Anda di halaman 1dari 5

Shafira Noor Malita_072011233075_Jurnal THI

Analisis Pola Tindakan Nasionalisme Vaksin Negara-Negara Maju dalam


Kacamata Teori Neorealisme

Shafira Noor Malita / 072011233075

Departemen Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Email: shafira.noor.malita-2020@fisip.unair.ac.id

Tulisan ini ditulis sebagai ujian akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional (SOH
201)

Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis studi kasus dalam hubungan internasional yang
menunjukan dominasi dan survivabilitas negara dalam interaksinya melalui tindakan
nasionalisme vaksin oleh negara-negara maju. Pandemi COVID-19 ini telah memberikan
dampak besar dan luas yang menimbulkan keputusasaan bagi banyak negara. Seperti yang
dilansir dari (FPCI 2020), pandemi COVID-19 merupakan permasalahan multidimensional
yang menyerang ke berbagai negara. Hal ini kemudian menyebabkan negara-negara
melakukan berbagai upaya untuk menangani COVID-19. Salah satu tindakan egois yang
dilakukan beberapa negara ialah nasionalisme vaksin. Nasionalisme vaksin tentunya
merupakan keputusan yang diambil oleh beberapa negara yang menunjukkan peran suatu
negara sebagai aktor yang dominan dalam struktur internasional. Nasionalisme vaksin
terjadi ketika pemerintah menandatangani perjanjian dengan produsen farmasi untuk
memasok populasi mereka sendiri dengan vaksin sebelum mereka tersedia untuk negara
lain. Oleh karenanya, tulisan ini akan berusaha untuk memaparkan penjelasan mengenai
interaksi hubungan internasional yang menunjukan dominasi peran negara yang terkesan
egois, dan bagaimana perspektif neorealisme memandang tindakan yang justru
memperburuk pandemi COVID-19 ini.

Penulis akan menggunakan kerangka teori neorealisme yang merupakan salah satu teori
klasik dalam Hubungan Internasional. Penulis menjadikan neorealisme sebagai pisau
analisis dalam berargumen mengenai tindakan nasionalisme vaksin yang dilakukan oleh
negara-negara maju atau adidaya pada masa pandemi COVID-19. Berdasarkan proporsi dari
neorealisme, penulis berargumen melalui tindakan yang dilakukan oleh negara-negara
adidaya dalam masa pandemi COVID-19 dapat dilihat bahwa negara merupakan aktor yang
memiliki kekuatan paling besar dan peran yang paling prominen dalam hubungan
internasional. Tindakan yang dilakukan negara-negara adidaya bila dilihat melalui kacamata
neorealisme juga menunjukan natur egois dari suatu negara yang tentunya menjadikan
negaranya sebagai prioritas dibandingkan dengan hubungannya dengan negara lain
(Dharmaputra 2018 dalam Dugis 2018). Dapat dilihat melalui interaksi internasional yang
terfokus pada tindakan-tindakan yang diambil suatu negara. Hal ini terlihat melalui
interaksi dalam dunia internasional yang kemudian terfokus pada tindakan yang diambil
negara. Maka dari itu, untuk memaparkan pembuktian dari preposisi tersebut, maka tulisan
ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kerangka pemikiran neorealisme, pembahasan
mengenai analisis tindakan nasionalisme vaksin oleh negara-negara maju, dan juga
kesimpulan sebagai bagian terakhirnya.
Shafira Noor Malita_072011233075_Jurnal THI

