Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KONSEP GADAI DALAM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah “Pegadaian Syariah”

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Qori Azma Okra (1910401012)

Primonica Rodiah (1910401036)

Dosen Pembimbing:

M. Fauzi, ME

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KERINCI

TAHUN 2022 M\1443 H


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. atas rahmat dan
karunia-nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini pada mata kuliah
“Pegadaian Syariah” yang berjudul: “Konsep Gadai Dalam Islam”.

Sholawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, yang telah
membimbing umat manusia dari kejahilan kepada alam kebenaran, dan Semoga isi dan makna
yang terkandung dalam Makalah ini dapat membantu proses perkuliahan kita pada mata
kuliah ini.

Dan juga dalam menyelesaikan makalah ini, penulis ucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing atau dosen yang mengajar mata kuliah Pegadaian Syariah, karena berkat
bimbingan beliau lah penulis bisa menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Konsep Gadai
Dalam Islam”

Demikian lah yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penulis juga menyadari bahwa Makalah ini tidak luput dari segala kekurangan, untuk itu kritik
dan saran dari Dosen Pembimbing demi kesempurnaan Makalah ini dan menjadi pedoman
selanjutnya bagi penulis.

Sungai Penuh, Februari 2022

Penulis,

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... i

Daftar Isi ........................................................................................................................ ii

BAB I Pendahuluan ...................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan ................................................................................................................ 1
BAB II Pembahasan ..................................................................................................... 3
A. Risiko Kerusakan Barang Gadai..................................................................... 3
B. Prinsip-Prinsip Gadai Dalam Islam ................................................................ 5
C. Berakhirnya Akad Gadai ................................................................................. 6
D. Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional ..................................... 7
BAB III Penutup ........................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 9
B. Saran .................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu
melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang
ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat
tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain dari pada itu, keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya,
cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai
kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. Maka dari itu, dalam islam
diberlakukan syari’at gadai.
Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal
kemudahan dan kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang yang
cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis, sehingga sangat
menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam hal
pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa
sistem pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah
(bagi hasil). Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Disamping
alasan rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar, sistem pembiayaan
ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara-negara dengan
mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah
telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan makalah ini akan kami bahas
mengenai tentang rahn.
B. Rumusan Masalah
1. Apa risiko kerusakan barang gadai?
2. Apa prinsip-prinsip gadai dalam islam?
3. Kapan berakhirnya akad gadai?
4. Apa perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui risiko kerusakan barang gadai!

1
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip gadai dalam islam!
3. Untuk mengetahui berakhirnya akad gadai!
4. Untuk mengetahui perbedaan gadai syariah dan gadai konvensional!

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Risiko Kerusakan Barang Gadai


Dalam setiap perjanjian, baik itu perjanjian sewa menyewa, jual beli, maupun
tukar menukar pada prinsipnya selalu mengandung resiko. Demikian pula dalam
perjanjian gadai, dimana resiko akan timbul apabila terjadi peristiwa yang tidak
disengaja dan diluar kesalahan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Bagi pihak pegadaian, untuk menjaga keamanan dari kredit yang disalurkan,
mengharuskan adanya penyerahan barang jaminan dari nasabah kepada pihak
pegadaian. Dengan diserahkannya barang jaminan, maka keamanan kredit akan terjaga
sebab apabila nasabah tidak dapat melunasi hutangnya pihak pegadaian mempunyai
hak untuk mengambil pelunasan hutang nasabah dengan jalan melelang jaminan.
Disamping mempunyai hak untuk melelang barang jaminan milik nasabah, pihak
pegadaian juga mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil terhadap barang jaminan
yang dikuasainya. Jumlah barang jaminan yang diterima oleh pihak pegadaian sangat
banyak, yaitu berkisar antara 50 – 100 barang jaminan dengan nilai kredit sebesar Rp.
1.000.000,00 - Rp. 100.000.000,00.
Dengan dikuasainya barang jaminan milik nasabah dibawah penguasaan
langsung pihak pegadaian, maka sesuai dengan asas pihak pegadaian harus menjaga
keamanan dan pemeliharaan barang jaminan tersebut. Dengan demikian apabila barang
jaminan milik nasabah mengalami kerusakan atau hilang, pihak pegadaian
berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian. Agar barang jaminan tidak mengalami
kerusakan atau hilang maka pihak pegadaian mengambil langkah-langkah pencegahan
yaitu sebagai berikut:1
1. Pihak pegadaian berkewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang jaminan
sebaik-baiknya, sehingga tidak rusak atau turun harganya. Dengan demikian pihak
pegadaian melakukan pengecekan di gudang penyimpanan seminggu sekali dan
menghitung ulang barang jaminan kantong (emas).

