saat ini. Penyelesaian berikut
mengungkapkan: Andaikan objek bergerak 1 (satu) meter dari suatu titik ke
titik lain, deret waktu berhingga menjadi 12 + 14 + 18 + · · ·+ 21n + . . . dan memiliki
limit sebagai = 1, atau

1 1 1 1
+ + + · · · + n + . . . = 1. (5)
2 4 8 2
Keganjilan Achiles adalah paradoks yang hampir mirip dengan keganjilan
dikotomi. Paradoks ini mengungkapkan pelari cepat Archiles tidak mungkin
mengejar seekor kura-kura yang lambat bilamana binatang itu telah berjalan
mendahului pada suatu jarak tertentu. Zeno berpendapat bahwa saat Archiles
mencapai titik berangkat yang pertama dari kura-kura itu, binatang itu telah
maju berjalan menempuh suatu jarak tertentu. Ketika Archiles mengejarnya,
kura-kura telah maju lagi demikian seterusnya, yang mengakibatkan kura-kura
selalu di muka Achiles. Paradoks ini menyangkut tidak hanya jarak tetapi juga
waktu, yang dikenal juga sebagai kecepatan. Dalam hal ini, andaikan pelari
Achilles dapat menempuh 1 km dalam waktu 1 menit dan kura-kura hanya se-
paruh dari kecepatannya tetapi telah bergerak mendahului 1 km di muka, maka
perlombaan Achilles dengan kura-kura itu dapat pula diungkapkan sebagai suatu
seri waktu seperti berikut:1 + 12 + 14 + · · · + 2n−1
1
dan memiliki limit sebagai

1 1 1
1+ + + · · · + n−1 = 2. (6)
2 4 2
Manusia mengenali bentuk-bentuk secara mudah dan pemikiran menafsirkan
itu melalui panca indera. Dengan membataskan kepada ruang dan waktu, bahasa
manusia memberikan pemahaman terhadap makna dari ”ketunggalan”, ”keja-
makan”, ”ketidakhinggaan”, ”ketiadaan”, ”keterbatasan”, ”kekosongan”, dan
lainnya yang memberikan alasan terhadap pertanyaan-pertanyaan ”berapa be-
sar”, ”berapa luas”, ”berapa banyak”, ”berapa lama”, ”berapa kecil”. Kumpul-
an pertanyaan itu bersifat penerapan kepentingan dari manusia [31]. Ini dalam
filsafat merupakan pikiran awal, di mana dalam bahasa, ”kekosongan” wakil
8 M. K. M. Nasution