Neorealisme dalam Hubungan Internasional

Teori merupakan serangakaian hipotesis yang dikaitkan dengan argumen logis untuk
menjelaskan kebenaran dari berbagai fenomena. Neorealisme menjadi salah satu teori
dalam kajian Hubungan Internasional kontemporer yang dapat dijadikan sebagai pedang
analisis. Neorealisme merupakan suatu teori yang berkontribusi banyak pada progresivitas
pemikiran Hubungan Internasional pada era kontemporer. Neorealisme merupakan bentuk
pembaruan dari teori realisme yang berkembang sebelumnya. Neorealisme berangkat dari
berkembangnya fenomena-fenomena Hubungan Internasional yang semakin kompleks,
neorealisme muncul sebagai kritik atas asumsi dasar realisme (Dharmaputra 2018). Penulis
melihat perubahan yang terjadi pada dunia global mampu untuk mengubah teori yang
relevan dengan situasi. Tokoh yang menjadi peletak dasar neorealisme adalah Kenneth
Waltz yang menulis mengenai neorealisme dalam bukunya yang berjudul "Theory of
International Politics".

Goldstein & Pavehouse (2005) melihat neorealisme sebagai teori adaptasi perspektif
realisme yang dikenal pula sebagai realisme struktural. Neorealisme memiliki pandangan
yang beroposisi dengan realisme yang menganggap sifat dasar manusia–egois memengaruhi
perilaku negara. Dalam pandangan neorealisme, fokus utama terletak pada sistem
internasional yang memberi tekanan pada aktor internasional (Mearsheimer 2013 dalam
Dugis 2018). Adapun asumsi dasar dari neorealisme, yakni (1) sistem internasional adalah
anarkis. Hal inilah yang menjadi motivasi para aktor untuk mengejar power. Dalam artian,
otoritas tinggi tidak memberikan jaminan bagi suatu negara untuk tidak akan menyerang
negara lain. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu suatu negara untuk memperkuat dan
meningkatkan keamanan nasional demi keberlangsungan hidup negara dan masyarakatnya
(Dharmaputra 2018); (2) negara menjadi aktor utama yang memiliki power dari politik
internasional. Dalam pandangan neorealisme, negara merupakan dasar hubungan
internasional yang menjadi pusat kekuatan politik. Respon dari negara terhadap sistem
internasional yang anarkis ini yang mampu memengaruhi dinamika hubungan internasional
yang kemudian menentukan aktor dominannya, yakni negara-negara superpower; (3)
negara-negara berusaha untuk melakukan upaya survival yang dalam sistem internasional
anarki tersebur menimbulkan keinginan untuk membentuk perilaku negara menjadi self-
help untuk memperkuat keamanan negara.

Dharmaputra (2018) menjelaskan bahwa pemahaman dasar dari neorealisme itu sendiri
yang menimbulkan kecurigaan bagi masing-masing negara. Hal inilah yang menjadi alasan
kuat dari upaya survival yang dilakukan masing-masing negara. Dijelaskan pula oleh
Mersheimer (2013) dalam Dugis (2018) kecurigaan tersebut juga disebabkan oleh kondisi
negara yang bersifat rasional. Pertimbangan pada pengukuran besar kemampuan negara
menimbulkan perdebatan pada kaum neorealis. Perdebatan ini kemudian memecah
neorealis menjadi dua, yakni realisme ofensif dan realisme defensif. Realisme ofensif dikaji
oleh John Mearsheimer yang berargumen bahwa negara mampu dan harus terus berupaya
memaksimalkan power, sehingga negara lain tidak berani melakukan suatu tindakan agresif.
Realisme defensif dikemukakan oleh Kenneth Waltz yang melihat bahwa negara cukup
untuk fokus dalam memaksimalkan kekuatannya; (4) distribusi kekuasaan berdasarkan
kapabilitas negara. Upaya negara untuk menyelamatkan diri adalah melalui peningkatan
keamanan. Hal ini berarti negara perlu untuk meningkatkan keamanannya, terutama pada
aspek militer (Dharmaputra 2018).