1 Evi Lutfiana Dewi, TANGGUNGJAWAB PEGADAIAN SYARIAH ATAS HILANG ATAU RUSAKNYA BARANG
JAMINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, diakses dari
http://repository.radenintan.ac.id/2723/1/SKRIPSI_EVI.pdf, pada tanggal 24 februari 2022, pukul 12.00.

3
2. Mengharuskan setiap orang yang akan masuk gudang penyimpanan didampingi
oleh pemegang gudang. Maka pihak pegadaian melakukan penjagaan selama 24
jam.
3. Barang jaminan yang tidak disimpan dalam lemari besi harus dibersihkan dari debu
dan kotoran oleh petugas gudang. Untuk mencegah adanya kerusakan barang
jaminan misalnya laptop, hp atau TV oleh binatang kecil seperti rayap, tikus maka
gudang harus secara teratur disemprot dengan insektisida.

Dalam keadaan tidak normal yang bisa terjadi karena adanya peristiwa force
majeure seperti perampokan, bencana alam dan sebagainya sehingga mengakibatkan
barang jaminan milik nasabah mengalami kerusakan atau hilang yang berada di luar
kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi utangnya. Maka
pihak pegadaian berkewajiban untuk memberikan ganti kerugian. Namun, dalam
praktiknya pihak murtahin telah mengambil langkah-langkah pencegahan dengan
menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil. Oleh
karena itu, pihak murtahin (Pegadaian Syariah) telah membuat perjanjian akad yang
tertulis dalam Surat Bukti Rahn (SBR) yang berisi tentang hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi kedua pihak juga mengenai kemungkinan resiko yang timbul. Ini dimaksudkan
apabila terjadi musibah, maka dapat ditentukan bagaimana dan siapa saja yang
menanggung resiko sehingga tidak menimbulkan perselisihan dikemudian hari. Yang
mana dalam perjanjian tersebut telah disebutkan dalam Ayat 4 Surat Bukti Rahn (SBR)
bahwa “Murtahin akan memberikan ganti kerugian apabila marhun yang berada dalam
penguasaan murtahin mengalami kerusakan atau hilang yang disebabkan oleh suatu
bencana alam (force majeure) yang ditetapkan pemerintah. Ganti rugi diberikan setelah
diperhitungkan dengan marhun bih sesuai dengan ketentuan penggantian yang berlaku
di murtahin”.2

1. Upaya Penyelesaian Ganti Rugi atas Tuntutan Nasabah


a. Pelaksanaan penyelesaian secara kekeluargaan
Pelaksanaan penyelesaian ganti kerugian secara damai sebenarnya merupakan
prioritas pegadaian. Karena Pegadaian mengutamakan prinsip kekeluargaan serta
mengingat sebagian besar debitur merupakan golongan ekonomi lemah. Upaya
perdamaian dilakukan dengan jalan mendatangi debitur yang kehilangan barang

2 Ibid.

4
jaminan, untuk melakukan negosiasi mengenai kehilangan jaminan di gudang,
sehingga tercipta kata sepakat diantara kedua pihak.
b. Pelaksanaan penyelesaian melalui jalur hukum
Penyelesaian ganti kerugian melalui jalur hukum atau pihak ketiga melalui
peradilan merupakan jalan terakhir jika tidak ada lagi jalan lain yang bisa
ditempuh dengan perdamaian. Akan tetapi upaya peradilan sebisa mungkin
dihindari, hal ini dikarenakan Penyelesaian melalui peradilan memerlukan waktu
yang relatif lama dan juga membawa dampak yang buruk bagi pegadaian sendiri.
Sehingga nasabah jadi takut dan tidak percaya lagi kepada pegadaian, karena bagi
mereka bentuk kesalahan apapun yang melibatkan peradilan adalah merupakan
aib yang sangat memalukan nama baik mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, dalam upaya penyelesaian terhadap ganti kerugian pihak
pegadaian sendiri lebih memilih untuk melakukan upaya perdamaian.