terhadap bilangan 0 (nol), ”ketunggalan” padan dengan bilangan 1 (satu), na-


mun bahasa yang tidak secara langsung setara dengan sebarang bilangan men-
jadi proses sebagaimana ”pergerakan” atau ”pergeseran” berubah menjadi ”pe-
nambahan” atau simbolnya + (tambah); ”kemunduran” secara khusus mem-
berikan makna dari simbol − (kurang); ”perubahan” memiliki penafsiran yang
berbeda-beda sebagaimana berlangsung dalam ”pembagian” atau ”perkalian”.
Walaupun, pemikiran ini tercatat dari Yunani, namun hampir seluruh budaya
manusia memberikan perlakuan yang sama.
Bilangan menjadi kunci pokok penafsiran-penafsiran oleh manusia terhadap
apa yang bergayut dalam pemikiran manusia. Namun begitu, tidaklah selu-
ruhnya terjawab sehingga menghasilkan persoalan-persoalan yang oleh manu-
sia secara serampangan memberi alasan. Oleh karena itu, penalaran yang tidak
mendalam secara filosofis, atas alasan itu, manusia sering bertanya dalam ak-
tivitasnya dengan petunjuk kata ”bagaimana”. Dalam filsafat, pertanyaan meli-
batkan kata bagaimana adalah nalar yang paling dangkal. Dalam penafsiran
bilangan baik yang terukur maupun tidak, itu hanya melibatkan teknologi, yang
terserap ke dalam hidup pribadi manusia sebagai keahlian [32], dan ketika pri-
badi itu tiada lagi dan jawaban terhadap ”bagaimana” itu ikut serta dan hilang.
Dalam bilangan itu dimaknai nol atau ”ketiadaan”, atau sia-sia. Dalam berba-
gai bahasa, pertanyaan ”bagaimana” memiliki penafsiran yang sama dengan
”sejauhmana”, yang mengungkapkan penekanan yang menghadirkan jarak agar
bilangan dapat mewakili, seperti 1, 2, 3, . . .. Oleh karena itu, tingkat filosofis dari
pertanyaan menggunakan kata ”bagaimana” adalah rendah, dan dalam mate-
matika pertanyaan yang melibatkan kata ”bagaimana” hanya memberi jawaban
sekedar penyelesaian dalam pola perulangan sebagaimana soal-soal dan jawaban
dalam banyak buku teks.
Bilangan memberikan uraian dari bentuk sampai materi, sebagaimana mate-
matika menguraikan lebih jauh melalui trigonometri terhadap bentuk-bentuk ge-
ometri, begitu pula dengan pemahaman lebih dalam akan menapsirkan suatu ob-
jek lebih mendalam. Dalam filsafat, pertanyaan menggunakan kata ”apa” berasal
dari nalar untuk mendapatkan uraian yang terus menerus terhadap suatu objek.
Uraian itu memastikan tidak ada penjelasan yang tidak dipahami, walaupun
filsafat tidak selalu secara tuntas mengungkapkan makna dari setiap penje-
lasan. Deret bilangan telah menjelaskan keganjilan dikotomi dan menyebabkan-
nya tidak lagi menjadi paradoks. Demikian juga keganjilan Achilles. Berbeda
dengan itu, melalui bilangan yang mengabstraksi ke dalam simbol, suatu urai-
an dalam matematika terungkap melalui definisi yang kadangkala mengandung
aksioma-aksioma. Hampir semua aksioma walaupun dengan mengutamakan lo-
gika mengandung penafsiran dari bilangan secara mendalam. Katakan saja,
x + y = y + x adalah abstraksi semua bilangan sebarang, itu adalah uraian
dari hukum komutatif yang berlaku dalam matematika. Contoh-contoh dalam
bilangan menguraikan semua kemungkinan. Dalam filsafat, pertanyaan ”apa”
merujuk kepada semua pengalaman manusia yang mengikuti pengetahuan dan
budaya. Matematika tidak saja budaya tetapi pengetahuan, yang memberikan
kedewasaan kepada manusia melalui penjelasan, yang kadangkala dalam grafik
Filsafat Matematika 9

yang menafsirkan bilangan. Secara filosofis, ketika gambar bermakna seribu kata,
dalam bilangan sering disalah tafsirkan ke dalam grafik.

Bilangan memberikan penalaran lebih mendalam ketika terjadi abstraksi ke


dalam simbol-simbol [33]. Bukti-bukti hadir lebih baik. Sebagaimana bukti,
persamaan (5) dari keganjilan dikotomi atau persamaan (6) dari keganjilan
Achiles, matematika menempatkan diri sebagai alasan yang memadukan pema-
haman yang terpecah-belah oleh filsafat. Memang, dalam filsafat menggunakan
kata tanya ”kenapa” adalah untuk mencari alasan yang lebih mendalam, tidak
sekedar jawaban maupun penjelasan, namun sampainya alasan ke tujuan belum
tentu mencapai kebenaran. Namun, banyak hasil pemikiran yang beruntun itu
adalah konsep-konsep yang mengutamakan persepsi. Berbeda dengan itu, dalam
matematika, ketika abstraksi telah tuntas ke dalam definisi sebagai pemahaman
awal, alasan memberikan target bukti terhadap pertanyaan ”kenapa”. Oleh ka-
rena itu, adalah saran mandatori agar pertanyaan riset sampai kepada mengung-
kapkan alasan dengan pertanyaan ”kenapa”. Alasan dengan objek matematika
N sebagai himpunan ada objek matematika lain ◦ melalui deskripsi bilangan
menjelaskan a ◦ b = c, untuk semua a, b, c di dalam N . Bilangan yang sama akan
sebagai penjelasan yang mengungkapkan a ◦ (b ◦ c) = (a ◦ b) ◦ c. Demikian juga
terhadap hukum a(b ◦ c) = ab ◦ ac, atau a ◦ i = a di mana i adalah identitas,
dan secara nalar ada a−1 menyebabkan a ◦ a−1 = i, dan a−1 adalah kebalikan
atau lawan. Walaupun demikian, baik dari alasan filosofis maupun matematika,
adalah lebih baik apabila suatu pernyataan dapat mewakili keseluruhan per-
tanyaan dengan melibatkan semua kata tanya [34].