Berdasarkan kerangka teori di atas, penulis menggunakan preposisi realisme defensif untuk
menjelaskan mengenai pola tindakan vaccine nationalism negara-negara adidaya. Dalam
hal ini, negara-negara adidaya yang notabenenya penghasil vaksin, justru melakukan
tindakan ironis yang semakin memperburuk kondisi pandemi COVID-19. Negara-negara
adidaya mengamankan jutaan dosis vaksin untuk kepentingan pribadi negaranya. Hal yang
dilakukan negara-negara adidaya tersebut sejalan dengan asumsi dasar neorealisme yang
Shafira Noor Malita_072011233075_Jurnal THI

berusaha untuk melakukan upaya survival untuk meningkatkan keamanan negaranya


(Dharmaputra, 2018).

Analisis Tindakan Nasionalisme Vaksin Negara-Negara Maju dalam Perspektif


Neorealisme

Kondisi pandemi COVID-19 yang menggemparkan dunia menyebabkan berbagai negara dan
perusahaan-perusahaan farmasi, serta universitas-universitas terkemuka mencari sebuah
cara untuk menghentikan virus COVID-19. Berbagai negara, perusahaan farmasi, serta
universitas terkemuka semakin gencar untuk melakukan riset untuk mencari formula vaksin
virus COVID-19 untuk memutus mata penyebaran COVID-19. Dalam perkembangannya,
vaksin COVID-19 tidak semuanya berjalan lancar begitu saja, terdapat beberapa negara yang
mengalami kendala. Adapun hal yang menjadi fokus perhatian dunia kontemporer adalah
tindakan nasionalisme vaksin. Organisasi kesehatan dunia–WHO merespon masalah
nasionalisme vaksin sebagai permasalahan cukup pelik. Organisasi kesehatan global tersebut
menurahkan keprihatinannya akan penyebaran pandemi yang dewasa ini didominasi oleh
generasi muda (Millah 2020). Nasionalisme vaksin merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh negara-negara adidaya untuk memperebutkan kedudukan perihal
menginokulasi vaksin di negaranya untuk menjaga stabilitas populasi negaranya.
Singkatnya, nasionalisme vaksin merupakan tindakan egois suatu negara untuk menyimpan
persediaan vaksin untuk kepentingan pribadi suatu negara. Kesenjangan perihal persediaan
vaksin tentunya menimbulkan kerugian bagi banyak negara, terutama negara yang
mempunyai pendapatan domestik bruto (PDB) yang rendah (CNN Business 2021).

Hal tersebut sesuai dengan preposisi neorealisme akan self-help dan survivabilitas negara
yang memuat natur dari sistem internasional yang anarki. Dalam pandangan neorealisme,
negara-negara saling menumbuhkan sikap tidak percaya satu sama lain, sehingga negara-
negara memiliki premis dasar untuk memprioritaskan keamanan nasional negaranya
dibandingkan dengan keamanan global. Hal ini sejalan dengan preposisi neorealisme yang
self-help, dimana negara-negara lebih berusaha untuk mementingkan dirinya sendiri
melalui sekuritasnya pada kuantitas vaksin yang banyak. Dalam studi kasus nasionalisme
vaksin ini, pemikiran neorealisme yang sejalan adalah neorealisme defensif. Dharmaputra
(2018) menjelaskan bahwa asumsi dari neorealisme yang menyatakan bahwa sistem anarki
internasional memberi ruang terbuka dan kebebasan bagi negara-negara adidaya untuk
meningkatkan keamanan negaranya. Dari preposisi inilah yang kemudian menyebabkan
negara-negara saling menaruh rasa curiga dan akhirnya memutuskan untuk berjuang sendiri
dengan cara self-help, sehingga survivabilitas negara itu dianggap sebagai prioritas utama.