B. Prinsip-Prinsip Gadai Dalam Islam


Pegadaian syariah yang bermuammalah tidak membedakan seorang muslim
dengan non-muslim. Inilah salah satu hal yang menunjukkan sifat universalitas ajaran
Islam. Dalam hal muammalah, perilaku kehidupan individu dan masyarakat ditujukan
ke arah bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal inilah yang menjadi
subjek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat
ditarik dari ajaran Islam berbeda dari ekonomi tradisional. Sesuai konsep prinsip dan
variabel, sistem ekonomi Islam yang dilakukan sebagai suatu variabel haruslah sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam hukum Islam.3
Prinsip rahn pada gadai syariah merupakan bagian prinsip-prinsip syariah
dalam Hukum Islam khususnya dan perekonomian Islam umumnya. Tentunya prinsip
rahn tersebut mempunyai andil terhadap keberadaan dari keseluruhan sistem
perekonomian Islam. Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem
bunga. Hampir semua perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak
negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas
kemiskinan negara lain sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Ekonomi yang
berbasis bunga tidak hanya dipraktekan lembaga ekonomi dan keuangan yang biasa

3 Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, tahun 2007, Yogyakarta, hal. 40.

5
kita sebut Bank, tetapi juga mewarnai lembaga ekonomi dan keuangan non bank
seperti Pegadaian Syariah.
Jadi jelaslah bahwa pada pegadaian syariah telah menerapkan Prinsip-prinsip
gadai syariah (rahn) berdasarkan Hukum Islam yang diberlakukan pada produk gadai
syariah di Pegadaian adalah:
1. Tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba.
2. Menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang
diperdagangkan.
3. Melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa sebagai penerimaan
labanya, yang dengan pengenaan bagi hasil dan biaya jasa tersebut menutupi
seluruh biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Maka pada dasarnya,
hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan
pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai
jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersil dengan mengambil keuntungan
yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.

C. Berakhirnya Akad Gadai


Ada beberapa sebab yang menjadikan akad gadai akan berakhir diantaranya
adalah:
1. Rahn diserahkan kepada pemiliknya. Ketika barang gadai dikembalikan kepada
pemiliknya maka berakhirlah akad gadai tersebut.
2. Hutang dibayarkan semuanya. Dengan dibayarkannya hutang maka rahin berhak
mengambil kembali barang gadaiannya. Sayid Sabiq menukil perkataan Ibnu
Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu telah sepakat jika seseorang
menggadaikan sesuatu lalu membayar hutangnya sebagian, dan ingin mengambil
sebagian barang gadaiannya maka hal ini tidak berhak atasnya sampai dia melunasi
seluruh hutangnya.
3. Penjualan rahn secara paksa oleh hakim. Hakim berhak mengambil harta rahn dari
murtahin untuk pembayaran hutang rahin, walaupun rahin menolak hal itu.
4. Pembebasan hutang oleh murtahin. Ketika murtahin membebaskan hutang rahin
maka berakhirlah akad gadai tersebut.
5. Pembatalan hutang dari pihak murtahin. Murtahin berhak untuk membatalkan
hutang kepada pihak rahin, ketika hal ini terjadi maka batalah akad gadai.
6
6. Rahin meninggal dunia. Pendapat ini adalah dari Ulama Hanâfiyah. Menurut
pendapat ulama Malikiyah bahwa rahn itu batal jika rahin meninggal dunia
sebelum menyerahkan harta gadai kepada murtahin, bangkrut, tidak mampu untuk
membayar hutangnya, sakit atau gila yang membawa pada kematian. Sedangkan,
menurut Ulama Syafi‟iyah dan Hanâbilah hal tersebut tidak menyebabkan batalnya
akad.
7. Rahn rusak atau sirna. Dengan rusak atau sirnanya harta gadai maka berakhirlah
akad gadai tersebut. Menurut Ulama Hanâfiyah, atas perkara tersebut murtahin
dapat dikenakan denda sebesar harga barang minimum atau sebesar utang râhin,
sebab hakikatnya marhun adalah amanah yang diberikan.
8. Pemindahan rahn kepada pihak lain baik berupa hadiah, hibah atau shadaqah.

D. Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional


Kegiatan gadai merupakan salah satu produk yang paling banyak diminati oleh
masyarakat terutama di awal tahun ajaran sekolah. Hal ini dikarenakan
seseorang bisa mendapatkan uang dengan cepat tanpa harus menjual barang atau perhi
asan yang ada. Untuk saat ini gadai ada 2 macam, yaitu Gadai Syariah dan Gadai
Konvensional. Gadai sendiri memiliki pengertian (menurut KBBI) meminjam uang
dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah
sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.
Gadai Syariah adalah sistem menjamin utang dengan barang yang dimiliki yang mana
memungkinkan untuk dapat dibayar dengan uang atau hasil penjualannya.
1. Sistem gadai konvensional
a. Pegadaian konvensional pada umumnya tidak berbeda dengan yang dilakukan
oleh masyarakat selama ini. Kita kadang membawa barang yang akan
digadaikan yaitu emas,
b. Barang tersebut lalu ditaksir harganya dan diputuskan jumlah yang bisa
dipinjam,
c. Pinjaman ini dikenakan bunga misalnya 1.15% per 2 minggu, atau 2.3% per
bulan. Lalu menjadi 3.45% per 45 hari atau 4.6% per bulan dan seterusnya.
Bunga pinjaman ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman dan jika nilai
pinjaman semakin besar, maka bunga yang dibebankan akan semakin besar,

7
d. Perhitungan biaya pinjaman ini dihitung setiap 15 hari, kemudian akan naik di
hari ke 16 dan seterusnya,
e. Masa penitipan gadai ini selama 4 bulan, bisa diperpanjang dengan membayar
biaya sewa modal,
f. Selanjutnya pinjaman ini diberlakukan tanggal jatuh tempo saat pinjaman
tersebut harus dilunasi,
g. Selain itu diberikan persyaratan bila tidak melunasi pinjaman beserta bunganya,
barang jaminan akan dilelang kepada siapapun hingga tanggal tertentu.
2. Sistem gadai syariah
a. Sistem emas berbasis syariah, tidak memberlakukan sistem bunga. Pihak
pegadaian syariah tidak mengambil keuntungan dari sistem bunga pinjaman
maupun sistem bagi hasil,
b. Pegadaian syariah hanya mengambil keuntungan dari upah jasa pemeliharaan
barang jaminan,
c. Pegadaian konvensional menentukan bunga atau sewa modal berdasarkan
jumlah pinjaman yang diajukan. Sedangkan pegadaian syariah menentukan
besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan berdasarkan taksiran emas yang
digadaikan. Taksiran emas yang diperhitungkan antara lain adalah karat emas,
volume serta berat emas yang digadaikan,
d. Biaya yang dikenakan juga merupakan biaya atas penitipan barang, bukan biaya
atas pinjaman, karena pinjaman yang mengambil untung itu tidak
diperbolehkan. Biaya penitipan barang jaminan meliputi biaya penjagaan, biaya
penggantian kehilangan, asuransi, gudang penyimpanan, dan pengelolaan,
e. Oleh karenanya dalam pegadaian syariah ini terdapat akad, pinjam meminjam
dengan menyerahkan agunan (rahn) yang didalamnya membolehkan biaya
pemeliharaan atas barang jaminan (Mu’nah). Dalam akad pinjam meminjam
dengan menyerahkan agunan (rahn).

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bentuk pertanggung jawaban Pegadaian Syariah terhadap kerusakan atau
hilangnya barang jaminan adalah dengan memberikan ganti kerugian sebesar 95% dari
nilai taksiran barang. Pegadaian Syariah dapat menggantinya dalam bentuk nominal
atau diganti barang yang sama sesuai dengan kesepakatan nasabah dan pihak
pegadaian. Pertanggungjawaban pegadaian dapat dipastikan karena barang jaminan
nasabah diasuransikan pihak pegadaian.
Pertanggung jawaban yang diberikan oleh Pegadaian Syariah sudah sesuai
dengan hukum Islam, yaitu besaran tanggungan dalam hukum Islam adalah harga
terendah atau dengan harga utang, sedangkan Pegadaian Syariah memberikan ganti
kerugian sebesar 95% dari nilai taksiran barang bukan dari jumlah pinjaman, sehingga
penggantian yang diberikan oleh Pegadaian Syariah sudah cukup untuk menutup
kerugian yang dialami nasabah. Dengan demikian, tanggung jawab Pegadaian Syariah
sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 43/DSN-MUI/VIII/2004.
B. Saran
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna,
untuk itu kami sangat menerima kritikan untuk memperbaiki makalah ini demi
kesempurnaan makalah kami berikutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA
Evi Lutfiana Dewi, TANGGUNG JAWAB PEGADAIAN SYARIAH ATAS HILANG ATAU
RUSAKNYA BARANG JAMINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, diakses
dari http://repository.radenintan.ac.id/2723/1/SKRIPSI_EVI.
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, tahun 2007, Yogyakarta.
Muhammad Firdaus, dkk, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah ,Jakarta: Renaisan,
2005.
Ahmad Rodoni dan Abdul hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta :Zikrul Hakim, 2008

10

Anda mungkin juga menyukai