Secara prinsip, ketika perubahan terjadi, matematika juga mengungkapkan


ketiadaan perubahan. Dalam filsafat, ini mengungkapkan ketetapan sampai pada
keabadian. Sebagaimana paradok panah berikut. Anak panah secara khusus
berkaitan dengan ruang, waktu, dan jarak. Anak panah dilepaskan dari busurnya.
Pada suatu ketika, anak panah itu akan menempati suatu ruang tepat sepanjang
ukuran anak panah itu. Dalam ketika itu anak panah tidak bergerak. Sebut saja
ketika itu adalah kini. Jadi pada kini, anak panah itu tidak bergerak. Demikian
pada kini berikutnya, dengan dasar yang sama, anak panah itu tidak berge-
rak. Akhirnya, anak panah yang dilepas dari busurnya tidak dapat bergerak.
Ini setara dengan konsep ketertutupan (closure) dari a ◦ b = c. Penafsiran se-
cara bilangan melalui objek-objek matematika seperti himpunan N dan fungsi
◦ (atau disebut operasi binari). Jika a ∈ N dan b ∈ N , maka c ∈ N untuk
c = a ◦ b. Suatu anak panah tidak bergerak pada waktu kini, anak panah yang
lain juga demikian, maka anak panah yang lain berada pada posisi yang sama
atau berada pada ruang yang sama. Hukum-hukum kesetaraan ini telah ada
bersama bilangan sebagai penjelasan, sejak manusia mengenali bilangan, dan
secara konsep mengalami abstraksi melalui pernyataan waktu demi waktu sam-
pai sekarang. Aljabar adalah nama kumpulan konsep ini secara khusus dalam
matematika untuk memberikan penghargaan kepada seorang ahli matematika
Islam yang melakukan penyusunan secara sistematis konsep ini, yang dalam
bidang lain sistematika itu dinamai dengan algoritma.
10 M. K. M. Nasution