Sebagai salah satu contoh negara yang melakukan nasionalisme vaksin adalah Amerika
Serikat. Amerika Serikat mengamankan 800 juta dosis dan memiliki rencana untuk membeli
1 miliar vaksin lagi untuk memenuhi persediaan vaksin yang dibutuhkan. Dalam hal ini,
pemerintah Amerika Serikat cukup baik dalam melindungi warganya, namun era pandemi
COVID-19 yang tidak dapat diprediksi memerlukan kekolektifan seluruh negara untuk dapat
menghentikan pandemi COVID-19 yang menglobal. Nasionalisme vaksin menimbulkan
kekhawatiran bagi negara-negara berkembang yang tidak memiliki akses vaksin. Penulis
berpendapat bahwa jika vaksin hanya didistribusikan pada negara-negara adidaya yang
menyimpan pasokan vaksin, berarti virus akan terus menyebar di negara-negara non-
vaksinasi lainnya. Oleh karena itu, nasionalisme vaksin merupakan tindakan ironi yang
harus segera dibantas. Salah satu cara alternatifnya ialah dengan cara program vaksin global
melalui COVAX. COVAX diharapkan dapat didistribusikan secara adil ke berbagai negara di
belahan dunia.

Nasionalisme vaksin dilakukan negara adidaya yang membuat negara-negara miskin


semakin sengsara. Seperti yang dikutip dari Wirawan (2020), negara-negara seperti Afrika
yang mengalami kesenjangan perihal vaksin COVID-19. Salah satu bentuk dari nasionaslime
Shafira Noor Malita_072011233075_Jurnal THI

vaksin adalah vaccine hoarding. Vaccine hoarding atau penimbunan vaksin dilakukan oleh
negara-negara kaya untuk menyimpan dan memasok jumlah vaksin yang banyak. Dalam hal
ini, jumlah vaksin yang dipasok tidak sebanding dengan jumlah populasi yang ada dalam
negaranya. Faktanya, jumlah vaksin yang dipasok suatu negara sudah mencukupi, namun
negara-negara adidaya memiliki natur ego yang sesuai dengan pedoman neorealisme.
Neorealisme memandang bahwa negara tidak kompetitif perihal hal tersebut karna
menganut pedoman "tiga s", yakni survival, self-help, statism (Dunne & Schimdt 2001).
Survival berarti semua negara memiliki tujuan untuk bertahan hidup, sehingga neorealisme
menganggap bahwa survival merupakan prioritas utama yang harus dipenuhi dan dilakukan
oleh seluruh negara.

Survival memiliki konsep yang menganggap moralitas suatu negara tidak penting. Statism
mempercayai bahwa negara merupakan aktor dominan dan prominen dibandingkan dengan
aktor lain, hal ini menjadi salah satu pembentuk realisme kearah state centric. Statism
merupakan inti dari neorealisme. Terakhir, self-help yang menklaim bahwa tidak ada negara
lain yang dapat diandalkan untuk menjamin survival negara (Dunne & Schimdt 2001).
Dalam artian, self-help merupakan bentuk ketidakpercayaan dan saling curiga terhadap
negara lain. Akibatnya, negara-negara akan saling berprasangka buruk yang akhirnya
menyebabkan tidak akan adanya hubungan baik yang terbentuk, serta hilangnya rasa
hormat terhadap negara lain. Dalam hal nasionalisme vaksin, PBB dan WHO dinilai tidak
dapat bekerjasama dalam menangani perihal nasionalisme vaksin tersebut. Efektivitas PBB
dan WHO dipertanyakan banyak orang, karena dianggap tidak bisa mengatur dan
mendistribusikan vaksin ke berbagai negara, baik negara maju, negara berkembang, hingga
negara miskin.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas maka pandangan neorealisme terhadap sifat negara yang
memiliki natur ego terbukti dengan tindakan nasionalisme vaksin yang dilakukan oleh
negara-negara adidaya. Terbukti pula pernyataan neorealisme mengenai negara yang
dideskripsikan sebagai aktor yang paling signifikan dan berpengaruh dibandingkan dengan
aktor lainnya. Situasi pandemi COVID-19 yang mendunia membawa keputusasaan bagi
banyak negara yang kemudian membawa negara kembali ke permukaan sebagai aktor yang
dominan yang berperan penting dalam menjadi sandaran seluruh rakyatnya. Nasionalisme
vaksin menimbulkan kesenjangan, terutama bagi negara-negara yang mempuyai
pendapatan domestik bruto (PDB) yang rendah. Negara-negara maju, seperti Amerika
Serikat, Inggris, dan Jepang mempunyai privilege tersendiri perihal pengamanan persedian
vaksin. Singkatnya, nasionalisme vaksin dilakukan oleh negara-negara adidaya dengan cara
menandatangani suatu perjanjian dengan penghasil vaksin untuk memasok persediaan
vaksin secara prioritas ke negaranya.