Jawaban terhadap penalaran kata tanya ”kenapa” mengungkapkan berbagai


hal secara mendalam. Bukti-bukti dalam pernyataan-pernyataan saling men-
dukung. Ketika konsep aljabar memberikan teori grup dengan syarat bahwa un-
tuk setiap a, b ∈ N terdapat c ∈ N untuk c = a◦b, bahwa untuk setiap a, b, c ∈ N
berlaku a ◦ (b ◦ c) = (a ◦ b) ◦ c, bahwa untuk setiap a ∈ N terdapat i ∈ N hingga
a ◦ i = a = i ◦ a, dan bahwa untuk setiap a ∈ N berlaku a ◦ a−1 = i = a−1 ◦ a di
mana a−1 ∈ N . Ini adalah konsep umum, tetapi berlaku secara khusus. Secara
filosofis, manusia mengawali berhitungnya dari satu, satu, ..., satu dan seterus-
nya, hingga akhirnya hadir memunculkan angka lain dalam bentuk abstraksi dari
rekognisi panca indera. Semua hanya dua angka 1 dan 0, yang sekarang dike-
nali dengan bilangan binari. Konsep bilangan ini menafsirkan banyak aktivitas
manusia, mulai dari hidup dan mati, dan sekarang semua pekerjaan mengikuti
bilangan berdasarkan bilangan 1 dan 0. Melalui kombinasi 1 dan 0, manusia
dapat memerintah mesin (objek mati) untuk bergerak sebagaimana manusia
bergerak. Pemaknaan dalam filsafat, sesuatu yang tidak bergerak dapat berge-
rak melalui bilangan, misalnya untuk mengungkapkan keberadaan suatu benda
melibatkan 0001 dalam bilangan empat digit binari atau 01h (h=heksadesimal)
[35, 36]. Dengan demikian, ketika dalam aljabar terdapat suatu grup berdasarkan
aksioma-aksioma di atas, dengan penalaran filsafat, algoritma adalah fungsi yang
mengoperasikan semua susunan binari dalam kombinasi dalam grup sehingga
sebuah benda mampu berberak, benda itu sekarang dikenali sebagai komputer,
dan ada bahasa untuk memerintahnya. Bahasa itu disebut bahasa mesin. Dengan
demikian, dalam filsafat ada kebenaran yang terurai mengikuti konsep-konsep
dan juga persepsi. Namun, konsep-konsep itu, terambil alih secara alami melalui
bilangan atau matematika, dan menafsirkannya menjadi sesuatu sebagai makna.
Matematika sebagai dasar sains dan pengetahuan, oleh karena itu, semakin
melepaskan diri dari keterikatan dengan sains itu sendiri. Melalui adi-matematika,
yang menerapkan penarapan yang ketat, matematika tumbuh sendiri sejak dari
awal hingga sekarang melalui objek-objek kajian yang semakin melebar dan
mendalam dari sisi pemikiran manusia. Penafsiran pemikiran dengan bilangan
memberikan penalaran dengan laboratorium yang juga ada dalam matematika
itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan mendasar adalah sisi landasan dari matem-
atika yang mendorong beroperasinya laboratorium itu sendiri [37]. Matematika
merupakan satu kesatuan pengetahuan yang berdiri sendiri. Fisafat matematika
menjelaskan penggunaan adi-matematika, yang mengungkapkan bahwa mate-
matika memiliki metodologi tersendiri yang tidak sama sebagaimana sains lain
yang mendasarkan kepada matematika.

5 Kesimpulan

Istilah berbeda, seperti mengungkapkan matematika, ada di mana saja dalam


kehidupan manusia, sepanjang pemikian mengenali sesuatu objek yang memi-
liki penafsiran dengan hitungan. Geometri, Aritmatematika, Trigonometri, dan
Aljabar merupakan penafsiran yang terakumulasi dalam matematika. Dengan
kelengkapan, adi-matematika, akumulasi itu semakin dalam terintegrasi dan me-
Filsafat Matematika 11

rambat ke semua sisi pemikiran manusia yang memerlukan abstraksi agar memu-
dahkan dalam pemahamannya, itulah filsafat matematika di mana matematika
tidak terikat dengannya.

References
1. A. J. Washington, S. H. Plotkin, C, E, Edmond, Essentials of Basic Mathematics,
Menlo Park, California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc., 1981.
2. D. Bergamini, Mathematics, New York: Time, 1963.
3. R. Hersh, ”Some proposals for reviving the philosophy of mathematics”, Advances
in Mathematics, vol. 31, pp. 31-50, 1979.
4. M. J. Greenberg, Euclidean and Non-Euclidean Geometries, 2nd edition, New York:
W. H. Freeman and Company, 1974.
5. D. R. Dicks, ”Thales”, The Classical Quarterly, vol. 9, no. 2, pp. 294-309, 1959.
6. J. L. E. Dreyer, A History of Astronomy from Thales to Kepler: Revised with a
foreword by W. H. Stahl, 2nd edition, New York: Dover Publications, Inc., 1953.
7. J. Singer, ”A theorem in finite projective geometry and some applications to num-
ber theory”, Transactions of the American Mathematical Society, vol. 43, no. 3,
pp. 377-385, 1938.
8. I. Newton, Mathematical Principles of Natural Philosophy, 2nd edition, London,
1802.
9. D. P’Brien, ”Derived light and eclipses in the fifth century,” The Journal of Hel-
lenic Studies, vol. 88, pp. 114-127, 1968.
10. R. C. Archibald, ”The first translation of Euclid’s elements into English and its
source”, The American Mathematical Monthly, vol. 57, issue 7P1, 1950.
11. E. E. Kramer, The Nature and Growth of Modern Mathematics, New York: Oxford
University Press, 1952.
12. C. J. Ando, F. A. Cook, J. E. Oliver, L. D. Brown, S. Kaufman, ”Crustal geometry
of the Appalachian orogeny from seismic reflection studies,” Geological Society of
America Memoir, vol. 158, 1983.
13. M. Y. Young, ”Number in the western world - a bibliography”, The Arithmetic
Teacher, vol. 11, no. 5, pp. 336-341, 1964.
14. J. N. Fujii, Numbers and Arithmetic, New York, Toronto, London: Blaisdell Pub-
lishing Company, 1965.
15. J. T. Rorer, ”The social qualities of mathematics”, The Mathematics Teacher, vol.
27, no. 2, pp. 82-95, 1934.
16. T. C. Crooks, and H. L. Hancock, Basic Technical Mathematics, New York, Lon-
don: Macmillan Publishing Co., Inc. - Collier Macmillan Publishers, 1969.
17. J. T. Clark, ”Remarks on the role of quantity, quality, and relations in the his-
tory of logic, methodology and philosophy of science,” Studies in Logic and the
Foundations of Mathematics, vol. 44, pp. 504-612, 1966.
18. E. P. Vance, Trigonometry, Cambridge 42, Mass: Addison-Wesley Publishing Com-
pany, Inc, 1956.
19. M. M. Zuckerman, Sets and Transfinite Numbers, New York, London: Macmillan
Publishing Co., Inc. - Collier Macmillan Publishers, 1974.
20. R. B. Angel, Relativity: The Theory and its Philosophy, Oxford, New York,
Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt: Pergamon Press, 1980.
21. I. Niven, and H. S. Zuckerman, An Introduction to the Theory of Numbers, 4th
edition, New York, Chichester, Brisbane, Toronto: John Wiley & Sons, 1980.
12 M. K. M. Nasution

22. W. R. Knorr, ”On the early history of axiomatics: The interaction of mathemat-
ics and philosophy in Greek antiquity,” Theory Change, Ancient Axiomatics, and
Galileo’s Methodology, in J. Hintikka, D. Gruender, and E. Agazzi, Pisa Conference
Proceedings, vol. 1, 145-186, 1980.
23. A. C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy, New York: Collier Books,
1962.
24. W. P. Berlinghoff, Mathematics: The Art of Reason, Boston: D. C. Heath, 1968.
25. A. Flew (ed.), A Dictionary of Philosophy, London: Pan Books, 1979.
26. B. van Fraassen, and H. Margenau, ”Philosophy of Science”, in R. Klibansky (ed.),
Contemporary Philosophy: A Survey, vol. II, pp. 7-25, 1968.
27. S. C. Kleene, Introduction to Meta-Mathematics, Amsterdam: North-Holland, 1952.
28. A. Church, ”Proof theory,” in D. D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy, p. 255,
1975.
29. A. Mostowski, ”Tarski, Alfred”, in P. Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philos-
ophy, vol. 8, p. 78, 1967.
30. G. B. Standley, New Methods in Symbolic Logic, Boston: Houghton Mifflin Com-
pany, 1971.
31. R. Rorty, ”Contemporary philosophy of mind.” Synthese, vol. 53, no. 2, pp. 323-
348, 1982.
32. J. N. Fujii, Basic Skills in Mathematics, Waltham, Massachusetts: Blaisdell Pub-
lishing Company, 1967.
33. U. Dudley, Elementary Number Theory, New York: W. H. Freeman and Company,
1969.
34. I. Hacking, Why Does Language Matter to Philosophy? Cambridge, New York,
Melbourne, Cape Town, Singapore, Sao Paulo, Delhi, Dubai, Tokyo, Mexico City:
Cambridge University Press, 1975.
35. C. K. Gordon, Jr., Introduction to Mathematical Structures, Belmont, California:
Dickenson Publishing Company, Inc., 1967.
36. F. P. Preparata, and R. T. Yeh, Introduction to Discrete Structures: For Com-
puter Science and Engineering, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publish-
ing Company, 1973.
37. J. Crank, Mathematics and Industry, London: Oxford University Press, 1962.

Anda mungkin juga menyukai