Negara-negara adidaya mengamankan jutaan dosis vaksin untuk kepentingan pribadi


negaranya. Hal ini sejalan dengan sejalan dengan asumsi dasar neorealisme yang berusaha
untuk melakukan upaya survival untuk meningkatkan keamanan negaranya. Tindakan
tersebut dinilai semakin memperparah kondisi pandemi COVID-19. Penulis berpendapat
bahwa tindakan nasionalisme vaksin ini dapat dilihat melalui kacamata neorealisme.
Adapun alasan lain mengapa nasionalisme vaksin dapat sejalan dengan perspektif
neorealisme adalah kekuatan yang digunakan, tindakan nasionalisme vaksin dan
neorealisme sama-sama tidak menggunakan hard power, melainkan menggunakan soft
power sebagani bentuk perlindungan diri. Dengan tulisan ini, maka penulis telah
memaparkan beberapa preposisi untuk membuktikan asumsi dasar dari neorealisme dapat
digunakan untuk menganalisis isu-isu kontemporer, salah satunya untuk menganalisi sifat
negara dalam interaksinya dengan negara lain di masa pandemi COVID-19, yakni dengan
melakukan tindakan nasionalisme vaksin oleh negara-negara maju.
Shafira Noor Malita_072011233075_Jurnal THI

Referensi:

CNN, 2021. " Nasionalisme Vaksin, Ironi di Masa Pandemi" [Daring], dalam
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210413085048-106629110/
nasionalisme-vaksin-ironi-di-masa-pandemi [Diakses 23 Juni 2021].

Dharmaputra, Radityo. 2016 “Neorealisme” dalam Dugis, Vinsensio (ed.). 2016. Teori
Hubungan Internasional: Perspektif-Perspektif Klasik. Surabaya: Cakra Studi
Global Strategis.

Dunne, Tim & Schimdt, Brian C., 2001. “Realism”, dalam Baylis, "The Globalization of
World Politics", 2nd edition. Oxford University Press.

FPCI, Sekretariat, 2020. “KF - FPCI Virtual Dialogue - Democracy in the Time of COVID-
19: Challenges and Future Opportunities”. [Video], dalam
https://youtu.be/dAXNgbS01js [Diakses 23 Juni 2021].

Goldstein, Joshua S. & Pevehouse, Jon C. 2005. International Relations. Washington, D.C.:
Pearson.
Wirawan, 2020. " Negara Kaya Lakukan "Nasionalisme Vaksin", Ini Peringatan Sekjen PBB".
[Daring], dalam
https://www.kompas.com/global/read/2020/12/10/121125270/negara-kaya
lakukan-nasionalisme-vaksin-ini-peringatan-sekjen-pbb?page=all [Diakses pada 23
Juni 2021].

Mearsheimer, JJ. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. W.W. Norton. 2013.
Structural Realism, dalam Tim Dunne, et al. 2013. International Relations Theories:
Dicipline and Diversity, (eds.). 3rd edition. Oxford University Press.

Millah, Syaiful. 2020. "WHO Serukan Negara-Negara Akhiri 'Nasionalisme Vaksin'


Corona". [Daring], dalam
https://lifestyle.bisnis.com/read/20200819/106/1280955/who- serukan-negara-
negara-akhiri-nasionalisme-vaksin-corona [Diakses 23 Juni 2021].

Anda mungkin juga menyukai